Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Produsen

(1)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA

DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

TESIS

Oleh

M. MASRIL

077005052/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Σ

ΕΚ

Ο Λ

Α

Η

Π Α

Σ Χ

Α Σ Α Ρ ϑΑ

Ν


(2)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA

DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

M. MASRIL

077005052/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA

KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT

DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG

JAWAB PRODUSEN

Nama Mahasiswa : M. Masril

Nomor Pokok : 077005052

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H) K e t u a

(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 03 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI 2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH 4. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum


(5)

ABSTRAK

Konsumen selain dilindungi dengan kebijakan komplementer (memberikan informasi) juga harus dilindungi dengan kebijakan kompensatoris (meminimalisasi resiko yang harus ditanggung konsumen). Yaitu dengan mencegah beredarnya produk cacat di pasar sebelum lulus pengujian atau menarik produk cacat yang sudah terlanjur beredar di pasar. Namun dalam kenyataannya kepentingan konsumen tetap saja terabaikan. Banyak produk-produk cacat dan berbahaya beredar di masyarakat tapi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tanggung jawab perusahaan dalam produk cacat tidak diatur secara tegas. Masalah yang akan diteliti meliputi, bagaimana bentuk tanggung jawab produsen terhadap produk cacat dalam perspektif perlindungan konsumen dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, dan hasil kesimpulan penelitian ini ditentukan dengan metode induktif.

Hasil analisis penelitian, disimpulkan bahwa konsep produk cacat meupakan dasar tanggung jawab bagi seorang pembuat produk. Produk cacat erat kaitannya dengan sifat pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada pelaku usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan.

Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Proses penyelesaian sengketa perlindungan konsumen khususnya terhadap produk cacat dapat dilakukan semua konsumen baik perorangan maupun kelompok (class action) bahkan bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat melalui gugatan legal standing. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh melalui beberapa cara, diantaranya: Konsiliasi, Mediasi, maupun Arbitrase. Di mana penyelesaian sengketa antara konsumen dan produsen, undang-undang telah menentukan suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) yang mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Saran dalam penelitian ini adalah Pemerintah harus menegaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk cacat, selain itu agar BPSK membuat box (kotak) pengaduan dari konsumen, untuk memudahkan para konsumen membuat pengaduan yang dialaminya pengaduan tersebut untuk segera ditindak lanjuti sehingga masyarakat mengetahui fungsi dari BPSK.


(6)

ABSTRACT

Consumer protection in addition to the complementary policies (providing information) must also be protected with a policy kompensatoris (minimizing the risk that must be borne by consumers). Namely to prevent the entry defect in its product before the market passed the rest or interesting product defects that have been most outstanding in the protracted market. However, in reality, the interests of consumers still only one ignore. Many products are defective and dangerous circulating in the community, but in law consumer protection responsibilities of the company in a product defect is not set explicitly. Issues that will be examined include, how the form or producer responsibility for product defects in the perspective of consumer protection and how the dispute settlement mechanism against product defects in connection with the responsibility of the product according to Law No. 8/1999 on Consumer Protection.

In the writing of this normative research methods used. This research is descriptive, and the conclusions f this research determined the inductive method.

The results of the analysis of research, concluded that the concept of product defects is the basic for the responsibility of a product. Product defects are closely related with the responsibility that can be charged to the perpetrator or dipikul business with consumers who have been in touch.

Disputes will arise when one party feels wronged their rights by other parties, while the other does not feel so. Dispute resolution processes, especially protection of consumers against defective product can be made of all consumers, both individuals and groups (class action) can even done by NGOs through a legal claim standing. Dispute settlement mechanism can be implemented through several ways including: Conciliation, Mediation and Arbitration. Where the settlement of dispute between consumers and producres, law has a body that is Dispute Settlement Body (BPSK), which has functions as stipulated in article 52 of Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection.

Suggestions in this research is the Government must assert in the Act on Consumer Protection responsibility of business to the product defect, other than BPSK is in order to make the complaints from consumers to facilitate the consumers to make complaints in a natural, the sting is to be up so that the community know the function of BPSK.

Keywords: Consumer Dispute, Product Defects, and Responsibility of The Manufacturer.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Judul tesis ini adalah: Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen

terhadap Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Produsen”.

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini.

Pada penulisan tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister:

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing Utama yang telah memberi arahan dan membantu penulis dalam penyempurnaan tesis ini;


(8)

4. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI, dan Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan kepada Penulis dalam penyelesaian tesis ini;

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., dan Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembanding, terima kasih atas masukan dan pendapatnya;

6. Istri tercinta Elmita, serta anak-anak tersayang Eka, Iin, Ulan dan Risky atas cinta, kasih dan kesetiaan yang selalu mengalir mendukung selama penulisan ini sehingga sangat membantu kelancaran penyelesaian tesis ini;

7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

8. Rekan-rekan satu angkatan serta semua pihak yang namanya tidak dapat

disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral maupun materil untuk penelitian dan penyelesaian tesis ini.

Penulis berharap agar tesis ini bermanfaat dan dapat memberi kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, walaupun tidak luput dari berbagai kekurangan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kekuatan lahir batin kepada kita semua.

Medan, Juni 2009 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : M. Masril

TTL : Plaju, 7 Mei 1959

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Instansi : Kejaksaan RI

Pendidikan : - Sekolah Dasar lulus tahun 1971.

- Sekolah Menengah Atas lulus tahun 1974.

- Sekolah Teknik Menengah lulus tahun 1977.

- Sekolah Menengah Atas lulus tahun 1980.

- Fakultas Hukum UNSYIAH lulus tahun 1988.

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara lulus tahun 2009.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 10

1. Kerangka Teori... 10

2. Kerangka Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian... 14

1. Sumber Data... 15

2. Teknik Pengumpulan Data... 16

3. Alat Pengumpul Data ... 16

4. Analisis Data ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN... 18

A. Perlindungan Konsumen ... 18

1. Pengertian Konsumen ... 18

2. Hak dan Kewajiban Konsumen... 19

3. Hubungan Antara Konsumen dan Produsen ... 23

4. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 28

B. Tanggung Jawab Produsen ... 33

1. Pengertian Produsen... 33

2. Hak dan Kewajiban Produsen ... 35

3. Pengertian Tanggung Jawab ... 36


(11)

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG

JAWAB PRODUSEN ... 40

A. Konsep Produk Cacat Sebagai Dasar Tanggung Jawab... 40

B. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab ... 49

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan ……….. 50

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab... 53

3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab... 53

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak... 53

5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan... 54

C. Tanggung Jawab Produsen terhadap Produk Cacat dengan Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen ... 55

1. Peraturan Mengenai Produk... 55

2. Tanggung Jawab Produsen... 59

3. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability Principle) .. 65

BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT ... 69

A. Upaya Penyelesaian Sengketa Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 69

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum ... 72

2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan Umum ... 75

B. Ketentuan Proses Beracara di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 82

1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen... 82

2. Tata Cara Persidangan... 87

2.1. Persidangan dengan Cara Konsiliasi... 87

2.2. Persidangan dengan Cara Mediasi ... 87

2.3. Persidangan dengan Cara Arbitrase ... 88

2.4. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian ... 95

2.5. Contoh-contoh Kasus Produk Cacat yang ditangani Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan ... 97

3. Ketentuan Proses Beracara di Peradilan Perdata... 99

3.1. Class Action (Gugatan Kelompok) ……... 103

3.2. Legal Standing (Hak Gugatan Organisasi Non Pemerintah)………... 105

4. Upaya Hukum ………... 107

C. Penyelesaian Sengketa Antara Produsen dan Konsumen Melalui Mediasi……….. 111


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 116


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini melihat pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian dan dunia usaha baik secara nasional maupun internasional khususnya di negara-negara maju adalah mengenai perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen. Apabila dimasa yang lalu pihak produsen atau industriawan yang dipandang sangat berjasa bagi perkembangan perekonomian negara yang mendapat perhatian lebih besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sejalan dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pihak konsumen yang dipandang lebih lemah perlu mendapat perlindungan lebih besar dibanding masa-masa yang lalu.

Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk (product liability).1 Secara historis tanggung jawab produsen (product

liability) lahir karena adanya ketidakseimbangan kedudukan dan tanggung jawab

antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, produsen yang pada awalnya menerapkan strategi yang berorientasi pada produk dalam pemasaran produknya

1 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 11.


(14)

harus mengubah strategi menjadi pemasaran yang berorientasi pada konsumen, dimana produsen harus hati-hati dengan produk yang dihasilkan olehnya. Oleh karena itu masalah tanggung jawab produsen (product liability) telah mendapat perhatian yang semakin meningkat dari berbagai kalangan, baik kalangan industri, industri asuransi, konsumen, pedagang, pemerintah dan para ahli hukum. Dalam perkembangannya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang berlaku pada setiap negara berbeda-beda. Dengan makin berkembangnya perdagangan internasional maka persoalan tanggung jawab produsen (product

liability) menjadi masalah yang melampaui batas-batas maju di dunia internasional.

Sehingga diperlukan penambahan-penambahan terutama dalam rangka

mempermudah pemberian kompensasi bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk cacat yang diedarkan di masyarakat.2 Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai produsen akan berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup dan kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat pada produk yang dipasarkan akan menyebabkan kerugian bagi konsumen, di samping produsen itu juga akan menghadapi tuntutan kompensasi yang pada akhirnya akan bermuara pada kalah bersaingnya produk tersebut dalam merebut pangsa pasar.

Permasalahan tersebut akan terasa semakin penting dalam era perdagangan bebas atau era globalisasi. Hal ini disebabkan persaingan yang dihadapi bukan hanya

2 Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988), hlm. 105.


(15)

diantara produk-produk pada level domestik tapi juga pada level dunia. Demikian juga permasalahan hukum yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab produsen tersebut dengan sendirinya bukan hanya berdasarkan pada hukum nasional Indonesia, namun akan berhadapan juga dengan sistem hukum asing. Belum lagi apabila dikaitkan dengan jumlah kompensasi yang memungkinkan lebih besar sesuai dengan standar hidup para konsumen di negara yang bersangkutan.

Hans W. Misklitz, menyatakan bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh 2 (dua) model kebijakan, yaitu:

Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).3

Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimalkan resiko yang harus ditanggung konsumen). Misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian oleh suatu lembaga perizinan pemerintah atau menarik dari peredaran produk yang berbahaya yang sudah terlanjur beredar di pasaran.

Terjadinya kasus beredarnya produk cacat di masyarakat diakibatkan oleh kurang insentifnya pengujian terhadap produk yang dihasilkan oleh produsen dan juga disebabkan karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh instansi maupun

3 Hans W. Micklitz, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Mata Para Pakar Jerman, (Warta Konsumen Tahun XXIV No. 12 Desember), hlm. 3-4.


(16)

lembaga yang berwenang menangani masalah pengawasan tersebut.4 Berdasarkan ketentuan umum hukum perdata yang berlaku, pihak konsumen yang menderita kerugian akibat produk atau barang yang cacat dapat menuntut pihak produsen secara langsung atau menuntut pihak pedagang di mana barang tersebut dibeli. Tuntutan dapat diajukan berdasarkan telah terjadinya perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) oleh pihak produsen atau pihak lain yang berkaitan dengan proses produksi atau penyebaran produk atau barang cacat tersebut. Seseorang konsumen yang menderita kerugian tersebut akan menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen) berdasarkan perbuatan melawan, namun dalam prakteknya akan timbul beberapa kendala yang akan menyulitkan konsumen untuk memperoleh kompensasi.

Di sisi lain juga akan terdapat beberapa kendala yang disebabkan karena adanya tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum yaitu pihak konsumen atau penggugat harus membuktikan unsur kesalahan pihak produsen atau tergugat, bila konsumen atau penggugat gagal untuk membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak produsen atau tergugat maka gugatannya akan gagal. Padahal bagi konsumen (korban) yang pada umumnya awam. Terhadap proses produksi dalam suatu industri, apalagi yang menggunakan teknologi tinggi yang canggih boleh dikatakan mustahil mampu membuktikan secara tepat di mana letaknya kesalahan yang menyebabkan

4 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 53.


(17)

cacatnya produk atau barang tersebut. Kendala berikutnya yaitu tuntutan melalui pengadilan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar.5

Hubungan konsumen secara individual dengan produsen merupakan hubungan perdata. Oleh karenanya perlindungan konsumen lebih sering dilihat dari segi hukum perdata seperti masalah ganti rugi. Pemikiran demikian tidaklah benar karena dalam perlindungan konsumen merupakan kewajiban pemerintah, maka peranan pemerintah dalam menerapkan sanksi pidana dan administratif sangatlah penting.

Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen yang sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suatu produk barang atau jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) masalah yang menjadi permasalahan, yaitu: Pertama, masalah ganti rugi yang di dalamnya mencakup sistem pembuktian. Kedua, masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa termasuk di dalamnya peranan lembaga-lembaga di luar pengadilan. Ketiga, cara mengajukan tuntutan hak (gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action).6

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) dalam Pasal 23 disebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan

5

H. Toto Tahir, Kemungkinan Gugatan Action dalam Upaya Perlindungan Hukum pada Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 68.


(18)

perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen ini diatur dalam UUPK, di mana persidangan dalam penyelesaian sengketa konsumen dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu melalui persidangan dengan cara konsiliasi, mediasi, arbitrase. Mengingat UUPK hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum peraturan hukum acara pidana tetap berlaku (KUHAP).

Penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi, di mana lembaga itu merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara mediasi. Penyelesaian sengketa melalui mediasi akan melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa, guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.7 Diberikannya ruang penyelesaian sengketa di bidang sengketa konsumen merupakan kebijakan yang baik dalam upaya memberdayakan (enpowerment system) konsumen. Upaya pemberdayaan konsumen merupakan bentuk kesadaran mengenai karakteristik khusus dunia konsumen, yakni adanya perbedaan kepentingan yang tajam antara pihak yang berbeda posisi tawarannya (bargaining position).

7 Bismar Nasution, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah, Makalah, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 2.


(19)

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diadakan penelitian untuk penulisan tesis dengan judul “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap

Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Produsen”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk tanggung jawab produsen terhadap produk cacat dalam

perspektif perlindungan konsumen?

2. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat dalam

kaitannya dengan tanggung jawab produk menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan gambaran maupun penjelasan tentang tanggung jawab

produsen terhadap produk cacat dalam perspektif perlindungan konsumen.

2. Untuk mengetahui dan memahami mekanisme penyelesaian sengketa terhadap

produk cacat dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah tepat dan efektif.


(20)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya yang bergerak dalam perlindungan konsumen sebagai input untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa terhadap produk cacat khususnya yang berkaitan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum bisnis, khususnya yang menyangkut mekanisme penyelesaian sengketa dalam hukum perlindungan konsumen. 2. Secara Praktis

a. Sebagai kajian hukum dan pedoman bagi pemerintah, hakim, perusahaan-perusahaan, kejaksaan dan pihak kepolisian dalam menentukan kebijakan dan tindakan dalam menyelesaikan masalah hukum yang terjadi dalam kaitannya dengan tanggung jawab produsen terhadap produk cacat.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang sanksi, hukuman dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen dan perlindungan terhadap konsumen dalam kaitannya dengan produk cacat yang beredar di masyarakat.


(21)

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang hukum bisnis, khususnya dalam hal hukum tentang perlindungan konsumen.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas

Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Konsumen terhadap Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung

Jawab Produsen” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama.

Meskipun ada beberapa judul tesis yang hampir menyerupai, antara lain:

1. Tesis dengan judul Analisis Perdata terhadap Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas

Produk Makanan Berkemasan Plastik yang Mengandung Cacat Tersembunyi (Studi di Kota Pematang Siantar), oleh Doharni Bunga Raya Sijabat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2005.

2. Tesis dengan judul Tanggung Jawab Perusahaan terhadap Konsumen Karena

Obat Tidak Memenuhi Standar Farmakope (Studi Pada PT. Mutiara Mukti Farma Medan), oleh Lidis Bangun Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2006.

Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan


(22)

kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh undang-undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen.8

Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan yang melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak pidana. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban pelaku usaha (product liability).9 Oleh karena itu kualifikasi gugatan yang lazim digunakan secara konvensional didasarkan atas adanya dalil wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (tort/fault).

8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 3.

9

Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996), hlm. 6.


(23)

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Kesalahan (liability based on fault).

b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability).

c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non liability). d. Tanggung jawab mutlak (stricht liability).

e. Pembatasan tanggung jawab (limitation liability).

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1337 KUH Perdata, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, yaitu:

a. Adanya perbuatan.

b. Adanya unsur kesalahan.

c. Adanya kerugian yang diderita.

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Secara common sense, asas tanggung jawab ini didapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian


(24)

yang diderita orang lain. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle) sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, dengan demikian beban pembuktian ada pada si penggugat.10

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab adalah kebalikan dari prinsip di atas. Prinsip Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non

liability) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan

pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya di bawah dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

Prinsip tanggung jawab mutlak (stricht liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk bertanggung, misalnya kondisi

force majeure. Sebaiknya prinsip tanggung jawab absolut adalah prinsip tanggung

jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.

2. Kerangka Konsepsi

Konseptual adalah merupakan definisi dari operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada


(25)

pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka.11

Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini, maka dirasa perlu untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut: Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen yang mencakup semua segi hukum baik keperdataan, Pidana maupun Tata Usaha Negara.

Sengketa adalah suatu keadaan bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, di mana salah satu pihak bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.12

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.13

Produk adalah Barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut.14

11 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 12 Bismar Nasution, OpCit., hlm. 7.

13 Pasal 1 Butir 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 254.


(26)

Pengertian Cacat adalah:

1. Kekurangan menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada benda, batin atau akhlak).

2. Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna).

3. Cela, aib.

4. Tidak (kurang) sempurna.

Suatu barang atau jasa dapat dikategorikan sebagai produk cacat menurut AZ Nasution, yaitu apabila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, seperti penampilan produk, kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk dan saat produk itu diedarkan.15

Tanggung jawab Produsen adalah tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

G. Metode Penelitian

Penelitian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat dalam kaitannya dengan tanggung jawab produsen menggunakan tipe penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.


(27)

mengambil data langsung dari lembaga perlindungan konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terlibat langsung menangani masalah penyelesaian sengketa dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen.

1. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, di mana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga Penulisan ini menitikberatkan pada penelitian bahan pustaka atau yang dalam metode penelitian dikenal sebagai data sekunder, yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan berkaitan dengan Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang menjadi bahan penelitian.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan.


(28)

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang telah terkumpul diolah dengan cara mengimplementasikan data menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok. Karena datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsepsi, doktrin-doktrin dan norma atau kaidah hukum, maka analisis data dilakukan dengan cara normatif kualitatif, artinya penulis berusaha menggambarkan keadaan yang ada dengan berdasarkan kepada data-data yang diperoleh melalui studi pustaka (bahan sekunder). Kemudian data dianalisi dengan dihubungkan kepada pendapat para ahli dan teori-teori yang mendukung dalam pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan secara indikatif yang penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kepada hal yang bersifat umum.

3. Alat Pengumpul Data

Studi Dokumen yaitu menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap kualitas dan kesempurnaan tesis ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian dianalisis


(29)

secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur dan tatacara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/Konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer adalah setiap

orang yang menggunakan barang16. Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan

cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu

“Semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil”.17 Sebelum munculnya UUPK (yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan namun sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang penjelasan pengertian konsumen itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif yang memberikan definisi/pengertian konsumen adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

16 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm. 3. Mengutip pendapat A.S. Hornby (Gen.Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 183, “(opp. To producer) person who uses goods”.

17 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan, Alumni Bandung, 1981), hlm. 48.


(31)

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan pemerintah mulai 5 Maret 2000). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.18

Hondius, pakar konsumen di Belanda, menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda atau jasa; (uiteindedelijke gebruiker van goederen en diensten).19 Dari rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Karena konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria tersebut, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu kepada konsumen pemakai terakhir. Di dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan pengertian Konsumen sebagai berikut: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Pengaturan tentang hak dan kewajiban konsumen dijumpai dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK. Hak konsumen diatur dalam Pasal 4, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keseluruhan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

18 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, 2004), hlm. 2. 19 Ibid.


(32)

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK lebih luas dari pada hak-hak dasar konsumen sebagaimana yang pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Jhon. F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo20, yaitu terdiri atas:

20 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39.


(33)

1. Hak memperoleh keamanan

Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau diri konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini, pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk peraturan perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya, sekalipun dibanding dengan mengikatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan/atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang.

2. Hak memilih

Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya.

3. Hak mendapat informasi

Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan.

4. Hak untuk didengar

Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk di dalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut.21

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers

Union/IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

21Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata pada Perlindungan Konsumen, (Majalah Yudika, FH. UNAIR, 1992), hlm. 49-50.


(34)

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.22

Di samping itu, masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:

a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;

b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi;

c. Hak mendapat ganti rugi;

d. Hak atas penerangan;

e. Hak untuk didengar.

Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu lagi hak sebagai pelengkap hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga kesluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen.23

Memperhatikan hak-hak yang disebut di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen yaitu:

a. Hak atas keamanan dan keselamatan;

b. Hak untuk memperoleh informasi;

c. Hak untuk memilih;

d. Hak untuk didengar;

e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian;

22 Sidharta, Loc.Cit., hlm. 2. 23 Ibid., hlm. 16.


(35)

g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

Selain dari pada ketentuan yang mengatur tentang hak-hak konsumen di atas, UUPK juga mengatur tentang apa saja yang menjadi kewajiban dari konsumen, yang diatur dalam Pasal 5:

Kewajiban konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang lebih disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.24

3. Hubungan antara Konsumen dan Produsen

Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan mana terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen. Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.25

24 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 47.

25 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 1996), hlm. 23.


(36)

Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, di mana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin produsen dapat menjamin kelangsungan usahanya, sebaliknya konsumen membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling ketergantungan kebutuhan tersebut di atas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa. Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, pemasaran dan penawaran.26

Secara individu hubungan hukum antara konsumen dengan produsen adalah bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan sebagainya. Namun oleh karena produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, maka secara kolektif hubungan hukum antara konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum administrasi negara dan sebagainya.

Dari hubungan hukum secara individu antara konsumen dengan pelaku usaha telah melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut:

a. Let the Buyer Beware (careat emptor)

Doktrin ini berasumsi bahwa antara pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli keperdataan yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen). Dengan demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen itu sendiri bila ia sampai


(37)

membeli dan mengkonsumsi produk yang tidak layak. Doktrin ini banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen.

b. The Due Care Theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan secara

a-contrario, maka untuk menyalahkan pelaku usaha, seseorang (konsumen)

harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian.

c. The Privity of Contract

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi (contractual

liability).27

Dalam pengaturan UUPK, dari hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (profesional liability), ketentuan tersebut terdapat dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK.

Beberapa pengertian tanggung jawab produk:

a. Tanggung jawab produk yang biasa disebut “product liability” adalah suau tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (produk manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor,

assembier) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan

(seller, distributor) produk tersebut.28

27Shidarta, Op.Cit., hlm. 50-52. 28

H.E.Saefullah, Tanggung Jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, hlm. 5.


(38)

b. Tanggung jawab (tanggung gugat) produk merupakan terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia secara populer sering disebut dengan “product liability” adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.29

c. Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat

bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang

(gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability).30

Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyai perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha (vide Pasal 1365 KUH Perdata jo Pasal 163 HIR/283 Rbg). Sedangkan dalam UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen bukan merupakan dari akibat kesalahan/kelalaian dari pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang

29 Nurmardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan, (Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998), hlm. 17.


(39)

pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (vide Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) yang ada dalam UUPK itu sendiri di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960 an. Di mana denganb diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini semua orang/ konsumen yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip tanggung jawab mutlak, yang kemudian diikuti oleh pengadilan- pengadilan lain adalah kasus Spence V Theree Rivers Builders and Mansory Supply Inc 1959.31

Dalam sistem hukum Amerika Serikat untuk menjerat produsen agar bertanggung jawab terhadap produk yang merugikan konsumen, maka dimungkinkan untuk menerapkan asas “strict liability” atau digunakan istilah tanggung jawab tidak terbatas menurut Robert N. Gorley sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, strict

liability ditegakkan pada prinsip:32

1. Pertanggungjawaban hukum atas setiap perbuatan atau aktivitas yang

menimbulkan keruhgian jiwa atau harta terhadap orang lain.

2. Pertanggungjawaban hukum tanpa mempersoalkan kesalahan baik yang

berupa kesengajaan maupun kelalaian.

31

Lebih lanjut, D.L. Dann, Strict Liability in The USA, dalam Aviation Products and Grounding Liability Symposium, (London: The Royal Acrunautical Sociaty, 1972), hlm. 15.

32 M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 22.


(40)

Alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum product liability adalah:33

a. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen di lain pihak beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang di pasaran.34

b. Dengan menerapkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen

menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggung jawab.

c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang

melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini.

4. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Ruang lingkup perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis perundang-undangan seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai cabang dan bidang hukum lain, karena pada setiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berprediket sebagai “konsumen”.35 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

33 Ibid., hlm. 16-17.

34 Selain itu juga prinsip strict liability bertujuan untuk membebaskan penggugat (yang dalam hal ini konsumen) dari beban kewajiban pembuktian, dengan demikian konsumen hanya mengungkapkan faktanya saja, sementara produsen yang membuktikan bahwa produksinya aman pada saat dipasarkan pada konsumen, Page Keeton, Case Materialis on Fort on Accident Law, (USA, 1989), hlm.664.


(41)

Membahas masalah perlindungan hukum bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu dilihat kedalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena mempunyai konsekuensi tersendiri, antara lain mengenai lingkup materinya, sanksinya, peradilannya, karena satu sama lain akan berkaitan dengan sistem hukum yang sebelumnya telah dikembangkan melalui berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia. Sebelum keluarnya UUPK, perlindungan terhadap konsumen dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor II/MPR/1993, pada Bab IV, Huruf F Butir 4a, yaitu:

“...pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen...”.36

Komitmen melindungi konsumen (konsumen akhir, bukan pedagang) rupanya masih menjadi huruf-huruf mati dalam naskah GBHN 1993, karena tidak jelas peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang memang ditujukan untuk itu. Ketidakjelasan itu bukan karena belum adanya pengkajian dan penelitian

36 Yusuf Shofie, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 2.


(42)

norma perlindungan konsumen macam apa yang sesuai dengan situasi dan kondisi konsumen Indonesia. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Departemen Perindustrian dan perdagangan telah cukup sering melakukannya. Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999 oleh pemerintah transisi (Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiden BJ. Habibie tampaknya diiringi dengan harapan terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor, pengecer, pengusaha/

perusahaan dan sebagainya) dalam menyongsong millenium baru.37

Kritik dari berbagai pihak terhadap penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap yang lemah masih menjadi referensi utama dalam perumusan norma-norma perlindungan konsumen dalam undang-undang ini. Norma-norma-norma dalam

perlindungan konsumen dalam sistem UUPK sebagai “undang-undang payung”

menjadi acuan bagi norma-norma perlindungan konsumen lainnya di luar UUPK. Demikian juga bagi undang-undang ketenagalistrikan, maka norma perlindungan konsumen peraturan di bidang ini mengacu pada norma-norma perlindungan konsumen yang diatur dalam UUPK.

Adapun norma-norma perlindungan terhadap konsumen dalam UUPK dapat kita jumpai dalam Pasal 1 angka 1 (Pengertian Perlindungan Konsumen), Pasal 2 dan Pasal 3 (Asas dan Tujuan), serta Pasal 18 (Ketentuan Pencantuman Klausula Baku). Pasal 1 Angka 1 “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin


(43)

adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Pasal 2

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”

Dalam Penjelasan Pasal 2 mengatakan: Perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan


(44)

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; 3. Asas kepastian hukum.38

Pasal 3: Perlindungan konsumen bertujuan:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari

ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.


(45)

Pasal 3 UUPK ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Adapun mengenai ketentuan pencantuman klausula baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UUPK, memberikan andil terhadap perlindungan konsumen. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK ditegaskan bahwa adanya larangan-larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

B. Tanggung Jawab Produsen

1. Pengertian Produsen

Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leverensir dan pengecer profesional,39 yaitu setiap orang atau badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen.40

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak memakai istilah produsen, melainkan menggunakan kata pelaku usaha, sekalipun

39 Agnes M.Toar, Op.Cit., hlm. 2.

40 Harry Duintjer Tebbens, International Product Liability, (Netherland: Sijttof dan Noordhof International Publishers, 1980), hlm. 4.


(46)

pada dasarnya apa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda.41

Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK menjelaskan, apa yang dimaksud dengan Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.

Sebagai perbandingan di Eropa, seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman dalam Directive on Product Liability yaitu suatu ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Kementrian Eropa, di dalam Pasal 3 disebutkan yang dimaksud dengan produsen adalah meliputi:

a. Pihak pembuat suatu produk akhir atau bagian komponennya yang berupa produk-produk manufactur;

b. Produsen dari tiap bahan mentah apapun; atau

c. Tiap orang, yang dengan membubuhkan nama, merek dagang ataupun ciri pembeda lainnya pada suatu produk adalah mewakili dirinya sendiri sebagai produsen barang atau produk tersebut; atau

d. Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic

Community, apakah untuk dijual, disewakan, dikontrakkan atau bentuk

distribusi lain di dalam perdagangan bisnisnya dianggap sebagai produsen dan harus bertanggung jawab sebagai produsen.42

Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat perbedaan batasan-batasan tentang produsen. Dalam Directive on Product Liability, sudah jelas diatur siapa saja yang

41 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 9.

42 Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 206.


(47)

dapat dikategorikan sebagai produsen. Sementara dalam UUPK definisi pelaku usaha didefinisikan secara luas.

2. Hak dan Kewajiban Produsen

Secara tegas di dalam UUPK telah diatur hak dan kewajiban produsen atau pelaku usaha. Di mana pengaturan tentang hak produsen atau pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6, yang menentukan sebagai berikut:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.

Di samping pengaturan hak dari produsen atau pelaku usaha, UUPK juga mengatur tentang kewajiban dari Produsen atau pelaku usaha yang ditentukan secara tegas dalam Pasal 7 UUPK sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam menjalankan usaha;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi, jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;


(48)

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

3. Pengertian Tanggung Jawab

Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang kemudian terbentuk beberapa kata seperti bertanggung jawab, mempertanggung jawabkan, penanggung jawab dan pertanggungjawaban.


(49)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).43

Selanjutnya dari kata tanggung jawab tersebut diturunkan kata-kata sebagai berikut:

a. Bertanggung jawab berarti kewajiban memegang, memikul tanggung jawab;

b. Mempertanggung jawabkan berarti memberi jawab dan menanggung segala

akibatnya kalau ada kesalahan.44

Dari penggunaan sehari-hari kata tanggung jawab cenderung menerangkan kewajiban. Kecenderungan ini terlihat pada penggunaan kata “pertanggungjawaban”

sebuah kata bentukan yang berasal dari kata dasar tanggung jawab.

Dalam ilmu hukum ada dikenal dua macam tanggung jawab, yang pertama adalah tanggung jawab dalam arti sempit, yaitu tanggung jawab tanpa sanksi, dan yang kedua tanggung jawab dalam arti luas, yaitu tanggung jawab dengan sanksi.45

4. Prinsip Tanggung Jawab dalam Ilmu Hukum

Dalam ilmu hukum setidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab yang dikenal, yaitu:46

a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault, liability

based on fault principle), yaitu: Tanggung jawab atas dasar kesalahan

adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan “seseorang baru

43 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., hlm. 899. 44 Ibid., hlm. 901.

45

Harun Al Rasjid, Hubungan antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 9.

46 Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung: Eresco, 1991), hlm. 17.


(50)

dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya.

Tanggung jawab atas dasar kesalahan ini pembuktiannya harus dilakukan oleh penggugat (orang yang dirugikan). Contoh di Indonesia dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Pasal ini mengharuskan pemenuhan unsur-unsur menyediakan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti-kerugian yaitu:

1) Adanya perbuatan yang melawan hukum;

2) Adanya kesalahan;

3) Adanya kerugian yang ditimbulkan;

4) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan yang satu dengan kerugian.47

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, pengartian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang. Tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of

liability principle). Prinsip praduga yang dimaksud kemudian oleh

beberapa pakar dikategorikan kepada dua macam, yaitu prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, yakni prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dengan demikian pembuktiannya dibebankan kepada pihak tergugat. Dasar pemikiran dari teori pembuktian beban pembukian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika teori digunakan, maka beban pembuktiannya ada pada pelaku usaha sebagai tergugat. Namun demikian tidak berarti konsumen selalu dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha dengan sesuka hati, karena posisi konsumen selaku penggugat tetap terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha apabila ia gagal menunjukkan kesalahan pelaku usaha sebagai tergugat. Bagian lain dari prinsip praduga adalah prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab. Prinsip ini kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dimana beban pembuktiannya dibebankan kepada pihak penggugat. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Di mana kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/ bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang sendiri. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.


(51)

c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, strict liability absolute

liability principle). Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai sesuatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak ada.48 Namun demikian hal ini tidak selamanyaditerapkan secara mutlak karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksudkan antara lain adalah keadaan force

majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan alam dan

tidak mungkin untuk dihindari.


(52)

BAB III

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRODUK CACAT

DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

A. Konsep Produk Cacat Sebagai Dasar Tanggung Jawab

Salah satu unsur penting dalam doktrin tanggung jawab produk adalah persyaratan “produk cacat” (defective product).49 Pentingnya faktor kondisi produk ini, menyebabkan tanggung jawab produk dikenal dengan istilah defective liability. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan istilah produk cacat. Rumusan ini semakin memperkuat keraguan apakah Undang-Undang Perlindungan Konsumen menganut doktrin tanggung jawab produk atau strict liability. Istilah “cacat” muncul pada bagian lain, yaitu dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 huruf b dan dalam draft rancangan perlindungan konsumen yang diajukan oleh Pemerintah.50 Tidak dikenalnya konsep cacat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menimbulkan kesulitan dalam menafsirkan ruang lingkup tanggung jawab produk. Dengan demikian, rumusan tanggung jawab produk menjadi tidak sistematis dan tidak menjamin kepastian, baik bagi konsumen maupun bagi produsen dan aparat penegak hukum, hal tersebut sangat berbeda dengan rumusan tanggung jawab produk di negara lain yang pada umumnya memiliki

49 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2004), hlm. 182.

50 Rumusan Pasal 19 usulan dari Pemerintah: “(1) pelaku usaha wajib menerima kembali barang yang telah dibeli oleh konsumen karena barang tersebut cacat atau rusak dan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.”


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian.

2. Proses penyelesaian sengketa perlindungan konsumen khususnya terhadap produk cacat dapat dilakukan semua konsumen baik perorangan maupun secara kelompok (class action) atau bahkan bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui gugatan legal standing. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh melalui beberapa cara, diantaranya: Konsiliasi, Mediasi, maupun Arbitrase. Di mana penyelesaian sengketa antara konsumen dan produsen, undang-undang telah menentukan suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) yang mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(2)

B. Saran

1. Pemerintah harus menegaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk cacat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memakai atau menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagai dasar bentuk tanggung jawab produsen terutama terhadap penyelesaian sengketa terhadap produk cacat. Dicantumkannya klausul ini secara tegas akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menjalankan undang-undang ini secara maksimal.

2. Agar BPSK membuat box (kotak) pengaduan dari konsumen. Box tersebut nantinya akan ditempatkan di setiap pasar modern (di plaza-plaza) yang ada di Kota Medan. Tujuannya untuk memudahkan para konsumen membuat pengaduan yang dialaminya pengaduan tersebut untuk segera ditindak lanjuti sehingga masyarakat mengetahui fungsi dari BPSK.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Al Rasjid, Harun, Hubungan antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).

Badrulzaman, Mariam Darus, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut

Perjanjian Baku (Standar), Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan

Konsumen, (Jakarta: Binacipta, 1986).

Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Phiadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973).

Fukuzawa, Hiroaki, Product Liability Comparative Study of US and Japanese

Aproach, Indepent Research, (Seatle: University of Wasington, 1992).

Harkrisnowo, Harkristuti, Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Sistem

Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama).

Harahap, M.Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997).

Hideo, Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988).

Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994).

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Cetakan Pertama), (Yogyakarta: Liberty, 1996).

---, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: 1988).

Micklitz, Hans W, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Mata Para


(4)

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004).

Nasution, AZ, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).

---, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002).

Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas,

di dalam Husni Syawali (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000).

Oughton, David dan John Lowry, Texbook on Consumer Law, (London: Greath Britain, Blackstoone Press Ltd, 1977).

O’Connor, Natalie, Consumer Protection Under the Trade Practices Act: A Time For

Change di dalam Inosentius Samsul (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen

I, (Jakarta: Pascasarjana FH-UI, 2001).

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni 1986).

Rajagukguk, Erman, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000).

Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum

Pascasarjana, 2004).

Santosa, Mas Achmad, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action),

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Centre For Environmental Law (ICEL), 1997).

Saefullah, H.E, Tanggung Jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang

Ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas. Di dalam Husni Syawali

(Ed), Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000). Scott, Collin dan Julia Black, Cranston’s Consumers and The Law, (Edisi Ketiga),

(London: Butterworths, 2000).


(5)

Shofie, Yusuf, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002).

---, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum, (Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 2003).

Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006).

Subekti, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Badan Pembinaan Nasional & Bina Cipta, 1982).

Suratman, Ema, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang

Tanggung Jawab Produsen di Bidang Farmasi terhadap Konsumen,

(BPHN-Departemen Kehakiman RI, 1990-1991).

Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniayti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000).

Tahir, Toto, Kemungkinan Gugatan Action dalam Upaya Perlindungan Hukum pada

Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:

Mandar Maju, 2000).

Toar, Agnes M. Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya

di Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988).

Usman, Rachmadi, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Cetakan Pertama, (Jakarta: Djambatan, 2000).

Wiradipradja, Endang Saefullah, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara

Indonesia, (Bandung: Eresco, 1991).

B. Undang-undang

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara

Gugatan Perwakilan Kelompok.

Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 134/Pdt/1997PN. Jaksel. Tanggal 15 Januari 1998.


(6)

Putusan sela Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung tanggal 23 Mei 2002 Nomor 38/Pdt/G/2002/PN Bdg.

Pasal 13 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 BPSK.

C. Makalah

Nasution, Bismar, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah, Makalah, Medan: Universitas Sumatera Utara.

---, Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi, Makalah, Medan: Universitas Sumatera Utara.

Fakih, Mansour, Strategi Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Era Mendatang, Makalah untuk bahan fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Santosa, Mas Achmad, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), (Jakarta: Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan/Indonesia Center For Environmental Law/ICEL, 1997).

Samsul, Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan

Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum

Pasca Sarjana, 2004)

D. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).