IEUPNYK 5
Oleh: Jamzani Sodik
(2)
Dipelopori oleh Francois Perroux (1955) Ahli ekonomi regional bekebangsaan perancis.
konsep “growth pole”. Konsep tersebut
kemudian digunakan sebagai dasar dalam
pengambilan kebijakan, dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang
dianggap berhasil dilaksanakan dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh negara maupun wilayah lainnya. Salah satu
konsep keruangan yang banyak diikuti adalah konsep growth pole (kutub pertumbuhan).
(3)
Ide dasar : Sekelompok industri yang
mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan berhubungan erat satu
sama lain (input-output) dengan indutsri unggulan (leader industry)
Pusat Pertumbuhan dikaitkan konsentrasi di
perkotaan dengan adanya leading industri
Kelompok industri dapat memberi spillover
(luberan ke daerah sekitarnya) di kawasan tertentu
(4)
Salah satu alat utama yang dapat melakukan
penggabungan antara prinsip-prinsip “Kosentrasi “ dengan “Desentralisasi”
Teori yang menjadi dasar strategi kebijaksanaan pembangunan wilayah melalui idustri daerah.
Pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi disegala tata-ruang. Akan tetapi terjadi haya
terbatas pada beberapa tempat tertentu dengan variabel-variabel yang berbeda intensintasnya. Salah satu cara untuk menggalakkan kegiatan
pembangunan suatu daerah tertentu melalui
pemanfaatan “aglomeration economies” sebagai faktor pendorong utama.
(5)
Sebagai suatu arena (medan) kekuatan
didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub mempunyai
kekuatan pancaran pengembangan keluar dan kekuatan tarikan kedalam.
(6)
Secara Fungsional
Adalah : suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya,
memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam
maupun keluar (daerah belakangnya) Secara Geografis
Suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi didaerah
yang bersangkutan dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada.
(7)
Dalam proses pembangunan akan timbul
industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan
suatu daerah. Keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi
perkembangan industri lain yang
(8)
Pemusatan industri pada suatu daerah akan
mempercepat pertumbuhan perekonomian karena akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah.
Perekonomian merupakan gabungan dari
sistem industri yang relatif aktif (unggulan) dengan industri yang relatif pasif atau
(9)
Tingkat konsentrasi tinggi
Pengaruh multiplier (percepatan) dan
pengaruh polarisasi lokal sangat besar
Tingkat teknologi maju
Keahlian manajerial modern
(10)
Konsep polarisasi, pertumbuhan dari pada
industri utama dan perusahaan pendorong akan menimbulkan polarisasi unit-unit
ekonomi lain ke kutub pertumbuhan.
Terjadinya aglomerasi yang ditandai :
1. Scale economies
Keuntungan yang dapat timbul karena pusat pengembangan memungkinkan perusahaan industri bergabung dalam operasi skala besar, karena ada jaminan sumber bahan baku dan pasar.
(11)
2. Localization Economies
Timbul akibat adanya saling keterkaitan antar industri sehingga kebutuhan bahan baku dan pasar dapat dipenuhi dengan
mengeluarkan ongkos angkut yang minimum
3. Urbanization economies
Timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi yang dapat digunakan secara
bersamaan sehingga pembebanan ongkos untuk masing-masing perusahaan dapat dilakukan serendah mungkin.
(12)
Pertama, melakukan inventarisasi tentang
potensi pengembangan yang ada pada
wilayah ybs. Baik yang sudah dimanfaatkan maupun yang belum. Informasi tentang
potensi melalui data produksi (kontribusi dan LQ masing-masing sektor terhadap PDRB).
Kedua, melihat keterkaitan dari setiap
kegiatan produksi tersebut dengan kegiatan lainnya. Dengan menggunakan tabel input output, melalui informasi ini diketahui
(13)
Ketiga, meneliti orientasi lokasi dari
masing-masing industri tersebut dengan menggunakan peralatan analisa “Weber”.
Keempat, menentukan pembangunan
fasilitas ekonomi yang dibutuhkan setiap pusat pengembangan. Sehingga dapat tumbuh dan berfungsi sebagai ”motor
penggerak” pembangunan untuk masing-masing wilayah.
(14)
Pertama, adanya hubungan internal dari berbagai macam
kegiatan
Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan
mendorong sektor lain karena saling terkait. Kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan synergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.
Kedua, ada effek penggandaan (multiplier effect)
Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan effek pengganda.
Permintaan akan menciptakan produksi baik sektor
tersebut maupun sektor yang terkait yang akhirnya akan terjadi akumulasi modal. Unsur efek pengganda sangat berperan dalam membuat kota mampu memacu
(15)
Ketiga, adanya konsentrasi geografis
Konsentrasi geografis dari berbagai sektor/ fasilitas selain menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling membutuhkan juga meningkatkan daya tarik dari kota tersebut.
Keempat, bersifat mendorong daerah
belakangnya
Hal ini antara kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota
membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakang untuk dapat mengembangkan dirinya.
(16)
Konsep “growth pole” , tersebut kemudian
digunakan sebagai dasar dalam pengambilan
kebijakan, dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan yang dianggap berhasil dilaksanakan dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh negara maupun
wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti adalah konsep growth pole (kutub pertumbuhan).
Keberhasilan penerapan strategi growth pole di
negara asalnya, membuat pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba menerapkan juga di negara
(17)
Di Indonesia selain konsep growth pole, kebijakan pembangunan yang diterapkan
lainnya yang mendukung konsep growth pole, juga menimbulkan permasalahan, seperti urban bias (bias perkotaan) dan pro Jawa, sentralisasi
kegiatan industri, dan lain-lain. Selain terciptanya megaurban sebagai akibat
penerapan konsep growth pole, dampak lain yang dirasakan adalah pengangguran di
perkotaan, sulitnya mencari alternatif pekerjaan di pedesaan dan lain-lain.
(18)
Kebijakan pemerintah Indonesia yang pro
Jawa dan pro urban (Garcia, 2000) dan
sentralisasi industri di pulau Jawa yang
menimbulkan mega urban di pulau Jawa seperti Jabodetabek,Gerbangkertasusila
(Henderson dan Kuncoro,
1996),menunjukkan bahwa konsep growth pole telah menimbulkan permasalahan baik di pulau Jawa maupun Indonesia secara
(19)
Konsep growth pole yang sukses diterapkan di
negara Barat ternyata kurang sesuai untuk diterapkan di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia.
Konsep ini yang ternyata lebih berpihak pada
wilayah perkotaan, menarik penduduk menuju ke wilayah perkotaan. Ketimpangan yang
muncul antara wilayah perkotaan dengan pedesaan menjadi semakin besar.
Oleh karena itu diperlukan suatu konsep yang
dapat memecahkan permasalahan perkotaan sekaligus mendorong perkembangan di wilayah pedesaan.
(20)
Menurut Boudeville (Miyoshi 1997 : 4)
definisi growth pole adalah “satu set perluasan industri-industri yang berlokasi di suatu wilayah urban dan menyebabkan pembangunan kegiatan ekonomi lebih jauh melalui pengaruh zonanya”. Friedmann (1966) menyatakan bahwa pola
pembangunan wilayah di Amerika
seyogyanya diterapkan pada semua negara
sedang berkembang. Ini berarti konsep growth pole juga diikuti oleh banyak negara
(21)
Gore (1984) menyimpulkan bahwa ahli
ekonomi wilayah pada tahun 1960an berkaitan dengan konsep growth pole
mempunyai pandangan yang sama ,antara lain pertumbuhan terjadi secara bertahap, mereka percaya strategi growth pole dapat mencapai berbagai tujuan kebijakan
wilayah dan hubungan antar wilayah secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya.
(22)
Beberapa ahli ekonomi wilayah menjelaskan
bahwa konsep growth pole menjadi penyebab ketidakseimbangan wilayah. Seperti Stohr dan Todtling (1977) menyusun suatu studi
kasus dan menyimpulkan bahwa strategi
growth pole tidak dapat membawa
pembangunan ke wilayah belakangnya
(hinterland). Strategi ini mungkin sukses dalam mengurangi disparitas interregional, tetapi
spread effect terhadap wilayah sekitarnya
sangat lemah, bahkan menyebabkan terjadinya disparitas intra-regional.
(23)
Richardson dan Richardson (1974)
menyatakan bahwa kekecewaan terhadap kebijakan pusat pertumbuhan (growth pole)
pada banyak negara bukan merupakan bukti bahwa prinsip polarisasi salah, hal ini karena adanya optimisme yang berlebihan dan waktu yang singkat dalam menerapkan konsep ini.
Bahkan Higgins (1988) menyatakan bahwa
strategi growth pole bukan kesalahan teori Perroux, tetapi kesalahan suatu versi yang
memutarbalikkan penerapan teori ini melalui disiplin ilmu para ilmuwan tersebut.
(1)
Kebijakan pemerintah Indonesia yang
pro
Jawa dan pro urban
(Garcia, 2000) dan
sentralisasi industri di pulau Jawa yang
menimbulkan mega urban di pulau Jawa
seperti Jabodetabek,Gerbangkertasusila
(Henderson dan Kuncoro,
1996),
menunjukkan bahwa konsep
growth
pole telah menimbulkan permasalahan baik
di pulau
Jawa maupun Indonesia secara
(2)
Konsep growth pole yang sukses diterapkan di negara Barat ternyata kurang sesuai untuk
diterapkan di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia.
Konsep ini yang ternyata lebih berpihak pada wilayah perkotaan, menarik penduduk menuju ke wilayah perkotaan. Ketimpangan yang
muncul antara wilayah perkotaan dengan pedesaan menjadi semakin besar.
Oleh karena itu diperlukan suatu konsep yang dapat memecahkan permasalahan perkotaan sekaligus mendorong perkembangan di wilayah pedesaan.
(3)
Menurut Boudeville (Miyoshi 1997 : 4)
definisi growth pole adalah “satu set perluasan industri-industri yang berlokasi di suatu wilayah urban dan menyebabkan pembangunan kegiatan ekonomi lebih jauh melalui pengaruh zonanya”.
Friedmann (1966) menyatakan bahwa pola
pembangunan wilayah di Amerika
seyogyanya diterapkan pada semua negara
sedang berkembang. Ini berarti konsep growth pole juga diikuti oleh banyak negara
(4)
Gore (1984) menyimpulkan bahwa ahli
ekonomi wilayah pada tahun
1960an
berkaitan dengan konsep
growth pole
mempunyai pandangan yang sama ,
antara
lain pertumbuhan terjadi secara bertahap,
mereka percaya strategi
growth pole
dapat
mencapai berbagai tujuan kebijakan
wilayah dan hubungan antar
wilayah secara
empiris dapat dibuktikan kebenarannya.
(5)
Beberapa ahli ekonomi wilayah menjelaskan bahwa konsep growth pole menjadi penyebab ketidakseimbangan wilayah. Seperti Stohr dan Todtling (1977) menyusun suatu studi
kasus dan menyimpulkan bahwa strategi
growth pole tidak dapat membawa
pembangunan ke wilayah belakangnya
(hinterland). Strategi ini mungkin sukses dalam mengurangi disparitas interregional, tetapi
spread effect terhadap wilayah sekitarnya
sangat lemah, bahkan menyebabkan terjadinya disparitas intra-regional.
(6)
Richardson dan Richardson (1974)
menyatakan bahwa kekecewaan terhadap kebijakan pusat pertumbuhan (growth pole)
pada banyak negara bukan merupakan bukti bahwa prinsip polarisasi salah, hal ini karena adanya optimisme yang berlebihan dan waktu yang singkat dalam menerapkan konsep ini. Bahkan Higgins (1988) menyatakan bahwa
strategi growth pole bukan kesalahan teori Perroux, tetapi kesalahan suatu versi yang
memutarbalikkan penerapan teori ini melalui disiplin ilmu para ilmuwan tersebut.