Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

(1)

GAMBARAN

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

(PTSD) PADA REMAJA TELUK DALAM PASCA

8 TAHUN BENCANA GEMPA BUMI

DI PULAU NIAS

SKRIPSI

Oleh

Frida Nov Kristina Gulo 101101086

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis melakukan penelitian guna menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS sebagai Pembantu Dekan I, ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai pembantu dekan II, dan bapak Ikhsanudin A. Harahap, S.Kp, MNS sebagai pembantu dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Wardiyah Daulay, S. Kep, Ns., M. Kep selaku dosen pembimbing penulis yang bersedia menyediakan waktu serta dengan penuh keikhlasan dan kesabaran memberikan arahan, bimbingan, saran, masukan dan ilmu yang bermanfaat selama penyusunan skripsi ini.


(4)

4. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen Penguji I dan Ibu Roxana Devi Tumanggor, S.Kep,Ns.,M.Nurs selaku dosen Penguji II di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan masukan bermanfaat pada penulisan skripsi ini.

5. Ibu Farida Linda Sari Siregar,S.Kep.,Ns sebagai dosen pembimbing akademik yang telah mendidik penulis selama proses perkuliahan.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan. Semoga Tuhan membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.

7. Kepada Camat Teluk Dalam dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nias Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian pada remaja Teluk Dalam.

8. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, Fatizaro Gulo (Ayah) dan Kasihati Wau (Ibu). Trimakasih ayah, ibu atas doa yang selalu kalian panjatkan untuk anakmu, atas dukungan moril maupun materil, nasehat dan motivasi yang menguatkan penulis selama proses perkuliahan.

9. Terimakasihku untuk abang Frenti Kristiaman Gulo dan adik Fitri Muliany K. Gulo serta orang terdekat dan spesial Mulia Agustin Dachi yang senantiasa mendoakan, membantu, memotivasi, menghibur, memperhatikan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(5)

10.Teman-teman mahasiswa angkatan 2010 Program Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang membantu dalam proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

11.Terkhusus untuk sahabat-sahabatku, Nenci Sihaloho, Merliany E.R. Sigalingging, Puji A. Sinabang, Dame Tika O. Purba dan Yanti K. Zega yang terus menyemangati dan menenangkanku ketika menyelesaikan skripsi ini. 12.Kepada remaja di Kecamatan Teluk Dalam yang telah bersedia menjadi

responden penelitian beserta kepada semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Medan, 18 Juni 2014


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Skema ... ix

Daftar Tabel ... x

Abstrak ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang Penelitian ... 1

2. Rumusan Masalah Penelitian ... 7

3. Tujuan Penelitian ... 7

3.1Tujuan umum ... 7

3.2Tujuan khusus ... 7

4. Manfaat Penelitian ... 7

4.1Praktik Keperawatan ... 7

4.2Pendidikan Keperawatan ... 8

4.3Peneliti Selanjutnya ... 8

4.4Pemerintah Daerah ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

1. Konsep Bencana ... 9

1.1Definisi Bencana ... 9

1.2Jenis-Jenis Bencana Alam ... 9

1.3Respon Individu Terhadap Bencana ... 10

2. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja ... 12

2.1Definisi Psikologi Perkembangan ... 12

2.2Psikologi Perkembangan Anak ... 12


(7)

3. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ... 17

3.1 Definisi PTSD ... 17

3.2 Penyebab Terjadinya PTSD ... 19

3.3 Faktor Resiko PTSD ... 21

3.4 PTSD Pada Anak & Remaja ... 22

3.5 Kriteria Diagnostik PTSD ... 24

3.6 Jenis-Jenis PTSD ... 28

3.7 Penanganan PTSD ... 29

3.8Diagnosa Keperawatan untuk PTSD ... 32

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 34

1. Kerangka Konsep ... 34

2. Defenisi Operasional ... 35

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 36

1. Desain Penelitian ... 36

2. Populasi dan Sampel ... 36

2.1Populasi ... 36

2.2Sampel ... 36

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

4. Pertimbangan Etik ... 38

5. Instrumen Penelitian ... 39

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 40

7. Pengumpulan Data ... 41

8. Analisa Data ... 43

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

1. Hasil Penelitian ... 45

1.1 Karakteristik Responden ... 45

1.2Gambaran PTSD Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias ... 47


(8)

2. Pembahasan ... 48

2.1Gambaran PTSD Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias ... 48

2.2Tanda dan Gejala PTSD Pada Individu dengan PTSD ... 55

2.3 Keterbatasan Penelitian ... 60

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

1. Kesimpulan ... 62

2. Saran ... 62

2.1Praktik Keperawatan ... 62

2.2Pendidikan Keperawatan ... 63

2.3Peneliti Selanjutnya ... 63

2.4Pemerintah Daerah Setempat... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN 1. Lembar Persetujuan Responden ... 70

2. Instrumen Penelitian ... 71

3. Jadwal Penelitian ... 75

4. Taksasi Dana ... 76

5. Lembar Survei Awal ... 77

6. Lembar Persetujuan Uji Validitas ... 79

7. Lembar Izin Reliabilitas ... 95

8. Lembar Izin Penelitian ... 97

9. Lembar Izin Komisi Etik ... 101

10.Analisa Reliabilitas Instrumen ... 102

11.Analisa Tabel Frekuensi ... 104


(9)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran Post Traumatic


(10)

Judul Penelitian : Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

Nama Mahasiswa : Frida Nov Kristina Gulo

NIM : 101101086

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.kep) Tahun Ajaran : 2013/2014

ABSTRAK

Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat dan dapat mengakibatkan dampak psikologis yang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihannya. Salah satu bentuk dampak psikologis yang sering ditemui pada korban bencana alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD lebih rentan terjadi pada anak-anak dan remaja karena belum memiliki mekanisme koping yang adekuat secara fisik dan emosional untuk menghadapi trauma. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi PTSD pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Desain penelitian adalah desain deskriptif. Besar sampel 396 orang, dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Kriteria inklusi dalam menentukan sampel, yaitu remaja yang mengalami kejadian bencana gempa bumi 28 Maret 2005 di Pulau Nias. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi dan kuesioner PTSD Screening (PCL). Hasil penelitian menunjukkan 67.4% remaja tidak mengalami PTSD dan 32.6% remaja dengan PTSD. Pada pengelompokkan tanda dan gejala PTSD, gejala

hyperarousal 50.39%, gejala re-experiencing 30.23% dan gejala avoidance

19.38%. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh perawat jiwa dalam memberikan dukungan psikologis awal pasca bencana dengan metode pendekatan asuhan keperawatan jiwa sehingga dapat meningkatkan upaya pemulihan kesehatan jiwa korban bencana.


(11)

Title : Description of Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) on Teenagers in Teluk Dalam After 8 Years of Disastrous Earthquake in Nias Island

Name of Student : Frida Nov Kristina Gulo Student Number : 101101086

Program : Bachelor of Nursing Academic Year : 2013/2014

ABSTRACT

Catastrophic events that threaten and disrupt the lives and livelihoods of people and can lead to psychological impact which takes a relatively long time for restoration. One form of the psychological impacts that is often found on the victims of natural disasters is Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD is more prone to occur in children and adolescents because they do not yet have an adequate coping mechanism physically and emotionally to deal with the trauma. This research aims to identify PTSD to teenagers in Teluk Dalam after 8 years of disastrous earthquake in Nias Island. Research design used is a descriptive design. Number of sample was 396 people, with sampling purposive sample-taking methods. Inclusion criteria in determining the sample, i.e., adolescents who experienced the devastating earthquake on March 28, 2005 in Nias Island. Research instrument used in the form questionnaire data demographics and PTSD Screening questionnaire (PCL). Research result showed 67.4% of teens did not experience PTSD and 32.6% of adolescents with PTSD. In grouping of sign and symptoms of PTSD, symptoms of hyperarousal 50.39%, symptoms of reexperiencing 30.23% and 19.38% avoidance symptoms. The result of this research can be utilized by the mental nurse in psychological support after the initial approach to methods of nursing care of the soul so that it can improve mental health recovery efforts of disaster victims.


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (BNPB, 2012).

Bencana alam telah banyak terjadi di wilayah Indonesia. Salah satu wilayah di Indonesia yang paling rawan dihantam oleh bencana alam adalah Kepulauan Nias. Pulau Nias mengalami gempa besar sebanyak dua kali yaitu gempa bumi dan tsunami di lepas pantai Pulau Sumatera pada tanggal 26 Desember 2004 yang juga meluluhlantakkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan gempa bumi Pulau Nias yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 dengan kekuatan 8,7 skala Richter (Gulό, 2012).

Pusat getaran dari gempa bumi dahsyat terakhir ini terletak sekitar 2,93 LU dan 97,016 BT dengan kedalaman 30 km. Sektor perumahan terkena dampak paling parah, di mana 13.000 rumah hancur total, 24.000 rusak berat dan sekitar


(13)

34.000 rusak ringan. Prasarana transportasi juga rusak, yaitu 12 pelabuhan besar dan kecil hancur, 403 jembatan hancur dan 800 km jalan kabupaten dan 266 km jalan provinsi hancur. Sebanyak 723 gedung sekolah dan 1.938 tempat ibadah rusak. Gempa bumi ini menghancurkan perekonomian masyarakat. Total kerusakan diperkirakan sebesar US $ 392 juta, setara dengan 108 persen PDB Nias (Washington:The World Bank, 2007 dalam Gulό, 2012). Jumlah korban meninggal akibat gempa tektonik ini diperkirakan sedikitnya 638 orang. Data kondisi pada tanggal 26 April 2006 dari Satlak Penanggulangan Bencana (PB) Teluk Dalam tercatat bahwa korban terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan dengan korban luka ringan sebanyak 500 orang, luka berat 786 orang, dan korban meninggal sebanyak 58 jiwa (Nugroho, 2007).

Gempa bumi yang meluluhlantakkan seluruh Nias ini memang telah mengakibatkan banyak orang meninggal dunia, kehilangan orang yang dikasihi dan menciptakan penderitaan yang dalam bagi masyarakat baik secara fisik, spiritual, mental dan sosial (Gulό, 2012). Hal ini serupa dengan yang dinyatakan oleh Astuti (2006), bahwa kerugian-kerugian akibat gempa bumi yang ditanggung oleh masyarakat, tidak hanya berupa fisik seperti kerugian materi, rumah, harta benda, aset-aset dan pekerjaan, melainkan juga berupa non-fisik seperti kehilangan anggota keluarga dan famili serta kerugian psikologis yang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihannya. Berdasarkan estimasi kebutuhan (Iswanti dkk., 2006 dalam Astuti, 2006) terdapat 1 juta orang sampai dengan 2 juta orang yang mengalami beban psikologis dari tingkatan sedang


(14)

sampai tingkatan berat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 97,5% pulih secara alami setelah dua minggu, sebesar 2,5% atau 30 ribu orang mengalami kesulitan psikologis sampai tiga bulan setelah peristiwa gempa, dan sebanyak 1% atau 12 ribu orang mengalami kesulitan jangka panjang. Menurut Erwina (2010), salah satu bentuk dampak psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebenarnya muncul sebagai manifestasi dari pengalaman mengerikan. Penderitanya adalah mereka yang merupakan korban hidup yang secara fisik selamat, tetapi secara mental masih berada dalam tekanan psikologis dan terus-menerus berada dalam keadaan tersebut (Hartuti, 2009). Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) akan mengalami ansietas dan selalu teringat trauma melalui memori, mimpi atau reaksi terhadap isyarat internal tentang peristiwa yang terkait dengan trauma. Gangguan ini dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak dan remaja (APA, 2000; Videback, 2008 dalam Astuti, 2012).

Anak-anak dan remaja merupakan salah satu kelompok usia rentan dan sensitif terhadap dampak dari kejadian bencana yang dialaminya (Astuti, 2012). Kelompok usia anak dan remaja yang mengalami trauma akan lebih sulit disembuhkan daripada orang dewasa. Hal ini terjadi karena orang dewasa telah memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dalam diri, sementara pada anak-anak kemampuan ini masih sangat minim. Anak-anak-anak belum memiliki mekanisme koping yang adekuat secara fisik dan emosional untuk menghadapi trauma. Trauma ini dapat mengakibatkan adanya gangguan kejiwaan saat mereka tumbuh


(15)

dewasa dan mempengaruhi temperamen mereka (Sadock & Sadock, 2007; Murtanti, 2009). Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang menderita PTSD menunjukkan kesulitan dalam prestasi akademik, interaksi sosial, berkurangnya harapan pada masa depan dan perilaku agresif (Armsworth & Holaday, 1993 dalam Anderson, 2005). Jika tidak ditangani, hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tahap perkembangan dan berfungsi sepenuhnya menjadi orang dewasa (Anderson, 2005).

Menurut Kusmiran (2011), dalam setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi dan diselesaikan dengan baik. Pada masa remaja tugas perkembangan ini meliputi penerimaan keadaan dan penampilan diri, belajar berperan sesuai dengan jenis kelamin, mencapai relasi yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional, mencapai kemandirian ekonomi, dan mampu mengembangkan keterampilan intelektual untuk hidup bermasyarakat.

Kegagalan tugas-tugas perkembangan pada suatu tahapan perkembangan akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang serius. Salah satu konsekuensinya adalah adanya tekanan-tekanan sosial yang tidak dapat dihindari serta dasar untuk penguasaan tugas-tugas perkembangan berikutnya menjadi tidak adekuat (Hurlock, 1980). Astuti (2012) menambahkan bahwa apabila tugas perkembangan tidak dapat dilakukan atau mengalami gangguan pada masa remaja, maka akan mengganggu pada proses tumbuh kembang remaja baik secara


(16)

Survei dari Universitas Indonesia (UI) yang dibiayai WHO terhadap anak-anak di Aceh pasca tsunami menunjukkan bahwa sebanyak 20-25% di antaranya mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan membutuhkan pertolongan dari tenaga ahli. Hasil penelitian lain pada kelompok remaja prevalensi terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) mencapai 8-9%, dan kelompok remaja berisiko mencapai 13-45% (Ziegler, 2005 dalam Astuti, 2012).

Dalam DSM-IV-TR dinyatakan bahwa gejala PTSD yang ditemukan menggambarkan suatu stres yang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (APA, 2000). Gejala-gejala PTSD bisa mulai muncul seminggu hingga tiga puluh tahun setelah peristiwa traumatik ekstrem. Jadi, kurun waktu efek trauma bisa begitu panjang. Gejala-gejala tersebut bisa hilang timbul sepanjang hidup penderita, sehingga mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup. Meskipun tidak diobati dan ditangani dengan benar, ada sekitar 30% pasien Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang sembuh sendiri. Namun, ada sekitar 40% yang terus-menerus bahkan mengalami berbagai gejala dalam tingkat sedang dan 10% akan terus-menerus mengalami berbagai gejala dalam tingkat berat (Sadock & Sadock, 2007). Hal serupa dinyatakan oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang memperkirakan bahwa dalam setiap bencana, sebanyak 50% korban selamat akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Di antara mereka yang mengalaminya, sebanyak 5-10% akan mengalami manifestasi yang berat. Bahkan ada pakar yang menyebutkan angka ini mencapai 10-20% (Hartuti, 2009).


(17)

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Universitas Syiah Kuala,

International Organization for Migration (IOM), dan Universitas Harvard yang dilakukan pada tahun 2007, sekitar 3 tahun setelah tsunami di 14 kabupaten di Aceh ditemukan data sebanyak 10% menderita PTSD. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sudah beberapa tahun setelah terjadinya bencana, tetapi masalah gangguan mental masih dialami oleh masyarakat Aceh (Erwina, 2010). Diperkirakan oleh para peneliti, pemulihan PTSD bisa memerlukan waktu 8 tahun lebih bagi mereka yang mengalami stres setelah bencana (Kusumo, 2009).

Hasil wawancara dengan salah seorang guru SMA Swasta Katolik Bintang Laut Teluk Dalam menyatakan bahwa “goncangan ringan saja dapat menyebabkan siswa/siswi berlarian keluar kelas, beberapa siswa merasa ketakutan, panik dan pucat terutama bagi mereka yang rumahnya runtuh pada saat gempa bumi tahun 2005”.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian pada remaja Teluk Dalam mengenai PTSD

with delayed onset, yaitu tanda dan gejala PTSD yang muncul pada saat setelah 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Hal ini untuk melihat perkembangan pemulihan kesehatan jiwa mereka serta untuk deteksi dini. Sebab fase remaja adalah periode kehidupan manusia yang sangat strategis, penting dan berdampak luas bagi perkembangan selanjutnya.


(18)

2. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias?

3. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian yang telah dituliskan pada latar belakang, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

3.1 Tujuan umum

Mengidentifikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias.

3.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi PTSD berdasarkan karakteristik demografi pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di pulau Nias. b. Mengidentifikasi gambaran PTSD pada remaja Teluk Dalam pasca 8

tahun bencana gempa bumi di pulau Nias.

c. Mengidentifikasi tanda dan gejala PTSD pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di pulau Nias.

4. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 4.1 Praktik Keperawatan

Bagi institusi pelayanan keperawatan khususnya pelayanan kesehatan jiwa, diharapkan hasil penelitian ini dapat mendukung upaya dalam peningkatan


(19)

kesehatan jiwa remaja khususnya pada remaja yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu ilmu baru dan bermanfaat bagi dunia pendidikan dalam memberikan materi-materi tentang dampak bencana pada perkembangan psikologis terutama melalui mata kuliah elektif Nursing Disaster. Serta dapat melakukan pendekatan dalam konteks asuhan keperawatan sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan dapat tetap berlangsung dengan baik.

4.3 Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian berikutnya tidak hanya pada penelitian yang berhubungan dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana tetapi juga pada kondisi gangguan psikologis lainnya akibat bencana.

4.4 Pemerintah Daerah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi bagi pihak pemerintah daerah maupun lembaga masyarakat terkait untuk menyusun dan memasukkan program penanggulangan PTSD pasca bencana khususnya pada anak dan remaja sebagai program prioritas dalam penanganan bencana oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota yang diperkirakan rawan bencana.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP BENCANA 1.1 Definisi Bencana

Menurut World Health Organization (WHO), bencana adalah: (1) Sebuah gangguan serius dari berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, kerugian ekonomi atau lingkungan yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena tersebut untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri; (2) Situasi atau peristiwa, yang melampaui kapasitas lokal sehingga memerlukan bantuan eksternal pada tingkat nasional maupun internasional; (3) Sebuah istilah yang menggambarkan suatu peristiwa yang dapat didefinisikan secara spasial dan geografis, tetapi menuntut pengamatan untuk menghasilkan bukti. Ini menyiratkan interaksi dari stresor eksternal dengan komunitas manusia. Istilah ini digunakan dalam seluruh kegiatan sebagai respon untuk mengurangi terjadinya resiko (WHO, 2014).

1.2 Jenis-Jenis Bencana

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007, antara lain: (1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor; (2) Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian


(21)

peristiwa non-alam, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit; (3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar-kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan teror (BNPB, 2012).

Indonesia terletak di daerah dengan tingkat aktivitas gempa bumi tinggi, hal tersebut sebagai akibat bertemunya tiga lempeng tektonik utama dunia, yakni Samudera India-Australia di sebelah selatan, Samudera Pasifik di sebelah timur dan Eurasia, dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada di dalamnya. Pergerakan relatif ketiga lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya, yakni laut Philipina dan Carolina mengakibatkan terjadinya gempa-gempa bumi di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah pusat sumber gempa (BMKG, 2013). Menurut Tanjung dan Kamtini (2005), gempa bumi adalah getaran di tanah yang disebabkan oleh gerakan permukaan bumi. Gempa bumi yang kuat dapat menyebabkan kerusakan besar pada gedung, jembatan dan bangunan lain termasuk korban jiwa.

1.3 Respon Individu Terhadap Bencana

Perilaku yang diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap kejadian, sistem pendukung yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan. Terdapat tiga tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu: (1) Reaksi individu segera


(22)

(24 jam pertama) setelah bencana dapat berupa tegang, cemas, panik, terpaku, linglung, syok, tidak percaya, gembira atau euforia, tidak terlalu merasa menderita, lelah, bingung, gelisah, menangis, menarik diri dan merasa bersalah. Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan memerlukan upaya pencegahan primer; (2) Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan: ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah, kesulitan tidur, khawatir, sangat sedih. Reaksi positif yang masih dimiliki: berharap atau berpikir tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan, menerima bencana sebagai takdir. Kondisi ini masih termasuk respons normal yang membutuhkan tindakan psikososial minimal; (3) Lebih dari tiga minggu setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan dapat menetap dan dimanifestasikan dengan kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut, pesimis, menarik diri, berpikir tidak realistis, tidak beraktivitas, isolasi, kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit kepala (Keliat, Akemat, Helena, Nurhaeni, 2011).

Rice (Fahrudin, 2005 dalam Sunardi 2007) menjelaskan tiga periode bencana secara umum, yaitu: (1) Periode impak (impact periode) biasanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini berlangsung singkat; (2) Periode penyejukan suasana (recoil periode) biasanya berlangsung beberapa hari setelah kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan dan mengganti


(23)

harta benda mereka yang hilang; (3) Periode post traumatik (post-trauma period) biasanya berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana berjuang untuk melupakan pengalaman yang berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami. Hal ini berarti bencana selalu menyisakan masalah, bahkan untuk jangka lama.

2. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA 2.1 Definisi Psikologi Perkembangan

Psikologi perkembangan merupakan cabang ilmu psikologi yang menelaah pelbagai perubahan intra-individual dan perubahan-perubahan inter-individual yang terjadi di dalam perubahan intra-individual. Psikologi perkembangan mempelajari perubahan-perubahan perilaku menurut tingkat usia dari pembuahan sampai akhir hayat sebagai masalah hubungan antesenden (gejala yang mendahului) dan konsekuensinya (Hurlock, 1980).

2.2 Psikologi Perkembangan Anak

Masa anak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan dan saat dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Periode anak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu periode awal kanak-kanak (usia pra-sekolah) yang berlangsung dari usia 2-6 tahun dan periode akhir kanak-kanak (usia sekolah) dari 6-13 tahun (Hurlock, 1980). Menurut Yusuf (2011), pengalaman yang terjadi pada masa anak mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perkembangan berikutnya.


(24)

Karakteristik perkembangan yang terjadi pada usia anak, yaitu: a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik mengikuti pola yang dapat diramalkan meskipun sejumlah perbedaan dapat terjadi. Selama awal masa kanak-kanak, pertumbuhan fisik berlangsung lambat dan seimbang hingga mencapai akhir masa kanak-kanak dimana terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum anak menjadi matang secara seksual. Kesehatan dan gizi serta ketegangan emosional dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang tenang tumbuh lebih cepat dari anak yang mengalami gangguan emosional, meskipun gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat dan tinggi.

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah berada pada periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan daya pikir anak masih bersifat imajinatif, berangan-angan (berkhayal) dan kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda, gesture,

atau peristiwa) untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau kejadian. Sedangkan pada anak usia sekolah, daya pikirnya sudah berkembang ke arah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir khayal dan mulai berpikir berkaitan dengan dunia nyata.


(25)

c. Perkembangan Emosi

Selama awal masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat ketidakseimbangan karena anak-anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Pada masa akhir kanak-kanak, umumnya merupakan periode yang relatif tenang dan berlangsung sampai mulainya masa puber. Anak laki-laki pada setiap umur mengungkapkan emosinya dipandang lebih sesuai dengan jenis kelaminnya sedangkan anak perempuan lebih banyak mengalami rasa takut, khawatir, dan perasaan kasih sayang, yaitu emosi-emosi yang dipandang sesuai dengan peran seksnya. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu amarah, takut, cemburu, ingin tahu (curiosity), iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang.

d. Perkembangan Kepribadian

Dengan berjalannya periode awal masa kanak-kanak, anak semakin banyak berhubungan dengan teman sebayanya. Sikap dan cara teman-teman memperlakukannya mulai membawa pengaruh dalam konsep diri. Pengaruh tersebut dapat mendorong atau melawan dan bertentangan dengan pengaruh-pengaruh dari keluarga. Pada masa akhir kanak-kanak, lingkungan sosial anak semakin luas sehingga semakin mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Akibatnya, anak harus sering kali memperbaiki konsep diri (Hurlock, 1980).


(26)

2.3 Psikologi Perkembangan Remaja

World Health Organization (WHO) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut.

Remaja adalah suatu masa di mana: (1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya; (2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; (3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2010).

Rentang usia remaja berlangsung dari umur 13-18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Rentang usia remaja ini dibagi lagi menjadi dua periode, yaitu awal masa remaja (13-16 tahun) dan akhir masa remaja (17-18 tahun) (Hurlock, 1980). Karakteristik perkembangan yang terjadi pada usia remaja, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna pada saat masa puber berakhir, dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa awal remaja. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan dan perkembangan internal (sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin, jaringan tubuh) lebih menonjol daripada perkembangan eksternal (tinggi, berat, proporsi tubuh, organ seks).


(27)

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal. Remaja secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkret.

c. Perkembangan Emosi

Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan” suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Namun, ketegangan emosi yang meninggi terutama dikarenakan anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Meskipun demikian, adanya badai dan tekanan dalam periode ini akan berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.

d. Perkembangan Sosial

Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan tingginya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai-nilai dalam persahabatan, nilai-nilai-nilai-nilai dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai dalam seleksi pemimpin.


(28)

e. Perkembangan Kepribadian

Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian yang berpengaruh pada konsep diri. Beberapa diantaranya sama dengan kondisi pada masa anak-anak, tetapi banyak yang merupakan akibat dari perubahan-perubahan fisik psikologis yang terjadi selama masa remaja. Remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian “ideal” terhadap cara mereka menilai kepribadian mereka sendiri. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang ideal ini dan mereka yang tidak berhasil cenderung mengubah kepribadian mereka (Hurlock, 1980).

3 POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

3.1 Definisi PTSD

Gangguan stres pasca trauma atau disingkat dengan trauma psikologis merupakan istilah lain dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pada tahun 1980, untuk pertama kalinya ciri-ciri sindroma trauma psikologis yang dialami oleh para veteran perang Vietnam diterima sebagai suatu diagnosa oleh

American Psychiatric Association dengan sebutan Post Traumatic Stress Disorder

dan dimasukkan dalam buku pedoman gangguan mental Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM (Yule dkk., 1999; Parkinson, 2000; Nurrachman, 2002 dalam Sulistyaningsih, 2009).

Pengertian PTSD dapat dipahami dari definisi yang ditetapkan oleh


(29)

gangguan psikiatris yang terjadi setelah dialaminya peristiwa yang mengancam seperti menyaksikan kejadian-kejadian serangan militer, bencana alam, serangan teroris, kecelakaan serius, atau serangan kekerasan lainnya seperti pemerkosaan. Orang yang terkena gangguan PTSD sering mengalami kembali kejadian-kejadian melalui mimpi buruk atau bayangan kilas balik, sulit tidur, dan merasa terpisah atau terasing. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lama serta bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut (Sulistyaningsih, 2009).

Menurut Zlonick dkk. (2001 dalam Chandra, 2009), Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. PTSD kemungkinan bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan mungkin tidak muncul sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Nevid J dkk., 2002 dalam Chandra, 2009). Hal serupa diungkapkan oleh Darmono S dkk. (2008 dalam Chandra, 2009) bahwa PTSD merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat yang sangat mengganggu kualitas hidup dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan berkembang menjadi stres pasca trauma yang kompleks. Sadock & Sadock (2007), menyebutkan bahwa PTSD dapat berlangsung sampai dengan jangka waktu 30 tahun.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, PTSD merupakan gangguan kejiwaan akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis yang


(30)

mengancam keselamatan hidup seseorang dimana gejalanya dapat berlangsung lama dan bertambah berat, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang.

3.2 Penyebab Terjadinya PTSD

Stresor atau peristiwa traumatik adalah penyebab utama dalam perkembangan Post Traumatic Stress Disorder (Schiraldi, 2000; Sadock & Sadock, 2007). Stresor ini dapat bersumber dari bencana alam atau peristiwa yang melibatkan peran manusia. Peristiwa yang bersumber dari bencana alam dapat berupa gempa bumi, banjir, badai, tanah longsor dan berbagai macam bencana alam lainnya. Sedangkan peristiwa kekerasan yang melibatkan peran manusia dan dapat menimbulkan trauma, yaitu perang, kejahatan politik, penculikan, kejahatan kriminal, pemerkosaan, kekejaman dalam rumah tangga dan berbagai bentuk kekejaman lainnya (Sulystyaningsih, 2009).

Menurut Sadock & Sadock (2007), tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon terhadap peristiwa traumatik harus melibatkan rasa takut intens atau horor. Selain itu, perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sudah ada sebelumnya pada diri individu seperti, faktor biologis, faktor psikososial dan peristiwa yang dialami individu sebelum dan sesudah trauma.

Psychodynamic factors. Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan


(31)

dimanifestasikan dalam bentuk prilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, super ego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali (Yosep, 2011).

Menurut Sadock & Sadock (2007), faktor psikodinamika PTSD diantaranya, yaitu: (1) Peristiwa traumatik tersebut mengingatkan individu terhadap peristiwa traumatis masa lalunya; (2) Ketidakmampuan untuk meregulasi pengaruh yang disebabkan oleh trauma; (3) Somatisasi dan alexithymia mungkin menjadi salah satu efek samping dari trauma; (4) Kurangnya kemampuan mekanisme pertahanan (penolakan, kurangnya pemecahan masalah, pengingkaran, disosiasi, dan rasa bersalah); (5) Keterhubungan/seberapa dekat hubungan antara pelaku kejadian trauma seperti penolong, pelaku dan korban.

Cognitive-Behavioral factors. Dari segi kognitif, orang-orang yang

terkena dampak PTSD tidak dapat memproses atau merasionalisasikan kejadian trauma yang dialami. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk menghindari sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Dari segi model perilaku (behavioral), PTSD menekankan dua fase dalam perkembangannya. Pertama, melalui classic conditioning dimana trauma/peristiwa traumatis menimbulkan respons ketakutan yang berpasangan dengan stimulus (pemandangan, bau, suara, tempat) yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga dapat memicu reaksi-reaksi fisiologis ataupun psikologis. Kedua, terjadi sebagai hasil pembelajaran dari kejadian trauma yang dialaminya dimana individu


(32)

mengembangkan pola perilaku menghindar terhadap stimulus yang berkaitan dengan trauma (Sadock & Sadock, 2007).

Biological factors. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada

beberapa penderita PTSD terjadi hiperaktivitas dari noradrenergic, endogenous opiate systems serta hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Selain itu, ditemukan adanya peningkatan aktivitas dan respons dari sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan gangguan tidur (Sadock & Sadock, 2007).

3.3 Faktor Resiko PTSD

Ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa, kebanyakan orang bisa saja tidak mengalami gejala PTSD. Namun sebaliknya peristiwa atau kejadian biasa dapat menimbulkan gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor resiko yang berperan apakah seseorang akan mendapatkan PTSD atau tidak. Faktor-faktor resiko tersebut, yaitu: adanya trauma masa kecil, seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (seperti: borderline, paranoid, ketergantungan atau anti-sosial), sistem dukungan dari keluarga atau teman sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin: perempuan, kerentanan genetik terhadap penyakit jiwa, perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan, persepsi locus of control eksternal dan asupan alkohol yang berlebihan (Sadock & Sadock, 2007).


(33)

3.4 PTSD Pada Anak dan Remaja

PTSD dapat terjadi pada anak dan remaja, tetapi kebanyakan penelitian lebih berfokus pada orang dewasa. Dalam DSM-IV-TR, PTSD pada anak-anak menggambarkan gejala seperti kejadian mimpi yang berulang, mimpi buruk, dan gejala fisik seperti sakit perut dan sakit kepala (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007). Pada kelompok usia anak dan remaja, gejala yang ditampilkan memang tidak selalu sama dengan orang dewasa. Cara dimana anak mengingat kembali dan memanifestasikan perasaan mereka terkait dengan peristiwa traumatis kemungkinan akan berbeda pada orang dewasa. Gejala PTSD sangat bervariasi pada kalangan anak-anak dan remaja tergantung pada peristiwa traumatis itu sendiri, tingkat keparahan, durasi, dan usia perkembangan anak pada saat trauma (Anderson, 2005). Anak kemungkinan tidak menyadari telah mengalami gejala PTSD, karena gejala yang dirasakan disimpulkan sebagai penyakit biasa, seperti kehilangan nafsu makan, sering sakit kepala, perut kembung, dan sesak napas (Idrus, 2011).

Anak-anak sering menampilkan gejala mereka melalui permainan, gambar dan/atau cerita, atau mungkin menunjukkan kekhawatiran secara tidak langsung terkait peristiwa tersebut dengan kecemasan dan ketakutan yang berlebihan (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Perrin dkk., 2000 dalam Anderson, 2005). Anak-anak dan remaja biasanya memperlihatkan perilaku seperti impulsif dan tidak perhatian yang memiliki pengaruh negatif terhadap prestasi akademik mereka, menarik diri dari pergaulan sosial, menggunakan


(34)

encopresis, mengisap ibu jari dan takut tidur sendirian (Sadock & Sadock, 2007; Armsworth & Holaday, 1993 dalam Anderson, 2005). Anak-anak juga merasa bahwa masa depannya suram, berlangsung singkat serta berkurangnya harapan untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir serta terjadi penurunan minat pada kegiatan/aktivitas yang sebelumnya dilakukan (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Anderson, 2005).

Tingkat PTSD pada anak cukup tinggi akibat terpajan peristiwa yang mengancam jiwa seperti pertempuran atau perang, penculikan, penyakit parah atau terbakar, transplantasi sumsum tulang, dan sejumlah bencana alam maupun buatan manusia. Dalam situasi tertentu, hingga 90 persen anak-anak akan mengembangkan gangguan tersebut. Namun pada umumnya, PTSD tidak dianggap serius dan dianggap remeh pada anak-anak dan remaja (Sadock & Sadock, 2007).

Faktor risiko pada anak meliputi faktor-faktor demografis (misalnya, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi), peristiwa kehidupan (positif dan negatif), sosial dan budaya, komorbiditas psikiatri, dan strategi mekanisme koping yang digunakan. Dari faktor keluarga (misalnya, psikopatologi orangtua dan fungsional, status perkawinan, dan pendidikan) memainkan peran kunci dalam menentukan gejala pada anak (Sadock & Sadock, 2007). Morison dan Anders (2001), mengungkapkan bahwa reaksi/tanggapan yang ditunjukkan orang tua maupun anggota keluarga lainnya terhadap peristiwa traumatik dapat juga mempengaruhi terbentuknya PTSD pada anak.


(35)

3.5 Kriteria Diagnosik PTSD

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder, 4th edition Text Revision (DSM-IV-TR) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan gejala PTSD yang mencakup: A. Individu harus pernah terpapar pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana

kedua hal berikut dialami:

1. Seseorang yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri sendiri atau orang lain.

2. Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).

B. Mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing symptoms) melalui satu atau lebih gejala di bawah ini:

1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya yang bersifat mengganggu, berupa gambaran, pikiran, persepsi (catatan: pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan).

2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (catatan: pada anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya isi yang dapat diketahui maksudnya).

3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, ilusi, halusinasi) (catatan: pada anak-anak kejadian traumatis secara spesifik dapat terlihat).


(36)

4. Tekanan psikologis yang kuat jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

5. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:

1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.

2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya.

4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang.

5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)

7. Perasaan bahwa masa depannya suram (misalnya, berkurangnya harapan untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir, memiliki anak).

D. Gejala hiperarousal yang persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini:


(37)

1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya. 2. Mudah marah dan meledak-ledak emosinya.

3. Sulit berkonsentrasi.

4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan). 5. Reaksi kaget yang berlebihan.

E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.

F. Gangguan/gejala diatas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.

Spesifikasi:

Acute: Gejala berlangsung sampai 3 bulan

Cronic: Gejala berlangsung lebih dari 3 bulan

With delayed onset: gejala dimulai sedikitnya 6 bulan setelah ada stresor.

Sebagian besar literatur yang membahas PTSD pada anak-anak menyoroti keterbatasan penggunaan kriteria DSM-IV-TR untuk mendiagnosis anak dengan PTSD. Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memiliki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada orang dewasa (Anderson, 2005). Oleh karena itu, selain menggunakan DSM-IV-TR sebagai pedoman dalam mendiagnosis PTSD pada anak, tahap perkembangan anak juga perlu untuk dipertimbangkan (Tumanggor, 2013).


(38)

Menurut National Institute of Mental Health (NIMH, 2008), reaksi yang diperlihatkan anak-anak terhadap trauma, yaitu:

Anak usia ≤ 5 tahun . Anak-anak dalam rentang usia ini dapat bereaksi dengan cara: menunjukkan ekspresi wajah ketakutan, melekat terus pada orang tua atau pengasuh (takut terpisah/sendirian), menangis, menjerit, merintih, gemetar, tidak mau bergerak (freezing) atau kaku, timbul gejala regresif, yaitu mengalami kemunduran perkembangan yang sudah dikuasai anak, mengisap jempol, mengompol dan takut gelap. Reaksi anak-anak sangat dipengaruhi oleh reaksi orang tua terhadap trauma tersebut.

Anak usia 6-11 tahun, bereaksi dengan cara: mengisolasi diri, mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, tingkah laku yang agresif seperti mudah marah dan emosi yang meledak-ledak, waspada berlebihan, terjadi perubahan tingkah laku/mood/kepribadian, perkelahian, sulit berkonsentrasi di sekolah yang dapat berpengaruh terhadap prestasi akademik, menolak/menghindari ke sekolah, mengeluhkan badannya terasa sakit (gejala somatik), merasa ketakutan dan tertekan, merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian traumatik yang dialaminya, kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain (mati rasa), post traumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis permainan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik), melakukan pekerjaan rumah/sekolah dengan buruk.

Anak usia 12-18 tahun. Anak-anak dalam rentang usia ini memiliki berbagai reaksi, seperti: flashback, menghindari stimulus yang berkaitan dengan trauma, menggunakan narkoba, alkohol, perilaku anti-sosial, berlaku kasar dan


(39)

tidak sopan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku destruktif, adanya keluhan fisik, kehilangan minat dalam melakukan aktivitas, mengalami gangguan tidur seperti mimpi buruk atau masalah tidur lainnya, menarik diri dari pergaulan sosial, depresi, kebingungan, keinginan untuk mengakhiri hidup, merasa bersalah atas peristiwa yang terjadi dan memiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa yang dialaminya.

3.6 Jenis-Jenis PTSD

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis, yaitu: (1) PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1-3 bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat; (2) PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari tiga bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut; (3) PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatik itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Ross, 1999 dalam Erwina, 2010).


(40)

3.7 Penanganan PTSD

Penanganan bagi individu yang mengalami PTSD adalah psikoterapi, obat-obatan atau kombinasi keduanya. Setiap individu berbeda, sehingga pengobat-obatan yang bekerja untuk satu orang mungkin tidak bekerja bagi orang lain. Beberapa orang perlu mencoba melakukan perawatan yang berbeda untuk menemukan mana yang dapat mengurangi gejala yang dialami (NIMH, 2008).

Psikoterapi merupakan suatu terapi “bicara” yang dilakukan oleh seorang profesional kesehatan mental untuk mengobati penyakit mental. Psikoterapi dapat dilakukan pada individu atau secara berkelompok yang biasanya berlangsung 6-12 minggu atau lebih. Adanya dukungan dari keluarga maupun teman terdekat merupakan bagian penting selama terapi dilakukan. Salah satu bentuk psikoterapi yang dianggap lebih efektif untuk mengatasi PTSD, yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT) (NIMH, 2008). CBT merupakan suatu bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran yang dapat mempengaruhi alam perasaan dan perilaku individu (Sulystyaningsih, 2009).

Bentuk-bentuk Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu: (1) Exposure therapy, merupakan terapi yang membantu orang menghadapi dan mengendalikan rasa takut mereka. Bentuk terapi ini menggunakan imaginasi tentang trauma, menulis atau mengunjungi tempat dimana peristiwa itu terjadi yang disajikan secara hati-hati, berulang, dan terinci dalam situasi yang aman dan terkontrol; (2)

Cognitive restructuring, merupakan terapi yang membantu orang memahami kenangan buruk. Terkadang mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD


(41)

melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis; (3) Stress inoculation training, merupakan terapi yang mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajarkan cara mengontrol ketakutan dan kecemasan yang dialami, seperti mengajarkan teknik relaksasi (NIMH, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Catani pada tahun 2009 (dalam Tumanggor, 2013) pada anak-anak korban tsunami di Srilangka, menyebutkan

exposure therapy dan meditation relaxation dapat dilakukan pada anak-anak dengan latar belakang bencana yang sama. Anak-anak yang terlibat dalam penelitian ini diajarkan dan dilatih meditasi-relaksasi dengan teknik pernapasan. Meditasi-relaksasi ini dapat dipraktekkan di rumah dengan dukungan orang tua.

Exposure therapy, merupakan bentuk terapi yang dilakukan dengan cara meminta anak-anak menuliskan tentang bencana yang dialami untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang perasaan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 70% anak-anak dapat pulih kembali.

Studi lain yang dilakukan oleh Catani dkk. dan didukung oleh studi yang dilakukan oleh Van Der Oord dkk. pada tahun 2009 (dalam Tumanggor, 2013), mengamati 23 anak usia 8-18 tahun yang mengalami peristiwa traumatik berat menggunakan Cognitive Behavioural Writing Therapy (CBWT). Anak-anak diminta untuk menuliskan sesuatu dan orang tua mereka mengamati perilaku anak tersebut di rumah. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan depresi setelah pengobatan selama enam bulan dan gejala PTSD dapat diminimalkan. Namun, alat ini mungkin tidak sesuai untuk anak-anak prasekolah karena


(42)

pedoman National Collaborating Centre for Mental Health (2005). Pedoman ini memberikan tuntutan ke dalam kerangka intervensi psikologis melalui metode bermain dan menggambar untuk membantu anak-anak berfokus pada apa yang terjadi dan bagaimana perasaan mereka (Tumanggor, 2013).

Pilihan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengobati anak-anak dengan PTSD, yaitu: mengajarkan strategi atau cara mengontrol kecemasan misalnya, relaksasi pernapasan, bermain peran, pendidikan dan beberapa teknik distraksi. Penelitian oleh Carrion dkk. tahun 2002 dan Scheeringa tahun 2006 (dalam Tumanggor, 2013), menyarankan psikoterapi juga diberikan untuk anak-anak yang tidak memenuhi kriteria PTSD, namun mengindikasikan atau menunjukkan adanya gangguan dan penurunan fungsional. Hal ini penting untuk mencegah anak-anak mengembangkan gangguan tersebut menjadi lebih berat.

Untuk pengobatan atau psikofarmaka, menurut Sadock & Sadock (2007) dan NIMH (2008) ada beberapa jenis pengobatan yang dapat digunakan untuk penderita PTSD, yaitu: (1) Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), dianggap sebagai pengobatan lini pertama yang efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD. Kedua obat ini merupakan anti-depresan yang juga digunakan untuk mengobati depresi. Efek samping yang mungkin ditimbulkan seperti sakit kepala, mual, sulit tidur dan agitasi; (2) Imipramin (Tofranil) dan Amitriptyline (Evavil), merupakan anti-drepesant trisilik untuk pengobatan PTSD. Namun anti-depresan ini tidak merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping dibandingkan dengan anti-depresan lainnya; (3) Obat-obatan lain yang dapat digunakan, yaitu:


(43)

monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) (seperti Phenelzine [Nardil]), Trazodone (Dsyrel), dan anti-convulsants (seperti Carbamazepine [Tegretol], Valproate [Depakene]).

3.8 Diagnosa Keperawatan untuk PTSD

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul akibat PTSD menurut Yosep (2011) dan Wilkinson (2005), yaitu: sindrom pasca trauma, ansietas, ketidakberdayaan, potensial membahayakan diri/orang lain, inefective koping, berduka.

Tindakan keperawatan secara generalis menurut Wilkinson (2005), yaitu: (1) Behavior management: membantu klien mengurangi perilaku kasar atau tindakan memutilasi diri sendiri; (2) Coping enhancement: membantu pasien untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan yang dirasakan, atau ancaman yang mengganggu untuk memenuhi tuntutan hidup dan peran; (3) Counseling: menggunakan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan, masalah atau perasaan pasien, dan juga pada orang yang berarti bagi klien untuk meningkatkan koping, pemecahan masalah dan hubungan interpersonal; (4)

Financial resources assistance: membantu individu dan keluarga untuk mengelola keuangan sehingga memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan klien; (5) Impuls control training: membantu pasien untuk mengatasi perilaku impulsif melalui penerapan strategi pemecahan masalah untuk situasi sosial dan interpersonal; (6)

Security enhancement: meningkatkan rasa keamanan fisik dan psikologis klien; (7) Support system enhancement: fasilitasi dukungan kepada klien melalui keluarga, teman dan komunitas.


(44)

Menurut Yosep (2011), tindakan keperawatan pada klien dengan PTSD, antara lain: diskusikan persepsi klien tentang apa yang menyebabkan ansietas, bantu klien mengidentifikasi perasaan yang dialami dan berfokus bagaimana kopingnya, anjurkan klien untuk membuat tulisan tentang perasaannya, faktor yang mencetuskan, perilaku yang berkaitan, bantu klien untuk mengidentifikasi faktor jika mulai terjadi perasaan tidak berdaya dan hilangnya pengendalian diri, gali tindakan yang dapat digunakan klien selama periode stres (napas dalam, berhitung sampai 10, meninjau situasi, menyusun ulang), tingkatkan keterlibatan dalam program latihan/aktivitas dan olahraga, evaluasi adanya destruktif diri atau perilaku bunuh diri, izinkan klien mengekspresikan perasaan secara bebas, dan identifikasi orang-orang yang dapat mendukung klien.


(45)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. KERANGKA KONSEP

Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias.

PTSD pada remaja

Skema 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran Post Traumatic Stress Disorder pada remaja

Keterangan:

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Stresor traumatik: Bencana alam

Faktor lain yang mempengaruhi: 1. Psychodynamic factors 2. Cognitive-Behavioral Factors 3. Biological factors

Faktor resiko:

1. Keparahan, durasi dan kedekadatan individu terhadap paparan peristiwa traumatik

2. Adanya trauma masa kecil 3. Adanya gangguan kepribadian 4. Sistem dukungan dari keluarga atau

teman sebaya yang tidak memadai 5. Jenis kelamin: perempuan

6. Kerentanan genetik terhadap penyakit jiwa

7. Perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan

8. Persepsi locus of control eksternal 9. Alkohol

PTSD with delayed onset

PTSD kronik PTSD Akut


(46)

2. DEFENISI OPERASIONAL Tabel 3.1. Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Operasional

Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Post

Traumatic Stress Diorder (PTSD) pada remaja

Kondisi yang dapat dialami remaja setelah kejadian traumatis dengan tipe delayed onset

yang

dikelompokkan dalam 3 gejala, yaitu: merasakan kembali peristiwa tersebut ( re-experiencing symptoms), berusaha menghindari pikiran dan segala hal yang berkaitan dengan kejadian traumatis tersebut (avoiding

symptoms), dan tanda-tanda kewaspadaan yang berlebihan biasanya mengganggu kehidupan individu (hyperarousal symptoms) Instrumen berupa kuesioner dengan jumlah pertanyaan 17 item. Pilihan jawaban: - Selalu (SL)

= 5

- Sering (SR) = 4

- Kadang-kadang (KD) = 3

- Jarang (JR) = 2 - Tidak Pernah (TP) = 1 - Minimal memiliki 1 re-experiencing symptoms - Minimal memiliki 3 avoiding symptoms - Minimal memiliki 2 hyperarousal symptoms (Sumber: DSM-IV-TR, 2000; NCPTSD,2012) Ordinal


(47)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. DESAIN PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias (Sastroasmoro, 2002).

2. POPULASI DAN SAMPEL 2.1 Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja Teluk Dalam berusia 13-18 tahun yang berjumlah 39.610 orang (BPS Teluk Dalam, 2013).

2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Penentuan besarnya sampel yang akan dipakai oleh peneliti adalah dengan menggunakan rumus:

n = N N (d)2 + 1


(48)

Dimana: n = jumlah sampel

N= jumlah populasi

d = tingkat kesalahan yang dipilih (5% = 0,05)

Maka: n= N N (d)2+ 1 n = 39.610

39.610 (0,05)2+ 1 n = 39.610

100,025 n = 396 orang

Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 396 orang.

Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam menentukan sampel pada penelitian ini, yaitu remaja yang mengalami kejadian bencana gempa bumi 28 Maret 2005.

3. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan dengan pertimbangan merupakan wilayah yang mengalami gempa pada tanggal 28 Maret 2005 dan belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan dengan kesehatan mental. Selain itu, pemilihan Kecamatan Teluk Dalam


(49)

sebagai tempat penelitian dikarenakan wilayah ini mengalami kerusakan sarana dan prasarana yang parah dan korban terbanyak dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Nias selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2014.

4. PERTIMBANGAN ETIK

Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji dan peneliti mendapatkan izin dan rekomendasi dari institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya mengirimkan surat permohonan untuk mendapatkan surat izin dari institusi dan rekomendasi dari kantor Camat Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan.

Setelah mendapat izin dari Camat Teluk Dalam, peneliti memulai pengumpulan data dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent) kepada remaja sebagai responden. Sebelum responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian yang akan dilakukan. Jika calon responden bersedia untuk dijadikan objek penelitian, maka calon responden harus menandatangani lembar persetujuan. Jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality) responden, peneliti tidak mencantumkan nama (anonimyty), tetapi hanya mencantumkan nomor responden pada masing-masing lembar pengumpulan atau lembar observasi sebagai kode yang hanya diketahui oleh peneliti. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti.


(50)

5. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: kuisioner data demografi dan kuesioner tanda dan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Kuesioner data demografi terdiri dari inisial nama dan nomor responden, usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan usia saat mengalami peristiwa traumatis.

Kuesioner untuk mengukur tanda dan gejala PTSD yang digunakan peneliti dalam penelitian ini merupakan instrumen PTSD Screening (PCL) yang bersumber dari National Center for PTSD (NCPTSD). PTSD Screening (PCL) dilakukan back translation terlebih dahulu, yaitu menerjemahkan instrumen ini ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa aslinya sebagai sarana memeriksa keakuratan dan dilakukan oleh penerjemah profesional (Paegelow, 2008). Kuesioner berupa evaluasi diri ini terdiri dari 17 pertanyaan yang terdiri dari 3 kelompok pertanyaan. Pertanyaan nomor 1-5 masuk dalam kelompok re-experiencing symptoms, pertanyaan nomor 6-12 masuk dalam kelompok avoiding symptoms, dan pertanyaan nomor 13-17 masuk dalam kelompok hyperarousal symptoms. Dalam penentuan skoring pernyataan diberi pilihan jawaban Selalu (SL) = 5, Sering (SR) = 4, Kadang-kadang (KD) = 3, Jarang (JR) = 2, Tidak Pernah (TP)=1. Jawaban responden untuk kategori 3-5 dianggap memiliki gejala sedangkan jawaban responden untuk kategori 1-2 dianggap tidak memiliki gejala, dengan mengikuti ketentuan kriteria diagnostik PTSD dari DSM-IV-TR:


(51)

a) Minimal memiliki 1 re-experiencing symptoms (pertanyaan nomor 1-5) b) Minimal memiliki 3 avoiding symptoms (pertanyaan nomor 6-12) c) Minimal memiliki 2 hyperarousal symptoms (pertanyaan nomor 13-17)

6. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2005).

Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yakni sejauh mana instrumen penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Uji validitas dilakukan dengan cara mengkoreksi instrumen dan dilakukan penilaian oleh 1 orang tenaga ahli yang berkompeten dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran USU, yaitu dr. Elmeida Effendy, Sp. KJ, 1 orang tenaga ahli yang berkompeten dari bagian Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU, yaitu Sri Eka Wahyuni, S.Kep.,Ns dan 1 orang spesialis Keperawatan Jiwa, yaitu Walter, S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.J. Berdasarkan uji validitas tersebut, kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih efektif untuk mempermudah responden untuk memahami kalimat dalam instrumen tersebut dengan item-item pertanyaan yang mengukur sasaran yang ingin diukur sesuai dengan tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Setelah dilakukan uji validitas maka didapatkan nilai CVI 0,96. Hal ini berarti instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini telah valid.


(52)

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen, maka dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas instrumen ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan alat ukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang relatif sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok subjek yang sama (Azwar, 2004). Menurut Polit & Hungler (1995) bila dilakukan uji reliabilitas dan diperoleh nilai cronbach’s alpha 0,70 atau lebih maka instrumen dinyatakan reliabel.

Instrumen PTSD Screening (PCL) telah reliabel dengan nilai 0,96 (Orsillo, 2002). Namun perlu kembali dilakukan uji reliabilitas karena telah dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penelitian. Dalam penelitian ini uji reliabilitas dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada 30 remaja yang memiliki kriteria yang sama dengan sampel penelitian. Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan bantuan komputerisasi dan diperoleh nilai

cronbach’s alpha 0,757. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kuesioner tanda dan gejala PTSD yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

7. PENGUMPULAN DATA

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara: mendapatkan izin penelitian dari institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Keperawatan Sumatera Utara. Setelah itu, peneliti mengajukan surat permohonan pengambilan data tersebut ke Camat Teluk Dalam dan Dinas Pendidikan Kabupaten Nias


(53)

Selatan. Setelah mendapatkan persetujuan, peneliti menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang sebelumnya telah ditetapkan.

Pengumpulan data dilakukan pada remaja yang ada di masyarakat dengan mendatangi rumah ke rumah, mengikuti perkumpulan pemuda-pemudi baik formal maupun informal, dan pada remaja yang ada di sekolah. Kemudian, peneliti memperkenalkan diri dan memberi penjelasan kepada remaja sebagai calon responden mengenai tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan penelitian, dan cara pengisian kuesioner. Remaja yang bersedia, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Jika menolak, maka peneliti tidak memaksa dan menghormati hak responden tersebut.

Untuk responden dengan usia 13-14 tahun dengan tingkat pendidikan SD, peneliti membacakan dengan menyederhanakan kalimat kuesioner agar responden memahami maksud/isi dari pertanyaan. Kemudian atas jawaban responden, peneliti mengisi lembar kuesioner tersebut. Sedangkan untuk usia responden 15-17 tahun dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA, pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner penelitian kepada responden dan diisi sendiri oleh responden dengan didampingi oleh peneliti. Peneliti mempersilahkan responden untuk bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti terkait pengisian kuesiner maupun content atau isi dari pertanyaan yang tidak dipahami. Setelah kuesioner diisi, kuesioner tersebut dikumpulkan kembali dan diperiksa kelengkapannya. Apabila ada yang belum lengkap maka kuesioner tersebut dilengkapi pada saat itu juga.


(54)

8. ANALISA DATA

Setelah data semua terkumpul maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahapan, yaitu editing memeriksa kelengkapan identitas responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Selanjutnya data diperiksa secara manual untuk menentukan data yang memenuhi kriteria diagnostik PTSD dari DSM-IV-TR, yaitu minimal memiliki 1 gejala re-experiencing, minimal memiliki 3 gejala avoiding dan minimal memiliki 2 gejala

hyperarousal. Kemudian diberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Pengolahan data dilakukan dengan tehnik komputerisasi yaitu dengan menggunakan entri data dan teknis analisis deskriptif.

Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik univariat atau statistik deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk menggambarkan dan memaparkan suatu variabel. Selanjutnya dari pengolahan data statistik deskriptif, data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase untuk mendeskripsikan data demografi dan data gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja.

Berdasarkan pengelompokan tanda dan gejala PTSD disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dan diolah dengan bantuan komputerisasi.

a. Re-experiencing symptoms, terdiri dari 5 pertanyaan ( pertanyaan nomor 1-5). Setiap item pertanyaan apabila responden menjawab dengan nilai 1 & 2 maka


(55)

dikode dengan angka 0 sedangkan jawaban responden 3, 4 & 5 dikode dengan angka 1. Pengkodean ini dibuat berdasarkan ketentuan PTSD Screening (PCL) yang menetapkan bahwa jawaban responden untuk kategori 3-5 dianggap memiliki gejala sedangkan jawaban responden untuk kategori 1-2 dianggap tidak memiliki gejala.

b. Avoiding symptoms, terdiri dari 7 pertanyaan ( pertanyaan nomor 6-12). Setiap item pertanyaan apabila responden menjawab dengan nilai 1 & 2 maka dikode dengan angka 0 sedangkan jawaban responden 3, 4 & 5 dikode dengan angka 1. Pengkodean ini dibuat berdasarkan ketentuan PTSD Screening (PCL) yang menetapkan bahwa jawaban responden untuk kategori 3-5 dianggap memiliki gejala sedangkan jawaban responden untuk kategori 1-2 dianggap tidak memiliki gejala.

c. Hyperarousal symptoms, terdiri dari 5 pertanyaan (pertanyaan nomor 13-17). Setiap item pertanyaan apabila responden menjawab dengan nilai 1 & 2 maka dikode dengan angka 0 sedangkan jawaban responden 3, 4 & 5 dikode dengan angka 1. Pengkodean ini dibuat berdasarkan ketentuan PTSD Screening (PCL) yang menetapkan bahwa jawaban responden untuk kategori 3-5 dianggap memiliki gejala sedangkan jawaban responden untuk kategori 1-2 dianggap tidak memiliki gejala.

d. Kemudian dicari nilai rata-rata dari masing-masing kelompok tanda dan gejala PTSD tersebut. Nilai yang terbesar atau lebih menonjol dari ketiga kelompok tanda dan gejala PTSD, maka responden akan dimasukkan ke dalam kelompok tersebut.


(56)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. HASIL PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dari pengumpulan data terhadap 396 remaja Teluk Dalam yang dilakukan pada bulan Februari 2014 di Kecamatan Teluk Dalam. Penyajian hasil analisa data dalam penelitian ini meliputi data demografi dan gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias.

1.1 Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berusia 17-18 tahun sebanyak 167 orang (42.2%) tidak mengalami PTSD. Responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 135 orang (34.1%) yang tidak mengalami PTSD. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA, yaitu 189 orang (47.7%). Berdasarkan latar belakang pekerjaan sebanyak 256 orang (64.6%) adalah pelajar. Rentang usia responden pada saat bencana yang tidak mengalami PTSD sebanyak 245 orang (61.9%) berada pada interval 6-12 tahun.

Hasil penelitian tentang karakteristik demografi responden lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.1. di bawah ini.


(57)

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan data demografi remaja di Kecamatan Teluk Dalam (n=396)

Data Demografi Yang mengalami PTSD

Yang tidak mengalami PTSD Frekuensi (F) Persentase (%) Frekuensi (F) Persentase (%) Usia 13-16 tahun 17-18 tahun 31 98 7.8 24.7 100 167 25.3 42.2 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 70 59 17.7 14.9 132 135 33.3 34.1 Agama Kristen Protestan Islam Katolik 87 2 40 22.0 0.5 10.1 207 11 49 52.3 2.8 12.4 Pendidikan SD SMP SMA P.Tinggi 11 3 113 2 2.8 0.8 28.5 0.5 2 40 189 36 0.5 10.1 47.7 9.1 Pekerjaan Pelajar Wiraswasta Tidak bekerja 127 2 32.1 0.5 256 2 9 64.6 0.5 2.3 Suku Nias Batak Padang Jawa

129 32.6 257

3 2 5 64.9 0.8 0.5 1.3 Usia saat bencana

2-5 tahun 6-12 tahun 12 117 3.0 29.5 22 245 5.6 61.9


(58)

1.2 Gambaran Post Traumatic Stress Disorder Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami PTSD pasca 8 tahun bencana gempa bumi sebanyak (32.6%) dan yang tidak mengalami PTSD sebanyak (67.4%)

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi dan persentase gambaran Post Traumatic Stress Disorder pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias (n=396 orang)

Berdasarkan pengelompokkan tanda dan gejala, ditemukan 50,39% dengan gejala hyperarousal, 30,23% dengan gejala re-experiencing dan 19,38% dengan gejala avoidance.

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dan persentase Tanda dan Gejala Post Traumatic Stress Disorder pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias (n=129)

Gambaran PTSD pada remaja pasca 8 tahun bencana gempa bumi

Frekuensi (F)

Persentase (%) Mengalami PTSD

Tidak mengalami PTSD

129 267

32.6 67.4

Total 396 100

Tanda dan Gejala PTSD Frekuensi

(F) Persentase (%) re-experiencing avoidance hyperarousal 39 25 65 30.23 19.38 50.39


(59)

2 PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Berdasarkan Karakteristik Demografi Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 67.4% remaja Teluk Dalam tidak mengalami PTSD pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Hal ini sinkron jika dilihat dari data demografi bahwa mayoritas responden yang tidak mengalami PTSD berada pada rentang usia 17-18 tahun (42.2%). Rentang usia ini dikategorikan sebagai akhir dari masa remaja. Oleh karena itu, pada masa ini remaja diharapkan telah mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan remaja sehingga mampu secara optimal memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1980).

Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu: mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya, mencapai kemandirian ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan mampu memperoleh perangkat nilai dan sistem etis (Hurlock, 1980).

Menurut Yusuf (2011), masa remaja akhir ditandai oleh keinginan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang secara matang dengan mencapai tugas-tugas perkembangan agar diterima oleh teman sebaya, orang dewasa, dan budaya. Pada


(60)

masyarakat dari dirinya. Untuk itu, mereka mengumpulkan berbagai peran dan perilaku yang sesuai dengan harapan-harapan sosial. Penyesuain diri ini menstimulus terbentuknya koping yang adaptif dalam menghadapi berbagai situasi. Remaja mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah melalui tindakan logis. Remaja dapat berfikir abstrak dan menghadapi masalah hipotenik, tekanan, pengalaman tidak menyenangkan atau pengalaman traumatis di masa lalu secara efektif. Jika berkonfrontasi dengan masalah, remaja dapat mempertimbangkan beragam penyebab dan solusi. Kemampuan koping sebelumnya jika berhasil digunakan dengan baik dapat menunjukkan adaptasi yang sehat dan fungsi remaja yang utuh.

Responden perempuan adalah yang terbanyak tidak mengalami PTSD, yaitu 135 orang (34.1%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Sadock, B.J & Sadock, V.A (2007) yang mengemukakan bahwa prevalensi terjadinya PTSD lebih tinggi pada populasi perempuan, yaitu berkisar 10-12% sedangkan laki-laki berkisar 5-6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmadiany (2008) juga menemukan bahwa penderita PTSD yang mendapatkan penanganan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara, lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu 62.5% sedangkan laki-laki sebanyak 37.5%.

Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat resiliensi yang dimiliki oleh perempuan Nias pasca bencana. Menurut Baustita dkk. (2001 dalam Sulystyaningsih, 2009), resiliensi adalah kemampuan luar biasa pada individu untuk tetap bertahan menghadapi penderitaan yang amat berat, untuk bangkit kembali menghadapi kesulitan hidup yang besar, dan menjalani hidup secara


(61)

relatif normal. National Institute of Mental Health (NIMH, 2008) menyebutkan bahwa faktor resiliensi untuk PTSD mencakup adanya dukungan dari orang lain seperti teman dan keluarga, memilki support group setelah kejadian traumatis, perasaan yang lebih baik terhadap reaksi yang timbul untuk menghadapi bahaya, memiliki strategi koping yang efektif, mampu untuk bertindak dan berespon secara efektif daripada merasakan ketakutan. Makin banyak faktor-faktor resiliensi ini dimiliki oleh individu, maka resiko untuk menderita PTSD akan berkurang. Hasil penelitian ini didukung oleh Simatupang (2009) yang menemukan bahwa resiliensi perempuan Nias pasca tsunami dan gempa bumi menunjukkan tingkat resiliensi yang baik, yaitu sebesar 81%.

Untuk meningkatkan kesadaran perempuan Niastentang adanya resilience

di dalam diri mereka sebagai penyintas bencana gempa bumi, salah satu strategi yang digunakan adalah dengan mengikut-sertakan secara aktif atau memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan rekonstruksi pasca bencana dengan mendorong adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang mengacu pada hak, kewajiban, dan kesempatan yang setara pada perempuan dan laki-laki dan anak perempuan dan anak laki-laki. Kesetaraan tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan menjadi sama, tetapi bahwa hak-hak, kewajiban, dan kesempatan perempuan maupun laki-laki tidak akan tergantung pada apakah mereka terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Kesetaraan gender menyiratkan bahwa minat, kebutuhan, dan prioritas perempuan maupun laki-laki dihargai, mengakui atas


(62)

keragaman di antara berbagai kelompok laki-laki dan perempuan yang berbeda-beda (MDF-JRF, 2012).

Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias (MDF) dan Java Reconstruction Fund (JRF) diakui secara luas telah berperan penting dalam strategi dan langkah untuk mendukung kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan pengarusutamaan pendekatan yang peka gender dalam upaya rekonstruksi. Komitmen terhadap gender dan pemberdayaan perempuan telah dimulai di Nias dan Aceh dan diteruskan pada saat dilakukannya upaya pemulihan dan rekonstruksi setelah gempa bumi dan letusan vulkanis di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Hasil menunjukkan bahwa keterlibatan aktif perempuan dalam upaya rekonstruksi, perencanaan pemukiman masyarakat, pemulihan mata pencaharian, dan pengurangan risiko bencana meningkatkan daya tahan mereka apabila kembali terjadi bencana di masa depan. Perempuan mempelajari berbagai keterampilan dan mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan mereka menciptakan dan mempertahankan mata pencaharian, serta mengatasi kehilangan akibat bencana yang tentu saja berdampak pada ketahanan psikologis mereka.

Perempuan seringkali digambarkan sebagai korban bencana yang pasif. Bukti menunjukkan sebaliknya: perempuan aktif berjuang menyelamatkan komunitas mereka. Meskipun mengalami trauma, perempuan tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban mereka seperti biasa, bahkan lebih dari kaum pria, yang dalam sejumlah kasus trauma pasca bencana, menunjukkan sikap yang lebih beringas atau menggila. Perempuan memobilisasi jaringan sosial formal dan


(1)

103

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items

Item Means 2.459 1.533 3.533 2.000 2.304 .313 17

Item Variances 1.608 .533 2.648 2.115 4.966 .296 17

Inter-Item Covariances .249 -.467 1.759 2.225 -3.768 .132 17

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

P1 38.97 88.171 .324 .748

P2 39.93 90.478 .297 .751

P3 38.37 84.723 .409 .741

P4 40.27 91.168 .196 .756

P5 39.33 81.609 .424 .738

P6 38.70 87.459 .219 .757

P7 39.17 90.075 .099 .770

P8 39.57 87.909 .259 .752

P9 39.63 83.757 .380 .742

P10 40.03 85.068 .419 .740

P11 39.83 86.764 .285 .751

P12 39.60 79.834 .435 .737

P13 39.60 84.248 .409 .740

P14 39.30 84.286 .371 .743

P15 39.20 83.821 .468 .736

P16 39.03 84.585 .340 .746

P17 38.27 80.340 .532 .728


(2)

LAMPIRAN 11

FREQUENCIES VARIABLES=Usia Gender Agama Pendidikan Pekerjaan Suku Kel.usi a

/STATISTICS=STDDEV VARIANCE MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN MODE /ORDER=ANALYSIS.

Frequencies

Statistics

Usia Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Suku

Usia saat bencana

N Valid 396 396 396 396 396 396 396

Missing 0 0 0 0 0 0 0

Mean 3.0177 2.8384 4.8535 5.6187 3.7904 3.7525 3.2626 Median 3.0000 3.0000 6.0000 7.0000 5.0000 5.0000 4.0000

Mode 4.00 4.00 6.00 7.00 5.00 5.00 4.00

Std. Deviation .99222 1.08343 2.38853 2.02854 1.97683 1.95114 .98429

Minimum 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

Maximum 4.00 4.00 8.00 8.00 8.00 8.00 4.00

Frequency Table

Usia Responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 13-16 tahun ( PTSD) 31 7.8 7.8 7.8

17-18 tahun ( PTSD) 98 24.7 24.7 32.6

13-16 tahun (Non-PTSD) 100 25.3 25.3 57.8

17-18 tahun (non-PTSD) 167 42.2 42.2 100.0


(3)

105

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki (PTSD) 70 17.7 17.7 17.7

Perempuan (PTSD) 59 14.9 14.9 32.6

Laki-laki (Non-PTSD) 132 33.3 33.3 65.9

Perempuan (Non-PTSD) 135 34.1 34.1 100.0

Total 396 100.0 100.0

Agama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Kristen Protestan (PTSD) 87 22.0 22.0 22.0

Islam (PTSD) 2 .5 .5 22.5

Katolik (PTSD) 40 10.1 10.1 32.6

Kristen Protestan

(Non-PTSD) 207 52.3 52.3 84.8

Islam (Non-PTSD) 11 2.8 2.8 87.6

Katolik (Non-PTSD) 49 12.4 12.4 100.0


(4)

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD (PTSD) 11 2.8 2.8 2.8

SMP (PTSD 3 .8 .8 3.5

SMA (PTSD) 113 28.5 28.5 32.1

Perguruan Tinggi (PTSD) 2 .5 .5 32.6

SD (Non-PTSD) 2 .5 .5 33.1

SMP (Non-PTSD) 40 10.1 10.1 43.2

SMA (Non-PTSD) 189 47.7 47.7 90.9

Perguruan Tinggi

(Non-PTSD) 36 9.1 9.1 100.0

Total 396 100.0 100.0

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pelajar (PTSD) 127 32.1 32.1 32.1

Tidak bekerja (PTSD) 2 .5 .5 32.6

Pelajar (Non-PTSD) 256 64.6 64.6 97.2

Wiraswasta (Non-PTSD) 2 .5 .5 97.7

Tidak bekerja (Non-PTSD) 9 2.3 2.3 100.0


(5)

107

Suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Nias (PTSD) 129 32.6 32.6 32.6

Nias (Non-PTSD) 257 64.9 64.9 97.5

Batak (Non-PTSD) 3 .8 .8 98.2

Padang (Non-PTSD) 2 .5 .5 98.7

Jawa (Non-PTSD) 5 1.3 1.3 100.0

Total 396 100.0 100.0

Usia saat bencana

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2-5 tahun (PTSD) 12 3.0 3.0 3.0

6-12 tahun (PTSD) 117 29.5 29.5 32.6

2-5 tahun (Non- PTSD) 22 5.6 5.6 38.1

6-12 tahun (Non-PTSD) 245 61.9 61.9 100.0


(6)

LAMPIRAN 12

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Frida Nov Kristina Gulo

Tempat Tanggal Lahir : Hilisataro, 10 November 1992

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Kristen Protestan

Alamat

: Jl. Pelabuhan Baru Kec. Teluk Dalam Kabupaten Nias

Selatan

Riwayat Pendidikan

:

1. SDN 076728 Bawolowalani Kec. Teluk Dalam

Tahun 1998-2004

2. SMP Sw. Katolik Bintang Laut

Tahun 2004-2007

3. SMA Sw. Katolik Bintang Laut

Tahun 2007-2010

4. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Tahun 2010-2014