Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB VI

Bab Enam

MENJADI DESA WISATA

Pengantar
Bab ini akan menjelaskan Blimbingsari menjadi desa wisata.
Yang dimulai dari bagaimana angkatan muda yang mengenyam
pendidikan di luar Blimbingsari yang akhirnya tidak pulang ke
Blimbingsari, bahkan hanya tersisa generasi tua yang tinggal di
Blimbingsari sehingga dengan peristiwa itu kelihatan Blimbingsari
seperti desa ‘sekarat’ atau “dying village”. Dari keterpurukan desa ini,
namun ada beberapa orang (pemimpin) yang menghendaki agar Desa
Blimbingsari menjadi desa yang “makmur” (living village), dan
akhirnya Desa Blimbingsari menjadi desa wisata dimana Desa
Blimbingsari terpilih mewakili Jembrana di tingkat Propinsi.

Angkatan M uda Semakin Banyak M eninggalkan Desa
Blimbingsari
Dalam proses menjadi Desa W isata peran kepala desa Bapak I
M ade John Rony dan Bapak Pendeta I Ketut Suyaga Ayub sebagai
pemimpin sangat menonjol di sini. M ereka dapat disebut pemimpin

transformatif karena berhasil mendorong masyarakat Blimbingsari
menyesuaikan struktur ekonomi mereka yang tadinya lebih
berorientasi pertanian dan perkebunan menuju ekonomi desa yang
berorientasi pariwisata. Di bawah ini dijelaskan apa saja tantangan
yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukaknya. Pada tahun 1960an orang tua di Blimbingsari (generasi pertama) meng-inginkan, semua
anak-anak Blimbingsari dapat mengikuti Sekolah Dasar (SD)1. Setelah
1 W awancara dengan Bapak Gst Rata sebagai Generasi I yang Pindah Ke Blimbingsari,
Tanggal 14 Oktober 2009.

105

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

tamat SD sebagian besar mereka kemudian melanjutkan ke sekolah
menengah pertama (SM P) dan banyak pula yang sampai ke perguruan
tinggi. Data beberapa nama yang ke perguruan tinggi tercatat sebagai
berikut, alm Ketut Percaya, M ade Sudira, M Th, M ade Samiana SH,
Gede Sudarmista, Dr. M ade M arkus, Kol. AU. Nyoman Elieser, M ade
Ebenheizer M.Si, Dr. Ketut Siaga W aspada, Dr. Nyoman Sudiarsa, Prof.
Kuta Ratna, Dr. M ade M atius dan banyak lagi yang lainnya.

(wawancara dengan Gusti Ketut Rata, 25 Desember 2009). M enurut
keterangan Gusti Rata, hasil-hasil pertanian itulah yang dipakai
membiayai pendidikan anak-anak mereka dari SD sampai perguruan
tinggi, sehingga anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di SD, sekolah
menengah dan perguruan tinggi, para sarjana itu tidak kembali ke
Blimbingsari. Anak-anak muda yang telah mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi ini tidak serta merta lulus langsung pulang ke
kampung halaman karena ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar.
Fenomena tidak pulang kampung ini semakin meningkat pada tahun
1970-an. Orang-orang Blimbingsari yang tidak mau pulang kampung,
bukan lagi hanya para sarjana, melainkan kaum terpelajar pada
umumnya, terutama lulusan sekolah menengah atas (SM A)
(wawancara dengan Kepala Desa, M ade John Rony, 2009). Biarpun
demikian, saat itu belum muncul persoalan yang meresahkan bagi desa
itu sendiri (yang “ditinggal” oleh angkatan muda).
”Pada tahun 1980-an, jumlah anak muda yang meninggalkan
Blimbingsari semakin meningkat, memberikan pendidikan
untuk anak-anaknya bersekolah di kota-kota besar, seperti
Kota Surabaya, Jakarta, Salatiga, Jogyakarta dan Kuta,

Denpasar, Bali. Setelah anak-anak mereka lulus dari jenjang
SD-SMA atau Sarjana, mereka tidak langsung pulang ke
Blimbingsari, namun lebih memilih tinggal menetap di kota,
ketimbang di desanya. Seperti Made Markus, Ketut Suwirya
Nyoman Sukra Eliezer, Nyoman Sudi“ (wawancara dengan
Kepala Desa Blimbingsari, Made John Rony, 2009).

Tahun 1980-an keberhasilan industri pariwisata mendatangkan
banyak orang dan uang, dan di tengah-tengah kemajuan ekonomi
kepariwisataan itu, banyak anak muda terpelajar asal Blimbingsari
106

M enjadi Desa Wisata

tinggal di kota demi mencari pekerjaan di lingkungan pariwisata.
Hanya orang tua yang tinggal menetap di Blimbingsari, dan banyak
rumah yang dibiarkan kosong.
“Pada tahun 1980-an desa Blimbingsari kehilangan
semangat, kehilangan daya dorong, karena para pemuda
terpelajar memilih tidak kembali ke Desa Blimbingsari.

Mereka lebih senang tinggal di kota-kota besar di seluruh
Indonesia, tempat dimana mereka memperoleh pekerjaan
dan pengalaman baru” (wawancara dengan Pdt. I W ayan
Sunarya, 2009).

Daya Tarik Kota (Urbanisasi)
Pada tahun 1988-an, sektor pariwisata mengalami booming,
para wisatawan baik mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara
(wisnus) telah berdatangan ke Bali, sehingga investor datang
menanamkan modalnya di pulau Bali, khususnya di Nusa Dua, Kuta dan
sekitarnya. M asyarakat dari seluruh Bali (Singaraja, Bali Barat dan
timur) datang dan merantau untuk mencari pekerjaan menghidupi
keluarganya dengan bekerja di sektor pariwisata ke Nusa Dua, Kuta dan
sekitarnya. Termasuk warga/masyarakat Blimbingsari yang juga
mencari pekerjaan/nafkah di samping karena ada industri pariwisata
(lahan pekerjaan) di Kuta, disebabkan juga karena tidak ada lapangan
pekerjaan di desanya, Blimbingsari.
“Daya tarik industri pariwisata juga menjadi salah satu
penyebab, banyaknya orang bekerja di kota-kota besar dan
tidak kembali ke Desa Blimbingsari” (W awancara dengan

Ketut Suwirya, 2010)2.

“Desa sepi” itulah sebutan yang cocok untuk Desa Blimbingsari,
setelah ditinggal oleh angkatan muda waktu itu. Pdt. W ayan Sunarya
yang menyatakan bahwa, “Desa Blimbingsari menjadi desa yang sangat
“sepi dan sunyi”. Situasi ini sangat disayangkan terjadi, karena tanah

2 Wawancara dengan Ketut Suwirya, salah satu pengusaha mebel di Kuta dari
Blimbingsari, 25 Desember 2010.

107

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

pertanian yang tadinya subur dengan susah payah digarap dengan
semangat gotong royong dibangun dengan baik oleh perintis pertama,
menjadi desa yang sepi dan sunyi. Seolah-olah tidak ada kehidupan,
karena hanya dihuni oleh orang-orang tua, suara-suara burung dan
gonggogan anjing yang ironis sekali menandai desa tersebut.


M enjadi Desa “M akmur”
Desa Blimbingsari ternyata tidak ditinggalkan sama sekali oleh
penduduknya, lambat laun desa ini mulai bangkit lagi. Seperti yang
diungkapan Pendeta ayub Sayuge berikut ini:
“Pada tahun 1988, Blimbingsari memiliki tanah yang kering
karena irigasi air tepat guna bukit sari tidak berfungsi dan
tandus karena tidak ada yang mengelola tanah dengan baik.
Namun demikian, karena ada beberapa orang yang mau dan
memberi diri untuk membangun kembali komunitas Desa
Blimbingsari dari desa sekarat (dying Village) menjadi desa
‘makmur’ (A Living Village). Bagaimana caranya agar tanah
tersebut tidak kering dan menjadi subur kembali? Ada
potensi debit air dimanfaatkan yang ada di Grojogan Desa
Blimbingsari, dengan pipa yang dulu disumbangkan oleh
David Baso, dari Australia sehingga infrastruktur air untuk
irigasi dibangun kembali dengan pemipaan yang canggih dan
tepat guna”.

Agar desa ini hidup kembali perlu failitas air untuk
menyuburkan tanah perkebunan, sehingga warga bisa menggarap lagi

tanaman kembali. Dan ada pula pembangunan infrastruktur (seperti
jalan, dan alat-alat pertanian) yang mendukung desa ini menjadi desa
makmur, dimanatata ruang desa yang bersih dan rapi, dan komunitas
memiliki usaha yang berkembang.Untuk membangun desa ini menjadi
desa yang “makmur” maka beberapa infrastruktur (selain infrastruktur
yang sudah dibangun saat membuka lahan), diantaranya (1)
pembangunan irigasi air tepat guna (pemipaan air bersih dengan
penyaringan). (2) Dalam rangka menjadikan Blimbingsari menjadi
desa wisata, pada tahun 2005 dibuat beberapa pelatihan untuk warga
desa agar bersiap diri. Salah satu pelatihannya adalah kerja sama
dengan sekolah pariwisata Dhyana Pura (STIM ) di Dalung. Dampaknya
108

M enjadi Desa Wisata

adalah pembangunan wisma tamu atau guest house di rumah-rumah
warga desa untuk menerima tamu mancanegara dan wisatawan
nusantara yang menginap di Blimbingsari. Untuk itu ada pelatihan
tentang; “welcoming the guest untuk bagian front office, bagaimana
membersihkan kamar-kamar warga dan menyiapkan makan pagi serta

menyuguhkan seni tari dan gamelan sebagai objek wisata. (3)
Pembangunan struktur Sekaa (kelompok) gamelan dan menambah alat
seni budaya Desa Blimbingsari seperti alat musik jegog juga dibangun
sebagai daya tarik wisatawan. (4) Pembangunan yang mendukung
ibadah kontekstual di Desa Blimbingsari (dengan memakai kamben
dan udeng), (5) pembentukan awig-awig desa adat 3, untuk mengatur
adat suka dan duka Desa Blimbingsari. (6) pembangunan artefak
sekeliling tembok Gereja Pniel. (7) M embersihkan lahan-lahan ‘tidur’
dijadikan objek wisata seperti Grojogan dan Dam Eka Santoso untuk
kano dan jukung, (8) M engembangkan dan menambah keterampilan
berwirausaha sehingga masyarakat memiliki usaha dan memiliki jiwa
kewirausahaan, untuk menghasilkan revenue sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup keluarga, sehingga kesejahteraan komunitas Desa
Blimbingsari tercapai.

Pembangunan Pemipaan Air Tepat Guna, Blimbingsari
W awancara dibawah ini, menceriterakan bagaimana sekarang
air di Blimbingsari bisa dimanfaatkan untuk pengairan sawah, ladang,
kebun dan peternakan sejak Pdt. Ketut Suyaga Ayub mengajak
komunitas Desa Blimbingsari membangun pemipaan air tepat guna.

“Dulu sistem pengairan di Desa Blimbingsari ini kurang
memadai dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pengairan
untuk sawah dan ladang kami. Pengairan dibuat dengan
membuat seperti selokan yang digunakan untuk jalan air dari
Grojogan menuju ke sawah dan ladang kami” kata Bapak
Gede Marten. “Sekarang bagaimana Pak?” tanya saya.

3 Satu-satunya desa di Bali yang memiliki awig-awig Desa Adat Kristen, yang di
resmikan oleh Bupati Jembrana Prof. DR.drg Gede W inasa pada tanggal 25 Desember
2010.

109

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

“Sekarang dengan adanya sistem pemipaan air tepat guna
memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kami tidak
hanya untuk sawah dan ladang kami tapi juga untuk
peternakan kami, bahkan air tepat guna dibeli oleh desa
tetangga seperti Desa Palasari dan Melaya” 4.


Tidak hanya itu saja, menurut informan yang menjabat sebagai
Perbekel, Kepala Desa Blimbingsari M ade John Rony mengatakan
bahwa di samping irigasi bukit sari tidak berfungsi, juga karena air
Desa Blimbingsari kotor sehingga warga Blimbingsari membangun
sumur bor yang berlokasi di belakang rumah Bapak Kertya dan
membuat pemipaan air tepat guna dengan pemanfaatan sumber air
hutan di Grojogan (lihat gambar 6.1. sumber air Grojogan Desa
Blimbingsari), karena dulunya tidak dimanfaatkansehingga tempat
aliran air irigasi sempat kering. Pada tahun 2000, Bapak Pdt. Ketut
Suyaga Ayub mengajak beberapa teman warga desa (Pak M arten, Pak
Purna, Pak Pageh, Pak M ade Okamona, Pak Korni dan Pak Nyoman
Yusuf) membangun pemipaan air untuk pemerataan air ke kebunkebun bagi semua petani di Desa Blimbingsari, baik yang ada di bukit
atau di lembah.
M emang pada awalnya beberapa orang seperti Bapak Suserah,
Bapak Purnamia kurang percaya dengan ide atau usulan ini, bahkan
tidak percaya bagaimana cara membawa air ke seluruh ladang/kebun
petani di Desa Blimbingsari. Tetapi setelah jadi proyek pemipaan air
tepat guna dan diresmikan oleh Bupati, akhirnya bapak-bapak yang
tadinya tidak setuju malah menjadi anggota irigasi air tepat guna

karena mereka juga membutuhkan air bersih untuk kebun dan
ternaknya.
M emanfaatkan potensi sumber air yang sudah ada di hutan
”Alas Cekik” yang dahulu pernah terbuang-buang dan tidak
dimanfaatkan, sekarang dimanfaatkan kembali oleh warga Desa
Blimbingsari. Nama sebelumnya adalah irigasi bukit sari dan sekarang
menjadi nama pemipaan air tepat guna dengan teknologi yang bagus.

4

W awancara dengan Bapak Gede Marten, 26 Desember 2010.

110

M enjadi Desa Wisata

Terlampir lampiran prasasti/batu peresmian air tepat guna Blimbingsari
yang di resmikan oleh Prof. Dr. Drg. Gede W inasa di Blimbingsari.

Sumber: Data Primer (2009)

Gambar 6.1. Sumber Air Grojogan, Blimbingsari

M asalahnya adalah bagaimana cara mewujudkan potensi debit
air Grojogan tersebut yang mampu dialirkan ke semua ladang/kebun
milik warga Desa Blimbingsari dengan pemipaan? Di bawah inilah
akan dijelaskan upaya mewujudkan air bersih pemipaan tepat guna.

Upaya-Upaya Terwujudnya Pemipaan Air Bersih Tepat
Guna di Blimbingsari
Dalam wawancara dengan Kepala Desa Blimbingsari Bapak
M ade John Rony, mengatakan bahwa setiap warga yang ikut dan
menggunakan air irigasi dikenakan iuran Rp.10.000/bulan per warga
Desa Blimbingsari. M asing-masing kelompok itu membayar iuran ke
tukang nuduk pipis (yang mengambil uang) yaitu Pak M uspa ditambah
setiap 1 kubik (1 m³) air dikenakan Rp.500,-. Upaya untuk
mewujudkan air irigasi tepat guna warga dan tim kelompok irigasi
bekerja dengan cara kerja bakti, disiplin, kerja keras bergotongroyong” 5. Saling bantu-membantu, bahu-membahu, tolong- menolong,
5 W awancara dengan Kepala Desa Made John Rony, di Blimbingsari, tanggal 10
November 2009

111

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

agar dapat mewujudkan pemipaan air bersih yang tepat guna dengan
menggunakan teknologi tepat guna pula. Upaya pemimpin desa dan
pemimpin rohani yang dilakukan bersama warga desa ini bekerja
setiap hari mulai jam 9.00 pagi dengan memasang pipa (75mm), dan
membangun tangki penyimpan berkapasitas 100m³ di dalam hutan, 92
meter di atas permukaan laut. Sumber air berada di ketinggian 95
meter dari permukaan laut. Dari situ penyaluran ke Blimbingsari dapat
dilakukan, dengan ketinggian tanah di atas 82 meter. Ide ini akan
cukup mengairi 400 hektar tanah Blimbingsari.
Terbukti, irigasi air ini berfungsi mengairi seluruh ladang Desa
Blimbingsari dan diresmikan oleh Bupati Jembrana Dr. drg. Gede
W inasa. Pada saat peresmiannya, warga Blimbingsari mengadakan
upacara, dimana ibu-ibu dari semua enjungan, (kelompok) membawa
jun (gentong dari tanah liat). Setiap tahun kelompok yang
berpartisipasi dalam proyek ini menyediakan pipa mereka masingmasing dari penampungan ke tangki penampungan pribadi (setidaknya
dengan ukuran 2 m) pada ladang/tanah mereka.
Pada bulan Juli 2008 ada lebih dari 75 anggota yang ikut
menjadi anggota pemipaan air bersih tepat guna ini dan sejumlah surat
lamaran menjadi anggota irigasi air tepat guna ini banyak yang daftar
dan belum terselesaikan. Proyek ini disebut proyek “Pemipaan Air
Hidup Tepat Guna”, karena kehidupan dapat dimulai dari air tersebut.
Dikutip dari M ade John Rony sebagai perbekel menyarankan agar:
“jemaat atau warga Desa Blimbingsari menggunakan air yang
tersedia, dengan sebaik-baiknya. Artinya jika sumber air
yang terbatas ini dikelola dengan cara yang benar dan baik,
maka sumber air ini akan dapat menjadi sumber ‘kehidupan’
bagi warga Desa Blimbingsari”.

Sumber Air itu harus dipelihara dan digunakan dengan cara
yang “bijak dan baik”. Proyek selanjutnya adalah menguji coba menara
air untuk merekayasa kembali proyek ini dari awal. M emang selalu
dibutuhkan sebuah kesabaran dan pembelajaran pada awal panggunaan
proyek pemipaan air tepat guna ini, sebelum mereka betul-betul
menguasainya, sebab proyek yang gagal akan mengganggu pengairan
ladang/sawah dan pertumbuhan tanaman.
112

M enjadi Desa Wisata

Penjelasan Gambar 6.2. di bawah ini adalah cara mengelola
sumber air dari Grojogan sampai ke ladang/kebun. Gambar 6.2.
menjelaskan bahwa nomer 1, adalah reserpoir atau tower yang luasnya
2 x 6 x 1,5 m yang menjadi sumber air pertama yang akan dialiri
melalui pipa ke sumber air ke 2 sebagai bak penampung (yang
ukurannya 5 x 3 x 3 m). Dari bak penampung ini air dialirkan ke
gambar 3 (bak penampung) dan 4 (bak penyaring). Dari bak penyaring
(gambar 4) ini dialirkan ke bak penampung (gambar 5) dan bak
distribusi (gambar 6). Dari Sumur bor juga dipompa ke bak distribusi
(gambar6) ke seluruh ladang/sawah warga Desa Blimbingsari, sehingga
semua ladang, tanah, ternak komunitas desa memperoleh air bersih.
Hal ini juga yang menunjang desa ini terpilih menjadi desa wisata
karena ketersediaan air bersih ini.

Sumber: Data Primer

Gambar 6.2. Peta Sumber Air dari Grojogan Sampai ke Ladang/Kebun

Sempat Terhenti
Perjalanan usaha warga menggunakan air bersih ini tidak
cukup ‘mulus’ alias sempat terhenti, dan hal ini menimbulkan konflik
antar warga desa. Sempat diusut oleh Pdt. Suyaga Ayub, apa penyebab
terjadinya masalah air bersih ini terhenti. M ungkin ada
keculasan/kecurangan dan ingin mementingkan diri sendiri di antara
pengguna air bersih tepat guna dengan memotong pipa-pipa di tempat
113

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

dataran tinggi dan mengambil air secara langsung demi kepentingan
diri sendiri sehingga petani di bagian lahan lembah tidak mendapat air.
Permasalahan air bersih ini cukup lama dan alot dalam menyelesaikannya, namun begitu, tetap sebagai pemimpin rohani mempunyai inisiatif
untuk bertemu dengan seluruh warga yang pada akhirnya diberikan
penjelasan agar “kita pintar membawa bodoh”, tandas Pak Pdt. Suyaga
Ayub dengan sambil tersenyum menjelaskan hal ini kepada penulis.
Sebenarnya sederhana sekali, menyelesaikan konflik ini, dengan
mengutarakan “mari kita tidak hanya mementingkan diri sendiri,
karena memotong pipa-pipa itu membuat warga lainnya tidak memperoleh air bersih”. Akhirnya sepakat dipilihnya salah seorang untuk
mengawasi pemipaan ini, orang itu adalah Pak M uspa. Sampai saat
penulis meninggalkan daerah tersebut tidak terdengar lagi ada masalah
pendistribusian air bersih.

Dampak Pemipaan Air Bersih Tepat Guna
Perbekel Blimbingsari John Rony kembali mendiskusikannya
dengan pemimpin Bali Barat tentang pengairan/irigasi air dan
pimpinan Bali Barat tertarik, karena mereka memang sangat berharap
dapat menyelesaikan persoalan air di desa mereka. Banyak petani dari
desa lain datang ke Blimbingsari untuk melihat dan mengikuti cara
proyek ini ,tidak hanya Blimbingsari, tetapi Ekasari, Nusasari dan
Pangkung tanah pun ikut membuatnya. M ereka tertarik karena
berdasarkan pertimbangan ekologis, yaitu tidak memerlukan lahan
yang banyak, tidak membutuhkan dam untuk menampung air, dan air
mengalir dari pipa-pipa ke tempat-tempat pemeliharaan hewan (sapi
dan babi), dan banyak kotoran hewan dengan sendirinya akan
menyuburkan tanah tersebut.
Banyak dampak dari irigasi air yang berguna untuk usaha
warga Blimbingsari.
“Sebagai contoh adalah: produksi pertanian dan perkebunan
meningkat, produksi pembuatan gula merah dari sadapan
nira kelapa juga meningkat, warga yang memiliki
114

M enjadi Desa Wisata

ternak/hewan (sapi dan babi) produksinya meningkat, bisa
lebih mudah mendapat air baik untuk mandi maupun untuk
diminum oleh hewan peliharaan, sehingga tidak kehausan,
tanaman coklat juga pertumbuhannya dapat lebih baik”,
ungkap Pak W ayan Murtiyasa, 2009 (salah satu petani
coklat).

Dampak lain adalah ada yang mendaftarkan dan meminjam
dana (kredit usaha) di M aha Bhoga M arga (M BM) Kapal, M engwi,
dimana modal itu digunakan untuk usaha menggemukkan sapi atau
babi untuk dipasarkan, karena melihat begitu meningkatnya produksi
sapi dan babi meningkat sejak adanya irigasi air tepat guna tersebut 6.
Sebelum ada irigasi air, hanya ada beberapa warga yang
memelihara sapi, karena kesulitan air. Data nama orang yang ikut
program penggemukan sapi adalah sebagai berikut: Bapak Gede
Sukabagia, Nyoman Yusuf, Gede Oka M ona, Gede Sudigda, Prenamia,
Ketut Suyaga Ayub, Ketut Aget, Gede Karyan.
Di bawah ini dijelaskan bagaimana irigasi air berdampak pada
peternak sapi dan babi oleh salah satu informan yang bernama Pak
Gede M arten. Harga jual sapi yang dimiliki Pak Gede M arten adalah
untuk yang sapi jantan sejumlah Rp. 3 juta dikalikan empat ekor
menjadi Rp. 12 juta, sedangkan untuk yang sapi betina, sejumlah Rp. 2
juta dikalikan empat ekor menjadi Rp. 8 juta. Sehingga jadi total
pendapatan kotornya adalah sebesar Rp.20 juta, belum termasuk biaya
pemeliharaan karena Pak Gede M arten tetap mengeluarkan biaya
pakan (makan ternak)/hari yaitu satu pikul pakan seharga Rp.10.000
6 Sebagai bukti nyata produksi peternakannya yang meningkat dengan adanya sistem
“irigasi air tepat guna”, salah satu informan bernama Gede Marten mengatakan bahwa
sistem irigasi air tepat guna bermanfaat untuk hewan ternaknya sampai memperoleh
pupuk organik dari kotorannya. Sapi yang di miliki Bapak Gede Marten sejumlah tujuh
ekor sapi, dimana tiga ekor adalah milik sendiri, dan empat ekor di bagi hasil dengan
orang lain. Dibagi hasil artinya empat ekor sapi itu yang dipelihara oleh orang lain
(dikadasin) yang nanti akan dibagi hasilnya setelah laku terjual, pada saat anak sapi
berumur 6 bulan, Sapi yang di kadasin adalah sapi penginduk, dimana ”godel” /anak
sapi tersebut dijual dan uangnya dibagi dua. Anak sapi yang jantan berumur 4-6 bulan
(tergantung model godelnya, anak sapi), harga anak sapi bisa mencapai Rp. 3-4 juta,
kalau anak sapi yang betina seharga Rp. 2-3 juta.. Anak yang didapat dari hasil
dikadasin sejumlah dua (2) ekor, sebab total anaknya sejumlah empat (4) ekor. Jadi
dalam setahun menghasilkan empat ekor. Kira-kira sampai lima belas (15) bulan baru
peternak sapi mendapat hasilnya.

115

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

per satu ekor sapi. Sehingga dari usaha penggemukan sapi ini, warga
mampu memperoleh penghasilan untuk biaya hidup, karena bantuan
sistem irigasi air tepat guna tersebut.
Di samping peternakan sapi, ada juga peternak babi. M asih
dengan informan Pak Gede M arten, ia memiliki empat ekor babi.
Dalam setahun yang satu ekor babi tersebut dapat dua kali di jual. Satu
ekor babi betina bisa beranak antara 8 sampai 10 ekor babi. Faktanya
adalah 8 ekor anak babi yg dihasilkan. Delapan ekor/tahun dikali 4
ekor, dikali 2, dikalikan Rp.250.000 menjadi sejumlah Rp.16 jt/tahun.
Sehingga penghasilan keluarga ini kalau dibagi dua belas bulan menjadi
sejumlah Rp 1.333.000/bulan. (Catatan: satu anak babi, kadang seharga
Rp 250.000). Seperti sapi, mereka juga mengeluarkan biaya pakan
untuk babi, dimana satu ekor babi membutuhkan 3 kg pakan/hari
dikalikan 4 ekor, dikalikan Rp. 3.000 menjadi sejumlah Rp. 36.000/
hari. Dilihat dari penghasilan dan pengeluaran bahwa dampak dari
irigasi air tepat guna tersebut dapat meningkatkan pendapatan warga
melalui peternakan baik sapi maupun babi.
Penggemukan anak sapi dan babi adalah salah satu mata
pencaharian, setelah bertani kelapa dan coklat. Cara-cara seperti inilah
yang dipakai warga Blimbingsari agar keluar dari ’kemiskinan dan
keterpurukan’, dengan berani meminjam dana/modal yang pastinya
akan mendatangkan profit/keuntungan.
Biasanya, untuk menggemukkan seekor sapi diperlukan dua
tahun. Dengan memakai makanan berkonsentrat, untuk mencapai
berat badan yang diperlukan, kelompok ini hanya membutuhkan
waktu 5 bulan. Pada saat itu anak sapi dibeli seharga Rp.1.500.000 (satu
setengah juta rupiah) dan ketika sudah gemuk dijual dengan harga Rp.
4.000.000 (empat juta rupiah). M ereka memperoleh pendapatan
Rp.2.500.000 (dua setengah juta rupiah) belum termasuk biaya
makanan berkonsentrat. Pemerintah Jembrana sangat terkejut dengan
pencapaian hasil yang luar biasa dengan penggemukan sapi mencapai
1 kg (satu kilogram) sehari, karena target dari pemerintah hanya 0,6 kg

116

M enjadi Desa Wisata

per hari, sehingga diadopsilah program ini oleh pemerintah7. Berikut
hasil transkrip wawancara dengan Gede M arten yang dilakukan
penulis di Blimbingsari, tanggal 15 Oktober 2009, sebagai bukti nyata
produksi hasil pertanian yang meningkat dengan adanya sistem “irigasi
air tepat guna” sebagai berikut:
Keluarga Gede M arten menyatakan bahwa:
”pemerataan air irigasi bermanfaat untuk warga Desa
Blimbingsari, khususnya lahan-nya yang menghasilkan 60
pohon kelapa8. Yang kedua adalah pohon coklat. Keluarga
Gede Marten menghasilkan 400-500 batang pohon coklat di
lahannya yang teraliri sistem irigasi air tepat guna tepat guna
ini.9”.

Dalam kesempatan yang sama, penulis melakukan wawancara
dengan Nyoman Yusuf 10, tentang bukti nyata bahwa, dengan adanya
sistem irigasi air tepat guna, hewan ternak (sapi, babi, lele) bisa hidup
dan menghasilkan kotoran ternak yang bisa dijadikan kompos. Berikut
petikan wawancara:
”Petani sane mangkin nyidayang ngubuh sampi, babi, lan
tegalan sawireh ade irigasi air tepat guna, makasami warge
demen sajan”.

M aksudnya adalah Petani-petani sekarang bisa memelihara
sapi, kalau tidak ada pemipaan air tepat guna, bagaimana mencari air

7

W awancara dengan Pak Man Yusuf, di Blimbingsari, 2009.

Dimana dalam sebulan antara 600-800 buah bisa dipetik yang dijual secara eceran
kepada pengepul. Keluarga ini mendapat 800 butir x 1000 rupiah = Rp. 800.000.
Kadang-kadang dalam 1 bulan, mendapat Rp. 600.000 paling rendah.
8

9 Coklat dijemur satu hari, pas bagus keringnya, bisa mencapai 1 kg dengan harga Rp.
20.000/dua minggu, dia paling dapat setengah kuintal, berarti Rp. 20.000x 50, sehingga
penghasilannya setara dengan = Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah)/dua minggu atau
Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah)/bulan. Prosesnya adalah menjual coklat langsung di
pekarangan rumah, dan ada penjual yang datang keliling dan menawar harga coklat.
Penjual mana yang paling tinggi menawar, itu yang dia beri, dan penjual itu juga orang
Blimbingsari. Harga coklatnya tergantung kering tidaknya coklat tersebut. Makin
kering makin mahal harga coklat tersebut. Pernah terjadi harga sampai Rp.25.000/kg
10

W awancara dengan Nyoman Yusuf, di Blimbingsari, 2009,

117

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

untuk ternak sapi, babi dan kebun tidak bisa disirami sehingga
masyarakat senang sekali dan bersemangat 11”.

Blimbingsari M enjadi Desa W isata
Program
pemerintah
dalam
bidang
kepariwisataan
merencanakan tujuh juta wisatawan mengunjungi Indonesia dan
minimal empat juta dari jumlah tersebut mengunjungi Pulau Bali
tahun 2013. Ibu W endy, orang asing dari Australia pernah tinggal di
Blimbingsari berkata: “I don’t want to die before I see Bali ” yang lain
mengatakan “Bali is my second home”. Kunjungan wisatawan tersebut
telah mengakibatkan mengalirnya tenaga kerja ke Bali dari luar Pulau
Bali maupun mancanegara. Dengan kehadiran wisatawan dan tenaga
kerja, jalan-jalan di Bali menjadi padat dan tempat-tempat wisata
sangat ramai sehingga kenyamanan wisata kian hari kian berkurang.
Kemacetan, kelestarian lingkungan tidak bisa lagi dipertahankan.
Ternyata pertumbuhan pariwisata di Indonesia dan khususnya
di Bali telah menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat.
M asyarakat desa yang hidup sebagai petani, memelihara lingkungan,
seni, industri kecil dan sebagainya ternyata tidak merasakan apapun
dari gemerlapnya pariwisata di Bali. Dolar yang mengalir hanya
dinikmati pemilik modal yang membangun hotel, art shop, industri
dan sebagainya, sedangkan petani yang memelihara lingkungan,
kerajinan tetap miskin dan tidak menikmati hasil dari pariwisata. Di
samping itu pembangunan yang dilaksanakan cenderung mematikan
usaha-usaha kecil yang dikelola masyarakat-masyarakat lokal.
Pada bulan Desember 2011 telah dipilih dan ditetapkan tujuh
desa wisata dari 8 kabupaten di Bali. Ketujuh desa itu adalah Desa
Visi Gereja Pniel ”Tanah ini adalah Perjanjian untuk kesejahteraan masyarakat”.
Berkaitan dengan pengurangan gas emisi rumah kaca atau pemanasan global bumi,
dengan adanya kotoran sapi bisa dijadikan kompos yang banyak dipakai oleh
masyarakat Blimbingsari untuk pupuk tanaman dan perkebunan di tegalan. Sekarang
dengan adanya air tepat guna ini kita bisa mandi di kebun, dahulu tidak bisa sama
sekali mandi di kebun, karena tidak ada sistem irigasi air tepat guna, wawancara
dengan Nyoman Yusuf, 2009,

11

118

M enjadi Desa Wisata

Pinge di Kabupaten Tabanan, Desa Blimbingsari di Kabupaten
Jembrana, Desa Bedahulu di Kabupaten Gianyar, Desa Penglipuran di
Kabupaten Bangli, Desa Pancasari di Kabupaten Buleleng, Desa
Budakeling dan Desa Jasri di Kabupaten Karangasem (wawancara
dengan Pdt. Suyaga Ayub, 26 Desember 2012). Pada tanggal 25
Desember 2011 Bupati Jembrana telah meresmikan Desa W isata
Community Based Tourism Assocition (COBTA) Blimbingsari di
Blimbingsari. Ada yang memberikan ucapan selamat dengan beragam
cara, salah satu berbentuk rangkaian bunga yang disusun sangat indah
seperti di lampiran 5 (bunga letter).
Terpilihnya Blimbingsari sebagai pusat pengembangan desa
wisata merupakan terobosan baru bagi transformasi ekonomi
Blimbingsari. M engapa Blimbingsari yang terpilih sebagai desa wisata
dan bukan desa lainnya yang ada di kabupaten Jembrana?
“Hal itu terjadi karena peran pemimpin baik dari pemerintah
desa maupun pemimpin rohani, yang berkolaborasi”, ungkap
Made John Rony, 2011.

Baik pemimpin rohani maupun pemerintahan desa bersamasama berdiskusi, dan merencanakan, melakukan percakapan dengan
Bupati Jembrana mengenai berbagai hal tentang desa wisata.
Segarnya udara bersih, hamparan alam pedesaan yang rimbun
di kiri kanan jalan hotmik yang mulus terasa begitu segar menyelimuti
setiap wajah dan kulit. M enuju Blimbingsari, melewati sebuah gapura
yang di sebut Kuri Agung berarsitektur kombinasi antara arsitektur
tradisional dan modern tetapi anggun. Tampak gapura ini dibangun
dengan serius dan memancarkan aura keramahan. Rahajeng Rawuh
Ring Blimbingsari (Selamat Datang di Blimbingsari) inilah kalimat
ramah yang terukir pada ambang atas Kuri Agung menyambut dengan
hangat siapapun yang berkunjung memasuki Desa Blimbingsari.
Begitu masuk ke Desa Blimbingsari Ibu W endy, wisatawan dari
Australia yang sudah fasih berbahasa Indonesia sekaligus sebagai
informan penulis, memberi komentar “kok di desa ini rasanya tenang,
damai sejahtera, udaranya segar, lingkungannya bersih dan rapi”.
119

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Sekilas suasana desa ini sama dengan desa lain yang dekat dengan
pegunungan, tetapi Blimbingsari memancarkan kesan sebagai sebuah
desa yang maju dengan bahu jalan berumput yang dipotong dengan
rapi, pekarangan yang rimbun dengan berbagai bunga dan bebas dari
sampah dan plastik. Sebagian besar pekarangan tidak dibatasi dengan
tembok tetapi dibatasi dengan bunga-bunga yang mewujudkan rasa
damai dan kepercayaan satu dengan yang lain, bebas dari pencurian
dan penggunaan narkoba.
M emasuki pusat desa di sebuah perempatan yang mempunyai
tugu kecil akan langsung terbaca ciri keistimewaan Desa Blimbingsari.
Inilah Blimbingsari, satu-satunya desa komunitas Kristen di Bali.
Bahkan tahun 2010, Dewan Gereja Dunia berkunjung juga ke Desa
Blimbingsari, pada saat peringatan ulang tahun Blimbingsari yang ke
80 (lihat lampiran 7).
Secara fisik Desa Blimbingsari ditandai dengan hadirnya sosok
komplek bangunan gedung gereja yang berarsitektur Bali yang khas
mirip pura tapi bukan pura. Dewan gereja sedunia telah mencatat
Gereja Pniel Blimbingsari merupakan salah satu gedung gereja yang
mempunyai keistimewaan yang khusus diantara gereja-gereja di dunia.
Blimbingsari sudah siap menerima tamu-tamu wisatawan
nusantara dan mancanegara. W arga Blimbingsari menyiapkan rumah
mereka sebagai guest house. Penyewaan tersebut bukan semata-mata
bertujuan komersial tetapi mereka dapat bercakap-cakap menshare
iman mereka dengan tamu dengan cara itu mereka ikut ambil bagian
memberitakan “kabar baik kepada bangsa-bangsa”.
Untuk berlibur di Blimbingsari, seseorang dapat melakukan
beberapa aktivitas yang di kolaborasi atau bekerja sama dengan
wilayah lain. Taman Nasional Bali Barat berbatasan dengan
Blimbingsari yang menyajikan flora dan fauna yang sangat menarik.
Seseorang dapat melakukan highking untuk program satu jam, tiga jam
atau enam jam dan kita dapat membuat beragam out-bond. Di Taman
Nasional Bali Barat ini terdapat burung Jalak Putih yang sudah langka

120

M enjadi Desa Wisata

dan dilindungi pemerintah yang diperkirakan jumlahnya masih di
bawah 500 ekor.
Bagi yang hobi memancing, mereka dapat melakukannya di
Sungai M elaya Blimbingsari, Dam Palasari maupun di laut. Snorkling
juga dapat dilaksanakan di Pulau M enjangan yang dihuni dengan
taman bawah air dan ikan yang indah berwarna-warni. Snorkling
sangat terkenal dan banyak dilakukan oleh tamu-tamu mancanegara.
Di Blimbingsari seseorang dapat membuat aktifitas agrowisata yaitu
dengan mengunjungi industri pembuatan kopra (lihat lampiran 5),
industri pembuatan gula kelapa dari hasil sadapan nira pohon kelapa
(lihat lampiran 10). M ereka dapat mengunjungi pembuatan gula kelapa
mulai dari mengambil nira kelapa, merebus sampai menjadi gula
kelapa. M engunjungi agrobisnis seperti pertanian, peternakan ayam,
sapi, babi dan lain-lain. Banyak pengunjung mengunjungi SD Kristen
M aranatha dan Panti Asuhan yang terdapat di Blimbingsari.
Selama ini terdapat juga banyak wisata rohani baik dalam
negeri maupun luar negeri dengan program retreat, kunjungan
keluarga dan khususnya mengikuti ibadah kontekstual. Kebaktian
kontekstual dilaksanakan minggu pertama setiap bulan, jemaat akan
hadir berpakaian daerah dan lagu-lagu Bali yang diiringi dengan tabuh
gong. Disini juga terdapat jegog. Instrument ini dimainkan oleh sekitar
20 orang ditambah dengan penari. W isata rohani ada beranekaragam,
ada yang stop over beberapa jam di Blimbingsari bertemu dengan
pelayan jemaat dan melanjutkan perjalanan kembali ke Denpasar. Di
Blimbingsari dapat dilaksanakan juga retreat, study banding, dan
perkemahan.
Komite Pariwisata yang dibentuk gereja dan pemerintah desa
adalah sebuah lembaga yang sederhana yang dibentuk untuk mengatur
perkunjungan-perkunjungan para tamu baik wisata nusantara dan
wisata mancanegara. Komite pariwisata lebih detail akan dibahas pada
halaman 138 berikutnya. Gambar 6.3 sampai gambar 6.6 di bawah ini
menggambarkan denah Desa Blimbingsari, sket trecking dan tourism
master plan, juga hendak menggambarkan transformasi apa yang
sedang terjadi di Blimbingsari. Gambar dan bagan 6.3-6.6 di bawah ini
121

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

juga menggambarkan terobosan baru dan pengembangan Desa
Blimbingsari yang tidak dimiliki oleh desa-desa tetangga. Gambar sket
ini diambil dari buku Blimbingsari,The Promise land, oleh Pdt. Ketut
Suyaga Ayub, 2013.

Gambar 6.3. Denah Desa W isata Blimbingsari, Kecamatan Melaya,
Kabupaten Jembrana, Bali
122

M enjadi Desa Wisata

Gambar 6.4. Denah Sket Jalur Treking, Desa W isata Blimbingsari,
Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali
123

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Gambar 6.5. Denah Sket Jalur Treking, Blimbingsari-Ekasari-Palasari,
Desa W isata Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali
124

M enjadi Desa Wisata

Gambar 6.6. Denah Pariwisata, Desa W isata Blimbingsari, Kecamatan Melaya,
Kabupaten Jembrana, Bali

125

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Transformasi terjadi karena kepemimpinan rohani dan pemerintah yang kreatif. Cerita ini ditunjang oleh fakta lapangan seperti
kasus yang ada di Gereja Pniel, dimana pemimpin rohani membuat visi
dan misi bersama warganya yang menyatakan bahwa “tanah
Blimbingsari adalah tanah pemberian Tuhan” (lihat lampiran 5). Oleh
karenanya pemimpin memberi arahan visi dan misi yang jelas kepada
warga, agar bisa disiplin untuk membangun desanya. Ini salah satu
kreativitas seorang pemimpin dengan menggunakan kata-kata bahwa
“tanah pemberian Tuhan”, sehingga warga memiliki budaya disiplin
untuk bekerja.
Sebagai pemimpin, mereka memberi motivasi kepada
warganya. M ereka tidak mementingkan diri mereka sendiri tetapi yang
utama adalah untuk kepentingan desanya, walaupun mereka harus
menderita. Semangat wirausaha ini yang diberikan kepada warganya,
sehingga desa ini menjadi lebih maju, di samping adanya desa wisata.
Cerita itu di tunjang dengan contoh nyata yaitu pemimpin rohani Pdt.
Ketut Suyaga Ayub, memberikan tanahnya saat itu sebagai tanah yang
disumbangkan kepada Gereja Pniel, Desa Blimbingsari untuk
membangun monumen Jubelium GKPB 11-11-2011 dan monumen
nama-nama perintis yang masuk pertama kali tahun 1939 ke
Blimbingsari. Padahal kalau dilihat dari harga tanah sekarang sangat
mahal dan mana mungkin ‘ada seseorang’ yang mau memberikan
tanahnya dengan cuma-cuma.
“Monumen yang dibangun tersebut (Jubelium GKPB 11-112011 dan monumen nama-nama perintis yang masuk
pertama kali tahun 1939 ke Blimbingsari) akan menjadi
sejarah bagi warga Desa Blimbingsari dan orang luar Desa
Blimbingsari, termasuk juga wisatawan (baik wisnus dan
wisman)”, tandas Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 2013.

Efek dari transformasi ini juga berdampak pada jiwa
entrepreneurship orang-orang Blimbingsari. Hal ini terlihat dari 24
orang warga Blimbingsari memiliki usaha, yang secara kreatif
membangun usaha keluarga karena dorongan semangat kewirausahaan
aktor Blimbingsari seperti jenis-jenis usaha pada tabel 6.1. di bawah ini.
126

Sumber: Data Primer, 2010 (Data Diolah)

Tabel 6.1. Jenis-jenis W irausaha di Blimbingsari

M enjadi Desa Wisata

127

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Terobosan lainnya juga bahwa ada program ekonomi kreatif
(industri kreatif) artinya Blimbingsari mampu melakukan transformasi
dengan “menjual” budaya dan upacara keagamaan Protestan (BaliKristen) dan keindahan Blimbingsari serta tersedianya berbagai objek
wisata bagi tamu atau wisatawan nusantara dan mancanegara.
GKPB yang pada awalnya bernama Persatuan Orang-Orang
Bali Protestan terbentuk pada tahun 1948. Penyatuan ini dicatat oleh
Pemerintah Negara Indonesia Timur pada hari Rabu 11 Agustus 1948,
Register 214 LN, No. 812. Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Di
Bali (GKPB) lahir tahun 1948. Pada bulan April 1949 di Abianbase
mulai digunakan nama Gereja Bali Kristen Protestan. Pada tahun 1951
akhirnya digunakan nama Gereja Kristen Protestan di Bali 13. Dari butir
di atas, jelas bahwa Pemerintah Belanda memberikan tanah untuk para
transmigran (Bali-Kristen) yang penulis maknai sebagai potensi
menjadi desa wisata dimana “desa ini unik, bersih, pohon kelapa yang
rimbun, rapi, landscape, pemandangan yang indah, gereja untuk
ibadah kontekstual di minggu pertama, dan seni budaya serta adanya
gunung Klatakan untuk kepentingan hiking/outbond”.

Upaya-Upaya M ewujudkan Desa W isata
Upaya-upaya warga dalam mewujudkan desa wisata itu,
diantaranya adalah membentuk komite pariwisata Desa Blimbingsari,
pada tahun 2005 yang beranggotakan 3 orang (tugasnya adalah
mengatur setiap kunjungan tamu yang datang ke Blimbingsari dari
kedatangan sampai keberangkatan). M elakukan kerja sama antara
GKPB Pniel Blimbingsari dengan Pusat Pengabdian dan
Pengembangan M asyarakat (P3M ) STIM Dhyana Pura dengan
memberi pelatihan tentang grooming, pelayanan front office,
penggunaan Bahasa Inggris, food and beverage, house keeping dan
pariwisata kerakyatan. Berikut adalah menggerakkan partisipasi warga
12

W awancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, di Blimbingsari, November 2009.

13

W awancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, di Blimbingsari, November 2009.

128

M enjadi Desa Wisata

untuk memperbaiki kamar-kamar rumah warga. M emperbaiki struktur
sekaa gamelan dan pengadaan alat instrumentalia gamelan dan jegog
itu sendiri. M engadakan ibadah kontekstual, serta membangun kolam
renang. Inilah salah satu cara membangun perekonomian Jemaat
sekaligus perekonomian Desa Blimbingsari dengan menjadikan Desa
Blimbingsari menjadi desa wisata.

Komite Pariwisata
Komite pariwisata Blimbingsari dibentuk oleh tiga lembaga
yaitu pertama, pemerintah Desa Blimbingsari, kedua, Gereja Kristen
Protestan di Bali Jemaat Pniel Blimbingsari, dan ketiga, Paguyuban.
Adapun susunan kepengurusan komite pariwisata ini terdiri dari
pelindung adalah Perbekel Desa Blimbingsari bersama Pelayan Jemaat
GKPB Pniel Blimbingsari, dengan tiga anggota terdiri dari I Gede
Sudigda, Putu Cahya Herani A., dan I W ayan M urtiyasa. (lihat gambar
6.7.).

Sumber: Laporan Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari

Gambar 6.7. Struktur Organisasi Komite Pariwisata Blimbingsari

Komite pariwisata dibentuk dengan tujuan mengembangkan
pariwisata Blimbingsari sebagai wisata rohani, budaya, dan agro wisata,
meningkatkan ekonomi masyarakat dan mengembangkan Blimbingsari
sebagai tujuan wisata Bali Barat. Konkritnya adalah Komite Pariwisata
membuat koordinasi dengan kepala desa dan pimpinan rohani, atas
129

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

tamu-tamu yang datang
mengunjungi Desa Blimbingsari ini,
melaporkan jumlah tamu yang datang, melakukan perencanaan dari
awal tamu datang, menyiapkan makanan, minuman, mengatur tempat
menginap (akomodasi), menyediakan atraksi seni dan budaya, sampai
tamu tersebut meninggalkan Desa Blimbingsari.
“Begitu pentingnya peranan komite pariwisata ini, walau
hanya beranggotakan tiga orang saja, karena jikalau tidak ada
tim komite pariwisata ini, maka tidak ada yang
mengurusnya”, ungkap Ibu Putu Cahya Herani, salah satu
anggota komite pariwisata.

Kerja sama Desa dengan Sekolah Pariwisata Dhyana Pura
Tanah yang 400 hektar tersebut dikelola oleh seluruh
komunitas Blimbingsari dalam menerima kunjungan wisatawan (baik
mancanegara dan nusantara). Jauh sebelum kunjungan wisatawan
tersebut, Desa Blimbingsari telah melakukan persiapan-persiapan
menuju desa wisata agar lebih siap menerima kunjungan tersebut.
Persiapan berbenah diri dilakukan melalui pelatihan bekerja sama
dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) dan Sekolah
Tinggi Ilmu M anajemen (STIM ) Dhyana Pura, Dalung, Kuta.
M asayarakat Blimbingsari memiliki potensi. Potensi itu diantaranya
adalah ketrampilan hidup (life Skill), masyarakat yang mau belajar,
kreatif, inovatif, memiliki landscape/pemandangan yang indah dan
menarik. Program pelatihan ini berlangsung selama dua tahun, mulai
tahun 2008 dan tahun 2009, dimana semua biaya ditanggung oleh
Lembaga PPLP, STIM Dhyana Pura, Dalung (masyarakat Blimbingsari
sama sekali tidak mengeluarkan biaya untuk mengikuti pelatihan
tersebut)14. Kurikulum yang diberikan oleh P3M Dhyana Pura
terlampir (lihat lampiran 12).
Program pelatihan yang diberikan oleh Pusat Pendidikan dan
Latihan Pariwisata (PPLP) dan Sekolah Tinggi Ilmu M anajemen
(STIM ) Dhyana Pura secara umum adalah sebagai berikut,
W awancara dengan Bapak Jaya Pramono, S.Pd, M.Par., sebagai ketua pelaksana
Pusat Pengabdian Masyarakat (P3M) STI M Dhyana Pura, Di Dalung, Kuta, 2010.

14

130

M enjadi Desa Wisata

housekeeping: artinya bagaimana meningkatkan kebersihan kamar
utama dan kamar mandi beserta semua perlengkapannya. Bagaimana
komunitas Desa Blimbingsari mempersiapkan atau menyajikan kamar
yang bersih dan rapi, agar para wisatawan yang berkunjung dan
menginap di Desa Blimbingsari tidak “jijik” sehingga tamu wisatawan
(wisnus dan wisman) menjadi puas dan nyaman. Food and Beverage:
artinya bagaimana desa mempersiapkan atau menyajikan makanan
yang hygine dan bersih. Biasanya tamu disiapkan sarapan pagi,
walaupun kadang-kadang tamu meminta disiapkan Lunch and Dinner.
Front Office & Grooming: artinya pelayanan adalah perhatian yang
fokus. Bagaimana warga Blimbingsari menyambut tamu dengan ramah,
memberikan informasi yang benar, kepada tamu yang berkunjung dan
penguasaan berbahasa Inggris yang baik menjadi tujuan utama
sehingga terjadi komunikasi yang baik dengan para wisatawan
khususnya yang dari mancanegara.
Bagaimana kronologis persiapan yang dilakukan oleh warga
Desa Blimbingsari yang meminta sekolah pariwisata Dhyana Pura
berkenan untuk melatih Desa Blimbingsari tersebut agar menjadi desa
wisata? Persiapan yang dilakukan oleh Desa Blimbingsari adalah
menurut Kepala Desa M ade John Rony, 2009 mengadakan pertemuan
dengan para komite pariwisata, banjar dan lembaga gereja serta
membuat rencana pertemuan dengan lembaga Sekolah Pariwisata
Dhyana Pura. Setelah dibuatnya perencanaan, salah satunya
perencanaan tersebut adalah mengundang dosen (pimpinan Dhyana
pura) yang akan membantu memberikan pelatihan “gratis/free” karena
dimasukan dalam program pengabdian masyarakat, tuntutan dari Dikti
untuk melaksanakan tri dharma perguruan tinggi. Setelah itu
ditentukan siapa saja dosen yang akan menjadi pembicara saat
pelatihan Desa W isata Blimbingsari. Pembagian tugas dan tanggung
jawab sesuai keahlian dan kemampuan masing – masing dosen dalam
bidangnya dan memberikan jadwal, waktu pelaksanaan serta teknis
pelaksanaannya. Pelatihan ini bermaksud agar komunitas warga Desa
Blimbingsari bisa menyediakan akomodasi yang layak huni bagi tamu,
dan hal itu terbukti sekarang dengan tata ruang bersih, rapi dan kamar131

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

kamar pun sesuai kelas hotel melati 1 dengan tipe dan ukuran kamar
serta fasilitas yang diperoleh tamu (lihat lampiran 4) .

M enggerakkan Partisipasi W arga M emperbaiki KamarKamar Rumah W arga Blimbingsari
Sebagai Kepala Desa Blimbingsari dan sekaligus sebagai tokoh
masyarakat Desa Blimbingsari, dengan adanya peristiwa ini, membuat
M ade John Rony semakin pasti memantapkan ide dan melibatkan
(menggerakan partisipasi warga) komunitas Desa Blimbingsari untuk
membenahi rumah-rumah mereka agar fasilitasnya baik-bagus, kamar
yang bersih sehingga makin banyak tamu yang datang ke desa
Blimbingsari ini seperti layaknya hotel kelas melati. Anjuran dan
gagasan Kepala Desa M ade John Rony tersebut dikuti dan mereka
berlomba-lomba membenahi rumah/kamar mereka. Contoh kasus
penyedian akomodasi adalah rumah Bapak Pdt. Suyaga Ayub. Kepala
desa M ade John Rony menyatakan bahwa “Pak Pdt. Ketut Suyaga
Ayub menyediakan akomodasi yang memadai dengan kualitas dan
fasilitas seperti hotel”. Akomodasi yang nyaman ini dibangun dengan
dua lantai, dua kamar di bawah dan dua kamar di atas yang cukup
besar. Jadi total kamar berjumlah empat kamar besar. Adapun fasilitasfasilitasnya adalah Air conditioning (AC), Televisi Flat ukuran 21 inc
yang dipasang di setiap kamar, hot and cold water, serta breakfast yang
enak. W isatawan yang menginap membayar ongkos sewa kamar
semalam antara Rp.200.000-250.000 per kamar sudah termasuk makan
pagi. W alaupun sering juga para tamu yang menginap tidak dikenakan
biaya apapun karena tujuan dan kehadiran tamu yang berbeda (untuk
pelayanan/diakonia). Pada November 2009 muncul angka yang sangat
mengejutkan bahwa warga Desa Blimbingsari sebanyak empat puluh
(40) kepala keluarga (KK) sudah memperbaiki rumah-rumah/kamarkamar mereka yang dijadikan sebagai tempat menginap (bermalam)
dan ataupun mengingat himbauan kebersihan dari aktor rohaniawan
tersebut. Nama-nama rumah/kamar yang diperbaiki adalah terlampir
dalam lampiran 1.
132

M enjadi Desa Wisata

Setelah warga Desa Blimbingsari berhasil dengan perbaikan
rumah-rumah tersebut, Kepala Desa M ade John Rony hanya
mengingatkan kepada warga, bahwa:
“sebagai warga yang telah mendapat pelajaran perhotelan
dari sekolah perhotelan Dhyana Pura, tentang bagaimana
menata kebersihan kamar (house keeping), memasak (food
and beverage) dan keramah-tamahan dan lain lain tersebut,
jangan lagi kita sembrono dan tetap menjaga kebersihan dan
melayani tamu dengan baik serta ramah kepada semua orang
yang menginap di rumah kalian masing-masing”.

Sampai saat ini faktanya adalah bahwa tamu wisatawan (wisnus
dan wisman) senang, puas dan ingin berkunjung kembali ke Desa
Blimbingsari karena Desa Blimbingsari tetap bersih dan rapi serta
penduduknya (warganya) ramah.

Konflik W arga Pemilik Guest H ouse
Tidak selalu dan tidak selamanya Desa Blimbingsari memiliki
hal yang indah-indah dan harmoni saja, karena peristiwa konflik pun
terjadi antar warga pemilik wisma tamu (Guest House). Asal mulanya
adalah baik sekali untuk memberi level atau standar masing-masing
pengelola guest house ini. Kategori itu adalah suit room, ada standar
room dan deluxe room, tentu dengan fasilitas dan harga kamar yang
berbeda. Karena ada pemilik yang memiliki guest house yang sering
dikunjungi dan dipakai terus oleh tamu (baik wisnus atau wisman),
sehingga terjadi ‘iri hati’ dari pengusaha guest house lainnya.
Pernyataan ini dapat dijelaskan dengan kasus (pemaknaan dari
penulis) yang terjadi antara Ibu Cahya Herani versus Ibu Kornelius,
karena begitu tamu sepi dan sedikit tamu yang berkunjung tentu
dengan supply kamar guest house yang banyak dengan demand yang
sedikit mempengaruhi persaingan di level usaha guest house. Sering
tamu menginap di rumah bu Cahya Herani, karena memiliki fasilitas
yang lebih seperti ada AC, tempat yang lebih besar dan ada kolam
renang ketimbang di guest house milik Ibu Kornelius yang minim
fasilitas. Tidak ada AC, tidak ada kolam renang dan agak sempit.
133

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

W alaupun begitu tidak menyurutkan hati I bu Kornelius untuk
berjualan kamar (guest house).
Dengan mengetahui konflik seperti ini, seringkali Pak Pendeta
memberikan arahan saat berkotbah agar tidak saling ‘iri hati’ dalam
usaha apapun. Ada banyak kasus lainnya yang menimbulkan konflik,
(baik di bidang usaha, maupun kelembagaan gereja) namun penulis
hanya mengambil beberapa contoh di atas, agar memberikan gambaran
kepada pembaca bahwa desa ini tidak selalu harmoni. Namun
mayoritas permasalahan terselesaikan dengan baik yang akhirnya
memunculkan rasa solider di antara warga desa sendiri dan komunitas
desa ini semakin memiliki hubungan yang erat.

M emperbaiki Struktur Sekaa Gamelan dan M enambah Alat
Seni Budaya Desa Blimbingsari
Komite Pariwisata memainkan peranan memperbaiki struktur
sekaa gamelan Pertama tahun 2004. Satu tahun kemudian tepatnya
tahun 2005, Kepala Desa M ade John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel saat
itu membenahi sekaa jegog Desa Blimbingsari. Kepala Desa M ade John
Rony beserta Pdt Jemaat Pniel, mengadakan audensi ke Bapak Bupati
Jembrana yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. drg. I Gede W inasa, untuk
mendapatkan sebuah alat musik jegog yang merupakan musik ciri khas
Jembrana, dan menggunakan alat musik jegog tersebut sebagai bagian
dari ibadah kontekstual di GKPB Pniel Blimbingsari.
“Akhirnya Desa Blimbingsari diberi subsidi sejumlah
Rp.15.000.000 (lima belas juta rupiah) untuk membeli jegog
bekas pakai (second hand). Setelah diperbaiki ala kadarnya,
gamelan jegog itu dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Dari alat musik jegog ini, munculah tarian joged bumbung
dan tari pergaulan”, kata Pak Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 26
Desember 2010.

134

M enjadi Desa Wisata

Sumbe