EFEKTIVITAS PLAY THERAPY BAGI SISWA YANG MENGALAMI PTSD (POST TRAUMA STRESS DISORDER) AKIBAT KONFLIK DI SMP BABUSSALAM ACEH UTARA.
DAFTAR ISI
DEWAN PEMBIMBING. ... i
ABSTRAK ... iii
PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
UCAPAN TERIMAKASIH ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1
B. Rumusan masalah... 9
C. Tujuan penelitian ... 9
D. Asumsi penelitian ... 9
E. Manfaat penelitian ... 10
F. Metodologi penelitian a. Metode penelitian ... 10
b. Populasi ... 11
c. Sampel ... 11
d. Tehnik pengumpulan data ... 11
e. Jenis data ... 12
f. Teknis analisis data ... 12
BAB II. TERAPI BERMAIN (PLAY THERAPY) SUATU PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN UNTUK MEMBANTU ANAK YANG MENGALAMI PTSD. A. Konsep dasar PTSD ... 15
1. Pengertian PTSD ... 16
2. Ciri-ciri utama gangguan stres pascatrauma ... 22
3. Metode yang digunakan dalam penangan PTSD ... 28
B. Resolusi Konflik ... 31
1. Resiliensi Konflik ... 37
2. Faktor-faktor resiliensi ... 43
C. Terapi bermain (play therapy) sebagai suatu model penanganan PTSD ... 49
1. Tahapan perkembangan bermain menurut para ahli ... 51
(2)
3. Jenis-jenis permainan dan manfaatnya bagi perkembangan anak ... 58
a. Permainan aktif ... 58
b. Permainan pasif ... 60
c. Permainan tradisional Aceh ... 61
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode penelitian... 64
B. Lokasi dan subyek penelitian ... 67
C. Prosedur penelitian ... 68
1. Observasi awal ... 68
2. Tahap refleksi ... 68
3. Tahap penyusunan rencana tindakan ... 69
4. Tahap pelaksanaan tindakan ... 69
5. Pelaksanaan evaluasi ... 70
D. Pengumpulan data ... 70
1. Jenis data ... 70
2. Tehnik pengambilan data ... 71
3. Instrumen pengumpulan data ... 72
4. Indikator keberhasilan penelitian ... 76
E. Alat pengumpulan data ... 76
F. Analisis data ... 76
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil studi pendahuluan dan analisis kebutuhan ... 79
1. Perilaku traumatik yang muncul sebelum pemberian tindakan ... 89
2. Deskripsi proses pemberian tindakan untuk membantu siswa yang mengalami trauma akibat konflik melalui play therapy ... 108
Siklus I d. Perencanaan ... 109
e. Tindakan ... 109
f. Observasi ... 111
g. Refleksi ... 112
Siklus II a. Perencanaan ... 113
b. Tindakan ... 114
c. Observasi ... 115
(3)
Siklus III
a. Perencanaan ... 121
b. Tindakan ... 122
c. Observasi ... 123
d. Refleksi ... 126
3. Deskripsi perilaku siswa setelah pemberian tindakan berdasarkan instrumen PTSD yang digunakan ... 127
B. Esensi konseling dalam terapi bermain ... 135
C. Pembahasan hasil penelitian ... 137
1. Bentuk stres yang muncul pada anak berpengalaman traumatik ... 142
2. Efektivitas terapi bermain bagi anak-anak yang berpengalaman traumatik ... 144
3. Kelemahan dari pendekatan terapi bermain untuk anak yang mengalami PTSD ... 148
4. Resolusi konflik anak yang mengalami gangguan stres pasca peristiwa traumatik ... 149
D. Rancangan program terapi bermain untuk penanganan anak PTSD ... 150
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 169
B. Rekomendasi ... 172 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(4)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini perang kerap sekali terjadi di belahan dunia ini, yang telah
menyebabkan jatuhnya korban dari berbagai tingkatan strata sosial dan umur,
ironisnya seringkali anak-anak dan wanita yang menjadi korbannya. Bila dilihat
dari sejarah Indonesia merupakan sebuah Negara yang sering kali menjadi daerah
konflik, seperti di Aceh, Papua, Poso, Ambon, Tim-Tim yang kini lepas, dan lain
sebagainya. Muara dari konflik tersebut seringkali disebut pemicunya adalah
SARA, apakah sengaja diprovokasi atau tidak. Berbahayanya lagi yang terjadi
saat ini adalah bahwa waktu konflik itu tidak pendek, akibatnya bahkan terlihat
begitu panjang. Sudah barang tentu ini sering kali berdampak kepada dunia
pendidikan baik langsung maupun tidak, terlebih lagi dampak trauma yang
dirasakan juga amat panjang bagi korban konflik tersebut.
Ada keunikan antara korban bencana alam yang selama ini sudah disentuh
oleh pendidikan nonformal dengan korban akibat konflik. Pada dasarnya dampak
yang lebih dirasakan itu lebih banyak terjadi pada pasca kejadian tersebut terjadi
baik secara fisik maupun mental. Sebagai perbandingan adalah bahwa korban
bencana alam biasanya menganggap kejadian yang menimpanya merupakan
kehendak Allah, teguran dari Tuhan atau akibat alam yang marah karena
perlakuan mereka yang buruk terhadap alam. Namun ini berbeda dengan apa yang
(5)
Tuhan akan tetapi juga kepada mereka yang bertikai atau kepada apa yang mereka
anggap sebagai musuh, ada dendam yang selalu bertengger di hati mereka. Dari
sisi psikologis ini amat berbahaya karena akan membawa derita ini selama umur
hidup mereka dan juga berdampak kepada kehidupan mereka yang akan datang.
Konflik yang terjadi di Aceh selama kurun waktu 30 tahun merupakan
salah satu konflik berdarah yang berlangsung dalam interval waktu yang relatif
lama. Bahkan bila diruntut lebih jauh, Aceh dicabik-cabik oleh konflik dan
peperangan selama lebih dari 125 tahun yang dimulai dari gerakan perlawanan
rakyat Aceh terhadap Kolonial Belanda pada awal tahun 1870-an hingga periode
awal abad ke-20. Periode kekerasan berlanjut pada perang kemerdekaan RI,
perlawanan Tengku Muhammad Daud Beureueh pada periode pemerintahan
Soekarno hingga proklamasi Gerakan Aceh Merdeka oleh cucu Pahlawan
Nasional Tgk. Cik Di Tiro, yaitu Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976,
sekaligus menandai klimaks kekecewaan atas Jakarta di bawah administrasi
Soeharto. Dengan demikian Aceh terlibat dalam konflik anak negeri dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1976 hingga ditandatanganinya
MoU Damai antara Pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki,
Finlandia.
Konflik Aceh yang berkepanjangan telah menghancurkan seluruh sendi
kehidupan masyarakat Aceh. Puluhan ribu menjadi korban kekerasan, hancurnya
dunia pendidikan, hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak
berjalan dan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Konflik juga telah
(6)
masyarakat Aceh. Dampak konflik ini tentu membawa kerugian besar bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, upaya penyelesaian konflik Aceh
telah mulai dirintis sejak Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati dan dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, (SBY-JK).
Kondisi psikologis anak-anak yang berada di daerah pasca konflik tentu
berbeda dengan kondisi anak-anak di daerah yang lebih kondusif pada umumnya.
Anak-anak ini mengalami tekanan berat dan rasa trauma yang dapat mengganggu
proses perkembangan mereka. Seorang anak yang seharusnya mendapatkan
rangsangan-rangsangan untuk pertumbuhan fisik dan mentalnya secara optimal
pada masa-masa penting pertumbuhan seorang anak manusia ketika berumur 0 – 6
tahun, ternyata dalam daerah konflik rangsangan-rangsangan tersebut malah
berupa tekanan mental akan ketakutan datangnya musuh yang mengancam,
suara-suara letupan senapan, mortir-mortir yang membahana, teriakan-teriakan
ketakutan, pemandangan yang memilukan dan lain sebagainya. Dapat
dibayangkan betapa rangsangan-rangsangan yang diberikan jauh dari bagaimana
membangun potensi seorang anak secara optimal akan tetapi lebih kepada
membangun anak-anak yang berjiwa keras dan labil, ini tentunya amat berbahaya
apabila mereka tidak secepatnya ditangani dengan baik. Sesungguhnya dampak
konflik yang paling berbahaya adalah disini, ketika anak-anak tersebut tertanam
dalam jiwanya kemarahan-kemarahan, potensi inilah yang akan menyebabkan
(7)
Akibat dari berbagai peristiwa yang terjadi di Aceh, menjadikan anak-anak
Aceh mengalami gangguan secara psikologis. Banyak dari mereka yang tidak
dapat menikmati masa kanak-kanak nya dengan nyaman. Sebagai manusia yang
belum memahami secara batiniah apa yang terjadi di sekitarnya anak-anak
cenderung akan mengikuti apa yang lingkungan berikan kepada mereka.
Seandainya lingkungan mendukung mereka untuk melakukan hal-hal positif
anak-anak akan berbuat positif. Namun sebaliknya jika mereka mendapat perlakuan
negatif dari lingkungannya maka kesan-kesan negatif dalam dirinya timbul
terhadap situasi sekitar mereka.
Anak-anak di manapun mereka berada memang sangat tergantung sekali
pada keadaan lingkungan di mana mereka menghabiskan hari-harinya. Tidak
peduli apakah mereka anak korban konflik yang akrab dengan letusan senjata,
anak-anak di lingkungan kumuh yang hidungnya sudah kebal dengan bau busuk
sampah sekitar ataupun anak gedongan yang cuma bisa menghabiskan hari libur
piknik ke Singapore. Belum lagi ucapan-ucapan yang mereka dengar sehari-hari,
sedikit demi sedikit membentuk watak dan di kemudian hari mereka pun
cenderung mengucapkan kalimat-kalimat yang sama dengan yang mereka dengar
di masa kecil. Jadi sangat penting untuk menempatkan anak-anak pada situasi
yang positif, yang penuh semangat dan bernuansa saling membantu.
Begitu juga dengan anak korban konflik, walaupun mereka anak korban
konflik, apakah ayah mereka dibunuh, rumah dibakar, kakak-kakaknya dipukuli di
depan mata, namun pada hakekatnya mereka anak kecil yang masih dapat
(8)
konflik masih berada dalam kandungan alias belum dilahirkan. Beberapa kasus
ditemukan anak-anak korban konflik yang tidak sempat melihat ayahnya karena
kepala keluarga tersebut dibunuh dalam konflik. Bagaimana dengan mereka ini?
Apakah mereka akan dendam terhadap pembunuh ayahnya? Ataukah mereka
biasa-biasa saja tumbuh besar tidak ada beda dengan anak-anak lain? Mungkin
saja terhadap anak-anak korban konflik tanpa ayah ini perlu ada perlakuan khusus.
Namun tampaknya tidak semua orang beranggapan seperti ini.
Anak-anak korban konflik yang tersebar di beberapa wilayah rawan
gangguan keamanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) perlu
penanganan melalui pendekatan psikologis, sebagai upaya menghapuskan rasa
dendam dalam diri mereka. Bertahun-tahun anak-anak Aceh melihat, mendengar,
merasakan dan mengalami berbagai kejadian pahit selama konflik, secara sadar
pengalaman itu telah diinternalisasikan dalam dirinya. Situasi tersebut
mempengaruhi kondisi psikologisnya secara menyeluruh baik kognitif, efektif dan
prilaku. Bentuk-bentuk traumatik yang sebagian besar masih membayangi
kehidupan masyarakat, terutama anak-anak Aceh pasca konflik dan bencana alam
itu seperti rasa cemas berlebihan, rasa bersalah dan ketakutan.
Dalam tulisan Muhammad Nazar, dikatakan beberapa kondisi dilapangan
tentang pandangan orang tua terhadap anak-anak korban konflik ini. Beberapa
orang tua yang ditemui beranggapan tidak ada masalah dengan anak-anak korban
konflik. Secara kasat mata perilaku mereka sehari-hari tidak berbeda dengan
anak-anak lainnya. Mereka bermain bersama, sekolah bersama serta mempunyai
(9)
Sekdes Desa Riseh Tunong, sebuah desa di kecamatan Aceh Utara yang
dahulunya merupakan daerah konflik. Beliau menganggap anak-anak belum tahu
apa-apa. “Anak-anak tidak ada yang dendam, trauma. Apalagi mereka masih
kecil-kecil, belum tahu apa-apa. Buktinya sekarang banyak anak korban DOM
yang diangkat menjadi PNS, menandakan mereka tidak trauma.” Memang dari
sisi perilaku, beberapa anak korban konflik tidak mempunyai perbedaan yang
kentara dari anak-anak lain. Mereka juga bermain bersama dengan teman-teman
yang lain.
Namun anak-anak korban konflik yang umumnya kehilangan ayah sebagai
kepala keluarga keadaan ekonominya lebih memprihatinkan. Terlebih anak-anak
yang pergi sekolah yang tentu saja butuh seragam, buku tulis dan berbagai
peralatan lainnya. Situasi ekonomi keluarga kentara sekali tampak dalam
penampilan anak-anak sekolah. Guru-guru di sekolah dasar Negeri Blang Pante
Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, ketika ditanya tentang kondisi anak korban
konflik memberikan tanggapan. “Mungkin dari segi seragam sekolah yang
berbeda, pakaian mereka terlihat lebih kumuh karena kondisi ekonomi yang tidak
memungkinkan untuk membeli yang baru”. Namun di waktu-waktu tertentu
anak-anak dari daerah konflik akan memberikan sebuah ciri khas berdasarkan
keadaan lingkungan mereka semasa konflik. Misalnya dalam pelajaran
menggambar mereka cenderung menggambar benda-benda yang dulu lazim
berada di sekitar mereka. Seorang guru keterampilan sekolah dasar
menyampaikan fakta yang ditemuinya saat memberikan pelajaran menggambar di
(10)
dari masa konflik masih ada pada anak-anak. Jika mendengar suara meletus, ban
bocor misalnya, mereka akan merunduk dengan seketika persis kalau mendengar
bunyi bom saat konflik dulu”.
Lingkungan yang tidak kondusif tersebut telah menyita kesempatan
anak-anak tersebut untuk mengekspresikan diri melalui permainan. Mereka tidak bisa
bermain dengan bebas, karena rasa takut, was-was yang menghantui mereka.
Padahal pada tahap perkembangan ini, individu berkomunikasi, berinteraksi dan
pembentukan konsep diri dilakukan melalui permainan. Bermain sangat penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang manusia, baik masa anak maupun
masa dewasa. Tanpa bermain, seseorang akan bermasalah di kemudian hari.
Herbert Spencer (Catron & Allen, 1999) menyatakan bahwa anak bermain karena
mereka mempunyai energi yang berlebihan, Energi ini yang mendorong mereka
untuk melakukan aktivitas sehingga mereka terbebas dari perasaan tertekan.
Individu dapat mengembangkan rasa harga diri melalui bermain, karena dengan
bermain akan memperoleh kemampuan untuk menguasai tubuh mereka,
benda-benda dan keterampilan sosial ( Erickson, 1963 ). Individu bermain karena mereka
berinteraksi guna mengkreasikan pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan
individu berpikir dan menyelesaikan masalah. Individu bermain karena
membutuhkan pengalaman langsung dalam interaksi sosial guna memperoleh
dasar kehidupan sosial.
Perkembangan psikologis, seperti bagaimana cara anak-anak berpikir,
mengingat, belajar, menggunakan bahasa, apa yang mereka percayai, dan
(11)
dalamnya terdapat pula perkembangan emosional, seperti; bagaimana anak
bereaksi secara emosional dalam berbagai macam situasi, bagaimana anak
mempersepsi pertikaian yang sedang terjadi, serta bagaimana pula mereka
mengekspresikan atau berhadapan dengan reaksi emosi mereka sendiri.
Dari observasi awal peneliti menemukan beragam gejala traumatis yang
ditunjukan melalui perilaku anak. Terdapat beberapa anak perempuan yang
mengalami trauma akibat konflik, mereka menunjukkan perilaku diantara nya;
gemetar ketika mengungkapkan perasaan cemasnya, berkeringat dingin, mata
yang berkaca-kaca, kemarahan (dendam) yang terpancarkan dari raut wajahnya.
Dari berbagai perilaku tersebut peneliti menyimpulkan bahwa terdapat gejala
traumatis pada anak-anak tersebut yang harus ditangani secepatnya.
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan, video game merupakan alat yang
menjanjikan untuk mencegah kilas balik trauma yang pernah dialami seseorang.
Seorang psikiater dari Universitas Oxford, meminta sebagian partisipan yang
sehat untuk memainkan "tetris" sebuah permainan video game yang
mengharuskan pemain untuk membentuk barisan-barisan dari kotak
berwarna-warni, segera setelah menonton film yang mengandung unsur-unsur kejadian dan
gambar traumatis. Hasil penelitian menunjukkan, setelah menonton film tersebut,
partisipan yang memainkan video game lebih sedikit mengalami kilas balik
selama minggu berikutnya daripada mereka-mereka yang tidak main video game.
Penemuan ini, bisa menjadi acuan yang unik dalam menangani kelainan stres
pasca trauma (post-traumatic stress disorder) atau PTSD, Yang mana dihantui
(12)
mungkin salah satu penelitian di luar negeri yang mengungkapkan keefektifan
suatu permainan dalam mengatasi kilas balik kejadian truamatis. Di indonesia
baru-baru ini juga telah dilakukan penelitian untuk membantu anak-anak yang
mengalami pengalaman traumatis, melalui permaianan kelompok. Penelitian
tersebut dilakukan oleh Nandang Rusmana dan kawan-kawan, dari Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, peneliti merumuskan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Seperti apa Stress anak yang mengalami PTSD?
2. Jenis-jenis permainan apa saja yang digunakan untuk mengatasi stress
anak yang mengalami PTSD?
3. Seberapa efektif play therapy bagi anak-anak yang mengalami PTSD?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Seperti apa Stress anak-anak yang mengalami PTSD.
2. Jenis-jenis permainan apa saja yang digunakan untuk mengatasi stress
anak yang mengalami PTSD.
3. Seberapa Efektif Play therapi terhadap anak-anak yang mengalami
(13)
D. Asumsi Penelitian
1. Bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis, artinya bermain
digunakan sebagai media untuk menigkatkan ketrampilan dan kemampuan
tertentu pada anak (Plato dan Aristoteles).
2. Permainan menigkatkan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi
tekanan, menigkatkan perkembangan kognitif, menigkatkan daya jelajah,
dan memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara
potensial berbahaya.
3. Pada umumnya anak-anak menyampaikan isi pemikirannya melalui
permainan.
4. Beragamnya jenis-jenis permainan membuat anak lebih leluasa memilih
cara yang komunikatif untuk menyampaikan pendapatnya
E. Manfaat penelitian
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial yang
berkaitan dengan psikologi serta bimbingan dan konseling.
2. Menjadi acuan bagi guru, konselor, atau pihak-pihak lainnya yang
bersangkutan dengan penanganan anak-anak yang mengalami trauma akibat
(14)
F. Metodologi Penelitian a. Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Action reseach.
Rancangan penelitian tindakan kelas ini berfokus pada upaya untuk mengubah
kondisi kenyataan (riil) sekarang ke arah kondisi yang diharapkan (improvement
oriented) ini adalah model siklus dari Kemmis & Mc. Taggart (1991:32) “This
research is classroom action research carried out by Kemmis and Taggart cclical model in four step, namely (1) Plannig,(2) action, (3) observation, and (4) reflection”
Penelitian tindakan kelas ini memiliki empat tahap pada setiap tahap
siklusnya, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) melakukan
observasi, dan (4) melakukan refleksi. Untuk mencapai tujuan itu, penelitian
menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK) atau classrom action research,
dengan menggunakan model spiral kemmis & Taggart yang terdiri dari tiga fase,
yaitu perencanaan, implementasi dan refleksi.
b. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMP
Babussalam Aceh utara yang berada di kecamatan baktiya yang mayoritas
mengalami trauma akibat konflik di NAD.
(15)
c. Sampel
Dalam pengambilan sampel peneliti menggunakan tehnik purposive
sampling, yang merupakan tehnik pengambilan sampel dengan pertimbangan
tertentu. Dalam hal ini sampel yang dipilih peneliti adalah siswa-siswa yang
mengalami trauma berat akibat dari konflik yang berlangsung di NAD.
d. Teknik pengumpulan data.
Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan angket (instrumen
PTSD) yang ditujukan kepada siswa, daftar cek masalah untuk mengidentifikasi
masalah yang dihadapi, wawancara secara langsung dan mendalam ditujukan
kepada siswa dan guru, observasi dilakukan untuk medapatkan data pendukung
bagi kelengkapan informasi dari kondisi siswa di lapangan.
e. Jenis data
Secara rinci dapat di kemukakan beberapa data yang mendukung
pelaksanaan penelitian ini, yang terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif,
yaitu:
1. Hasil pretest dan postest yang diberikan kepada anak (instrumen PTSD).
2. Hasil observasi terhadap perilaku keseharian anak.
3. Wawancara dengan orang tua dan anak.
(16)
f. Teknik analisis data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis data kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif yang
digunakan adalah persentase dan uji perbedaan dua rata-rata atau uji t (t-test).
Teknis persentase digunakan untuk melihat profil masalah yang dihadapi oleh
anak yang diduga memiliki gejala kecemasan pasca trauma.
Secara garis besar ada tiga langkah yang ditempuh oleh peneliti, yaitu:
1. Identifikasi data yaitu data yang sudah terkumpul dianalisis bagaimana
karakteristik dan kebutuhannya, kemudian diinterpretasikan, dan
dipilah-pilah berdasarkan kriteria tertentu, sehingga data yang diperoleh tersebut
lebih diketahui maknanya.
2. Validasi, merupakan upaya memperoleh data yang valid melalui
langkah-langkah sebagai berikut; (1) saturasi, langkah-langkah pengambilan data yang
dilakukan secara berulang-ulang pada fokus yang sama hingga terjadi
keadaan jenuh, artinya sampai dengan tidak memperoleh sesuatu data yang
baru dan berbeda; (2) triangulasi, adalah data yang telah terkumpul melalui
pengamatan, divalidasika dari tiga sudut pandang yang berbeda; (3)
verifikasi, adalah upaya untuk mencocokkan data yang telah diperoleh
dengan hasil kegiatan yang telah dilakukan oleh subyek penelitian; (4)
pendapat pakar, data yang diperoleh dikonsultasikan dengan pakar dalam
(17)
3. Interpretasi, analisis ini dilakukan berdasarkan kumpulan data yang telah
divalidasi kemudian diinterpretasikan berdasarkan kajian empirik dan
teoritik.
Data kuantitatif di peroleh dari instrumen yang diberikan. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang sudah divalidasi dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. Hasil
yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ketetapan yang sudah dipolakan
dari penelitian terdahulu. Dari instrumen yang diberikan peneliti akan menemukan
perilaku traumatis yang sering muncul pada anak yang mengalami pengalaman
(18)
64 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan permainan yang dapat membantu anak-anak yang mengalami gangguan psikologis (trauma). Dimana kelainan perilaku yang muncul pada anak menjadi tolak ukur dalam melakukan penelitian ini. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka peneliti menggunakan metode Action research (model sprial dari Kemmis dan Teggart, 1988).
Pengertian penelitian tindakan telah mulai berkembang sejak perang dunia kedua. Oleh sebab itu, terdapat banyak pengertian tentang Penelitian tindakan. Istilah penelitian tindakan dideferensiasi dari pengertian-pengertian berikut.
Kemmis (1992): Action research as a form of self-reflective inquiry undertaken by participants in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice of (a) their on social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situations in which practices are carried out.
McNeiff (2002): action research is a term which refer to a practical way of looking at your own work to sheck that it is you would like it to be. Because action research is done by you, the practitioner, it is often referred to as practitioner based research; and because it involves you thinking about and reflecting on your work, it can also be called a form of self-reflective practice.
(19)
Berdasarkan penjelasan Kemmis dan McNeiff tersebut, dapat dicermati pengertian action research secara lebih rinci dan lengkap. Action research didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas sehari-hari, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki kondisi di mana praktik-praktik pembelajaran tersebut dilakukan. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, action research dilaksanakan dalam proses berdaur (cyclical) yang terdiri dari empat tahapan, planing, action, observation/evaluation, dan reflection.
Karakteristik action reserch yang sekaligus dapat membedakannya dengan penelitian formal adalah sebagai berikut.
1. Action reserch merupakan prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk menanggulangi masalah nyata yang dialami.
2. Action reserch terarah pada suatu perbaikan
3. Action reserch bersifat luwes dan mudah diadaptasi.
4. Action reserch banyak mengandalkan data yang diperoleh langsung atas
refleksi diri peneliti
5. Action reserch sedikitnya ada kesamaan dengan penelitian eksperimen dalam
hal percobaan tindakan yang segera dilakukan dan ditelaah kembali efektivitasnya
(20)
Tabel 3.1 Alur Kegiatan Penelitian
Action reserch merupakan proses pengkajian suatu masalah pada suatu kelas melalui sistem daur ulang dari berbagai kegiatan, seperti yang ditunjukkan sebagai berikut.
Merencanakan → Melakukan Tindakan → Mengamati dan menilai
→ Merefleksikan → Merencanakan → Melakukan Tindakan→ Mengamati dan Menilai → Merefleksikan → dan seterusnya.
Daur tersebut dapat dilaksanakan bertolak dari hasil refleksi diri tentang adanya unsur ketidakpuasan diri sendiri terhadap kinerja yang dilakukan dan yang dilalui sebelumnya. Adapun alur kegiatan yang lebih rinci dapat dilihat dalam bagan 3.1.
siklus
Refleksi
Pretest
Rencana tindakan
Pel. Tindakan
Refleksi Observasi
Siklus 2 dan 3
Temuan
(21)
B. Lokasi dan Subyek Penelitian
Lokasi penelitian adalah Yayasan Pesantren Babussalam, khusunya SMP Babussalam yang berada di desa Alue Bili kecamatan Baktia kabupaten Aceh Utara. Pertimbangannya adalah (1) Latar belakang siswa-siswa nya yang banyak berasal dari daerah pedalaman yang rawan konflik, (2) Kebanyakan dari mereka mengalami kejadian-kejadian yang tragis selama konflik berlangsung, (3) Umur yang masih muda ketika mengalami peristiwa traumatis tersebut, (4) pendidikan orang tua rendah, yang berdampak pada perilaku orang tua terhadap anak yang mengalami traumatis.
Subyek penelitian adalah siswa-siswa kelas VII SMP Babussalam yang tersebar dalam lima (5) kelas, dengan jumlah keseluruhannya 156 siswa. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yang merupakan tehnik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Dalam hal ini pertimbangan sampel yang dipilih peneliti adalah siswa-siswa yang mengalami trauma berat akibat konflik yang berlangsung di NAD. Perilaku yang muncul pada siswa memiliki kriteria tersendiri yang mengindikasikan gejala-gejala traumatisnya.
C. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini tindakan diberikan melalui tiga siklus, setiap siklus mempunyai penerapan dan tujuan yang berbeda. Adapun di siklus yang pertama tindakan yang diberikan bertujuan untuk membantu sosialisasi, penyesuaian diri dan
(22)
membangun hubungan yang baik antara siswa dengan peneliti, dan terhadap lingkungan serta suasana yang terbentuk selama proses pemberian tindakan. Pada siklus yang kedua orientasi permainan mengarah pada mereduksi perilaku traumatik siswa. Siklus ketiga merupakan siklus lanjutan dari hasil evaluasi dari siklus yang pertaman. Dalam setiap siklus terdapat tahapan-tahapan pelaksanaannya, adapun tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Observasi Awal
Pelaksanaan observasi awal bertujuan untuk memperoleh informasi tentang permasalahan yang dihadapi anak-anak yang mengalami trauma. Dilakukan dengan mengamati secara langsung perilaku siswa dalam keseharian nya, wawancara dengan orang tua dan guru, dan mendiskusikannya dengan orang tua dan guru.
2. Tahap refleksi
Berdasarkan temuan dari hasil observasi awal, dilakukan refleksi terhadap berbagai masalah yang dijumpai. Hal ini dilakukan untuk menentukan tindakan terapi yang paling tepat guna mengatasi masalah tersebut. Hasil refleksi disepakati menggunakan tindakan Play Theraphy dalam membantu mengatasi permasalahan trauma yang dialami.
(23)
3. Tahap Penyusunan Rencana Tindakan
Hal-hal yang dipersiapkan peneliti dan guru mitra adalah sebagai berikut: a. Memilih jenis-jenis permainan yang akan diberikan kepada siswa yang
mengalami trauma.
b. Menyusun silabus permainan yang akan diberikan c. Menetapkan waktu dan tempat pelaksanaan permainan.
d. Mempersiapkan bahan-bahan yang mendukung pelaksanaan permainan e. Menyiapkan format observasi selama pemberian tindakan. Observasi
dilakukan langsung pada saat permainan berlangsung
f. Menetapkan langkah dan jumlah tindakan yang akan dilaksanakan. Secara umum terdiri dari pelaksanaan tindakan, observasi tindakan, analisis hasil observasi dan refleksi terhadap analisis tindakan.
Adapun jenis-jenis permainan yang akan dimainkan dapat dilihat pada satlan yang terlampir.
4. Tahap Pelaksanaan Tindakan
Rencana penelitian akan dilakukan sebanyak tiga siklus dengan enam kali pertemuan. Pada setiap pertemuan dilakukan observasi, evaluasi dan refleksi. Observasi terhadap proses permainan yang dimainkan dilakukan oleh dua orang observer yang berpedoman pada lembar observasi. Hasil observasi digunakan sebagai refleksi diri terhadap berbagai kekurangan dalam permainan yang diberikan.
(24)
Berdasarkan refleksi diri kemudian disusun rencana tindakan berikutnya dengan memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang.
Permainan diberikan dengan pendekatan kelompok dan individual, kedua pendekatan ini diberikan karena melihat tingkatan stres anak yang berbeda. Pengalaman traumatik yang dialami anak pun begitu beragam, sehingga perilaku yang muncul juga sangat beragam. Kedua pendekatan yang digunakan tersebut akan membantu peneliti dalam menganalisa penurunan keragaman tingkat stres yang dialami anak setelah pemberian tindakan.
5. Pelaksanaan Evaluasi
a. Tes awal dilakukan sebelum permainan diberikan, dan hasilnya dianalisis untuk mengetahui sejauh mana anak mengalami trauma.
b. Tes akhir dilakukan setelah pemberian tindakan, hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan anak yang mengalami trauma setelah diberikan tindakan.
D. Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Data yang menjadi kepentingan dalam penelitian ini adalah perilaku siswa yang disebabkan oleh peristiwa traumatis. Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan angket yang ditujukan kepada guru, orang tua, siswa. wawancara secara langsung dan mendalam ditujukan kepada orang tua, dan observasi dilakukan
(25)
untuk mendapatkan data pendukung bagi kelengkapan informasi dari kondisi siswa di lapangan.
Secara rinci dapat di kemukakan beberapa data yang mendukung pelaksanaan penelitian ini, yang terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif, yaitu:
a. Hasil tes awal dan tes akhir yang diberikan kepada anak (instrumen PTSD) b. Hasil observasi terhadap perilaku keseharian anak.
c. Wawancara dengan orang tua dan anak. d. Daftar cek masalah
2. Tehnik pengambilan data
a. Data hasil tes awal diambil sebelum pemberian tindakan kepada anak, sedangkan data tes akhir diambil setelah dilakukan pemberian tindakan.
b. Data tentang perilaku anak pada saat tindakan dilaksanakan diambil dengan menggunakan lembaran observasi dalam format cek masalah.
c. Data tentang tanggapan orang tua dan guru terhadap perilaku anak yang trauma diambil dengan wawancara.
3. Instrumen pengumpulan data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar cek masalah dan instrumen deteksi gangguan kecemasan pascatrauma. Penelitian ini menggunakan instrumen yang sudah divalidasi oleh Dr. Nandang Rusmana dalam penelitiannya terdahulu. Alasan peneliti menggunakan instrumen
(26)
tersebut karena permasalahan yang ingin di ungkap adalah sama. Namun demikian peneliti tetap melakukan uji validitas sebelum instrumen digunakan, hasil validasinya dapat dilihat pada lampiran.
Daftar cek masalah adalah instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi anak yang mengalami masalah, sehingga ditetapkan sebagai kasus dalam terapi bermain. Instrumen ini disusun berdasarkan gejala masalah yang ditunjukkan oleh seseorang yang mengalami gangguan pasca trauma. Menurut Bisbey & Bisbey, 2000 (dalam Nandang Rusmana, 2008) seseorang yang mengalami gangguan pasca trauma ditandai dengan adanya gangguan khas pada lima aspek kepribadian, yaitu aspek fisik, emosi, kognisi, tingkah laku, dan spiritual. Klien akan ditetapkan berdasarkan besarnya jumlah gejala masalah yang ditampakkan.
Tabel 3.2
Kisi-kisi instrumen daftar cek masalah
No Aspek Indikator No. Item
1. Fisiologis Pening, tenggorokan kering, perut serasa tertekan, dada sesak/ nyeri, jantung berdebar, sakit kepala, nyeri lambung, diare/mencret, alergi/gatal-gatal, otot tegang, kejang, tidak bertenaga, rahang terkatup erat, duduk tidak tenang, banyak berkeringat, denyut nadi cepat, menggemeretakkan gigi, rasa lelah.
1 s.d 8
2. Afeksi Rasa takut, mati rasa, terguncang, mengingkari, marah, putus asa, menyerah, pasrah, menyalahkan, sinis, menyesal, merasa tidak
(27)
berdaya, hilang kepercayaan, khawatir, bosan, merasa terasing, murung.
3. Kognisi Tidak percaya, tidak konsentrasi, mudah lupa, banyak pikiran, sulit mengambil keputusan, curiga, lelah berpikir, merasa terbebani, merasa banyak melayani orang.
36 s.d 44
4. Behavioral Sulit tidur, kehilangan selera, makan berlebihan, banyak merokok, minum alkohol dan narkoba, menghindar, menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakkan anggota tubuh, berulang-ulang, malu, mengurung diri, menyalahkan orang lain.
45 s.d 62
5. Spiritual Menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, marah kepada Tuhan, meragukan keyakinan, tidak tulus, merasa terancam, merasa jadi korban orang, bersibuk dengan diri sendiri, merasa kecewa, menyesali diri, menggerutu.
63 s.d 74
Instrumen yang digunakan untuk mendeteksi masalah yang dihadapi oleh klien yang mengalami gangguan pascatrauma (PTSD) disusun berdasarkan pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV). Menurut Schiraldi (1999) dalam DSM-IV (dalam Nandang Rusmana, 2008) ada enam gejala masalah yang dihadapi oleh klien yang mengalami gangguan pascatrauma, yakni: (1) terbayang-banyang oleh peristiwa traumatis (exposure to stressor), (2) harapan masa depan rendah (event-re-experienced), (3) mengisolasi diri (avoidance), (4) emosional
(28)
(arousal), (5) berfikir negatif (life disrupted), dan (6) merasa tak berdaya (duration of simptoms in criteria B more than one month)
Tabel 3.3
Kisi-kisi instrumen kriteria diagnostik PTSD
Aspek Indikator No.item
Masih terbayangi oleh peristiwa traumatis (exposure to stressor)
1. Bermimpi atau merasa terus dibayang-banyangi oleh peristiwa tragis yang terjadi.
2. Merasa seperti mengalami kembali peristiwa tragis yang terjadi.
3. Mengalami sakit kepala/ mual/ alergi ketika dihadapkan pada simbol dari peristiwa logis yang terjadi.
4. Mengalami gangguan tidur (banyak tidur atau sulit tidur).
5. Mudah cemas dan panik ketika terjadi peristiwa diluar dugaan.
1
7
13
19 25 Harapan masa depan
rendah (event re-experienced)
1. Merasa masa depan suram.
2. Merasa tidakada upaya yang dapat dilakukan untuk pulih dari peristiwa tragis yang telah terjadi. 3. Merasa tidak lagi memiliki
kebanggaan terhadap diri sendiri. 4. Tidak ada harapan keadaan akan
menjadi lebih baik. 5. Merasa putus asa.
2 8 14 20 26 Berpikir negatif (life
disrupted)
1. Bersikap waspada diluar batas kewajaran terhadap keselamatan diri.
2. Kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar atau berpikir.
3. Merasa tidak nyaman di manapun berada.
4. Merasa orang lain tidak peduli. 5. Mencurigai orang baru secara
berlebihan. 3 9 15 27 21
(29)
2. Tidak mau mengalah meskipun dalam posisi salah.
3. Ngotot dalam berpendapat/ berbicara.
4. Mudah menangis. 5. Mudah tersinggung.
10 16 22 28 Mengisolasi diri 1. Menolak dikunjungi orang asing.
2. Sulit berinteraksi dengan orang lain.
3. Lebih suka berdiam diri.
4. Merasa diri terisolasi dari orang lain.
5. Menarik diri dari bergaul dengan orang lain atau lingkungan.
5 11 17 29 23 Merasa tidak berdaya
(duration of symptoms in criteria B more than one month)
1. Kehilangan minat untuk melakukan kembali aktivitas yang biasa dilakukan sebelum peristiwa tragis terjadi.
2. Menunggu takdir Tuhan dalam menghadapi hidup.
3. Merasa keberadaan hidup tidak berarti lagi sejak mengalami peristiwa tragis.
4. Merasa tidak berdaya.
5. Merasa sangat kecewa dengan keadaan yang terjadi.
6
12 18
24 30
4. Indikator keberhasilan penelitian
Indikator keberhasilan penelitian tindakan play therapy ini adalah bila (1) Perilaku traumatis yang muncul pada anak berkurang atau tidak muncul kembali, (2) Meningkatnya motivasi belajar, serta (3) Dapat melalui tahap-tahap perkembangannya dengan maksimal.
(30)
E. Alat Pengumpul Data
Terdapat empat macam instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Instrumen diagnostik gangguan kecemasan pasca trauma (PTSD); (2) Lembar cek masalah; (3) Pedoman wawancara; (4) Pedoman observasi.
Instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan traumatik yang dialami anak selama konflik berlangsung. Instrumen ini disusun berdasarkan gejala masalah yang ditujukan oleh seseorang yang mangalami gangguan pasca trauma. Penelitian ini menggunakan instrumen diagnostik PTSD yang sudah di validasi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dr. Nandang Rusmana, M.Pd.
F. Analisis Data
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif yang digunakan adalah uji t (t-test). Uji t (t-test) digunakan untuk melihat perbedaan hasil pre dan post test yang diberikan pada anak.
Proses analisis data memerlukan suatu penafsiran (intervensi) terhadap data yang berasal dari berbagai sumber. Menurut Moleong (1994), penafsiran memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.
(31)
Ada dua pendekatan yang dapat dijadikan pijakan peneliti dalam melakukan analisis data, yaitu: (1) analisis data yang dilakukan sewaktu peneliti masih di lapangan ketika pengumpulan data sedang berlangsung, dan (2) analisis data yang dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai dilakukan.
Untuk memperoleh data kuatitatif penelitian ini menggunakan instrumen yang sudah divalidasi dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dr. Nandang Rusmana, M.Pd. Hasil yang diperoleh dari instrumen dianalisa sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dari penelitian terdahulu. Pernyataan-pernyataan dalam insturmen tersebut di kalkulasikan dalam serangkaian rumusan pengolahan data untuk menemukan perilaku traumatis yang dimunculkan anak.
Dalam melakukan analisis data peneliti menempuh tiga langkah secara garis besar, yaitu:
1. Identifikasi data yaitu data yang sudah terkumpul dianalisis bagaimana karakteristik dan kebutuhannya, kemudian diinterpretasikan, dan dipilah-pilah berdasarkan kriteria tertentu, sehingga data yang diperoleh tersebut lebih diketahui maknanya.
2. Validasi, merupakan upaya memperoleh data yang valid melalui langkah-langkah sebagai berikut; (1) saturasi, langkah-langkah pengambilan data yang dilakukan secara berulang-ulang pada fokus yang sama hingga terjadi keadaan jenuh, artinya sampai dengan tidak memperoleh sesuatu data yang baru dan
(32)
berbeda; (2) triangulasi, adalah data yang telah terkumpul melalui pengamatan, divalidasikan dari tiga sudut pandang yang berbeda; (3) verifikasi, adalah upaya untuk mencocokkan data yang telah diperoleh dengan hasil kegiatan yang telah dilakukan oleh subyek penelitian; (4) pendapat pakar, data yang diperoleh dikonsultasikan dengan pakar dalam masalah yang sedang diteliti.
3. Interpretasi, analisis ini dilakukan berdasarkan kumpulan data yang telah divalidasi kemudian diinterpretasikan berdasarkan kajian empirik dan teoritik.
(33)
169
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Begitu banyak anak-anak di Nanggroe Aceh Darussalam mengalami trauma yang membuat mereka terganggu secara psikologis. Seperti yang dialami anak-anak di SMP Babussalam, adapun gangguan-gangguan yang muncul adalah peningkatan agresifitas, flash back, kebencian, dendam, perasaan takut, cemas yang berlebihan, menurunnya konsentrasi dan daya ingat yang mempengaruhi prestasi belajar. Lebih lanjut anak-anak tersebut menjadi tidak percaya diri, mengisolasi diri, tidak stabil secara emosional, susah beradaptasi dengan lingkungan sosial. Seterusnya trauma tersebut mengganggu tumbuh kembang anak secara optimal. Agar anak-anak tersebut dapat bangkit kembali dan mampu berkembang dengan baik, maka dibutuhkan upaya-upaya penanggulangan trauma. Salah satu upaya yang dilakukan untuk membantu anak-anak berpengalaman traumatik adalah pemberian layanan bimbingan dan konseling dengan treatment terapi bermain. Pendekatan terapi bermain yang digunakan dianggap efektif untuk membantu anak-anak pascatrauma, karena disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan anak.
(34)
2. Masing-masing anak yang diteliti memiliki reaksi yang berbeda ketika dihadapkan pada peristiwa traumatik. Pada beberapa anak, peristiwa traumatik membuatnya menjadi trauma, ketidakmampuan menjalankan kesehariannya seperti biasa, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa kembali dalam ingatan dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu mengatasinya. Mereka yang mengalami hal demikian mungkin mengalami apa yang disebut dengan post traumatic stress disorder (PTSD). Anak yang mempunyai kecenderungan post-traumatic stress disorder adalah anak yang mempunyai sebuah pengalaman terhadap peristiwa atau kejadian traumatik sehingga pengalaman traumatik tersebut menimbulkan stres dalam dirinya. Anak yang mempunyai kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dalam diri anak yang berpengaruh dalam hubungannya dengan post-traumatic stress disorder, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor diluar diri anak yang mempunyai peran terhadap kemungkinan anak mengalami post-traumatic stress disorder.
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi bermain dapat membantu anak mengeksplor dan mengatasi perasaan-perasaan cemas, takut, dan membantu meningkatkan motivasi dalam menjalani hidup. Dengan manipulasi permainan membuat anak tidak takut dalam mengungkapkan perasaannya. Permainan juga membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa ada rasa cemas. Bentuk permainan yang beragam semakin menambah semangat anak
(35)
dalam memainkan, sehingga anak lebih leluasa menyalurkan berbagai macam perasaan yang selama ini mengganggu secara fisik dan psikis. Akhirnya, permainan dapat mereduksi beberapa perilaku trauma, serta meningkatkan motivasi dan harapan masa depan anak.
4. Model hipotetik yang digunakan untuk mengatasi perilaku traumatik dapat menurunkan gangguan psikologis akibat konflik atau PTSD dengan indikator, meningkatnya konsentrasi belajar, mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dapat mengelola emosi, membuka diri terhadap orang lain, berani mengemukakan permasalahan yang menjadi tekanan dalam dirinya.
5. Selain pendekatan terapi bermain yang digunakan, perlu juga didukung dengan upaya lain berupa pemulihan menyeluruh melalui intervensi psikososial yang berbasis komunitas. Dimana pemulihan yang menekankan pada cara-cara suatu komunitas menanggulangi kerusakan sekaligus menyembuhkan diri secara kolektif. Upaya ini sangat penting mengingat pemulihan trauma yang dialami anak tergantung oleh social support, terutama family support, yaitu orang tua yang mempunyai pengaruh dan hubungan dekat dengan anak. Dengan terciptanya lingkungan masyarakat yang sehat maka akan memungkinkan pemulihan trauma anak secara optimal.
(36)
B. Rekomendasi
Merujuk dari hasil penelitian ini maka dipandang perlu adanya suatu rekomendasi guna mendukung dan memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam penelitian ini. Adapun rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Untuk pengimplementasian model hipotetik ini, konselor harus mengikuti pelatihan konseling untuk penanganan trauma anak menggunakan terapi bermain. Melalui tahapan ini diharapkan konselor dapat mengimplimentasikan terapi bermain untuk mereduksi perilaku traumatik yang dialami anak pasca konflik.
2. Untuk SMP Babussalam, diharapkan segera melakukan penanganan bagi siswa yang mengalami trauma, dengan menjalin kerjasama dengan LSM trauma centre yang ada di Aceh, ataupun psikolog dan konselor. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menangani anak yang mengalami trauma di SMP Babussalam. Dengan mulai mengembangkan terapi bermain dan mengaplikasikannya dalam keseharian anak terutama dalam lingkungan SMP Babussalam.
3. Bagi guru-guru SMP Babussalam, sudah seharusnya menambah pengetahuan tentang konseling dan menambah literature yang berkenaan dengan penanggulangan trauma anak. Agar guru-guru tersebut lebih efektif dalam memberikan layanan konseling atau bantuan traumatik untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar yang selama jauh dari harapan.
(37)
4. Untuk peneliti yang memiliki ketertarikan terhadap trauma anak, hendaknya melakukan penelitian-penelitian lanjutan untuk mengembangkan pendekatan terapi bermain, terutama menguji efektifitas terapi bermain sebagai salah satu pendekatan yang mampu mereduksi perilaku traumatik anak.
5. Bagi pemerintah, mengingat masih kurangnya tenaga profesional bidang kesehatan mental (konselor, psikolog, psikiater) umumnya di Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya di Kabupaten Aceh Utara, maka perlu di adakannya pelatihan-pelatihan konseling trauma terhadap guru-guru atau relawan-relawan di setiap Kabupaten dan Desa. Dengan demikian diharapkan tidak ada anak-anak berpengalaman traumatik yang tidak mendapat perhatian, serta meningkatkan kemampuan pemahaman guru dalam menyikapi perilaku anak pascatrauma.
6. Bagi pihak-pihak yang bertikai, hendaknya memahami bahwa pengaruh kekerasan akibat konflik bersenjata membawa kerugian besar terhadap generasi-generasi penerus bangsa (anak-anak). Karena itu, diaharapkan kepada semua pihak yang bertikai agar tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah. Berpikir jernih dan menggunakan akal sehat dalam bertindak sehingga dapat melahirkan sebuah solusi yang bijaksana didalam perbedaan pendapat.
7. Banyaknya permasalahan yang mengarah pada konflik kekerasan senantiasa menjadikan anak-anak sebagai korban utama yang berdampak jangka panjang, maka sudah menjadi kewajiban bersama untuk merealisasikan layanan
(38)
bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah oleh tenaga profesional, sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan. Hal ini mendasari bahwa guru pembimbing atau konselor sekolah mempunyai kesempatan lebih dengan anak, sehingga dapat memantau perkembangan anak secara cermat.
8. Dalam menangani anak-anak yang berpengalaman traumatik hendaknya dilakukan secara komprehensif dan bersinergi melalui system support. Tahap awal adalah dengan melakukan pemulihan keamanan serta perlindungan hukum. Berikutnya secara bertahap dapat dilakukan perbaikan sektor ekonomi, pendidikan, budaya, dan penanganan masyarakat yang mengalami pengalaman traumatik akibat konflik bersenjata. Tanpa adanya dukungan perbaikan dalam sektor-sektor tersebut, maka pemulihan trauma anak tidak dapat mencapai hasil yang maksimal.
(39)
DAFTAR PUSTAKA Adesla, Veronica, (2009), Artikel PTSD. Jakarta
Al-Quran
Arikunto, S dan Suharjono. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Craft, Anna. (2004). Me-refresh imajinasi & Kreativitas anak-anak. Depok. Cerdas pustaka.
Davidso, Gerald c. Neale, John M. dan Kring, Ann M. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.s
Giddens Anthony, David Held. 1982. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, Kelompok, dan Konflik : Teori Sosial Kontemporer. Jakarta : CV Rajawali.
Goleman, D. (2000). Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hamstra, B. (1994). How Therapists Diagnose. New York: St.Martin’s Press.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/08/06/14542844/Arief.Rahman.Anak.di.Da erah.Konflik.Butuh.Pendidikan.Informal
http://info.balitacerdas.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=6
http://pensilwarna.blogspot.com/2005/01/stres-pasca-trauma.html
http://prov.bkkbn.go.id
http://www.antara.co.id/view/?i=1155261439&c=NAS&s
http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=072703110957
http://www.hanura.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=425 http://www.jugaguru.com/article/all/tahun/2009/bulan/01/tanggal/11/id/862/
Hurlock, B. Elizabeth, (1993), Psikologi Perkembangan, Jakarta: Penerbit Erlangga.
(40)
IOM. (2008). Artikel Luka Masih Tersisa: Sebuah Ikhtiar Memperkuat Damai. Edisi Khusus Tiga Tahun Damai Aceh.
Irene E. Sidabutar, S., et al. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Jakarta: Kontras.
Kartono, Kartini. (1982). Psikologi Anak. Bandung: Alumni
Kid Power Counseling Staff. (t.t). What is Play Therapy. Http.www.snowcrest.net
Lengkong, putera dan Respati nugroho, Dwi bintang. (2009). Koleksi Games Seru. Yogyakarta: Indonesia Cerdas.
Mappiare, A.T, Andi. (2006). Kamus Istilah Konseling & Terapi. Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada.
Mönks, F.J, Knoers, A.M.P dan Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Mulyadi, S., (2004). Bermain dan Kreativitas (Upaya Mengembangkan Kreativitas Anak Melalui Kegiatan Bermain). Jakarta: Papas Sinar Sinanti
Musfir, Bin Said Az-Zahrani. (2005). Konseling Terapi. Jakarta; Gema Insani
Ochberg, P.M. (1988). Post Traumatic Therapy and Victims of Violence. New York: Brunner/Mazel, Publishers.
Read, H. (1959). The Meaning of Art. Penguin Books in Association with Faber and Faber.
Rini, jacinta F. (2001). Dampak Kekerasan Terhadap Anak. Tersedia di http://www.e-psikologi.com
Rusmana, Nandang. (2009). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung; Rizqi Press.
Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Games & Play). Bandung; Rizqi Press.
Safaria, Triantoro dan Saputra, Eka nofrans. (2009). Manajemen Emosi. Jakarta; Bumi Aksara
Siaran pers. (2009). Resolusi Konflik Pasca MoU Helsinki. Disertasi. Depok
(41)
Sugiyono, (2007), Metode Penelitian kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung; CV Alfabeta.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2007). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung; PT Remaja Rosdakarya
Sukmaningrum, E. (2001). Terapi Bermain Sebagai Salah Satu Alternativ Penanganan Pasca Trauma Pada Anak. Jurnal Psikologi. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad.
Tempo Interaktif. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Meningkat Sepanjang 2004. Tersedia di: http: //www.mail-archive.com
Tim Penelitian Psikososial international organization for Migration (IOM). (2006). Kebutuhan Psikososial Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Utara. www.iom.or.id.
VanFleet, Rise. (2001). What is Play Therapy. Http: www.Play –therapy.com
Wiriaatmadja, Rochiati. (2008). Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung; PT Remaja Rosdakarya
Yusuf, Syamsu. (2007). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung; PT Remaja Rosdakarya : ABA, Yapari.
Yusuf, Syamsu. (2009). Program Bimbingan & Konseling Di Sekolah. Bandung; Rizqi Press.
(1)
172
B.
Rekomendasi
Merujuk dari hasil penelitian ini maka dipandang perlu adanya suatu
rekomendasi guna mendukung dan memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam
penelitian ini. Adapun rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1.
Untuk pengimplementasian model hipotetik ini, konselor harus mengikuti
pelatihan konseling untuk penanganan trauma anak menggunakan terapi
bermain.
Melalui
tahapan
ini
diharapkan
konselor
dapat
mengimplimentasikan terapi bermain untuk mereduksi perilaku traumatik
yang dialami anak pasca konflik.
2.
Untuk SMP Babussalam, diharapkan segera melakukan penanganan bagi
siswa yang mengalami trauma, dengan menjalin kerjasama dengan LSM
trauma centre
yang ada di Aceh, ataupun psikolog dan konselor. Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menangani anak yang
mengalami trauma di SMP Babussalam. Dengan mulai mengembangkan
terapi bermain dan mengaplikasikannya dalam keseharian anak terutama
dalam lingkungan SMP Babussalam.
3.
Bagi guru-guru SMP Babussalam, sudah seharusnya menambah pengetahuan
tentang konseling dan menambah
literature
yang berkenaan dengan
penanggulangan trauma anak. Agar guru-guru tersebut lebih efektif dalam
memberikan layanan konseling atau bantuan traumatik untuk meningkatkan
motivasi dan prestasi belajar yang selama jauh dari harapan.
(2)
173
4.
Untuk peneliti yang memiliki ketertarikan terhadap trauma anak, hendaknya
melakukan penelitian-penelitian lanjutan untuk mengembangkan pendekatan
terapi bermain, terutama menguji efektifitas terapi bermain sebagai salah satu
pendekatan yang mampu mereduksi perilaku traumatik anak.
5.
Bagi pemerintah, mengingat masih kurangnya tenaga profesional bidang
kesehatan mental (konselor, psikolog, psikiater) umumnya di Nanggroe Aceh
Darussalam, khususnya di Kabupaten Aceh Utara, maka perlu di adakannya
pelatihan-pelatihan konseling trauma terhadap guru-guru atau
relawan-relawan di setiap Kabupaten dan Desa. Dengan demikian diharapkan tidak ada
anak-anak berpengalaman traumatik yang tidak mendapat perhatian, serta
meningkatkan kemampuan pemahaman guru dalam menyikapi perilaku anak
pascatrauma.
6.
Bagi pihak-pihak yang bertikai, hendaknya memahami bahwa pengaruh
kekerasan akibat konflik bersenjata membawa kerugian besar terhadap
generasi-generasi penerus bangsa (anak-anak). Karena itu, diaharapkan
kepada semua pihak yang bertikai agar tidak lagi menggunakan cara-cara
kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah. Berpikir jernih dan
menggunakan akal sehat dalam bertindak sehingga dapat melahirkan sebuah
solusi yang bijaksana didalam perbedaan pendapat.
7.
Banyaknya permasalahan yang mengarah pada konflik kekerasan senantiasa
menjadikan anak-anak sebagai korban utama yang berdampak jangka panjang,
maka sudah menjadi kewajiban bersama untuk merealisasikan layanan
(3)
174
bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah oleh tenaga profesional,
sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan. Hal ini
mendasari bahwa guru pembimbing atau konselor sekolah mempunyai
kesempatan lebih dengan anak, sehingga dapat memantau perkembangan anak
secara cermat.
8.
Dalam menangani anak-anak yang berpengalaman traumatik hendaknya
dilakukan secara komprehensif dan bersinergi melalui
system support
. Tahap
awal adalah dengan melakukan pemulihan keamanan serta perlindungan
hukum. Berikutnya secara bertahap dapat dilakukan perbaikan sektor
ekonomi, pendidikan, budaya, dan penanganan masyarakat yang mengalami
pengalaman traumatik akibat konflik bersenjata. Tanpa adanya dukungan
perbaikan dalam sektor-sektor tersebut, maka pemulihan trauma anak tidak
dapat mencapai hasil yang maksimal.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Adesla, Veronica, (2009), Artikel PTSD. Jakarta
Al-Quran
Arikunto, S dan Suharjono. (2006).
Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi
Aksara.
Craft, Anna. (2004). Me-refresh imajinasi & Kreativitas anak-anak. Depok.
Cerdas pustaka.
Davidso, Gerald c. Neale, John M. dan Kring, Ann M. (2006).
Psikologi
Abnormal. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.s
Giddens Anthony, David Held. 1982.
Perdebatan Klasik dan Kontemporer
Mengenai Kelompok, Kekuasaan, Kelompok, dan Konflik : Teori Sosial
Kontemporer. Jakarta : CV Rajawali.
Goleman, D. (2000).
Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Hamstra, B. (1994). How Therapists Diagnose. New York: St.Martin’s Press.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/08/06/14542844/Arief.Rahman.Anak.di.Daerah.Konflik.Butuh.Pendidikan.Informal
http://info.balitacerdas.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=6
http://pensilwarna.blogspot.com/2005/01/stres-pasca-trauma.htmlhttp://prov.bkkbn.go.id
http://www.antara.co.id/view/?i=1155261439&c=NAS&s http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=072703110957
http://www.hanura.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=425 http://www.jugaguru.com/article/all/tahun/2009/bulan/01/tanggal/11/id/862/
Hurlock, B. Elizabeth, (1993),
Psikologi Perkembangan, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
(5)
IOM. (2008). Artikel Luka Masih Tersisa: Sebuah Ikhtiar Memperkuat Damai.
Edisi Khusus Tiga Tahun Damai Aceh.
Irene E. Sidabutar, S., et al. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas.
Jakarta: Kontras.
Kartono, Kartini. (1982). Psikologi Anak. Bandung: Alumni
Kid
Power
Counseling
Staff.
(t.t).
What
is
Play
Therapy.
Http.www.snowcrest.net
Lengkong, putera dan Respati nugroho, Dwi bintang. (2009).
Koleksi Games
Seru. Yogyakarta: Indonesia Cerdas.
Mappiare, A.T, Andi. (2006). Kamus Istilah Konseling & Terapi. Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada.
Mönks, F.J, Knoers, A.M.P dan Haditono, S.R. (2004). Psikologi Perkembangan
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya
.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Mulyadi, S., (2004).
Bermain dan Kreativitas
(Upaya Mengembangkan
Kreativitas Anak Melalui Kegiatan Bermain). Jakarta: Papas Sinar
Sinanti
Musfir, Bin Said Az-Zahrani. (2005). Konseling Terapi. Jakarta; Gema Insani
Ochberg, P.M. (1988).
Post Traumatic Therapy and Victims of Violence. New
York: Brunner/Mazel, Publishers.
Read, H. (1959). The Meaning of Art.
Penguin Books in Association with Faber
and Faber.
Rini, jacinta F. (2001).
Dampak Kekerasan Terhadap Anak. Tersedia di
http://www.e-psikologi.com
Rusmana, Nandang. (2009).
Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman
Traumatis. Bandung; Rizqi Press.
Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Games & Play). Bandung; Rizqi Press.
Safaria, Triantoro dan Saputra, Eka nofrans. (2009).
Manajemen Emosi. Jakarta;
Bumi Aksara
Siaran pers. (2009). Resolusi Konflik Pasca MoU Helsinki. Disertasi. Depok
Stringger, Ernest. T. (2007). Action Research. USA; Sage Publications, inc.
(6)