Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB V

Bab Lima

MENGUBAH HUTAN MENJADI LAHAN
PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN
PETERNAKAN

Pengantar
Bab lima ini akan membahas bagaimana peran kepemimpinan
dalam proses transformasi lahan Alas Cekik menjadi lahan pertanian
dan perkebunan serta peternakan. Pasca bermigrasi ke alas Cekik,
orang Bali Kristen memulai kehidupan baru. Hutan yang angker
ditaklukkan dan dialihkan menjadi area tuai dan sumber penghidupan
bagi mereka. Dengan kepemimpinan transformatif dari pemimpin desa
(I M ade Sela) dan rohani (Pdt. I M ade Rungu dan I M ade Tjaduk),
bagaimana peran kepemimpinan saat situasi konflik dan pengakuan
pemimpin yang ada di saat itu serta gambaran “alas Cekik” yang
mengerikan tersebut yang diubah menjadi lahan produktif. Tidak
hanya sampai pada lahan pertanian, namun berubah menjadi
perkebunan bahkan sampai peternakan.

Kinerja Kepemimpinan

Telah disebutkan pada Bab empat bahwa kepemimpinan yang
menggerakan proses transformasi sosial ekonomi adalah kepemimpinan
kolektif yang bersinergis mendorong, mengarahkan serta memotivasi
warga masyarakat Desa Blimbingsari ke arah yang lebih baik dengan
kondisi yang lebih baik. Kepemimpinan rohani yang ditunjang oleh
institusi gereja dan kepemimpinan formal aparatur desa yang ditunjang
oleh Perangkat Pemerintahan Desa. Dalam kurun waktu 75 tahun (dari
tahun 1939 s/d 2014) Desa Blimbingsari telah dipimpin oleh dua aras
kepemimpinan, baik kepemimpinan rohani maupun kepemimpinan
79

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

kepala desa. Untuk itu pada bagian ini dipaparkan kinerja yang
dilakukan oleh dua aras kepemimpinan ini yang secara publik
menonjol untuk menelesuri peran mereka yang signifikan.
Adapun kinerja-kinerja unggul yang dikerjakan oleh para
pemimpin Desa Blimbingsari yang menonjol, sebagai berikut.
Pertama,Kepemimpinan Rohani. Seorang yang bernama Bapak I M ade
Tjaduk sebagaipemimpin yang berjasa mengawali pembukaan lahan

baru yang dikenal sebagi Kawasan Alas Cekik, sebagai cikal bakal
wilayah desa Blimbingsari. Ia yang memimpin 30 orang laki-laki
dewasa pada tahun 1939 masuk dengan membuka lahan pemukiman.
Kelompok kedua berjumlah 85 orang laki-laki dewasa untuk
bergabung membangun pemukiman baru itu. I M ade Tjaduk sebagai
pemimpin yang membakar semangat kelompok masyarakat Desa
Blimbingsari dan menancapkan nilai spiritual itu. Berikutnya adalah
Bapak I M ade Rungu, sebagai pemimpin yang melanjutkan
pembangunan areal hutan di Desa Blimbingsari menjadi sebuah
pemukiman yang layak bagi kehidupan manusia. Pembangunan
infrastruktur jalan direncanakan berbentuk salib bila dilihat dari
angkasa, jalan cikal bakal inilah yang menjadi ikon Desa Blimbingsari
sesuai dengan nilai spiritual yang dimiliki dan mendorong mereka
untuk membangun dan memperbaiki taraf hidupnya. Irigasi desa juga
mulai dibangun untuk menjamin pasokan air bagi pembangunan
pertanian yang sedang digalakkan.Berikutnya, bapak I Nyoman Nama
Suyasa. Sebagai pemimpin rohani yang setia dan tabah dalam memberi
contoh dan panutan bagi warga Blimbingsari. Ia termasuk tokoh Desa
Blimbingsari yang berjuang dan tidak menyerah dalam menjalani tugas
dan tanggungjawabnya sebagai pimpinan rohani dari tahun 1978

sampai dengan 1983. Setelah itu seorang pendeta yang sudah emiritus,
Bapak I Ketut Suyaga Ayub, sebagai pemimpin rohani yang intelektual
telah membuat perencanaan dan koordinasi semua kegiatan
pembangunan yang dikerjasamakan dengan kepala desa, dengan
semangat dan etos kerja yang ditanamkan ke warga masyarakat, maka
pembangunan desa di Blimbingsari terus bergulir. I Ketut Suyaga Ayub
berjuang dalam 2 periode yang berbeda, yaitu periode tahun 19721974, dimana beliau meletakkan dasar-dasar bagaimana beriman dalam
80

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

kehidupan sehari-hari untuk membangun desa, membangun keluarga
dan ekonominya; kemudian pada periode 2004-2012 yang mendorong
warga masyarakat terlibat dalam transformasi lanjutan, yaitu dari desa
konvensional menjadi desa wisata yang makmur dan modern. Kedua,
Kepemimpinan Kepala Desa. Seorang lagi yang bernama bapak I M ade
Sela. Sebagaikepala desa pertama yang bertugas dari tahun 1940-1955,
sebagai kepala desa ia mendapat banyak tantangan dalam periode
membangun itu, karena Desa Blimbingsari sedang mencari bentuk
ideal dalam pembangunan sosial ekonominya. Namun dengan

ketegaran dan jiwa yang penuh keyakinan pada Kekuasaan Tuhan, ia
terus mendorong masyarakat untuk maju dan jangan mundur dalam
melakukan pembangunan di desa Blimbingsari. Begitu juga dengan
Bapak Yakub Yulianus. Sebagai pemimpin desa yang mengalami
kepemimpinan dua periode sebagai kepala desa, yaitu tahun 1978-1981
menjadi kepala desa dengan prestasi membangun fasilitas atau
infrastruktur irigasi, perbaikan jalan, rumah ibadah, Kantor Kepala
Desa, dan lainnya. Tahun 1981-1998 ia juga mengisi jabatan sebagai
kepala desa yang ditunjuk oleh pemerintah diatasnya (Camat) karena
prestasi dan kinerja yang diperlihatkannya. Bapak yang masih muda
bernama Bapak M ade John Rony, lahir di Blimbingsari 23 M ei 1977,
anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan I Ketut M udayana dan
Titik Herawati, dipilih menjadi kepala desa dan dilantik tanggal 10
Desember 2007. W alaupun berusiamuda John Ronny memimpin dan
menghadapi masalah-masalah dengan tenang. Di dalam masa
pelayanannya dia bekerjasama dengan pemimpin rohani (Gereja). Dia
berhasil menyelesaikan pembangunan kuri agung, balai desa yang
bernama Niti Graha. Balai desa ini adalah balai desa yang termegah
diseluruh Jembrana. Didalam kepemimpinannya dia mempunyai kiatkiat yang kuat, strategi untuk membangun komunitas Desa
Blimbingsari seperti memberi bantuan hotmix di jalan-jalan utama,

menambah jalan-jalan ke kebun, maupun jalan dibelakang rumah
warga. Sering menghadapi masalah batas tanah namun dapat dihadapi
dengan baik. Dibawah kepemimpinan John Ronny, Blimbingsari telah
terpilih sebagai COBTA (Community Based Tourism Assocition) yang
diresmikan oleh bupati tanggal 25 Desember 2011. Blimbingsari
81

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

COBTA (Community Based Tourism Assocition) terpilih menjadi
contoh untuk perkembangan pariwisata Bali Barat.

Peran Pemimpin
Blimbingsari

dalam

Proses

M embuka


H utan

“W it alat-alat tukang ane aluh gati anggon ngewangun hidup
ane baru di Alas Cekik punika sawireh ngelah semangat lan
mental menyame braye, irage masih nganggo etos megae ane
luwung, makane nyidang jani sami makejang ngoyong di
desane ene” tandas Gusti Rata.

Artinya, Dengan peralatan tukang yang sangat sederhana,
bermodal semangat dan bermental solidaritas mereka memulai
kehidupan di kawasan yang masih ‘perawan’ tentu dengan etos kerja
yang baik.
Awalnya mereka tidur dan makan minum di tempat terbuka,
minggu pertama barulah terbangun rumah-rumah sederhana sebagai
tempat mereka berlindung dari panas dan hujan. Namun keadaan ini
tidak membuat mereka mudur dan berbalik, mereka tidak pernah mau
menoleh ke belakang.Sekali melangkah jangan menoleh ke belakang
atau masa lalu. M otto inilah yang menjadi dasar kekuatan kelompok
masyarakat desa Blimbingsari bergulat dengan alam.

“Bet gati alas cekikne. Kenken carane apang nyidang i rage
nongosin alase ene. Jeg sebilang dine jemet, megae den gaene
dugas pidan sing taen nyerah. Ngusahayangalase ene kanti
ngelah umah anggon sirep lan medaar, kinum. Ape gen
tingalinne ane luwung lan becik diusahange, tur iman
kristen punike anggen dasarne metindak kanti jani dados
etos megae antuk pemimpin kristen lan pemeimpin desa”
ungkap Bapak Gusti Rata (Desember 2009). Artinya: Hutan
ini sangat rimbun. Bagaimana caranya kita menempati hutan
ini. Hari demi hari mereka lalui dengan semangat dan usaha
keras, tidak pernah menyerah.M embuka lahan hutan dan
diubah menjadi lahan pemukiman. Apa saja yang dilihat
bermanfaat dan menguntungkan diraih dan dikerjakan juga
iman kristen sebagai landasan bertindak dan berprilaku
bahkan sampai sekarang sebagai etos kerja oleh pemimpin
rohani dan pemerintah desa.
82

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan


Inilah pula yang menjadi awal dari pembentukan etos kerja
yang pantang menyerah, terus membangun dengan tidak mengenal
lelah. Satu keinginan mereka yaitu untuk bangkit dan meraih mimpi
mereka sebagai kelompok masyarakat yang mandiri dan dihargai serta
memiliki pula kehormatan diri. Bangun dan membangun, hanya satu
dalam benak mereka untuk menaklukan kawasan Blimbingsari ini.
Tepat bulan Januari 1940, kelompok kedua yang berjumlah 85 orang
bergabung dengan kelompok pertama. Tabel 5.1. adalah nama-nama
angkatan kedua yang berangkat ke Blimbingsari pada bulan Januari
1940 dibawah ini.
Tabel 5.1.Angkatan Kedua yang Berangkat pada Bulan Januari 1940
No.
1

Nama
W ayan Ngerti

Alias/Nama Asli
Pan Sadrah


2

I W ayan W era

Pan Turunel

3

Made Waneng

4
5
6
7
8

I Gede Cetog
Gede Sambeh
I Gede Saderu
I Made Redeg

Ketut Raun

9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Ketut Sela
Made Rentan

W ayan Celos
Gede Mundri
Gede Kacir
Nyoman Nenteng
Made Tebing
Pan Luh Muleg
W ayan Reon
Made Berata
Made Naja
W ayan W ara
Nyoman Gender
Nyoman Dampiyuk
Gede Ade

Pan De Sumatra
Kak De Budi
Pan Sudri
Pan De Gubreg
Pan Sari
Pan Cebur
Pan De Alpius
Pan De Arip
Pan Luh Tampi
Pan Ketut Soka
Pan De Marten
Pan Luh Kasna
Pan De Rata
Pan Made Mara

Daerah Asal
Desa Anggungan Carangsari
distrik Abiansemal
Desa Anggungan Carangsari
distrik Abiansemal
Desa Anggungan Carangsari
distrik Abiansemal
Desa Dalung distrik Kuta
Desa Dalung distrik Kuta
Desa Dalung distrik Kuta
Desa Dalung distrik Kuta
Desa Dalung distrik Kuta/
Plambingan
Desa Dalung distrik Kuta
Desa Dalung distrik Kuta
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi

83

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
No.
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Nama
Nyoman Embung
W ayan Kubek
Ketut Gubed
Gede Sengkig
Gede Dikit
Made Gewar
Made Manis
Gede Klepug
Made Sambeh

33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55

W ayan Guleh
Made Sadra
Nyoman Kutug
Nyoman Geleng
I Made Lisig
I Made Madi
Nyoman Anteg
W ayan Rumrum
Gede Gebeh
Gede Gereh
Nyoman Kreweg
Gede Sugi
Ketut Lara
W ayan Rayen
Made Situh
I W ayan Legit
I W ayan Gledeg
Nyoman Soken
I W ayan Gedol
W ayan Radeg
Made Tjandra
Gede Naya
I W ayan Wiri

Alias/Nama Asli
Pan Gede Togor
Pan De Pica
Pan Nyeneng
Pan Luh Ribkah
Pan Gede Susadra
Kak Gereja
Pan Nyenyep
Pan Luh Subakti
Pan
Gede
Sutakarma
Pan Yadnya
Pan Rimbiik
Pan W ayan Riden
Kak Puja
Pan W ayan W areg
Pan Ngh Denia
Pan Darpi
Pan Mungkering
Pan Ketut Candri
Pan Made Mundri
Pan Kt Sandi
Pan Luh Siram
Pan Luh Rahayu
Pan Luh Renyan
Pan Luh Nyeri
Pan Luh Purni
Pan Sudanti
Pan Rai Kundi
Pan Tut Nambrig
Pan Gidion
Pan De Suwindia
Pan De Sudira
Pan Lusin

56

I W ayan Diblug

Pan Jebro

57

I W ayan Rengkug

Pan Luh Rapug

58

Pan Sepur

84

Daerah Asal
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Abianbase distrik Mengwi
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan
No.
59

Nama
I W ayan Gangsar

Alias/Nama Asli
Pan Abil

60

I Ketut Tumbul

Pan Jawi

61

I Made Kiyeng

Pan Jati

62
63
64
65
66

I Ketut Parti
Pan Kebias
Nang Nyangkrig
Ketut Rameh
I Ketut Keceg

Kak Jenggot

67
68
69

Pan W aran
I W ayan Rembiok
Putu Griya

70

Putu Kramas

71

Ketut Siarna

72

Ketut Risna

73

I Nengah Siarma

Pan
W ayan
Sempurna
Pan Munri

74

Ngurah Durya

Pan Putu Jenar

75
76

Made Resta
I W ayan Sandi

Ti Buntut

77

Nyoman Raka

78
I Gede Kandi
79
I Made Dogol
80
Made Jare
81
Nyoman Maja
82
Made Rungu
83
Made Grondong
84
I Nyoman Snitug
85
Made Kenyur
Sumber: data Sekunder (Pdt
2012)

Pan Adri
Pan Luh Darma

Pan Regog
Pan Suri
Pan Smion
Pan W artani
Pan Sulaksana
Dadong Mika
Pekak Perot
Pan Tjatri
Ketut Suyaga Ayub,

Daerah Asal
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta
Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)
distrik Kuta
Desa Sading distrik Mengwi
Desa Sading distrik Mengwi
Desa Sading distrik Mengwi
Desa Sading distrik Mengwi
Desa
Peguyangan
distrik
Kesiman
Desa Congkok distrik Mengwi
Desa Congkok distrik Mengwi
Desa Bongan – Tabanan distrik
Tabanan
Desa Bongan – Tabanan distrik
Tabanan
Desa Bongan – Tabanan distrik
Tabanan
Desa Bongan – Tabanan distrik
Tabanan
Desa Bongan – Tabanan distrik
Tabanan
Desa Bongan – Tabanan distrik
Tabanan
Desa Ulun Uma distrik Mengwi
Desa Bubunan – Buleleng distrik
Bubunan
Desa Penataran – Sepang distrik
Bubunan

Desa Carangsari
Desa Plambingan
Desa Buduk
Desa Carangsari
Blimbingsari, The Promise Land,

85

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Dari sinilah mulai muncul secara alami kepemimpinan untuk
mengarahkan dan memotivasi mereka untuk lebih mempunyai
etoskerja yang kuat dalam membangun desa Blimbingsari.
Kepemimpinan memainkan peran penting memotivasi,
menggerakkan,danmengarahkan masyarakat Desa Blimbingsari. Dalam
hal ini kepemipinan rohani Bapak I M ade Caduk, dan pemimpin desa I
M ade Selayang tidak mudah memimpin 30 orang dewasa dengan
latarbelakang yang berbeda. Di Pulau Bali berlaku adat yang secara
turun-temurun menjunjung tinggikemandirian atau otonomi, bahkan
mereka sulit dengan mudah menerima kelompok lain.Semua proses
interaksi antar kelompok harus dilakukan secara adat terlebih dahulu.

Sumber: data primer (diolah, 2009)

Gambar 5.1. Gambar Pembagian Tanah Blimbingsari

Setelah berhasil menerabas hutan, langkah selanjutnya adalah
membagi tanah di antara para pemukim baru. Proses pembagian tanah
Blimbingsari, dilakukan oleh para perintis pertama yang masuk ke
Barak Blimbingsari, yang lokasi barak tersebut berdekatan dengan Dam
Eka Santosa. Pembagian tanah dilakukan dengan cara melotre, masingmasing keluarga mendapat dua hektar tanah kebun dan 20 are
pekarangan, sedangkan untuk kelian dan pemimpin rohani diberikan
tempat yang sentral (lihat gambar 5.1. diatas, yang bernomor dekat
86

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

dengan B (Kantor Desa), C (Gereja Pniel), dan D (SDK M aranatha),
adalah tempat sentral menurut informan kunci yang penulis
wawancarai). Dari gambar 5.1. yang diarsir (berwarna abu-abu)
tersebut adalah tanah pemukiman/pekarangan yang telah di tempati
oleh warga Desa Blimbingsari. Sedangkan yang warna hijau adalah
tanah kebun atau tegalan yang telah di bagi-bagi menurut jumlah
perintis yang ada.
Asal usul namaDesa Blimbingsari mempunyai sejarah yang
panjang. Di bawah ini adalah hasil kutipan daribuku Sunarya1, sebagai
berikut:
“Nama Blimbingsari mempunyai sejarah yang sangat
sederhana, namun di balik kesederhanaannya itu, tersimpan makna
yang menyejarah dengan hutan yang mereka buka untuk menjadi
sebuah desa yang sangat indah. Konon nama Blimbingsari diambil dari
nama salah satu pohon kayu yang ada di hutan itu. Pohon itu disebut
kayu “Blimbing”, yang kini dilestarikan di sebelah selatan jalan Sekolah
Dasar Kristen Harapan M aranatha (lihat Gambar 5.2. di bawah).

Gambar 5.2. Pohon Kayu Blimbing

Pohon itu tumbuh rimbun dan subur serta sangat indah
dipandang, terutama daun yang muda mulai tumbuh dengan wama
daunnya yang merah darah. Jadi pohon kayu blimbing ini tidak seperti
1 Pdt. I W ayan Sunarya, ”Selayang Pandang Sejarah Blimbingsari, Lentera di tengah
Hutan Madurgama”, Yayasan Samaritan, 2009.

87

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

pohon buah blimbing yang dikenal secara umum, yang berbuah lebat,
enak dimakan serta dapat menyegarkan tubuh, “karena mengandung
vitamin Cyang tinggi” ungkap Pdt W ayan Sunarya, 2009.
Pohon blimbing di desa Blimbingsari adalah pohon kayu,
sejenis kayu bakar yang sangat mudah dikemas. Orang-orang Bali
Hindu dari Nusa Penida, yang menjadi penghuni tanah hutan
kontrakan, mengambil dan mengemas kayu-kayu blimbing itu sebagai
kayu bakar untuk dipasarkan di M elaya. Sementara orang-orang Nusa
Penida sibuk mengambil dan memasarkan kayu blimbing, para perintis
berkonsentrasi mengolah tanah perkebunan dua hektar (2 ha) dan
tanah pekarangan 20 are yang menjadi tiang tumpuan hidup masa
depan mereka. Setelah beberapa tahun bekerja keras, impian itu
menjadi kenyataan. Hal ini terbukti pada tahun 1940-an, sudah ada di
antara para perintis yang pulang ke Denpasar membawa hasil bumi
mereka dan juga ada yang menjual pisang ke Peken Badung. Pada
malam hari mereka menginap di Bale Banjar Gerenceng, yang hanya
berjarak sekitar setengah kilometer dari Peken Badung.

Proses M embuka Lahan Pertanian
Seperti digambarkan di atas, lahan yang disediakan bagi migran
Bali-Kristen masih berupa huta belukar, dan unutk mengolahnya
membutuhkan tenaga dan semangat yang tinggi. Gambar 5.3 dibawah
ini menampilkan gambaran tanah desa pertanian saat memulai
pertanian mula-mula di Desa Blimbingsari, serta aktivitasnya.
“ Suud nyepeg punyan-punyan ane gede-gede to, ade buin masi
nanem kanti lahan punika dadi anggone tanah wiyadin ladang
garapan”, tandas Pdt. I W ayan Sunarya. Artinya Sesudah
menebangpohon-pohon besar, masih ada proses menanam yang lama
sampai lahan baru itu dapat digarap. M embakar tunggul-tunggul besar
masih harus dilakukan (lihat gambar 5.3.) agar lahan tersebut bisa
ditanami.

88

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

(Sumber; Dokumen GKPB, Dalem Ripeh,Nengah dkk 2012)

Gambar 5.3. Awal pembukaan lahan produktif

Dengan membakar pohon-pohon dan alang-alang, maka
tunggul-tunggul besar tersebut hilang, sehingga petani lebih mudah
mengatur sawah ladangnya dengan leluasa. Setelah mencabut tunggultunggul dan akar-akar besar, petani mendapat sawah ladang yang
bersih, barulah mereka melakukan pembersihan dan mulai membuat
irigasi dari sungai yang melewati desa tersebut. Irigasi air itu dinamakan irigasi Bukit Sari 2. Irigasi bukit sari itu mengairi sawah dan ladangnya dengan cukup baik ke semua lahan Desa Blimbingsari sehingga
semua sawah dan ladang seluas 200 hektar, mendapat air yang cukup.
Namun irigasi bukit sari setelah tahun 1988 menjadi kering dan tidak
dimanfaatkan lagi, karena sudah banyak penduduk yang keluar desa
Blimbingsari (lebih detail tentang air irigasi dijelaskan di bab enam).
Petani bekerja keras dan tekun dengan menanam padi dan
jagung dengan semangat gotong royong di antara mereka, sehingga
petani Blimbingsari mampu menuai hasilnya dan demikian secara
terus-menerus (enam bulan panen) sampai mencukupi kebutuhan di
masing-masing keluarga Blimbingsari. Pagi jam 06.00 mereka sudah
berangkat ke sawah ladangnya untuk mengerjakan lahannya masingmasing dan pulang sore hari sekitar jam 17.00. Yang dikerjakan para
petani adalah menggemburkan tanah pertanian mereka dengan
bantuan sapi yang diikat dengan ‘nenggala’ suatu alat pembajak sawah
2W awancara dengan I bu Wayan Kari, Gusti Rata, Pdt. Wayan Sunarya, dan Pdt. Ketut
Suyaga Ayub, 26 November 2009.

89

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

agar tanah bisa gembur. Penggemburan tanah berlangsung cukup lama,
karena lahan yang sangat luas (minimal 2 kali putaran rata). Petani dan
bajaknya harus mengelilingi tanah persawahan sehingga gemburnya
menjadi rata dan dapat dialiri air irigasi bukit sari agar sedikit berair,
sehingga tanah menjadi lebih gembur jikalau menanam padi atau
jagung. Setelah tanah digemburkan, baru petani menaburkan bibit
padi, lalu didiamkan beberapa bulan sambil terus memantaunya,
sampai keluar bulir-bulir padi. Demikian seterusnya sampai dipanen
oleh petani.
M enurut Bapak Gusti Rata, ada dua jenis produk yang
dihasilkan oleh para petani mula-mula, yaitu jagung dan padi gaga.Padi
gaga merupakan salah satu jenis padi yang ada di Blimbingsari, yang
hasil panennya dijual ke pasar M elaya, Kecamatan M elaya dan ada juga
yang digunakan untuk konsumsi sendiri oleh keluarganya (tidak dijual
saat itu). M enanam padi dan jagung dilakukan di lahan pertanian ini,
setiap enam bulan secara bergantian. Lahan ini mendapat air dari
irigasi bukit sari yang dilewatinya, sehingga lahan menjadi subur dan
melimpah hasilnya.
Lahan tegalan dibuka dan diolah menjadi lahan pertanian oleh
angkatan pertama dan hasilnya berupa palawija sehingga mereka dapat
membantu keluarga-keluarga di tempat asal mereka, seperti Abianbase,
Pelambingan, Sading, Untal-Untal, Dalung dan Carangsari. Disamping
itu juga lahan tegalan menghasilkan buah kelapa yang dijual kepada
pengepul. Hasil penjualan buah kelapa di gunakan untuk konsumsi dan
biaya pendidikan anak-anak mereka belajar di Denpasar dan ke luar
Bali (dari tingkat SM A sampai Sarjana). Sampai sekarangpun komunitas
Desa Blimbingsari mengandalkan hasil pertanian, perkebunan dan
peternakan sebagai sumber pemasukan utama
Pada tahun 1947, mereka merasakan pendidikan sangat
mendesak, lalu membangun SDK M aranatha di Blimbingsari. Ini
merupakan sekolah swasta pertama di Bali. Orang Kristen mempunyai
pemahaman yang sangat baik dan mengirim anak-anak mereka
bersekolah sampai perguruan tinggi. Di bidang pendidikan,
Blimbingsari mendapat rekor paling tinggi di Kecamatan M elaya.
90

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

Beberapa kali menjadi desa teladan di
pembangunan, ekonomi, Keluarga Berencana.

Bali,

dalam

bidang

Sawah dan Ladang: Lahan Produktif
Orang-orang Bali-Kristen membangun Blimbingsari dengan
tekad yang kuat, mengatur jalan-jalan dengan sangat baik dan luasnya
sampai ke kebun-kebun atau tegalan. Pada tahun70-an pertanian di
Blimbingsari mulai dialihkan dari tanaman palawija menjadi tanaman
keras seperti kopi, kelapa, merica3. Dari hasil produksi itu warga
Blimbingsari mampu membiayai pendidikan anak mereka sampai ke
perguruan tinggi.
Blimbingsari mempunyai tanah yang subur, hasil pertanian
yang melimpah, telah memberikan perubahan pendapatan ekonomi
kepada warganya sehingga berkecukupan. Dampak perubahan yang
terjadi telah membawa Desa Blimbingsari terus mempersiapkan diri
masuk keera globalisasi. Peningkatan sumberdaya manusia menjaga
kelestarian alam Blimbingsari menjadi perhatian masyarakat di sana.
Seperti diungkapkan Ibu W endy dari Australia berikut ini:
“Salah satu bukti yang terus dipertahankan oleh masyarakat
Blimbingsari sampai saat ini adalah citra diri lingkungan
keluarga dan desa asri, rindang, nyaman, bersih, aman dan
damai. Citra desa ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi
setiap pengunjung yang memasuki tanah Blimbingsari.
Kunjungan tamu dari berbagai belahan dunia yang datang ke
Blimbingsari, selain belajar tentang nilai-nilai kontekstual
dan berwisata rohani, ternyata mereka juga ingin tahu secara
pasti tentang sisi unik yang khusus dari sebuah desa kecil di
pulau ‘seribu pura’ ini yang mayoritas komunitasnya
merupakan orang Kristen” .

Demikianlah kesan Ibu W endy setelah mengunjungi dan
tinggal di Blimbingsari selama kurang lebih 1,5 bulan. Kegiatannya di
Blimbingsari adalah membantu mengajar bahasa Inggris, membantu

3W awancara dengan Bapak Gst Rata sebagai Generasi I yang pindah ke Blimbingsari,
tanggal 14 Oktober 2009.

91

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

pelayanan pusat bermain anak-anak dan memberi bantuan kepada
panti asuhan seperti mengajar bahasa inggris, memberikan pelajaran
berenang yang baik dan memainkan musik (khususnya seruling)di
komunitas Blimbingsari. Setiap Tahun Ibu W endy dari Australia ini
datang dan tinggal menetap di Blimbingsari. Tidak hanya di desa
Bimbingsari, juga dia mengajar di Ambyarsari untuk anak-anak SD
khususnya belajar bahasa Inggris.

I ntegrasi Sosial di Blimbingsari
Peristiwa awal mula pembukaan lahan hutan ini juga tidak
lepas dari integrasisosial di Desa Blimbingsari. Bisa dibayangkan orangorang yang datang ke Blimbingsari adalah mereka yang datang dari
berbagai daerah di Bali Selatan dengan mengusung berbagai kasta
masing-masing dan konflik pun tidak terhindarkan. M enurut
wawancara penulis dengan Gusti Rata, Pdt. W ayan Sunarya dan Pdt.
Ketut Suyaga Ayub, menyatakan hal yang sama bahwa “disamping
karena merasa memiliki kesamaan dan satu keyakinan, sebagai orang
Kristen baru dan dibuang, mereka memiliki perasaan yang sama
senasib sepenanggungan. Namun disisi lain mereka memiliki
strata/kasta sosial yang berbeda-beda yang dibawa dari kampung
halamanya (triwangsa)”. Oleh karena itu muncul ketegangan sosial
pada masyarakat Kristen Bali. Berbagai contoh ketegangan sosial
tersebut diuraikan di bawah ini:
Pertama, ketegangan sosial yang terjadi karena tidak mudah
menghadapi kasus perbedaan strata sosial saat itu, karena bagaimana
warga yang memiliki kasta tinggi (brahmana) bisa mengakui seorang
pemimpin I M ade Rungu dari kasta rendah ( sudra). Kedua, ketegangan
warga terhadap penggunaan nama triwangsa tersebut di kalangan
mereka sebagai satu penghormatan yang sekarang tidak digunakan lagi
dalam kehidupan sehari-hari. Itu menunjukkan bahwa dalam proses
perubahan ini pasti ada konflik yang terjadi walau konflik itu
terkadang menjadi suatu hal yang membuat warga desa semakin
kompak dan solider. Sesuai petikan wawancara berikut:
92

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

“kaping pertame inggih punika I Made Rungu dadiang
pemimpin desa Blimbingsari sawireh i ragane dadi pendete
lan dihormati yadiastun Pdt Made Rungu mekaste sudra”.
ungkap Bapak Gusti Rata, Pdt. W ayan Sunarya dan Pdt.
Ketut Suyaga Ayub4.

Pemaknaan yang didapatkan dari percakapan dengan informan
bahwa, ketegangan sosial berubah menjadi integrasi sosial dengan
diakuinya Pdt M ade Rungu sebagai pemimpin Desa Blimbingsari saat
memasuki Alas Cekik sampai mengolah lahan karena beliau seorang
pendeta dan dihormati walau memiliki kasta sudra”.
Hal ini masih terjadi hingga sekarang ini bahwa warga yang
memiliki Kasta Brahmana (dewa, agung, gusti) yang notabene memiliki
status sosial yang tinggi“ yang memiliki usaha warung kelontong atau
menjual daging harus melayani warga desa yang berkasta sudra
(wayan, made, nyoman) dengan mengantar ke rumah, mengangkat
galon air dan lain-lain. Seperti kasus seorang pendeta bernama Pdt. I
M ade Rungu yang berkasta sudra, bisa memimpin di gereja yang
membawahi kaum brahmana (dewa, agung, gusti).
“kaping kalih inggih punika sukeh asane apang sing nganggo
adan triwangsa punike. Sekadi adan anake biasane, yadiastun
brahmana, sawireh merase besik ulian dadi nak kristen”,
ungkap Bapak Gusti Rata, Pdt. W ayan Sunarya dan Pdt.
Ketut Suyaga Ayub5.

M aksudnya terjadi perubahan cara pandang, tidak mudah
orang Bali tidak menggunakan nama triwangsa, mereka yang
brahmana tidak lagi mengunakan nama brahmana (dewa, agung, gusti),
karena merasa menyatu menjadi Kristen dan senasib. Contoh nyata
adalah Pdt. Ketut Suyaga Ayub, yang tadinya berkasta “si” tidak lagi
memakai nama “si” tersebut yang nota bene triwangsa, dan hanya
memakai nama “Ketut”, walau tidak semuanya menghilangkan nama
triwangsanya yang melekat di dalam namanya tersebut, seperti Gusti
Rata yang tetap menggunakan nama “Gusti”. Artinya penghormatan
seharusnya datang dari kelas sudra kepada kelas yang memiliki strata
W awancara 26 Desember 2009.
W awancara 26 Desember 2009.

4
5

93

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

sosial tinggi. Namun warga yang memiliki status sosial tinggi
(brahmana) tidak mempermasalahkan hal itu.
Hal ini menunjukkan bahwa integrasi sosial tidak selalu
‘harmonis dan indah-indah’ bahkan pada awal pengolahan lahan pun
tetap masih ada ketegangan sosial bahkan sampai berdirinya gereja,
dan itu dimaknai sebagai ‘penyedap’ walau sempat mereka berkonflik.
Tetapi pemimpin rohani saat itu yang menjadi pendeta pertama
disegani oleh warga, sehingga tidak lagi terjadi konflik. Berikut petikan
wawancara mengenai Pdt. M ade Rungu.
M enurut Pdt. Em Ketut Daniel, menyatakan bahwa “Pdt M ade
Rungu sangat rajin melayani, dan disukai karena kejujurannya.
M emiliki tipe pemimpin yang tegas, jujur, dan pemberani”. Kemudian
Pdt. Em. W ayan Tamayasa, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu,
sebagai pendeta pertama memiliki prinsip, berpegang teguh pada
hukum, dan menonjolkan kebersamaan”. Setelah itu, menurut
kesaksian Pdt. Em. Nengah Simon, menyatakan bahwa “Pdt M ade
Rungu, pemimpin yang luar biasa”. Berbeda dengan Pdt. Em. Gusti
Putu Jenar, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, sebagai pemimpin
sangat memperhatikan warganya serta berani mengambil keputusan.”
Berikut Nengah Budiasa, juga menyatakan keseganannya kepada pdt.
M ade Rungu bahwa “Pdt M ade Rungu, memiliki karaketer yang kuat
dan pemimpin transformatif”. Ibu Pdt. Em. Si luh K. Nyeneng, yang
telah emeritus juga memberi pandangan menyatakan bahwa “Pdt M ade
Rungu, pemimpin yang transformatif, dan jadi panutan”. Salah seorang
bapak yang sudah almarhum, I M ade Sengkug, menyatakan bahwa
“Pdt M ade Rungu, sangat sabar dan tekun“. Berikut bapak yang pernah
menjabat sebagai Bishop GKPB, Pdt. Em. Dr. W ayan M astra,
menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, orangnya tegas, kuat dan
pemberani”. Begitu juga, bapak yang terakhir melayani di Pniel GKPB
Blimbingsari Pdt. Em, Ketut Suyaga Ayub, menyatakan bahwa “Pdt
M ade Rungu, setia dan luar biasa sebagai seorang gembala”.6

6 Paulus Subiyanto. 2007. “Berani dan Setia”. Sosok Pendeta Bali Pertama dalam Sejarah
Gereja Kristen Protestan di Bali. Hal: 87-97.Penerbit, Vista Mitra

94

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

Perluasan Pemukiman: Ambyarsari dan Parigi
Blimbingsari berkembang begitu cepat. Pendatang-pendatang
baru seperti dari M adangan dan keluarga lainnya menyusul.
Blimbingsari dikembangkan ke Ambyarsari pada tahun 1947. Hasil
wawancara penulis dengan Pdt. W ayan Sunarya menunjukkan bahwa
setelah masyarakat Blimbingsari membuka kawasan di Blimbingsari,
selanjutnya warga Blimbingsari membuka pemukiman dengan
memperluas ke daerah Ambyarsari.
Alasan utama melakukan perluasan ke Ambyarsari karena
tanah di Blimbingsari sudah penuh dan masing-masing keluarga
memiliki anak lebih dari 2, sehingga mereka berpikir agar anakanaknya mendapat warisan tanah maka dibukalah pemukiman di
Ambyarsari dengan seijin pemerintah saat itu. Atas informasi dari
informan, tahun 1940-an dilakukan perluasan ini, dengan mendapat
tanah tiap keluarga seluas dua hektar dan 20 are pekarangan7.
Secara Geografis, Ambyarsari adalah sebuah dusun yang
terletak di Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten
Jembrana, Bali Barat. Kecamatan M elaya merupakan salah satu
kecamatan yang terdapat di Kabupaten Jembrana yang merupakan
ujung barat Pulau Bali. Luas wilayah Kecamatan M elaya 19.719 hektar.
W ilayah Kecamatan M elaya menurut jenis penggunaan tanah paling
luas digunakan untuk tegalan, sawah, pantai, hutan negara dan
perkebunan. Secara administratif Kecamatan M elaya terdiri dari
sembilan desa, satu kelurahan, 54 banjar dinas dan enam lingkungan.
Penduduknya berjumlah 51.964 jiwa terdiri dari 13.203 kepala
keluarga (KK)8. Berdasarkan letak geografis dusun Ambyarsari, maka
masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Tanah
tegalan yang dimiliki masing-masing keluarga pun cukup luas. Selain
petani ada juga masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai negeri,
guru, buruh, karyawan dan wiraswasta.
7 Peradaban masyarakat di Ambyarsari sebenarnya diawali oleh munculnya pendatang
dari masyarakat Bali wilayah timur dan selatan yang melakukan transmigrasi ke bali
Barat, khususnya Blimbingsari.
8 Sejarah Gereja GKPB Ambyarsari, Tim Sejarah, 2009, halaman: 1.

95

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Pada awalnya, Ambyarsari adalah sebuah hutan yang tidak
berpenghuni. Pada tahun 1946, beberapa orang tua dari dusun
Blimbingsari yang tidak mendapatkan bagian tanah dan beberapa
orang dari wilayah Bali Timur mengajukan permohonan pembukaan
lahan kepada Pemerintah Bali. Pada tahun 1947 pemerintah
menindaklanjuti permohonan mereka dengan memberikan ijin
pembukaan lahan baru di sebelah Barat enjungan Kelod kauh
Blimbingsari. Pembukaan lahan di mulai oleh 44 kepala keluarga (KK)9
yang pertama kali masuk ke daerah Ambyarsari. Nama-nama perintis
yang ke 2 yang merabas hutan Ambyarsari untuk pertama kalinya
adalah sebagai berikut (lihat tabel 5.2. berikut):
Tabel 5.2. Nama-nama perintis yang merabas hutan Ambyarsari 10.
No

Nama
1
Gusti Made Tangeb,
2
I Made Dugdug,
3
Ketut Trimo,
4
Ketut Lengsag,
5
Made Munggah,
6
Nyoman Mura,
7
W ayan Riden,
8
Nyoman Lanus,
9
Ketut Lemid,
10
Ketut Lasia,
11
Nyoman Tampa,
12
Nyoman Suka,
13
W ayan W arsa,
14
Nyoman Ledang,
15
W ayan Nasa,
16
Made Kincung,
17
W ayan Sandi,
18
Gede Mara,
19
Nyoman Pageh,
20
W ayan Jadi,
21
Ketut Rungken,
22
W ayan Suplig,
Sumber: data Sekunder (diolah 2009)

9

No

Nama

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

W ayan Berata,
Nyoman Berati,
Nyoman Adur,
Nyoman Sedeng,
Nyoman Kuli,
Made Reti,
Ketut Rupug,
W ayan Madra,
Made Rembyok,
W ayan Tata,
Made Tapa,
Ketut Cekug,
Ketut Berani,
Made Mundri,
W ayan Tunas,
Ketut Sibret,
W ayan Degir,
Nyoman Gedib,
Made Rempi,
W ayang Tanggir,
Ngurah Lasir,
Pan Luh Duduk

Sejarah Gereja GKPB Ambyarsari, Tim Sejarah, 2009, halaman: 6
Sejarah Gereja GKPB Ambyarsari, Tim Sejarah, 2009, halaman: 7

10

96

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

Kemudian disusul oleh kelompok kedua sebanyak 10 KK.
M ereka merabas hutan ini secara bersama-sama, dengan memiliki
semangat etos kerja dan modal sosial dibawah pimpinan kelian
kelompok I Ketut Berani. Selama perabasan hutan dilakukan, mereka
menumpang di desa Blimbingsari 11. Beberapa orang yang memiliki
keluarga, menumpang di rumah keluarganya, sedangkan yang tidak
punya keluarga disediakan tanah untuk tempat tinggal sementara di
pinggiran sungai Desa Blimbingsari. Setiap hari mereka berjalan kaki
dari Blimbingsari ke Ambyarsari.
Pak M ade Sukartha mengatakan bahwa:
“ragane tusing ngelah kenyel lan tusing won bayune, sawireh
ragane ngelah semangat megae anggon ngewangun
keluargane soang-soang apange lebih luwung hidupne ane
dasarne uli iman kristen punika”. Artinya: mereka tidak
merasakan lelah atau pun letih, karena mereka memiliki
semangat untuk membangun kehidupan mereka supaya
menjadi lebih baik yang didasarkan pada iman Kristen.

Bekerja keras merabas hutan dan berjalan kaki dari
Blimbingsari ke Ambyarsari adalah sebuah tantangan tersendiri. Selain
itu, tentu saja banyak tantangan lain yang mereka hadapi. Namun
demikian, tantangan itu dapat mereka lalui dengan baik, sehingga
perabasan hutan mendapatkan hasil akhir yang baik. Selanjutnya,
lahan yang sudah dirabas dibagi secara merata kepada semua kepala
keluarga (KK)12. Setelah pembagian tanah selesai dilakukan dan
masing-masing KK mendapatkan bagian tanah yang pasti, lalu mereka
melakukan rapat di rumah I M ade Rungu untuk membicarakan nama
Banjar, pemilihan kelian dinas dan kelian gereja.
Ada beberapa usulan nama yang ada pada waktu itu, antara lain
Pangkungsari dan Ambyarsari. Setelah melakukan pergumulan, nama
Ambyarsari-lah yang dipilih sebagai nama dusun yang baru ini. Alasan
W awancara dengan Pak Made Sukartha, Di Ambyarsari, tanggal 18 Juli 2010. pukul
10.00 wita
12 Pembagian tanah ini memakai sistem undian, sehingga setiap KK tidak bisa memilih
tempat sesuai keinginan masing-masing. Pembagian itu dilakukan per wilayah. 12 KK
mendapat bagian di wilayah kangin, 11 KK di wilayah kelod dan 11 KK di wilayah
kauh (Sejarah Gereja GKPB Ambyarsari, Tim Sejarah, 2009, halaman: 8)

11

97

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

mereka memilih nama Ambyarsari, karena desa-desa sekitar semua
memakai akhiran sari. Sedangkan Ambyar artinya berderet atau
berjajar. Berdasarkan dua penggalan nama ini, maka bisa disimpulkan
arti kata dari Ambyarsari adalah Sari yang berderet atau berjajar
dengan dusun-dusun lainnya (Blimbingsari, Palasari, Ekasari). Setelah
menggumuli nama dusun, maka diadakanlah pemilihan kelian dinas
dan kelian gereja. Kelian dinas yang terpilih adalah Ketut Berani,
sedangkan Kelian gereja adalah W ayan Sungkreg. Pada bulan April
1948 mereka mulai menetap di Ambyarsari. M ereka kemudian
bercocok tanam di tanah yang mereka terima. M ereka menanami
lahannya dengan padi gaga, sehingga tanah yang tadinya hutan
menjadi lahan yang produktif baik pertanian, perkebunan dan
peternakan13.
Setelah masyarakat Blimbingsari membuka kawasan di
Blimbingsari, selanjutnya sampai membuka pemukiman dengan
memperluas ke daerah Ambyarsari, tetap ada warga Blimbingsari yang
merantau atau bertransmigrasi ke Parigi Sulawesi Tengah. Alasan
utama mereka pindahke Parigi Sulawesi Tengah sebagai
transmigran,karena tanah yang ditempati di Blimbingsari dan
Ambyarsari sudah penuh dan masing-masing keluarga sudah memiliki
anak lebih dari empat sampai sembilan, sehingga mereka berpikir agar
anak-anaknya mendapat warisan tanah, maka dilakukanlah
transmigrasi ke Parigi secara spontan/mandiri. Tidak ada biaya dari
pemerintah saat itu. Transmigrasi ini dilakukan pada tanggal 10 April
1960 oleh salah satu informan bernama Gede Susadya (2009-2010) dan
keluarganya14. Ada banyak pengalaman baik dan buruk selama
perjalanan transmigrasi ke Parigi. Salah satu contoh adalah begitu
susahnya jalan dan transportasi yang digunakan sampai mereka tiba di
Parigi, dengan jumlah makanan yang terbatas15. Belum lagi kapal yang
ditumpangi adalah kapal barang dari pelabuhan di Bali sampai ke
Parigi. Tapi akhirnya saudara Susadya tiba dengan selamat di Parigi.
Sejarah Gereja GKPB Ambyarsari, Tim Sejarah, 2009, hal: 9
W awancara dengan Gede Susadya di Blimbingsari 26 Desember 2009, kebetulan
pulang ke Blimbingsari, saat ini beliau menetap di Parigi, Sulawesi Tengah.
15W awancara dengan Gede Susadya, di Blimbingsari, 26 Desember 2009
13

14

98

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

Setelah beberapa saudara yang tiba dan bercocok tanam dengan luas
tanah dua hektar yang diperolehnya, mereka (Bali-Kristen di Parigi)
menjadi petani yang sukses dan berhasil. Oleh sebab keberhasilannya,
banyak warga Blimbingsari ingin mencoba untuk transmigrasi ke
Parigi.
“Keberhasilan komunitas Blimbingsari yang bertransmigrasi
ke Parigi Sulawesi, dalam bercocok tanam, bertani dan
berkebun, karena juga di dasari atas nilai iman Kristen dan
etos kerja yang selalu diajarkan oleh pemimpin saat itu” ,
ungkap pak Gede Susadya

Dari Pertanian ke Perkebunan dan Peternakan
Dalam bab lima ini, juga membahas mengenai aktivitas petani
Blimbingsari, tanaman-tanaman apa yang ditanam sampai terjadi
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan
perkebunan. Petani-petani membawa hasil panennya ke pasar M elaya
dan juga ke daerah asalnya di Bali Selatan,menukarkannya dengan
saudara-saudaranya di sana dengan barang-barang yang mereka tidak
miliki. Sungguh mereka semua adalah pekerja keras dan disiplin
dengan berjalan kaki dan hasil penjualan itu digunakan membiaya
kehidupan keluarga (sandang, pangan dan papan), serta
menyekolahkan anak-anaknya.
Pada tahun 1970-an lahan pertanian diubah menjadi lahan
perkebunan (palawija, tanaman keras seperti kelapa, kopi, dan
cengkeh) oleh mereka sendiri (komunitas desa Blimbingsari).
Penyebab diubahnya lahan pertanian menjadi perkebunan karena:
pertama, karena debit air dari irigasi bukit sari kecil.Kedua, karena
generasi pertama sudah mulai tua, sehingga sulit untuk
mengerjakan/menggarap sawah ladang karena fisiknya sudah tidak
mampu lagi.Ketiga karena banyaknya anak-anak muda yang tidak
pulang ke Blimbingsari, mereka fokus sekolah ke luar Desa

99

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Blimbingsari sehingga tidak ada lagi
mengerjakan sawah pertaniannya16.

orang yang menggarap/

Pada saat anak-anak mereka masih di Blimbingsari (SD-SM A)
masih ada tenaga yang membantu mereka mengelola tanah pertanian.
Disamping karena sudah tua sehingga banyak yang mengalihkan lahan
mereka dari pertanian ke perkebunan agar lebih mudah
mengerjakannya, tapi masih ada yang berusaha dengan lahan
sawahnya seperti Bapak M urji. Bapak M urji sampai saat ini (2013)
masih mengelola lahan pertaniannya dan mempunyai 60 are lahan
sawah. Secara keseluruhan tanah sawah yang digarap saat ini adalah
seluas 4 hektar.
Penyebab Desa Blimbingsari tidak terlihat sebagai desa “sepi”
karena pada tahun 1970-an desa ini adalah penghasil palawija,
penghasil tanaman keras seperti kelapa, kopi, dan cengkeh. Dari
penghasilan tanaman ini, mereka memiliki cukup uang untuk
memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan hasil panen mereka juga
dijual ke pasar M elaya17. Pada awalnya, para petani bisa memenuhi
kebutuhannya, namun jika angkatan muda tidak pulang ke kampung
halaman Blimbingsari, maka tidak ada lagi yang menjalankan lahan
perkebunan tersebut, dan tanah menjadi kering dan tidak subur.
Pertanian yang dikembangkan adalah lahan persawahan yang
ditunjang sistem irigasi yang mampu mengairi kebutuhan air bagi
sektor pertanianDesa Blimbingsari. Hasil lahan persawahan adalah padi
yang dijadikan beras bagi kebutuhan desa dan dikembangkan menjadi
komoditi unggulan ke pasar tingkat kecamatan bahkan lintas
kabupaten. Ketika lahan pertanian sudah memadai mencukupi
kebutuhan penduduk Desa Blimbingsari, bahkan telah dijual secara
lintas wilayah, maka warga masyarakat Desa Blimbingsari mulai
melihat peluang untuk mengembangkan lahan pertanian dengan
perkebunan sesuai dengan kondisi tanah dan iklim setempat. Pak Gusti
Rata mengatakan bahwa “Bapak Kepala desa Yakub Yulianus yang
selalu mendorong dan membawa perubahan komunitas Blimbingsari
W awancara dengan Kepala Desa Blimbingsari, Made John Rony, 26 Desember 2009.
W awancara dengan Pdt. I Wayan Sunarya 26 Desember 2009.

16

17

100

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

dengan menggalang nilai modal sosial dan etos kerja yang desiplin dan
kerja keras, bersama-sama bekerja sama dengan pemimpin rohani saat
itu ialah Pdt. Nyoman Nama Suyasa”.
Lahan perkebunan yang tersedia dan dimiliki oleh warga Desa
Blimbingsari seluas total 400 ha yang dikembangkan untuk
perkebunan kelapa dan coklat/kakao. Hasil coklat tidak diolah, tetapi
dijual hasil non olahannya sesuai harga pasar, karena umumnya pada
musim tuaian, pedagang-pedagang besar atau pedagang keliling siap
untuk membeli hasil kebun coklat masyarakat Desa Blimbingsari
“Adapun hasil dari kebun kelapa, disamping buah kelapa
yang dijual, beberapa penduduk juga menjual kelapa ke
wilayah lain, seperti Situbundo dalam bentuk kelapa tua
yang umumnya dijadikan santan oleh konsumen. Buah
kelapa ini juga dikembangkan oleh warga masyarakat
menjadi bahan olahan yang memiliki nilai tambah (value
added), seperti minyak kelapa asli (organik non olahan),
souvenir-souvenir untuk tamu (sapu lidi, batok kelapa atau
‘kau’, kopra”, tandas Kepala Desa Bapak John Ronny.

Fakta lain bahwa pengusaha Blimbingsari seperti Bapak W ayan
M urji yang mempunyai usaha hasilpertanian dan perkebunan
menggunakan pupuk organik untuk pengelolaan sawahnya, sehingga
tidak ada efek negatifnya.Begitu juga sawah dan perkebunan yang
dimiliki warga Blimbingsari yang lain sudah menggunakan pupuk
organik yang disarankan pemerintah dimana dominasi hasil kebun
warga Blimbingsari adalah coklat, kopi dan kelapa.
“Demikian terus dari tahun ke tahun pengelolaan dan
pemenuhan kebutuhan hidup komunitas ini dengan
memanfaatkan hasil tani dan kebunnya dari tahun 1978-an
sampai sekarang. Dengan hasil kebunnyalah warga Desa
Blimbingsari ini bisa mengatasi kebutuhan hidupnya. Di
samping itu juga peran kepemimpinan memegang peranan
penting dalam mengatur dan mengelola warga desa, sehingga
melalui arahan sang pemimpin baik rohani maupun
pemerintah desa, mereka memiliki semangat dan etos kerja
yang pada akhirnya mereka bisa berubah ke jalan yang lebih
baik”, ungkap Gusti Rata, 26 Desember 2009.

101

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Dari wawancara tersebut, pemimpin mempunyai peran yang
sangat penting dalam proses transformasi di Blimbingsari. Pemimpin
mencari cara agar warganya memiliki pengetahuan yang baik tentang
bertani, berkebun dan beternak. Salah satu cara yang dipakai sang
pemimpin adalah penyuluhan dengan bekerja sama dengan aparat desa.
Dengan memberi penyuluhan tentang ternak sapi, maka produksi sapi
semakin meningkat dan dari segi kualitas semakin baik. Biasanya
pemerintah (kecamatan) menunjuk beberapa staf untuk berkunjung ke
Blimbingsari guna memberikan penyuluhan. W arga Blimbingsari tidak
saja berternak sapi, tetapi juga sekarang berkembang menjadi peternak
ayam, babi dan lele. (sudah dibahas di bab tiga secara detail tentang
jenis-jenis wirausaha Blimbingsari).
Lahan-lahan yang kosong di Blimbingsari digunakan untuk
tambak atau ternak lele, yang dijalankan oleh penduduk/warga
Blimbingsari. Hal ini dipengaruhi dan dimotivasi Kepla Desa M ade
John Rony dan Pdt. Ketut Suyaga Ayub,di samping ada bantuan
pemerintah bibit sapi dan lele. Dengan adanya wirausaha ternak sapi
dan lele ini, maka warga Blimbingsari
dapat meningkatkan
kesejahteraannya dengan cara menjual sapi, ikan lele ke pasar
Blimbingsari dan pasar M elaya atau dikonsumsi sendiri untuk
pemenuhan hidup keluarga.
Lahan-lahan kosong di pekarangan dan lahan kebun
dimanfaatkan warga masyarakat Blimbingsari menjadi lahan
peternakan, dimana ternak yang dikembangkan yaitu ternak sapi,
ternak kambing dan ternak ayam, baik ayam potong maupun ayam
petelur. Khusus untuk ternak ayam, warga Blimbingsari menggunakan
lahan di persawahan untuk mengembangkannya secara optimal,
kerena ternak ayam membutuhkan lingkungan dengan sinar matahari
yang banyak. Demikian seterusnya melalui pembenihan, penanaman,
pemanenan, secara tidak langsung adalah upaya pemeliharaan dan
pembaruan ekosistem, tetapi lebih dari itu, mempertahankan
pembaruan kehidupan, yakni kemandirian masyarakat petani. Setiap
musim tanam, sebagian dari benih yang dipanen musim sebelumnya
ditanam kembali oleh petani. Kesuburan lahan diperkaya dengan
102

M engubah Hutan M enjadi Lahan Pertanian, Perkebunan dan Peternakan

pemberian pupuk kandang, daun-daunan, sisa panen yang semuanya
didapat dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian ada lingkaran
yang lengkap, ada siklus regenerasi yang berkelanjutan. Sumber daya
alam dilestarikan bagi generasi berikutnya sementara kemandirian
masyarakat lokal diseleraskan. Ditunjang oleh sikap mental, iman
spritual sebagai modal sosial akhirnya diperoleh kemajuan yang luar
biasa, dari hutan yang angker dan mengerikan bertransformasi sebagai
desa pertanian dan perkebunan yang terkenal sekarang menjadi desa
‘makmur’ yang memiliki daya ledak pembangunan.

Pengembangan Ekonomi dan Konflik W arga
Perkembangan peternakan yang sangat pesat di Desa
Blimbingsari, juga memiliki dampak lingkungan yang menimbulkan
masalah yang diprotes oleh warga lainnya, karena peternakan
ayammenimbulkan bau yang tidak sedap.
M asalah tersebut akhirnya sampai jugadi tingkat Kabupaten
Jembrana, dimana oleh DPRD Jembrana mengeluarkan Perda dalam
pengaturan bidang peternakan. Hal ini dapat meredam gejolak yang
ada, dimana warga yang berternak dapat melakukan usahanya dengan
tertib dan baik sesuai persyaratan lingkungan, sementara warga yang
bermukim di sekitarnya tidak terganggu dengan semua hal yang
berdampak negatif. Karena saat peternak ayam panen, maka lalat
sangat banyak beterbangan ke pemukiman warga dan sangat
mengganggu. Disini juga ada konflik antara warga dan pengusaha.
Namun konflik warga ini dapat diselesaikan dengan baik oleh
pemimpin desa.

Kesimpulan
Dalam bab ini, penulis menggambarkan mengenai Alas Cekik,
situasi dan kondisi saat para migran masuk ke hutan Alas Cekik
tersebut dan menempati hutan sampai membuka hutan serta kinerja
para pemimpin desa baik pemerintahan maupun rohaniawan.
103

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

M endorong komunitas warga desa untuk mengubah lahan hutan
menjadi lahan produktif.
Proses membuka hutan yang dilakukan oleh migran dilakukan
dengan bekerja keras dan saling bergotong royong satu dengan yang
lainnya. Tentu tanah yang tidak subur awalnya, yang diubah menjadi
tanah produktif dengan Irigasi Batusari. Pembuatan Irigasi Batusari
dilakukan oleh para migran yang masuk pada gelombang pertama dan
kedua.Disini kepemimpinan sangat memegang peranan yang
membawa perubahan bagi komunitas Blimbingsari. Pemimpin Desa
yang menonjol saat itu adalah bapak Yakub Yulianus dan Pemimpin
rohani adalah Pdt. Nyoman Nama Suyasa yang mampu menggerakan
warga masyarakatnya dengan menggalang nilai modal sosial saling
solider dan nilai etos kerja yang disiplin, bekerja keras, sehingga
komunitas Blimbingsari ini menjadi lebih maju dari sisi ekonomi.
Dengan adanya Irigasi Batusari tersebut hutan yang tadinya
tidak subur menjadi lahan produktif sehingga ada sawah dan ladang
yang ditanami kopi, kelapa dan palawija. Sehingga Blimbingsari mulai
menanam padi gaga yang bisa di konsumsi oleh para migran mulamula.
Tidak hanya sampai mengubah lahan hutan menjadi produktif,
(pertani