Analisis Yuridis Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010 Dan Permasalahan Yang Ditimbulkan

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal kemerdekaan pemerintah telah mengambil langkah-langkah
konkret untuk mengakhiri berlakunya UU produk kolonialisme, meskipun
kenyataannya UU agraria nasional yang menyeluruh baru dapat diundangkan pada
tahun 1960. Untuk menyusun UU Agraria yang bercorak nasional dan bulat
(menyeluruh) tersebut, maka sejak awal kemerdekaan juga dibentuk komisi atau
panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru.
Rangkaian langkah-langkah dalam membuat peraturan perundang-undangan
secara parsial dan membentuk berbagai panitia agraria, bahkan sampai mengajukan
RUU- tersebut menunjukkan bahwa pada periode ini pemerintah bersungguhsungguh untuk membuat hukum agraria yang responsif atau sesuai denggan rasa
keadilan dalam masyarakat. Meskipun belum pada hukum agraria nasional yang
komprehensif, tetapi dari produk- produknya yang parsial itu, dapat dilihat dengan
jelas, hukum agraria pada periode ini berkarakter sangat responsif.
Seiring dengan perubahan politik, alam demokrasi yang semakin menguat,
maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan
Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya
pembaruan atau revisi terhadap UUPA.


1

Universitas Sumatera Utara

2

Dalam Pasal (6) TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 dinyatakan bahwa arah kebijakan
pembaruan agraria adalah:1
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah
perkotaan.
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria

yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban
pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang
berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.
f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria
dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.
Hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7
TAP-MPR No.IX Tahun 2001 di mana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera
melaksanakan Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang
Tahunan MPR RI.
1

TAP MPR RI No.IX/MPR/2001, tentang Pembaruan dan Pengelolahan Sumber Daya
Alam, Pasal (6)


Universitas Sumatera Utara

3

Reformasi pertanahan ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan
MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber
daya alam adalah:2
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini;
2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai
potensi pembangunan nasional;
3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab
sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional;
4. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam
dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber

daya alam tersebut;
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;
6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan;
7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan
masyarakat dankondisi daerah maupun nasional.
Dalam melaksanakan pembaharuan hukum pertanahan, hal yang sangat
penting harus diperhatikan adalah bahwa pembaharuan tersebut harus didasarkan
pada kesadaran bahwa hukum nasional adalah suatu sistem. Sistem adalah suatu
susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari
2

Tap MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Pasal (5) ayat 2

Universitas Sumatera Utara


4

suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sistem ini terdiri dari sejumlah unsur
atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu
sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi.
Memori penjelasan UUPA ditegaskan bahwa perkataan dikuasai dalam pasal
tersebut di atas bukanlah berarti dimiliki, akan tetapi pengertian yang memberi
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada
tingkatan tertinggi untuk memberikan pengaturan berkenaan dengan masalah
pertanahan, mulai dari pengaturan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat diberikan
pada tanah, peruntukkan, penggunaan dan pemeliharaannya serta pengaturan
mengenai perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan hukum yang dapat dilakukan
atas tanah-tanah tersebut.3
Mengingat pentingnya peran tanah tersebut, maka harus ada suatu lembaga
yang memiliki otoritas seperti negara (state) untuk mengelola dan mengatur
keberadaan dan peranan tanah. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan peranan
negara dalam mengelola dan mengatur tanah, bahwa kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.4


3

AP. Parlindungan,Komentar Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung : Mandar Maju,
1998). Halamana 25
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,edisi revisi (Jakarta: Djambatan, 2003), Halaman 218

Universitas Sumatera Utara

5

Hak menguasai negara tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA, memberikan
wewenang kepada negara untuk tiga hal:5
a.
b.
c.

mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan hak menguasai dari negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2

UUPA, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam
Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa
macam hak atas tanah.
Hak-hak tersebut di atas dapat dimiliki atau dikuasai oleh warga Negara
Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum. Pada dasarnya hanya warga negara Indonesia yang dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa dan
setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas
tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya.
Pembagian hak-hak atas tanah menurut UUPA ke dalam Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan
Hak Memungut Hasil Hutan serta Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hakhak tersebut di atas dan hak-hak yang sifatnya sementara, dimaksudkan untuk
memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukkannya dan subjek yang memohon


5

Ibid. Halaman 220

Universitas Sumatera Utara

6

hak atas tanah tersebut. Seperti contoh tanah yang dikuasai negara dapat diberikan
Hak Guna Usaha, apabila peruntukkan tanah tersebut oleh pemohon hak digunakan
untuk pertanian, perikanan atau peternakan, dan tanah Hak Guna Bangunan dapat
diberikan kepada orang atau badan hukum yang akan mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya.
Lebih lanjut UUPA menegaskan bahwa penggunaan tanah harus dilakukan
oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak
boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah
menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan
lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan
tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun

penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak
produktif.
Dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar itu, diperlukan kajian
lebih lanjut mengenai langkah kordinasi penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar, terutama pada tanah HGU sekala besar. Pendayagunaan itu diarahkan pada
upaya dengan pendekatan kelembagaan secara terpadu yang mendasarkan pada aspek
juridis, sosiologis, maupun ekonomis.
Dalam perkembangannya hak-hak atas tanah yang telah diberikan untuk
berbagai keperluan sebagaimana tersebut di atas, tidak selalu diikuti dengan kegiatan
fisik penggunaan tanah tersebut sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau rencana
tata ruang dari penggunaan dan peruntukkan tanah, baik karena pemegang hak belum

Universitas Sumatera Utara

7

merasa perlu menggunakan tanah tersebut atau pemegang hak belum memiliki dana
yang cukup untuk melaksanakan pembangunan atau penggunaan tanah atau karena
hal-hal lainnya.6
Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak

atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih
banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali
untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan
dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi
pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia
diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan
dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
energi.7
Akibat belum terlaksananya pembangunan atau penggunaan tanah tersebut
sesuai dengan peruntukkannya, maka tanah yang bersangkutan dapat dianggap
sebagai tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak. 8 Berdasarkan data Badan
Pertanahan Nasional (BPN) sekitar 4,885 juta hektare (ha) tanah terlantar di seluruh

6

Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Tanah: Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan 1,
(Jakarta Kompas, 2001). Halaman 5
7

Penjelasan umum PP No. 11 Tahun 2010, lembaran negara republik indonesia tahun 2010
nomor 16
8
Ibid. halaman 52

Universitas Sumatera Utara

8

Indonesia. Hingga saat ini 37 ribu ha di antaranya telah dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan.9
Pada prinsipnya, Hukum Agraria Indonesia tidak memperkenankan adanya
tindakan penelantaran tanah oleh Pemiliknya ( Pemegang Hak ). Sebab tindakan
demikian dikuatirkan akan memicu tumbuhnya efek negatif yang akan merugikan
banyak pihak, antara lain seperti : Kesenjangan sosial-ekonomi, menurunnya kualitas
lingkungan dan bahkan Konflik horizontal.
Guna mencegah munculnya efek negatif tersebut, maka upaya penelantaran
tanah harus segera diantisipasi sedini mungkin. Untuk itulah Undang - Undang No. 5
/ 1960 ( Agraria / UUPA ) mengingatkan kita semua, terutama para Pemegang hak,
untuk tidak menelantarkan tanahnya secara sengaja. Keseriusan UUPA melarang
adanya tindakan penelantaran tanah, nampak pada ancaman berupa sanksi yang akan
diberikan, yaitu :
“Hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan, Pemutusan hubungan hukum
antara Tanah dan Pemilik, dan tanahnya akan ditegaskan sebagai Tanah Negara
(Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ), sebagaimana dalam Pasal 27, 34 dan
40 UUPA”. Definisi mengenai Tanah Terlantar terdapat dalam Penjelasan Pasal 27
UUPA, yang menegaskan bahwa " Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya ".
Namun sejak pengundangan UUPA, Pasal-pasal mengenai tanah terlantar ini tidak

9

ada 4885 juta ha tanah terlantar, http://property.okezone.com/read/2013/01/18/471/748111
di diakses internet tanggal 24 January 2014

Universitas Sumatera Utara

9

dengan serta merta dapat dilaksanakan, sebab juklak pasal tersebut diatas belum
diterbitkan, akibatnya larangan penelantaran tanah tidak efektif, sehingga tindakan
penelantaran tanah semakin meluas dan tak terkontrol.
Kondisi ini menyadarkan Pemerintah untuk segera bertindak, maka pada
Tahun 1998 ( kurang lebih 30 Tahun kemudian ), Pemerintah menerbitkan juklak tata
cara penyelesaian Tanah Terlantar melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 36 / 1998,
akan tetapi dalam prakteknya penerapan PP ini kurang kondusif, sehingga
berdasarkan tuntutan dinamika pembangunan, Pemerintah kembali meninjau dan
membaharui PP No. 36 / 1998 dengan PP No. 11 / 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Selanjutnya, PP No. 11 / 2010 jo Peraturan Ka.BPN No. 4/2010 pada
prinsipnya mengatur tata cara mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah
terlantar, melalui serangkaian tindakan seperti : Identifikasi, Penetapan dan
Pendayagunaan tanah terlantar.
Berdasarkan data yang di himpun dari dinas pertanian, Sumatera Utara
memiliki potensi pertanian yang sangat besar. Namun, tercatat tak kurang dari
283.414 hektar lahan yang belum dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. lahan seluas
tersebut masih terlantar lebih disebabkan karena tidak subur. lahan yang terlantar
tersebut hingga saat ini masih belum bisa dimanfaatkan karena kondisi tanahnya yang
kritis, selain itu juga tanah terlantar sengaja ditelantarkan oleh pemiliknya yang
berdomisili di perkotaan dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara yang paling

Universitas Sumatera Utara

10

banyak lahan terlantar berada di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mencapai
40.467.10
Berdasarkan data tersebut potensi penetapan tanah terlantar sangat besar
sekali oleh karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika
Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah
mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan
pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar
penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak
atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu orang atau badan
hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan
tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak
Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan
kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik,
tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas
tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila
menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya
akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian dalam tesis ini berjudul :

10

http://www.dnaberita.com/berita-60354-283414-hektar-lahan-nganggur-di-sumut-.html

Universitas Sumatera Utara

11

ANALISIS

YURIDIS

BERLAKUNYA

PP

NO.11

TAHUN

2010

DAN

PERMASALAHAN YANG DITIMBULKAN
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan pokok
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1.

Bagaimana penertiban tanah terlantar menurut system hukum yang berlaku?

2.

Bagaimana pendayagunaan tanah terlantar

menurut system hukum yang

berlaku?
3.

Apa saja hambatan hukum yang terjadi dalam penegakan PP No. 11 Tahun
2010?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut
1.

Untuk menganalisis penertiban tanah terlantar oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan PP No 11 Tahun 2010;

2.

Untuk menganalisis pendayagunaan tanah terlantar oleh pejabat yang berwenang
sesuai dengan PP No 11 Tahun 2010;

3.

Untuk mengetahui hambatan dalam penegakan PP No 11 Tahun 2010;

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat teoritis dan
praktis, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

12

1.

Secara

teoritis

diharapkan

memberikan

sumbangan

pemikiran

bagi

perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang
pertanahan, sehingga akan lebih membantu dalam menyelesaikan masalah
pertanahan khususnya mengenai penguasaan dan pengelolaan tanah terlantar;
2.

Secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
masyarakat umum karena masih minimnya pemahaman tentang masalah-masalah
pertanahan khususnya pengelolaan dan pemanfaatan tanah, Termasuk berguna
memberi masukan bagi pengambil kebijakan dalam menanggulangi tanah
terlantar.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Akibat Hukum
Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Yang Menelantarkan Tanahnya Ditinjau Dari PP
No. 11 Tahun 2010 “ memiliki kemiripan dengan beberapa judul penelitian yang
sudah pernah dilakukan sebelumnya.
Pada Tahun 2004, M. Fadly Arby Peserta Pasca Sarjana USU Program Studi
Magister Kenotaritan telah melakukan penelitian “ Tinjauan Yuridis Perlindungan
Hukum Terhadap Tanah Terlantar Yang Dimiliki Bank BUMN (Studi Kasus PT.
Bank Mandiri Persero Tbk Di Kota Medan) ”.Pokok Permasalaan hanya berdasarkan
data yang dimiliki oleh PT. Bank Mandiri Persero Tbk dan Penelitian ini dilakukan

Universitas Sumatera Utara

13

sebelum terbitnya PP No. 11 Tahun 2010 Tentang Pendayagunaan dan Penertiban
Tanah Terlantar.
Berdasarkan uraian tersebut, bahwa penulisan ini tidak mempunyai kesamaan
latar belakang dan pokok permasalahan yang akan di teliti. Sehingga penelitain ini
dapat dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11 Teori
didefenisikan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan
sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang
ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi.12 Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti,
tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisis dari hasil penelitian yang
dilakukan. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.13 Teori merupakan suatu

11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press,1982), hal.6
12
M.Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: FE UI, 1996), hal.203
13
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta:
Andi, 2006), hal.6

Universitas Sumatera Utara

14

penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena
menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.14
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan
bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak
disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam
penulisan.15Sehingga fungsi teori dalam penulisan teori ini adalah untuk memberikan
arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.
Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori keadilan
menurut plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundangundangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.16 Untuk istilah
keadilan ini, Plato menggunakan kata Yunani “Dikaiosune” yang berarti lebih luas,
yaitu mencakup moralitas individual dan social.17 Dari teori tersebut apabila
dihubungkan dengan pertanahan yang ada di Indonesia, tanah bukan semata-mata
dimaknai sebagai pendapatan dan komoditi, melainkan kesempatan hidup yang
aktual. Dengan memaknainya secara demikian. Kita bisa mendorong reforma agrarian
secara lebih luas, dan menjangkau lebih banyak para petani yang menjadikan tanah
sebagai bagian dari diri dan hidupnya, bukan semata-mata aset, yang hanya dapat
dijaminkan dan diperjualbelikan.
14

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.134
15

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Cet-I, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80

16

Dominikus Rato, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum,
(Surabaya: LaksBang Yustisia, 2010), hal. 63.
17
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal.92

Universitas Sumatera Utara

15

Disamping itu terkait dengan penerapan PP No.11 Tahun 2010, penulisan tesis
ini juga menggunakan teori efektivitas penegakan hukum.

Teori efektivitas

penegakan hukum adalah teori ini menjelaskan mengenai bekerjanya aturan
perundang-undangan ketika diterapkan didalam masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, Proses penegakan hukum meliputi 5 faktor yaitu :18
1. Faktor hukum dan peraturan perundang-undangan
2. Faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam
proses dan pembuatan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum itu berlaku dan
diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat
5. Faktor kebudayaan yakni hasil karya, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Dalam hubungannya dengan penulisan ini, teori efektivitas penegakan hukum
yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto erat kaitannya dengan judul penelitian
ini, dalam menerapkan PP No. 11 Tahun 2010, banyak faktor dalam mendukung
terlaksananya PP No. 11 Tahun 2010 ini. Bukan hanya pada ketegasan peraturan
yang ada, melainkan juga pada faktor instrument-instrumen yang mendukung
jalannya peraturan itu.

18

Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta :
Rajawali, Hal : 45

Universitas Sumatera Utara

16

2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori.Peranan konsepsi

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak
dan kenyataan. Konsepsi merupakan suatu pengertian mengenai suatu fakta atau
dapat berbentuk batasan (defenisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.19 Konsepsi
diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal
yang khusus yang disebut defenisi operasional.
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau
masalahdan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula
fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep
sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka
konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara
variabel-variabel yang ingin menetukan adanya gejala empiris.20
Analisis yuridis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analisis
berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, sebagaimana yang terjadi dalam permasalahan hukum pertanahan di
Indonesia.
Konsepsi lain yang ada penelitian ini dapat di lihat dalam uraian sebagai
berikut :

19
20

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1993., hal.15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 1984, Op.Cit., hal.133

Universitas Sumatera Utara

17

a. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat
dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.21
b. Obyek tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara
berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan
Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan,
tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.22
c. Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat dari pejabat yang
berwenang yang menjadi dasar bagi orang atau badan hukum untuk
menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah baik berupa hak milik,
hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan, maupun hak pengelolaan.
d. Pemegang Hak adalah pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan,
atau pemegang izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang
menjadi dasar penguasaan atas tanah.
e. Kepala BPN adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
f. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional.

21
22

Pasal 1 angka 6, Perkaban No.4 Tahun 2010 tentang tata cara penertiban tanah terlantar
Pasal 2 PP No.11/2010

Universitas Sumatera Utara

18

G. Metode Penelitian
Istilah metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu kata metode dan kata
penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara
atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian,
sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah dan termasuk keabsahannya.23
Dari pengertian di atas kita dapat mengetahui bahwa metode penelitian
adalah suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Secara lebih luas lagi Sugiyono
menjelaskan bahwa metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan
data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu
pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami,
memecahkan, dan mengantisipasi masalah.24 Bagi kepentingan ilmu pengetahuan,
metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang
pengetahuan tertentu.25 Maka dapat dilihat peran penting metode dalam melakukan
penelitian ilmu pengetahuan secara khusus dalam ilmu hukum.
Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan
terorganisir untuk menemukan solusi atas masalah, sehingga dapat diketahui bahwa
23
Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2003), hal. 24
24
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D (Bandung: Alfabeta, 2009) hal. 6
25
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hal.43

Universitas Sumatera Utara

19

metode penelitian merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk
menemukan solusi atas suatu masalah.26 Sedangkan penelitian hukum adalah adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi,27 selain itu,
peneltian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan.28
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan

penelitian deskriftif analitis. Dengan demikian, sifat penelitian dikategorikan
penelitian deskriftif dengan analisis yang bersifat kualitatif. Penelitian bersifat
deskriftif analisis adalah untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta
menganalisa perundang-undangan yang berlaku berdasarkan teori hukum yang
bersifat umum29 yang diaplikasikan pada efektifitas PP NO. 11 Tahun 2010 dalam
menertibkan tanah terlantar yang dilakukan oleh BPN Sumatera Utara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang
disebut dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang
26

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hal.13
Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2006) hal,35
28
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1997), hal. 38
29
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
27

Universitas Sumatera Utara

20

menganalisis hukum baik yang tertulis dalam buku (law it is decided by the judge
through judicial process).30 yaitu penelititan yang mengacu kepada norma-norma
hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
pijakan normative. Namun dalam penelitian ini juga dilakukakn wawancara terhadap
informan yang berwenang mengenai berlakunya berbagai ketentuan hukum positif
tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Kemudian penelitian ini
sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.31
2.

Lokasi Penelitian
Yang menjadi lokasi penelitian adalah Provinsi Sumatera Utara melalui

Kanwil BPN Sumatera Utara sebagai lokasi penelitian, dimana lokasi penelitian ini
ditemukan adanya indikasi tanah terlantar yang telah dilakukan identifikasi oleh BPN
Sumatera Utara dan dianggap karena mempunyai tugas yang luas dalam menangani
masalah tanah terlantar yang ada di Sumatera Utara.
3.

Sumber dan Jenis Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum

terarah pada penelitian data sekunder dan data primer. Adapun sumber dan jenis data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :bahan hukum yang mengikat, antara
lain berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tanah terlantar
30

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2006), hal.118
31
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan
Sosial Lainnya, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1999), Halaman 63.

Universitas Sumatera Utara

21

yaitu UU No. 5 Tahun 1960,UU No.20 Tahun 1961, Tap MPR IX Tahun
2001, PP No. 11 Tahun 2010, PP No. 40 Tahun 1996
2. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian laporan-laporan, artikel,
hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan
penelitian maupun petunjuk-petunjuk lain yang didapat dari internet
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk mampu menjelaskan terhadap hukum primer dan
sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta diluar bidang hukum,
yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari
penelitian ini.
4.

Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
a. Studi dokumen
Bahan pustaka yang dimaksud berupa peraturan perundang-undangan, buku,
laporan hasil penelitian terdahulu, makalah penataran dan bahan kepustakaan
lainnya yang bermanfaat untuk penelitian ini
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara
Wawancara dilakukan terhadap narasumber (informan) yaitu Kepala Badan
Pertanahan Nasional Sumatera Utara dan Kepala Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Wawancara dilakukan secara

Universitas Sumatera Utara

22

terarah dan sebelum melakukan wawancara dibuat pedoman wawancara
sehingga hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang akan diteliti
5.

Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke

dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.32Metode kualitatif
dilakukan untuk memperoleh data dari responden baik yang secara lisan sehingga
menghasilkan data yang deskriptif analitis, yaitu data yang dapat menggambarkan
seluruh gejala, fakta dan aspek-aspek serta akibat hukum yang diteliti. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, yaitu penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sehingga
memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

32

Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),

hal.103

Universitas Sumatera Utara