PERTANIAN DAN KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU

PERTANIAN DAN KEARIFAN LOKAL MINANGKABAU/
catatan Pinto Janir
11 September 2014 pukul 1:48 pinto janir
BERCOCOK TANAM tanam dan beternak adalah budaya kental masyarakat
Minangkabau. Berpikir untuk hidup ke esok dicermin kan orang Minang dengan adanya
rangkiang di halaman rumah gadang. Rangkiang tempat menyimpan padi. Itu adalah cerminan
dari ketahanan pangan masyarakat Minang.
Bertani dan beternak bagi orang Minang adalah tabungan kesejahteraan. Prinsip
kemakmuran orang Minang, ketika padi menjadi, ketika taranak berkembang, ketika jagung
berbunga—bak pepatah “ bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupia, anak buah
sanang santosa, bapak kayo mande batuah, mamak disambah urang pulo”. Begitulah tujuan
hidup orang Minang, yakni bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak. Hidup yang
penuh berkah, yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu "baldatun taiyibatun wa robbun gafuur".
Dan tentu saja hal itu adalah cermin dari kesepakatan masyarakat Minangkabau dalam sandaran
sikap “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Asas pemanfaatan bagi orang Minang sangat tinggi. Dalam kehidupan sosial dan budaya, orang
Minang tak mengenal apa yang kita sebut dengan sampah masyarakat. Mengapa, karena bagi
orang Minang, tak ada orang yang tak berguna. Orang Minang senantiasa memercayai dan
memberikan sebuah pekerjaan kepada orang yang tepat seperti yang disampaikan oleh pepatah
kita : “Nan Buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, Nan lumpuah pahuni rumah, nan
kuek paangkuik baban, nan jangkuang jadi panjuluak, nan randah panyaruduak, nan pandai

tampek batanyo, nan cadiak bakeh baiyo, nan kayo tampek batenggang.
Konsep the right man in the right place masak dalam kehidupan sosial orang Minang.
Pembagian kerja bagi orang Minang itu rasional atau objektif. Semua termanfaatkan. Itu sesuai
pula dengan sabda Rasulullah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia.” [Hasan: Shahih Al-Jami’ no. 3289].
Prinsip pemanfaatan manusia dan SDM bagi orang Minang itu sangat rasional dan objektif
sekali. Bahkan, pemanfaatan lahan bagi orang Minang sangat selektif. Tak ada lahan yang tak
berguna bagi orang Minang. Semua lahan termanfaatkan sesuai bentuk, lokasi dan jenisnya.
Sesuai benar dengan pepatah : “ Nan lurah tanami bambu, nan lereang tanami tabu, nan padek
kaparumahan, nan gurun buek ka parak, nan bancah dibuek sawah, nan munggu kapakuburan,
nan gauang ka tabek ikan, nan padang kapaimpauan, nan lambah kubangan kabau, nan rawang
payo kaparanangan itiak” .
Semestinya juga, masyarakat Minangkabau tak mengenal apa yang disebut dengan lahan
telantar atau lahan tidur. Masyarakat Minang adalah masyarakat pertanian, ketika ke rimba
berbunga kayu, air tergenang dijadikan kolam ikan, tanah tanah ditanamkan benih, tanah keras

dibikin ladang, sawah bertumpak di tanah yang datar, ladang berbidang di lahan yang lereng.
Begitulah budaya sosial masyarakat kita di Minangkabau.
Bahkan orang Minang sudah memiliki teknologi pertanian yang merupakan warisan dari
nenek moyang kita. Mereka bertani sesuai musim. Seperti pesan pepatah:” Ka ladang di hulu

tahun, ka sawah di pangka musim, hasia banyak nkarano jariah, hasia buliah karano pandai”.
Pepatah itu menyisipkan dua kata inti dalam hal ihwal berladang orang Minang. Yakni, pertama
kerja keras, kedua karena pengetahuan atau kepandaian berladang.
Semangat dan optimisme orang Minang itu sangat tinggi. Tak ada yang tak mungkin bagi
orang Minang asal dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras. “lawik dalam buliah
diajuak, bumi laweh dapek digali, bukik dapek diruntuah, asa bajariah bausaho. Lawik ditimbo
lai ka kariang, gunuang di runtuah mungkin data, sadang dek samuik runtuah tabiang, apolagi
dek manusia nan baraka”. Begitulah dalil rasional orang Minangkabau.
Jauh sebelum Koes plus mendengakan tongkat ditanam jadi “buah”, orang Minang sudah
lebih dulu meyakini. Bahkan tak tongkat saja yang tumbuah, melainkan artinya lebih luas, yakni
“ Apo ditanam namuah tumbuah, bijo ditanam ka babuah, batang ditanam kabarisi, batanam nan
bapucuak, mamaliharo nan banyao”.
Bahkan, sebelum bertanam, orang minang memikirkan perairan atau irigasi. “ Dibuek
banda baliku, tibo di bukik digali, tibo di batu dipahek, tibo di batang di kabuang”.
Begitulah kearifan lokal orang Minangkabau dalam bertani dan bataranak itu tadi. Bila ada
lahan tak termanfaatkan, wajib kita bertanya? Mengapa? Apakah karena lahan kering tak teraliri
irigasi? Apakah karena kita sudah pemalas?
Dalam keadaan terkini, Sumbar adalah salah satu propinsi surplus beras!
Bila begitu adanya, mari kita lihat pemanfaatan lahan dan soal irigasi bagi pertanian
Sumatera Barat. Kita tanyakan hal ini kepada Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura

Sumbar Ir Djoni. Kata Djoni, luas areal persawahan yang telah diairi dengan irigasi teknis di
Sumatera Barat (Sumbar) baru 88.808 hektar atau 37,6 persen dari total luas sawah di daerah ini
yang mencapai 235.824 hektar.Luas wilayah provinsi Sumatera Barat sekitar 4.229.730 Ha,
setara dengan 2,17 % dari luas wilayah Negara Kasatuan Republik Indonesia. Dengan begitu,
lahan pertanian yang berpotensi diolah adalah sekitar 20% dari luas wilayah Sumbar. Sementara,
yang teraliri irigasi baru 37,6 persen itu tadi. Bayangkan, kalau 60% saja dari lahan 88 ribu
hektar itu teraliri irigasi, maka masa depan pertanian Sumatera Barat akan jauh lebih bersinar
dan apa yang diinginkan oleh nenek moyang kita dulu tentang “bumi sanang padi manjadi” akan
benar-benar lebih terwujud.
Pak Djoni berharap, pembangunan infrastruktur di daerah ini idealnya diarahkan pada
pembangunan irigasi teknis. Katanya, makin luas lahan pertanian Sumbar yang mendapat air
irigasi, makin besar hasil potensi pertanian kita yang muaranya berujung pada kemakmuran
untuk petani, kemakmuran untuk rakyat, kemakmuran untuk semua.

Dijelaskan Djoni, lahan persawahan irigasi sederhana di Sumbar seluas 45.570 hektar, irigasi
desa 40.969 hektar, tadah hujan 50.294 hektar dan irigasi lainnya 10.184 hektar. Sawah yang
telah diairi irigasi teknis di Sumbar terluas berada di Kabupaten Agam 13.708 hektar disusul
Kabupaten Solok (11.870), Kabupaten Pasaman (11.808), Kabupaten Pesisir Selatan (10.289)
dan Kabupaten Padangpariaman (8.763).Sawah yang diairi irigasi teknis terkecil di Sumbar
adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 85 hektar disusul Kota Bukittinggi (177), Kota

Solok (575), Kabupaten Sijunjung (1.698) dan Kabupaten Tanahdatar (3.768).Daerah areal
persawahan beririgasi sederhana terluas adalah Kabupaten Tanah Datar seluas 7.633 hektar,
disusul Kabupaten 50 Kota (6.407), Kabupaten Agam (5.235), Kabupaten Pasaman (5.186) dan
Kabupaten Padang Pariaman (5.099).
Daerah dengan areal persawahan beririgasi sederhana terkecil adalah Kota Bukittinggi
seluas 154 hektar, disusul Kabupaten Kepulauan Mentawai (240), Kabupaten Dharmasraya dan
Kabupaten Pasaman Barat masing-masing seluas 316 hektar serta Kota Solok (393).Sawah tadah
hujan, terluas berada di Kabupaten Pesisir Selatan seluas 11.848 hektar, disusul Kabupaten 50
Kota (8.144), Kabupaten Tanah Datar (5.878), Kabupaten Sijunjung (4.998) dan Kabupaten
Padang Pariaman (4.522).
Lalu berapa produksi padi Sumbar?
“Dengan areal persawahan seluas 235.824 hektar , produksi padi Sumbar mencapai dua juta ton
pada 2007, naik dari produksi 2006 yang tercatat 1,889 juta ton”, jawab Djoni.
Apa dan bagaimana kontribusi Sumatera Barat untuk memenuhi pangan nasional ?
“ Produksi beras daerah ini jauh melebihi kebutuhan masyarakatnya. Pada tahun 2011 produksi
beras Sumbar mencapai 2.295.000 ton di atas lahan 243.000 hektare, sedangkan kebutuhan
masyarakat Sumbar tak lebih 600 ribu ton. Sumbar mengalami surplus beras sekitar 1.695.000
ton “, kata Djoni.
Dikatakan Ir. Djoni produksi beras Sumbar pada tahun 2011 sekitar 4,91 ton per hektarenya.
Angka tersebut mengalami kenaikan sebanyak 5,01 persen jika dibandingkan dengan hasil produksi tahun 2010.

Pada tahun 2010, jumlah produksi sekitar 2,211.248 ton dengan jumlah produksi sekitar 4,8 ton
per hektarenya. Dari luas lahan yang 243.000 hektare, luas panennya pertahun sekitar 486.000
hektare atau dua kali lipat dari luas sawah. Target Djoni, menggenjot hasil panen padi minimal 2
kali setahun.
Dikatakan Djoni sejak tahun 2012 ini, Sumbar menambah luas sawah sekitar 2.250 ha dengan
cetak sawah baru di Pesisir Selatan, Solok Selatan, Pasaman, dan daerah lainnya. Lalu berapa
luas lahan yang dialihfungsikan tiap tahun?
“Lahan yang diahlifungsikan untuk pembangunan tak sampai 100 ha pada tiap tahunnya,” kata
Djoni seraya mengatakan tak perlu khawatir dengan banyaknya lahan sawah yang disulap

menjadi lahan perumahan atau pun industri karena seiring dengan itu, lahan-lahan pertanian baru
juga dibuka.
Dalam catatan kita, tingkat konsumsi beras masyarakat Sumbar pada tahun 2011 sekitar 123 kg
perkapita per tahunnya.
“Sedangkan konsumsi rata-rata masyarakat Indonesia atau pun rata-rata nasional sekitar 139 kg
perkapita per tahun.
Guna mengurangi konsumsi beras, pemerintah telah melakukan sosialisasi pengalihan dari beras
ke umbi-umbian, sayur-sayuran ataupun buah-buahan. Target Pemerintah tingkat konsumsi
beras masyarakat Indonesia menurun sekitar 1,5 persen tiap tahunnya dari jumlah perkapita per
tahunnya.