Metodologi Pemahaman Pedoman Hidup Islami

Metodologi Pemahaman Pedoman Hidup Islami
Oleh: AYAT DIMYATI
Pendahuluan.

PHIW (Pedoman Hidup Islami Warga) Muhammadiyah --sebagaimana disebutkan dalam
bagian Pendahuluan sub B--, merupakan pengembangan dan pengayaan dari pemikiran
formal (baku) dalam Muhammadiyah, seperti: Matan Keyakinan, Cita-cita Hidup,
Muqaddimah AD, Kepribadian, Khittah Perjuangan dan hasil-hasil Keputusan Majelis
Tarjih. Bagaimanapun baiknya suatu konsep dirumuskan, seperti PHIW ini, bila tidak
diantarkan oleh suatu metodologi yang tepat, maka pedoman itu hanya tinggal pedoman
yang sama sekali jauh dari tujuan perumusannya, yaitu sebagai pola tingkah laku warga
Muhammadiyah dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga tercermin kepribadian islami
menuju terwujudnya masyarakat yang sebenar-benarnya.
Yang perlu digaris bawahi dari tujuan perumusan PHIW itu adalah rumusan tercerminnya
kepribadian islami menuju terwujudnya masyarakat yang sebenar-benarnya. Dari
rumusan tujuan itu, ada dua pertanyaan besar yang tidak ringan menjawabnya, yaitu: 1)
Bagaimana mengalihkan sebuah konsep bacaan (PHIW) kepada sikap kepribadian para
warga pembacanya; dan 2) Bagaimana agar kepribadian individual itu bisa membentuk
kepribadian jama'ah di lingkungan masyarakatnya.
Karena itu, diperlukan suatu metode yang memiliki ciri: a) komprehenshif (kaaffah); b) integratif
(takammul), dan 3) mudah dipahami (sahlah). Ketiga ciri tersebut ada pada Kerangka Metodologi

Pemahaman PHIW Muhammadiyah ini yang disebut juga Manhaj al-Tafhim
Cara Kerja Metodologi Pemahaman (Manhaj al-Tafhim)
Orientasi PHlWM.

Bila memperhatikan kandungan PHIWM, maka akan terlihat bagian-bagian pembahasan
sbb.: a) Pendahuluan; b) Pandangan Islam tentang Kehidupan; c) Kehidupan Islami
Warga Muhammadiyah; d) Tuntunan Pelaksanaan; dan e) Penutup. Oleh karena pada
setiap bagian itu sarat dengan berbagai rujukan nash dari Al-Qur'an dan al-Hadis, maka
diperlukan metode pemahaman (manhaj al-tafhim) yang tepat seirama dengan tuntutan
yang dihadapi.
Kelima bagian tersebut bisa diklasifikasikan pada riga komponen besar: 1) Komponen
kandungan ajaran agama; 2) Komponen eksistensi manusia sebagai penerima ajaran
(individu sampai kelompoknya); 3) Komponen pemberlakuan ajaran pada setiap wilayah
kehidupan manusia. Ketiga komponen besar ini akan dilihat persambungannya, sehingga
yang satu komponen tidak terpisah dari komponen yang lainnya. Karena itu, keterlibatan
tingkat kesadaran manusia sebagai penerima ajaran agama, merupakan bagian paling
besar dan kuat dalam mewujudkan kesempurnaan pelaksanan ajaran agama itu.
Kesempurnaan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan umat (individu atau kelompok) akan
menentukan kesempumaan keridlaan Allah SWT. Untuk kebutuhan yang terakhir inilah manhaj
al-tafhim ini disusun.

Cara Kerja Mefodologi.

Kelengkapan ajaran Islam itu meliputi: Aqidah, Syari'ah/Mu'amalah, Akhlak dan keIlmu-an. Aqidah merupakan landasan bagi aktifitas mu'amalah, akhlak dan keilmuan para
penganutnya, baik individu maupun kelompoknya. Aqidah yang dikenal dengan

Tauhidullah memiliki tiga wilayah, yaitu : 1) Uluhiyah, meliputi bidang ibadah ritual,
seperti: Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, Hajji, Do 'a, Nadzar dan Yamin (sumpah); 2)
Dzat, Asma dan Shifat. Sifat-sifat Tuhan yang dikenal al-asma al-husna terintegrasi pada
satu sifat al-Kamal (Maha Sempurna); dan 3) Rububiyah, meliputi: segala penciptaan
alam, manusia dan hubungan-hubungannya, baik di antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam lingkungannya yang berimplikasi pada perkembangan (tathawur)
dalam kehidupan. Hubungan-hubungan itu dikatakan mu'amalah. Dalam bermu’amalah,
etika, serta ilmu pengetahuan senantiasa menyertainya.
Keseluruhan yang disebutkan itu, secara global dalam bidang mu'amalah dan ilmu
pengetahuan, dan secara rinci, terutama yang menyangkut urusan ritual, adalah tertuang
dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Keduanya sebagai sumber ajaran yang tidak bisa
dipisahkan satu dari yang lainnya. Kelengkapan aturan ini dikatakan lkmal al-Din
(kesempumaan agama Islam).
Kesempumaan agama ini tidak akan bisa terlaksana dengan sebaik-baikya, bila potensi
insani tidak terlibat. Potensi insani itu adalah nikmat Tuhan yang paling tinggi diberikan

pada setiap manusia. Potensi itu berupa; kekuatan Hawas (India), Qalb (Hati) dan Lubb
(Nurani). Tiga kekuatan itu, Allah berikan kepada masing-masing manusia, muslim atau
non muslim beragama atau tidak beragama. Bila ketiga potensi itu tidak digunakannya
untuk bisa terlihat memaknai setiap realitas dalam kehidupan, maka akan berimplikasi'
pada tingkat perolehan kesempurnaan ridla Allah SWT-banyak atau sedikitnya, bahkan
sama sekali tidak diperolehnya-, oleh penganut agama itu. Karena itu orang-orang yang
tidak bisa mensyukuri nikmat Tuhan akan memperoleb adzabnya.
Perolehan ridla Allah SWT ini oleh setiap muslim akan tercermin pada kemampuannya
dalam menarik setiap sasaran, dari masing-masing jenis ibadah yang dilakukannya yang
telah ditetapkan sebagai ketentuan agama yang mesti ditaati.
Sasaran-sasaran tersebut dikatakan al-hadf wa al-maqashid yang terbagi pada: al-adna
(rendah/low), al-wustha (menengah/middle) dan al-a 'la / al-uzhma (tinggi dan agung /
grand). Al-Adna terkait dengan sasaran rendah. Dikatakan demikian, karena ukuran yang
dipergunakannya adalah ukuran formal, spesifik, empiris, dan bersifat kuantitatif. Ukuran
tersebut sebagai implikasi dari pemanfaatan nikmat Hawas / Indra dalam keberagamaan.
Al-Wustha terkait dengan sasaran menengah. Dikatakan demikian, karena ukuran yang
dipergunakannya adalah sebagai implikasi dari pemanfaatan potensi Qalb / hati dalam
setiap pelaksanaan ajaran agama. Sasaran dimaksud adalah nilai ketaqwaan yang bersifat
kualitatif. Sedangkan al-A'la merupakan sasaran paling tinggi dan agung karena
pemanfaatan potensi Lubb / nurani pada setiap pelaksanaan ajaran agama. Sasaran

dimaksud adalah sangat substansial, karena pada Lubb itu bertemunya nilai kemulyaan
manusia paling tinggi (karamah al-insan) dan nilai ke-Tuhan-an (liqa'a rabbih). Hal ini
berarti keridlaan Tuhan bisa diperolehnya. Bila keriga kekuatan itu (hawas, qalb dan
lubb) secara terintegrasi menyertai setiap pelaksanaan ajaran agama, maka keridlaan
Allah akan sempurna pula diperoleh seseorang umat beragama itu. Bila pemanfaatan
kedua potensi (Hati dan Nurani) dalam setiap aktifitas duniawi, maka aktivitas itu akan
lebih mengandung muatan spiritual ajaran agama itu daripada ajaran formalnya. Hal itu
karena, dua kekuatan, Nurani dan Hati yang akan mendorong Indra beraktivitas secara
empiris dalam kehidupan sehari-harinya (al-'amaliyah al-yawmiyah), baik pribadi atau
kelompok (fard wa Jama 'ah). Perlu dicatat pula bahwa kehidupan jama'ah tidak akan
bisa terwujud selamanya, bila pendekatan yang dipakai adalah indrawi dan formal.

Kehidupan jama'ah baru bisa berwujud, bila hati dan nurani lebih dominan terlibat
daripada indra. Hal ini karena, penyatuan secara hakiki baru bisa dicapai hanya dengan
pemanfaatan potensi hati dan nurani tersebut.
Wilayah aktifitas harian dimaksud itu, meliputi: ritual, sosial, ekonomi, politik,
organisasi, seni budaya, keilmuan, hidup bernegara dan berbangsa. Agar kehidupan
dengan variasi aktifitas itu tidak melahirkan pertentangan yang berimplikasi pada
pengrusakan berbagai tatanan, maka perlu dibangun suatu kaidah yang bisa dirujuk
bersama agar kehidupan senantiasa berjalan seirama dengan hukum-hukum makro yang

ada di alam raya (sunnatullah). Kaidah tersebut dikatakan prinsip-prinsip dasar (
Mahadi' wa Asasuha).Prinsip-prinsip ini yang akan mengikat setiap jenis aktifitas yang
berbeda pada tatanan formalnya, namun ia bergerak menuju satu sasaran yang sama yang
bersifat makro, pada tatanan substansinya.
Dengan demikian, maka dalam kehidupan ini akan tercipta Ummat Wahidah sebagai
cita-cita bersama dalam membangun dunia ini. Indikator kehidupan Ummat Wahidah itu
adalah: terciptanya kesatuan sistem sosial (Tauhid al-ljtima'i), kesatuan sistem ritual
(Tauhid al-ibadah), kesatuan sistem keilmuan (Tauhidal-'Ilm ), dan kesatuan sistem
politik (Tauhid al-Mulukiyah). Kesatuan-kesatuan ini tetap akan tercipta walaupun dalam
suasana berbagai variasi gagasan dan aktivitas, selama mabadi dan asas-nya itu dipegang
kuat (istiqamah).
Thuruq al-Tafhim li al-Qur'an al-Karim
Langkah-langkah dalam memahami nash al-Qur'an dan hadis Nabi saw, agar diperoleh
pemahaman yang lebih baik dan hasil bacaannya, sehingga bisa membuahkan satu
kepribadian dalam kehidupan sehari-hari para pembacanya, yaitu dikemukakan oleh alSyaikh Hasan al-Banna dan al-Syaikh Muhammad 'Abduh, sebagai berikut:
Al-Syaikh Hasan al-Banna (Muqaddamah fi 'Ilm al-Tafsir: 30-31) menjawab suatu pertanyaan
dan salah seorang muridnya tentang tafsir al-Qur'an yang paling baik dan cara memahami
(thuruq al-fahm) kitab Allah SWT. Ia menjawab " QALBUK " (hatimu). Hati seorang mukmin
tidak diragukan lagi merupakan tafsir paling baik bagi kitab Allah SWT dan merupakan jalan
paling dekat untuk bisa memahaminya. la memberikan langkah-langkah pemahaman, sbb.: 1)

Hendaklah seorang yang membaca al-Qur'an disertai dengan tadabbur dan khusyu' (keikutsertaan
hati dengan serius); 2) memohon ilham agar diberi petunjuk kebenaran dan pikirannya cepat
menangkap kandungan setiap ayat yang dibacanya; 3) lengkapi dengan pengetahuan penunjang
tentang sirah Nabi saw, yang salah satunya bisa diperoleh dari asbab al-nuzul dan ikatan turunnya
dengan peristiwa yang sedang berlangsung; ; 4) bila membaca kitab tafsir, berhentilah pada
makna lafazh yang terasa pas; atau susunan yang tersembunyi maknanya; atau meminta tambahan
kecerdasan yang bisa menentukan pemahaman yang sahih terhadap kitab Allah. la menyatakan
bahwa langkah-langkah tersebut akan membantu pemahaman yang bisa memancarkan cahaya
yang datang dari lubuk hati.
Muhammad 'Abduh berwashiyat kepada sebagian muridnya, sbb.: 1)Dawamkanlah membaca alQur'an itu; 2) fahami oleh kamu segala perintah, larangan, nasihat dan ibadah-ibadadahnya,
sebagaimana al-Qur'an ditilawahkan pada masa-masa ketika diturunkannya; 3) hati-hatilah
terhadap pandang-pandangan berbagai penafsiran kecuali hanya untuk memahami maksud
ungkapan bahasa Arab yang asing darimu, atau untuk mengetahui kaitan satuan lafazh dengan
lafazh yang lain yang hubungannya terlihat samar-samar; 4) berpeganglah pada apa yang alQur'an arahkan untuk dirimu; dan 5) libatkan dirimu atas apa yang dikehendaki al-Qur'an itu.
Al-Syaikh Hasan al-Banna, mengakhiri pernyataannya dengan ungkapan: Orang yang
mengambil langkah-langkah atau cara-cara di atas akan menemukan sesuatu pengaruh dalam

dirinya, kekuatan pemahaman karena ketenangannya, dan cahaya yang menyinari kehidupannya
di dunia maupun di akhirat In syaa Allah.
Demikian pula Muhammad lqbal dalam salah satu pengalaman spiritualnya

mengungkapkan: Yang paling mengagumkan dalam hidupku adalah nasihat ayahku kepadaku. Ia
berkata: ya bunayya! iqra' al-qur'an ka annahu nazzala 'alaika (hai anakku! Bacalah al-Qur'an
itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu).
Berdasarkan beberapa arahan tentang cara memahami al-Qur'an sebagaimana dinyatakan di atas,
adalah tepat sekali bila yang dimaksud hati (qalbuk) dalam jawaban itu adalah hati karena
ketaqwaan dan nurani seorang pembaca secara bersamaan.
Dengan penjelasan cara kerja metodologi pemahaman ini diharapkan bisa memudahkan dalam
memahami Pedoman Hidup Islami, khususnya bagi para warga Muhammadiyah dan umumnya
bagi kaum muslimin yang mengikutinya. Amin.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002