Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Debitur untuk Mengetahui Peralihan Piutang T1 312007070 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Alasan Pemilihan Judul
Apakah hukum itu acuh tak acuh dan tidak peduli kepada pihak Debitur,
ketika terjadi peralihan piutang dari Krediturnya, dalam hal ini apabila Kreditur
mengalihkan piutang kepada pihak lain? Pertanyaan inilah yang antara lain telah
menjadi alasan yang menimbulkan rasa ingin tahu dan dengan demikian juga
menjadi alasan yang pertama, mengapa Penulis memilih: “Hak Debitur untuk
Mengetahui Peralihan Piutang”.
Sedangkan alasan yang kedua, mengapa judul skripsi sebagaimana yang
dikemukakan di atas adalah, seperti yang pernah dikemukakan oleh seorang pakar
hukum,1 tugas hakim tidak pernah dapat dipisahkan dari sistem hukum.Artinya
menemukan hukum yang koheren dengan sebuah kasus untuk memutuskan kasus,
membangun argumentasi hukum untuk menjustifikasi putusannya, berdasarkan
sistem hukum.
Melalui penelitian ini dan akhirnya penulisan skripsi kesarjanaan ini,
Penulis hendak memastikan bahwa asas-asas dan kaedah-kaedah yang dirujuk
atau dijadikan referensi oleh hakim-hakim Indonesia di dalam putusanputusannya, antara lain putusan-putusan yang menjadi satuan amatan penelitian
ini koheren atau konsisten dan sistemik sebagaimana pendapat yang telah
dikemukakan oleh Pakar Hukum di atas.


1

KurniaSlamet Titon, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, (PT. Alumni Bandung, 2009), hlm. 73.

1

Sedangkan alasan yang ketiga, mengapa Penulis memilih judul
sebagaimana dikemukakan di atas adalah adanya perbedaan pandangan dalam
menilai praktek peralihan piutang yang dilakukan oleh Bank.Perbedaan
pandangan tersebut dapat dilihat dalam rangkaian putusan pengadilan yang
berujung pada Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dengan nomor registrasi
700/PDT/1998/PT.SBY tertanggal 11 Februari 1999.
Adapun kasus posisi dari perkara dalam Putusan tersebut di atas adalah
sebagai berikut.Ny.Hanny Natali adalah nasabah atau dalam judul Penelitian ini
disebut dengan istilah Debitur dari PT. Bank Umum Majapahit (Bank Majapahit)
Cabang Surabaya.Ny. Hanny Natali meminjam uang di Krediturnya yaitu Bank
Majapahit atas namanya sendiri, yaitu Ny. Hanny Natali. Untuk memberi rasa
aman kepada Krediturnya, sesuai tuntutan hukum (the dictate of law) kredit Ny.
Hanny Natali tersebut diikat dengan jaminan benda tetap, dalam hal ini sejumlah

bidang tanah. Ketika pinjaman Ny. Hanny Natali itu dilakukan, waktu itu diikat
dengan hipotek2.
Pada suatu ketika, PT. Bank Majapahit mengalami permasalahan
likuiditas. Pihak Management Bank Majapahit kemudian memutuskan untuk
menjual asset Bank itu dalam bentuk kredit kepada Bank lain dengan prinsip
novasi subyektif aktif.

2

Saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

2

Dalam hal ini yang dimaksud dengan novasi subyektif aktif adalah yang
diperbaharui subyek Kreditur yang sebelumnya Bank Majapahit, diperbaharui ke
Bank Lippo3.
Pihak dalam peralihan piutang itu adalah Bank Majapahit, menerima
peralihan piutangDebitur Ny. Hanny Natali.Peralihan piutang dari Kreditur (Bank
Majapahit) ke Bank Lippo sebagai pihak Kreditur baru itu kemudian dituangkan

dalam Akta nomor 119 tanggal 28 Oktober 1992.Akta tersebut dibuat di hadapan
Notaris Rini Soemantapoera, SH.
Bank Lippo sebagai Kreditur baru, pada bulan Juli 1993 menagih
Debiturnya Ny. Hanny Natali untuk melunasi utangnya kepada Bank Lippo.
Debitur Ny. Hanny Natali menolak membayar utang yang ditagih Bank Lippo.
Adapun alasan-alasan mengapa si Debitur itu menolak melakukan
pembayaran kredit yang si Debitur yakini dipinjam dari Bank Majapahit dan
bukan dari Bank yang lain itu adalah Debitur Ny. Hanny Natali tidak diberitahu
adanya akta peralihan piutang No. 119 antara Bank Majapahit dan Bank Lippo.
Menurut Debitur Ny. Hanny Natali, ia tidak mengetahui berapa utang yang dijual
kepada Bank Lippo.Hal ini juga dirasakan merugikan Ny. Hanny Natali.Akta
nomor 119 tanggal 28 Oktober 1992 tersebut oleh Pengadilan belakangan
dinyatakan tidak sah.
Debitur Ny. Hanny Natali berpendirian bahwa menurut Pasal 4 akta
dimaksud, pihak Bank Majapahit dibebankan kewajiban kontraktual berupa
pemberitahuan kepada Debitur tentang beberapa jumlah utang Debitur.

3

Subekti, Hukum Perjanjian, (PT. Intermasa,Jakarta, 2010), hlm. 70.


3

Namun belum dilaksanakan hingga saat gugatan diajukan oleh Kreditur
Bank Majapahit tersebut.
Pihak Bank Lippo yang merasa dirugikan atas tindakan si Debitur, dalam
hal ini Ny. Hanny Natali, kemudian menggugat Ny. Hanny Natali ke Pengadilan.
Pihak Bank Lippo yang merasa sebagai Kreditur baru yang sah mengajukan
gugatan kepada Pengadilan agar supaya pihak Bank Lippo dapatmeminta
Pengadilan untuk melakukan eksekusi atas grosse akte Hipotek yang menjamin
utang Debitur kepada Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor registrasi
296/pdt.G/1995/PN Surabaya.
Debitur Ny. Hanny Natali menolak eksekusi grosse Akta Hipotek dan
kemudian melakukan perlawanan.Disamping itu,Ny. Hanny Natali kemudian
mengajukan gugatan perdata kepada Bank Majapahit sebagai tergugat I dan Bank
Lippo sebagai tergugat II dengan nomor registrasi 322/pdt G/1995/PN Surabaya.
Hakim Pengadilan Negeri menerima eksepsi yang diajukan oleh Bank
Lippo sebagai tergugat II serta memutuskan bahwa gugatan Ny. Hanny Natali
tidak dapat diterima.
Adapun dasar pertimbangan para hakim dalam kasus ini adalah bahwa

gugatan Ny. Hanny Natali yang tercatat dalam registrasi nomor 322/Pdt
G/1995/PN Surabaya adalah sama isinya dengan “gugatan perlawanan” yang
diajukan oleh Ny. Hanny Natali terhadap gugatan Bank Lippo nomor
296/Pdt.G/1995/PN Surabaya.
Dengan mendasarkan diri kepada putusan Mahkamah Agung No.
145.K/Sip/167 tanggal 6 Desember 1965 bahwa oleh karena pihak-pihak yang

4

berperkara serta barang yang disengketakan sama, maka perkara yang demikian
ini adalah Ne bis in Idem.
Namun demikian, Majelis hakim Banding di dalam putusannya
menyatakannya tidak sependapat dengan pertimbangan hukum dan putusan
pengadilan Negeri dengan alasan hukum sebagai berikut, yaitu bahwa eksepsi
yang diajukan oleh Bank Lippo, seharusnya ditolak oleh Pengadilan Negeri.
Menurut para hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut, perkara
nomor 296/Pdt.G/1995/PN Surabaya yang diajukan dan diputus terlebih dahulu
masih belum berkekuatan hukum tetap.Majelis hakim di Pengadilan Tinggi
Surabaya juga berpendapat bahwa dalam perkara itu para pihak ternyata berbeda
dengan perkara gugatan nomor 322/Pdt G/1995/PN Surabaya. Atas dasar itu

Majelis hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa gugatan ini bukan Ne bis in
Idem.
Para hakim juga berpendapat bahwa Bank Majapahit sebagai Kreditur
Lama tidakbolehbegitu saja mengalihkan tagihannya kepada Bank Lippo tanpa
adanya persetujuan dari Debitur. Namun, mengingat pengalihan tagihannya
kepada Bank Lippo tanpa adanya persetujuan dari Debitur, maka tindakan Bank
Majpahit yang mengalihkan piutangnya tersebut merupakan perbuatan ingkar janji
(wanprestasi) yang melanggar Akta nomor 119 tanggal 28 Oktober 1992. Akta
dimaksud memuat kewajiban pemberitahuan kepada Debitur tentang berapa
jumlah utang Debitur.
Selain itu Bank Majapahit mempunyai kesempatan untuk mengajukan
kredit ke Bank Indonesia untuk memberikan kredit bagi Bank yang dianggap

5

bermasalah selama 90 (sembilan puluh) hari. Namun, upaya hukum itu rupanya
tidak nampak dalam proses ini4.
Dalam Undang-Undang Perbankan tidak diatur tentang hak Debitur untuk
mengetahui peralihan piutang.Namun, secara eksplisit diatur tentang upaya
Perbankan dalam mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi jika sistem

Perbankan tidak terdukung untuk berjalan normal.
Tindakan pengalihan tagihan dalam kasus tersebut di atas adalah perbuatan
wanprestasi.Oleh sebab itu Majelis hakim Pengadilan Tinggi Surabaya
berpendapat bahwa grosse akta hipotek dan sertifikat hipoteknya pun tidak dapat
dibenarkan

menurut

hukum.Dengan

demikian,

Majelis

Hakim

Banding

berpendapat bahwa semua grosse akta hipotek tersebut tidak dapat dilaksanakan
atau dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR.

Akhirnya, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jawa Timur
memberikan putusan supaya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya.
Para hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya mengabulkan gugatan Ny. Hanny
Natali untuk seluruhnya.
Para hakim juga menyatakan sebagai hukum bahwa Bank Majapahit
wanprestasi atau cidra janji. Menurut para hakim tersebut, Bank Majapahit telah
melanggar pasal 4 akta Notaris nomor 119 tanggal 28 Oktober 1992.Hakim-hakim
dimaksud juga menyatakan sebagai hukum bahwa pemasangan hipotek dari
grosse akta hipotek adalah tidak sah menurut hukum.

4

Pasal 11 Ayat (1) UU NO.3 tahun 2004 joUndang-Undang No.2 tahun 2008 joUndang-Undang
No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.

6

Atas dasar itu juga, para hakim tersebut kemudian menetapkan semua
grosse akta hipotek tersebut tidak dapat dilaksanakan dan mengikat Ny. Hanny
Natali karena batal demi hukum5atau dalam bahasa Ilmu hukum yang lebih

sofisticated atau canggih disebut null and void.
Atas putusan itu, Sutan Remy Sjahdeniberpendapat bahwa putusan
Pengadilan Tinggi itu ternyata keliru. Mestinya, menurut pendapat tersebut, pihak
Debitur tidak perlu diberitahu, atau dalam konsep Judul Penulis, tidak mempunyai
hak untuk mengetahui peralihan piutang dari Kreditur Bank Majapahit kepada
Bank Lippo tersebut di atas. Benarkah pendapat seperti itu?Hal itu jugalah yang
menyebabkan Penulis tertarik untuk melakukan Penelitian dengan judul
sebagaimana telah dikemukakan di atas.

1.2.Latar Belakang Masalah
Adapun hal yang melatarbelakangi Penelitian dengan judul sebagaimana
telah Penulis kemukakan di atas adalah bahwa apabila diperhatikan dengan
saksama, Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
mengenal dua lembaga hukum yang dapat mengakomodir peralihan piutang yaitu
subrogasi dan Cessie.
Subrogasi menurut perumusan dalamPasal 1400 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu pengalihan hak-hak dari Kreditur
5

Dalam konteks perjanjian utang piutang, baik untuk tujuan perdagangan maupun (kredit), bisanya

pengalihan hak kebendaan (tak bertubuh) tersebut dilakukan untuk tujuan pemberian jaminan atas
pelunasan utang.Dalam konteks ini, isi cessie yang bersangkutan sedikit berbeda dengan isi akta
cessie biasa.Akta cessie yang bersifat khusus ini dibuat dengan pengaturan adanya syarat
batal.Artinya, akta cessieakan berakhir dengan lunasnya utang/pinjaman si berutang.Sementara
akta cessie biasa dibuat untuk tujuan pengalihan secara jual putus (outright) tanpa adanya syarat
batal, sehingga Kreditur wajib memberitahukan kepada Debitur.

7

kepada seorang pihak ketiga.Pihak ketiga itu membayar kepada Kreditur,
pembayaran oleh pihak ketiga tersebut dapat terjadi karena kontrak ataupun
terjadi karena Undang-Undang6, yang menurut Jeferson Kameo SH; LLM;
Ph.D,baik itu terjadi karena kontrak maupun karena Undang-Undang tetap terjadi
oleh kontrak.
Lebih lanjut, di dalamPasal 1400 KUHPerdata menentukan bahwa
pergantian kedudukan sebagai Kreditur yang terjadi dengan persetujuan Debitur,
apabila pihak Kreditur menerima pembayaran dari seseorang pihak ketiga, maka
orang yang menggantikan Kreditur semula tersebut menggantikan hak-haknya,
gugatan-gugatannya, hak-hak istimewanya dan hipotek-hipoteknya yang dipunyai
terhadap (against) pihak Debitur dan dalam kasus di atas adalah terhadap

(against) pihak Ny. Hanny Natali.
Sedangkan background lainnya adalah bahwa yang merupakan unsurunsur yuridis dari pengertian subrogasi tersebut adalah bahwa dalam subrogasi,
inisiatif untuk melakukan peralihan piutang datang dari pihak Kreditur.Dalam
subrogasi ada pembayaran utang oleh Debitur kepada Kreditur lama.Pembayaran
utang tersebut dilakukan oleh pihak ketiga (Kreditur baru). Subrogasi dinyatakan
secara tegas (expressed) serta dilakukan tepat pada waktu pembayaran7.
Salah satu akibat hukum yang penting dengan adanya subrogasi adalah
Kreditur baru menempati kedudukan sebagai Kreditur lama. Dengan ditempatinya
kedudukan Kreditur lama oleh Kreditur baru tersebut maka pihak Kreditur baru
6

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Sinar Grafika: Jakarta), 2007, hlm.
332.
7

Uraian yang lebih lengkap mengenai halaman ini dapat dilihat dalam Bab II tentang Tinjauan
Kepustakaan, infra, 16.

8

dapat menagih piutangnya dari pihak Debitur, sepanjang pergantian kedudukan itu
sah, antara lain misalnya dengan terlebih dahulu telah diketahui oleh Debitur.
Pada subrogasi tidak ada kewajiban dari Kreditur untuk memberitahukan
kepada Debitur tentang adanya pergantian kedudukan dimaksud apalagi
pengakuan atau persetujuan dari Debitur8.
Namun, ada cara kedua yang dapat mengakomodir peralihan piutang, yaitu
cessie. Cessie adalah suatu pengalihan piutang (atas nama) terhadap utang Debitur
dari Kreditur lama kepada Kreditur baru.Dengan cara yang diatur oleh UndangUndang yakni dengan jalan membuat akta Cessie. Akta cessie dapat berupa akta
otentik

maupun

suatu

akta

di

bawah

tangan.Dalam

cessie,

hukum

mewajibkankepada pihak Kreditur untuk memberitahukan kepada Debitur atau
secara tertulis disetujui dan diakui oleh Debitur.
Dilihat dari pengertian tersebut,Cessie mempunyai elemen-elemen yuridis
yaitu adanya pihak cedent (Kreditur lama), adanya pihak cessus (Debitur), adanya
piutang/tagihan dengan tittle yang sah, adanya pengalihan piutang, adanya akta
cessie serta adanya pemberitahuan kepada pihak cessus atau adanya persetujuan
dan pengakuan tertulis dari cessus. Menurut pendapat Penulis pada prinsipnya
setiap peralihan piutang di mana ada bersangkut dengan hak-hak Debitur atau
benda jaminan, maka setiap peralihan baik itu dengan cara subrogasi atau cessie
harus memperoleh persetujuan dari Debitur. Hal seperti ini adalah prinsip hukum
(legal principle) yang fundamental dan harus dipatuhi (obidient) oleh siapa saja.

8

Pandangan berbeda itu bertentangan dengan kenyataan dalam putusan Pengadilan Tinggi
Surabaya yang menjadi satuan amatan Penelitian ini.Perlu Penulis tambahkan bahwa putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya adalah hukum yang berlaku bagi para pihak dalam putusan tersebut.

9

KUHPerdata mensyaratkan agar cessie diberitahukan (berkening) kepada
pihak cessus atau adanya persetujuan dan pengakuan tertulis dari cessus.Namun
demikian, tidak dipenuhinya syarat pemberitahuan (transparansi) dimaksud tidak
sampai mengakibatkan gagalnya tindakan cessie tersebut9.
Dalam hal ini cessie tersebut tetap sah dan mengikat secara hukum.Hanya
saja tindakan hukum (cessie) tidak berpengaruh/mempunyai akibat hukum kepada
Debitur. Hal ini sesuai dengan Pasal 1613 Ayat (2) KUHPerdata Indonesia yang
di dalamnya dirumuskan bahwa
“penyerahan demikian bagi si berutang tidak ada akibatnya. Melainkan
setelah penyerahan itu secara resmi diberitahukan kepadanya (betekde)
atau secara tertulis disetujui dan diakuinya”10.

Unsur yang perlu diperhatikan adalah adanya pemberitahuan secara resmi
(tertulis) kepada Debitur untuk diketahui.Dalam unsur tersebut mengandung
makna bahwa pemberitahuan Kreditur tentang pengalihan piutang kepada pihak
ketiga dapat dilakukan dengan bukti yang otentik berupa surat pemberitahuan
kepada Debitur yang kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk diketahui
oleh pihak Debitur, sebelum terjadinya suatu peralihan piutang dari Kreditur lama
kepada pihak Kreditur yang baru.
Dari uraian subrogasi dan cessie tersebut diatas, ada satu hal penting yang
merupakan persamaan dari kedua lembaga hukum dimaksud, yaitu peralihan
piutang pada subrogasi dan cessie didasarkan atas tindakan sepihak dari Kreditur
tanpa diperlukannya campur tangan dari pihak Debitur, hanya saja, menurut
9

Karya tulis kesarjanaan ini disusun dengan suatu ideal bahwa pandangan-pandangan yang
bertentangan dengan hukum perlu diluruskan.
10

Pasal 1613 Ayat (2) KUHPerdata Indonesia.Disetujui dan diakui oleh pihak Debitur.

10

hukum, perlu diketahui peralihan piutang dari Kreditur lama kepada Kreditur baru
serta persetujuan atas peralihan piutang yang di dalamnya terdapat hak-hak
Debitur atas benda jaminan juga adalah tindakan sepihak yang wajib diberikan
oleh pihak Debitur, maka, kewajiban tersebut hanya berupa pemberitahuan,
namun demikian tidak dipenuhinya kewajiban pemberitahuan itu pun tidak sampai
membatalkan cessie yang dimaksud. Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
subrogasi maupun cessie tersebut tidak mengikat pihak Debitur, apabila tidak
diketahui dan diakui oleh Pihak Debitur11.
Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuat perjanjian tersebut, lebih lanjut ditentukan pula pada Pasal 1340
KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi pihak yang
membuatnya12.
Seharusnya memperhatikan kedua asas hukum di atas sertifikat hipotek
dan grosse akta hipoteknya pun dapat dibenarkan menurut hukum serta dapat
dilaksanakan atau dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR.Namun tidak berlaku
bagi

pihak

Debitur

yang

belum

diberitahukan

dan

memberikan

persetujuan.Karena, menurut ketentuan pasal 1533 KUHPerdata pengalihan suatu
piutang

meliputi

pula

11

Lihat, catatan kaki No.9, supra.

12

Op.Cit , hlm. 332.

segala

sesuatu

yang

melekat

padanya,

seperti

11

penanggungan, hak istimewa dan hipotek-hipotek13, yang menurut hukum wajib
diketahui oleh pihak Debitur.

1.3.Rumusan Masalah
Memperhatikan alasan-alasan pemilihan Judul dan Latar Belakang
permasalahan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, berikut ini rumusan
permasalahan yang mengarahkan penelitian ini dan juga pada akhirnya karya tulis
skripsi kesarjanaan dari Penulis ini yaitu:ApakahDebitur mempunyai hak untuk
mengetahui peralihan piutang?

1.4.Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan dari penelitian dan pada akhirnya tujuan dari penulisan
skripsi kesarjanan ini adalah: Untuk mengetahui, apakah Debitur mempunyai hak
untuk mengetahui peralihan piutang.

1.5.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum. Penelitian ini bermaksud tidak ada lain kecuali mencari dan menemukan
prinsip-prinsip atau asas-asas dan kaedah-kaedah dalam suatu sistem hukum yang
mengatur para pihak yang terlibat di dalam perhubungan hukum atau perikatan di
13

Perlu Penulis informasikan di sini bahwa suatu ketika tulisan ini dibuat, institusi hipotek telah
ditangalkan “bajunya” atau “kulitnya”, namun pada prinsipnya institusi hukum itu tetap eksis
dalam “kulit” baru yang terdapat dalam Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas tanah peserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Namun menurut pasal 3
ayat (2), (3) Undang-Undang No. 42 tahun 1999, institusi hipotek masih berlaku, misalnya
terhadap Kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 m3 atau lebih serta hipotek atau
pesawat terbang.

12

mana hak-hak Debitur perlu diperhatikan, ketika terjadi suatu peralihan piutang,
atau peralihan hak untuk menagih utang yang dimiliki oleh seorang Kreditur lama
atas Debiturnya kepada Kreditur baru.
Adapun satuan amatan dari penelitian ini adalah: (1) Putusan Pengadilan
Negeri Surabaya dengan nomor registrasi 296/Pdt.G/1995/PN Surabaya, (2)
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor registrasi 32/Pdt G/1999/PN
Surabaya,

(3)

Putusan

Pengadilan

Tinggi

Surabaya

nomor

registrasi

700/PDT/1998/PT.SBY.
Putusan ini menjadi titik perhatian Peneliti dalam penelitian ini dan pada
akhirnya penulisan skripsi kesarjanaan Penulis ini.Di samping putusan-putusan
pengadilan yang disebutkan di atas, Penulis juga melakukan pengamatan terhadap
beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan hak
Debitur untuk mengetahui peralihan piutang yaitu: Kitab Undang-Undang hukum
perdata dan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 jo Undang-Undang No. 23 tahun
1999 joUndang-Undang No. 3 tahun 2004 jo Undang-Undang No. 2 tahun 2008
Jo Undang-Undang No. 6 tahun 2009 tentang Bank Indonesia.
Berkaitan dengan permasalahan benda jaminan milik Debitur yang telah
dihipotekkan, sementara hipotek telah digantikan dengan hak tanggungan maka
suatu studi perbandingan dengan satuan amatan undang-undang No. 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda yang berkaitan dengan
Tanah juga akan menjadi perhatian penelitian ini.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah meguraikan apakah hak Debitur
untuk megetahui peralihan piutang.

13