Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB VII

Bab Tujuh

TRANSFORMASI EKONOMI
KOMUNITAS BLIMBINGSARI

Pengantar
Dalam uraian sebelumnya, telah dibahas beberapa topik
tulisan, mulai dari berbagai kajian teori tentang transformasi (Bab 1),
kemajuan Desa Blimbingsari, pembahasan mengenai mengapa terjadi
transformasi dari desa yang miskin dan tak berpengharapan menjadi
desa yang maju dan makmur telah dibahas dalam bab 3-6. Dalam bab
tujuh ini akan membahas mengenai proses dan dampak transformasi
ekonomi komunitas Desa Blimbingsari. Dari rangkuman temuantemuan empiris di lapangan, maka penulis mendapat persepektif
tentang proses dan dampak transformasi sosial ekonomi yang terjadi di
komunitas Desa Blimbingsari. M isalnya dari segi transformasi sosial,
adanya awig-awig desa adat Kristen (W india, 2008; W iana, 2007;
Suartika, 2005 Setia, 2002; Purwita, 1984; M ajelis Pembina Lembaga
Adat Dati I Bali1989/1990, W idnyana, 1999; Kepala Bidang Bimas
Hindu Kanwil Dep. Agama Prop. Bali 1977/1978) yang tadinya belum
ada menjadi ada. Dari sisi ekonomi, misalnya yang tadinya tidak ada
bisnis atau usaha-usaha kecil menjadi ada entrepreneur (Saputra,

2010). dan banyak lagi yang lain. Lebih detail penulis akan
menjelaskan di bawah ini, sehingga lebih mudah dipahami.

Transformasi Desa Blimbingsari
Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya, Blimbingsari telah
mengalami sebuah perubahan secara sosial dan ekonomi, dari sebuah
desa yang dibangun dengan membabat hutan belukar (Ripe, et.al. 2012)
menjadi desa wisata. Dalam berbagai literatur proses seperti ini dikenal
141

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

sebagai transformasi sosial dan ekonomi (Geoffrey, 2006; Georgios et al.
2004; Bycio et al., 1995; Bass B.M . dan Avolio, B.J., 1993; Rahardjo,
1984). M emang dalam kasus Desa Blimbingsari lebih menonjol
transformasi ekonomi, namun hal ini tidak bisa dilepaskan dari
transformasi sosial. Istilah transformasi ekonomi pernah populer ketika
Chenery (2007) memperkenalkan bukunya tentang transformasi
struktural, yang pada intinya adalah terjadi pergseran aktivitas
ekonomi dan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.

Asumsinya adalah setiap daerah dalam jangka panjang akan
mengandalkan sektor manufaktur karena sektor ini lebih menjanjikan
dari sisi pertumbuhan ekonomi daripada sektor pertanian yang
mempunyai nilai tukar yang lebih rendah. Oleh karena itu wilayah
mana pun menurut teori ini akan secara otomatis menggeser struktur
ekonominya dari basis pertanian ke industri yang lebih
menguntungkan.
Teori Chenery ternyata ada kelemahan karena tidak pernah
ada suatu daerah yang melakukan transformasi dengan meninggalkan
secara total aktivitas ekonomi sebelumnya. Pengalaman selama ini
suatu daerah tetap mempertahankan berbagai aktivitas ekonomi yang
ada, namun hanya menggeser tekanan pada aktivitas tertentu tanpa
menghilangkan aktivitas ekonomi sebelumnya. Berdasarkan realitas
tersebut para ekonom kemudian memunculkan konsep baru yaitu
“penyesuaian struktural” (structural adjustment) (David Reed, 2013.
David E. Sahn, Paul A. Dorosh, Stephen D. Younger. 1999). Dari
perspektif ekonomi kasus perubahan di Blimbingsari lebih tepat
disebut sebagai penyesuaian struktural, karena ketika desa ini bergeser
ke sektor pariwisata, pertanian dan peternakan menjadi penopang.


Dari Transformasi Sosial ke Transformasi Ekonomi

Transformasi ekonomi yang terjadi di Blimbingsari berawal
dari transformasi sosial yaitu konversi masyarakat beragama Hindu ke
agama Kristen. M asyarakat Bali Kristen dimusuhi karena penganut
agama Hindu mengganggap bahwa konversi agama orang Bali ke
142

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

agama lain adalah tindakan pengkhianatan terhadap kehidupan sosial
dan budaya di Bali (M ichel, 2006; W ijaya, 2003; Oka, 1999). Kasus
yang terjadi di Blimbingsari adalah bentuk konflik agama yang umum
terjadi dari masa lalu sampai sekarang. ketegangan antara Kristen
Katolik dan Kristen Protestan di Irlandia hingga sekarang (W oolcock
dan Narayan, 2000; Suseno, 2001; Budiman Arief dalam Aziz, M aula &
Dharwis (Ed), 1993), konflik di Serbia sebagai akibat hancurnya negara
Yugoslavia (Leonardo, Ana, Chang. 2000; Jazim, Abadi, 2001), dan di
tanah air konlik Ambon yang sempat meresahkan bangsa ini (Pariela,
2008; Soumokil, 2011).

Namun dalam setiap peristiwa yang meresahkan selalu ada sisi
positif yang bisa mengubah arah perjalanan hidup suatu masyarakat.
Berawal dari ditutupnya tanah pekuburan bagi orang Bali-Kristen,
munculah ide untuk berpindah ke tempat lain. M asa masa ini dapat
disebut sebagai persimpangan kritis (critical juncture) (Acemoglu &
Robinson, 2012:110) yang menjadi pemicu kuat masyarakat BaliKristen menerima tawaran Pemerintah Kolonial untuk pindah ke
Blimbingsari. M engubur orang mati adalah prosesi yang harus
dilakukan oleh orang Kristen, sehingga ketika larangan itu datang
maka orang Bali Kristen pada waktu itu memilih menerabas hutan
supaya ada jaminan penguburan untuk keluarga mereka. Peristiwa
konflik tanah kubur kelihatan sederhana tapi ini sangat penting bagi
masyarakat Bali-Kristen karena ini bagian dari tradisi Tri Hita Karana,
yang merupakan identitas kebalian mereka walaupun sudah
meninggalkan agama Hindu dan memeluk agama baru (Gunawan,
2012).
Keputusan yang didasarkan pada alasan sepele, justru
mengubah nasib masyarakat ini secara menyeluruh setelah hampir
menjelang satu abad. Seandainya tidak ada konflik tentang tanah
pekuburan bisa terjadi masyarakat Bali-Kristen yang sekarang hidup
dalam komunitas yang sumpek dan mungkin terus terbelit kemiskinan.

(M afruhah, 2009; Susanto, 2006; M urdiyarso, 2003; Oerlemans, Natasja
and Gerald Assouline. 2003; Kartono, Kartini. 2000; Aiking, Harry,
Sander e Bruyn, M ichael van Drunen www.iied.org/eep). Situasi ini
143

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

oleh Geertz, (1980), digambarkan sebagai kemiskinan bersama (shared
poverty). Keputusan generasi pertama untuk pindah membawa masa
depan yang lebih baik pada generasi berikutnya. Paling tidak generasi
ketiga yang sekarang menikmati jerih payah kakek mereka yang datang
menjelang tahun 1940-an.
Pengorbanan oleh generasi pertama berjerih payah untuk
generasi berikutnya dapat dilihat sebagai insting reproduksi setiap
makluk hidup yang bekerja keras untuk kelangsungan generasi
berikutnya ( Skolfield, 2009; Khasanah, 2004; Sinamo, 2003; Tasmara,
2002; Soesastro, 1991). Sebagai komunitas baru masyarakat Bali-Kristen
tidak terlepas dari insting sosial tersebut, mereka ingin
memperkenalkan identitas baru Bali-Kristen di Pulau Bali. Untuk itu
mereka harus berkorban demi identitas tersebut. Identitas adalah

penanda tentang existensi kelompok masyarakat tertentu, dan biasanya
sangat berkaitan erat dengan budaya baik asli maupun adopsi
(Afthonul, 2012; Atmadja, 2010; W idya. 2009; Castells, 2002).

Proses Transformasi Desa Blimbingsari
Proses transformasi komunitas Desa Blimbingsari dari desa
‘miskin’ yang tidak berpengharapan ke desa ‘maju’ dan makmur, yang
terjadi selama bertahun-tahun, berlangsung secara konsisten, walaupun
kelihatan berjalan perlahan, namun pada akhirnya berhasil
mengangkat harkat penduduk Blimbingsari. Pada proses transformasi
itu telah terjadi kearifan berbudidaya yang dikerjakan oleh para petani
di Desa Blimbingsari. Secara sistemik, proyek swadaya kelompok
masyarakat Desa Blimbingsari yang terjadi sebagai akibat penindasan
yang dirasakan kelompok masyarakat dari kaum Kristiani ini, yang
menjadi cikal bakal masyarakat Blimbingsari, secara tidak langsung
juga telah melakukan pergeseran dan melakukan secara intensif
Revolusi Hijau (M artiningsih, 2011; Siregar, 2000). Program swadaya
dengan intensifikasi dan didorong oleh semangat yang kuat untuk
mengolah sumber daya hutan, bagi kebutuhan masyarakat Desa
Blimbingsari.

144

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Komunitas Desa Blimbingsari secara tidak sadar telah
memulai sebuah proses revolusi hijau, dimana para pionir desa yang
mulai membangun desa pada awalnya yaitu tahun 1939, yang mulai
merintis dari pembukaan lahan dan membangun pemukiman secara
sederhana. Pada tahap berikutnya dengan etos kerja yang tinggi
kelompok masyarakat Desa Blimbingsari ini maju ke tahap
memproduksi komoditas, proses menghasilkan barang. Seiring dengan
berjalannya waktu warga masyarakat telah menjalankan proses
Revolusi Hijau yang secara sistematis mengelola sumber daya hutan
menjadi andalan mereka ke arah pemanfaatan hutan. Dan mulailah
mereka mengelola lahan pertanian, perkebunan dan pengembangan
sektor peternakkan. Bertani, berbudidaya, berternak sebagai ritual
kehidupan untuk berkreasi dan berkarya sebagai nilai etos kerja yang
pada akhirnya menjadi modal sosial bagi pengembangan
kewirausahaan di Desa Blimbingsari (Sudaryono, 2002; Cox, et.al. 1999;
Solow, 1999; Dasgupta & Serageldin, 1999; Fukuyama, 1995).

Apa yang dilakukan kelompok masyarakat Desa Blimbingsari
yang membangun desa yang dimulai tahun 1939 sebenarnya
merupakan penerapan dari kearifan lokal (W ibowo, 2013;
M artiningsih, 2011) yang diperolehnya secara turun-temurun yang
diwariskan dari nenek moyang bangsa Indonesia, khususnya etnik Bali
yang telah melakukan pemanfaatan sumber daya hutan sebagai modal
hidup untuk berkembang dengan menggunakan pendekatan ekologis
(Soemarwoto, 2000). W alaupun pada jaman itu masih dikuasai oleh
kolonialisme, dimana kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai
petani sangat dibatasi, namun dengan semangat iman yang dimilikinya
kelompok masyarakat Desa Blimbingsari pada waktu itu mampu
melakukan transformasi ke arah yang lebih baik. Vandana Shiva
(2001:130), ahli fisika, filsuf dan feminis, menunjukkan bahwa pada
tingkat bumi, keanekaragaman menyiratkan koeksistensi dan saling
ketergantungan antara pohon, tanaman pertanian, manusia dan ternak,
yang memelihara siklus kesuburan melalui aliran biomassa.

bergerak

Jadi pengembangan dan kemajuan Desa Blimbingsari ini

ke arah keseimbangan ekosistem, mulai dari siklus
145

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

penebangan, penanaman kembali, sampai masuk ke siklus perkebunan
melalui pembenihan, penanaman, pemanenan (Zoer’aini, 1992), secara
tidak langsung adalah upaya pemeliharaan dan pembaruan ekosistem,
tetapi lebih dari itu, mempertahankan pembaruan kehidupan, yakni
kemandirian masyarakat petani. Setiap musim tanam, sebagian dari
benih yang dipanen musim sebelumnya ditanam kembali oleh petani.
Dan kesuburan lahannya diperkaya dengan pemasukan pupuk
kandang, daun-daunan, sisa panen – segalanya didapatkan dari
lingkungan sekitarnya. Dengan demikian ada lingkaran yang lengkap,
ada siklus regenerasi yang berkelanjutan. Sumber daya alam
dilestarikan bagi generasi berikutnya sementara kemandirian
masyarakat lokal diseleraskan. Ditunjang oleh sikap mental, iman
spiritual sebagai modal sosial akhirnya diperoleh kemajuan yang luar
biasa, dari desa yang tak berpengharapan bertransformasi sebagai desa
makmur.


Hasil Transformasi
Temuan di lapangan telah digambarkan dalam bab 6 dan 7 di
atas, bahwa ada hasil yang terjadi dengan adanya transformasi sosial
ekonomi tersebut. Tentang hasil transformasi adalah sangat jelas
digambarkan bahwa ada semangat yang disampaikan oleh para
motivator sehingga warga bergerak dengan desiplin untuk membuka
usaha-usaha baru menjadi wirausaha yang kreatif dan pada akhirnya
menjadi industri kreatif dengan berkolaborasi antara aktor tersebut
dan warga masyarakatnya.
Untuk menjawab persoalan penelitian yang ketiga, penulis
bukan bermaksud memberikan gambaran bahwa dampak transformasi
itu bukan dilihat dari hasil akhirnya saja, dengan adanya beberapa
usaha-usaha yang muncul tersebut. Namun lebih kepada prosesnya,
dimana ada komitmen dan ada semangat yang mendorong warga,
sehingga Blimbingsari ke depan masih tetap maju untuk masa jangka
panjang. Disamping tulisan di atas sudah menyinggung perubahan146

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari


perubahan yang terjadi secara kasat mata dari segi budaya, sejarah,
infrastruktur dan lain-lain.
Seperti sudah disampaikan dalam bab sebelumnya (khususnya
bab 3 dan 7 di atas) dimana ada banyak warga memiliki usaha-usaha
untuk memenuhi kebutuhan hidup, generasi penerus agar Blimbingsari
ini menjadi lebih maju dan lebih sejahtera dan bisa meningkatkan
kesejahteraannya. Adapaun usaha tersebut sebagai berikut: ternak sapi,
babi, ayam, lele, dagang kelontong, warung makan, penjual batako,
pohon sengon, penjual buah kelapa, air isi ulang dan pedagang keliling,
villa (guest house) dan banyak lagi yang lain.
Terlebih lagi yang digambarkan dan dijelaskan pada bab 6 dan
7 bahwa dampak transformasi mengakibatkan pembangunan desa
menjadi lebih maju adalah dengan Blimbingsari menjadi Desa W isata.
Dengan desa wisata, Blimbingsari dapat atau bisa mendatangkan lebih
banyak pendapatan/income kepada warga Blimbingsari, yang dikelola
melalui komite pariwisata yang menghasilkan bukti nyata berbentuk
kemajuan ekonomi, yang menunjang kehidupan sehari-hari
masyarakat desa Blimbingsari. (Sedarmayanti, 2009; Samsudin, 2006;
M ark, 2002; Todaro, 2000; Grillo, and Stirrat, 1997; Emma Crewe and
Elizabeth Harrison,1988). Tidak hanya itu saja pendapatan yang
dimaksud juga tidak saja secara material tetapi juga non material
(bagaimana warga memiliki kerinduan untuk menjadi berkat dan
terang bangsa dengan membentuk banyak jejaring (Hasbullah, 2006),
yang tujuannya adalah untuk membangun Blimbingsari untuk generasi
penerus (Suddin, Alwi & Sudarman. 2010; Thoha, 2007; Tjokrowinoto,
2004; Suarjaya, dan Haedar, 2003).
Dengan Blimbingsari menjadi Desa W isata, usaha wisatapun di
buat lebih menarik, sehingga penggabungan wisata alam, wisata rohani
dengan usaha- usaha warga bisa dilihat oleh pengunjung sebagai suatu
kesaksian hidup orang Bali-Kristen di Bali.
Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab
sebelumnya, tergambarkan bahwa Blimbingsari adalah desa yang
berkembang dinamis. Sejarah perkembangan masyarakatnya diwarnai
147

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

oleh berbagai perubahan yang prosesnya terkadang membawa gesekan
atau konflik sosial tetapi juga harmonis. Dari tahun 1939, Desa
Blimbingsari ini mengalami transformasi, mulai dari migrasi, membuka
barak, membuka lahan pertanian, bertani sampai menjadi desa wisata
yang saat ini telah banyak yang mengenal desa ini dan menjadi
kunjungan banyak wisatawan baik dari manacanegara maupun
nusantara sebagai objek wisata. Dari proses transformasi ini ada
pertentangan dan konflik di satu sisi, dan kehidupan yang damai serta
harmonis di sisi lain yang sejatinya adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Tabel 7.1. Perubahan pada Desa Blimbingsari
Sebelum
Pemanfaatan
tanah

Hutan

Arsitektur

Bentuk gedung gereja
dengan gaya Eropa
Pengairan tradisional

I rigasi
Infrastruktur

Tidak ada listrik
Jalan umum desa masih
bebatuan
Belum ada jalan menuju
sawah ladang
Tidak ada balai pesamuan
Tidak ada Kuri Agung
Tidak ada Balai paruman
Asih
Gedung kantor desa lama
Tidak ada Fasilitas internet
Tidak ada Fun learning
centre
Tidak ada
Tidak ada

148

Sesudah
Pemukiman penduduk dan lahan
produktif ( sawah dan ladang dan
peternakan)
Bentuk gereja dengan style Bali

Pengairan sistem pemipaan tepat
guna
Listrik masuk desa
Jalan umum desa dibangun
dengan aspal hot mix
Akses jalan menuju ladang
penggunaan mobil
Adanya balai pesamuan untuk
sarana pertemuan
Ada Kuri agung
Ada Balai paruman Asih
Ada Gedung kantor desa baru
Ada Fasilitas internet
Ada Fun learning centre – sarana
pendidikan anak luar sekolah
Ada Pengaturan pekuburan yang
lebih baik
Ada Pengaturan pembuangan
sampah organik dan non organik

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Kelembagaan
Ekonomi Kreatif

Budaya

Sosial
Ekonomi

Sebelum
Tidak ada awig-awig desa
adat
Tidak ada desa wisata
Tidak ada Pemandu wisata
Tidak ada Guest house/villa
Tidak ada Gamelan dan
jegog
Tidak
ada
I badah
konstekstual

Cara pandang agraris
Peternakan hanya konsumsi
sendiri -

Sedikit
ada pedagang
kelontong
Tidak ada penjual batako
Tidak
ada
Penanaman
Sengon
Tidak ada
Tidak ada

Tidak
ada
Pengolahan
produk turunan kelapa
Lingkungan
Tidak
ada
Pengaturan
plastik dan kebun desa
Sumber: Wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga
Blimbingsari 2010.

Sesudah
Dibentuknya awig-awig desa adat
Kristen
Ada Desa wisata
Ada Pemandu wisata/guide
Ada Guest house/villa
Ada Gamelan dan jegog

Ada Ibadah konstekstual, setiap
awal minggu pertama bulan yg
bersangkutan
Cara pandang entrepreneural
Peternakan
untuk
penopang
kehidupan – peternakan ayam,
peternakan lele, peternakan babi.
Peternakan sapi,
Banyak
pedagang kelontong,
warung makan
Ada penjual batako
Penanaman
investasi
pohon
sengon,
Ada penjual buah kelapa ke jawa
Ada air isi ulang dan pedagang
keliling menggunakan sepeda
motor
Ada Pengolahan produk turunan
kelapa
Ada pengaturan plastik dan kebun
desa
Ayub, John Rony, dan Murtiyasa,

Dalam tabel 7.1 menggambarkan bahwa terjadi transformasiperubahan yang cukup besar, apabila dilihat dari item-item di atas.
Seperti item pemanfaatan tanah, arsitektur, kelembagaan, budaya,
ekonomi, irigasi, lingkungan yang semua ini mendukung pariwisata di
komunitas Desa Blimbingsari. Irigasi, awalnya tidak ada irigasi air,
sekarang sudah ada sistem pengairan pemipaan tepat guna yang
dampaknya kepada peningkatan taraf hidup warga/komunitas Desa
Blimbingsari, dimana air tersebut digunakan untuk pemanfaatn
149

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

kebutuhan hidup sehari-hari, pertanian, peternakan, perkebunan dan
penunjang desa wisata. Tidak hanya itu saja, bahkan sampai Desa
tetangga lainnya,Desa Nusasari, Pangkungtanah, dan M elaya
(wawancara dengan Kepala Desa Nusasari (2010), membeli air dari
Desa Blimbingsari, sehingga mempengaruhi kehidupan sosial antar
desa itu sendiri dan saling terkait.
Infrastruktur, ambil contoh sebelum adanya transformasi
belum ada jalan-jalan ke sawah-ladang. M aka setelah ada perubahan,
sangat mendukung bagi warga desa untuk meningkatkan produktivitas
produknya dan waktu yang dibutuhkan ke ladang-sawah semakin
efisien. Kelembagaan, yang tadinya belum diatur adat suka-duka desa,
karena belum terbentuk pengurus bendesa adat yang jelas, namun
sesudah ada perubahan ada lembaga adat desa yang mengatur sukaduka desa adat Desa Blimbingsari. Budaya, ambil contoh yang
sebelumnya tidak ada gambelan dan jegog, namun sesudah perubahan
ada gambelan dan jegog yang berfungsi untuk mempertahan budaya
Bali, dimana dapat menciptakan tari kreasi yang bernuansa Kristen,
sekaligus bisa memperkuat tali persaudaraan di antara warga, dan
meningkatkan
penghasilan
karena digunakan
sebagai
alat
pertunjukkan bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Desa
Blimbingsari.
Item-item tersebut saling mendukung atau kait mengkait
antara satu item dengan item yang lain. M isalnya, pengolahan produk
turunan kelapa. Pengolahan produk turunan kelapa tidak hanya untuk
mendukung ekonomi masyarakat/warga Desa Blimbingsari, tetapi bisa
dipakai sepakai ajang ekonomi kreatif atau pendukung desa sebagai
desa wisata, sehingga kunjungan wisata makin meningkat karena ada
hal-hal yang menarik. Contoh lain, lingkungan, dengan adanya
kebersihan dan penataan sampah plastik yang baik, di samping warga
desa bisa menikmati lingkungan menjadi segar dan sehat, maka hal itu
juga bisa sebagai kategori desa sehat sebagai penunjang desa wisata
sehingga wisatawan tertarik datang ke desa ini, apalagi dengan wisata
rohani dan wisata alamnya.

150

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Cara pandang warga sebagai cara pikir sosial agraris yang berubah
sekarang menjadi cara pandang pariwisata. Contoh ini menunjukkan
bahwa dari sisi masyarakat ada perubahan pada cara pandang atau
berpikir dari agraris menjadi cara pandang entreprneur.

Ekonomi Kreatif dan Desa W isata
Kreatifitas merupakan modal utama dalam menghadapi
tantangan pembangunan. Bentuk-bentuk ekonomi kreatif selalu tampil
dengan nilai tambah yang khas, menciptakan “pasar”nya sendiri, dan
berhasil memperbaiki taraf hidup masyarakat. Salah satu prasyarat
untuk mengembangkan ekonomi kreatif, adalah diperlukannya sumber
daya manusia (SDM ) yang berkualitas dengan daya inovatif dan
kreativitas yang tinggi (M oelyono, 2010; Zumar, 2008, dan W icaksono,
2008). M asyarakat Desa Blimbingsari memiliki hal ini untuk
memajukan desanya dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan
selanjutnya pengembangan ekonomi kreatif juga membutuhkan ruang
atau wadah sebagai tempat penggalian ide, berkarya, sekaligus
aktualisasi diri dan ide-ide kreatif.
Kemajuan Pulau Bali sebagai destinasi wisata yang kuat dan
terkemuka, mendorong Desa Blimbingsari dengan segenap
masyarakatnya secara bersama mengembangkan kewirausahaan yang
efektif yang didorong oleh modal sosial yang telah terbangunkan,
sehingga pada akhirnya bermuara pada pembentukan ruang-ruang
kreatif (Kasmir, 2006; Saputra, 2010) yang mengarah pada desa kreatif
(creative village) yang berbasis pada penciptaan suasana yang kondusif
bagi komunitas sehingga dapat mengakomodasi kreativitas.
Sebagaimana layaknya wilayah Pulau Bali yang memiliki
sejumlah keunikannya, memiliki potensi yang telah dikembangkan
menjadi daya tarik dunia dengan budaya dan kreaktifitasnya, maka
pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan di Desa Blimbingsari
seiring dengan pengembangan wisata di Pulau atau Provinsi Bali.
Ruang kreatif ini telah berkembang dan dikembangkan di hampir
semua ruang wilayah Pulau Bali secara sistematis dan terencana, yaitu
151

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

zona-zona wisata itu sendiri. Atraksi wisata dapat menjadi sumber ideide kreatif yang tidak akan pernah habis untuk dikembangkan. Proses
kreativitas seperti pembuatan souvenir dapat menjadi atraksi wisata
tersendiri yang memberikan nilai tambah. Sementara di sisi lain, pasar
yang menyerap produk ekonomi kreatif telah tersedia, yaitu melalui
turis atau wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata. Desa
Blimbingsari telah dan terus melakukan ini dengan modal sosial dan
etos kerja yang tinggi dengan didukung oleh semangat kewirausahaan
(Kasmir, 2011;M ulyadi, 2010; Sony, 2010; Heru, 2009; Chandra, W .W ;
Hendro. 2006; Thomas & Norman, 2004; Lubis, 2002; Lang And
Hornburg, 1998).
Bila kita memperhatikan dengan seksama, pengembangan
pariwisata di Pulau Bali bermuatan pariwisata budaya, atau singkatnya
pembangunan kepariwisataan (Artadi, 2004; Ardika, 2003; Erawan,
1994), maka Satrio (1999) menyatakan: “Pembangunan kepariwisataan
yang bermodal dasar kebudayaan daerah yang dijiwai oleh agama
Hindu diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata agar menjadi
andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk
kegiatan lain yang terkait, sehingga mampu meningkatkan lapangan
kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan
negara serta meningkatkan penerimaan devisa melalui upaya
pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan
yang ada di daerah. Daya tarik Bali, sebagai daerah wisata tidak
terpisahkan dalam konsep pengembangan pariwisata budaya, melalui
pemeliharaan kebudayaan daerah dan promosi yang memadai”.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka desa adat Bali
mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan pariwisata
budaya (Dalem, 2007; Barker, 2005; Darsoprajitno, 2002; Chafid,
Fandeli (Ed), 2001; Pitana, 1999; Oka, 1996). Semua orang memaklumi
bahwa daya tarik Bali terhadap wisatawan, tidaklah semata karena
keindahan alamnya, tapi lebih dari pada itu adalah budayanya. Dengan
memantapkan peranan, fungsi, dan wewenang desa adat, maka
sesungguhnya semua aspek budaya yang didukung oleh masyarakat
Bali akan menjadi daya tarik kepariwisataan yang bila dipelihara dan
152

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

dikembangkan dengan baik akan menjamin kalangsungan kehidupan
pariwisata (sustainable tourism) di daerah ini. Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka desa adat di Bali sesungguhnya sangat
berperanan dalam pengembangan pariwisata budaya. Peran tersebut
akan maksimal dapat dilaksanakan bila fungsi, peranan dan wewenang
desa adat berjalan dengan baik. Dalam hubungannya dengan proses
pembangunan (development process), banyak peneliti/sarjana melihat
bahwa terjadi paradox antara nilai masyarakat Bali Indonesia
bertentangan dengan proses pembangunan ekonomi, atau telah secara
total berubah (transform) ke dalam nilai yang “impersonal dan
komersialisasi” sebagai hasil pembangunan ini, sebagaimana disinyalir
oleh Bagus, (1999); Ardika (2003), Oka, (1999).

Peran Pemimpin dalam Transformasi Ekonomi
Transformasi sosial yang kemudian berdampak pada
penyesuaian struktural di Desa Blimbingsari tidak terlepas dari peran
kepemimpinan (David M . W alker ,M orse et al. 2007). Ada 3 fase
kepemimpinan yaitu fase pertama antara 1939-1977, fase kedua, tahun
1978-1998, dan fase ketiga, tahun 1999 sampai sekarang. M asing
masing fase ini mempunyai pemimpin dengan gaya tersendiri sesuai
dengan tuntutan kondisi yang mereka hadapi pada waktu itu.
Fase pertama, dibawah kepemimpinan Pendeta I M ade Rungu
dan I M ade Tjadug dan I M ade Sela yang menekankan pada nilai
spritual dan etos kerja. M engapa spritualitas dan etos kerja bagi sebuah
masyarakat terbuang? Ketika mereka konversi menganut agama baru
ada kemungkinan mereka mengalami alienasi baik terhadap kelompok,
agama, dan budaya (Bertell Ollman. 1996). Dalam situasi seperti ini
penguatan nilai spritual menjadi sangat esensial, agar semangat kerja
dan semangat juang tidak meluntur. Nilai spiritual ini mengandung
suatu harapan yang kuat, karena mereka meyakini Tuhan menyertai
dalam setiap langkah kehidupan mereka dan mereka pasti dapat
menjalani dengan kemenangan pada masa depan. Nilai spiritual ini
ditanamkan sangat kuat oleh Pendeta I M ade Runggu dan mengkristal153

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

kan menjadi semangat baru kelompok masyarakat Desa Blimbingsari
(Subiyanto, 2007). Tahun 1940 kelompok transmigran kedua bergabung dengan kelompok yang pertama. Dengan arahan dan
bimbingan dari Pendeta I M ade Tjadug dan I M ade Sela, kedua
kelompok masyarakat ini dapat bersatu membangun desa. Peran dari
kedua pendeta dan kepala desa di atas yang memeperkuat spritualitas
masyarakat.
Robbins, SP (2007) mengatakan kepemimpinan yang berhasil
yaitu kepemimpinan yang mampu menggerakkan setiap bagian dalam
kelompok untuk bersinergi bersama menuju kesepakatan sasaran yang
telah ditentukan sebelumnya1. Pdt. M ade Rungu sebagai pemimpin
rohani terus ‘membakar’ semangat masyarakat agar terus berjuang
dalam meraih harapan maupun mimpi mereka untuk hidup lebih baik
dari sebelumnya. Kepemimpinan rohani yang dilakukan oleh Pdt.
M ade Rungu berlangsung pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1969,
bersamaan dengan kepemimpinan kepala desa I M ade Sela. Apa yang
terjadi di Desa Blimbingsari dalam proses transformasi sosial
ekonominya, bahwa kepemimpinan yang ada di desa ini adalah
kepemimpinan rohani dengan institusi gereja dan kepemimpinan desa
sebagai pihak dari institusi pemerintah. Kedua jenis kepemimpinan ini
berjalan secara harmonis dan sinkron untuk bersama-sama bergandeng
tangan memajukan Desa Blimbingsari. Kedua jenis kepemimpinan ini
tidak saling bertentangan, namun secara mantap bergandeng-tangan
dengan satu visi yaitu memajukkan Desa Blimbingsari dan meraih atau
1

Selanjutnya Robbins (2007) dari hasil pengamatannya bahwa ada lima perilaku
fundamental yang memampukan seorang pemimpin mampu berbuat atau
menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kelima perilaku fundamental ini tersedia bagi
setiap orang, dalam komunitas atau situasi apapun, yang menerima tantangan
kepemimpinan. Kelima Perilaku Fundamental ini menurut Robbins, SP (2007) adalah
antara lain; Menantang Proses, Memberi Inspirasi Visi Bersama, Membuat Orang Lain
Mau Bertindak, Menjadi Contoh/ Teladan, Membesarkan Hati. Gaya kepemimpinan
mencerminkan perilaku dan sikap yang secara konsisten dimunculkan oleh seorang
pemimpin, Robbins, SP (2007). Penelitian-penelitian sudah banyak memunculkan
berbagai teori gaya kepemimpinan. Beberapa teori kepemimpinan yang situasional
yang ada di buku Leadership yang ditulis oleh Dubrin (2007) menjelaskan teori
kepemimpinan untuk gaya kepemimpinan, sebagai berikut : Fiedler’s Cotingency
Theory, Path-Goal Theory, The Situational Leadership Model II, The Normative
Decision Model, Crisis Leadership

154

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

menaikkan taraf hidup dan memperbaiki nasib masyarakatnya kearah
atau kondisi yang lebih baik.
Penanaman nilai spritual ini ada kaitan dengan upaya
menggalang solidaritas antar sesama anggota kelompok. Nilai spiritual
yang menjadi dasar masyarakat Desa Blimbingsari membangun desa
dari kawasan yang terbelakang menjadi kawasan yang makmur hanya
dapat berjalan karena ada solidaritas bersama untuk maju. Solidaritas
ini dipupuk dari spiritualitas atau kepercayaan bahwa jika mereka
berkerjasama maka sebagai kelompok mereka akan sama sama maju.
Pada tahap ini individualitas disingkirkan demi menjaga kebersamaan
sebagai komunitas. Dalam berbagai literatur keadaan ini disebut
sebagai Gemeinschap (Stephen A. Cohen dalam W art dan Dicke 2008;
Komter, 2005; George Frederickson dan David S.T. M atkin dalam
M orse et.al., 2007; Yulk 2006; Sadler, 2003; Appleby, 1987)
Selain nilai spiritual, etos kerja adalah hasil dari
kepemimpinan pada tahap ini. Etos kerja yang kuat mendorong
masyarakat untuk bergiat, rajin dan bersemangat membangun desanya.
Awal dari pembangunan desa yang dikerjakan adalah membangun
sektor pertanian sebagai basis untuk memenuhi kebutuhan pangan dari
seluruh masyarakat atau komunitas Desa Blimbingsari. Dengan
peralatan yang seadanya mereka memulai hidup baru dengan kekuatan
etos kerja mendorong mereka untuk membangun apa yang ada di
hadapan mereka. Salah satu ciri dari etos kerja adalah kerja keras yang
dilihat sebagai ibadah (W eber, 2008). Ketika kerja dipandang sebagai
ibadah, maka yang terpenting di sini adalah hubungan mereka dengan
Tuhan. Sebagai orang Bali yang baru masuk Kristen, etos ini
tampaknya ditanamkan secara kuat oleh para pemimpin pada waktu itu
sehingga mereka bekerja dengan semangat yang tinggi.
Biasanya dalam masyarakat Kristen di mana pun ditanamkan
konsep tentang berkat. Berkat hanya diberikan kepada mereka yang
dipilih karena berperilaku sesuai kehendak Tuhan (W eber,2008).
Bekerja keras dan memperoleh hasil yang besar adalah tanda Tuhan
berkenan atas apa yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pada tahap
ini Pendeta I M ade Rungu berhasil menanamkan nilai spiritualitas
155

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

teraebut yang kemudian diterjemahkan ke dalam etos kerja yang kuat,
bekerja keras, pantang menyerah, dan berhati hati dengan pendapatan.
Fase Kedua, adalah fase memperkuat modal sosial dan etos
kerja dibawah kepemimpinan Kepala desa Yakub Yulianus dan Pdt.
Nyoman Nama Suyasa. Pada masa ini ditandai dengan pengembangan
tanaman pertanian dan perkebunan sebagai basis subsisten masyrakat.
Subsisten tidak berarti tidak ada hasil tanaman yang dibawa ke pasar
tapi yang dimaksud di sini adalah sebagian besar hasil pertanian dan
perkebunan lebih banyak untuk konsumsi rumah tangga dan porsi
kecil yang dijual ke pasar (Holthaus, 2008; Scott, 1976). Hal ini wajar
karena lahan yang sudah dibuka sekarang harus ditanami untuk
menjamin kebutuhan pokok (basic needs) demi kelangsungan
komunitas ( M cGuire. 2010; Sjahrir, 1986.). Bidang pertanian digarap
dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat Desa Blimbingsari dan
menjadi basis untuk mencukupi kebutuhan pangan desa. Setelah terjadi
penguatan sektor pertanian, para pemimpin desa Blimbingsari mulai
mengarahkan masyarakat desa untuk mengembangkan sektor
perkebunan melalui penanaman pohon-pohon jangka panjang yang
dapat menghasilkan buah-buah yang memiliki nilai ekonomi yang
baik. M ulailah desa berkembang dengan pesat, karena nilai tambah
dari sektor ini menghasilkan nilai ekonomi yang membuat masyarakat
Desa Blimbingsari dapat berkembang dan maju.
Pada masa ini modal sosial perlu diperkuat karena dengan
berjalannya waktu semakin banyak jumlah orang Bali-Kristen pindah
ke Blimbingsari. Kondisi tersebut menyebabkan Pendeta I Nyoman
Nama Suyasa dan Yakub Yulianus mengutamakan penguatan modal
sosial, terutama bonding social capital (Pariela, 2008; Susan et.al. 2001;
Adler dan Kwon, 2000; Enrique, 2000; Coleman, 1999). Sebagai
komunitas yang terlempar dari akar sosialnya, masyarakat Bali-Kristen
merasa senasib di daerah baru. Para pemimpin menanamkan kesadaran
bahwa mereka memulai hidup di tempat baru atas dasar prinsip rasa
kebersamaan. Perasaan bersama ini yang mengikat mereka untuk setia
kepada kelompoknya dan secara bersama membangun Blimbingsari.
Atas dasar prinsip di atas, mereka menghindari linking social capital
156

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

yang masih memberi ruang pada hirarki (John. 2010; Pariela, 2008;
Lawang, 2005).
Sebagaimana halnya dengan fase pertama, kepemimpinan
pada fase kedua menekankan juga pada etos kerja. Etos kerja ini sangat
dibutuhkan dalam rangka perluasan sektor pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Dengan berjalannya waktu dan dengan kreaktivitas dari
para pemimpin Desa Blimbingsari, apalagi pada era kepemimpinan
Kepala Desa Yakub Yulianus dan Pdt. I Nyoman Nama Suyasa, maka
mulai didatangkan bibit-bibit ternak unggulan dari daerah lain, baik
secara swadaya oleh masyarakat maupun atas bantuan pemerintah.
M ulailah pengembangan sektor peternakan, baik ternak ayam potong
maupun ayam petelur, ternak sapi, ternak babi atau ternak kambing
dan domba. Dinamika komunitas Desa Blimbingsari bergulir dengan
cepat dan berkembang maju.
Kemampuan membangun dan mengembangkan komunitas
Desa Blimbingsari merupakan modal sosial yang kuat untuk terus
bertransformasi dengan tepat dan berkesinambungan. M odal sosial ini
membuat Desa Blimbingsari menjadi solid dan memiliki satu visi yang
kuat untuk terus mengembangkan dan membangun desanya (Peter
Szanton, 1981; Pariela,2008). Dengan demikian maka Desa
Blimbingsari telah membangun ekonomi desanya sebagai suatu
perekonomian yang kuat pada tiga bidang yang dikembangkan yaitu,
sektor pertanian, sektor perkebunan, dan sektor peternakan.
Pada saat dan waktu yang sama dibangun pula infrastruktur
sebagai penunjang kehidupan desa dan perekonomian desa, yaitu
pembangunan irigasi yang membantu ketiga sektor yang
dikembangkan di Desa Blimbingsari. Pembangunan infrakstruktur
jalan sebagai urat nadi perekonomian desa setempat, tersedianya listrik
yang menggerakan kehidupan dan bidang-bidang usaha yang
dikerjakan masyarakat Desa Blimbingsari. Tempat ibadah yang
representatif yang terbangunkan sebagai tempat masyarakat
mengembangkan nilai spiritual dan tempat bersosialisasi masyarakat
untuk
membicarakan
isu-isu
pembangunan
maupun
bagi
pengembangan Desa Blimbingsari secara keseluruhan.
157

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Dengan dukungan infrastruktur dan pengembangan
perekonomian desa pada tiga sektor tersebut yaitu pertanian,
perkebunan dan peternakan, maka Desa Blimbingsari terus
mengembangkan ketiga sektor ini dengan nilai kewirausahaan yang
hampir dimiliki oleh seluruh masyarakat Desa Blimbingsari. Nilai
tambah (value added) yang dikembangkan dari ketiga sektor ini
(pertanian, perkebunan dan perternakan) membuat kondisi
kemakmuran Desa Blimbingsari terus begulir untuk maju.
Fase ketiga dibawah kepemimpinan Pdt. I Ketut Suyaga ayub
dan Kepala Desa I M ade John Rony lebih menekankan pada
enterprenurship. Pada fase ini pemimpin lebih berperan sebagai
motivator dan inspirator. Sesuai dengan kondisi perkembangan Pulau
Bali sebagai kawasan pariwisata nasional, Desa Blimbingsari juga
bergeliat untuk mengembangkan diri menjadi sebuah desa wisata.
Dengan persiapan yang cukup matang dibuatlah situs-situs wisata, baik
situs budaya maupun situs religious seperti monumen The promise
land, M onumen Jubelium dan lain-lainnya. Keunggulan-keunggulan
yang ditampikan, menjadikan Desa Blimbingsari dapat diterima oleh
dunia pariwisata sebagai destinasi atau tujuan wisata yang memiliki
daya tarik yang tinggi.
Di sini Desa Blimbingsari mengalami metamorfose dari desa
konvensional dengan kekuatan pada tiga sektor unggulan (pertanian,
perkebunan dan perternakan) bertransformasi menjadi sebuah desa
wisata, yang digerakan oleh pemimpin yang transformatif yang
bergerak pada dimensi ekonomi kreatif dengan mengembangkan
keunggulan yang ada menjadi produk-produk kreatif di bidang
pariwisata. Sekarang dapat kita lihat bahwa masyarakat Desa
Blimbingsari dapat menikmati hasilnya yaitu desa wisata yang dapat
menghidupi dan membuat mereka hidup dari kemakmuran yang ada
walaupun masih terintegrasi dengan usaha pertanian, perternakan dan
perkebunan.
Tentu kepemimpinan yang dibutuhkan di sini bukan sekedar
menggalang masyarakat bekerja keras, tapi merasuki masyarakat
dengan ide-ide baru untuk masuk ke perekonomian yang berbasis
158

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

pariwisata . Ketika masuk ke ekonomi pariwisata yang dibutuhkan di
sini adalah kreativitas untuk menawarkan produk yang unik kepada
wisatawan. Tentu saja pemimpin yang dibutuhkan di sini adalah orang
yang tanggap dengan perubahan dan inovatif (French, W endell L et al,
(ed.) 2000; Taffinder, 1995; Darcy T. dan Kleiner, B.H., 1991; Fiedler,
1967). Sebagaimana layaknya dalam dunia usaha pada umumnya,
industri pariwisata mengutamakan inovasi sebagai syarat berkembang
dan bertahan. Inovasi adalah proses mengubah ide–ide kreatif menjadi
produk atau metode kerja yang berguna. Oleh karena itu, pemimpin
yang inovatif akan menularkan virus inovasi secara terus- menerus,
juga memiliki kemampuan menyalurkan kreativitasnya kepada
anggota masyarakat menjadi hasil yang berguna (Robbins, SP. (2007);
Rivai, 2004; Politis, 2002) Suhardan, 2009; Peters, 1999). Inilah proses
yang berkesinambungan dalam menularkan jiwa kewirausahaan dan
terus memilihara dan mendorong inovasi (Robbins dan Coulter,
2010: 21).

M odel Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Desa Blimbingsari mengalami proses transformasi dari desa
miskin dan tak berpengharapan menjadi desa yang maju dan makmur
melalui proses perubahan sosial sejak tahun 1939 dengan
dilatarbelakangi oleh perpindahan kelompok masyarakat yang
dianggap bermasalah dari sudut pandang masyarakat luas di Bali
sebagai akibat konversi agama dari Hindu ke Kristen yang dilakukan
oleh kelompok masyarakat yang menjadi cikal bakal masyarakat Desa
Blimbingsari.
Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menempatkan
kelompok masyarakat ini ke tempat yang dianggap atau dijadikan
tempat pembuangan dengan sebutan Alas Cekik ini ternyata
menghasilkan hal yang di luar dugaan, karena dengan modal nilai
spiritual dan kepemimpinan transformatif dapat mengubah sebuah
kawasan yang bermodalkan nol dari segi fasilitas, infrastruktur maupun
dukungan financial menjadi sebuah desa yang tidak hanya maju namun
159

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

juga makmur. Tahun 1937 desa ini mulai ditabur, dan pada tahun 1978
mulai menuai menjadi desa yang maju di bawah kepemimpinan Yakub
Yulianus. Desa Blimbingsari terdapat dua kepemimpinan dari 2
dimensi yang berbeda, yang satu pemimpin rohani dan kedua
pemimpin sebagai kepala desa yang memiliki nilai spiritual yang
sejalan dengan kelompok masyarakat yang ada di Desa Blimbingsari.
Transformasi sosial ekonomi yang terjadi di Desa Blimbingsari
dimotori oleh peran sentral kepemimpinan yang transformatif yang
digerakan oleh nilai spiritual yang dapat mengembangkan nilai etos
kerja yang tinggi di kalangan masyarakat, dan menjadi suatu modal
sosial yang solid di dalam komunitas desa, dan terbangkitkan nilai
kewirausahaan. Ke empat nilai strategis yang ada dan dimiliki oleh
masyarakat Desa Blimbingsari yang digerakkan oleh variabel
kepemimpinan yang transformatif yang melakukan transformasi dari
kondisi sulit mampu membangun ekonomi desa, mampu menyediakan
infrastruktur dan selanjutnya berkembang dari desa konvesnsional
menjadi sebuah desa wisata yang makmur.
Sebagai desa konvensional yang maju pada bidang perekonomian
dengan mengembangkan sektor pertanian, sektor perkebunan, dan
sektor peternakan, dengan membangun infrastruktur desa untuk
menunjang gerak pembangunan dan kehidupan di Desa Blimbingsari,
ternyata desa ini terus bertransformasi dari desa konvensional menjadi
desa wisata yang maju dan makmur.
Gereja sebagai institusi spiritual untuk pembinaan nilai rohani
dan memupuk rasa persaudaraan juga didorong oleh efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan desa di tangan pemimpin yang
transformatif dan memiliki nilai spiritual yang positif menjadikan Desa
Blimbingsari mendapat angin segar untuk melakukan dan menjalankan
pembangunan sesuai harapan dan keinginan masyarakatnya.
Adapun kerangka logis dari hasil temuan penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

160

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

BLIMBINGSARI
DESA MISKIN
PEMERINTAH

GEREJA

ETOS KERJA

SPIRITUAL

KEPEMIMPINAN

KEWIRAUSAHAAN

INFRASTRUKTUR

IRIGASI
JALAN
LISTRIK
TEMPAT IBADAH
KURI AGUNG

MODAL SOSIAL

PEMBANGUNAN
EKONOMI

PERTANIAN
PERKEBUNAN
PETERNAKAN

EKONOMI KREATIF

DESA WISATA

BLIMBINGSARI DESA
MAKMUR

Gambar 7.1
Kerangka Logis Temuan Penelitian

Dalam bab ini, penulis menggambarkan tentang “Transformasi
Sosial Ekonomi di Desa Blimbingsari dan ‘mengapa bisa terjadi
transformasi”. Transformasi yang dimaksudkan adalah melihat transisi
Desa Blimbingsari, dari awal migrasi tahun 1939, sampai dimana terjadi
terobosan dengan kepemimpinan transformatif yang terjadi dari tahun
1939 dari desa ‘miskin yang tidak berpengharapan’ menjadi desa
‘makmur yang maju’ . Hal itu tidak mudah apalagi desa awalnya adalah
desa yang tidak ada penduduk yang produktif dan bagaimana
161

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

memotivasi warga desa agar bangkit, memerlukan suatu seni dan
manajemen tersendiri. Di bawah ini beberapa hal atau poin yang dapat
diangkat menjadi suatu konsep yang penting dan perlu apalagi bagi
pengembangan dan pembangunan desa di Indonesia pada umumnya
dan Desa Blimbingsari pada khususnya.
Pertama, adalah berpusat pada kepemimpinan yang memiliki
karakter yang jelas di setiap periode transisi yang terjadi. Tetapi
kepemimpinan tidak berjalan sendiri, namun didampingi oleh
spiritualitas dan modal sosial. Karena tanpa visi maka desa tersebut
akan terombang-ambing dan tidak jelas arah, tidak terkontrol, bahkan
tidak ada tujuan dan akhirnya tanpa harapan. Sehingga desa itu bisa
mati (sekarat) yang tidak bisa maju dan kesejahteraan warga akan
berkurang. Kedua, Tidak terlepas dengan religiusitas umat dan peran
kepemimpinan. Berani melawan arus atau berani mengambil resiko.
Kadang-kadang nyali pemimpin dipertaruhkan dalam menghadapi ide
yang bertentangan dengan orang banyak, walau ide itu populer, dan
dengan jujur menyatakan keuntungan kepada warga. Ketiga,
kepemimpinan dan modal sosial yang memiliki kesederhanaan dalam
tiga lingkaran. Kesederhanaan dengan tiga lingkaran itu adalah paham
sejarah, iman dan budaya. Tanpa ke tiga lingkaran tersebut, sulit
membuat terobosan baru di Blimbingsari. Keempat, kepemimpinan dan
kewirausahaan. Kewirausahaan berkaitan erat dengan budaya disiplin,
tekun dan kerja keras. Dengan disiplin, dan etos kerja yang dengan
iman meningkatkan perekonomian Blimbingsari (W eber, 2008).
Kelima, adalah kepemimpinan dan infrastruktur. Dengan infrastruktur,
warga Blimbingsari bisa melakukan perubahan dengan cepat. M isalnya
jalan-jalan yang disediakan ke kebun, sehingga warga memiliki akses
yang lebih baik. Keenam, adalah motivasi. M emotivasi pada awalnya
memang sangatlah berat untuk menggerakkannya, karena di awal
berdirinya Blimbingsari warganya agak sulit untuk dimotivasi dan
menggerakan mereka, namun setelah terjadi ‘sepuluh gerakan’,
‘duapuluh gerakan’ warga desa semakin hari semakin ‘ringan dan
gampang diatur’. Itulah ilustrasi untuk menggambarkan proses
transformasi sosial ekonomi yang dimotori oleh kepemimpinan yang
transformatif.
162

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Dalam konsep Collins (2001) dari buku ‘Good to Great’ ,
perusahaan2 yang diteliti mengalami transformasi dari “baik” sampai
menjadi “hebat”. Penulis mengambil contoh transformasi yang terjadi
di perusahaan untuk memudahkan pembaca memahami transformasi
di desa. Pengembangan, terobosan dan roda pengatur dilakukan
dengan enam cara yaitu diantaranya kepemimpinan, pertama siapa
kemudian apa (artinya mencari sumber daya manusianya terlebih
dahulu kemudian memberi tugas dan tanggung jawab apa yang harus
dilakukan), berani mengambl resiko, konsep landak (artinya walau
perencanaan pelan tapi hasilnya pasti), budaya disiplin, teknologi
pemercepat. Dengan adanya terobosan-terobosan dan roda pengatur
dari aktor-aktor tersebut, maka perusahaan tersebut menjadi
perusahaan yang ‘hebat’ seperti gambar 7.2. di bawah ini.

Gambar 7.2. Teori Jim Collins ‘Good to Great’

2 Memang dalam buku ini bukan desa yang menjadi objek penelitian namun
perusahaan. Jim Collins membandingkan perusahaan dengan perusahaan lainnya
dalam waktu yang cukup panjang sehingga memunculkan gambar 8.3 di bawah ini .

163

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

Kesimpulan
Temuan lapangan dari penelitian ini, secara keseluruhan
menegaskan bagaimana Blimbingsari yang wilayahnya terletak di
Kecamatan M elaya, Kabupaten Jembrana, Bali adalah masyarakat yang
kehidupan sosialnya mengalami proses transformasi (perubahan) yang
terjadi dengan dinamis. M asyarakat yang kehidupan sosialnya tidak
lepas dari berbagai pengaruh, baik yang berasal dari ‘lingkungan
eksternal’ maupun dari ‘dalam desa’ seperti yang digambarkan dalam
bab 3-6. Pengaruh dari ke dua faktor tersebut telah mendorong
Blimbingsari yang tadinya ‘miskin’ menjadi desa yang ‘hidup’.
Pada tulisan di bab-bab sebelumnya, telah digambarkan antara
lain berbagai faktor (eksternal desa dan dalam desa), yang hal itu
terjadi terutama karena adanya urbanisasi dan semakin sedikitnya usia
produktif yang tinggal menetap di Blimbingsari, sehingga Desa
Blimbingsari sempat menjadi desa ‘sekarat’. Di samping itu juga karena
struktur sosial (nilai-nilai, dan norma-norma) mengalami perubahan
termasuk di dalamnya adalah penyuratan awig-awig Desa Adat Kristen
(terlampir). Tidak hanya itu saja ada juga karena kurangnya sumber
daya manusia yang memiliki skill (keterampilan) yang memadai karena
setelah tugas belajar mereka tidak kembali lagi ke Desa Blimbingsari.
Dari gejala perubahan yang komplek tersebut ada beberapa
aktor yang saat itu peduli mengenai Desa Blimbingsari agar menjadi
desa yang maju, desa yang ‘hidup’ yang keluar dari keterpurukannya.
Aktor tersebut adalah aktor-rohaniawan dan pemerintah yang
memberi semangat perubahan di Blimbingsari. Itulah proses
transformasi yang terjadi yang menjawab masalah persoalan penelitain
pertama tentang bagaimana proses transformasi yang terjadi di
Blimbingsari. Jadi kolaborasi antar pemimpin di desa (baik rohani dan
maupun pemerintah desa) dan warganya menjadi jawaban persoalan
penelitian pertama ini.

164