DARI KHILAFAH KE NATION STATES TRANSFORM

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN
Cipto Sembodo
Dosen FAI UCY
c.sembodo@gmail.com
abstract
This article discusses the transformation of Islamic law in the modern era,
following the succession of the Khilafah system into nation-state in the
Muslim world. The subject observes the phenomenon of Shari'a's escape
from the control and power of ulama, who is traditionally regarded as the
goalkeeper and the bearer of the aspirations of Islamic law. The discursivethematic transformation takes place following the social dynamics that
demand the contextual answer of Islamic law. The transformation of
Islamic law did also occur on structural ways. These transformations in
due course of the time will affect the form, institution and implementation
of Islamic law which entirely involves the role of the State, especially in
matters relating to the public.
Keywords: Transformation, Islamic Law, Khilafah, nation state

A. Pendahuluan
Isu khilafah kembali menyeruak. Publik Islam kembali
dipertontonkan ―drama‖ perseteruan Islam versus negara. Kasusnya

adalah dicabutnya status badan hukum organisasi Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) yang mengklaim pembawa ideologi ―khilafah Islam‖
versus negara (nation state) Indonesia dengan Perpu No. 2 tahun 2017.
Sayangnya, gegap gempita isu ini, nyaris tidak menyisakan diskusi tentang
apa dan bagaimana khilafah itu, sebagai sistem maupun ideologi yang
bekerja secara historis serta pergantiannya menjadi negara bangsa
(nation-state) di dunia Islam. Pun demikian, akibatnya terhadap hukum
Islam.
Mengisi kekosongan itu, tulisan sederhana ini berupaya
mendiskusikan bentuk-bentuk pemikiran dan praktek hukum Islam
menyusul diterapkannya negara kebangsaan (nation-state) di dunia
Muslim. Fokus bahasannya diarahkan untuk mengamati fenomena
terlepasnya Syari‘ah dari kontrol dan kekuasaan ulama, yang secara
trasidional dianggap sebagai penjaga gawang dan pembawa aspirasi
hukum ummat.

CIPTO SEMBODO

Dalam negara modern, kontrol, kekuasaan, formulasi hingga
pelaksanaan hukum Islam berada di bawah kuasa legislator, politisi dan

negara (state) berikut organ berserta birokrasinya. Peran dan kedudukan
hukum Islam juga berada diantara tarik-menarik, perdebatan
kontroversial bahkan polarisasi intelektual-ideologis politik Islam dan
―negara―.1 Belakangan, isu ini makin makin menguat dan menentukan
peta politik serta bentuk-bentuk intelektual dan praktik pelembagaan
hukum Islam ketika antusiasme dan kesadaran Syari‘ah melanda hampir
seluruh dunia Islam.
Ketiadaan sumber-sumber utama Islam yang menunjukkan secara
definite tentang bentuk -mekanisme bernegara disebut-sebut sebagai satu
hal yang menyebabkan berlarutnya kondisi di atas. Meski secara teologis
memberikan ajaran yang lengkap meliputi hubungan vertikal dengan
Allah (‫ )حيل من هللا‬dan hubungan horizontal dengan sesama manusia ( ‫حيل من‬
‫)الناس‬, tetapi Islam menyinggung soal-soal politik dalam bentuk prinsipprinsip dasar yang masih bersifat sangat umum, seperti keadilan, ‫العدالة‬
musyawarah ‫شوري‬, kepercayaan, ‫ أألمانة‬, persamaan, ‫ المساوة‬dan sebagainya.
Di era modern, terjadi beragam perbedaan teoretis dan praktis,
antara ―daulah‖ Islam sebagai praktek era klasik dan pertengahan dengan
―negara‖ di era modern. Hal ini berpusat pada paham negara-bangsa
(nation states) yang diperkenalkan di Barat oleh Machiavelli (1469-1527).2
Dalam negara-bangsa (nation state), pembentukan sebuah negara lebih
didasarkan pada kesamaan warga negara, bahasa, teritorial, nasionalisme,

pemerintahan dan kedaulatan rakyat.3 Hal-hal tersebut tentu saja asing
bagi masyarakat muslim pada masanya. Nation states, dengan demikian,
menciptakan ketegangan historis dan konseptual di tengah-tengah umat
Islam pada masa modern kini.
Bagaimanakah negara bangsa modern (nation state) itu membawa
perubahan peta politik hukum Islam?, apa dan sampai di mana
pengaruhnya terhadap bangunan pemikiran dan praktek hukum Islam itu
sendiri? Beberapa hal inilah yang coba didiskusikan tulisan ini. Pertama,
dibahas khilafah pra-modern. Berikutnya, didiskusikan munculnya
konsep negara bangsa (nation-state) era modern. Dua hal ini penting
diketahui untuk menganalisis perbedaan berikut problematika hukum
Islam sekaligus untuk merekam tawaran-tawaran solusi terhadap problem
relasi dan pergumulan hukum Islam dan negara bangsa.
B. Khilafah Dan Sejarah Bernegara Islam
Tinjauan terhadap hubungan antara Islam dengan mekanisme dan
sistem bernegara pada masa-masa awal mengungkapkan fakta sejarah
yang sangat kaya sekaligus kompleks. Seperti argumen sebagian pemikir
Muslim, Islam adalah sebuah sistem kepercayaan di mana agama

137


Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

mempunyai hubungan erat dengan persoalan kenegaraan. Islam
memberikan pandangan dunia dan kerangka makna bagi kehidupan
individu maupun masyarakat.4 karena itu, dalam ralitasnya komunitas
Islam berifat spiritual sekaligus temporal.5 Islam adalah agama (din) dan
sekaligus negara (daulah).
Pandangan seperti itu didukung oleh kenyataan bahwa pada masa
awal Islam, setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW.
membentuk satu bentuk negara-kota (city-state) di Madinah yang bersifat
ketuhanan. Menurut Esposito, di dalam komunitas baru itulah (622-632)
Muhammad SAW. menjadi pemimpin politik sekaligus pemimpin
keagamaan.6 Beliau adalah seorang Nabi, pemimpin negara, panglima
pasukan perang, hakim dan juga seorang penentu kebijakan. Otoritas
demikian itu didasarkan pada sumber utama Islam, al-Qur‘an.7 Dalam
membuat keputusan, Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik sering

kali meminta masukan dari sekelompok kecil elit pengikutnya (Sahabat).
Selain itu, pada masa ini pula dibentuk sebuah Piagam Madinah (624)
sebagai kesepakatan bersama elemen-elemen masyarakat Madinah untuk
hidup damai.
Segera setelah wafatnya Nabi SAW. tahun 632, masyarakat Islam
generasi pertama itu telah dihadapkan pada sebuah krisis konstitusional
tentang siapa yang harus menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin
komunitas Islam yang telah dibentuk itu. Meskipun Islam diakui sebagai
sistem kepercayaan yang memuat secara yang lengkap tentang tata cara
kehidupan duniawi dan ukhrawi–sebagaimana disinggung di atas— dan
Nabi Muhammad sendiri merupakan pemimpin politiknya, tetapi baik alQur‘an maupun sunnah Nabi tidak memberikan perintah-perintah yang
tegas mengenai bentuk pemerintahan ataupun lembaga-lembaga politik
lainnya. Oleh karena itu, sejak awal kaum muslim telah dituntut untuk
berimprovisasi mengenai bentuk dan sifat pemerintah.
Tidak adanya petunjuk yang definite dari sumber-sumber utama
dan konflik politik, inilah fakta pertama yang mengiringi perjalanan
pentas sejarah peradaban Islam. Dipilihlah kemudian para Khalifah arRasyidah pengganti Nabi SAW. dengan cara dan mekanisme pemilihan
yang berbeda-beda. Abu Bakar (632-634) terpilih melalui suatu
perdebatan sengit di Saqifah Bani sa‘idah. Umar ibn al-Khattab (634-644)
menjadi khalifah melalui penunjukkan atau wasiat pendahulunya.

Sedangkan Utsman ibn ‗Affan (644-656) dan Ali ibn Abi Thalib (656-661)
keduanya terpilih melalui pemilihan.8
Jika diamati, periode khulafa ar-Rasyidun sesungguhnya telah
memunculkan dua prinsip yang lebih maju dalam sistem kenegaraan
Islam klasik, yaitu ikhtiyar dan bay’ah.9 Artinya, seorang pemimpin
pengganti Nabi haruslah dipilih diantara sahabat-sahabatnya, kemudian
Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

138

CIPTO SEMBODO

dikukuhkan dengan bai’ah (sumpah setia). Namun demikian, kedua
prinsip itu berubah dan digantikan dengan prinsip monarki ketika
kekuasaan Islam dijalankan melaui bentuk Dinasti, baik Umayah (661750) maupun Abasyiyah (750-1258). Setelah jatuhnya Dinasti Abasyiyah,
dunia Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan regional yang berperan
sebagai negara-negara teritorial. Hal ini terus berlangsung sampai Dinasti
Utsmasi (1281-1922) berhasil mengembalikan keutuhan Islam ke dalam
bentuk kerajaan yang terkenal dengan kekholifahan Turki Utsmani.
Praktek bernegara yang telah berjalan di atas itulah pada akhirnya

yang membentuk teori dan pemikiran tentang sistem kenegaraan dalam
Islam. Teori politik-kenegaraan Islam terwujud berkat perkembangan
historis yang menjadi tema bahasannya. Namun harus diakui bahwa
konsep-konsep utama baru berkembang ketika lembaga politik yang
menjadi subjek teorinya telah mengalami kemunduran.10 Di sinilah
kemudian dapat kita pahami mengapa tema utama yang menjadi
perhatian para pemikir politik Islam adalah asal-usul negara, bentuk
negara monarki, tentang institusi khilafah yang universal, otoritas kholifah
dan hubungan muslim dengan non-muslim dan sebagainya.11 Pendeknya,
teori-teori politik dan sistem kenegaraan yang dikembangkan pada masa
klasik ini adalah dimaksudkan sebagai legitimasi dan mempertahankan
status quo.
Tokoh-tokoh intelektual politik Islam klasik seperti Ibn Arabi, alGhazali (1058-1111) dan Ibn Taimiyah (1263-1328) bahkan menyatakan
bahwa pemimpin negara (sultan, raja atau khalifah) adalah perpanjangan
tangan kekuasaan sekaligus mandat Allah SWT.12 Ini berimplikasi kepada
keharusan secara keagamaan terhadap kekuasaan. Berangat dari sinilah
sehingga, sepanjang sejarah peradaban Islam, terlihat adanya hubungan
yang secara umum menampilkan pihak penguasa (imam, khalifah, amir
atau sultan) berada pada posisi superior terhadap pihak yang dikuasai
(ummat), dengan kekuasaan mutlak dan kedaulatan yang bersifat

Ilahiah.13
Tidak terlalu banyak kritik terhadap praktek-praktek kekuasaan
yang demikian superior dan sakral. Ibn Khaldun (1332-1406) mungkin
dapat disebut sebagai telah mengurangi bobot sakralitas itu dengan
pendapatnya bahwa khalifah hanyalah merupakan pengganti posisi Nabi
secara sosiologis.14 Kritik lainnya tampak lebih bernada gugatan secara
moral, seperti tuntutan keadilan, penyampaian amanat dan sebagainya
seperti pemikiran Ibn Taimiyah. Kritik yang bersifat sistemik untuk
menggugat superioritas kekuasaan jarang kita temukan. Mungkin hanya
al-Mawardi (975-1059)15 yang mengajukan alternatif tentang hal itu
dengan teori ―kontrak sosial‖-nya. Dan dengan kontrak sosial inilah secara

139

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

teoretis, seorang penguasa bisa dibebas-tugaskan, dimakzulkan dari

jabatan kekuasaannya.
Pemikiran politik Islam klasik secara keseluruhan juga
menempatkan agama di atas politik, sehingga tidak dikenal adanya
pemisahan agama dan negara. Selain itu, pada periode ini dunia Islam
masih berada di bawah satu kesatuan politik khilafah Islamiyah. Inilah
yang membawa pemikiran politik Islam klasik mengatakan bahwa
pemerintahan Islam harus bersifat trans-nasional, tidak mengenal apa
yang kini disebut geo-politik, nasionalisme dan sejenisnya.
C. Nation State Dan Praktek Bernegara Modern
Pemikiran politik kenegaraan klasik sebagaimana disebutkan di
atas memusatkan perhatiannya pada isu khilafatisme sebagai jawaban
historis untuk zamannya. Pemikiran politik periode ini juga masih
diwarnai ide-ide filsafat Yunani, meskipun dengan tingkat yang berbedabeda antara satu dengan yang lainnya. Berbeda dengan itu, pemikiran
politik kenegaraan Islam modern mengkonsentrasikan pada persoalan
bentuk negara-bangsa (nation-states) sebagai respon terhadap tantangan
dan penetrasi politik Eropa.
Gagasan nation-states itu sendiri pertama muncul di Barat melalui
pemikiran Nicollo Machiavelli (1469-1527).16 Perwujudan dan
pembentukan sebuah negara dalam konsep negara-bangsa (nation state)
ini, lebih didasarkan pada kesamaan warga negara, bahasa, wilayah

teritorial, nasionalisme, pemerintahan dan kedaulatan rakyat.17 Seperti
khilafatisme, gagasan nation-states ini juga merupakan jawaban sejarah
atas persoalan yang dihadapi kultur penggagasnya. Perbedaannya, di
Barat pada umumnya, semangat kenegaraan semacam ini berkembang
mulai dari daratan Eropa, kemudian meluas ke Benua lainnya. Sementara
itu, di dunia Islam, nation-states diperkenalkan sebagai suatu mekanisme
kenegaraan ketika terjadi kontak antara Islam dengan modernisasi Eropa,
baik yang berlangsung melalui kolonilisasi maupun kontak politik
kultural biasa.
Di bawah pengaruh Eropa yang sejak abad ke-18 terus mengalami
perkembangan dan kemajuan melalui modernisasi, kontak dan interaksi
itu pada akhirnya banyak berpengaruh terhadap negara (kekhalifahan)
Islam dalam membentuk sistem kenegaraannya. Meski terdapat
ketegangan historis, konseptual dan intitusional antara nation-states
dengan kekholifahan –sebagaimana akan dijelaskan di bawah nanti—
Dinasti Turki Utsmani, yang menguasai hampir seluruh Timur Tengah,
segera dengan terpaksa mengakui keunggulan politik Eropa. Berbagai
pembaharuan, terutama dalam sistem administrasi dan organisasi militer
(1730-an) mulai dilancarkan sesuai dengan sistem Eropa.18


Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

140

CIPTO SEMBODO

Pengaruh itu memuncak menjadi kontroversi dan pertentangan
ketika institusi kekholifahan Islam Turki Utsmani pada masa Mustafa
Kemal Attaturk dibubarkan dan dirubah menjadi sebuah negara Republik
Turki. Pembubaran kekholifahan Islam itu sendiri dilakukan dalam dua
tahap. Pertama, tahun pada bulan November 1922, Majelis Nasional
Agung –atas usulan Mustafa Kemal—menghapuskan jabatan Sultan dan
mempertahankan jabatan Khalifah yang saat itu dipegang oleh Khalifah
Abdul Majid. Kedua, institusi dan jabatan khalifah itupun akhirnya
dihapuskan oleh Majelis Nasional Agung pada 3 Maret 1924. 19 Dengan
demikian, maka berakhirlah sejarah kekholifahan Islam yang terkenal itu.
Merespon fenomena politik tersebut, para pemikir dan tokoh
intelektual Muslim modern memberikan pandangan yang beragam.
Sebagian pihak mendukung secara total gagasan nation-states
sebagaimana dikembangkan di Barat atau Eropa pada umumnya.
Sebaliknya, sebagian ang lain menentang secara keseluruhan praktek
tersebut dan menawarkan kembali sistem kekholifahan Islam. Di antara
kedua pihak tersebut, ada segolongan yang mencoba mensitesakan dua
kecenderungan sebelumnya.
Respon intelektual Muslim ini diawali oleh Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Afghani menyerukan
kembali kepada ajaran Islam salaf dalam pengertian luas dan mencakup
perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat sekaligus
pengakuan keunggulannya dalam sains dan teknologi untuk mempelajari
secara kritis dan selektif. Sejalan dengan itu, ia menganjurkan Jami’ah
Islamiyah, pan-Islamisme; suatu asosiasi politik berdasarkan agama
menentang kolonialisme.20
Berbeda dengan pendahulunya, Abduh tidak memperdulikan
bentuk pemerintahan, karena menurutnya Islam tidak menetapkan
bentuk tertentu tentang pemerintahan.21 Ali Abdurraziq (1888-1966),
murid Abduh, juga mendukung pendapat gurunya. Ia bahkan menerbitkan
pendapatnya dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm tahun 1925
setahun setelah dibubarkannya Kekholifahan Islam Turki. Murid Abduh
lainnya, Rasyid Ridha (1865-1935) justru mendukung dihidupkannya
kembali institusi khifah Islamiyah dengan jalan membentuk ahl halli wal
‘aqdi.
Tidak seperti pemikiran politik-kenegaraan Islam klasik dan
pertengahan yang menempatkan agama pada posisi superior di atas
persoalan-persoalan poltik dan sekaligus ia inklusif di dalamnya,
pemikiran politik-kebengaraan Islam pada zaman modern ini mulai
mempertanyakan dan berupaya menempatkan persoalan agama ini pada
posisi dan porsi yang wajar. Mungkin karena adaptasi dengan sistem
negara-bangsa, pemikiran dan praktek bernegara modern juga tampak
141

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

mulai membuat hubungan yang kurang superior antara yang dipimpin
dengan pemimpinnya.
D. Konflik, Ketegangan Dan Transformasi Hukum Islam
Konsep nation-states adalah dampak terbesar penetrasi peradaban
Barat pada umumnya ke Dunia Muslim terhadap sistem dan mekanisme
politik kenegaraan. Seperti uraian di atas, teori dan praktek kenegaraan
Islam bertumpu pada sistem khilafah; ia bersifat trans-nasional dan
didasarkan pada kesamaan agama. Lahirlah dua konsep teritorial dar alIslam dan dar al-harb. Di pihak lain, nation-states menekankan
kebersamaan etnis, kultur, bahasa dan wilayah teritorial. Perbedaan dasar
inilah yang menciptakan ketegangan historis dan konseptual, karena
masyarakat politik (polity) yang tercakup dalam nation-states bersatu
dengan mengabaikan garis-garis persamaan religius. Artinya, nation-state
memunculkan persoalan pluralisme (sosio-kultural dan politik) di negaranegara Islam. Selain itu, pada tingkat institusional, nation states
berbenturan secara diametral dengan ―kekhalifahan‖. Ini menyebabkan
terpecahnya wilayah kekuasaan Islam ke dalam negara-negara regional.
Menyikapi
pluralisme
ini,
pemikir-pemikir
Muslim
mengembangkan konsep pluralisme bangsa dan territorial. Landasannya
dikutip dari ayat-ayat al-Qur‘an yang menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dan menjadikannya berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku untuk saling mengenal (QS. 49: 1-3). Pluralisme sosiokultural, absah dan diterima dalam sistem sosial kenegaraan Islam. Akan
tetapi, pluralisme politik dalam hubungannya dengan nation-state, hingga
kini tetap menyisakan perdebatan. Hal ini terkait dengan sistem
demokrasi yang dipercaya sebagai mekanisme terbaik untuk
menjembatani pluralisme sosial politik ini.
Sikap para pemikir Muslm terhadap demokrasi juga beragam.
Kelompok yang menolak demokrasi berpandangan bahwa ―kedaulatan‖
berada di tangah Tuhan, Dia-lah yang berhak menetukan hukum.
Mengacu kepada sejarah Nabi di Madinah, mereka ini menamakan idenya
sebagai Theo-democracy.22Mengakui demokrasi, bagi mereka berarti
mengambil dan tidak mengakui kedaulatan Tuhan dan menetukan hukum
sendiri. Karena itu, mereka mengajukan konsep syura (‫ )شورى‬sebagai
alternatif dari sumber Islam. Meskipun secara koseptual alternatif
demikian sangat menarik, namun miskin praktik dan penjelasan
operasional yang memuaskan.23
Di pihak lain, pemikir muslim menerima demokrasi dengan tetap
berpegang pada ajaran-ajaran Islam. Mereka mengembangkan
interpretasi Islam, terutama menyangkut status kaum perempuan dan
warga non-muslim. Hal ini di- rasakan perlu, bukan hanya untuk

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

142

CIPTO SEMBODO

menyesuaikan dengan prinsip demokrasi, seperti equality diantara sesama
manusia, kebebasan berpendapat, dan sebagainya, tapi juga untuk
mengoreksi beberapa ajaran klasik Islam yang dinilai out of dated serta
tidak mendukung laju kehidupan kekinian.
Sampai di sini, tampak bahwa salah satu konsekuensi penting dari
gagasan nation-states adalah ―liberalisasi― pemikiran dan praktek politik
dari kontrol atau pengaruh Syari‘ah (hukum) Islam dalam pengertian
tradisional. Dari sinilah hukum Islam di era modern kelak mulai
mengalami transformasi diskursus tematis dan transformasi strukturalepistemologis; suatu transformasi yang nyaris mendekonstruksi hukum
Islam dalam pengertiannya yang tradisional.
Sistem negara-bangsa (nation-state) modern yang menekankan
kesetiaan kebangsaan ketimbang persaudaraan Islam, egalitarianisme
kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan Tuhan, mengakui persamaan hak
laki-laki dan perempuan dan representasi politik, semua itu tidak selalu
sesuai dengan konsep dan praktek fiqh Islam tradisional maupun petunjuk
yang dapat dipahami dari Syari‘ah itu sendiri. Hemat penulis, realitas dan
diskursus modernitas itulah yang memaksa transformasi hukum Islam
secara tematis dan diskursif.
Dalam konteks inilah dapat kita maklumi betapa hingar-bingarnya
wacana ―The Second Massage‖-nya Mahmud Mohammed Thoha yang
dikembangkan an-Na‘im dengan ―Dekontruksi Syari‘ahnya‖ di Sudan.
Tidak diragukan lagi, ini mewakili transformasi hukum Islam di tengah
diskursus demokrasi, gender dan hak-hak asasi manusia.24 Transformasi
hukum Islam ini akan berjalan seiring sejalan dengan diskursus dan tematema aktual yang menuntut respon dan jawaban terus menerus. Terlepas
dari kontroversi, pro dan kontra yang menyertainya, maka hukum Islam
harus terlibat dalam diskursus tematis ini justru agar tetap bisa menjadi
bagian kehidupan.
Dalam sistem negara kebangsaan (nation state), hukum Islam juga
menjadi satu entitas yang paling banyak mengalami tantangan sekaligus
tentangan. Tidak saja dalam aspek detail-detail tematik seperti telah
disebutkan pada paragraf di atas, tantangan dan tentangan itu juga
menyentuh aspek karakteristik dasar, struktur otoritas pengetahuannya
hingga bentuk dan praktek pelaksanaan dan keberlakuannya di tengah
masyarakat. Inilah transformasi hukum Islam berikutnya yang bersifat
struktural-epistemologis.
Jika sebelumnya masyarakat Muslim berhukum dalam sistem fiqh
madzhab, maka di era modern masyarakat Musim harus tunduk kepada
undang-undang. Fiqh membawa epistemologis tertentu dan lahir jaring
otoritas sosial-keagamaan independen dari pemerintah. Sementara itu,
undang-undang jelas merupakan produk legislasi, yang tidak lepas dari
143

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

bargainng politik kekuasaan. Tidaklah mengherankan jika Joseph Schacht
menyebut fenomena ini sebagai manifestasi modernisme Islam yang
paling penting.25 Namun demikian, pada saat yang sama Schacht
menyebutkan bahwa keberadaan hukum Islam tradisional yang bercorak
fiqh dalam sistem legislasi negara-bangsa sejak awalnya problematis.26
Menurut Baber Johansen, transformasi hukum Islam ke dalam
sistem legislasi yang tidak hati-hati jelas akan merubah otoritas struktural
di dalamnya, dan bahkan dapat mengorbankan dimensi-dimensi
terpenting serta karakteristik etik dan transendentalnya.27 Sebagaimana
dijelaskan di atas, Syāri‘ al-Ahkām (‫ )األحكام شارع‬adalah pihak yang
berwenang menentukan hukum dalam Islam dan ketundukan Muslim itu
adalah legislasi Tuhan yang tidak memerlukan campur tangan manusia.
Karakter hukum Islam menekankan ketundukan teologis terhadap ‫ شارع‬.
Ini bertolak belakang secara diametral dengan sistem hukum Eropa
kontinental atau Roman Law yang mensyaratkan adanya legislasi untuk
setiap ketetapan hukum. Dalam kondisi demikian, maka fiqh tradisional
tidak memiliki kekuatan hukum dalam sistem negara-bangsa.
Sedangkan secara politis dam praktis institusional, realitas
berikutnya juga menunjukkan bahwa penerimaan nation-states dalam
praktek demokrasi kebangsaan modern pada akhirnya berimplikasi pada
apa yang dapat kita sebut ―deprivatisasi Syari‘ah (hukum) Islam‖ dari
tangan ulama sebagai pengawal utama hukum Islam. 28 Peran ulama, baik
pada tingkat pembuat ketentuan hukum dan praktek pelaksanaannya kini
hanya sebagai ―nara-sumber― yang tidak memiliki otoritas legal maupun
politik.
Dengan menerapkan sistem modern negara bangsa seperti yang
dikenal saat ini, ketetapan dan penetapan hukum Islam dalam proses
legislasi tidak lagi akan menjadi otoritas ulama sebagai penjunjung utama
aspirasi masyarakat keagamaan. Legislasi Islam dari format tekstualnya,
hingga substansinya akan terbentuk berdasarkan peta kekuatan politik
yang ada, seperti partai-partai politik, dewan perwakilan rakyat dan
lembaga-lembaga politik lainnya. Karena itu pula, secara politis pembawa
aspirasi dan pemikiran hukum Islam beralih kepada para legislator,
politisi, lembaga-lembaga yudikatif dan pelaksana hukum lainnya.
Dengan konfigurasi sosial dan politik yang mengitarinya berikut
tekanan sosial, ekonomi dan aspek-aspek kehidupan lainnya, bisa diduga,
transformasi hukum Islam ini akan terjadi dan mempengaruhi baik pada
tingkat otoritas pengetahuan dan wacana perdebatan pemikiran maupun
praktek. Penyusunan sebuah undang-undang-undang, misalnya, semua
pihak akan bisa terlibat dalam wacana dan perdebatan. Tidak lagi hanya
menjadi domain ulama, kyai atau pemimpin secara tradisional. Medianya

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

144

CIPTO SEMBODO

juga kini dengan menggunakan bahasa yang sama yang dapat dipahami
semua pihakyang terlibat.
Jika di tingkat pembuat ketentuan, kontrol hukum Islam berada di
tangan kekuasaan legislator dan politisi, maka pada praktek dan
pelaksanaannya hukum Islam menjadi kewenangan lembaga yudikatif
Mahkamah Agung, pengadilan dan para hakim negara berikut organ
penegak hukum lainnya, mulai dari penasehat hukum, kejaksaan,
kepolisian beserta serangkaian prosedur acaranya.
Transformasi hukum Islam seperti itu terjadi misalnya di Turki.
Turki menempatkan reformasi hukum sepenuhnya berada di dalam
program sekulerisasi. Proses itu dilakukan dengan dibentuknya
pengadilan perdata dan pidana dengan prosedur-prosedur hukum dan
pembuktian berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental pada tahun
1847, hukum dagang tahun 1850. Memang dilakukan pembaharuan, tetapi
jurisdiksi (kewenangan hukum) hukum Islam pada akhirnya dibatasi
hanya dalam hukum keluarga. Hasilnya, tidak diragukan lagi adalah
sekulerisasi hukum Islam.29
Indonesia juga menunjukkan fenomena transformasi seperti
tersebut di atas pada beberapa politik legislasi undang-undang atau aturan
negara yang terkait atau berisi Syari‘ah. Politik sekulerisasi hukum Islam
selalu mengiringi proses legislasi dan arah kebijakan hukum Islam sejak
diperkenalkannya sistem hukum Eropa melalui penjajahan Belanda,
khususnya di era Snouck Hurgronje. Isu yang sama mengiringi proses
legislasi hukum perkawinan yang gagal diusung pemerintah pada tahun
70-an. Lahirnya undang-undang ini tahun 1974 –yang dianggap
mengakomodasi aspirasi Islam—pun kian menegaskan dirinya sebagai
hasil diskusi dan kepentingan politik.30 Tampak jelas pula bagaimana
Syari‘ah seolah hanya menjadi bargaining kepentingan politik pada
dilahirkannya undang-undang Peradilan Agama31 dan Kompilasi Hukum
Islam.32 Pola perkembangan yang tampaknya serupa kemudian juga
berlangsung dengan detail pembaharuan hukum yang berbeda-beda di
negara-negara Muslim lainnya. 33
E. Penutup
Era modern adalah salah satu masa krisis terberat dalam sejarah
masyarakat Islam. Krisis ini muncul bukan hanya diakibatkan oleh
tertutupnya pintu ijtihad dan suasana malaise di kalangan internal umat
Islam. Tetapi juga ada persoalan struktural dan kekuasaan karena kontak
dan perbenturan dengan kekuatan politik dan militer eksternal, Eropa,
yang terus menanjak sejak akhir abad ke-18. Eropa, sejak periode ini,
mempunyai kekuatan yang memadai untuk secara langsung menantang
kaum muslim.

145

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

Ekspansi imperialisme dan kolonialisme Eropa ke wilayah-wilayah
Islam tidak hanya menciptakan disintegrasi politik Islamdom, tetapi lebih
jauh lagi menggoncangkan jati dirinya. Inilah salah satu pintu interaksi
Islam dan ide-ide dan kultur politik Eropa, seperti nation-states.Gagasan
nation-states yang muncul pertama kali di Eropa ini pada akhirnya
mempengaruhi sistem dan mekanisme bernegara di wilayah kekuasaan
Islam. Bahkan hal itulah yang ikut menyumbangkan tenaga menghentikan
kekholifahan Islam Turki Utsmani pada tahun 1922 dan 1924.
Penerimaan dan praktek nation-states –yang dalam banyak hal
berbeda dengan sistem kekholifahan-- ini harus diakui membawa berbagai
problem yang tidak mudah dan sederhana untuk dipecahkan. Problem ini
merentang dari masalah kedaulatan, hubungan agama dan negara,
pluralisme sosial dan politik sampai kepada eksistensi hukum Islam di
dalam sebuah sistem negara-bangsa.
Selain liberasliasi politik dari kontrol Syari‘ah dalam pengertian
tradisional, implikasi terpenting hukum Islam dalam wacana demokrasi
kebangsaan adalah deprivatisasi Syari‘ah dari tangan ulama yang secara
tradisional menjadi garda depan aspirasi syariah. Di sinilah hukum Islam
jika tidak senantiasa dikawal akan semata-mata menjadi diskusi dan tawar
menawar politik di meja legislator dan politisi.
Mengakhiri tulisan ini, penulis berpendapat bahwa suatu reposisi
peran politik maupun kultural Islam sesungguhnya telah menjadi sebuah
keniscayaan agar Islam dapat kembali bermain dalam proses regulasi
masyarakat modern. Hal ini tentu saja meliputi seluruh bidang garap
hidup dan kehidupan manusia. Ini penting dilakukan secara terpadu
antara wahyu dan rakyu bagi keberadaan sebuah umat yang ingin
membuktikan kebenaran ajaran kitab sucinya yang rahmatan li al‘Alamin.
Catatan Akhir
1 Sejak berakhir kolonialisme Barat pertengahan abad 20, negara-negara muslim
seperti Turki, Maroko, Mesir, Sudan, Pakistan, Aljazair, Malaysia termasuk Indonesia,
menjumpai kesulitan dalam membangun sintesis yang memungkinkan (viable) antara
praktek dan pemikiran politik Islam dengan ―negara‖. Hubungan antara Islam dan
negara ditandai ketegangan tajam dan bahkan permusuhan. Lihat Bahtiar Effendy, Islam
dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1998), h. 2. Lihat juga Mohammed Ayoub, The Politics of Islamic
Reassertion, (London: Croom Helm, 1981) and James P. Piscatori (ed.), Islam in the
Political Process, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983).
2 Roger Scruton, Adictionary of Political Thought, (London: Macmillan Press,
1982), h. 446.
3 Ibid., h. 312.
4Pandangan demikian didukung tokoh-tokoh seperti Hassan al-Banna, Sayyid
Quthb, Rasyid Ridha dan terutama Abul A‘la al-Maududi. Lihat Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1. Juga M.
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 117- 150.

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

146

CIPTO SEMBODO

5 Tareq Y. Ismael and Jacqueline S. Ismael, Government and Politics in Islam,
(New York: St. Martin‘s Press, 1985), h. 3-4.
6 John L. Esposito, Islam and Politics, (New York: Syracuse University Press,
1987), h. 4.
7 Lihat al-Qur‘an surat Ali Imran (3): 32; an-Nisa (4): 80; al-Ahzab (33): 21, 36;
dan sebagainya.
8 Lihat Sjadzali, Islam Tata Negara…, h. 21-28.
9Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 3.
10 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan,
2001), IV, Entri ―Negara Islam‖, h. 164.
11 Lihat Azra,
Pergolakan Politik Islam…, h. 5. Sjadzali, Islam dan Tata
Negara…, h. 204.; Masykuri Abdillah, ―Islam and the Concept of Nation-State‖, Makalah
Seminar Internasional Islami and Humanism, Institut Agama Islam Walisongo
Semarang, 6-8 Oktober 2000, h. 3.
12 Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h. 108.
13 M. Din Syamsuddin, ―Antara Yang Kuasa dan Yang Dikuasai Refleksi Atas
Pemikiran dan Praktek Politik Islam‖, dalam Jurnal Media Inovasi, No. 01, Th. XI, 2001,
h. 60.
14 Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h. 101; Syamsuddin, h. 101.
15 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah,
(Beirut: Dar al-Fikr,
1983), h. 7-8.
16 Roger Scruton, Adictionary of Political Thought, (London: Macmillan Press,
1982), h. 446.
17 Ibid., h. 312.
18 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 15-16.
19 Ibid., h. 150-151. Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Texas:
University of Texas, 1982), h. 53-54.
20 Sayyid Jamaluddin al-Afghani, ―Solidaritas Islam‖, dalam John D. Donohue
dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, alih
bahasa Machnun Husain, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 16-21. Nikki Kiddie,‖Sayyid
Jamaluddin al-Afghani‖, dalam Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan
1997) h. 18.
21 Ibid., h. 60-62.
22 Abul A‘la al-Maududi, The Law and Constitution, (lahore: Islamic Publication
Ltd., 1975), h. 160.
23 Para pendukung ide seperti ini adalah mereka yang biasanya disebut secara
salah kaprah sebagai ―fundamentalis‖, seperti Maududi di Pakistan, Sayyid Quthub di
Mesir, Hasan Turabi di Sudan dan sebagainya.
24 Kelompok pertama biasanya diwakili oleh para modernis atau neo-modernis,
seperti Iqbal, Fazlur Rahman, an-Na‘im dan yang lain. Semantara yang terakhir diwakili
oleh para westernis, misalnya Zia Gokalp, Mustafa Kemal at-Taturk dsb..
25 Joseph Schacht, ―Problems of Modern Islamic Legislation‖, Studia Islamica,
Larose-Paris, 1960, Vol. XII, p. 99-130.
26 Ibid.
27 Baber Johansen, ―The Muslim Fiqh As A Sacred Law: Religion, Law, and Ethics
In A Normative System‖, dalam Baber Johansen, Contingency In A Sacred Law Legal
and Ethical Norms In The Muslim Fiqh, Brill: Leiden-Boston-Koln, 1999, p. 59.
28 Aharon Layish, ―The Transformation of the Shari‘a From Jurists‘ Law to
Statutory Law in the Contemporary Muslim World‖, Die Welt Islam, Vol. 44, No. 1, 2004,
p. 85-113.
29Lihat Murteza Bedir, ―From Fikih to Law: Secularization through Curriculum‖,
Journal of Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 3, 2004, p. 378-401. Di negara lain,
Maroko telah melakukan reformasi hukumnya dengan cara berbeda yang menimbulkan
konfrontasi dan akomodasi antara fiqh dan kode hukum Perancis. Lihat Léon Buskens,
―Islamic Commentaries and French Codes: The Confrontation and Accomodation of Two
Forms of Textualization of Family Law in Morocco‖, in Henk Driessen (ed.), The Politics

147

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

of Ethnographic Reading and Writing: Confrontations of Western and Indigenous
Views, Fort Lauderdale: Plantation, 1993, p. 65-100.
30Azyumardi Azra, ―The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization
of the Shari‘a for Social Changes, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (ed.), Shari’a
and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003, h. 76-95.
31Lihat Mark Cammack, ―Indonesia‘s 1989 Religious Judicature Act: Islamization
of Indonesia or Indonesianization of Islam?‖, p. 144-145
32 Marzuki Wahid and Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum
Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001, p. 87. Also see A. Qodri Azizy, Eklektisisme
Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta:
Gama Media, 2002, 130.
33 Lihat J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World, London: The Athlon
Press, 1976. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries [History, Tex and
Comparative Analysis], New Delhi: Academy of Law and religion, 1987 and Abdullahi
Ahmed an-Na‘im, Islamic Family Law in a changing World, London-New York, 2002.
For the Arab world see Jamal J. Nasir, The Islamic Law of Personal Status, 2nd Edtion,
Graham &Trotman Ltd., London, 1990. Tentang pola-pola pembaharuan, Lihat J.N.D.
Anderson, Islamic Law in the Modern World, New York, New York University Press,
1954.

Bibliografi
Abdillah, Masykuri. ―Islam and the Concept of Nation-State‖. Makalah
Seminar Internasional Islami and Humanism, Institut Agama
Islam Walisongo Semarang, 6-8 Oktober 2000
Agmon, Iris and Idho Sahad. ―Theme Issue: Shifting Perspectives in the
Study of Shari‘a Courts: Methodologies and Paradigms‖. Islamic
Law and Society, 15 (2008)
Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. New York, New York
University Press, 1954.
Anderson, J.N.D. Law Reform in the Muslim World. London: The Athlon
Press, 1976.
Asshiddiqie, Jimly.‖ Hukum Islam di Indonesia: Dilema Hukum Agama di
Negara Pancasila‖. dalam Pesantren, No. 2, Vol. VII, 1990.
Ayoub, Mohammed. The Politics of Islamic Reassertion. London: Croom
Helm, 1981.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina,
1996.
Bedir, Murteza. ―From Fikih to Law: Secularization through Curriculum‖.
Journal of Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 3, 2004.
Buskens, Léon. ―Islamic Commentaries and French Codes: The
Confrontation and Accomodation of Two Forms of Textualization of
Family Law in Morocco‖. dalam Henk Driessen (ed.). The Politics of
Ethnographic Reading and Writing: Confrontations of Western
and Indigenous Views. Fort Lauderdale: Plantation, 1993.

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

148

CIPTO SEMBODO

Cammack, Mark. ―Indonesia‘s 1989 Religious Judicature Act: Islamization
of Indonesia or Indonesianization of Islam?‖. Cornell Southeast Asia
Programm, No. 63, 1997.
Donohue, John D. dan John L. Esposito. Islam dan Pembaharuan
Ensiklopedi Masalah-masalah. alih bahasa Machnun Husain.
Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Enayat, Hamid. Modern Islamic Political Thought. Texas: University of
Texas, 1982
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung:
Mizan, 2001.
Esposito, John L. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press,
1987.
Ismael, Tareq Y., and Jacqueline S. Ismael. Government and Politics in
Islam. New York: St. Martin‘s Press, 1985.
Kiddie, Nikki.‖Sayyid Jamaluddin al-Afghani‖, dalam Para Perintis
Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan 1997.
Layish, Aharon. ―The Transformation of the Shari‘a From Jurists‘ Law to
Statutory Law in the Contemporary Muslim World‖. Die Welt
Islam, Vol. 44, No. 1, 2004.
Maududi, Abul A‘la. The Law and Constitution. Lahore: Islamic
Publication Ltd., 1975.
Mawardi, Abu Hasan. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr,
1983.
Mudzhar, Muhammad Atho. ―Studi Hukum Islam dengan Pendekatan
Sosiologi‖. Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi
Hukum Islam, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 15 September 1999
Mudzhar, Muhammad Atho. ―Social History Approach to Islamic Law‖.
dalam al-jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61, 1998.
Mudzhar, Muhammad Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Muslehuddin, Mohammad. Philoshopy of Islamic Law.
Na‘im, Abdullahi Ahmed. Islamic Family Law in a Changing World.
London-New York, 2002.
Nasir, Jamal J. The Islamic Law of Personal Status. 2nd Edition. Graham
&Trotman Ltd., London, 1990.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

149

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

DARI KHILAFAH KE NATION-STATES:
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

Piscatori, James P., (ed.). Islam in the Political Process. Cambridge:
Cambridge University Press, 1983.
Roger Scruton. A Dictionary of Political Thought. London: Macmillan
Press, 1982.
Schacht, Joseph. ―Problems of Modern Islamic Legislation‖. dalam Studia
Ilamica, Vol. 12, 1960
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.
Syamsuddin, M. Din. ―Antara Yang Kuasa dan Yang Dikuasai Refleksi Atas
Pemikiran dan Praktek Politik Islam‖. dalam Jurnal Media Inovasi,
No. 01, Th. XI, 2001.
Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos,
2001.
Wahid, Marzuki and Rumadi. Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik
Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Jurnal Ulumuddin Volume 6, Nomor 2, Desember 2016

150