Figur Raja Dalam Beberapa Mantra Jawa Barat Bagian Timor Dari Sumber Lisan Dan Tulisan.

FIGUR RAJA DALAM BEBERAPA MANTRA JAWA BARAT BAGIAN TIMOR
DARI SUMBER LISAN DAN TULISAN
oleh Kalsum
1 - Mantra Sunda
Mantra berasal dari Bahasa Sansekerta yang mengandung pengertian, teks suci, doa atau
tukang doa,
sair suci, ilmu-ilmu yang bersifat gaib ( Zoetmulder, 1982). Istilah mantra
dalam Bahasa Sunda tidak dikenal lagi. Uraian ini menggunakan istilah mantra untuk
memberikan kejelasan makna yang bersifat generik dari berbagal ke-giatan masyarakat Sunda
yang mengacu ke arah pengertian tersebut. Jika mantra mengacu kepada pengertian doa,
maka Sunda bisa diklasifikasikan mantra verbal dan mantra non verbal. Mantra non verbal
misalnya, masyarakat Baduy selalu menggantungkan daun pepek dan daun penuh pada
leuitnya dengan harapan tetap penuh, pada masyarakat
Sunda lainnya menyediakan
persyaratan pada upacara kehamilan, kelahiran, penanaman padi dan lain-lainnya. Uraian
ini tidak mengacu pada mantra non verbal, selanjutnya istilah mantra mengacu kepada
pengertian mantra verbal.
Istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat yaitu; jampe, jampe pamake, “keuna ku
pamake” “keuna ku wisaya” (terkena guna-guna). Semula mantra mengacu ke hal yang
suci, namun akhirnya berkembang ke hal yang bersifat negatif. Jenis-jenis mantra yang
terdapat di daerah Sunia menurut istilah penghayatnya di antaranya gendam,

pelet,
asihan, jangjavokan, singlar, parancah, ajian, rajah, kidung (macamnya Artati,
Salamet, Siliwangi/ Pakuan, Saripanggung, panundung) sawer (jenisnya: panganten,
sunat,orok), teluh,
pamuradan,
piburungan
piwurungan, pipahokan,
halimunan,
pileumpeuhan, pangabaran, jampe, wieaya, tumbal. Rusyana mengklasifikasikan mantra
sebagai berikut:
1. Asihan digunakan untuk menguasai orang lain supaya tampak menarik dan dicintai.
2. Jangjawokan digunakan untuk mengerjakan sesuatu supaya selamat.
3. Ajian dipakai untuk kekuatan lahir maupun batin.
4. Singlar digunakan untuk menghindarkan diri dari gangguan roh halus,
5. Rajah digunakan untuk membuka hutan, memasuki hutan, membangun rumah untuk
menaklukkan roh gaib.
6. Jampe digunakan untuk mengobati (1970)
Uraian selanjutnya akan menggunakan klasifikasi tersebut ditambah kidung
(digunakan untuk ruwatan) sawer (seperti tersebut di atas) dan teluh (digunakan untuk
membinasakan orang lain). Klasifikasi-klasifikasi tersebut di atas tidaklah terpisah secara

tegas. selain mantra tersebut di atas ada pula mantra naratif yaitu cerita yang dipergelarkan
untuk upacara kelahiran dan penanaman padi yaitu cerita Sulanjana dalam pantun/lakon
wayang/wawacan, wawacan ogin dan wawacan samaun khusus untuk kelahiran, cerita
Batara Kala untuk ruwatan dalam pantun/lakon wayang/wawacan.
Jika mantra dipandang sebagai sastra, maka sastra menurut Damono : “... menampilkan
gambaran kehidupan; dan kehidupan merupakan kenyataan sosial.
(1979:1).
MantraMantra mendokumentasikan sejarah budaya,
sejarah keagamaan,
seni dan filsafat
masyarakatnya.
oleh karena penciptaan mantra secara mistis,
dalam mantra sangat
dominan gambaran keagamaan masyarakat penciptanya. Adapun kepercayaan/keagamaan,
tampak dari unsur yang diseru dalam mantra seperti kakek nenek yaitu, Nini Korojok
Koeong Aki Korojok Kosong, Nini Bagawat Hyang Sri Aki Bagawat Hyang Sri, Nini
Untang-Untang Aki Untang-Untang, Nini Kandayan Tani Aki Kandayan Tani, Nini Ambet
Jaya Nini Utu-Utu Aki Utu-Utu, Nini Oke-Oke Aki Oke-Oke, Nini Kuderuk Aki Kuderuk,

Nini Opong Aki Opong dan lainnya. Seruan kepada penguasa setempat misalnya; nu calik

diGunung Manik, nu calik di wetan Sang Ratu Giling putih, nu calik di kaler Sang Ratu
Inten putih, Sang Ratu Bebeng Lempeng, Sang Ratu Umpak-Umpakan dan lainnya,
seruan kepada kepercayaan Sunda Lama misalnya,
Sang Rumuhun,
sunan Ambu
Ratnararang, pohaci Lakea Larang, pohaci .”Mayasari, Pohaci Langgeng Sari, pohaci
Lugas putih, pohaci permu putih, pohaci Genclang Herang, pohaci Teteg Ireng, pohaci
Rangga Seah dan lainnya, seruan yang dilatarbelakangi agama Hindu/Budha Ong, Ahung,
Hong, Batara, Safari, Dewa Dewa Sang Jagat pratingkah dan lainnya, seruan yang
dilatarbelakangi Agama Islam, seruan kepada Allah, nama malaikat, nama .nabi, wali,
dibubuhkan petikan dari Al Qur’an, dan kalimat-kalimat suci. penyebutan tingkat sosial
manusia, ratu, menak, resi, pandita, guru, panghulu dan lainnya, nama tempat,
Cisadane, Cihaliwung, Mataram, Pakuan, Cirebon Girang dan lainnya, penyebutan
binatang, maung, ungkut-ungkut, banteng lilin dan lainnya, penyebutan nama tumbuhan,
solasih, sembung, gadung dan lainnya. Rupanya penyebutan tingkat sosial manusia,
nama tempat, nama binatang, nama tumbuhan, selain fungsi irama dan estetika bunyi,
mengandung latar belakang dan maksud tertentu. Misalnya nama tempat Sabrang,
Palembang, Mataram, Laut Kidul memiliki citra jelek. (Ada peristiwa apa di balik
itu?).
Mantra pada dasarnya merupakan karya lisan walaupun ada mantra-mantra tertulis.

Dalam kelisanannya terjadi dua gejala yang kuat yang saling bertentangan. Gejala pertama,
konsep dasar mantra yang berasal dari pencetus sangat tipis sekali kemungkinan terjadi
perubahan dalam proses peralihan dari penghayat ke penghayatnya di setiap
generasi
karena mantra secara konvensi tidak boleh diubah supaya tetap bertuah. Dengan demikian
kita bisa melihat gambaran kepercayaan/keagamaan seperti yang sudah disebutkan di atas,
konsep budaya lama misalnya mendahulukan perempuan (lady first) seperti penyebutan
Nini selalu didahulukan daripada Aki dan lainnya.
Kedua, penyimpangan secara alami terjadi juga karena yang diandalkan hanya
daya ingat. selain itu alat bicara penutur yang kurang sempurna, alat dengar penerima
yang kurang baik, pergeseran bahasa sehingga menimbulkan penafsiran yang salah dari
penghayatnya. Contoh varian-varian di bawah ini, Nini Korojok Kosong Aki Korojok
Kosong (Talaga) Nini poronyo Kosong Aki poronyo Kosong ( Kokonyo dan Colonyo)
(cikalong), Nini Bagawat Sang Hyang Sri menjadi Nini Bagawat Cangcri Aki Bagawat
Cangcri (Talaga),
Nini Bagawat Sangsi Aki Bagawat Sangsi. Teja mentrangan, kaca
mentrangan, gajah mentrangan dari raja mentrangan. Dilihat dari persamaannya mantramantra di berbagai daerah rupanya proses penyebaran (diffusio n)
yang terjadi bukan
penciptaan yang paralel (parailel invention). perubahan/ kepercayaan pun tidak merubah
konsep dasar mantra tetapi penghayat menjadi pencetus dengan menambahkan unsur latar

belakang kepercayaannya sehingga dalam mantra sinkretisme tampak jelas.
Keterangan mengenai mantra dalam sumber tulisan disebut-sebut seperti di bawah ini
Dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang penulisannya tahun 1440 saka atau 1518 M
sebagai berikut:
Hayang nyaho di sakweh ning aji mantra ma: jampa- jampa, geugeui(ng), susuratan,
sasaranaan, kaseangan. pawayagahan, puspaan, susudaan, hurip-huripan, tu(n)duk
iyem, pararasen, pasakwan, sing sawatek aji ma
sang brahmana tanya. (Danasasmita,
1987: 85).
Dalam Amahat dari Galunggung (pemberian judul oleh Danasasmita) yang disampaikan
oleh Rakeyan Darmasiksa. Rakeyan Darmasikea memerintah tahun 1175-1297 Masehi,
“Jampe mwa matih, mangmang sasra guna, patulis tawur tan mretyaksa ku padan ngalawan
sipat” (ibid: 120). Dalam Naskah Ciburuy lainnya; ditulis sebelum abad 17:

hala hidep hala tenang
manueya neluh ngaracun
ngagunaan mijaheutan (Partini, 1988; 22)
Dilihat dari roh-roh yang diseru dalam mantra, mantra lahir jauh sebelum keterangan
tersebut di atas.
Ada keterangan lain dalam naskah tentang diciptakan mantra yaitu dalam

naskah kolekei EFEO nomor 1565 Ms 19d.
Lan kaping sapuluh nama sang ratu shahadat buyut lingkung sang parmu putih sang
ratu parkasa jati. Eta nama eukeurna ngarsakeun adamel sakehe pupujian, sakehe
basa jaja(m)pean.
Gambaran di atas tampak gambaran pandangan masyarakat Sunda Lama periodisasi Islam
tentang mantra.
Ada gejala bahwa mantra berasal dari Kitab Ajaran Agama/Keagamaan contohnya,
mantra pengurung hujan diambil dari surat Al-Fill (terdapat di Kabupaten Bandung), pekasih
yang dicuplik dari surat Yusuf dan lainnya (Ke-duanya dari Kitab Qur’an). Kidung Salamet
yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat berasal dari Tarekat Adam dalam punika
Kitab Tarekat (lihat lampiran)
2. Raja dalam Kedudukannya
Di daerah pasundan terdapat rasa kegandrungan ke-pada masa lalu dengan
pengungkapan yang tulus dan bangsa “seuweusiwi Siliwangi”, apakah fenomena ini ada
kaitan sebab akibat peristiwa. Beberapa keterangan di bawah ini tentang raja dan
kedudukannya relatif memberikan gambaran terhadap pertanyaan di atas.
Sinonim dari kata raja, ratu (paling produktif dalam mantra dan naskah Sunda dari
istilah lainnya) nata, narendra, Sang Katong, aji/haji, prabu/prebu, bupati, dalem, menak. Di
dalam Sanghyang Siksa Kandang Raresian dipaparkan secara terperinci aturan perilaku hulun
(abdi) baik lahir maupun batin dalam rangka mengabdi kepada raja, merupakan darma yang

ada kaitannya dengan dosa dan pah’la. Citra mulia terhadap raja tak mungkin mendarah
daging jika hanya didasari mematuhi dogma, karena setelah sistem kepercayaan bergeser
kebanggaan pun pudar pula.
Ada beberapa pegangan kaprabonan yang masih tersisa di antaranya bahwa raja
dalam menjalankan
pemerintahan tunduk kepada dewa (sanghyang Siksa
Kandang
Karesian tentang Dasa prabakti). Perilaku hulun kepada raja kaitannya dengan agama dan
raja dalam menjalankan perintahnya pun tanggung jawab keagamaan pula. Sisa-sisa yang
masih tampak misalnya istilah narendra (laki-laki dari keindraan, atau wakil dewa ?).
Dalam mantra dengan jumlah yang cukup banyak susunan itu masih tampak, bisa mengarah
ke atas bisa pula sebaliknya
Contoh: beunang guguru ti ratu
beunang nanya ti dewata
geusan ngangkus sewu ratu
geusan ngangkus sewu dewata
Dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian raja-raja berkewajiban menjalankan Dasa
Kerta yaitu menjaga telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, tumbung,
baga purusa dari pintu bencana dasar neraka. Dalam Amanat Galunggung (menurut
terjemahan Danasasmita) ada peringatan keras yang ditujukan kepada

raja bahwa “lebih
berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada raja putra, bila kabuyutan jatuh kepada
orang lain”, pernyataan tersebut jika dilihat dari isi amanat lainnya, bukan saja kabuyutan
secara fisik yang harus menjadi perhatian, akan tetapi pegangan hidup kaprabonan yang
dijunjung tinggi leluhur harus dipegang teguh. Adapun pegangan raja di antaranya
“pemerintahan tanggung jawab Sang Prabu, Jangan berebut kedudukan jangan berebut
penghasilan, jangan berebut hadiah. (Rama, resi, prabu (tritangtu) bersama-sama
berbuat kemuliaan dengan perbuatan ucapan it ikad yang
bijaksana, selalu berdasarkan

kebenaran yang hakiki yang sesungguhnya, memikat hati, suka mengalah, murah senyum,
berseri hati dan mantap berbicara. Bagi tua dan muda jangan berteriak jangan menyindirnyindir dan menjelekkan sesama orang,
Jangan berbicara mengada-ada,
agar unggul
perang dan lama berjaya maka sempurnalah agama, kasih sayang kepada sesama manusia”.
Maka jika ada raja yang menjalankan darma yang sesungguh-sungguhnya tidak anehlah jika
ada kenangan yang tak pernah pudar terhadap seorang raja. Ungkapan lisan lainnya yang
menjunjung tinggi kedudukan raja; ratu tara muguran
menak tara ngarangrangan, terus
ing ratu rembes ing kusumah, guru ratu wang atuwa karo. Guru yang mana yang melebihi

tingkatan raja ? Guru yang menyerahkan tahta, lalu pergi ke hutan untuk mendekatkan diri
kepada Yang Mana Memiliki atau guru yang berasal dari keluarga raja, yang tidak mabuk
kekuasaan tetapi memilih pertapaan. Seperti dalam naskah Sunda lainnya “... bersakitsakit di hutan, bersakit-sakit hakekat yang satu memikir-mikirkan yang tidak tahu” (Partini,
I988: 50).
Dilihat dari sudut penciptaan, mantra .merupakan pencetusan rasa keterbatasan
kemampuan pada diri manusia dengan setulus-tulusnya kepada yang dianggap memiliki
kekuatan agar tercapai harapannya, Menurut Teeuw; Tanpa mengetahui latar belakang
konvensi sastra pembaca tidak mempunyai jalan masuk, ke hakikat sebuah karya (1984: 61).
Pembayangan realitas keagamaan dan pandangan hidup masyarakat pencipta sangat dominan
dalam mantra, Unsur yang diseru dalam mantra membentuk mantra secara stereotipe,
misalnya Semar untuk tipe mantra
pekasih, Nabi Dawud untuk mantra suara dan lainnya.
Ratu banyak disebut-sebut dalam mantra. Bagaimana figur ratu dalam mantra?
3. Figur Raja dalam Mantra
“Struktur, penulis, pembaca dan kenyataan seringkali berhubungan erat satu sama
lain (Teeuw, 1984: 58). Untuk mengungkapkan figur ratu dalam mantra perlu memaknai
mantra dari sudut pandang yang kompleks.
Dalam mantra dilihat selain pendekatan
obyektif dilihat pula dari makna yang relatif mendekati pencetus pertama,
makna dari

pemaknaan penghayat yaitu makna maksud dari setiap jenis mantra, dan kaitannya dengan
kenyataan. untuk itu disajikan hasil suntingan mantra dengan perbaikan ditulis di dalam
kurung. Jika terdapat variannya dipilih mantra yang paling arkhaik dari segi bahasanya
yang paling lengkap dan yang lainnya hanya dicuplik larik yang mendukung figur ratu
karena maksud mantra secara menyeluruh sudah terungkapkan melalui judul.
1) Keberadaan Ratu Galuh
Punika Jampe Nyitu atawa Nyusuk (Ini jampe membuat danau)
Pun kawlu run (kawruh) amit anebut ...
Buyut Galuh ratu kahung anu ngawindu anu ngawisesa di buana jagat kabeh, dideuleu
kawas nu hanteu diteang kawas nu aya, horenganan nya eta anu diwisesakeun sorangan di
buana jagat kabeh rep peuting ngaran naga sosopan rek beunang ngaran sang buta siang
ngaran beurang ngaran hujan (hujaran), sang ratu bojajalma awak werang wentis (wenteh)
ku kitu apa awak werang teja mula
akasa
sira acining hening nu herang nu tapa di
Sangiang Kala keuna kahahamokaha (1565 Ms 19 d)
(Mohon ampun, diberitahukan, mohon izin menyebut ... Buyut Galuh Ratu yang
diagungkan yang menitis menguasai jagat raya, di indra (penglihatan) seperti tidak ada,
dicari seperti ada, ternyata yaitu yang dikuasakan menyendiri di jagat raya, jika malam
bernama Naga Sosopan jika siang Sang Buta Beurang konon, Sang Ratu bojajalma (dengan

bentuk) .badan membesar (tersebar) dengan bentuk hakiki karena badan menyebarkan
sinar angkasa yang paling awal, beliau sari kesucian yang terang yang bertapa di Sang
Hyang Kala (seiring waktu ?) tidak terkena apa-apa (?)
Tentang keberadaan Ratu Galuh, dihubungkan dengan asal mula keberadaan manusia
dalam keterangan sebelumnya memberikan gambaran yang relatif jelas.

Punika Waruga Lemah nu medal Sang Hyang Hanteu, enya ti aing ules-ules putih basa
jagat hanteu acan aya, enya ti aing anu geus diayakeun ti heula, basana dijanti,
dipanggirikeun dipasang di awang-awang aing ngenggon di nu kosong nicakeundi nu hanteu
aya baya-bayana ku aya dewata oge hanteu acan aya da aing eukeur miraga sukma sang
lenggang // mulinang aya ti aya ka hanteu aya wit miraga mula Tanana (tan ana) manana
mula wisesa enya aing anu diwisesakeun sorangan dibawana (di buwana) sajagat kabeh
dukuh aing ngaranna Sang Yuga Sang Rasik Seda. Aing asup ka Tanana (tan ana) tanah ka
aya ka pangiuh jeung bayu pituturna Sang Barsapona Ulon Bojongsoang Sargeh Gandawati.
(Ini Waruga Lemah (bentuk bumi) yang terjadi (dari) Sang Hyang Hanteu (ketidakadaan),
seperti (juga) aku yang berupa putih semasa jagat belum ada, akulah yang sudah
dijadikan lebih dahulu, ketika mula-mula (dijati?) dimuliakan (derajat manusia mulia dari
mahluk lain ?) disimpan di angkasa, aku menempati kosong tempat berpijak di termpat
yang tak ada bahaya (yang tidak digoda hawa nafsu ?), dewata belum ada,
sebab aku
menempati raga sukma
Sang Lenggang Mulinang (Yang Suci tak bisa di indra ?), ada,
dari ada ke tidak ada, mula-mula menempati raga mula Tan ana (ada hubungan dengan
Tanana dalam cerita Batara Kala?) rusak mula wisesa (kewisesaan permulaan manusia,
yang dimuliakan),
yaitu akulah yang dikuasakan menyendiri di dunia sejagat raya,
tempatku bernama Sang Yuga Sang Rasikang Sargeh Gandawati. perjalanan manusia yang
ada di dunia sekarang menurut mantra di atas, dari Ada yang tan ana (yang tak berwujud)
beralih ke Ada yang aya ka pangiuh (Ada yang me-maeuki kurungan/raga). Sedangkan
Buyut Ratu Galuh, sudah berada di alam peralihan yang lebih tinggi
yaitu Acining hen
ing nu herang (Sari kesucian yang terang).
Tidaklah dibuat-buat jika menafsirkan sastra-sastra lama dengan membuka secara simbolis.
Mantra di atas, membuka tabir, bahwa tokoh Tanana (Cerita Batara Kala)
yang
mengakibatkan turunnya kama salah (sebenarnya tan ana) Bahwa kehidupan manusia yang
dirongrong oleh hawa nafsu sebenarnya tan ana (maya) untuk menuju kehidupan yang Ada
(keabadian). Konsep Ada dan tidak Ada dalam bentuk lain banyak dibahas dalam naskah
Sunda lainnya di antaranya dalam Babad Cirebon (pandita Sawang) (KBN YR no 804).
(Lampiran III)
Keberadaan Buyut Ratu Galuh Ada yang kembali menempati Ketidakadaan dalam tingkatan
Acining Hening nu Herang (Sari Kesucian ayng Jernih). 2)
Kodrat Ratu
Bismillahirrahmanirrohim
pun sapun amit ampun (Mohon ampun)
ampun neda ka Nu Agung (mohon ampun kepada Yang Agung)
tobat teh ka Ku Kawasa (bertobat kepada Yang Maha Kuasa)
tumut ka Jungjunan Agung (menuruti jungjungan Agung)
ka Kanjeng Nabi Muhamad (kepada Kanjeng Nabi Muhammad)
nu dianut pedah ratu (yang dituruti karena rasanya)
nu disembah putra menak (yang disembah putra bangsawan/raja)
dianut pedah ratuna (dituruti sebab ratu)
disembah pedah menakna (disembah karena menak/raja)
(Sawer buhun dari Sagalaherang Subang), variannya Sawer Sunat dari Cikalong).
...Seuweu ratu nu diemut (putra ratu yang diingat seuweu menak nu disemed (disembe)
(putra hangsawan/raja yang disembah)
disembah ku pada menak (disembah oleh sesama bangsawan)
dedeg jaya karantenan (perkaea jaya keturunannya)
jaya ka buana (membawa kejayaan dunia) di buana panca tengah (di dunia)...
Kodrat raja keberadaannya untuk disembah, diabdi, karena membawa kejayaan dunia
sesuai dengan konsep dasa prabakti dan konsep narendra. dibedakan dengan manusia pada
umumnya. Dalam rajah carita pantun Kembang panyarikan (KUningan):

nu lembut mah seuweu ratu (yang halus putra ratu)
nu badag mah seuweu kaula (yang kasar putra rakyat biasa)
3) Raja Ukuran citra Tertinggi
Asihan aing Pamanahrasa (pekasihku pamanahrasa)
dipanah beunang nyawana (dipanah kena nyawanya)
rempug pulusna (pucusna) rempag bayahna (haneur hatinya terbelah paru-parunya)
pegat rantunan (putus ikatannya)
angenna seuweu ratu (ulu hati putra raja)
komo rusuk (kumurusuk) seuweu menak komo hayang (pikiran putra raja mengembara
berangan-angan cinta)
upadi seuweu dewata (mencari putra dewata (pamanahrasa?)
teka welas teka asih;. (datanglah belasdatanglah kasih)
sih asih ka badan aing (mengasihilah kepada diriku)
(Asihan dari Banjaran)
Mantra di atas mengingatkan kepada tokoh pamanahrasa pada sayembara Putri
Mrajalarangtapa yang digandrungi putri-putri raja. Raja merupakan ukuran ketinggian
citra. Mantra semacam ini terdapat pada asihan Sagalaherang, Sumedang,
Cikelet,
Cikalong. Contoh mantra yang lain :
...seuweu ratu kaparigi
seuweu menak kabancana kabancani...
4) Ratu Memiliki Bentuk Lahiriah yang Menarik
Bentuk lahiriah yang menarik dari figur raja dalam mantra, antara lain duduk,
tersenyum, paras, cara berkain, bentuk badan (bungkuk), hentakan kaki, rambut.
Haji dedeg haji tanjeur (raja perkasa raja unggul)
haji tanjeuran jati (raja unggul sejati)
Raden Jaya Suwarna ( emas terindah)
Sang Perebu Dene Cereme
inya bekas manik (beliau permata: Indah)
sangkuligar padang (pancaran (?) terang)
sangkuligar putih (pancaran putih)
bungkuk ratu tenjrag menak (bungkuk raja hentakan kaki bangsawan)
clak putih asihan katalagaan (menetes putih asihan ketalagaan)
(Asihan, dari Talaga)
Cuplikan mantra lainnya:
Kinasihan Ki Bagusrangin (Dikasihi Ki Bagusrangin)
(Asihan, dari Banjaran)
Diuk aing diuk ratu (dudukku duduk raja)
caling aing calik ratu (dudukku duduk raja)
... (Asihan, dari Banjaran)
Seuri aing Gunung Jati (tertawaku Gunung Jati)
emut (imut) aing Ratu Galuh (senyumku Ratu Galuh)
... (Asihan, dari Sumedang)
Adapun mantra berminyak atau bersisir merata di
variasi. Contoh:

seluruh daerah ada dengan berbagai

Bismillahirahmanirrahim
minyak aing minyak watu (minyakku minyak batu)
meunang guguru ti ratu (hasil berguru dari raja)
meunang nanya ti dewata (hasil bertanya dari dewata)
seuweu ratu jadi asih (putra raja menjadi kasih)
seuweu menak pada hayang (putra bangsawan bersama-sama mengangankan)
mangka welas mangka asih (semoga belas semoga kasih)
asih ka badan awaking ( mengasihi diriku)
( Asihan, dari Sagalaherang) .
Lahiriah raja yang menarik mengingatkan pada Amanat untuk murah senyum,
hati, muka merupakan cerminan hati.

dan berseri

5) Raja Pemberi Restu Keselamatan dan kesejahteraan
Raja diseru pada jangjawokan pengantin, memotong tali ari-ari untuk meminta restu
keselamatan dan kesejahteraan. Contoh:
Ya hu ngirab (ngirib) sawujud ( wahai miriplah sewujud)
karoneng tunggal sajati (serba kuning tunggal sejati)
Sang Kiyai panganten Kuda Laliyan patah ingsun Sang Kamajaya lan Ratik (ikatlah aku
(seperti) Dewa Kamajaya dengan Dewi Ratih)
kang angsung cahya hiyang jaya pratingkah (yang mempersembahkan cahaya indah
kejayaan)
para dewa pada mara (para dewa berdatangan)
turut kukus ing dupa (menuruti asap dupa)
pada paring rupa (bereama-sama menganugrahkan rupa)
Hong ilaheng awignam (awighnam)
astu Nama Siddhi (OM ilaheng semoga tidak ada
godaan)
(Jangjawokan Pengantin, dari Sagalaherang),
Prabu Taji Malela, susunan Gunung jati, Haji sulaeman.
7) Raja Pengatur Kesejahteraan
... Allahuma Guruminda
Perebu Lutung Kasarung
neda jejel ne’da tanggel (mohon padat mohon tahan)
ulah unggut kalinduan (jangan goyah karena goncangan)
ulah gedag kaanginan (jangan goncang terkena angin)
... ( Jangjawokan bercocok tanam dari Banjaran)
... bul kukus kadering (kaider ing) menyan (kepul asap penyebar kemenyan)
di buana panca tengah ( di dunia) ka Seda ka nu sakti ( kepada Seda yang sakti)
tegesing ratu rembesing kusumah (raja sejati terdarah kusumah)
abdi nyuhunkeun pangdongkapkeun ( saya mohon sampaikan)
ka Sunan Ambu Ratna Rarang (kepada Sunan Ambu Ratna Rareng) ...
(Jangjawokan tandur, dari Cikelet)
BismillahirramanirrahTm
Anggalarang ulah gedur ulah reuwas (Anggalarang jangan kaget jangan tercengang)
... ( Jangjawokan nyawen (menutupi beras dengan daun) dari Talaga)

Figur raja dalam mantra lebih jelas lagi dalam Wawacan Sulanjana, tokoh Raja
Siliwangi mendapat tugas dari Dewa sejak penanaman padi. sampai penggunaan padi
untuk rakyat.
prabu Siliwangi menolak padi untuk diperjualbelikan karena
padi
merupakan bahan makanan pokok yang menyangkut kesejahteraan umum. (Kalsum, 1983|
247) (Viviane, 1985: 2). Puasa ratu, puasa yang ada kaitannya dengan makan nasi yang
tidak berlebihan dan dilakukan seumur hidup.
Diserunya raja dalam mantra sebagai
permohonan supaya hasil pertanian dapat mensejahterakan.
Adapun raja yang diseru,
yaitu: Anggalarang, prebu Lutung Kasarung, dan raja pada umumnya. Jadi, raja secara
umum sebagai pengatur kesejahteraan. Secara menyeluruh mantra bercocok tanam ada
hubungannya dengan cerita sulanjana, secara umum dalam mantra dinyatakan “nitip Sri
di bumi” (menitip Sri di bumi) .
Jangjawokan untuk memotong tali ari-ari dari Sagalaherang menyeru Kian Santang
dan Gagak Lumayung. Mantra untuk memohon keselamatan lainnya, yaitu: Kidung
siliwangi (dari Cibodasdas Kecamatan Majalengka), Sahadat Sunda menyeru Kusumah
Sanusa Jawa ( Sagalaherang) .
6) Raja Sebagai Pelindung Hutan
Raja diseru dalam singlar, tumbal, dan jangjawokan, untuk memasuki hutan
dengan maksud memohon keselamatan. Dalam mantra lain, roh-roh penghuni tempat
diseru supaya tidak mengganggu dan memberikan keselamatan. Berdasarkan analogi dengan
mantra-mantra tersebut, untuk memasuki hutan menyeru nama raja, maka figur raja dalam
mantra semacam ini sebagai pelindung hutan. Masih tertinggal bekas-bekas kebudayaan
lama, bahwa raja menguasai/melindungi hutan adanya leuweung larangan (hutan terlarang),
tanah ratu (tanah raja),
nama tempat Wanaraja (hutan raja), Rajamandala (wilayah
perlindungan raja). Contoh mantra:
Singlar aing singlar Pakuan (singlarku singlar pakuan)
prebu Kian Santang Sang Rumajang
Prebu Gagak Lumayung
Ong Bayu
kasinglar putri ayu (terhindari putri ayu)
Laillaha illallahu Muhammadurrasulullah
( Digunakan untuk masukhutan dan jika melihat harimau, dari cikelet)
Sang Ratu Hideung Keupeul
nu tapa na dampal leungeun (yang bertapa di telapak tangan)
Kian Santang kang lumajang (rumajang) (Kian Santang yang mencabik-cabik)
Papatih Gagak Lumayung Tuan haji Kudratullah (Tuan Raja Kudrat Allah)
(untuk memasuki hutan, dari Banjaran)
Mantra yang lainnya semacam itu, Tumbal Kagaluhaii, dari Cikupa kawali, digunakan
untuk segala hal terutama memasuki dan mengobati. Raja yang diseru, Ratu Galuh
8) Raja Memiliki Kekuatan Batin yang Tinggi
Raja memiliki kekuatan batin yang tinggi untuk mempengaruhi batin orang lain,
diseru pada mantra ajian untuk diperiksa di pengadilan, jangjawokan melucu, pangabaran
(supaya berwibawa di muka orang lain), menundukkan mahluk halus dalam panyinglar
kunti (penghsir kuntilanak).
Bismillahirrahmanirrahim
Nyi Dadru Nyi Bambrang Sera

siaulah lengok depong ka dieu (kau janganlah melihat mengintip-intip ke sini)
di dieu mah lain tahaneun (kahanan) sia (di sini bukan tempatmu)
di Sabrang di Palembang (di Sabrang di Palembang)
di laut Nusatengah (di laut Nusatengah)
sirah (sira) mati kunti anak (kau mati kuntilanak)
hurip saanak-anak sang ratu (hidup sejahteralah seluruh anak-anak (lindungan) Sang Raja)
lingkang (ingkang) buwana (di dunia) muras (murus) maris maring ingeun (mengasuh
dengan kasih sayang kepadaku)
clag hurip sia ulah lengok depong ka dieu (pergilah, hidupmu jangan mencoba-coba di
sini)
di dieu mah lain tahaneun (kahanan) sia (di sini bukanlahtempatmu)
tuh di ditu di tetelan mega malang ( di sanalah di tetelan mega malang)
(pengusir kuntilanak, dari Banjaran).
Ong galudra tumpuk (tumpak) di muka (OM Garuda (tunggangan Wisnu) tunggangan di
muka)
nya biwir capit kapiting (bibir capitan kepiting)
ciduh aing sakaracak geni (ludahku sekobaran api)
kiceup aing marangi (marangi) kilat (kedipanku seperti kilat)
batuk aing sada gugur (batukku suara guntur)
sora aing sada gelap (suaraku bunyi geledek)
diuk aing tandaning langit (dudukku bercirikan langit)
napsu sia henteu tulus beh tanya (nafsumu tak jadi bertanya)
bawana welas karunya ka raga anaking (perbawanya kasih sayang ke badan ananda)
aing pangabaran eyang prabu Siliwahgi (akulah pangabaran Eyang Prabu Siliwangi)
sajagat kabeh sahiji (sejagat raya satu)
saraga sanyawa jeung Ashaduallaillahaillallah Waashadu anna Muhammadarasulullah
(sebadan senyawa dengan ...)
(pangabaran, dari Kiarakohok, Cikelet).
9) Raja Menurunkan Kekuatannya kepada Keturunannya sehingga jika” Menyeleweng
Memiliki Kekuatan pula
Raja Galuh nu di Jampang (Raja Galuh yang beraaa di Jampang)
raina Sang Ratu Banjaransari (adiknya Saiag Raja Banjaransari)
dewata nu langkung agung (dewata yang paling agung)
parawan langkung hade (perawan yang baik)
bareng ngaping gaduh Jenggala nu tunggu (bersama-sama mengaping Jenggala yang
menunggu)
dewa nu aya di Renghae (dengan dewa yang berada di Renghae)
anu jenengan Sang Raja Pering (yang bernama Sang Raja Pering)
Sindulak Sipahanjingan
Guha Lepas nu ngaraksa Raden Dewi (Guha Lepas, Raden Dewi lah yang menjaganya)
Ratna Mindolarang Ratu (Ratu Ratna Mindolarang)
lenjang ing hade sadaya (cantik semampai)
Ratu Teluh Sang Brahma geus kamashur (Ratu Teluh Sang Brahma termashur)
basisir kidul pernahna (di pesisir selatan letaknya)
eta nu boga abdi (dialah yang memiliki anak buah)
Kabeh pada carita (Semua bercerita)
Roro Kidul eta nu kagungan abdi (Roro Kidul itulah yang memiliki anak buah)

saturut basisir Kidul (sepanjang pantai Kidul) ...
(Kidung Ruwatan Wawacan Batara Kala,
Majalengka)

naskah milik Kaim Suk
atma Cibodas,

Adik Raja Banjaransari yaitu Roro Kidul diseru dalam mantra teluh. Kekuatan: gaib yang
dimiliki oleh anggota keluarga raja bila digunakan dalam hal yang negatif akan memiliki
tuah pula. Hal ini sejalan dengan teluh yang didokumentasikan oleh Rusyana, yaitu
“Paneluhan pakuan pajajaran jeung pamulangkeunana” (1970: 77), Nama Pakuan dianggap
mengandung kekuatan magis oleh penghayat mantra. Citra Roro Kidul pada mantra Lais
Cikalong tidak mencerminkan citra yang jelek.
KESIMPULAN
1. Mantra merupakan fenomena yang ada kaitannya dengan
sejarah kebudayaan, keagamaan, seni dan filsafat.
II. Figur ratu/raja/pemimpin dalam mantra
1. Keberadaan Ratu Galuh ada tapi menempati ada dalam ketidakadaan.
2. Kodrat raja untuk diabdi.
3. Raja sebagai ukuran tingkat citra tertinggi.
4. Raja memiliki bentuk lahir yang menarik.
5. Raja pemberi restu kesejahteraan.
6. Raja pelindung hutan.
7. Raja pengatur Kesejahteraan (dihubungkan dengan mantra untuk pertanian).
8. Raja memiliki kekuatan batin yang tinggi.
9. Raja menurunkan kekuatan batinnya sehingga
jika digunakan untuk penyelewengan
memiliki kekuatan yang tinggi pula,
III.
Nama Raja yang disebut-sebut; Siliwangi,
Banjaransari, Anggalarang,
Kean
Santang, Taji Malela, Bagus Rangin, pamanah Rasa, Gagak Lumayung, Lutung
Kasarung, Kuda Laliyan. prebu Dene Cereme.
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
Kidung salamet (Dicuplik dari Wawacan Sulanjana, Majalengka)
Biemillahirrohmanirrohim
Ana Kidung rumeksa ing wengi
...
ingideran widadari
rinaksa ing malaikat
sakatahe rosul
Nabi antemahna tunggal
ati Adam uteku Bagenda Sis
pangucapku Nabi Musa
Ing napasku Nabi Isa linuwih
Nabi Yakub pamiarsa ningwang
rupaku ing Nabi Yusuf mangko
Nabi Daud suaraku Yang Sulaeman ksakten mahi
Nabi Ibrahim nyawa ningwang

Idris ing rambutku
Bagenda Ali kulit ing wang
Abubakar getih daging singgih
alungku Bagenda Usman
Ing sumsumku Dewi patimah
kang minangka rahayu ning jasad
Ayub minangka ususe
....
LAMPIRAN II
Punika Tarekat Adam (punika Kitab Tarekat KBN YR no 807)
Bismillahirrohmanirrohim
Ane sirullah ya Allah ya Allah ya Allah
pangambung isun isropil
paningal isun Ijroil
pamiharsa isun malakalmaut pangucap isun
Harun ambekan isun
...
Adam dedeg isun
Muhamad bismi isun
Icis sirah isun
Idris catur isun
Sulaeman nyangkem isun
Sueb tangan isun
Yunus lambung isun
Yueuf pupuh isun
Abubakar rarahi isun
Umar kulit isun
Usman getih isun
Ali daging isun
LAMPIRAN III
Babad Cirebon/pandita Sawang (KBN YR noj 804)
...
nu caang jeung anu caang
tatapi eta dinyana
geus tangtu aya nu nyumput
di dinya mah kuma dinya
jeung caang teu bisa jadi
lamun taya kolongna mah
teu hurung eta caang teh
bisa soteh jadi caang
nya eta ku suwungna caang
dijieun ku suwung
suwung dijieun ku caang

DAFTAR PUSTAKA
Ahdiati Ikram.,
1980 -Hikayat sri Rama, Universitas Indonesia. Jakarta,
Danandjaja, James. ,
Folklor Indonesia, PT Temprint, Jakarta.
Danasasmita, Salch dkk.,
1987
Sewaka Parma, Sanghyaag Siksakandang Karesian,
Amanat Galungguhgr Sundanologi, Bandung.
Faruk HT.,
1988
Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra, P.D. Lukman Ofset. Yogkarta
Fatimah Djajasudarma Idat, Dr. T.f
1988
Semantik I, II, Fakultas, Sastra Unpad, Bandung.
Haryati Soebadio.,
1985
jnanasiddhanta, Ddambatan, Jakarta.
1985
Analieis wawacan sulanjana dari-Kecaiiatan Majaiir
lengica (skrlpel), faKultas Sastra Unpad, Bandung.
Kosoh Sf Dre, dkk.,
1979
Sejarah Baerah Jawa Bar at, pep. p dan %, proyck penerbltan Buku Bacaan dan
Saetra Indonesia dan Daerah, Jakarta.
Mardiwareito, L.f
^81
gam us Jawa Rung- Indonesia, Kusa Indah, Ende-Plores.
Maryati Sastrawidjaja, dkk.,
1988
Sastra Lisan Sunda Kabupaten Bandung (Lanjutan) Pakultas Sastra Unpad,
BalfurTg.
Mulyono, Tr Sri.,
1982
Apa & Slapa gemar, PT Inti Idayu prese, Jakarta.
Martini sarjono, prof. Drf dkk.,
1987
Naskah sunda Kuna, Sundanolbgi, Jawa Barat.
prawiroatmojo.,
1981 Bausaetra ^ Jawa- Indonesia I, II, Gunung Agimg» Jakarta.
Rochaeti, Etti.,
1984
Fungsi dan peran wawacan Batara Kala (skripsi)
Fakultas Sastra Unpad, Bandung.
Rosidi, Ayip.,
Car it a Kembang p’anyarikan, Dipantuakan oleh Ii
Kamal (Lebakwajogi, Kunlagan) p proyek penelitiafi Pantun & Folklor Sunda.
Rueyana,
1970
.,
Bagbagan puiai Mantra
pantun & Folklore sunda, Bandung.
projek penelitian
gobari, Adjun., .... , 1986
Satu Kajian Struktur puisi Asihan Studi I as us di 3)esa
Regol Wetan Kecamatan gumedang Eabupaten Sumedan^ (skrlpsl),
Fakultas Unpad,
Bandung.
gunarto H. & Yiviane Sukanda - 5?e8sier. ,
1983
Cariosan prabu Silihwangi, Lembaga p.enelitlan perancis untuk Timur Jauh,
Ecole D1 Extreme-Orient, Jakarta Bandung.

Teeuw, A. t
1984
Sastra dan Ilmu Sastra, pustaka Jaya, Jakarta,
yiviane sukanda - Tessier.,
1985
Siliwangi sebagai Figur dalam Mite Dewi Sri/ padi Menurut sumber Lisan dan
Tertulis, Semi-nar sejarah dan Tradisi tentang prabu silin~ wangl, Bandung 2u~24 Maret
iyb5.
Vp^pwasito, s. prof. Drs.
1977
Kamus Kawi-Indonesia, CV pengarang, ^oetmulder, p. J. with the
collaboration of S.O Robson
1982
01 cl Javanese-English Dictionary, KITLV, Leiden, Neterlands.
1983
Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang, penerjemah “Dick Hartoko S3»
Jainbgtan.
Naekah;
1. punika Kitab Tarekat (KBN YR no 807 )
2. Babad “cirebon (pandita Sawang) (KBN YR no 804) 5. Tarekat satariyah (1595 Ms
19 d)
4. Vawacan Batara Kala (pemilikj Kaim Sukatma Cibodas Majalengka)