Yogyakarta dari kontinuitas ke perubahan.

DAFTARISI

Efek Perubahan Konstelasi Kekuasaan Di Yogyakarta 1

Pengantar ............................... ~ .....................
Daftar lsi ........................................................

PM Laksono2
11

Totalitas Kerajawian J awa dalam Rentang Sejarah

Efek Perubahan Konstelasi Kekuasaan di Yogyakarta
PM Laksono .......... . . . . ... .. . .. . .. . .. . .. .... .. . .. . . . . ..

1

YOGYAKARTA Dari Kontinuitas ke Perubahan
H. Purwan ta ............. . .. . .. . . . . .. . .. . . . . . . . . . . .. . .. . . . . ..

14


Etika Politik Dan Kekuasaan Di Bidang Pendidikan
Di Daerah Istimewa Yogyakarta
Y.B. Adimassana ....................................

31

Yogyakarta City In Transformation Process:
The Dynamic Relations Between State And Society
B. Setiawan ........................................................

42

EnCHJturl.im:~S
aM Jav.aoese Culture;
·"euetlll=a..:nUCtbeHolylfaltofJaJus, Oarijuran,
Bantul, Yo~Speclat
'Region
Silverio R. L. Aji Sampurno ........................ .... ...........71


Lebih dari 20 tahun yang lalu, dari pendekatan strukturalisme
dan dengan mempertimbangkan dimensi transenden/teoretik, imanen/
praksis, saya menemukan bahwa kerajawian Jawa itu paradoksal
(Laksono 1985). Dengan kata lain konsep kerajawian Jawa itu
memuat ambivalensi. J adi ia juga mewakili pengertian suwung
awang uwung, suatu totalitas yang tidak terperikan. Demikianlah
totalitas itu juga sering dirumuskan dalam ungkapan manunggaling
kawula Ian gusti, menyatunya rakyat dan tuannya. Dalam duma
perwayangan totalitas itu dapat ditemukan dalam diri Semar. Orang
jawa pun kemudian antara lain mengidam-idamkan seorangraja jawa
hams mampu mengemban atribut itu untuk mewujudkan tata tentrem
dalam tugas bina negaranya. Oleh karenanya raja memerlukan
kasekten atau kekuatan mistik yang amat sangat diperlukan pada
saat-saat kritis karena ada acaman dari kekuatan luar termasuk
yang berasal dari kekuatan supra alami. Babad Tanah Djawi
misalnya menuturkan bagaimana kasekten itu dibayangkan pada
waktu G. Merapi meletus tahun 1672 (1594 Syaka):
"Pada waktu itu bersamaan dengan menyalanya gunung
Merapi, terdengar suara menggelegar menyeramkan. Batu-batu
besar beradu menimbulkan api. Seperti hujan api saja tampaknya.

Ladu mengalir turun lewat kali.
IDisampaikan dalam Seminar Sehari Menyambut 250 Tahun Kota
Yogya" Pusat Studi Sejarah Indonesia (Indonesiana) dan Pusat Sejarah dan
Etika Politik (Pusdep), Universitas Sanata Dharma, 15 Agustus 2006.
zDosen Jurusan Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

11

1

,
YOGYAKARTA
Dari Kontinuitas ke Perubahan*
Oleh H. Purwanta**
A.

Pendahuluan

Pada tanggal27 Mei 2006 lalu satu peristiwa tragis terjadi.
Gempa bumi menghentak Yogyakartadan menghancurkan puluhan

ribu rumah sertamenelan ribuankorban nyawa di Kabupaten BantuL
Masyarakat kini menjalani kehidupan dengan tinggal di tenda-tenda
dengantinggal menerima satu pilihan, yaitunrimo, sebuahsikaplUltuk
menerima peristiwa memilukan itu sebagai rea1itas hidup yang harus
dijalani.
Dari perspektif historis, kehancuran yang dialami oleh
masyarakat Bantul dan sekitarnya, dapat dimaknai sebagai simbol
akan hilangnya mata rantai kebudayaan yang mengakibatkan
terputusnya hubungan antara masa kini dan masa lalu. Sejarah
seharusnya memiliki dua lUlSUf, yaitu kontinuitas dan perubahan, yang
terbingkai oleh waktu. Melalui kontinuitas, sejarah menarasikan
beroagai unsur kehidupan dati masa lampau yang tetap dipertahankan
oleh masyarakat masa kini sebagai identitasnya. Di lain pihak,
perubahan menarasikan beroagai unsur kehidupanyang diubah oleh
masyarakat, baik akibat pengaruh luar mauplUl penemuan sendiri,
untuk meningkatkankualitas hidup mereka. Hilangnyaingatan kolektif
terhadap masa lampaunya merupakan indikasi bahwa narasi yang
selama ini diproduksi lebih menampilkan perubahan.

Salah satu contoh dominasi wacana perubahan yang dapat

disimak dati area gempa bumi adalah konstruksi rumah. Secara turun
temurun masyarakat Yogyakarta mengembangkan teknologi kayu
sebagai hasil terbaik dari dialog dengan alamo Akan tetapi ingatan
kolektifakan teknologi kayu dengan sangat kuat dihapus oleh wacana
perubahan denganmenciptakan simbol bahwa rumah kayu tennasuk
kategori tidak pennanen yang dimaknai sebagai miskin, sedangrumah
tembok dikategorikan sebagai bangunan pennanen dan dimaknai
sebagai kaya. Pendiskreditan teknologi kayu mendorong masyarakat
untuk mengubah konstruk pikirmereka tentang bangun rumah yang
ba~k
sekaligus menghapus ingatan masa lampau mereka dan
menggantinya dengan teknologi tembok.
Dari contoh kasus masyarakat Bantu! tampak bahwa meski
secara teoritis kontinuitas dan perubahan dapat menjadi roh dari
sebuah narasi. Akan tetapi dalam prakteknya, terutama di
Yogyakarta, seringkali keduanya memproduksi dua narasi yang
berbeda dan bahkan bertentangan. Tarik ulur antar kedua kubu
membuahkan beroagai peristiwa sejarah yang kompleks.
Pada tulisan ini, saya mencoba untuk menelusuri kembali
jejak-jejak dialektika antarakontinuitas dengan perubahan, terutama

dati perspektifbudaya. Dengan bertitik tolak dati predikat Yogyakarta
sebagai kota budaya, pennasalahan yang hendak dilontarkan sebagai
fokus pembicaraan adalah bagaimana predikat itu dapat diperoleh
dan masih layak serta pantaskah predikat itu disandang.

B.
*Tulisan ini disampaikan pada Seminar 250 Tahun Yogyakarta yang
diadakan oleh Pusat Studi Sejarah Indonesia dan PUSdEP Universitas Sanata
Dharma pada tanggal15 Agustus 2006 .

Akar Budaya Yogyakarta

Kebudayaan sebagai hasil karya, karsa, rasa dan cipta
manusia dalam menanggapi dinamika kehidupan, termasuk di

• "Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata
Dharma
14

15


'""

,

dalamnya dinamika lingkungan geografis. Clifford Geertz
menggambarkan Pulau Jawa, tentu saja termasuk Yogyakarta,
sebagai perpaduan sempuma dari empat unsur inti kehidupan, yaitu
tanah, air, api dan angin.l Perpaduan ini menjadikan Yogyakarta
sebagai salah satu tempat ideal bagi berkembangnya kehidupan.
Keistimewaan kondisi geografis mendasari bagi lahimya
kebudayaan yang bermuara padakeyakinan bahwasemesta bekeIja
tanpakurang suatu apapun dan padatahap selanjutnya menumbuhkan
pola hidup yang menjunjung tinggi kehannonisan. Salah satu aspek
penting untuk menjaga kehannonisan adalah adanya sistem politik
yang memadai. Dalam masyarakat nusantara pada umumnya dan
Yogyakarta pada khususnya, paling tidak ada dua unsur kebudayaan
yang menjadi akar dari sistem politik yang pernah tercipta adalah
penghormatan pada orang tua dan kekerabatan.
Penghormatan kepada orang tua didasarkan padakesadaran

akan asal-usul diri. Setiap orang menjadi ada karenabersatunyaorang
tua yang sering disimbolkan dengan lingga-yoni. Selain masalah
eksistensial, penghormatan didasarkan pada pengalaman bahwa
orang tua menjadi figur sentral dalam menjaga ketenteraman dan
kerukunan seluruh anggota keluarga, baik dalam arti fisik maupun
barin.
Penghormatan diekspresikan dengan sikap patuh dan taat
dari anak kepada orangtuanya. Kepatuhan tersebut diberikan oleh
anak dengan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang diperintahkan
oleh orang tua selalu baik bagi anak. Wacanaini diperkokoh dengan
ungkapan ora ana macan sing tegel mangsa gogore dhewe (Tidak
ada macan yang tega memakan anaknya sendiri). Penghormatan
kepada orang tua dilakukan tidak hanya saat masih hidup, tetapi

Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi
dilndonesia, Jakarta: BbrataraKaryaAksara, 1983. Terjemahan.
1 Clifford

16-


juga ketika sudah meninggal. Berbagai upacara dari penguburan
sampai 1000 hari merupakan bentuk penghormatan yang dikenal
luas oleh masyarakat Yogyakarta. 2
Bangun organisasi keluarga pada tahap selanjutnya
berkembang menjadi bangun politik. Hubungan penguasa - rakyat
dipandang seperti hublll1gan orang tua -anak. Pemimpin/ penguasa
ditempatkan sebagai orang tua dari masyarakat di wilayah
kekuasaannya Sejajardengan itu, kriteria pemimpin yangbaikadalah
mereka yang memiliki sifat-sifat kebapakan. Sebaliknya, kriteria
masyarakat yang baik adalah mereka yang taat dan berbakti kepada
permmpm.

Selain penghormatan kepada orang tua, unsur lain yang ikut
mewamai budaya politik Yogyakarta adalah nilai kekerabatan. Nilai
kekerabatan merupakan keyakinan bahwa hidup yang terbaik adalah
menempatkan orang lain sebagai kerabat atau saudara. Kehidupan
berlandas nilai kekerabatan antara lain tersimbolkan dengan
penyebutan "Simbah, Pakde, Budhe, Paldik, Buli/(' dan sebagainya
kepada tetangga, meski tidak memiliki ikatan darah. Bahkan pada
perkembangannya, nilai tersebut mengkristal pada pepatah yang

menyatakan bahwa tetangga merupakan kerabat yang terdekat
(tangga iku sedulur sing paling cedhak). 3

Kekerabatan menjadi sumber bagi berbagai aspek kehidupan, seperti
gotong-royong, tolong-menolong, dan bahkan dalam pengelolaan

2 Bandingkan dengan Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di
Jawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hhn 41
47. Penghormatan kepada
orang tua dipandang menjadi unsur budaya khas nusantara sejak masa pra
sejarah, dengan bukti ditemukan kubur batu di berbagai tempat

3 Bandingkan dengan Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha
Bina-Negara dUawa MasaLampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985,
hhn.17-18.

17

..
antara sistem penanggalan Saka dan Arab, sehingga

penamaan sebagai penanggalanJawadapat dimaknai sebagai
usaha pemberian kebanggaan terhadap identitas kejawaan.
Dengan sistem penanggaIan itu hendak disampaikan pesan
bahwa orang Jawa juga pandaL

ekonomi. Secara etis, kekerabatan menjadikan masyarakat
menabukan eksploatasi terhadap pihak lain. Bahkan sebaliknya,
kepentingan orang lain dan bersama ditempatkan lebih tinggi dari
pada kepentingan individu.
C.

Secara formal Yogyakarta pada tahun 1558 menjadi wilayah
yang dihadiahkan oleh Raj a Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan
dan anak keturunannya yang kemudian membangun kerajaan
Mataram. Sampai puncak kejayaannya, yaitu saat tahta dipegang
oleh Sultan Agung, dinasti Mataram menjadikan Yogyakarta sebagai
pusat pemerintahan. Dari sudut pandang ini, secara kultural
masyarakat Yogyakarta menjadi pewaris dan pemilik kebudayaan
terbaik Mataram. Paling tidak ada tiga fenomena kultural yang
diproduksi dan diwariskan selama Mataram berpusat ill Yogyakarta,
yaitu:
1.

Identitas Kejawaan

Fenomena pertama adalah penggunaan kebudayaan Jawa
sebagai identitas. Fenomena ini menarik karena sejak
Demak berdiri dan berhasil mengalahkan Majapahit, Islam
menjadi simbol yang diproduksi oleh parapenguasa ill Jawa
Oleh karena itu, penggunaan kebudayaan Jawa sebagai
identitas pada periode Mataram lebih merupakan usaha
penghidupan kembali kebudayaan lokal di tengah dominasi
kebudayaan Islam yang semakin kuat Penghidupan kembali
itu antara lain dengan pembuatan makam raja-raja di Imogiri
sebagai simbol penghormatan kepada orang tualleluhur.
Selain itu, pada tahun 1633 Kerajaan Mataram juga
mengeluarkan penanggaIan bam yang dinamai penanggalan
Jawa. Sistem penanggalan yang diperkenalkan pada masa
pemerintahan Sultan Agung itu merupakan penggabungan
18·

Tidakjarang, usaha penghidupan kembali identitas kejawaan
tersebut secara mencolok berbenturan dengan tradisi Islam
sebagai narasi besar saat itu, seperti pengembangan kerajinan
dengan bergambar makhluk hidup.4 Perbenturan tidak hanya
terbatas pada narasi kerajinan, tetapi juga fisik. Fokus
penaklukan Mataram ke Jawa Timur tidak dapat dilepaskan
dari konteks budaya, karena Jawa Timur menjadi pusat
penyebaran Agama Islam.

Periode Mataram

2.

Tatakrama.

Narasi penghidupan kembali kebudayaan Jawa juga tampak
aspek pembakuan tata krama (sopan santun). Penghormatan
terhadap orang tua memperoleh bentuk yang relatifbaku
dalam format bahasa tubuh dan bahasa tutur pada periode
Mataram. Bahasa tubuh diformalkan oleh dinasti Mataram
seperti membungkuk saat bert~u
orang yang lebih tua atau
pemimpin, sedikit menunduk saat berbincang agarmata tidak
saling bertatapan dengan lawan bicara yang lebih tua dan
berjalan jongkok serta menyembah saat menghadap
bangsawan tinggi.5
G. Moedjanto, The Concept of Power in Javanese Culture.
Gadjah Mada University Press, 1986, hIm. 24.
4

5 BeIjalanjongkokjuga digunakan oleh smoman saat mengantarkan
minum dan kudapan bagi para tamu dalam suatu perhelatan. Tradisi ini
sampai sekarang, meski sudah j arang, masih dapat ditemukan di pedesaan
Yogyakarta.

19

.
Selain bahasa tubuh, tata kramajugarnencakup bahasa tutur.
Pada periode Matararn, yaitu sejak rnasa pernerintahan
SultanAgung, dikernbangkandengan duarnodel bahasa tutur,
yaitu krarna dan ngoko. 6 Bahasa krama digunakan UJltuk
berkornunikasi dengan kaurn yang lebih tua, orang tua atau
pernirnpin, sebagai simOOI penghOIn1atan. Selain itu, bahasa
krarna juga digunakan ketika berkornunikasi dengan orang
yang belurn dikenal. Oleh karena sebagai rnanifestasi
penghoIn1atan, bahasa Jawa krama dikenal sebagai bahasa
halus. Model ke dua adalah bahasa Jawa ngoko yang
digunakan untuk berkornunikasi dengan kaurn seusia atau
sederajad, sebagai simbol hangatnya kekerabatan.

3.

Konsep keagung-binatharaan

Aspek ketiga yang dinarasikan oleh Matararn adaIah konsep
kekuasaan khas Jawa yang dikenaI sebagai konsep keagungbinatharaan. Keagung-binatharaan berasal dari dua kata,
yaitu agung yang berarti rnulia dan bathara yang dalarn
konteks ini diartikan sebagai Tuhan khas nusantara.7 KeagungTradisi ini sampai sekarang, meski sudahjarang, masih dapat ditemukan di
pedesaanYogyakarta.
6 Pada masa-masa selanjutnya, bahasa Jawa krama semakin kompleks
dengan pembedaan antara krama, madya dan ngoko. Lihat W.J.S.
Poerwadarminta, Sarining Paramasastra Djawa. Djakarta, 1953 yang dikutip
oleh G. Moedjanto, ibid. him. 56.

7Sampai saat tulisan ini dibuat., penulis belum menemukan referensi
yang memuat penjelasan secara memuaskan tentang konsep bathara. Dalam
berbagai karya masyarakat Indonesia, gambaran tentang bathara telah
mengalami bias dengan konsep dewa agama Hindu (Bathara Wisnu, Bathara
Siva dll) dan Allahffuhan dari agama ~wi.
Penjelasan yang relatif memadai
justru diperoleh dari masyarakat Philipina yang menempatkan Bathara sebagai
yang tertinggi: ... The Creator God was almost always said to be invisible,
or without form, and as such, images of the deity were not generally made.
20

binatharaan rnerupakan konsep kekuasaan ideal khas
rnasyarakat nusantara, khususnya J awa. Konsep dapat
ditelusuri dari keyakinan bahwa sernesta beketja sangat
sernpwna,sehinggasernuakebenaransernestaditernpatkan
sebagai kebenaran sernpuma. Dari sudut pandang ini, raja
ideal adalah penguasa yang rnampu bertindak seperti
sernesta yang selalu rnemiliki sifat ber budi bawa leksana.
am beg adil para marta. Sifat agung bagai bathara itu sangat
ditekankan baik dalarn dunia pewayangan rnaupun karya
sastraistana, karena diharapkan raja akan selaIuingat bahwa
tugas utarnanya adalah rnenjadi orang tua bagi seluruh
rakyat. 8 Apabila rakyat diandaikan kerangka dan raja
diandaikan bilah keris, rnaka hannoni hanya akan tercipta
apabila curiga manjing warangka. Sebaliknya, hanya
bencana yang akan teIjadi apabila bilah keris berada di luar
kerangkanya. Raja dan rakyat hams rnerupakan satu
kesatuan yang lebih dikenal sebagai konsep manunggaling
kawulo-gusti.

The name was considered sacred, and very rarely uttered ... This same
phenomenon occurs widely throughout the Malay Archipelago. Generally,
the Supreme God was seen as distant and too involved in higher matters for
direct worship. Instead, a lower class ofdeities, who, like humans, were also
created, were the principle objects ofprayer, supplication and ritual. However,
sacrif ices, offerings and rituals aimed at the Supreme God were unknown ...
The lower gods were known by names like diwa, diwata, tuhan and anito.
As in many shamanistic cultures, these deities were divided into benefic and
malefic categories. Lihat pada htr;p:llwww.geocities.comltokvo/templel98451
spirit.htm
.
SSuitan HB X berpendapat bahwa seorang sultan seharusnya tidak
lagi memiliki ambisi apa pun, kecuali senantiasa hanya bagi kesejahteraan
rakyat. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa kekuasaan Jawa itu sebenamya
berintikan pengayom (pelindung) dan pengayem (membuat tenteram) rakyat.
Pemimpin (raja) tidak boleh mengedepankan pamrlh dan nafsu manusianya.
Lihat Kompas, 16 Februari 2004.

21

.
Kondisi ideal, yaitu menjadi raja yang agung-binathara, sangat
sulit diwujudkan menj adi realitas. Sebaliknya, yang seringkali
terjadi justru raja menampakkan sifat-sifat negatif (lalim,
berkepribadian lernah dll), sebingga dalarn narasi rakyat kecil
muncul istilah "kemratu-ratu" yang menunjuk sifat mau menang
sendiri. Akibatnya tidaklah aneh apabila konsep agungbinathara dimaknai secara fisik sebagai "the owner of
everything in the world; not only the owners of a country or
of property, but also the owners of one s very life".9
Sebaliknya posisi rakyat digambarkan sebagai lir slangkrah
munggingjaladri (bagaikan sarnpah di tengah lautan). Terhadap
raja yang dernikian, barangkali lebih tepat untuk menggunakan
sifat yang digarnbarkan oleh Serat Wulangreh sebagai adigang
adigung adiguna. 10
Sulitnya meraih kondisi ideal tersebut melahirkan banyak
karya sastra yang berisikan nasehat-nasehat tentang
bagaimana menjadi raja yang baik, seperti Serat Wedhatama
karya Mangkunegara IV dan Serat Wulangreh karya Paku
Buwana IV. Nasehat itu antara lain bahwa seorang ksatria:

kudu anteng jatmika ing budi, ruruh sarwa wasis
samubarangipun. Lan den nedya prawira ing batin nanging

aja katon, sasabara yen durung mangsane, kekendelan aja wani
mingkis, wiweka ing batin den sama den semull.

D.

Periode Kasultanan Yogyakarta

Sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami disintegrasi dan
mencapai puncaknya pada pernbagian wilayah Matararnmenjadi dua:
Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) pada hari Karnis Kliwon,
tanggal29 Rabiulakhir, wuku Langkir, Be 1680 tahun Jawa
atau tanggal 13 Februari 1755. Pada saat itu nama
.Ngayogyakarta Hadiningrat disebut sebagai ternpat kedudukan
Sri Sultan Hamengku Buwono I, narnun secara fisik Karaton
N gayogyakarta Hadiningrat sebagai inti dari Kota Yogyakarta
belum belum dibangun. Sebulan kemudian pada hari Kamis
Pon, 29 Jurnadilawal, Be 1680 tahunJawa, wuku Kuruwelut
atau tanggal 13 Maret 1755 Sri Sultan Hamengkubuwono I
memproklamirkan bahwa separo dari Negara Mataram yang
dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan
beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini (khususnya tanggal,
bulan dan tahun J awa) dinyatakan sebagai Hadeging N agari
Dalern Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Proklamasi
hadeging nagari dalem tersebut dilaksanakan di pesanggrahan
arnbarketawang....
Padahari Karnis Pon tanggal3 Sura, Wawu 1681 tahunJawa,
wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 Sri Sultan
Hamengku Buwono I mernerintahkan untuk membangun
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat di desa Pacethokan

9 Lihat G. Moedjanto, op. cit., hlm. 102. Bahkan ditambahkannya
pada catatan kaki bahwa raja dengan mudah dapat menjatuhkan hukuman.
Dicontohkannya kasus Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati kepada para
panglima perangnya atas kegagalan mereka ketika menyerang Batavia.

IOAdigang sifat kijang, adigung sifat gajah dan adiguna sifat ular.
Secara keseluruhan istilah itu untuk menggambarkan orang yang
menyombongkon kekuasaannya.
22

IIKutipan diambil dari Serat Wulangreh, pupuh mij it yang terdapat
pada Aloys Budi Purnomo, "Mewarisi Kualitas Kepahlawanan". Kompas,
10 November 2004.
23

dalam hutan Beringan. Setabun kemudian tepatnya pada hari
Kamis Pahing 13 Syura, Jimakir 1682 tabun Jawa, wuku
Julungwangi atau tangga17 Oktober 1756 Sri Sultan Hamengku
Buwono I beserta keluarganya memasuki Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang barn dan untuk sementara
menempati gedhong sedhahan. Peristiwa pindahnya Sri Sultan
Hamengku Buwono I beserta keluarganya dari Ambar
Ketawang ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ini ditandai
dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal,
berupa dua ekor naga yang kedua ekomya saling melilit yang
diukirkan diatas banonlrenteng kelir baturana kagungan dalem
regol kemagangan dan regol gadhung mlathi. 12

Perbedaan antara Mataram awal dengan Kasultanan Yogyakartajuga
terdapat pada strategi perlawanan. Mataram sejak awal menggunakan
strategi penaklukan fisik, dalam am menyerang dan menghancurkan
kerajaan-kerajaan Islam. Tampaknya Kasultanan tidak dapat
mengambil konfrontasi fisik sebagai strategi, karena secara militer
diperhitungkan akan mengalami kekalahan. J alan perjuangan yang
ditempuh untuk tetap mempertahankan kebudayaan J awa adalah
sedapat mungkin mengurangi tekanan dari Barat, baik melalui
penolakan, distorsi maupun deviasi terhadap kebijakan pemerintah
kolonial. Salah satu perlawanan yang dilakukan oleh Sultan HB I
adaJah dengan menolak hadir dan tidak mengirimkan utusan untuk
mengucapkan selamat pada setiap pergantian gubemur jendral.
Ketidakhadiran itu merupakan simbol ketidakbersediaan Yogyakarta
mengakui eksistensi gubemur jendral sebagai pihak yang lebih
berkuasa. 13

Dinasti Hamengku Buwono menjadi pewaris berbagai unsur
kebudayaan yang dikembangkan oleh Mataram, khususnya masa
Kotagede dan Pleret. Salah satunya adalah menjadikan kebudayaan
Jawa sebagai identitas kolektif. Tata krama, baik dalam bahasa tutur
maupun bahasa tubuh, disosialisasi ke seluruh pelosok Kasultanan.
Berbeda dengan Mataram periode Sutawijaya - Sultan Agung yang
menempatkan diri sebagai pejuang kontinuitas kebudayaan lokal dan
menempatkan Islam sebagai simbal perubahan yang hendak ditolak,
Kasultanan Yogyakarta sebagai penerus kebudayaan J awa justru
lebih menaruh perhatian pada tekanan yang dilakukan Barat. Islam
tidak lagi ditempatkan sebagai ancaman, karena kekuatan mereka
di Jawa secara politik telah hancur pada masa Sultan Agung dengan
tersimbolkan pada penguasaan seluruh Jawa Timur.

12 Penta Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004 tentang Hari Jadi
Kota Yogyakarta. Liliat juga Serat Kuntharatama karya G.P.H. Buminaya.
Yogyakarta, 1958.

24

Ii

Melalui tindakan-tindakan simboliknya Kasultanan menjaga
semangat perjuangan untuk menghidupkan identitas kejawaan.
Dalam perspektif ini, perlawanan fisik terhadap pemerintah
kolonial seperti yang dilakukan Raden Rangga (1810) pada masa
pemerintahan Sultan HB II, Pangeran Diponegoro (putra Sultan
HB III) (1825 1830) dan buruh tebu di Bantul (1882) menjadi
ikon-ikon penting terhadap tetap bertahannya semangat
perlawanan terhadap tekanan Barat. .
Perlawanan juga dilakukan ketika pengaruh Barat semakin merasuki
relung Yogyakarta pada abad XX. Persekolahan Barat yang oleh
pemerintab kolonial ditujukan untuk mencetak tenaga kerja
administratif, oleh Kasultanan dimanfaatkan untuk mewariskan
berbagai nilai yang menjadi pandangan hidup masyarakat Yogyakarta.
Hasil proses ini adalah generasi bam yang unik, yaitu kaum intelektual
13Lihat M.e. Richklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 - 2004.
Terjemahan. Jakarta: Serambi, 2005, hIm 231 - 232. Dia menempatkan
Sultan HB I sebagai raja Jawa terbesar setelah Sultan Agung. (hIm. 236)
25

yang memahami dan melaksanakan unggah-ungguh dalam
kehidupan kesehariannya. Salah satu simpul penting hasil dialektika
budaya lokal dengan persekolahan Barnt adalah lahimya Tamansiswa
yang menempatkanguru sebagai pamong.
Sultan Hamengku Buwana IX menjadi salah satu ikon penting
petjuangan mempertahankan identitas kejawaan di Yogyakarta
pada abad XX yang sampai sekarang masih lekat menjadi
kebanggaan masyarakat. 14 Dia dipahami oleh masyarakat sebagai
raja yang agung binathara dalam arti sesungguhnya. Dengan
komitmennya menyerahkan tahta untuk rakyat, HB IX mampu
meminimalisasi keakuan diri, sehingga mampu menjadi orang
tua bagi seluruh rakyat Yogyakarta. Periode pemerintahannya
dikenang secara romantis oleh masyarakat sebagai masa penuh
keindahan yang disimbolkan sebagai manunggaling kawulogusti, rakyat dengan pemimpinnya. Istana menjadi sumber
inspirasi bagi pengembangan kebudayaan adi /uhung, sehingga
Yogyakarta dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai kota
budaya

E.

Dari Orde Baru

Tahap penting perkembangan kebudayaan masyarakat Yogyakarta
terjadi sejak masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa
sebelumnya, keistimewaan Yogyakarta dihargai oleh para
pemimpin Indonesia sebagai identitas lokal. Bahkan secara
nasional politik identitas menjadi narasi yang kuat, sehingga
Yogyakarta ditempatkan sebagai contoh kesuksesandaerah dalam
mempertahankan identitasnya. Politik identitas yang dilakukan

Lihat G. Moedjanto, Sukarno, Hatta dan Hamengku Buwono
IX.Yogykarta: Pusat Studi dan Dokumentasi Sejarah Indonesia Universitas
Sanata Dhanna, 2003.

bertujuan untuk mengembangkan perasaan bangga sebagai bangsa,
sebagaimana tampak pada model penulisan sejarah:

The Indonesian nation-state is relatively young, as is the
historiography that underpins its formation. Common
historical accounts trace the development of Indonesian
nationalist historiography to pre-war anti-colonial,
historical-literary works and speeches ofearly nationalists
like Muhammad Yamin, Sanusi Pane, and Sukarno (Reid
1979; Sartono 1982; Abdullah and Surjomihardjo 1985).
Only jew of these were historical in form and intent, but
.the ideas propounded in them unmistakably found their way
into the bedrock of nationalist historiography whose
development gained impetus under the aegis ofJapanese
occupation (Klooster 1982). In the years following
independence, the fiercely anti-colonial atmosphere
furthered the development of such historiography. In due
time, it assumed a position of orthodoxy that ensured a
lasting impact on the future course ofIndonesian writing.
It was perhaps Muhammad Yamin sworks (1950; 1953) that
best exmpl~fy
the general character of this early stage romantic, ultra-nationalistic, and some would say prescientific. This kind of historiography may have become
quickly dominant... 15
Dari kutipan tersebut, kiranya pengkategorian sebagai ultranationalistic dan pre-scientific perlu digarisbawahi, karena pada
Seminar Sejarah Nasional I tahun 1957 Soedjatmoko menjadi

15

Rommel Curaming, Towards Reinventing Indonesian Nationalist

14

26

Historiography yang dimuat pada HITP:!!KYOTOREVIEW.CSEAS.KYOTO-U.AC.JP!
ISSUEI'ISSUE2/ARTICLE_245.HTML

27

tokoh yang menggunakannya sebagai kritik terhadap penulisan
sejarnh model M. Yamin. Soedjatmoko mengingatkanakan bahaya
yang menghadang apabila sejarah digunakan sebagai proyek
pengembangan nasionalisme. Dia rnenekankan pentingnya
penggunaan metodologi sejarah secara ketat, agar kebenarannya
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Seminar tahun 1957 menjadi penanda penting pudarnya politik
identitas dan digantikan dengan narasi baru yang lebih ilmiah
(baca: lebih sesuai dengan pol a pikir Barat), meskipun dengan
resiko sejarah harus kehilangan fungsi sosio-kulturalnya.
Fenomena itu tidak hanya tetjadi di lingkup penulisan sejarah,
tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Barat menjadi guru
kehidupan bangsa Indonesia. Narasi baru tersebut menjadi
dominan pada masa Orde Baru berkuasa dengan nama
pembangunan. Dengan dimotori oleh para ilmuwan lulusan
Berkeley, masa depan bangsa Indonesia ditentukan dengan
perhitungan-perhitungan ilmiah. Penentuan masa depan juga
tetjadi pada kehidupan batiniah bangsa Indonesia. Pemerintah
menetapkan bahwa seluruh lapisan masyarakat dengan
"dernokratis" diminta untuk memilih satu diantara 5 agarna resmi.
Dua jenis narasi besar yang pemah berjaya pada masa pra
kemerdekaan, memasuki relung kehidupan masyarakat
Yogyakarta. Simbol-simbol baru diproduksi dengan ideologi
"perubahan", sehingga berdarnpak memutus ingatan kolektif
masyarakattentang masa larnpaunya. Salah satu perubahan yang
cukup mendasar adalah keutamaan hidup yang sebelumnya
diletakkan pada aspek moral, berubah menjadi diletakkan pada
aspek materiaL Orang akan menjadi dihormati dan dipatuhi oleh
masyarakat apabila memiliki harta (kaya). Simbol baru itu
mendorong masyarakat untuk berlomba mengumpulkan materi
dengan mengabaikan moral apabila diperlukan.

Seiring dengan itu Kraton, yang pada masa larnpau menjadi sumber
inspirasi moral masyarakat Yogyakarta, ikut berubah. Wacana
pembangunan Mall dan parkir bawah tanah di alun-alun utara
mengindikasikan bahwa nilai materi menjadi pertimbangan yang
cukup penting, untuk tidak mengatakan dominan, telah merasuki
konstruk pikir para pemimpin Yogyakarta. Dalam berbagai
kesempatan, Sultan HB X menyatakan bahwa kraton adalah seperti
rumah tangga pada umumnya. 16 Pemyataan itu secara simbolik
hendak menyarnpaikan pesan bahwa sudah seharusnya masyarakat
memberi kepada kraton hak dan kesempatan yang sarna seperti
rumah tangga biasa. Kesederajadan itu tentu saja termasuk hak
untuk menguasai dan mengelola tanah Sultan Ground yang selarna
ini "diserobot" rakyat untuk kemudian digunakan mencari
keuntungan ekonomis bagi kraton.
Permasalahan ini menjadikan Kraton mernperoleh sorotan tajam,
baik dari masyarakat Yogyakarta maupun daerah lain. Masyarakat
Yogyakarta tidak rela Kraton sebagai simbol identitas kejawaan
berubah, seperti ternarasikan oleh S. Nugroho pada situs
pernerintah kota:
Ide parkir bawah tanah sebetulnya merupakan suatu hal yang biasa
di jaman kini, tetapi menjadi sesuatu hal yang luar biasa ketika
ide itu akan diterapkan pada alun-alun utara logja. Argumen yang
d~kemuan
oleh Pemkot memang sangat logis karena logja
memang membutuhkan fasilitas parkir guna mendukung
pernbangunan malioboro sebagai kawasan pedestrian. Disamping
itu masalah parkir bis pariwisata yang selama ini menjejali alunalun utara juga akan terselesaikan melalui fasilitas itu. Timbul
pertanyaan: "apakah pembangunan harus selalu memihak kepada
kepentingan-kepentingan ekonorni"? Bagaimana dengan suara hati

16

2&

Kompas, 16 Februari 2006.
29

Etika Politik Dan Kekuasaan Di Bidang Pendidikan
Di Daerah Istimewa Yogyakarta

nurani penduduk asH Jogja yang tentu saja tidak ikhlas bila melihat
alun-alun utara sebagai kawasan eagar budaya dimodifikasi
sedemikian rupa. Meskipun seeara fisik tidak teIjadi perubahan
apapun pada permukaan atas, tetap saja akan dianggap sebagai
sebuah bentuk ''pencemaran budaya".

Y.B. Adimassana
FKIP - Universitas Sanata Dharma

Sebaliknya masyarakat luar Yogyakarta mempertanyakan
relevansi keistimewaan Yogyakarta yang menempatkan Sultan
sebagai gubemur DIY di tengah arus demokratisasi dewasa ini.

F.

PENDAHULUAN
Pada awal tahun 80an barangkali kita masih ingat akan
peristiwa "petrus" (penembakan misterius) terhadap para gali
dan residivis yang tanpa proses pengadilan divonis hukuman mati
dengan ditembak langsung memakai senapan berperedam secara
sembunyi-sembunyi oleh aparat. Sebelumnya, pada tahun 65an
pemah pula teIjadi tragedi berdarah terhadap para anggota PKl
di seluruh Indonesia yang dibantai tanpa proses pengadilan yang
wajar. ltu sekelumit contoh kebijakan politik di bidang keamanan
(polkam) - sebagaimana dijalankan oleh kekuasaan - yang tidak
sejalan dengan prinsip etika. Bagaimana halnya dengan etika
politik kekuasaan di bidang pendidikan, khususnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY)?
Yogyakarta pemah tenar sebagai kota pendidikan dan kota
budaya. Disebut kota pendidikan karena terdapat universitas besar
Gajah Mada dan lebih dari 40 perguruan tinggi lain. Disebut
kota kebudayaan karena seluruh kota r:nenyediakan tempat untuk
eksposisi budaya, dari seni pentas, seni lukis, kerajinan batik,
kulit, ukir, hingga seni jalanan para pengamen, sehingga jalan
Malioboro menjadi terkenal. Ada ruang publik untuk pentas
kebudayaan bagi rakyat: alun-alun, sasana hinggil, gedung Puma
Budaya, Bentara Budaya, panggung Ramayana, panggung terbuka
di depan benteng Vredeburg, dan lain-lain, di samping ada pula
museum kebudayaan Sono Budoyo. Tetapi, unsur-unsur tersebut,
yang dahulu mampu mengangkat nama Yogyakarta ke ketenaran,
dewasa ini tampaknya sudah tidak ada apa-apanya lagi. Predikat
Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya telah

Penutup

Yogyakarta yang pada masa Iampau pemah menjadi pusat
pemerintahan Mataram dan dewasa ini menjadi Kasultanan
merupakan simbol perjuangan untuk mempertahankan identitas
kejawaan yang berbasis pada nilai kekerabatan dan penghormatan
pada orang tua. Narasi kontinuitas identitas kejawaan menjadi
berbentuk perlawanan ketika eksistensinya merasa terancam oleh
tekanan narasi lain yang dipahami hendak menghancurkannya.
Kekuatan Islam di jaman Mataram awal dan kekuatan VOC di
jaman Kasultanan Yogyakarta dipahami sebagai ancaman yang
serius terhadap kontinuitas identitas kejawaan. Produksi narasi
tersebut melahirkan Yogyakarta memperoleh dua julukan
sekaligus, yaitu kota budaya dan kota perjuangan.
Narasi kontinuitas tampaknya telah diganti menjadi narasi
perubahan akhir-akhirini. Yogyakarta tidak lagi memperlihatkan
kegigihannya untuk menghidupi identitas kejawaan, seperti
tersimbolkan pada wacana pembangunan Mall dan tempat parkir
bawah tanah. Realitas ini tentu sangat bernilai apabila dijadikan
bahan refleksi bagi semua pihak guna mengembangkan Yogyakarta
yang lebih baik.

30
~-.

31

-.~

I~.

LE MB AR
HASIL PENILAIAN SEJAWAT SEBIDANG ATAU PEER REVIEW
Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi
Judul Jumal Ilmiah (Artikel)

Yogyakarta Dari Kontinuitas Ke Perubahan

Penul is Jumal Ilmiah

Dr. Hieronymus Purwanta, M.A .

Identitas Jumal Ilmiah :

a) Nama Jumal

: Bandar Mau Jana

b) Nomor/Volume

: No. 3/Th Xll

c) Edisi (bulan/tahun)

: Mei/2007

d) Penerbit

: Prodi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

e) Jumlah halaman

: 10 halaman

f)

: ISSN 0854-9559

ISSN/ISBN

g) Uri

: httgs://reQository.usd.ac.id/5920/

Nilai Maksimal Jumal Ilmiah
Komponen yang
dinilai

Inter
nasional
Bereputasi

Inter
nasional

Nasional
T erakred itasi

Nasional
Tidak
Terakreditasi

Kelengkapan dan
1.00
kesesuaian isi Jurnal
(10%)
Ruang Lingkup dan
3.00
Kedalaman
Pembahasan (30%)
Kecukupan dan
Kemutakhiran Data/
3.00
Informasi dan
Metodologi (30%)
Kelengkapan Unsur
dan Kualitas Penerbit
3.00
(30%)
Total= l00%
10.00
Kontribusi Pengusul : Penulis Tunggal/ Penulis Pertama/ Penulis Anggota

Nasional
Terindeks
DOAJ

Nilai Akhir
Yang
diperoleh

0,85

2,55

2,55

2,55
8,5

/
Komentar Per Reviewer :
I.

2.

Tentang Ruang Lingkup dan Kedalaman Pembahasan

3.

Kecukupan dan Kemutakhiran data serta Metodologi

J

4.

Kelengkapan Unsur Kualitas Penerbit

5.

Indikasi Plagiasi

6.

Kesesuaian Bidang Ilmu

Surakarta, 08

/et

2017

/.
(PROF. DR. HERMANU JOEBAGIO M.PD.)
NPP/NIP

: 195603031986031001

Jabatan Akademik : Guru Besar (IV-b)
Unit Kerja

: Pasca Sarjana UNS

LE MBAR
HASIL PENILAIAN SEJAWAT SEBIDANG ATAU PEER REVIEW
Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi
Judul Jurnal Ilmiah (Artikel)

Yogyakarta Dari Kontinuitas Ke Perubahan

Penulis Jurnal Ilmiah

Dr. Hieronymus Purwanta, M.A.

ldentitas Jurnal Ilmiah :
a) NamaJurnal

: Bandar Maulana

b) Nomor/Volume

: No. 3/Th XII

c) Edisi (bulan/tahun)

: Mei/2007

d) Penerbit

: Prodi Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

e) Jumlah halaman

: 10 halaman

f) ISSN/ISBN

: ISSN 0854-9559

g) Uri

: htt12s://re12ository.usd.ac.id/5920/

Nilai Maksimal Jurnal Ilmiah
Komponen yang
dinilai

Inter
nasional
Bereputasi

Inter
nasional

Nasional
Terakreditasi

Nasional
Tidak
Terakreditasi

Kelengkapan dan
kesesuaian isi J urnal
1.00
(10%)
Ruang Lingkup dan
3.00
Kedalaman
Pembahasan (30%)
Kecukupan dan
Kemutakhiran Data/
3.00
lnformasi dan
Metodologi (30%)
Kelengkapan Unsur
dan Kualitas Penerbit
3.00
(30%)
Total=100%
10.00
Kontribusi Pengusul : Penulis Tunggal/ Penulis Pertama/ Penulis Anggota

Nasional
Terindeks
DOAJ

Nilai Akhir
Yang
diperoleh

1

2

'

3

3
9

Komentar Per Reviewer :
1.

Tentang Kelengkapan dan Kesesuaian Unsur

Art\~.

re1YWCXJ\.t\

\ca1dah ~'JP

\\mitih

doh rn~eul1i

·b~tvc.1

rwak:r)

jurnal.
2.

3.

Tentang Ruang Lingkup dan Kedalaman Pembahasan

Ar..\;\\l.e\, M.ernbcihc:.r '\)erl~,c;1Y
vlttr\ \lfmj~an
f eloh' f

owra~
Vllendalom .

\cer~on

ko~d

. pemb~hC\fal"

'fo9,ytA\.©rtCL Seba!3~

~f>Vlh\vr

Kecukupan dan Kemutakhiran data serta Metodologi

~c-Odta\vi

de.in jOUJakx:tn dAvrn·1lfon aet1jon ytor re~

'.cela~v-itJr

Yog!jkad·~

cL'dvv0V13

ct-1 law~n
SuM'r>ar

MaVflacXa-t.
4.

Kelengkapan Unsur Kualitas Penerbit

5.

Indikasi Plagiasi

6.

Kesesuaian Bidang Ilmu

Surakarta, 08 Maret 2017

(PROF. DR. SARIYATUN M.PD., M.HUM.)
NPP/NIP

:96103181989032001

Jabatan Akademik : Guru Besar (IV-b)
Unit Kerja

: Pasca Sarjana UNS

JUDUL: Yogyakarta dari kontinuitas ke
perubahan
PENGARANG: H. Purwanta

84% Unique
Total 30880 chars, 4542 words, 164 unique sentence(s).

Custom Writing Services - Paper writing service you can trust. Your assignment is our priority! Papers ready in 3 hours!
Proficient writing: top academic writers at your service 24/7! Receive a premium level paper!
@charset "UTF-8"; html{height:100%;padding-bottom:1px;} small,.small{font-size:0.9em;} .cssTable { margin:0px;padding:0px; width:100%; box-shadow: 10px 10px 5px
#888888; border:1px solid #ffffff; -moz-border-radius-bottomleft:0px; -webkit-border-bottom-left-radius:0px; border-bottom-left-radius:0px; -moz-border-radius-bottomright:0px; webkit-border-bottom-right-radius:0px; border-bottom-right-radius:0px; -moz-border-radius-topright:0px; -webkit-border-top-right-radius:0px; border-top-right-radius:0px; -mozborder-radius-topleft:0px; -webkit-border-top-left-radius:0px; border-top-left-radius:0px; } .cssTable table { border-collapse: collapse; border-spacing: 0; width:100%; height:100%;
margin:0px;padding:0px; } .cssTable tr:last-child td:last-child { -moz-border-radius-bottomright:0px; -webkit-border-bottom-right-radius:0px; border-bottom-right-radius:0px; }
.cssTable table tr:first-child td:first-child { -moz-border-radius-topleft:0px; -webkit-border-top-left-radius:0px; border-top-left-radius:0px; } .cssTable table tr:first-child td:last-child
{ -moz-border-radius-topright:0px; -webkit-border-top-right-radius:0px; border-top-right-radius:0px; }.cssTable tr:last-child td:first-child{ -moz-border-radius-bottomleft:0px; webkit-border-bottom-left-radius:0px; border-bottom-left-radius:0px; } .cssTable tr:hover td{ background-color:#e5e5e5; } .cssTable td{ vertical-align:middle; backgroundcolor:#fcfcfc; border:1px solid #ffffff; border-width:0px 1px 1px 0px; text-align:left; padding:7px; font-size:12px; font-family:Arial; font-weight:normal; color:#000000; } .cssTable
tr:last-child td { border-width:0px 1px 0px 0px; } .cssTable tr td:last-child { border-width:0px 0px 1px 0px; } .cssTable tr:last-child td:last-child { border-width:0px 0px 0px 0px; }
.cssTable tr:first-child td { background:-o-linear-gradient(bottom, #cccccc 5%, #cccccc 100%); background:-webkit-gradient( linear, left top, left bottom, color-stop(0.05, #cccccc),
color-stop(1, #cccccc) ); background:-moz-linear-gradient( center top, #cccccc 5%, #cccccc 100% ); filter:progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr="#cccccc",
endColorstr="#cccccc"); background: -o-linear-gradient(top,#cccccc,cccccc); background-color:#cccccc; border:0px solid #ffffff; text-align:center; border-width:0px 0px 1px 1px;
font-size:14px; font-family:Arial; font-weight:bold; color:#000000; } .cssTable tr:first-child:hover td { background:-o-linear-gradient(bottom, #cccccc 5%, #cccccc 100%);
background:-webkit-gradient( linear, left top, left bottom, color-stop(0.05, #cccccc), color-stop(1, #cccccc) ); background:-moz-linear-gradient( center top, #cccccc 5%, #cccccc
100% ); filter:progid:DXImageTransform.Microsoft.gradient(startColorstr="#cccccc", endColorstr="#cccccc"); background: -o-linear-gradient(top,#cccccc,cccccc); backgroundcolor:#cccccc; } .cssTable tr:first-child td:first-child { border-width:0px 0px 1px 0px; } .cssTable tr:first-child td:last-child { border-width:0px 0px 1px 1px; }
Results

Query

Domains (original links)

Unique

YOGYAKARTA Dari Kontinuitas ke Perubahan Oleh

1 result

Pendahuluan Pada tanggal27 Mei 2006 lalu satu peristiwa tragis terjadi

dokumen.tips

5 results

Sejarah seharusnyamemiliki dua lUlSUf, yaitu kontinuitas danperubahan, yang terbingkai oleh waktu

rafazky.blogspot.com pengayaan.com brainly.co.id
arfianwidyatama.wordpress.com fliphtml5.com

Unique

Melalui kontinuitas, sejarah menarasikan beroagai unsur kehidupan dati masa lampau yang tetap dipertahankan oleh
masyarakat masa kini sebagai identitasnya

-

-

Unique

Di lain pihak, perubahan menarasikan beroagai unsur kehidupanyang diubah oleh masyarakat, baik akibat pengaruh
luar mauplUl penemuan sendiri, untuk meningkatkankualitas hidup mereka

-

Unique

Hilangnyaingatan kolektif terhadap masa lampaunya merupakan indikasi bahwa narasi yang selamaini diproduksi lebih
menampilkan perubahan

-

Unique

Tulisan ini disampaikan pada Seminar 250 Tahun Yogyakarta yang diadakan oleh Pusat Studi Sejarah Indonesia dan
PUSdEP Universitas Sanata Dharma pada tanggal15 Agustus 2006

-

Unique

Pendiskreditan teknologi kayu mendorong masyarakat untuk mengubah konstruk pikirmereka tentang bangun rumah
yang ba~k sekaligus menghapus ingatan masa lampau mereka dan menggantinya dengan teknologi tembok

-

Unique

Dari contoh kasus masyarakat Bantu

-

Unique

tampak bahwa meski secara teoritis kontinuitas dan perubahan dapat menjadi roh dari sebuah narasi

-

Unique

Akan tetapi dalam prakteknya, terutama di Yogyakarta, seringkali keduanya memproduksi dua narasi yang berbeda
dan bahkan bertentangan

-

Unique

Tarik ulur antar kedua kubu membuahkan beroagai peristi wa sejarah yang kompleks

-

Unique

Pada tulisan ini, saya mencoba untuk menelusuri kembali jejak -jejak dialektika antarakontinuitas dengan perubahan,
terutama dati perspektifbudaya

-

Unique

Akar Budaya Yogyakarta Kebudayaan sebagai hasil karya, karsa, rasa dan cipta manusia dalam menanggapi dinamika
kehidupan, termasuk di 15 14 , dalamnya dinamika lingkungan geografis

-

Unique

Clifford Geertz menggambarkan Pulau Jawa, tentu saja termasuk Yogyakarta, sebagai perpaduan sempuma dari empat
unsur inti kehidupan, yaitu tanah, air, api dan angin

-

Unique

l Perpaduan ini menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu tempat ideal bagi berkembangnya kehidupan

-

Unique

Keistimewaan kondisi geografis mendasari bagi lahimya kebudayaan yang bermuara padakeyakinan bahwasemesta
bekeIja tanpakurang suatu apapun danpadatahap selanjutnya menumbuhkan pola hidup yang menjunjung tinggi
kehannonisan

-

Unique

Salah satu aspek penting untuk menjaga kehannonisan adalah adanya sistem politik yang memadai

-

Unique

Penghormatan kepada orang tuadidasarkan padakesadaran akan asal-usul diri

-

Unique

Setiap orang menjadi ada karenabersatunyaorang tua yang sering disimbolkan dengan lingga-yoni

-

Unique

Selain masalah eksistensial, penghormatan didasarkan pada pengalaman bahwa orang tua menjadi figur sentral dalam
menjaga ketenteraman dan kerukunan seluruh anggota keluarga, baik dalam arti fisik maupun barin

-

Unique

Penghormatan diekspresikan dengan sikap patuh dan taat dari anak kepada orangtuanya

-

Unique

Kepatuhan tersebut diberikan oleh anak dengan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang diperintahkan oleh orang tua
selalu baik bagi anak

-

4 results

Wacanaini diperkokoh dengan ungkapan ora ana macan sing tegel mangsa gogore dhewe (Tidak ada macan yang tega
memakan anaknya sendiri)

bandungnewsphoto.com pikiran-rakyat.com
ahmadsyakirin.blogspot.com Free Download | Mozilla
Firefox® Web Browser www.mozilla.orgDownload
Firefox - the faster, smarter, easier way to browse
the web and all of Yahoo 4 results

Unique

Penghormatan kepada orang tua dilakukan tidak hanya saat masih hidup, tetapi 1 Clifford Geertz, Involusi Pertanian:
Proses Perubahan Ekologi dilndonesia, Jakarta: BbrataraKaryaAksara, 1983

-

Unique

16 '"" juga ketika sudah meninggal

-

Unique

Berbagai upacara dari penguburan sampai 1000 hari merupakan bentuk penghormatan yang dikenal luas oleh
masyarakat Yogyakarta

-

Unique

2 Bangun organisasi keluarga pada tahap selanjutnya berkembang menjadi bangun politik

-

Unique

Hubungan penguasa - rakyat dipandang seperti hublll1gan orang tua-anak

-

Unique

Pemimpin/ penguasa ditempatkan sebagai orang tua dari masyarakat di wilayah kekuasaannya Sejajardengan itu,
kriteria pemimpin yangbaikadalah mereka yang memiliki sifat-sifat kebapakan

-

Unique

Sebaliknya, kriteria masyarakat yang baik adalah mereka yang taat dan berbakti kepada permmpm

-

Unique

Selain penghormatan kepada orang tua, unsur lain yang ikut mewamai budaya politik Yogyakarta adalah nilai
kekerabatan

-

Unique

Nilai kekerabatan merupakan keyakinan bahwa hidup yang terbaik adalah menempatkan orang lain sebagai kerabat
atau saudara

-

Unique

Kehidupan berlandas nilai kekerabatan antara lain tersimbolkan dengan penyebutan "Simbah, Pakde, Budhe, Paldik,
Buli/(' dan sebagainya kepada tetangga, meski tidak memiliki ikatan darah

-

Unique

Bahkan pada perkembangannya, nilai tersebut mengkristal pada pepatah yang menyatakan bahwa tetangga
merupakan kerabat yang terdekat (tangga iku sedulur singpaling cedhak)

-

Unique

3 Kekerabatan menjadi sumber bagi berbagai aspek kehidupan, seperti gotong-royong, tolong-menolong, dan bahkan
dalam pengelolaan 2 Bandingkan dengan Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa

-

5 results

Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hhn 41 47

manesaaryanata.wordpress.com
anggih91.wordpress.com
dwiratnaprahasty.wordpress.com academia.edu
slideshare.net

Unique

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hhn

-

Unique

Secara etis, kekerabatan menjadikan masyarakat menabukan eksploatasi terhadap pihak lain

-

Unique

Bahkan sebaliknya, kepentingan orang lain dan bersama ditempatkan lebih tinggi dari pada kepentingan individu

-

Unique

Sampai puncak kejayaannya, yaitu saat tahta dipegang oleh Sultan Agung, dinasti Mataram menjadikan Yogyakarta
sebagai pusat pemerintahan

-

Unique

Dari sudut pandang ini, secara kultural masyarakat Yogyakarta menjadi pewaris dan pemilik kebudayaan terbaik
Mataram

-

Unique

Paling tidak ada tiga fenomena kultural yang diproduksi dan diwariskan selama Mataram berpusat ill Yogyakarta, yaitu:

-

Unique

Identitas Kejawaan Fenomena pertama adalah penggunaan kebudayaan J awa sebagai identitas

-

Unique

Selain itu, pada tahun 1633 Kerajaan Mataram juga mengeluarkan penanggaIan bam yang dinamai penanggalan J awa

-

Unique

4 Perbenturan tidak hanya terbatas pada narasi kerajinan, tetapi juga fisik

-

Unique

Fokus penaklukan Mataram ke Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya, karena Jawa Timur menjadi
pusat penyebaran Agama Islam

-

10 results

Narasi penghidupan kembali kebudayaan Jawa juga tampak aspek pembakuan tata krama (sopan santun)

books.google.com goodreads.com
journals.sagepub.com readinglists.ucl.ac.uk
studyblue.com kananundkiri.blogspot.com ssrc.org
en.wikipedia.org academia.edu kineruku.com

Unique

Penghormatan terhadap orang tua memperoleh bentuk yang relatifbaku dalam format bahasa tubuh dan bahasa tutur
pada peri ode Mataram

-

Unique

Moedjanto, The Concept of Power in Javanese Culture

-

5 results

Gadjah Mada University Press, 1986, hIm

jogja.antaranews.com kompasiana.com
darsonov.blogspot.com
yogyakarta.panduanwisata.id gedangsari.com

5 results

5 BeIjalanjongkokjuga digunakan oleh smoman saat mengantarkan minum dan kudapan bagi para tamu dalam suatu
perhelatan

berbagi81.blogspot.co.id pmiidkw-ump.blogspot.com
puteragentan2.blogspot.com
ulffahfahh.wordpress.com kompasiana.com

Unique

Tradisi ini sampai sekarang, meski sudah j arang, masih dapat ditemukan di pedesaan Yogyakarta

-

Unique

Selain bahasa tubuh, tata krama jugarnencakup bahasa tutur

-

Unique

Pada periode Matararn, yaitu sejak rnasa pernerintahan SultanAgung,dikernbangkandengan duarnodel bahasa tutur,
yaitu krarna dan ngoko

-

Unique

6 Bahasa krama digunakan UJltuk berkornunikasi dengan kaurn yang lebih tua, orang tua atau pernirnpin, sebagai
simOOI penghOIn1atan

-

Unique

Selain itu, bahasa krarna juga digunakan ketika berkornunikasi dengan orang yang belurn dikenal

-

5 results

Oleh karena sebagai rnanifestasi penghoIn1atan, bahasa J awa krama dikenal sebagai bahasa halus

wacana.co ibrahimabdallah9.blogspot.com
cariarti.com agungpambudi72sangkanparaningdumadi.blogspot.com
wayang.wordpress.com

Unique

Model ke dua adalah bahasa Jawa ngoko yang digunakan untuk berkornunikasi dengan kaurn seusia atau sederajad,
sebagai simbol hangatnya kekerabatan

-

Unique

Konsep keagung-binatharaan Aspek ketiga yang dinarasikan oleh Matararn adaIah konsep kekuasaan khas Jawa yang
dikenaI sebagai konsep keagung binatharaan

-

Unique

Keagung-binatharaan berasal dari dua kata, yaitu agung yang berarti rnulia dan bathara yang dalarn konteks ini
diartikan sebagai Tuhankhas nusantara

-

2 results

7 Keagung- Tradisi ini sampai sekarang, meski sudahjarang, masih dapat ditemukan di pedesaanYogyakarta

nalarspiritual.wordpress.com
nalarspiritual.wordpress.com

Unique

6 Pada masa-masa selanjutnya, bahasa Jawa krama semakin kompleks dengan pembedaan antara krama, madya dan
ngoko

-

Unique

Poerwadarminta, Sarining Paramasastra Djawa

-

Unique

Djakarta, 1953 yang dikutip oleh

-

Unique

Moedjanto, ibid

-

10 results

7Sampai saat tulisan ini dibuat

seasite.niu.edu prezi.com en.wikipilipinas.org uggaustralia.org academia.edu aboutphilippines.ph lizaglenda-yrene.blogspot.com
lapropagandista.blogspot.com Free Download |
Mozilla Firefox® Web Browser
www.mozilla.orgDownload Firefox - the faster,
smarter, easier way to browse the web and all of
Yahoo 10 results

Unique

, penulis belum menemukan referensi yang memuat penjelasan secara memuaskan tentang konsep bathara

-

Unique

Dalam berbagai karya masyarakat Indonesia, gambaran tentang bathara telah mengalami bias dengan konsep dewa
agama Hindu (Bathara Wisnu, Bathara Siva dll) dan Allahffuhan dari agama ~wi

-

Unique

Penjelasan yang relatif memadai justru diperoleh dari masyarakat Philipina yang menempatkan Bathara sebagai yang
tertinggi:

-

Unique

The Creator God was almost always said to be invisible, or without form, and as such, images of the deity were not
generally made

-

Unique

binatharaan rnerupakan konsep kekuasaan ideal khas rnasyarakat nusantara, khususnya J