PENGEMBANGAN PAKET POLA BIMBINGAN PENINGKATAN EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIENT (ESQ) ANAK.

(1)

PENGEMBANGAN PAKET POLA BIMBINGAN PENINGKATAN

EMOTIONAL SPIRITUAL QUOTIENT (ESQ) ANAK

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

ARDHA WARDHANI NIM. B53212070

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Ardha Wardhani (B53212070), Pengembangan Paket Pelatihan Pola Bimbingan Peningkatan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Anak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Bagaimana Bentuk Paket Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak? (2) Bagaimana Proses Pelaksanaan Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak? (3) Bagaimana Evaluasi, Refleksi, dan Rekomendasi Para Guru TK Setelah Melakukan Pelatihan Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak? (4) Bagaimana Hasil Uji Kelayakan Paket yang Sesuai dengan Ketepatan, Kelayakan dan Kegunaan?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian

Research & Development, jenis penelitian pengembangan. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang tim uji ahli dan enam orang guru di 3 Taman Kanak-kanak (TK) yang berada di kecamatan Wonocolo, Surabaya. Dua orang di

TK “Unggulan” An-Nur, dua orang di TK Aisyiyah Bustanul Athfal 13, dan dua orang di TK Muslimat. Data yang digunakan untuk menganalisa adalah data hasil angket, wawancara dan observasi berupa evaluasi, refleksi, dan rekomendasi yang disajikan dalam bab hasil paparan penelitian pengembangan.

Bentuk paket terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan panduan, bagian kedua membahas isi paket, dan bagian ketiga berisi evaluasi, refleksi dan rekomendasi dari para uji ahli dan para guru. Pada proses penelitian, peneliti memberikan produk (buku paket) kepada para guru TK dengan menjelaskan secara singkat prosedur pelaksanaannya kemudian meminta guru untuk mempraktekkan kegiatan yang ada di dalam buku paket. Setelah guru mempraktekkan isi buku, para guru diminta untuk memberikan komentar, kritik dan saran untuk perbaikan buku.

Beberapa guru mengatakan bahwa produk yang dibuat peneliti sangat baik dan bermanfaat bagi guru. Namun, beberapa guru menganggap bahwa bahasa yang digunakan dalam buku paket agak sulit dipahami, terlalu banyak prosedur, dan gambar yang disajikan kurang hidup. Adapun rekomendasi yang berikan, yaitu: guru membutuhkan bimbingan sebelum mempraktekkan sendiri, mengganti gambar agar lebih hidup, produk bisa dijadikan buku pegangan bagi para guru dan orang tua dalam mendidik anak tetapi bahasanya dipermudah agar pembaca mudah memahami.

Berdasarkan hasil skoring data nilai angket tim uji ahli tentang ketepatan, kelayakan, dan kegunaan diperoleh hasil akhir 81%, sehingga paket yang dirancang memenuhi standar uji dengan kategori sangat tepat. Selanjutnya, berdasarkan data para guru TK, hasil akhir yang diperoleh 71%, sehingga paket yang dirancang memenuhi standar uji dengan kategori tepat.


(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id x

DAFTAR ISI

JUDUL PENELITIAN ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Spesifikasi Produk ... 9

F. Keterbatasan Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik ... 17

1. Pola Bimbingan ... 17

2. Karakteristik Perkembangan Emosi dan Spiritual Anak ... 23

a. Perkembangan Emosi ... 23

b. Perkembangan Spiritual ... 26

3. Konsep Kecerdasan Emosi dan Spiritual ... 32

a. Pengertian Kecerdasan ... 32

b. Kecerdasan Emosional ... 34

c. Kecerdasan Spiritual ... 38

4. Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak ... 40

B. Penelitian terdahulu yang Relefan ... 48

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 54

B. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 55

C. Teknik pengumpulan data ... 57

D. Prosedur Penelitian dan Pengembangan ... 59

1. Teknik Penelitian ... 59


(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xi

BAB IV PAPARAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN

A. Deskripsi Produk ... 64

B. Proses Pelaksanaan ... 67

C. Evaluasi, Refleksi dan Rekomendasi ... 70

D. Hasil Uji Kelayakan ... 77

E. Analisis Data ... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id xii

DAFTAR TABEL

1.1. Spesifikasi Produk ... 10

2.1. Perkembangan Emosi Anak ... 26

2.2. Perkembangan Spiritual Anak menurut Zakiyah Darojah ... 28

2.3 Perkembangan Spiritual Anak menurut Sururin ... 30

2.4 Perkembangan Spiritual Anak menurut Elkind ... 30

2.5. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi ... 37

2.3. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi ... 35

4.1. Skoring Tim Uji Ahli ... 78

4.2 Skoring Kelompok Terbatas ... 78

4.3. Rancangan Produk ... 82

4.4. Revisi Rancangan Produk ... 84

4.5. Refleksi ... 89


(9)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xiii

DAFTAR BAGAN


(10)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id xiv

DAFTAR GAMBAR

4.1. Rancangan Desain Cover Produk ... 82 4.2. Revisi Desain Cover Produk ... 83


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan. Saat dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain1. Setiap masa memiliki tugas perkembangan. Hal ini menjadi dasar panduan pendidikan sekaligus sarana untuk mengetahui tingkat perkembangan anak. Memperhatikan tugas perkembangan anak artinya menyiapkan anak untuk belajar, baik tentang akhlak maupun akademik dan juga sebagai sarana menyiapkan anak untuk memiliki berbagai keterampilan hidup (pemahaman diri, pertimbangan nilai, pengelolaan emosi, penyelesaian masalah, dan interaksi sosial)2.

Masa anak usia dini memiliki karakteristik yang khas, baik secara fisik, psikis, sosial, moral, spiritual, maupun emosional. Anak usia dini merupakan masa yang paling tepat untuk membentuk pondasi dan dasar kepribadian yang menentukan pengalaman selanjutnya. Sejak permulaan pengasuhan hingga usia 7 tahun sangat penting untuk memperhatikan pertumbuhan jasmani, akal, dan kejiwaan anak3.

1

Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: erlangga, tt), hal.108

2

Ani Christina, Parenting Guide; Panduan Pendampingan Anak Usia Pra Sekolah,

(Sidoarjo: Filla Press, 2014), hal.34

3

Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk, Cara Islam Mendidik Anak, (Yogyakarta: Ad-Dawa, 2006), hal.15


(12)

Selama ini banyak anak yang pandai secara intelektual, tapi gagal secara emosional. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa saat ini banyak terjadi tawuran, penyalahgunaan narkoba, kenakalan remaja, bahkan tindak kriminal. Sebenarnya banyak anak yang pandai tetapi karena emosinya sulit dikendalikan, anak mudah terpengaruh lingkungan untuk melampiaskan kekesalan dan kemarahan.

Berdasarkan hasil survey di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang Intellectual Quotient (IQ) ditemukan bahwa jika skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosional mereka justru menurun. Apabila dicermati, anak-anak sekarang lebih sering mengalami masalah emosi. Anak-anak-anak seperti tumbuh dalam kesepian dan depresi. Mereka lebih mudah stress, lebih mudah marah, lebih sulit diatur, lebih gugup, mudah terpengaruh dan cenderung sering cemas serta agresif.4

Pakar pendidikan Indonesia, Arief Rahman, pernah mengatakan bahwa anak butuh akhak dan watak. Beliau melihat pendidikan di Indonesia secara umum hanya menekankan aspek kognitif (pikiran, akademis), hal-hal yang sifatnya terukur saja. Sementara itu, soal akhlak dan watak serta hal yang lain yang tidak terukur boleh dibilang ditelantarkan5.

Oleh karena itu, memahami anak usia dini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Melalui pemahaman tersebut akan sangat membantu mengembangkan mereka secara optimal sehingga kelak menjadi

4

Agus Sunyoto, Dahsyatnya Hypnoparenting, (Jakarta: Penebar Plus, 2010), hal.71

5

Asef Umar Fakhruddin, Terapan Quantum Learning untuk Keluarga, (Yogyakarta: Laksana, 2011), hal.303


(13)

3

generasi unggul yang siap memasuki era globalisasi yang penuh dengan berbagai macam tantangan dan permasalahan yang semakin rumit dan kompleks6.

Dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 tertulis bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut7

Anak sangat membutuhkan pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan intelektual tapi juga kecerdasan emosional dan spiritualnya karena anak yang baik, berakhlak, dan berbudi pekerti tidak turun dari langit, tetapi diciptakan atau dididik8.

Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi agar anak mampu merespon secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi9. Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah kemampuan untuk menyadari keberadaan Tuhan, dimanapun dan kapan pun.10

Kecerdasan spiritual merupakan pusat dari kecerdasan emosional dan intelektual. Kecerdasan spiritual diyakini merupakan salah satu faktor penentu

6

Mulyasa, Manajemen Paud, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2012), hal.40-41

7

Mukhtaf Latif, dkk, Orientasi Baru Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2013), hal. 26

8

Jarot Wijanarko, Mendidik Anak untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional dan Spirtual,

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 1

9

Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 60

10


(14)

utama kesuksesan dan keberhasilan seseorang. Kecerdasan emosional dan intelektual pun akan berfungsi secara baik serta efektif jika dikendalikan oleh kecerdasan spiritual11. Adapun ESQ adalah sinergi dan harmonisasi antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual12

.

Prinsip kecerdasan ruhaniah yang paling dasar, bahwa manusia adalah makhluk ruhaniah yang terus tumbuh. Jalaluddin Rumi menyimpulkan tugas meningkatkan kecerdasan ruhaniah ini dengan salah satu penggalan puisinya

“kamu dianugrahi Tuhan sepasang sayap, mengapa kamu di bumi terus

merayap”. Teilhard de Chardin berkata “We are not human beings having

spiritual experience, we are spiritual beings having human experience”. Kita bukan manusia yang punya pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang punya pengalaman yang manusiawi13. Demikian juga, anak-anak adalah makhluk spiritual.14

Agama Islam mengamanatkan pemeliharaan yang sempurna terhadap anak dan menekankan pemeliharaan tersebut dengan kadar yang tinggi. Perlindungan dan pengasuhan anak adalah sebuah kewajiban dan meninggalkannya akan membahayakan anak15. Islam menganggap pendidikan sebagai kebutuhan hidup dan kewajiban syariat, demi mempersiapkan pribadi, keluarga, dan masyarakat yang shaleh16.

11

Agus Sunyoto, Dahsyatnya Hypnoparenting, (Jakarta: Penebar Plus, 2010), hal.72

12

Muhammad Muhyidin, Manajemen ESQ Power, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hal. 94

13

Jalaluddin Rakhmat, SQ For Kisd: Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak sejak Dini,((Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), hal. 26

14

Mimi Doe, Marsha Walch, 10 Prinsip Spiritual Parenting, (Bandung: Kaifa, 2001), h.19

15

Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk, Cara Islam Mendidik Anak, (Yogyakarta: Ad-Dawa, 2006), hal. 87

16

Jamal Abdul Hadi, Ali Ahmad Laban, Samiyah Ali Laban, Menuntun Buah Hati Menuju Surga, (Solo: PT Era Adicitra Intermedia, 2011), hal. vi


(15)

5

Pendidikan anak usia dini pada hakikatnya ialah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk menfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada perkembangan seluruh aspek kepribadian anak. Secara institusional dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi motorik, kecerdasan emosi, kecerdasan jamak, maupun kecerdasan spiritual.17

Selain orang tua, anak juga membutuhkan sosok guru sebagai pengajar, pembimbing, sekaligus pengasuh sebagai pengganti orang tua. Orang tua hendaknya memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan yang baik secara sarana maupun kualitas dari para pengajarnya. Karena jika lembaga pendidikan memiliki kualitas yang baik maka dalam proses pendidikan anak juga berjalan dengan baik sehingga perkembangan kecerdasan anak akan tumbuh dengan maksimal18.

Ibarat hendak menjahitkan kain celana kepada salah seorang penjahit, kita akan menimbang kualitas kain dengan kemampuan penjahitnya. Semakin baik kualitas kain tersebut, kita akan memilih penjahit yang juga semakin baik walau dengan harga yang lebih mahal. Demikian halnya jika ingin memasukkan anak ke sebuah sekolah19.

17

Suyadi dan Maulida Ulfah, Konsep Dasar Paud, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2013), hal. 17

18

Abdul Kadir, Rahasia Tipe-Tipe Kepribadian Anak; Cara Mendidik Anak dan Menggali Potensi Anak dari Tipe-Tipe Kepribadiannya, (Yogyakarta: Diva Press, 2015), hal. 12

19

Miftahul Jinan, Smart Parents for Smart Students, (Jakarta: Progressio Publishing, 2012), hal. 118


(16)

Semua lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang baik. Namun, sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh bimbingan dan metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri20.

Mendidik dan membimbing anak adalah bentuk pekerjaan yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Dalam praktek mendidik anak, tidak semua guru mampu mendidik anak dengan pola, metode atau cara yang baik dan benar. Terkadang terdapat sebuah kesalahan dalam proses mendidik anak.

Diantara kesalahan yang dilakukan oleh guru dalam mendidik yaitu perbuatan yang tidak sesuai dengan ucapan, terlalu patuh pada anak, terlalu obral janji, membeda-bedakan dalam berinteraksi dengan anak, ketidakmengertian guru dalam merespon kesalahan anak, tidak menyikapi kesalahan anak dengan penuh kesabaran, tidak melibatkan anak dalam menetapkan peraturan, tidak memperdulikan karakter masing-masing anak, membandingkan anak dengan orang lain21. Hal ini bisa terjadi karena guru yang lebih mengedepankan peningkatan kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional spiritual sehingga guru mendidik anak agar menjadi pintar saja.

20

Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orangtua dalam Mendidik Anak Muslim, (Jakarta: Dan Idea, 2014), hal. 20

21

Sulistyowati Khairu, Kesalahan Fatal Orangtua dalam Mendidik Anak Muslim, (Jakarta: Dan Idea, 2014), hal 53-95


(17)

7

Mengingat di zaman sekarang kecerdasan intelektual atau IQ semakin dibangga-banggakan sehingga kecerdasan emosional spiritual (ESQ) seakan terlupakan dan kurang diperhatikan, maka peneliti merasa sangat penting adanya pengembangan sebuah pola bimbingan/pendidikan berupa metode pembelajaran dalam rangka meningkatkan ESQ anak. Peneliti kemudian berusaha merancang sebuah produk yang cocok diimplementasikan para guru TK, melalui penelitian dan pengembangan dengan judul “Pengembangan Paket Pelatihan : Pola Bimbingan Peningkatan Emotional Spiritual Qoutient (ESQ) Anak”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka penting adanya sebuah buku paket yang bisa dijadikan panduan bagi guru TK sebagai upaya peningkatan ESQ anak. Oleh karena itu, permasalahan penelitian difokuskan pada upaya untuk menyusun paket pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak.

Adapun rumusan masalah secara rinci dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk paket pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak? 2. Bagaimana proses pelaksanaan pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ

anak?

3. Bagaimana evaluasi, refleksi dan rekomendasi para guru TK setelah melakukan pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak?

4. Bagaimana hasil uji kelayakan paket yang sesuai dengan ketepatan, kelayakan dan kegunaan?


(18)

C.Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu memiliki tujuan agar penelitian menjadi terarah. Adapun tujuan pada penelitian ini :

1. Menghasilkan paket pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak 2. Menjelaskan proses pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak 3. Menjabarkan hasil evaluasi, refleksi dan rekomendasi para guru TK setelah

melakukan pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak

4. Mengetahui hasil uji kelayakan paket yang sesuai dengan ketepatan, kelayakan dan kegunaan

D. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini, peneliti berharap menghasilkan karya ilmiyah yang bermanfaat, antara lain sebagai berikut:

1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti masalah ini lebih lanjut 2. Bagi pengajar, orang tua, dan masyarakat umum, mampu menambah

khazanah keilmuan serta menjadi panduan untuk mendidik anak usia dini khususnya dalam pengembangan ESQ anak

3. Bagi peneliti, penelitian ini akan menambah pemahaman tentang konsep perkembangan ESQ anak serta cara meningkatkannya sehingga bisa menjadi sebuah pedoman untuk menjadi pembimbing, pendidik, dan pengasuh yang cerdas emosional dan spiritual.


(19)

9

E. Spesifikasi Produk

Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian pengembangan ini dirancang sedemikian rupa, berguna, menunjang pencapaian tujuan, dan sistematis.

Mengacu pada tesis Agus Santoso yang diadopsi dari Handarini, penelitian pengembangan ini diharapkan dapat memiliki kriteria berikut22: 1. Ketepatan yaitu isi paket yang dikembangkan sesuai dengan tujuan dan

prosedur paket. Hal ini dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat validitas paket yang dikembangkan dengan menggunakan instrument skala penilaian

2. Kelayakan yakni paket yang dikembangkan memenuhi persyaratan yang ada baik dari sisi prosedur maupun pelaksanaannya.

3. Kegunaan yang dimaksud adalah paket yang dikembangkan memiliki daya guna dan bermanfaat bagi pengajar TK dalam rangka peningkatan ESQ anak

4. Respon Afeksi Positif yang dimaksud bahwa isi paket berpotensi meningkatkan kualitas mengajar guru serta meningkatkan ESQ anak dengan menerapkan isi paket dalam kehidupan sehari-hari.

22

Agus Santoso, Pengembangan Paket Pelatihan Bimbingan Pencegahan Kekerasan Lunak (Soft Violence) Siswa Sekolah Dasar (Tesis, Fakultas Pendidikan Universitas Malang, 2008), hal. 11-12


(20)

Untuk lebih memperjelas, dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 1.1

Spesifikasi Produk Pengembangan Paket Pelatihan Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak

NO VARIABEL INDIKATOR INSTRUMEN PELAKSANA

1 Ketepatan

(accuracy)

a. Ketepatan obyek

b. Ketepatan tujuan dan prosedur c. Kesesuaian gambar dan materi

Angket/Wawancara Tim ahli/Guru

2 Kelayakan

(feasibility)

a. Prosedur Praktis

b. Keefektifan biaya, waktu, dan tenaga

Angket/Wawancara Tim ahli/Guru

3 Kegunaan

(utility) a. Pemakai produk

b. Dampak paket pola bimbingan

Angket/Wawancara Tim ahli/Guru

4 Respon afeksi positif

Pengajar dan murid tertarik dengan paket dan menerapkannya.

Wawancara Observasi

Guru

Paket pola bimbingan pengajar dalam mengembangkan ESQ anak TK ini terdiri dari dua bagian, yaitu:

1. Bentuk Paket

Bentuk paket pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ ini terdiri dari 4 tema, yaitu: 1). Guru sebagai spiritual mother, 2). Ibarat bunga matahari, 3). Cahaya ajaib dari ilahi, 4). Menjadi malaikat kecil.

Tema-tema ini dibentuk dalam beberapa kegiatan dan tips untuk guru yang menunjang peningkatan ESQ anak. Selain itu, tema dilengkapi dengan gambar yang memiliki korelasi sehingga diharapkan mampu menambah ketertarikan guru.


(21)

11

2. Isi Paket

Isi paket pola bimbingan ini terdiri dari tiga bagian. Adapun rinciannya sebagai berikut:

a. Bagian pertama menjelaskan panduan. Panduan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu; 1) Deskripsi Pelaksanaan, 2) Pelaksanaan Kegiatan, 3) Evaluasi Kegiatan.

b. Bagian kedua membahas materi pelatihan yang terdiri dari empat tema yaitu: 1) Guru sebagai spiritual mother, 2) Ibarat bunga matahari, 3) Cahaya ajaib dari ilahi, 4) Menjadi malaikat kecil.

c. Bagian ketiga diakhiri dengan evaluasi, refleksi dan rekomendasi. 3. Pelaksanaan

Pelaksanaan isi paket ini dirancang dengan menggunakan beberapa kegiatan seperti hipnoterapi, maditasi, diskusi dan membaca. Kegiatan tidak hanya dilakukan guru tapi ada juga kegiatan yang dilakukan murid, dan tidak hanya dilakukan di kelas tapi juga di luar kelas. Peneliti hanya memberikan paket kepada guru selaku pelaksana, setelah itu peneliti meminta guru untuk memberikan komentar, kritik dan saran terkait produk yang telah dibuat untuk dikembangkan.

F. Keterbatasan Penelitian


(22)

1. Tahap pengembangan

Penelitian pengembangan ini diadopsi dari buku metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D milik Sugiyono yang terdiri dari 11 tahapan23. Pengembangan dalam skripsi ini sampai pada tahap menghasilkan produk dan uji ahli.

2. Pengujian

Untuk menguji validitas isi dan tingkat keefektifan, dilakukan oleh subyek ahli dan subyek kelompok terbatas. Namun subyek uji ahli hanya terbatas tiga orang saja dan subyek kelompok kecil hanya enam orang.

3. Materi pelatihan

Materi pelatihan ini terdiri dari empat tema sebagaimana yang telah disebutkan. Setiap tema menggunakan teknik yang berbeda. Materi pelatihan ini dipraktekkan oleh guru dan anak TK.

4. Sasaran pengguna

Sasaran pengguna produk pengembangan ini adalah guru dan murid TK

G. Definisi Operasional

Peneliti perlu membatasi konsep yang diajukan dalam penelitian agar tidak terjadi mispersepsi dan terhindar dari kesalah pahaman makna serta dapat

23


(23)

13

memudahkan dalam mempelajari isi, maksud dan tujuan penelitian. Adapun definisi konsep dari penelitian ini adalah:

1. Paket

Paket adalah media layanan bimbingan yang berisi seperangkat kegiatan dengan prosedur kerja yang sistematis yang terdiri dari beberapa tema dimana setiap tema diakhiri dengan refleksi dan rekomendasi.

Adapun judul paket yang dibuat oleh peneliti adalah “Bunda dan Malaikat Kecil”. Buku paket ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang panduan pelaksanaan, bagian kedua membahas tentang isi dan pelaksanaan kegiatan yang terdiri dari empat tema, sedangkan bagian ketiga, berisi tentang lembar evaluasi, refleksi dan rekomendasi terkait dengan buku paket ini.

Pelaksanaan buku paket ini bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan emosional spiritual pendidik khususnya peserta didik.

2. Pola Bimbingan

Kata “pola” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti corak,

model, system, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Ketika pola diberi arti bentuk/struktur yang tetap, maka hal itu semakna dengan istilah

“kebiasaan”.

Bimbingan menurut Sunaryo Kartadinata adalah proses membantu individu untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sedangkan Prayitno dan Erman Amti mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang


(24)

atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing daoat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku24

Pola bimbingan yang dimaksud oleh peneliti adalah sistem, model atau cara yang menjadi kebiasaan guru dalam mengajar, membimbing dan mendidik anak.

3. ESQ

ESQ adalah singkatan dari Emotional Spiritual Quotient yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kecerdasan emosional spiritual. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi agar anak mampu merespon secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi25. Adapun kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mentransendenkan pengalaman-pengalaman fisik atau lahiriyah dengan kata lain kemampuan anak untuk menyadari keberadaan Tuhan, dimanapun dan kapan pun26. Sedangkan ESQ adalah sinergi atau harmonisasi antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual27.

4. Anak

Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah murid sekolah TK.

24

Sutirna, Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal,

(Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2013), hal. 6,10-11

25

Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 60

26

Suyadi, Cerdas dengan Spiritual Educational Gmes, (Jakarta: Serambi Semesta Distribusi, 2015), hal. 13

27


(25)

15

Jadi, yang dimaksud peneliti dengan Pola Peningkatann ESQ Anak

adalah cara atau sistem yang digunakan pengajar dalam membimbing, mendidik, dan mengasuh untuk meningkatkan kecerdasan emosional spiritual anak.

H.Sistematika Pembahasan

Penelitian ini membutuhkan pembahasan yang sistematis agar lebih mudah dalam memahami. Oleh karena itu, penulis menyusun penelitian ini ke dalam lima bab pembahasan. Adapun sistematika pembahasan tersebut secara umum adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, merupakan bagian awal dari penelitian yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam memahami keseluruhan dari pembahasan. Bab ini berisi beberapa sub bagian yaitu; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Spesifikasi Produk, Keterbatasan Penelitian Pengembangan, Definisi Operasional dan Sistematika Pembahasan.

Bab II Tinjauan Pustaka, berisi tentang teori yang dijadikan sebagai pisau analisis data, meliputi Pola Bimbingan, Karakteristik Perkembangan Emosi dn Spiritual Anak, Konsep Kecerdasan Emosional Spiritual, dan Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak. Selain itu, bab ini juga berisi penelitian

terdahulu yang relevan.

Bab III Metode Penelitian. Bab ini membahas tentang Rancangan Penelitian, Subjek dan Lokasi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Prosedur Penelitian dan Pengembangan


(26)

Bab IV Paparan Hasil Penelitian Pengembangan. Bab ini merupakan paparan hasil penelitian pengembangan, yang meliputi Deskripsi Produk, Proses Pelaksanaan Pelatihan Pola Bimbingan Peningkatan ESQ Anak, Evaluasi, Refleksi, dan Rekomendasi, Hasil Uji Kelayakan Paket, dan Analisis Data.


(27)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritik

1. Pola Bimbingan

Kata “pola” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti corak,

model, system, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Ketika pola diberi arti bentuk/struktur yang tetap, maka hal itu semakna dengan istilah

“kebiasaan”.

Bimbingan menurut Sunaryo Kartadinata adalah proses membantu individu untuk mencapai perkembangan yang optimal. Sedangkan menurut Prayitno dan Erman Amti mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing daoat mengembangkan kemampuan dirinya asqsendiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku28.

Pola bimbingan adalah sistem, cara kerja atau metode yang dilakukan seseorang (guru atau orang tua) dalam membimbing anak sehingga menjadi sebuah kebiasaan.

Abdul Wahid Hasan dalam bukunya SQ Nabi menyebutkan ada dua hal penting yang sangat menonjol yang telah mengantarkan kesuksesan

28

Sutirna, Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal,


(28)

Rasulullah dalam mendidik para muridnya, yaitu melalui “perbuatan” yang

selanjutnya disebut qudwah dan perkataan yang disebut juga dengan

al-maw’idah. Perbuatan atau keteladananlah yang nampaknya menjadi sarana

yang paling efektif dalam menyampaikan materi pendidin beliau. Selanjutnya adalah perkataan. Hal ini meliputi beberapa hal; dialog, perumpamaan dan kisah-kisah.29

Muhammad Muhyiddin mengatakan ada beberapa kekuatan yang perlu dilakukan dalam proses mendidik anak yaitu;30

a. Tidak menampakkan kejahatan perasaan

Menampakkan kejahatan perasaan sama artinya dengan meniadakan kekuatan ESQ Power seperti pantangan yang tidak boleh

dilanggar. Misalnya “dasar anak nakal, dasar anak bandel, kaya

bukan anak orang saja!” dll. Jika hal itu terjadi itu berarti orang tua atau guru telah menjahati perasaan anak dan suatu saat nanti, anak akan mengikuti hal tersebut bisa terhadap adiknya, kawannya atau ketika telah dewasa dan menjadi orang tua nanti.

Menampakkan ESQ dalam proses mendidik anak adalah menampakkan ketenangan dan ketentraman jiwa. Wajah senyum, ceria, dan tutur kata yang lembut merupakan sebagian perwujudan dari ESQ. Orang tua atau guru yang menampakkan kejahatan perasaan ibarat membunuh kepribadian anak-anaknya sendiri.

29

Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), Hal. 184 dan 192

30


(29)

19

b. Menampakkan cinta dan keindahan

Cinta dan keindahan berasal dari sumber cinta dan keindahan yaitu Allah SWT. Cinta dan keindahan bersifat sangat spiritual dan transendental. Cinta insaniyah atau cinta humanistik merupakan pengejawantahkan dari cinta ilahiyah dan keindahan ilahi.

Menampakkan cinta dan keindahan merupakan bagian yang penting yang harus dilakukan orang tua atau guru kepada anak-anak, misalnya selalu berpikiran positif dan bersikap bijak apabila melihat tingkah laku anak yang buruk dan jahat.

Jiwa yang didominasi oleh cinta dan keindahan sebagai efek kepemilikan ESQ adalah jiwa yang sangat lembut dan halus. Apa yang membuat lembut dan halusnya jiwa adalah Allah SWT dan manifestasi kelembutan dan kehalusan adalah karena Allah SWT. c. Menampakkan kesabaran

Sabar adalah sebuah kata yang mudah diucapkan namun berat untuk dilakukan. Kesabaran merupakan titik tengah antara putus asa dan pemberontakan. Ada banyak perintah Allah

Allah SWT berfirman

ل إ اصلا ر صل ب ا نيعتسا ا نمآ نيذلا ي ي

نيرب صلا صم

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah: 153)31.

31

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Assalam Al-Qur’an & Terjemahnya Edisi 1000 Doa, (Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa 2012), hal. 24


(30)

Tidak ada keberhasilan dan kesuksesan dalam mendidik anak tanpa orang tua/guru yang menampakkan kesabaran.

d. Menampakkan keuletan

Secara bahasa, ulet berarti tidak mudah putus asa dan tidak mudah menyerah. Kecenderungan manusia memang mudah menyerah, mudah putus asa dan berkeluh kesah. Allah SWT berfirman:

ع ه ق خ سنْا إ

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (QS. Al-Ma’arij: 19)32

Banyak orang tua atau guru yang putus asa dan menyerah karena merasa berat dan susah membesarkan anak dengan baik. Wujud sikap tersebut misalnya membiarkan kondisi anak yang mencekam, melakukan kekerasan fisik/psikis, melakukan pelecehan eksistensi, tidak memperhatikan perkembangan mental-spiritual anak, dan sebagainya. Jika sikap mudah menyerah dan putus asa mempunyai perwujudan seperti yang telah disebutkan, maka sikap ulet memiliki perwujudan yang sebaliknya.

e. Menampakkan kejujuran dan keadilan

Dengan menampakkan kejujuran dan keadilan pada anak, diharapkan anak akan melakukan hal yang sama. Allah SWT berfirman:

32

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Assalam Al-Qur’an & Terjemahnya Edisi 1000 Doa, (Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa 2012), hal. 570


(31)

21

نش مكنمرجي ا طسقل ب ءاد ش ل نيما ق ا ن ك ا نمآ نيذلا ي ي

ا لدعت ا ى ع ق

ب ري خ ل إ ل ا قتا قت ل رق ه ا لدعا

عت

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa : 135).33

Adapun prinsip menampakkan kejujuran pada anak ada dua, yaitu;

1) Sering mengucapkan kata “jujur” untuk diperdengarkan ke anak

2) Benar-benar dengan apa yang dikatakan, disikapi atau diperbuat

f. Menampakkan kreatifitas dan gairah

Semua anak adalah manifestasi sifat jamilah Ilahi. Para orang tua dan guru yang memiliki kecerdasan emosional spiritual mengetahui dan menyadari serta merasakan hal ini sehingga mereka sangat mencintai anak dan sangat merindukan kehadiran anak-anak di sekelilingnya. Semakin dekat orang tua/guru dengan anak-anak maka semakin memiliki kreatifitas dan kegairahan untuk setia mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak.

33

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Assalam Al-Qur’an & Terjemahnya Edisi 1000 Doa, (Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa 2012), hal. 101


(32)

Untuk menampakkan kreatifitas dan kegairahan di hadapan anak, perlu dilakukan hal-hal berikut;

1) Pelajari kesukaan dan kecintaan anak 2) Hindari pengabaian terhadap anak

3) Ketika kemalasan dan kebosanan mulai melanda anak, berikan usulan tertentu yang bertujuan mengajak anak untuk segera membangkitkan kesenangan dan keceriaannya

4) Libatkan mereka dalam sebagian tugas. g. Menampakkan disiplin dan konsistensi

Disiplin adalah suatu sikap yang senantiasa dimiliki oleh orang tua atau guru untuk konsistensi melakukan tugas-tugas tertentu disaat tertentu pula. Menampakkan kedisiplinan sebaiknya dilakukan sedini mungkin terutama disiplin jiwa di hadapan anak. Disiplin juga berarti mengarahkan, mengontrol, dan tidak melakukan kemunafikan sekecil apapun. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

نع

ني ركن ل ب رمأي ضعب نم م ضعب ت قف ن لا قف ن لا

ا سن م يدي ض قي ف رع لا

قس فلا مه نيقف ن لا إ م يسنف ل

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah : 7)34

34

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Assalam Al-Qur’an & Terjemahnya Edisi 1000 Doa, (Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa 2012), hal 189


(33)

23

2. Karakteristik Perkembangan Emosi dan Spiritual Anak a. Perkembangan Emosi

Usia 0-3 bulan, bayi cenderung berkomunikasi dengan tangisan untuk mendapatkan suatu perhatian dari orang tua maupun pengasuhnya. Pada saat perhatian didapatkan, ia akan merespon dengan menampilkan senyuman.

Kemudian senyum bayi berkembang dan menjadikannya dapat tertawa pada usia 4-6 bulan. Tertawa terjadi jika mendapatkan hal-hal yang di luar kebiasaannya seperti dicium pada perut, permainan petak umpet, dan sebagainya. Tawa tersebut merupakan respon terhadap kenyamanan yang diberikan oleh orang lain. Sebaliknya, ketidaknyamanan dengan orang lain dapat memunculkan kecemasan dan ketakutan yang akan diekspresikan dengan sikap diamnya atau bahkan tangisnya.

Pada usia 7-9 bulan, bayi mampu menunjukkan jika ia merasa tidak nyaman saat berhubungan dengan orang lain. kemarahan, kesedihan, dan ketakutan merupakan respons yang dimunculkan oleh bayi atas ketidaknyamanannya.

Pada usia 10-12 bulan, bayi akan menjalin hubungan yang penuh antusias dengan orang tua dan pengasuhnya begitu pula sebaliknya, ia akan menjadi pribadi yang pendiam saat berhubungan dengan orang lain. Kenyamanannya direspon dengan perasaan riang dan


(34)

ketidaknyamanannya direspon dengan perasaancemas ataupun gusar. Hal ini menjadikan anak terlihat sangat manja

Pada usia 13-18 bulan, bayi sudah dapat bermain dengan teman-temannya walaupun ia sibuk dengan mainannya sendiri. Selanjutnya pada saat bermain, ia mulai melihat dan memerhatikan anak lainnya yang sedang bermain bersamanya.

Sementara itu pada usia 19-23 bulan, bayi sudah dapat memahami berbagai emosi dan keadaan fisiologisnya, seperti kelelahan, tidur, sakit, tertekan, jijik, dan kasih sayang. Hal itu merupakan respon yang ditunjukkan karena ia telah mampu menolak dan melawan serta bemain bersama.

Pada usia 2-3 tahun, rasa simpati dan empati pada anak muncul. Hal itu merupakan respon terhadap hubungan pertemanan yang ia jalani dengan anak lain. Keterampilan anak dalam membaca isyarat emosional orang lain, memahami bahwa orang lain berbeda dengan dirinya dan mencoba memahami posisi dan perspektif orang lain sangat menentukan dalam perkembangan rasa empati anak. Rasa empati tersebut akan menjadikannya melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain dan dapat menciptakan keakraban antara dirinya dan orang lain.

Kemudia pada usia 3-4 tahun, kapasitas anak untuk mengatur perilaku emosinya mulai meningkat. Peningkatan emosi tersebut disesuaikan dengan aturan sosial yang ada. Pada usia ini, anak belajar


(35)

25

bahwa kemarahan dan agresivitas harus dikontrol di depan orang dewasa sedang dengan teman sebayanya, anak tidak terlalu menekan perilaku emosi negatif. Perbedaan itu terjadi karena konsekuensi yang diterima berbeda.

Kemampuan anak dalam mengontrol emosi negatifnya merupakan implikasi dari semakin berkembangnya moralitas pada anak. Anak sudah mulai mengenali mana yang benar dan mana yang salah. Anak mulai memahami tentang berbohong dan mengapa ia tidak boleh berbohong.

Kemudian seiring dengan meningkatnya kemampuan kognitifnya (dimana pada usia ini anak berada pada akhir dari tahap pra-operasional), anak 5-6 tahun mulai mengembangkan pengertian yang lebih dalam terhadap emosi orang lain. Melalui pengalaman yang terjadi secara berulang-ulang, anak dapat mengembangkan konsep sebab-akibat dari emosi yang ia tampilkan. Anak pada usia ini juga mulai membuat prediksi mengenai tampilan emosi orng lain.

Dengan demikian, pada usia ini penyesuaian diri yang dilakukan oleh anak menjadi lebih matang lagi. Dibandingkan dengan usia-usia sebelumnya, anak menjadi lebih percaya diri, punya banyak teman, bisa bercakap-cakap dengan orang dewasa secara nyaman dan


(36)

dipenuhi oleh perasaan semangat serta antusiasme saat berhubungan dengan orang lain35.

Tabel 2.1

Perkembangan Emosi Anak

Usia Proses Perkembangan

0-3 Bulan Berkomunikasi dengan tangisan. 4-6 Bulan Tertawa sebagai respon kenyamanan

7-9 Bulan Mampu menunukkan perasaan tidak nyaman. seperti marah, sedih, takut

10-12 bulan menalin hubungan yang antusias atau pendiam 13-18 Bulan Sudah bisa bermain dengan teman

19-23 Bulan Sudah dapat memahami berbagai emosi dan keadaan fisiologisnya

2-3 Tahun Rasa simpati dan empati pada anak muncul 3-4 Tahun Kapasitas mengatur perilaku emosinya mulai

meningkat.

5-6 Tahun Mampu mengembangkan konsep sebab-akibat dari emosi yang ia tampilkan.

b. Perkembangan Spiritual

Anak-anak mulai mengenal Tuhan melalui bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang ghaib yang tidak dapat dilihatnya itu, mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya.

Lambat laun tanpa disadari, masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Anak tidak mempunyai perhatian kepada Tuhan pada

35

Novan Ardy Wiyani, Mengelola dan Mengembangkan Kecerdasan Sosial & Emosi Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal. 37-41


(37)

27

permulaan karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan.

Akan tetapi, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu maka timbullah pengalaman yang makin lama makin meluas dan mulailah tumbuh pengertiannya terhadap Tuhan.36

Mulai umur 3-4 tahun anak sudah mulai menanyakan siapa Tuhan itu? Apapun jawaban orang tua atau guru saat itu akan diterima dan dianggap benar oleh anak. Tindakan dan perlakuan orang tua terhadap dirinya merupakan unsur yang akan menjadi bagian pribadinya di kemudian hari. Sikap orang tua akan memantul kepada anak.

Disamping itu, perlu diingat bahwa hubungan anak dan orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan jiwa agama pada anak sebab orang tua adalah sumber pembinaan rohani anaknya. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa pertumbuhan rasa beragama pada anak telah mulai sejak si anak lahir dan bekal itulah yang dibawanya ketika masuk sekolah pertama kali.

Andaikata anak berkesempatan masuk Taman Kanak-Kanak sebelum ia masuk sekolah dasar, maka guru taman kanak-kanak itulah orang pertama di luar keluarga yang ikut membina kepribadian anak. Kepercayaan dan sikap guru Taman Kanak-kanak terhadap agama

36


(38)

akan memantul dalam cara mendidik anak. Jiwa agama yang sudah mulai tumbuh dalam keluarga akan bertambah subur jika guru Taman Kanak-kanak mempunyai sikap yang positif terhadap agama, dan sebaliknya akan menjadi lemah jika gurunya tidak percaya kepada agama atau mempunyai sikap yang negatif atau berlawanan dengan sikap dan kepercayaan orang tuanya.

Umur Taman Kanak-kanak adalah umur yang paling subur untuk menanamkan rasa agama pada anak, umur penumbuhan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama, melalui permainan dan perlakuan dari orang tua dan guru. Keyakinan dan kepercayaan guru Taman Kanak-kanak itu akan mewarnai pertumbuhan agama pada anak37.

Tabel 2.2

Perkembangan Jiwa agama dan Spiritual Anak menurut Zakiyah Darajat

Sururin dalam bukunya “Ilmu Jiwa Agama” menjelaskan

perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1) The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).

Hal ini ditandai dengan kesenangan anak-anak bercerita hal-hal yang luar biasa seperti kebesaran, kehebatan, dan kekuatan

37

Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hal 127-129

Proses Perkembangan

Anak mulai mengenal Tuhan dari bahasa Mulai menanyakan siapa Tuhan

pemikiran tentang Tuhan masuk dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis


(39)

29

Tuhan. Tidak jarang anak membandingkan Tuhan dengan tokoh-tokoh yang dia kenal seperti power rangers.

2) The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)

Ini tampak dengan mulai pahamnya anak-anak tersebut tentang wujud Allah SWT sebagai sosok yang Maha Besar dan Maha Kuat, serta pencipta. Dari sini anak menyadari bahwa kepatuhan kepada-Nya adalah suatu yang lumrah dan mesti. Inilah yang menyebabkan mereka bergairah mengikuti acara-acara keagamaan.

3) The Individual Stage (Tingkat Individu).

Tanda ini terlihat pada sensitivitas keberagamaan anak. tahap ini dibagi kepada tiga golongan:

a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif. Anak takut kemurkaan Allah dan neraka sedangkan orang baik akan dimasukkan surga, sebuah taman beriman yang indah b) Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam

pandangan yang bersifat personal. Disini anak ingin meniru Tuhan dan dekat dengan-Nya; ingin merasakan sentuhan kasih Tuhan dan menampung internalisasi kekuatan Tuhan. c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistic. Tanda ini


(40)

dan buruknya perbuatan jahat sehingga jika melakukannya anak akan gelisah, bingung, sedih dan juga malu38.

Tabel 2.3

Perkembangan Spiritual Anak menurut Sururin

Tahap Proses Perkembangan The Fairly Tale Stage

(Tingkat Dongeng

Kesenangan anak-anak bercerita hal-hal yang luar biasa seperti kebesaran, kehebatan, dan kekuatan Tuhan.

The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan).

Pahamnya anak-anak tersebut tentang wujud Allah SWT sebagai sosok yang Maha Besar dan Maha Kuat, serta pencipta

The Individual Stage (Tingkat Individu

a. Anak takut kemurkaan Allah dan neraka sedangkan orang baik akan dimasukkan surga b. Anak ingin meniru Tuhan dan dekat

dengan-Nya

c. Pengakuan mereka akan pentingnya keadilan dan buruknya perbuatan jahat

Pada anak TK, perkembangan jiwa beragamanya berada pada tingkat dongeng. Pada tahap ini, anak usia 3 – 6 tahun dalam konsep mengenal Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng yang tidak masuk akal.

Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kanak-kanaknya

Elkind mengembangkan teori Piaget ke dalam pola perkembangan keagamaan pada anak. Ia menyatakan bahwa terdapat 4 tipe kebutuhan mental yang muncul ketika anak tumbuh dewasa, yaitu:

38


(41)

31

1) Pencarian untuk konservasi. Penyebutan ini berdasarkan ide bahwa anak-anak memiliki ketetapan sebagai objek yang mempunyai kekurangan. Pada tahap ini, anak-anak menganggap hidup adalah abadi.

2) Tahap pencarian representasi. Tahap ini dimulai sejak masa prasekolah. Dua hal yang terpenting pada masa ini adalah gambaran mental dan perkembangan bahasa.

3) Pencarian relasi. Tahap ini dimulai pada masa pertengahan kanak-kanak. Pada tahap ini, anak-anak sudah mulai mengalami kematangan mental sehingga mereka dapat merasakan hubungan dengan Tuhan.

4) Pencarian tentang pemahaman. Selama anak-anak tumbuh dewasa, mereka semata-mata menyerap jalinan persahabatan dan perkembangan kemampuan untuk berteori.

Dari keempat tahapan tersebut, Elkind menyimpulkan bahwa fase perkembangan keagamaan dari janin hingga dewasa sesuai dengan kemunculan 4 kebutuhan kognitif dan masing-masing tahapan mempunyai salah satu aspek beragama yang saling membutuhkan dan membuat sebuah sistem beragama dalam pikiran individu dan selangkah lebih kompleks.

Selanjutnya, Elkind melanjutkan penelitiannya pada tahap perkembangan doa atau ibadah. Ia melakukan studi perkembangan agama dengan mempertanyakan kepada anak-anak tentang


(42)

pengetahuan mereka dalam beribadah. Misalnya dengan pertanyaan

apakah kamu beribadah? Apakah keluargamu beribadah? Apakah anjing dan kucing beribadah? Apakah ibadah itu? Dll.

Kesimpulannya, anak-anak mempunyai tiga tahap perkembangan spiritualitas keagamaan, yakni melalui perkembangan moral, kognitif, dan pengalaman beribadah secara langsung bersama orang-orang terdekatnya, terutama orang tua dan guru-guru di sekolah39.

Tabel 2.4

Perkembangan Spiritual Anak menurut Elkind

Tahap Proses Perkembangan

Pencarian Konservasi Anak menganggap hidup itu abadi

Pencarian Representasi Gambaran mental dan perkembangan bahasa Pencarian Relasi Anak sudah mulai mengalami kematangan

mental sehingga mereka dapat merasakan hubungan dengan Tuhan.

Pencarian Tentang Pemahaman

Menjalin hubungan yang antusias atau pendiam

3. Konsep Kecerdasan Emosional Spiritual a. Pengertian Kecerdasan

Kecerdasan adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan adalah perihal cerdas,

39

Suyadi, Cerdas dengan Spiritual Educational Games, (Jakarta: Serambi Semesta Distribusi, 2015),hal 66-67


(43)

33

perbuatan mencerdaskan, kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran).40

Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak, pengetahuan, atau kebijaksanaan. Namun beberapa psikolog tak memasukkan hal tersebut dalam kerangka definisi kecerdasan.

Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan41.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan, diantaranya sebagai berikut42:

1) Faktor bawaan atau biologis. Faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir.

2) Faktor minat dan pembawaan yang khas. Minat mengarahkan perbuatan pada tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.

3) Faktor pembentukan atau lingkungan. Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang.

4) Faktor kematangan. Setiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan

40

Sitiatava Rizema Putra, Panduan Pendidikan Berbasis Bakat Siswa,(Yogyakarta: Div Press, 2013), hal 60

41

Sitiatava Rizema Putra, Panduan Pendidikan Berbasis Bakat Siswa,(Yogyakarta: Div Press, 2013), hal 62

42

Sitiatava Rizema Putra, Panduan Pendidikan Berbasis Bakat Siswa,(Yogyakarta: Div Press, 2013),, hal 63


(44)

5) Faktor kebebasan. Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Kecerdasan biasanya identintik dengan intelligence quotient (IQ) sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya padahal masih ada dua tipe kecerdasan lagi yang memberikan pengaruh lebih besar dalam kehidupan manusia yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang akan dibahas pada poin selanjutnya.

b. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi agar anak mampu merespon secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi43.

Menurut Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional adalah kesanggupan untuk memperhitungkan dan menyadari situasi tempat kita berada untuk membaca emosi orang lain dan emosi kita sendiri dan untuk bertindak dengan tepat44.

Berbagai penelitian dalam bidang psikologi membuktikan bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah anak-anak yang bahagia, percaya diri, populer, dan lebih sukses di sekolah. Mereka lebih mampu menguasai gejolak emosi, menjalin

43

Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 60

44

Andreas Hartono, EQ Parenting, Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi,


(45)

35

hubungan yang manis dengan orang lain, dan dapat mengelola stress serta memiliki kesehatan mental yang baik.45

Salovey dan Mayer menerangkan tentang aspek-aspek yang terdapat dalam kecerdasan emosional yaitu:

1) Empati.

2) Mengungkapkan dan memahami perasaan. 3) Mengendalikan amarah.

4) Kemandirian.

5) Kemampuan menyesuaikan diri.

6) Kemampuan memecahkan masalah pribadi. 7) Ketekunan.

8) Kesetiakawanan. 9) Keramahan. 10)Sikap hormat.

Goleman mengungkapkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi sebagai berikut:

1) Mampu memotivasi diri sendiri. 2) Mampu bertahan menghadapi frustasi.

3) Lebih cakap untuk menjalankan informal/nonverbal (memiliki tiga variasi yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian, dan jaringan kepercayaan).

4) Mampu mengendalikan dorongan orang lain.

45

Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 60


(46)

5) Cukup luwes untuk menemukan cara/alternatif agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula sulit dijangkau.

6) Tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatu akan beres ketika menghadapi tahap sulit.

7) Memiliki empati yang tinggi.

8) Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi tugas kecil yang mudah ditangani.

9) Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam meraih tujuan

Sedangkan menurut W.T. Grant Consurtium, kecerdasan emosional meliputi mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan, mengungkapkan perasaan-perasaan, menilai intensitas perasaan-perasaan, mengelola perasaan, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, mengurangi stress, dan mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan.

Berdasarkan berbagai uraian tentang kecerdasan emosi, dapat dirangkum aspek emosi yang mengacu pada pendapat Goleman dan Salovey-Mayer dalam 5 ciri yaitu:

1) Kemampuan mengenali emosi diri.

2) Kemampuan mengelola dan mengekspresikan emosi. 3) Kemampuan memotivasi diri.


(47)

37

5) Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

Kelima aspek emosi ini, oleh Syamsu Yusuf dijabarkan dalam pemetaan yang sistematis berdasarkan aspek/unsur dan ciri-ciri kecerdasan emosi yang ditunjukkan dalam tabel.

Tabel 2.5

Ciri-ciri Kecerdasan Emosi

No Aspek Karakteristik Perilaku

1 Kesadaran diri a. Mengenal dan merasakan emosi diri sendiri

b. Memahami penyebab perasaan yang timbul c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap

tindakan

2 Mengelola emosi a. Bersikap toleran terhadap frustasi dan

mampu mengelola amarah secara baik b. Lebih mampu mengungkapkan amarah

dengan tepat

c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain

d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga

e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa (stress)

f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan

3 Memanfaatkan emosi

secara produktif

a. Memiliki rasa tanggung jawab

b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan

c. Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat impulsif

4 Empati a. Mampu menerima sudut pandang orang lain

b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain

c. Mampu mendengarkan orang lain

5 Membina hubungan a. Memiliki pemahaman dan kemampuan

untuk menganalisis hubungan dengan orang lain

b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain

c. Memiliki kemampuan berkomunikasi

dengan orang lain

d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya

e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain

f. Memperhatikan kepentingan sosial (senang menolong orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok

g. Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain


(48)

Istilah untuk menggambarkan kecerdasan emosional tidak selalu sama antara ahli satu dengan yang lain. pertentangan mengenai tepat tidaknya penggunaan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan kemampuan individu yang mampu menunjukkan kematangan emosi masih belum disepakati sampai saat ini.46

c. Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk mentransendenkan pengalaman-pengalaman fisik atau lahiriyah dengan kata lain kemampuan anak untuk menyadari keberadaan Tuhan, dimanapun dan kapan pun47.

Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau

value yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Sedangkan dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku, dan kegiatan serta mampu menyinergikan IQ, EQ dan SQ secara komprehensif.48

46

Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal 61-64

47

Suyadi, Cerdas dengan Spiritual Educational Gmes, (Jakarta: Serambi Semesta Distribusi, 2015), hal. 13

48

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual,


(49)

39

Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang berkaitan dengan kesadaran apek-aspek spiritual seperti kecerdasan beragama dan melaksanakan ajaran agama.

Wilcox menuliskan bahwa James merangkum apa yang dia nyatakan sebagai karakteristik dalam kecerdasan spiritual yang meliputi keyakinan-keyakinan di bawah ini49:

1) Bahwa dunia yang terlihat ini merupakan bagian dari semesta yang lebih spiritual yang memiliki signifikansi utama.

2) Bahwa kesatuan tau hubungan harmonis dengan semesta yang lebih tingi itu adalah tujuan akhir kita yang sesungguhnya.

3) Bahwa doa atau komunikasi internal dengan kekuatan spiritual bisa berupa Tuhan atau hukum, merupakan proses di mana suatu

pekerjaan benar-benar dilakukan, energi spiritual mengalir di dalamnya, dan menghasilkan efek psikologis atau material dalam dunia fenomenal. Dalam agama, tercakup juga karakteristik-karakteristik psikologi tertentu.

4) Adanya semangat baru yang selalu bertambah seperti hadiah bagi kehidupan, yang mengambil bentuk sebagai kata-kata pujian yang mempesona ataupun seruan terhadap kesungguhan dan heroisme. 5) Adanya kepastian terhadap keamanan dan kedamaian, serta

perasaan cinta yang besar dalam hubungan dengan orang lain.

49

Enny Yulianti, Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Usia 4-5 Tahun Semester 1 di TK Nasima Semarang Tahun Pelajaran 2012/2013, (Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan, 2013), hal 20


(50)

Gardner, Amstrong, Jamaris mengemukakan anak yang menonjol kecerdasan spiritualnya dapat dilihat dari50:

1) Mengagumi ciptaan Allah, bulan, bintang, makhluk hidup dan lain-lain.

2) Cepat dalam mempelajari kitab suci. 3) Tekun melaksanakan ibadah keagamaan.

4) Memilki control interpersonal dan intrapersonal yang baik. 5) Berperilaku baik.

Suyadi menuliskan ciri-ciri anak usia dini yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi usia 4-5 tahun adalah sebagai berikut51:

1) Berdoa sebelum dan sesudah makan, tidur, dan aktivitas lainnya. 2) Mampu membedakan ciptaan Tuhan dan buatan manusia.

3) Membantu pekerjaan ringan orang tuanya.

4) Mengenal sifat-sifat Allah SWT dan mencintai Rasul SAW.

4. Pola Bimbingan Peningkatan Emotional Spiritual Qoutient (ESQ) Anak. Dalam meningkatkan kecerdasan emosional spiritual anak, orang tua atau guru selayaknya menampakkan ESQ nya selama mendidik dan bimbing anak karena anak adalah peniru yang handal. Anak lebih

50

Enny Yulianti, Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Usia 4-5 Tahun Semester 1 di TK Nasima Semarang Tahun Pelajaran 2012/2013,

(Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan, 2013), hal, hal 25

51

Enny Yulianti, Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Usia 4-5 Tahun Semester 1 di TK Nasima Semarang Tahun Pelajaran 2012/2013,


(51)

41

mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tua/gurunya dari pada apa yang dikatakan.

Diantara pola bimbingan yang perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kecerdasan emosional spiritual anak adalah mempraktekkan hal-hal berikut:

a. Self Hypnotherapy

Sebelumnya harus dipahami terlebih dahulu bawa manusia memiliki 2 jenis pikiran yang mengendalikan perilaku yang disebut dengan Pikiran Sadar dan Pikiran Bawah Sadar .

Pikiran Sadar adalah pikiran yang dipahami dalam pengertian sehari-hari, yaitu perangkat yang dipergunakan untuk berpikir logis dan rasional. Sedangkan pikiran bawah sadar adalah kumpulan dari pengalaman, pengertian, pemahaman, juga belief system dan self-image manusia, mirip dengan data yang terdapat di harddisk komputer, hasil penyerapan mulai manusia dilahirkan sampai dengan hari ini.

Dari kedua jenis pikiran ini, pikiran bawah sadar memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku manusia, jauh lebih besar dibandingkan dengan pengaruh dari pikiran sadar. Sebuah buku psikologi populer bahkan menyebutkan bahwa kontribusi pikiran bawah sadar terhadap perilaku kita adalah sebesar 88%, dan sisanya sebesar 12% adalah kontribusi pikiran sadar.


(52)

Hipnosis adalah salah satu bentuk kondisi kesadaran yang sangat rileks dan responsif terhadap arahan orang lain ataupun diri sendiri52. Hipnosis juga didefinisikan sebagai komunikasi alam bawah sadar atau metode untuk mengakses pikiran alam bawah sadar manusia.

Self Hypnotherapi adalah adalah suatu metode untuk

“memasuki” pikiran bawah sadar, sehingga seseorang dapat melakukan “pemrograman ulang” terhadap pikiran bawah sadarnya, dan juga juga “pembersihan data”, sehingga yang tersisa hanyalah hal-hal yang benar-benar “memberdayakan” diri.

Sebelum guru membimbing dan mendidik untuk membentuk karakter positif dalam diri anak, guru tentunya perlu untuk meningkatkan kualitas dirinya khususnya dari aspek emosional spiritual agar mampu menjadi teladan bagi muridnya. Dengan Self Hypnotherapy guru akan lebih mudah untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan memprogram hal-hal positif didalam diri. Dan dengan hipnoterapi juga, guru memiliki kesempatan untuk

“membentuk ulang” dirinya.53 b. Meditasi

Dalam kamus bahasa indonesia, metitasi diartikan sebagai pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu.

52

Lex dePraxis, Menguasai Rahasia Tranceformasi (Fast Hipnosis), (The Society of Indonesian Tranceformers,2010), hal. 20

53


(53)

43

Tujuan meditasi adalah untuk memperlambat dan menenangkan pikiran dan pada saatnya, menenangkan tubuh. Jika pikiran dapat ditenangkan, maka akan mencapai perasaan damai, tenang, serta mencapai pengendalian pikiran dan perasaan yang lebih baik. Ini merupakan sebuah metode untuk mencapai keahlian dalam hal proses berpikir dan mengajarkan untuk memusatkan pikiran supaya tidak terpecah-pecah.

c. Diskusi

Anak-anak bukanlah orang dewasa yang kecil. Oleh karena itu agama yang cocok untuk orang dewasa tidak akan cocok bagi anak-anak. kalau kita ingin supaya agama mempunyai arti bagi anak-anak, hendaklah disajikan dengan cara yang lebih konkrit dengan bahasa yang dipahaminya dan kurang bersifat dogmatik. Anak ingin supaya kebutuhannya untuk tahu (curiosity) dapat terpenuhi.

Semakin banyak anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan waktu kecil, sewaktu dewasanya nanti akan semakin terasa kebutuhannya kepada agama. Kepercayaan anak-anak bertumbuh melalui latihan-latihan dan didikan yang diterimanya dalam lingkungannya. Biasanya kepercayaan itu berdasarkan konsepsi yang nyata misalnya cara berpikir tentang Tuhan, surga, neraka, malaikat dan sebagainya.54

54


(54)

Karena kepercayaan anak tumbuh melalui latihan, maka perlu adanya latihan berupa diskusi untuk menggali pemahaman dan pengetahuan anak terkait dengan pemahaman tentang Tuhan.

Berdiskusi mengasah kemampuan anak dalam berpendapat, mencari jawaban dan permasalahan yang dihadapinya.55

Selanjutnya meminta anak untuk mengundang Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dengan selalu berdo’a ketika melakukan atau membutuhkan sesuatu agar anak selalu merasa dekat dengan Tuhan.

Seorang syekh sufi ketika berumur tiga tahun diajarkan oleh pamannya untuk mengingat Tuhan sebelum tidur dengan

mengucapkan sebanyak tiga kali “Tuhan bersamaku, Tuhan

Melindungiku, Tuhan menjagaku. Sang anak melaporkan bahwa ia merasakan kedamaian tumbuh dalam hatinya dan setelah beberapa tahun, ia merasakan kedamaian yang abadi dalam hatinya56. Berdasarkan kisah ini, maka bisa disimpulkan bahwa mengingat Tuhan sebelum tidur akan menumbuhkan kedamaian dalam hati anak.

Dalam buku 10 prinsip spiritual parenting, Mimi Doe & Marsha Walch mengatakan diantara cara untuk meningkatkan spiritual anak adalah dengan mengajarkan bahwa segala sesuatu mempunyai tujuan. Karena ketika anak percaya bahwa semua kehidupan mempunyai tujuan, anak akan menghormati dan menghargai diri mereka sendiri dan orang –orang disekitar mereka.

55

Pierre Senjaya, Good Parents Bad Parents, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2011), hal 158

56


(55)

45

Kebaikan, empati, kasih sayang, dan cinta tumbuh dari penghargaan dan rasa hormat, serta pada gilirannya semakin menguatkan penghargaan dan rasa hormat tersebut. Karena ketika orang tua, guru, dan anak-anak menerapkan prinsip ini dalam hidup, maka dimulailah suatu siklus spiritual57

Selain itu, untuk anak juga perlu diajak berdiskusi dengan tema

“menjadikan setiap hari sebagai awal yang baru” dengan

mengguyuhkan beberapa pertanyaan yang akan mengundang imajinasi anak misalnya “jika kamu diberikan kekuatan ajaib oleh Tuhan hari

ini, keajaiban apa yang kamu lakukan?. Pertanyaan seperti ini akan membuat anak tertarik karena cocok dengan perkembangan kognitifnya yang suka berimajinasi.

Keyakinan menjadikan setiap hari sebagai awal yang baru, akan membantu orang tua/guru dan anak-anak mengawali hari-hari dengan keyakinan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dan jika prinsip ini diterapkan kepada anak-anak, mereka akan memahami dan menerima keberhasilan serta kesalahan mereka sebagai bagian penting dari pertumbuhan. Mereka akan belajar berkata “oke, aku keliru, tetapi aku

dapat melupakannya karena besok adalah permulaan yang baru. Tuhan memaafkan kesalahanku.58.

57

Mimi Doe & Marsha Walch, 10 Prinsip Spiritual Parenting, (Bandung: Kaifa, 2001), hal 58

58

Mimi Doe & Marsha Walch, 10 Prinsip Spiritual Parenting, (Bandung: Kaifa, 2001; hal 302


(56)

d. Membaca & Penerapannya

Membaca berasal dari kata “baca” yang dalam kamus bahasa

Indonesia memiliki banyak arti, diantaranya: melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati); mengeja atau melafalkan apa yang tertulis; mengucapkan; mengetahui; meramalkan; memperhitungkan; dan memahami.

Sebagaimana yang diketahui bahwa buku adalah jendela dunia. Membaca mampu menjadikan seseorang mengenal dunia tanpa harus berkeliling dunia. Dengan membaca, seseorang seakan hidup di masa lalu, hidup di masa sekarang, bahkan hidup di masa depan. Ada banyak manfaat yang akan diperoleh orang yang rajin membaca, diantaranya terhalang dalam kebodohan, meningkatkan memori dan pengetahuan, menjernihkan cara berpikir, mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain, menambah keyakinan, dan sebagainya59

Untuk menambah wawasan guru atau orang tua tentang cara meningkatkan kecerdasan emosional spiritual, maka sangat penting bagi keduanya (guru dan orang tua) untuk memperbanyak membaca

terkait pembahasan tersebut, misalnya “cara mendidik anak dalam

perspektif Islam, cara meningkatkan ESQ anak, dan sebagainya. Membaca pun tidak cukup tanpa menerapkan atau mempraktekkan apa yang telah dibaca. Apalagi terkait cara meningkatkan kecerdasan emosional spiritual yang erat kaitannya dengan adanya pembiasaan.

59


(57)

47

Kebiasaan yang terbentuk ditingkatkan menjadi bentuk kesenian melalui pendidikan60. Bentuk pendidikan atau cara mendidik seseorang dipengaruhi oleh ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Maka semakin banyak membaca, semakin besar pula potensinya untuk menjadi pendidik yang baik.

Muhamad Muhyidin dalam bukunya ESQ Power mengatakan bahwa dalam pandangan agama dan kitab alam, seorang anak seharusnya dididik dan dibelajarkan akhlak dan moralitasnya terlebih dahulu sebelum ia dididik dan dibelajrkan hal-hal yang lain.

Menurut beliau, ada hikmah yang sangat luar biasa yang jarang untuk dikenali dan disadari ketika mendampingi anak-anak, yaitu kesadaran dan pengendalian diri. Pergolakan emosi merupakan pergolakan yang terus-menerus terjadi pada diri kita sejak balita hingga dewasa atau tua. Hikmah yang dapat dipetik adalah seakan-akan kita selalu diingatkan oleh alam, agar kita kembali untuk menata dan mengendalikan emosi kita di saat anak-anak lahir.

Hikmah yang demikian itu bertemu dengan kecenderungan umum orangtua/guru dimana ada nilai-nilai khusus yang memang dibutuhkan oleh orangtua/guru dalam mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak di awal-awal usianya. Nilai-nilai tersebut adalah sabar, konsisten, jujur, senang, riang, bahagia, perhatian dan empati,

60


(58)

cinta, kasih, dansayang, kesucian61. Maka nilai-nilai tersebut sangat penting untuk dikembangkan dalam diri anak sejak dini.

Dikatakan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertunbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), inteligensi (daya piker, kecerdasan emosi dan spiritual), serta sikap berprilaku dan agama sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. oleh karena itu anak usia dini memerlukan pendidikan yang berkualitas terutama pendidikan keimanan/ketauhidan sebagai fondasi awal.62

B. Penelitian Terdahulu yang Relevan.

Secara umum, skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya baik dari aspek isi, pembahasan, maupun metodologi yang digunakan. Pada aspek isi, peneliti mengintegrasikan konsep spiritual dan emosional dalam sebuah panduan pembelajaran bagi anak TK. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagaimana berikut:

1. Skripsi Yuliana “Peran Guru dalam Mengembangkan Kecerdasan Spiritual

Anak Usia 4-5 Tahun Di Paud Haqiqi Kota Bengkulu”, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu, 2014

61

Muhyidin, ESQ Power for Better Life, (Jogjakarta: Tunas Publishing, 2006), hal. 183-186

62

Amirulloh Syarbini dan Heri Gunawan, Mencetak Anak Hebat, (Jakarta: Gramedia, 2014),


(59)

49

Penelitian ini membahas tentang peran guru dalam mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak usia 4-5 Tahun dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus.

Persamaannya yaitu, pertama sama-sama membahas tentang pengembangan kecerdasan spiritual anak. Kedua sama-sama melibatkan guru dalam mengembangkan kecerdasan tersebut.

Perbedaannya, pertama dalam penelitian ini hanya meneliti tentang kecerdasan spiritual anak saja sedangkan penelitian yang dilakukan penulis juga meneliti kecerdasan emosional anak. Kedua penelitian yang dilakukan Yuliana lebih kepada peran guru di sekolah tertentu sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti membahas tentang apa yang perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kecerdasan emosional spiritual anak yang tidak terbatas di sekolah tertentu. Ketiga, penelitian ini membatasi umur anak dari 4-5 tahun sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti tidak membatasi umur anak. Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Yuliana menggunakan metode kualitatif sedangkan peneliti menggunakan metode penelitian dan pengembangan.

2. Skripsi Ahmad Amri Mujib “Peran Orang Tua dalam Pengembangan

Kecerdasan Spiritual” (Studi di Desa Sembung Kec. Banyuputih Kab. Batang), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Institut Agama Islam Negri Walisongo Semarang, 2014


(60)

Penelitian ini membahas tentang peran orang tua dalam mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak dengan menggunakan metode penelitian deskriptif.

Persamaannya yaitu, pertama sama-sama membahas tentang pengembangan kecerdasan spiritual anak.

Perbedaannya, pertama dalam penelitian ini hanya meneliti tentang kecerdasan spiritual anak saja sedangkan penelitian yang dilakukan penulis juga meneliti kecerdasan emosional anak. Kedua penelitian yang dilakukan Ahmad Amri lebih kepada peran orang tua sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti, subyeknya adalah guru. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Amri menggunakan penelitian deskriptif sedangkan peneliti menggunakan metode penelitian dan pengembangan.

3. Skripsi Siti Robiatul Adawiyah “Peran Guru dalam Meningkatkan

Kecerdasan Emosional Anak-anak Pra Sekolah di TKIT Bina Anak Sholeh

Yogyakarta”, Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010 Penelitian ini membahas tentang peran guru dalam mengembangkan Kecerdasan Emosional dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian lapangan.

Persamaannya yaitu, sama-sama membahas tentang pengembangan kecerdasan emosional anak pra sekolah.

Perbedaannya, pertama dalam penelitian ini hanya meneliti tentang kecerdasan emosional anak saja sedangkan penelitian yang dilakukan


(61)

51

penulis juga meneliti kecerdasan spiritual anak. Kedua penelitian yang dilakukan Siti lebih kepada peran guru di sekolah tertentu sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti membahas tentang apa yang perlu dilakukan guru untuk meningkatkan kecerdasan emosional spiritual anak yang tidak terbatas di sekolah tertentu. Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Siti menggunakan metode kualitatif sedangkan peneliti menggunakan metode penelitian dan pengembangan.

4. Naskah Publikasi Safitri Ekawati “Peningkatan Kecerdasan Emosi Anak Melalui Bermain Tebak Ekspresi di TK An Nisa’ 2 Wonokerso Kedawung Sragen Tahun Ajaran 2011-2012”, Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012.

Penelitian ini membahas tentang peningkatan kecerdasan emosi anak melalui bermain tebak ekspresi di sebuah TK dengan menggunakan metode penelitian tindakan kelas.

Persamaannya yaitu, sama-sama membahas tentang peningkatan kecerdasan emosial anak di TK

Perbedaannya, pertama dalam penelitian ini hanya meneliti tentang kecerdasan emosional anak saja sedangkan penelitian yang dilakukan penulis juga meneliti kecerdasan spiritual anak. Kedua penelitian yang dilakukan oleh Safitri menggunakan penelitian tindakan kelas sedangkan peneliti menggunakan metode penelitian dan pengembangan.


(1)

mempraktekkan kegiatan yang ada di dalam buku paket. Adapun bentuk kegiatan yang dimaksud adalah Self-Hipnotherapy, Meditasi, Diskusi dan Membaca tips yang bisa dipraktekkan guru dalam proses mendidik.

Setelah guru mempraktekkan isi buku paket, para guru diminta untuk memberikan komentar, kritik dan saran untuk perbaikan buku.

Tidak semua guru mempraktekkan produk karena adanya kesibukan maka hasil yang didapatkan guru pun berbeda-beda.

3. Evaluasi, komentar, dan saran para guru TK setelah melakukan pelatihan pola bimbingan peningkatan ESQ anak.

Berdasarkan lembar jawaban evaluasi yang telah diisi oleh guru, secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa guru telah memahami isi dari produk yang dibuat oleh peneliti.

Setelah melakukan beberapa kegiatan, guru mengatakan bahwa produk yang dibuat peneliti sangat baik dan bermanfaat bagi guru. Ada perubahan baik yang terjadi dalam diri guru maupun perubahan pada diri anak. Perubahan yang dirasakan oleh guru diantaranya adalah perasaan menjadi fresh, nyaman, semakin sayang kepada murid, lebih termotivasi menjadi guru yang lebih baik, dan sebagainya. Sedangkan perubahan yang terjadi pada anak yaitu lebih tenang, tidak meledak-ledak emosinya. Tidak teriak-teriak, lebih sadar dan tahu kesalahannya.

Selain dampak positif yang diperoleh, beberapa guru menganggap bahwa bahasa yang digunakan dalam buku paket agak sulit dipahami,


(2)

terlalu banyak prosedur, ilustrasi abstrak, gambar kurang hidup, kurangnya contoh konkrit dan belum menunjukkan hasil yang lebih karena waktu terlalu singkat.

Beberapa rekomendasi yang berikan, yaitu: guru memerlukan bimbingan sebelum melakukan sendiri, lebih banyak diberikan contoh konkrit, ganti gambar agar lebih hidup, produk bisa dijadikan buku pegangan bagi guru dan orang tua namun bahasanya dipermudah agar pembanca mampu memahami.

4. Hasil uji kelayakan paket yang sesuai dengan ketepatan, kelayakan dan kegunaan.

Berdasarkan hasil scoring angket, nilai data tim uji ahli memperoleh hasil akhir 81%, maka paket yang dirancang memenuhi standart uji dengan kategori sangat tepat. Namun berdasarkan data angket para guru TK, hasil akhir yang diperoleh 71%, maka paket yang dirancang memenuhi standart uji dengan kategori tepat.


(3)

B. Saran

1. Kepada peneliti selanjutnya, agar mampu mengembangkan produk peningkatan kecerdasan emosional spiritual anak dengan lebih praktis dan bahasa yang mudah dipahami. Terlebih pada penyajian prosedur, pemberian ilustrasi, penyesuaian gambar, dan contoh konkrit.

2. Kepada para guru dan orang tua, agar mencoba mempraktekkan produk yang dibuat oleh peneliti dengan istiqomah untuk meningkatkan kecerdasan emosional spiritual diri khususnya anak. Karena mengembangkan kecerdasan emosional spiritual tidak bisa dilakukan secara instan tapi perlu adanya pembiasaan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga. 2001

Al-‘Akk, Syekh Khalid bin Abdurrahman. Cara Islam Mendidik Anak. Yogyakarta: Ad-Dawa. 2006

Christina, Ani. Parenting Guide; Panduan Pendampingan Anak Usia Pra Sekolah. Sidoarjo: Filla Press.2014

Creswell, John W. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantutatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014

Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 2010

dePraxis, Lex. Menguasai Rahasia Tranceformasi (Fast Hipnosis). (The Society of Indonesian Tranceformers. 2010

Doe, Mimi, Marsha Walch. 10 Prinsip Spiritual Parenting. Bandung: Kaifa. 2001 Fakhruddin, Asef Umar. Terapan Quantum Learning untuk Keluarga.

Yogyakarta: Laksana 2011

Frager, Robert. Psikologi Sufi. Jakarta: Zaman. 2014

Hadi, Jamal Abdul, Ali Ahmad Laban, Samiyah Ali Laban. Menuntun Buah Hati Menuju Surga. Solo: PT Era Adicitra Intermedia. 2011

Hartono, Andreas. EQ Parenting, Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009

Hasan, Abdul Wahid. SQ Nabi. Yogyakarta: IRCiSoD. 2006 Hurlock, Elizabeth. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Tt

Jinan, Miftahul. Smart Parents for Smart Students. Jakarta: Progressio Publishing. 2012

Kadir, Abdul. Rahasia Tipe-Tipe Kepribadian Anak; Cara Mendidik Anak dan Menggali Potensi Anak dari Tipe-Tipe Kepribadiannya. Yogyakarta: Diva Press. 2015

Khairu, Sulistyowati. Kesalahan Fatal Orangtua dalam Mendidik Anak Muslim. Jakarta: Dan Idea. 2014


(5)

Latif, Mukhtaf. Orientasi Baru Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group. 2013

Mashar. Riana. Emosi Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2011

Muhyiddin, Muhammad. Manajemen ESQ Power. Yogyakarta: Diva Press. 2007 Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya. 2004

Mulyasa. Manajemen Paud. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. 2012 Nurindra, Yan. Ebook Panduan Self Hypnosis. 2008

Putra, Sitiatava Rizema. Panduan Pendidikan Berbasis Bakat Siswa. Yogyakarta: Diva Press. 2013

Rakhmat, Jalaluddin. SQ For Kisd: Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak sejak Dini. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007

Samples, Bob. Revolusi Belajar untuk Anak. Bandung: Kaifa. 2002

Santoso, Agus. Pengembangan Paket Pelatihan Bimbingan Pencegahan Kekerasan Lunak (Soft Violence) Siswa Sekolah Dasar. Tesis, Fakultas Pendidikan Universitas Malang. 2008

Senjaya, Pierre. Good Parents Bad Parents. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. 2011 Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

2010

Sunyoto, Agus. Dahsyatnya Hypnoparenting. Jakarta: Penebar Plus. 2010 Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004

Sutirna. Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal. Yogyakarta: CV. Andi Offset. 2013

Suyadi, Maulida Ulfah. Konsep Dasar Paud. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. 2013

______, Cerdas dengan Spiritual Educational Games. Jakarta: Saufa. 2015 Syarbini, Amirulloh. Heri Gunawan. Mencetak Anak Hebat. Jakarta: Gramedia.


(6)

Wijanarko, Jarot. Mendidik Anak untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional dan Spirtual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005

Wiyani, Novan Ardy. Mengelola dan Mengembangkan Kecerdasan Sosial & Emosi Anak Usia Dini. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2014

Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. Assalam Al-Qur’an & Terjemahnya

Edisi 1000 Doa. Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa. 2012

Yulianti, Enny. Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Usia 4-5 Tahun Semester 1 di TK Nasima Semarang Tahun Pelajaran 2012/2013. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan. 2013 www.wikepedia.com