KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN ALAM UNTUK KEBERLANJUTAN SISTEM PERTANIAN.
ĞŶƉĂƐĂƌ͕ϭϯͲϭϰ:ƵůŝϮϬϭϮ WZK^//E'^D/EZE^/KE>WZddϮϬϭϮ
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
ALAM UNTUK KEBERLANJUTAN SISTEM PERTANIAN
Wayan Windia
Fakultas Pertanian Univ.Udayana, Bali
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pada saat ini, tidak ada permasalahan yang dapat diselesaikan hanya dengan aturan
tertulis. Termasuk dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Oleh
karenanya, sangat perlu digali dan dikembangkan kearifan lokal, dalam konteks pengelolaan
sumberdaya alam, dalam kaitannya dengan keberlanjutan sistem pertanian. Berkait dengan
kiat untuk keberlanjutan sistem pertanian, maka di Bali dikenal adanya konsep Tri Hita
Karana (THK). Patut diketahui bahwa THK adalah kearifan lokal yang sangat populer
sebagai wacana di kalangan masyarakat Bali. Konsep THK diterapkan dalam sistem
pertanian di Bali, oleh sebuah lembaga tradisional yang disebut Subak. Konsep THK tidak
saja diterapkan pada sistem pertanian (oleh Subak). Tetapi dapat diterapkan pada setiap
sektor. Di Bali, konsep THK diterapkan pula oleh lembaga Subakabian (organisasi petani di
lahan kering), Desa Adat, dan sekarang sedang diperkenalkan di kalangan komponen
kepariwisataan (hotel, dan obyek wisata) di Bali. Prinsip THK adalah penerapan harmoni
dalam kehidupan manusia. Yakni harmoni dengan penciptanya (disebut dengan istilah
Parhyangan), harmoni dengan sesamanya (disebut dengan istilah Pawongan), dan harmoni
dengan alam (disebut dengan istilah Palemahan). Lembaga subak dalam pengelolaan
sumberdaya air, menerapkan prinsip-prinsip harmoni dari konsep THK, yang dibuktikan
dalam berbagai aktivitas lembaga subak. Melalui penerapan konsep THK, maka lembaga
subak di Bali tetap eksis, sejak 10 Abad yang lalu. Lembaga subak sebagai lembaga sosiokultural yang menerapkan konsep THK menghadapi tantangan berat saat sekarang dan di
masa depan, seiring adanya glombang globalisasi. Oleh karenanya, lembaga ini memerlukan
pengembangan dalam bidang akivitas ekonomi dan teknologi. Keberlanjutaan sistem subak
yang menerapkan THK dapat diukur dengan analisis Matrik Inverse. Dalam hal ini subak
dianggap sebagai teknologi yang menerapkan kebudayaan. Kemudian akan ditemukan sebuah
matrik yang menghubungkan sistem teknologi dan sistem kebudayaan. Melalui sistem matrik
inilah, akan dianalisis dengan matrik inverse. Dengan demikian akan ditemukan nilai
transformasi dari matrik tsb. Nilai transformasi ini, analogis dengan nilai keberlanjutan
subak. Keberlanjutan subak akan berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem pertanian (di
Bali).
Kata kunci : kearifan lokal, sumberdaya alam, keberlanjutan sistem pertanian, matrik
inverse, nilai keberlanjutan.
PANGKAL PIKIR
WZddϮϬϭϮ
WZddϮϬϭϮ
adilnya kepada anggota subak ybs; (ii) THK adalah sebuah sistem kebudayaan, karena THK
memang adalah bagian dari kebudayaan Bali, yang bertujuan untuk mengajarkan harmoni
dan kebersamaan.
Dengan demikian, subak yang ber THK adalah sebuah sinergi antara sistem teknologi
dan sistem kebudayaan. Sinergi antara teknologi dan kebudayaan, di mana teknologi yang
melahirkan kebudayaan atau sebaliknya kebudayaan yang melahirkan teknologi, maka hal
itu disebut sebagai sebuah peradaban. Dengan adanya sinergi itu, maka dapat dibuat sebuah
matrik yang menghubungkan antara semua subsistem dari sistem teknologi, dan semua
subsistem dari sistem kebudayaan. Adapun yang merupakan subsistem dari sistem teknologi
adalah subsistem : software, hardware, humanware, organoware, dan infoware (Susanto,
1991). Sedangkan yang merupakan subsistem dari sistem kebudayaan adalah subsistem : pola
pikir/nilai (parhyangan), sosial (pawongan) dan artefak/kebendaan (palemahan)
(Koentjaraningrat, 1993).
Dalam setiap sel matrik itulah merupakan lokasi dari berbagai elemen yang eksis dalam
subak. Kemudian elemen itu dinarasikan, dan selanjutnya diberikan skor. Skor diberikan
terhadap semua elemen tsb, untuk dua kondisi. Pertama, skor untuk kondisi yang senyatanya
di lapangan atau disebut kondisi Aktual (diistilahkan sebagai matrik A). Kedua, skor untuk
kondisi yang ideal sesuai Harapan petani anggota subak (diistilahkan sebagai matrik H).
Dengan demikian, akan didapatkan skor untuk matrik A dan matrik H. Kalau matrik A dan
matrik H diketahui melalui riset, maka matrik transformaasi (diistilahkan dengan matrik X)
akan dapat dicari melalui perhitungan Matrik Inverse. Rumusnya adalah sebagai berikut.
A.X=H
X = A-1 . H
Keterangan:
A = matrik kondisi subak yang senyatanya/aktual.
H = matrik kondisi subak yang ideal/harapan.
X = matrik transfomasi.
A-1 = inverse matrik A
Sementara itu, harus juga dicatat bahwa :
Z= (D-D*)/D x 100%
Keterangan:
D = Determinan matrik A
D* = Determinan matrik X
Z = Koefisien peluang transformasi/peluang keberlanjutan.
Dalam hal perhitungan dengan rumus tersebut, maka makin besar nilai Z, maka makin
besar peluang keberlanjutan dari sistem yang dianalisis. Nilai Z akan berada diantara nilai
lebih besar nol, dan lebih kecil 100. Hal itu bermakna bahwa tidak ada nilai
transformasi/keberlanjutan dari suatu sistem, sama sekali tidak ada (nol), atau
keberlanjutannya sempuna.
PENUTUP