profil tokoh edisi 4

Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro : Pembangunan Berkelanjutan: Penerapan
Masa Lalu, Saat ini dan Ke Masa Datang
Kata sustainability (keberlanjutan) saat ini
banyak dikaitkan dengan masalah
lingkungan dan perencanaan wilayah dan
kota. Akan tetapi Prof. DR. Dorodjatun,
dengan latar belakang ekonomi dan
keterlibatannya dalam banyak lembaga
nasional, memiliki perspektif yang lebih
luas dari itu. Prof. DR. Dorodjatun yang
saat ini aktif menjadi penasehat lembaga
ekonomi dan bank swasta nasional serta
memberi kuliah di beberapa universitas
seperti UI, pernah menjabat Menko
Perekonomian pada Kabinet GotongRoyong RI yang juga menjadi Ketua
BKPRN (pada masa itu bernama
BKTRN). Profesor yang mendapatkan
gelar doktor di bidang Ekonomi Politik
dari Universitas of California, Berkley,
pada tahun 1980 ini lahir di
Rangkasbitung pada 25 November 1939.

Beliau adalah salah satu lulusan terbaik
FEUI tahun 1964 dengan spesialisasi
Moneter dan Keuangan Negara. Kemudian
gelar MA-nya di bidang Financial
Administration ia raih pada tahun 1969 di
University of California di Berkeley.
Mantan Dekan FEUI periode 1994-1997
ini sempat menjadi Dutabesar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh RI untuk Amerika
Serikat pada periode 1998 – 2001 pada
masa kepresidenan Presiden Soeharto,
Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrachman Wahid. Lalu bagaimana pandangan
beliau tentang pengertian sustainability? Dalam wawancara berikut, ia menguraikan
permasalahan rencana tata ruang yang terkait erat dengan kapasitas organisasi, dan
perlunya imajinasi dalam mewujudkan pembangunan wilayah dan perkotaan yag
berkelanjutan di Indonesia.
Menurut Bapak,
wilayah/regional ?

seperti


apakah

pengertian

sustainable

dalam

konteks

Sustainability merupakan suatu hal yang maknanya terus menerus diperluas. Pada
awalnya, sustainability itu banyak dikaitkan dengan mengendalikan pertumbuhan
penduduk, yaitu melalui program Keluarga Berencana (KB), yang diinisiasi oleh Presiden

Soeharto. Program KB ini hasilnya cukup
spektakuler.
Kita
berhasil
mengerem

laju
pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,5% per tahun
pada tahun 1950’an, lalu menjadi sekitar 1,3% per
tahun pada saat ini. Ternyata untuk mencapai hal
tersebut kita memerlukan waktu hampir satu
generasi. Pada waktu itu mulai timbul kesadaran
bahwa dengan mengendalikan jumlah penduduk, maka sumber-sumber terbatas yang kita
miliki bisa dipergunakan untuk melaksanakan hal-hal yang lain di luar keperluan untuk
mengurus penduduk, seperti yang secara historis kita lihat di negara-negara yang telah
lebih dahulu berkembang seperti di Inggris dan di Eropa. Laju pertumbuhan penduduk di
kawasan kelompok negara berkembang secara rata-rata lebih cepat dari negara di
kawasan Eropa Barat pada saat mereka melakukan gerakan awal untuk pembangunan
ekonomi yang berlandaskan industrialisasi. Pada waktu itu, PBB merasa, hal pertama
yang harus dilakukan adalah pengendalian penduduk. Selanjutnya adalah pangan, maka
hasilnya adalah green revolution. Jadi sustainability juga harus dilihat dari kemampuan
suatu negara untuk meningkatkan produksi pangan yang mampu mengimbangi kecepatan
laju pertumbuhan penduduk. Baru sesudah dua hal itu, kemudian kami melihat –
walaupun pertumbuhan penduduk sudah direm – tetap saja laju pertumbuhan akan
menimbulkan persoalan lain misalnya environmental atau lingkungan.
Persoalan lain seperti apa kira-kira, pak?

Begini, awalnya yang menarik perhatian kita adalah kekhawatiran tentang ketersediaan
air. Karena seperti yang kita ketahui, peradaban umat manusia itu bergantung pada air.
Sementara peradaban modern itu berdasarkan listrik. Repotnya, ternyata listrik perlu
energi dan energi perlu air, yaitu PLTA. Lama-lama kita mulai sadar kalau lingkungan
tidak diurus maka dampaknya akan langsung tampak. Waktu itu kita belum tahu tentang
global climate change. Hal yang kami khawatirkan ialah urbanisasi makin cepat, yang
bisa mengakibatkan krisis di kota-kota menengah, karena jasa penyediaan air yang
disiapkan 50 tahun yang lalu itu ternyata didasarkan pada perhitungan penduduk yang
sangat konservatif. Walau sudah direm, pertumbuhan penduduk tetap relatif cepat
dibandingkan yang terjadi di Eropa dan Amerika. Kota-kota negara berkembang
umumnya terus-menerus tertekan oleh masalah urbanisasi, yang mengakibatkan
timbulnya masalah air. Dan akhirnya, sesudah dipelajari, kita terpaksa belajar tata ruang,
khan? Karena air akan berjalan sampai ke wilayah yang jauh sampai ke hulu sungai. Kita
baru menyadarinya saat bicara soal kerusakan sungai dan sebagainya, seperti managemen
dari delta. Kemudian perhatian kita semakin terfokus kepada watershed area (daerah
resapan hujan). Pada waktu itu, saya perhatikan, masalah tata ruang ini mulai muncul
khususnya setelah terbukti selain akibat urbanisasi, kita juga terpaksa membuka hutan
untuk bahan pangan. Pangan bukan hanya karbohidrat, tapi juga minyak goreng.
Contohnya kita harus membuka lahan pertanian untuk kelapa sawit. Jadi kalau kita
perhatikan, masalah tata ruang walau terakhir datangnya, tapi sangat terasa dampaknya.

Kalau kita tidak mulai dengan mengerem laju pertumbuhan penduduk, coba bayangkan
seperti apa keadaan sekarang? Pada saat ini mungkin kita sudah kehilangan puluh juta
orang Indonesia yang seharusnya lahir karena keberhasilan kita mengerem pertumbuhan

penduduk tadi. Toh, pada akhirnya, penduduk memerlukan pangan. Dan semakin modern
suatu negara, kebutuhannya bukan hanya karbohidrat, tapi juga protein. Artinya kita perlu
air lagi.

Jadi peternakan itu sama seperti perkebunan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan,
seperti kelapa sawit untuk minyak goreng. Karena semuanya memerlukan air, maka
akhirnya air muncul di tiga bidang persoalan. Pertama adalah untuk penduduk, yang di
undang- undang kita hal itu diutamakan. Yang ke dua adalah untuk pertanian. Ke tiga,
untuk perkotaan dan perindustrian di sektor modern. Terlihatlah jika hal ini menyangkut
tata ruang. Akibat pembukaan lahan dan sebagainya, watershed mengalami kerusakan,
begitu pula daerah-daerah resapan hujan dari hilir sampai hulu. Inilah yang mengancam
keberlanjutan. Kembali ke perkataan saya di awal, kalau tidak disertai pengereman laju
pertumbuhan penduduk, peningkatan produktivitas pertanian lewat green revolution
dengan hasil ton-tonan per hektar itu memang peningkatan yang signifikan. Pencapaian
Orde Baru ada di dua hal itu. Yang pertama adalah KB dan yang ke dua adalah
swasembada pangan. Tapi akhirnya semua terkendala masalah air dan air itu akhirnya

menyangkut tata ruang. Jadi kita lihat perkembangannya di Jawa saja. Carrying capacity
wilayah Pulau Jawa ini semakin lama semakin menurun, dan saya perhatikan makin
kritis. Terlihat antara lain dari hilangnya (mungkin hampir) satu juta hektar atau lebih di
Pantura dan tanah- tanah irigasi kelas satu yang sebagian pembangunannya didanai
dengan pinjaman uang dari World Bank dan ADB. Lahan-lahan itu sekarang dilanda
perluasan kota, kawasan industri, jalan tol, dan sebagainya. Jadi kalau Anda perhatikan,
masalah carrying capacity di Jawa itu sudah sangat akut karena di hulu hutan ditebangi.
Orang makin jauh bertanam ke daerah atas. Jadi di sekitar Jawa Barat bagian Selatan,
kebon kubis dan sebagainya telah merambah ke atas gunung sehingga hutan pinus yang
dulu ada di sana pun habis. Jadi akhirnya datanglah masalah tata ruang ini. Tapi itu
merupakan pertemuan dari berbagai faktor yang saya bicarakan tadi.
Permasalahan lahan kritis, apa penyebab utamanya dan apa yang seharusnya
dilakukan?
Sebenarnya ada dua persoalan yang saya lihat. Pertama adalah tata ruang yang kita warisi
dari zaman kolonial, yang relatif masih tertata baik pada waktu itu. Kenapa? Karena
memang jumlah penduduk dan pemanfaatan dari lahan itu belum seakut seperti yang kita
hadapi di Jawa sekarang. Pada saat itu keseimbangan antara jumlah penduduk dan
pemanfaatan lahan masih berjalan dengan baik, dibandingkan dengan sekarang dimana
jumlah penduduk sudah demikian besar dan pemanfaatan lahan yang sangat beragam
dengan berbagai kepentingannya. Jadi kalau saya perhatikan itu wajar. Yang harus kita

sayangkan adalah tanpa kita sadari kerusakan tata ruang di Jawa itu menyangkut lahanlahan yang paling subur di Indonesia, apabila dibandingkan dengan di Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi, yang tingkat kesuburannya itu hanya sepersekian saja dari

Jawa. Hal lain yang juga kurang diperhatikan ialah petani Jawa yang biasa bekerja di
lahan pertanian, yang sekarang ini makin menghilang. Para petani itu merupakan tenaga
kerja yang paling paham di dalam segala hal yang terkait dengan pertanian. Mereka bisa
bekerja di perkebunan, perikanan darat, peternakan sampai tanaman pekarangan, gabah
bahkan sampai membuat anyaman-anyaman. Sekarang kita sudah mulai kehilangan
generasi petani yang serba bisa ini. Saya lihat hingga sekarang ini, usaha membuka
lahan-lahan baru di luar Jawa tidak serius pelaksanaannya, dan memang tidak mudah.
Karena bagaimana kita bisa membuka lahan, meskipun tata ruangnya mengijinkan, jika
tidak didukung Infrastruktur jalan. Tanpa infrastruktur jalan kita tidak bisa membuat
infrastruktur lainnya seperti irigasi. Yang menyebabkan pembangunan irigasi di Jawa
relatif cepat antara lain adalah karena secara historis satu-satunya kerajaan di Indonesia
yang membangun jalan raya adalah Mataram.
Sedangkan yang lainnya merupakan kerajaan pantai. Buktinya Sultan Agung bisa
menyerbu Batavia dua kali. Tidak mungkin beliau membawa ratusan ribu tentara dari
Jawa Tengah maupun Jogja dan daerah di antaranya tanpa keberadaan jalan. Kita juga
tahu jika sawah-sawah di sepanjang koridor dari Jogja sampai ke Batavia, yang melewati
Karawang, dibuka oleh Sultan Agung. Dapat dipastikan tanpa jalan tak mungkin ada

irigasi, karena untuk membuka lahan kita harus memakai alat besar. Untuk mudahnya,
kita bisa menghitung dari “berapa panjang jalan raya per seratus kilometer persegi”.
Kalau di Jawa mungkin sudah sekitar 20-30 kilometer per seratus kilometer persegi,
termasuk selatan Jawa. Tetapi kalau di Papua atau Kalimantan mungkin cuma sekitar 10
kilometer per seratus kilometer persegi saja sudah bagus. Sehingga dapat dimengerti
bagaimana sulitnya membuka lahan pertanian di wilayah itu. Di luar Jawa, diperlukan
pembangunan irigasi yang lebih maju daripada di Jawa yang relatif subur karena
tanahnya tanah vulkanik. Jadi seyogyanya tata ruang itu tidak hanya melihat data
geografi saja, tapi juga harus melihat geomorfologi atau geofisikanya. Makanya tiap kali
melihat laporan pembukaan sistem irigasi zaman Belanda, selain mempelajari water
level, juga ada penelitian soal mekanik, geomorfologi maupun geofisika. Saya
mengetahui hal ini karena ayah saya pernah menjadi Kepala PU di Banten dan saya
mengikuti ayah pada ada saat membuka sawah- sawah di Banten Selatan
Menurut Bapak, adakah hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga
keberlanjutan?
Kalau belajar ilmu ekonomi, kita akan memahami bahwa setiap kali kita mencoba untuk
mengatur hal yang rumit seperti tata ruang, kita akan berhubungan dengan tiga dimensi
persoalan, yaitu : Pertama, dana yang berhubungan dengan financial resources; Ke dua,
kemampuan mengorganisir (organization resources). Apakah RTRW kita mempunyai
kemampuan untuk mengatur? Untuk dapat memiliki kemampuan itu diperlukan

institution building. Sedangkan sebagaimana kita ketahui, proses pembangunan
kelembagaan itu tidak mudah. Lihat saja dari mereka yang ahli dalam irigasi. Berapa
dasawarsa kita perlukan untuk membangun sistem irigasi dari primer sampai tersier di
Jawa? Diperlukan waktu yang sangat lama. Kalau kita lihat dari umpakan-umpakan
sawah, satu umpakan, katakanlah, 10 tahun. Sehingga saat kita menghadapi umpakan
sawah sebanyak 30, kita bisa membayangkan berapa lama. Jadi, ini semua tersangkut

pada pembangunan institusi tadi itu. Maka organisasi itu sangat penting. Ke tiga, political
resources. Apa kita bisa menghimbau rakyat? Kalau bisa berarti Anda tidak perlu
insentif. Apa pada zaman sekarang Anda bisa melakukan non-price insentif? Saya rasa
agak sulit.
Lebih konkritnya pak?
Jadi sebenarnya, ketiga unsur ini adalah tiga dimensi dan setiap upaya untuk mengatur
tata ruang memerlukan waktu yang lama. Dalam ilmu ekonomi kita tahu kalau segalanya
mengikuti rumus bunga kumulatif. Pertumbuhannya merupakan suatu garis seperti huruf
‘S’. Tidak ada yang melonjak-lonjak lewat garis lurus. Di dalam ilmu ekonomi tidak ada
garis linier. Semua itu dimulai dengan lambat dulu baru kemudian ada semacam
akselerasi. Apabila sudah cocok dari ketiga resources itu, maka akhirnya pasti akan
melambat kembali. Perlambatan itu memang bisa terjadi karena organisasinya sudah
sampai ke batas kemampuan atau memang lahan sudah tidak ada. Sehingga harus pindah

dari yang boros penggunaan lahan ke kegiatan yang semakin intensif penggunaan
lahannya. Dulu, pada 1800, penduduk Jawa masih jarang, sehingga dalam keadaan
semacam itu kita bisa meramalkan kenaikan produksi pangan hanya sekadar dengan
menambah areal. Sekarang hampir tidak mungkin karena tanah harus digunakan
sepanjang tahun. Akan tetapi air yang menjadi persoalan. Jadi pertumbuhan institusi itu
tidak garis lurus, tidak linier, tapi merupakan sebuah huruf ‘S’ tadi. Ada lead time- nya,
ada ketika akselerasi dan ada perlambatannya. Saya khawatir tata ruang kalau tidak dapat
diselesaikan dalam lima tahun, akhirnya tidak bisa sama sekali. Apalagi daerah-daerah
yang dulunya hanya kecamatan tapi sekarang menjadi kabupaten karena pemekaran.
Kemampuan organisasinya, khan, tidak ada. Meskipun diberikan dana dari Jakarta lewat
DAU/DAK atau dana otonomi khusus seperti Papua dan Aceh, tetap kemampuan
organisasinya tidak ada. Apalagi seperti Papua. Kecamatan saja belum ‘jalan’, karena
mereka masih merupakan suku-suku sehingga tidak mudah. Ada kasus yang bagus sekali
yang namanya nagari di Minangkabau, Sumatera Barat. Sayangnya apa yang terjadi pada
sistem sentralisasi, dengan segala eksesnya waktu Orde Baru, beserta prakarsa yang
sering muncul di nagari itu kemudian mati. Karena mereka kemudian merasa, buat apa?
Menggantungkan diri saja ke APBN dari pusat. Jadi kemampuan organisasi itu bisa
berubah-ubah. Kita inginnya bertambah kuat. Tapi di tengah jalan karena perubahanperubahan sistem pemerintahan, malah terjadi kemerosotan bukan peningkatan.
Kelemahannya sebenarnya ada di organization capacity.
Bagaimana pendapat bapak, apakah tata ruang bisa menjadi solusi?

Rencana Tata Ruang yang ada selama ini menurut saya terlalu normatif, lebih seperti
dokumen saja. Kalau kita lihat dalam kegiatan nyata di lapangan, susah sekali jadi acuan.
Dalam hal ini kita harus belajar. Dulu, waktu zaman transisi dari Bung Karno ke Pak
Harto ada program KB. Pembangunan infrastruktur sosialiasi KB diperlukan waktu lebih
dari 10 tahun. Kemudian program Swasembada Beras. Itu juga memerlukan waktu yang
lama. Mulai dari melakukan percontohan, lalu petani-petani yang mulai mengerti mulai
dipekerjakan, selanjutnya dilakukan program pertanian (BIMAS, INMAS). Itu yang saya
maksud. Nampaknya kemampuan kita untuk mengorganisasi – yang sebenarnya pernah

sangat bagus pada program KB maupun, BIMAS, INMAS – sekarang semakin minim.
Karena masyarakat tidak lagi bisa dihimbau, jadi tidak berhasil dengan non-price
insentive. Hampir semua membicarakan insentif dalam bentuk financial resources.
Mungkin karena zamannya sudah berubah.

Jadi menurut Bapak, itu hanya formalitas saja?
Ya, makanya sekarang banyak yang lari ke public private
partnership misalnya. Karena yang punya uang dan kapasitas
berorganisasi itu kebanyakan swasta. Jadi jangan kaget kalau
ada rencana mau membuka sekitar puluhan ribu hektar sawah di
Merauke misalnya. Atau tentang pengurusan air yang tidak lagi
oleh PDAM sendiri tapi juga ditemani oleh swasta. Bahkan
sekarang sudah mulai banyak PDAM yang dilelangkan dengan
mengikutsertakan swasta sebagai investornya. Jadi ke depannya,
tata ruang akan diurus oleh mereka yang memiliki kapasitas
organisasi yang tidak lagi non-price.
Artinya, pak?
Terpaksa Anda berbicara mengenai tarif, atau return on investment. Banyak yang protes
karena yang akan terjadi adalah komersialisasi air. Jadi mengalirkan air ke sawah atau ke
kebun sekarang ada harganya. Air bukan lagi sumber daya alam yang bebas seperti dulu.
Apalagi dengan harga beras yang terus naik. Dan sebagai catatan, hari-hari ini kita
melihat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, harga beras lebih mahal
dari harga bensin premium. Jadi bagaimana tidak terjadi kompetisi di dalam penggunaan
lahan? Maka semua menuntut karena lahan hanya bisa dipakai kalau air dapat dituntut
sesuai dengan kebutuhannya. Dan hal itu menjadi persoalan karena air yang dipakai
untuk taman bunga (cut flower/ buah) misalnya, tidak sama dengan padi dan kebutuhan
lainnya.
Menurut Bapak, adakah solusi alternatif untuk hal-hal tersebut ?
Contohnya sudah banyak. Yang saya perhatikan adalah sistem perpajakan tanah,
misalnya untuk orang yang memiliki lahan tetapi tidak tinggal di situ (absentee level). Di
Taiwan atau Korea, pajak tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pajak yang
dikenakan pada petani yang sungguh- sungguh tinggal di daerah itu. Sehingga tanahnya
dapat dibeli murah oleh pemerintah untuk diberikan kepada petani yang betul-betul
membutuhkan. Pembedaan itu di Indonesia belum dilakukan. Uang pengganti untuk
pemilik lahan kosong tidak seluruhnya berbentuk cash, sebagian juga berbentuk deposito

perbankan, kadang-kadang berupa surat obligasi negara. Ketika orang memerlukan
uangnya, misalkan untuk membuat pabrik, pemerintah kemudian memberikan matching
fund sesuai kebutuhannya. Jadi dia dipaksa menjadi industrialis. Karena itulah industri
kecil banyak muncul di Korea dan Taiwan, sehingga pertanian dan industri (industri
kecil) sama-sama maju. Di Indonesia, tanah adalah komoditas bukan alat produksi.
Seharusnya tanah dipaksa menjadi alat produksi. Kita lihat tanah banyak dipakai sebagai
bahan spekulasi. Mungkin puluhan ribu hektar dibiarkan saja menunggu harganya naik,
tapi selama itu tidak dipakai. Jadi sebetulnya pajak dan subsidi di sektor pertanian, kalau
dilakukan secara baik lewat perhitungan yang baik, dengan sendirinya akan menimbulkan
tata ruang yang teratur. Kenapa? Karena dikelola oleh mereka yang benar- benar
mempunyai kepentingan untuk mengelola tanah itu secara produktif dan itu adalah
petani. Sehingga terjadi komersialisasi untuk keuntungan petani, bukan komersialisasi
yang dikuasai sistem distribusi oleh pedagang monopoli.

Soal tata ruang bisa didekati dari berbagai cara. Salah satunya dengan memberikan
insentif bagi mereka yang bersungguh-sungguh mau menggunakan lahan itu untuk
kegiatan produktif dan bukan untuk spekulasi lewat sistem perpajakan dan subsidi. Hal
itu mulai terjadi di daerah yang dekat dari kota. Seperti kita lihat, tanah di Jakarta sudah
banyak yang beralih fungsi, padahal banyak sekali yang sebetulnya masih bisa digunakan
untuk pertanian karena sistem irigasinya masih baik. Tanah tersebut dibiarkan begitu saja
karena petaninya sudah tidak tinggal di situ lagi. Petani tidak tahan dengan peningkatan
harga kebutuhan pangan akibat ekspansi kota ke tanah pertanian Kalau kita lihat di
Jepang, mengubah penggunaan lahan itu sangat susah. Hal ini karena mereka betul-betul
melihat kemandirian produksi padi sebagai sesuatu yang bersifat strategis di dalam
perekonomian Jepang. Karena itu Jepang sering dijadikan isu di FAO dan forum
internasional karena mereka menutup pasar pangannya, terutama beras sehingga harga
beras mereka jauh lebih tinggi dari harga internasional. Karena pertanian bukan menjadi
kebudayaan lagi, jadi Jepang larinya ke situ. Hal ini dibahas di dalam perundingan WTO.
Di Jepang, tanah itu dicadangkan. Tanah yang dipakai untuk perkotaan dan industri
hanya sekitar 20%. Hal ini juga dilakukan di Singapura. Sepertiga dari Pulau Singapura

adalah watershed, dan mereka membangun deposit air di dalam tanah dari beton (cistern).
Di Jakarta kita punya di Tanjung Priok yang dibuat oleh Belanda.
Menurut Bapak, bagaimana keadaan kota-kota di Indonesia sekarang ini?
Saya tidak tahu berapa lama sustainability kota-kota di Indonesia tanpa air. Sekarang
mulai terlihat, orang-orang yang di hulu semakin sadar bahwa daerah perkotaan
mempunyai kebutuhan air yang semakin meningkat, dan air yang mereka kirim itu dilihat
dari patokan harga sebotol air mineral. Ini, khan terlalu murah. Saya mengantisipasi
bahwa kota-kota atau kabupaten- kabupaten yang di hulu itu akan memasang tarif air
yang dikirim ke Jakarta untuk ledeng sesuai dengan harga komersial yang tadi atas dasar
kelangkaan. Bisa kita bayangkan berapa harganya nanti di Jakarta? Karena pendapatan
mereka dari situ. Jadi kota- kota atau kabupaten-kabupaten yang di hulu, suatu hari akan
betul-betul memanfaatkan ketergantungan kota terhadap air, dengan mempenalti kota
dengan harga komersial. Jadi untuk ke depan dengan otonomi daerah dan pemekaran
kabupaten ini, daerah-daerah yang berada di hulu sumber air itu tidak akan lagi melepas
air semurah seperti sekarang ini dan akan menuju kepada harga kelangkaannya. Maka
seharusnya kota- kota sadar. Seperti kota-kota di Amerika mempunyai reservoir
penampungan air hujan sebagai tempat persediaan air. Jakarta harusnya bisa mempunyai
tempat penampungan-penampungan air hujan (embung) seperti itu. Di kota kita, yang
terjadi justru sebaliknya. Situ- situ yang harusnya diperluas malah ditimbun. Jadi
sustainability kota sangat tergantung kepada manajemen tata ruang. Antara lain karena
tanpa air tidak ada peradaban manusia yang namanya kota. Itu kenapa banyak kota yang
dibangun di pinggir sungai. Jadi kalau saya lihat ke depan, komersialisasi tu sudah tidak
bisa dihentikan. Karena semakin air susah dicari, akan terjadi komersialisasi di situ. Salah
satu contoh adalah Kepulauan Riau dengan teluk-teluk kecil (cove) di setiap pulaunya. Di
teluk itu bisa dibuat DAM, kemudian air lautnya dikeluarkan, tapi bukit yang di
belakangnya tidak boleh ditebang. Jadi kalau hujan, air tawar akan masuk ke dalam teluk
kecil itu, dan lama-kelamaan akan menjadi estuary reservoir. Di Indonesia banyak sekali
kemungkinan seperti itu. Jadi di masa depan, yang akan menjadi persoalan bukan hanya
energi. Sekarang kita membuat kota-kota yang berenergi efisien. Misalnya kita tidak
perlu lagi terlalu sering menggunakan kendaraan bermotor di dalam kota. Hal ini sudah
dilaksanakan di Hongkong dan Singapura, dimana gedung- gedung disambung dengan
jembatan- jembatan yang tertutup dan ber-AC. Coba lihat di Jakarta. Sepanjang Jalan
Thamrin-Sudirman malah memecah Jakarta menjadi dua.
Tidak ada satupun jembatan penghubung, khan? Kalau kita pergi ke Houston atau
Minnesota, semua sudah dibangun seperti itu. Sehingga jika misalnya kita berkantor di
Landmark lalu ingin makan di BNI city. Kita bisa jalan kaki lewat jembatan penghubung
yang indah tadi itu. Dengan demikian penggunaan kendaraan bermotor semakin sedikit.
Atau misalnya kita masuk ke parking lot di daerah Gambir, dengan sistem seperti tadi,
kita bisa jalan kaki lewat jembatan ke mana-mana. Selain efisiensi penggunaan air, kota
pun harus efisien dalam penggunaan energi. Jadi kunci keberlanjutan adalah efisiensi. Ini
baru dua aspek selain penggunaan lahan tadi. Persoalan abad ke-21 adalah 80%
penduduk dunia akan tinggal di kota. Maka ke depannya, perlu banyak imajinasi yang
diimplementasikan. Yang merepotkan adalah banyak orang yang tidak tahu bahwa

imajinasi itu lebih mahal dari knowledge. Yang paling mahal di dunia itu imajinasi,
seperti membuat jembatan penghubung antar gedung tadi. Sebenarnya kita tahu
permasalahannya tapi yang mati adalah imajinasinya. Saya khawatir kalau begini terus
maka kota-kota yang ada di Indonesia menjadi unliveable, bukan hanya un- sustainable:
semakin tidak nyaman sebagai tempat kerja atau tempat tinggal. Sudah ada kota-kota di
dunia yang unliveable, contohnya (hampir saja) Bangkok. Sekarang sudah bagus ada
subway dan monorel di sana. Manila juga. Kalau diperhatikan Jakarta mirip Manila, tapi
saya masih lebih senang di Jakarta. Mexico city, Buenos Aires juga tidak ada
penghubung. Jalan rayanya bisa mencapai delapan sampai 10 lane, tapi akibatnya kota itu
pecah. Yang liveable banyak yang kita contoh, misalnya Bogota. Busway-nya kita
contoh.
Menurut Bapak bagaimana keterkaitan sustainability dengan Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025?
Pembangunan yang direncanakan tanpa peduli terhadap perkembangan yang sungguhsungguh terjadi di masyarakat tidak akan bisa kelar dan terwujud dalam 20 tahun. Hal ini
dikarenakan masyarakat mempunyai dinamismenya sendiri. Saya khawatir, perencanaan
yang dibuat tidak didasarkan pada kenyataan, dan ini banyak terjadi saat ini. Jadi
sebetulnya konsep membangun yang paling bagus itu, meskipun idenya koridor tapi
harus tetap mengikuti apa yang berkembang di lapangan dan masyarakat. Bukan
memaksakan ide baru di atasnya. Kalau membangun di atas wilayah yang tidak ada apaapa akan susah. Sebaiknya harus tetap ada jangkarnya. Contohnya jembatan Balerang
yang dibuat sebagai sebagai penghubung dari Batam ke Rempang dan Galang. Hingga
hari ini, khan, tidak terjadi apa-apa di sana. Demikian juga Lapangan terbang Hang
Nadim. Walaupun landasannya paling panjang di Indonesia, tetap saja tidak bisa
menyaingi Changi. Bahkan kalau kita mau ke Singapura tetap saja naik ferry. Jadi
keberadaan lapangan terbang itu mubazir.
Akan tetapi konsep koridor ekonomi itu, khan, membangun daerah yang sudah
berkembang yang diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan wilayah
sekitarnya?
Memang seperti itu, tapi beberapa saya lihat ada yang dipaksakan. Takutnya akan seperti
seperti KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) yang hingga saat ini tetap
tidak berjalan. Sekarang ini banyak rencana pembangunan yang terlalu visioner dan
mencari-cari, sehingga menjadi tidak realistis. Menurut saya, MP3EI sebagian besar
harus ditinjau kembali dan sebaiknya dilandaskan pada yang ditemui di lapangan. Buat
saya lebih masuk akal, misalnya membangun jalan raya sepanjang Sumatera dengan tiga
jenis kelas jalan. Pertama adalah Tol Road (misalnya dari Tebing Tinggi sampai ke
Binjai). Kemudian ada highway yang dibuat empat lajur (walaupun sekarang baru dibuat
dua jalur), tapi di beberapa tempat ada yang sudah perlu empat jalur. Selanjutnya, ada
jalan biasa yang hanya dua jalur tapi dibuat tiga untuk passing. Jadi kalau itu dibuka
efeknya seperti Northsouth Highway-nya Malaysia. Apalagi kalau disambung dengan
jembatan, misalnya, yang menghubungkan Dumai dengan Johor. Menurut saya dicari

yang benar-benar sudah menunjukkan potensi. Kalau dibuat di daerah yang belum ada
apa- apa, akan sia-sia seperti yang kita sudah lihat Barelang contohnya.
Harapan Bapak ke depan tentang pembangunan wilayah dan perkotaan di
Indonesia?
Pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia harus lebih realistis, karena saya
melihat sebagian besar rencana tata ruang dan city planning di Indonesia itu tidak
berjalan, karena tidak mengikuti dinamika yang sesungguhnya ada di masyarakat. Saya
lebih senang dengan pendekatan ad- on, perubahan-perubahan marjinal, yaitu melakukan
di atas kenyataan yang ada. Jadi pendekatannya lebih kepada bisnis, karena orang bisnis
selalu berpikir pasar harus ada terlebih dahulu. (mem/hd)