Analisis Yuridis Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010 Dan Permasalahan Yang Ditimbulkan

23

BAB II
PENERTIBAN TANAH TERLANTAR MENURUT
SISTEM HUKUM YANG BERLAKU
A. Konsepsi Tanah Terlantar
1.

Pengertian Tanah Terlantar
Sejalan dengan adanya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang
berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah, merupakan hal penting untuk
dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang
agraria. Menyadari bahwa hukum akan memberikan jaminan kepastian pada setiap
penatagunaan tanah, dalam kerangka kebijakan pembaharuan agraria, kajian dari
aspek hukum menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan lebih dahulu. UUPA
merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan peraturan-peraturan
pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan. Ada beberapa pengertian
tanah terlantar sebagai berikut.
a.


Menurut Hukum Adat
Memahami pemikiran masyarakat adat tentang tanah yang dijelaskan oleh

para ahli Hukum Adat, menunjukkan bahwa keberadaan manusia tidak dapat
dilepaskan dengan tanah, ia merupakan unsur yang esensi yang paling diperlukan
selain untuk kebutuhan hidup yang lainnya. Ditegaskan pula bahwa tanahlah yang

23

Universitas Sumatera Utara

24

merupakan modal satu-satunya bagi manusia. Adapun ciri-ciri Hukum Adat dalam
memandang tanah dapat diketahui dari para pakar dalam mengidentifikasinya yaitu:
1) Menurut I Gede Wiranata :33
a. Tanah mempunyai sifat yang tetap keadaannya tidak pernah berubah.
b. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh
anggotanya, sekaligus memberikan penghidupan kepada pemiliknya.

c. Tanah merupakan suatu kesatuan dimana nantinya pemilik akan dikubur
setelah meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur.
2) Menurut Van Dijk:34
a. Membahas tanah tidak dapat dilepaskan dari corak persekutuan persekutuan
hukum.
b. Tanah merupakan modal yang utama dan satu-satunya.
c. Campur tangan persekutari itu sehingga kesatuan denga menggunaakan
Kepala Persekutuan sebagai alatnya untuk mengutus hak-hak perorangan
dalam suatu persekutuan.
3) Menurut B. Ter Haar BZN:35
“Tanah adalah tempat dimana mereka berdiam, tanah memberikanmakan
mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman
orang-orang halus pelindungnya”
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tanah menjadi sangat
penting untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan moneter secara individu,
maupun masyarakat dalam suatu persekutuan di wilayah tertentu.
Persekutuan hukum desa atau daerah bukan persekutuan hukum belaka.
Tetapi yang utama suatu persekutuan usaha dengan tanah sebagai modal, dimana
33


I Gede Wiranata. Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya Dari Masa Ke Masa,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal 226
34
Van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia, diterjemahkan oleh A. Soehardi, (Bandung :
Sumur, 1979), halaman 56
35
Ter Haar BZN. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemah K.Ng Soebakti Poesponoto.
(Jakarta: PT Pradnya Paramita. 1981), halaman 71 91

Universitas Sumatera Utara

25

semua anggota masayarakat pada dasarnya mempunyai kewajiban mengolah tanah
yang baik.
Konsep Tanah Terlantar menurut Hukum Adat dapat ditemukan dalam
pengertian-pengertian tanah terlantar. Untuk memudahkan dalam memahami
pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat, akan dikemukakan beberapa
pandangan ahli, termasuk karakternya.
1.


Menurut S.R Nur dan H. Parerengi
Tanah terlantar adalah tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau

lebih. Patokannya :
a. Pematang – pematangnya tidak kelihatan lagi.
b. Semua tanda – tandanya sudah hilang seluruhnya.36
2.

Achmad Manggau
Tanah terlantar adalah tanah yang sudah digarap oleh seseorang, kemudian

dibiarkan kosong, ditumbuhi rumput dan tumbuh liar hingga berangsur menjadi
semak dan hutan kembali.37
3.

Moshedayan Pakpahan dan Sony Bachtiar
Tanah Terlantar adalah Tanah bekas ladang yang ditinggalkan kira – kira 2

musim atau lebih, maka akan kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik.38


36

Suhariningsih,Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban,
Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2009, hlm 92
37
Ibid. hlm 93
38
Ibid. hlm 95

Universitas Sumatera Utara

26

Berdasarkan karakter terlantarnya sebidang tanah dapat disebut sebagai tanah
terlantar apabila:39
1. Tanah (sawah, tegalan, ladang) yang sudah pernah dibuka, dengan ciri – ciri:
- Satu kali panen.
- Belum lama dibuka kemudian ditinggalkan.
- Menjadi semak belukar.

- batas-batas tanah garapan tidak jelas lagi.
- Jangka waktu: ditinggalkan 2 musim; 3 - 15 tahun atau lebih.
2. Ditinggalkan oleh pemilik (penggarapnya).
3. Kembali kepada hak ulayat/masyarakat adat (beberapa).
4. Tanah kembali tanpa pemilik.
Jadi konsep tanah terlantar menurut Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai
tanah sawah atau ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam
beberapa waktu tertentu (3-15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi
semak belukar kembali, maka tanah kembali pada hak ulayat.
Jadi menurut Hukum Adat, “tanah terlantar”, lebih mengarah pada keadaan
fisik tanah yang sudah tidak produktif dan tidak bertuan (ditinggalkan oleh pemegang
haknya). Hanya secara yuridis tidak jelas kedudukannya. Karena tidak disebutkan
siapa yang berwenang menetapkan suatu atau sebidang tanah adalah terlantar.
Apabila memperhatikan kesimpulan berdasar pendapat para peneliti maka dinyatakan
“kembali kepada hak ulayat atau masyarakat adat”. Biasanya yang berhak
menyatakan tanah terlantar adalah ketua masyarakat adatnya.
b. Menurut Pakar Hukum Agraria
1.

A.P Parlindungan menyatakan dalam bahasannya tentang tanah terlantar lebih

menitikberatkan pada pandangan Hukum Adat Indonesia. A.P. Parlindungan
39

Ibid. hlm 96

Universitas Sumatera Utara

27

memiliki konsep tanah terlantar dengan merujuk pada Hukum Adat, yaitu sesuai
dengan karakter tanah terlantar (kondisi fisik) yang telah berubah dalam waktu
tertentu (3 sampai 10 Tahun) maka haknya gugur, tanah kembali pada
penguasaan hak ulayat.40
Adapun saran beliau terhadap ketentuan tanah terlantar yang diatur oleh UUPA,
adalah dalam pelaksanaannya ada larangan menjadikan tanah terlantar.
Tujuannya agar dapat memberantas manipulasi dan spekulasi tanah, kemudian
melaksanakan fungsi sosial dari tanah tersebut untuk mengoptimalkan
produktifitas tanahnya.41
2.


Boedi Harsono, memandang tanah terlantar lebih mengarah pada terjadinya
peristiwa hukum karena perbuatan manusia, sehingga hak atas tanah menjadi
hapus. Jika hak atas tanah itu dihapuskan oleh pejabat yang berwenang, sebagai
sanksi terhadap tidak dipenuhinya oleh pemegang hak yang bersangkutan
kewajiban tertentu atau dilanggarnya sesuatu larangan. Selanjutnya beliau
mencontohkan untuk pemegang HGU yang tidak mengusahakan perusahaan
kebunnya dengan baik, maka hal ini dapat dijadikan alasan untuk menghapuskan
hak yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang. Dasar penghapusan HGU
adalah Pasal 34 huruf e UUPA yang menyatakan bahwa HGU hapus karena
diterlantarkan.42

40

A.P. Parlindungan. Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah (Menurut sistem UUPA). Bandung:
Mandar Maju, 1990, hlm 17
41
Ibid. Hlm 17
42
Boedi Harsono, op.cit. hlm 266


Universitas Sumatera Utara

28

3.

Achmad Sodiki, menyatakan bahwa persoalan pengertian tanah terlantar meliputi
bagaimana dan oleh siapa status tanah dinyatakan terlantar. Demikian juga tanah
yang jatuh ke tangan Negara itu bekas pemiliknya sama sekali kehilangan hak
atas tanah yang demikian ini haruslah mendapatkan kejelasan secara pasti. 43

4.

Gouw Giok Siong, menyatakan bahwa berdasarkan fakta ilmu hukum, istilah
diterlantarkan diartikan awalnya keadaan jika tanah yang tidak dipakai sesuai
dengan keadaannya, sifat atau tujuannya.44 Selanjutnya untuk tanah HGU yang
diterlantarkan dijelaskan artinya antara lain pemakaian yang tidak sesuai dengan
keadaan, sifat dan tujuan tanah yang bersangkutan.

5.


Maria S.W. Sumarjono, asas fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 UUPA)
meliputi juga kewajiban memelihara bagi setiap orang dan badan hukum
pemegang hak atas tanah.45 Menurut beliau tidak mudah menetapkan tanah
terlantar, karena mencakup:
1) Subyeknya (perorangan atau badan hukum).
2) Tanah pertanian atau bangunan.
3) Adanya kesengajan dari subyek atau tidak.
4) Jangka waktu yang harus dilewati untuk dapat disebut sebagai tanah terlantar.

c.

Menurut Perundang-undangan
Seperti telah dijelaskan bahwa lahirnya UUPA adalah dalam rangka

menghilangkan dualisme di bidang Hukum Agraria. Demikian pula bahwa UUPA
dibuat mengambil sumber dari Hukum Adat yang bersifat komunalistik religius yang

43


Achmad Sodiki, Majalah Penelitian Dan Pengembangan Hukum, hlm 10
Suhariningsih, Tanah Terlantar, Op. Cit. Hlm 111
45
Ibid.hlm 112

44

Universitas Sumatera Utara

29

mempunyai makna bahwa penguasaan tanah bersama memungkinkan penguasaan
tanah secara individu dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus
mengandung unsur kebersamaan.
Jadi ada kewajiban dari individu atau masyarakat untuk mengerjakan atau
mengusahakan tanah sebaikbaiknya sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau
sesuai dengan tujuannya (kemakmuran) itu. Berdasarkan hakekat yang ada pada
Hukum Agraria Nasional (UUPA) tersebut, semua pihak perlu mengerti dan menjaga
agar tidak terjadi tanah terlantar.
Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan hal ini, dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1.

Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena
diterlantarkan. (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27 menyatakan, “Tanah
diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”

2.

Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan (Pasal 34e).

3.

Hak Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan (Pasal 40e). Dari ketentuanketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa setiap hak atas tanah yang
diberikan atau diperoleh dari negara (HM; HGU; HGB) haknya hapus apabila
diterlantarkan. Artinya ada unsure kesengajaan melakukan perbuatan tidak
mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada
haknya.

Universitas Sumatera Utara

30

Keberadaan Pasal-Pasal UUPA mengenai tanah terlantar nampaknya tidak
cukup serius diterapkan di lapangan, sehingga Pemerintah mengeluarkan peraturanperaturan yang bersifat melaksanakan perintah UU. Peraturan-peraturan itu sudah
bersifat sektoral, misalnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973
tentang Penguasaan Tanah Perkebunan Terlantar dan atau Diterlantarkan di Daerah
Propinsi Jawa Barat.46
Dalam bagian Menimbang huruf a Keputusan tersebut dinyatakan:
“bahwa dengan membiarkan tanah-tanah perkebunan dalam keadaan terlantar
atau diterlantarkan pemegang haknya atau pengusahanya tidak mempergunakan
atau menggunakan sebagaimana mestinya adalah merupakan pelanggaran
terhadap fungsi sosial disamping merupakan kelalaian dari pada pengusaha atau
pemegang hak yang tidak mengindahkan kewajiban dalam mengusahakan
perkebunannya secara baik dan layak.”
Lahirnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973, sebagai
wujud kepedulian atas terlantarnya tanah HGU (Perkebunan).Hal itu dimaksudkan
untuk segera mengatasi atau meniadakan kondisi lahan perkebunan yang terlantar,
dengan menindak pemegang haknya, berikut pendayagunaan tanah terlantar tersebut.
Sehingga lahan HGU (Perkebunan) memberi kesejahteraan kepada masyarakat
sekitar lahan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Jadi, untuk dapat
menyatakan suatu perkebunan sebagai terlantar, ialah apabila diketahui bahwa
pemegang hak atas tanah, tidak mempergunakan atau mengerjakan yang ia peroleh
sebagaimana mestinya. Dengan demikian berarti pemegang hak atas tanah tidak

46

A.P. Parlindungan, Op. Cit. hal 16.

Universitas Sumatera Utara

31

mengindahkan kewajiban mengusahakan perkebunan secara baik dan mengabaikan
fungsi social atas tanah.
Selanjutnya terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88 Tahun 1973
tersebut di atas, AP Parlindungan berpendapat bahwa itu sebagai koreksi terhadap
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat tanggal 17 Januari No. 12/A/1/2/SK/1973 yang menguasai tanah-tanah perkebunan terlantar di Jawa Barat dan
memberikan Surat Keputusan tersendiri seperti tersebut di atas. Penguasaan oleh
Gubernur Kepala Daerah Jawa Barat tersebut berlangsung hanya sampai 17 Januari
1974. Kemudian panitia yang dibentuk oleh Keputusan Gubernur Jawa Barat harus
mengajukan usul-usul dan pertimbangan kepada Menteri Dalam Negeri mengenai
peruntukan atau penggunaan serta penyelesaian terhadap tanah-tanah perkebunan
termaksud.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keputusan Menteri tersebut sudah
lebih operasional. Karena sudah menyebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah
yang dibiarkan oleh pemegang hak atas tanah (subyek HGU), tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya, dan itu merupakan pelanggaran terhadap kewajibannya dan
fungsi social hak atas tanah. Sedangkan terhadap obyek haknya, tentu perlu
penjelasan tentang gambaran kondisi fisik konkret di lapangan. Artinya perlu data
konkret terukur. Pengukuran fisik tanah dapat dilakukan oleh dinas terkait yaitu
Dinas Perkebunan. Selanjutnya kriteria-kriteria yang telah ditetapkan secara khusus
untuk perkebunan dapat dirumuskan kembali yang lebih umum agar bisa digunakan
sebagai pedoman untuk mengambil tindakan menetapkan tanah terlantar.

Universitas Sumatera Utara

32

Perlu diketahui juga bahwa setelah itu terdapat catatan adanya Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Di Daerah
Perkotaan Yang Dikuasai Oleh Badan Hukum Atau Perorangan yang tidak
dimanfaatkan atau diterlantarkan. Dalam Instruksi tersebut tugas dibebankan kepada
seluruh Gubernur dan semua Bupati atau Walikota seluruh Indonesia untuk
menertibkan semua tanah yang ada di daerah perkotaan yang dikuasai oleh badanbadan hukum atau perorangan.
Adapun isi Instruksinya tersebut adalah:
a. Agar dilakukan penertiban, pemanfaatan tanah sesuai dengan maksud dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan.
b. Agar melakukan inventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan atau
diterlantarkan, dan apa sebab tidak dipenuhi syarat pencadangan.
c. Mengadakan langkah-langkah pengawasan yang intensif dan memberikan
jangka waktu sampai 24 Agustus 1982 kepada badan hukum/perorangan
untuk memanfaatkan atau menggunakan tanah sesuai dengan maksud dan
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pencadangan Tanah.
d. Apabila sampai tanggal 24 September 1982 tidak ada kegiatan, maka
pecadangan tanah tersebut dibatalkan dan tanahnya dikuasai langsung oleh
negara.
Dengan demikian, upaya untuk melakukan penertiban terhadap tanah terlantar
sudah pernah dilakukan. Namun nampaknya upaya itu tidak didukung oleh kemauan

Universitas Sumatera Utara

33

dan tindakan yang tegas dari pemerintah walaupun aturan-aturan yang mendukung
sudah ada.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Dalam Menimbang poin b Peraturan
Pemerintah ini menyatakan:
“bahwa oleh karena itu pengakuan penguasaan pemilikan dan penggunaan
tanah perlu lebih diarahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum
pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan
tanah dan lingkungan hidup, sehingga adanya kepastian hukum di bidang
pertanahan pada umumnya dapat terwujud”.
Dari ketentuan di atas pemerintah ingin menegaskan kembali bahwa
penggunaan tanah berdasarkan pada HGU, HGB, Hak Pakai dalam rangka
pembangunan nasional, diarahkan untuk terjaminnya atau terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur. Oleh karena itu PasalPasal dalam PP No. 40 Tahun 1996
secara rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak (HGU, HGB dan Hak
Pakai), obyek hak, jangka waktu dan lamanya suatu hak, diberikan oleh negara
kepada subyek hak.
Apabila kewajiban pemegang hak tidak dilaksanakan maka berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 17e bahwa Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan;
Dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan penjelasan yang ada dalam UUPA.
Demikian juga tentang hapusnya HGB dalam Pasal 35e yang dinyatakan bahwa Hak
Guna Bangunan hapus karena diterlantarkan.
Untuk pemberian Hak Pakai, juga diikuti dengan ketentuan tentang hapusnya
Hak Pakai. Dalam Pasal 55e dinyatakan bahwa, Hak Pakai hapus karena

Universitas Sumatera Utara

34

diterlantarkan. Hapusnya hak pakai tidak diatur oleh UUPA. Dari ketentuanketentuan yang telah disebutkan tentang hapusnya hak atas tanah (HGU, HGB, Hak
Pakai) dapat disimpulkan bahwa PP No. 40 Tahun 1996 menggunakan istilah
diterlantarkan, pengertian diterlantarkan mengikuti penjelasan dari UUPA tentang
hapusnya HM, HGU, HGB. Sedangkan Hak Pakai tidak diatur adanya tanah
diterlantarkan.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah ketentuan Pasal 14 Ayat (3),
Pasal 35 Ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 yang mengatakan, “Ketentuan lebih lanjut
mengenai hapusnya HGB sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan
Keputusan Presiden”.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 dikeluarkan karena dilatarbelakangi
semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan karena tidak ada upaya
penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu dalam Menimbang pada
huruf b disebutkan bahwa dalam kenyataannya masih terdapat bidang-bidang tanah
yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang tidak digunakan
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
Dalam ketentuan Menimbang huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan
ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan.
Pasal 1 Ayat (5) menyatakan, “Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh
pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pokok yang telah

Universitas Sumatera Utara

35

memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah
sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”.
Selanjutnya pengertian tanah terlantar diulang kembali ketika mengatur tentang
Kriteria Tanah Terlantar yaitu dalam Pasal 3 PP No. 36 tahun 1998 yang menyatakan:
“Tanah Hak Milik; Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai,
dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik”.
Lebih lanjut pengertian tanah terlantar disebutkan dalam Pasal 5 PP No. 36
Tahun 1998 yang mengatur khusus untuk HGU yang menyatakan:
1.

Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadannya atau sifat
dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud Pasal 3 bila, apabila tanah itu tidak
diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.

Jika haknya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah tersebut yang
dapat dinyatakan terlantar.
Apabila diperhatikan, ternyata banyak istilah ataupun pengertian

yang

diberikan oleh PP 36 Tahun 1998 ini untuk menyatakan bahwa sebidang tanah adalah
terlantar. Kalimat-kalimat yang dipilih dalam menyatakan tanah terlantar dapat di
inventarisasi sebagai berikut:
a.

b.

Tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai peruntukannya menurut
RTRW yang berlaku;
Tanah yang diterlantarkan oleh pemegang haknya;

Universitas Sumatera Utara

36

c.
d.

Tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang baik
sesuai Ketentuan Peraturan Perundangundangan;
Tanah sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.
Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Tanah yang sudah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak
dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
haknya.
Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah
terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan,
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan
dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan
hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
Dengan demikian tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar
penguasaannya

yang

sengaja tidak diusahakan,

tidak dipergunakan, tidak

dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya.
Beberapa pengertian tanah terlantar di atas, menunjukkan adanya pengertian
yang bervariasi, tergantung pada macam hak atas tanah. Hal tersebut bisa
menimbulkan persepsi yang beda-beda antara petugas, pejabat dan masyarakat.
2.

Objek Penertiban Tanah Terlantar

Universitas Sumatera Utara

37

Berdasarkan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010, objek penertiban tanah terlantar
meliputi tanah yang sudah diberikan oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolahan atau dasar penguasaan atas
tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
a.

Hak milik
Hak milik atas tanah berdasarkan UUPA tidak sama dengan hak eigendom

berdasarkan BW atau sekalipun hamper sama juga tidak persis sama dengan hak
milik menurut hukum adat.
Berhubungan sampai saat ini ketentuan-ketentuan tentang hak milik belum
diatur dengan undang-undang (pasal 50 UUPA), maka untuk mencermati hal-hal
yang berkaitan dengan hak milik itu belum dapat dilakukan rinci apalagi disebutkan
pada pasal 56 UUPA bahwa sebelum Undang-Undang Hak Milik terbentuk maka
yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat yang member
wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20 UUPA
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat semestinya harus
dipahamkan adalah hak adat yang bersesuaian dengan kepentingan nasional dan
negara, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia (masyarakat hukum adil dan makmur
berdasarkan Pncasila) sebagaimana disebut pada pasal 5 UUPA.47

47

Tampil Anshari Siregar, pendalaman lanjutan undang-undang pokok agraria, pustaka
bangsa presss, hal hal 199

Universitas Sumatera Utara

38

Ciri-ciri hak milik sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1) Hak milik sebagaimana disebut pada pasal 20 UUPA adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang mempunyai fungsi social. Dalam
pengertian, jika dibandingkan dengan hak lain lebih kuat dan penuh. Terlihat
dalam wujud konkritnya, hak milik itu penggunaannya yang lebih luas, nilai
tanggungannya lebih tinggi jika dijadikan objek hak tanggungan dan
pembayaran

ganti

kerugiannya

lebih

besar

jika

menjadi

objek

pencabutan/pelepasan hak maupun juga nilai jualnya lebih mahal namun
haknya tetap penuh tidak dipengaruhi oelh waktu penggunaannya. Bahkan
diatasnya berdasarkan kesepakatan/perjanjian otentik dapat diterbitkan hak
lain seperti hak guna bangunan, hak pakai atau hak sewa yang diberikan
kepada subjek lain yang memenuhi syarat.
Berfungsi social harus diartikan, selain sebagai mana dimaksudkan pasal
6 UUPA tetapi juga jika karena keadaan geografis atau lingkungan atau
sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau mentup
pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air dan
kemudahan lain bagi pekarangan yang terkurung itu sebagaimana yang
berlaku juga terhadap hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai
yang diatur pada pasal 13, 31 dan 51 PP No. 40 Tahun 1996.
2) Subjek dari hak milik sebagaimana ditetapkan pada pasal 21 UUPA harus
memenuhi azas kebangsaan (prinsip nasionalitas) yaitu warga negara
Indonesia tunggal dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum

Universitas Sumatera Utara

39

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia) tertentu
saja berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yaitu bank-bank
negara, badan koperasi pertanian, lembaga social dan lembaga keagamaan.
3) Hak pengguanaan (right to use) hak milik itu luas jika di banding dengan hakhak lainnya namun harus tunduk kepada planning yang sudah ditetapkan.
4) Hak untuk mengalihkan/beralih dan dijadikan objek hak tanggungan (right of
disposal) dari hak milik tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b.

Hak guna usaha.
Hak guna usaha dalam UUPA merupakan hak yang baru yang tidak terdapat

di dalam hukum adat namun tidak sama dengan hak erfpacht dalam BW yang
merupakan hak kebendaan. Ketentuan-ketentuan poko tentang hak guna usaha dalam
UUPA telah disempurnakan melalui PP No. 40 Tahun 1996.
1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oelh negara (tanah negara) guna perusahaan pertanian, perikanan
atau peternakan dalam jangka waktu 25 atau 35 tahun, dapat diperpanjang jadi
25 tahun dan kemudian dapat diberikan pembaharuan hak. Pembaharuan hak
itu adalah pemberian hak yang sama pada pemegang hak atas tanah yang telah
dimilikinya sesudah jangka waktu tersebut atau perpanjangan hak.
2) Subjek hak guna usaha adalah warga negara Indonesia tunggal dan badan
hukum Indonesia, jika karena sesuatu sebab subjek tidak lagi memenuhi
syarat tersebut maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan

Universitas Sumatera Utara

40

atau mengalihkan hak guna itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat, jika
tidak haknya menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah
negara.
3) Tanah yang dapat diberikan untuk hak guna usaha adalah tanah negara, dalam
pengertian (sesuai dengan pasal 4 PP No. 40/1996) bahwa dapat diberikan
tanah yang telah diperuntukkan untuk kawansan hutan tetapi dengan
ketentuan harus lebih dahulu dilepas/dikeluarkan dari kawasan hutan baru
kemudian dapat diberikan hak guna usaha. Demikain tanah hak, jika akan
diberikan hak guna usaha di atasnya harus lebih dahulu dilepaskan hak atas
tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Khusus jika
sebelumnya berupa tanah hak guna usaha, ada tanaman atau bangunan milik
subjek pada hak guna usaha terdahulu di atasnya dengan alas hak yang sah,
dapat diberi ganti kerugian yang dibebankan kepada subjek hak guna usaha
yang baru.
4) Luas area tanah hak guna usaha minimum 5 hektare dan maksimum tidak
ditentukan minimum 5 hektare dan masksimum tidak ditentukan (pasal 28
UUPA) tetapi pada pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996 dinyatakan jika subjeknya
persorangan batas maksimum 25 hektare tetapi jika subjeknya badan hukm
Indonesia akan ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan bidang usaha
dan daya gunanya.
c.

Hak guna bangunan

Universitas Sumatera Utara

41

Hak guna bangunan dalam UUPA juga merupakan hak baru yang tidak
dikenal dalam hukum adat. Namun tidak seperti hak Opstal dalam BW sebagai hak
kebendaan.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang hak guna bangunan dalam UUPA telah
disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996.
1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri seperti tanah hak milik, tanah
hak pengelolahan dan tanah negara dalam jangka waktu paling lama 30 tahun,
dapat diperpanjang 20 tahun (pasal 35 UUPA) dan dapat diberikan pembaharuan
hak guna bangunan di atas tanah yang sama (pasal 25 PP No. 40 tahun 1996).
Khusus hak guna bangunan diatas tanah hak pengelolahan diperpanjang atau
diperbaharui atas permohonan pemegang guna bangunan setelah mendapat
persetujuan dari pemegang hak pengelolahan. Demikian juga hak guna bangunan
diatas tanah hak milik atas kesepakatan dapat diperpanjang haknya dan
diperbaharui dengan suatu akta PPAT.
2) Subjek hak guna bangunan sama seperti hak guna usaha yaitu warga negara
Indonesia tunggal dan badan hukum Indonesia, jika oleh karena sesuatu sebab
mengakibatkan tidak lagi memenuhi persyaratan demikian maka dalam waktu 1
(satu) Tahun wajib dilepaskan hak guna bangunan hapus karena hukum dan jatuh
menjadi tanah negara.
3) Hak guna bangunan dapat dialihkan/beralih dan dijadikan objek hak tanggungan
dengan memperhatikan diatas tanah apa hak guna bangunan itu diberikan.

Universitas Sumatera Utara

42

Peralihan hak guna bangunan terjadi karena jual beli, tukar menukar, penyertaan
dalam modal, hibah dan pewarisan. Peralihan tersebut kecuali karena lelang yang
harus dibuktikan dengan berita acara lelang harus dilakukan dengan Akta PPAT
dan khusus pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau keterangan
waris.
d.

Hak pakai
Hak pakai sesuai dengan ketentuan pasal 41 UUPA adalah hak untuk

menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langusng oleh negara (tanah
negara) atau tanah milik ( tanah hak milik) orang lain atau berdasarkan ketentuan
pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 juga diatas tanah hak
pengelolahan, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolahan
tanah.
Berdasarkan jangka waktu, hak pakai tersebut dapat dibagi atas :
1) Hak pakai dengan jangka waktu tertentu maksimum 25 tahun dan dapat
diperpanjang 20 tahun lagi serta dapat diberikan pembaharuan hak, yang biasa
disebut hak pakai perdata atau hak pakai privat.
2) Hak pakai jangka waktunya tidak ditentukan, berlangsung terus selama
dipergunakan untuk keperluan tertentu seusuai dengan peruntukan dan
penggunaannya, yang biasa disebut hak pakai publik. Hak pakai public ini
diberikan kepada departemen, lembaga pemerintahan non departemen,
pemerintarah daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan internasional,
badan keagamaan dan badan social. Hak ini tidak dapat dialihkan kepada orang

Universitas Sumatera Utara

43

lain, akan tetapi dapat dilepaskan oleh pemegang haknya sehingga menjadi tanah
negara untuk kemudian dimohon dengan hak baru oleh pihak lain.
Subjek hak pakai adalah warga negara Indonesia ataupun warga negara asing
yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia (pasal 42 UUPA), seperti departemen, lembaga
pemerintahan non departemen, pemerintahan daerah, badan-badan keagamaan dan
social, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional (pasal 39 PP No.
40 tahun 1996)
Jika syarat-syarat subjek hak pakai itu tidak dipenuhi lagi oleh sesuatu sebab,
dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak tersebut, jika
tidak, haknya hapus karena hukum. Tanahnya kembali sesuai dengan di atas tanah
apa hak pakai tersebut diberikan.
Hak pakai privat dapat dialihkan, beralih ke pihak lain melalui jual beli, tukar
menukar, penyertaan dalam modal, hibah dalam modal, hibah dan pewarisan.
Sementara untuk objek hak tanggungan, baru ditetapkan hanya hak pakai privat di
atas tanah negara (UU No. 4 Tahun 1996). Peralihan hak pakai privat kecuali melalui
jual lelang yang harus dibuktikan dengan berita acara lelang harus dibuktikan dengan
berita acara lelang dan akta PPAT, khusus untuk pewarisan harus pula dibuktikan
dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
Peralihan itu wajib didaftar di Kantor Pertanahan dengan ketentuan-ketentuan
yang berbeda berdasarkan di atas tanah hak palai diberikan. Jika diatas tanah negara
harus dengan izin pejabat yang berwenang yang ditunjuk untuk itu, jika diatas tanah

Universitas Sumatera Utara

44

hak milik atau hak pengelolahan harus dengan persetujuan tertulis pemegang hak
milik atau pemegang hak pengelolahan tersebut.
e.

Hak pengelolaan
Berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 bahwa

hak pengelolahan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak pengelolahan hak
tersebut.
Bertolak dari pasal 2 ayat 4 UUPA yang menegaskan bahwa hak menguasai
dari negara dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra
dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan

nasional

menurut

ketentuan-ketentuan

Peraturan

Pemerintah,

diterbitkanlah hak pengelolahan tersebut. Jangka waktu hak pengelolahan itu tidak
ditentukan, oleh karena itu dapat diartikan bahwa hak pengelolaan dapat terus
berlangsung selama sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Lain halnya hak
atas tanah yang diterbitkan dari hak pengelolaan tersebut seperti hak milik, hak guna
bangunan dan hak pakai, khususnya hak pakai privat harus tunduk kepada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti PP No. 40 Tahun 1996 dan lainlainnya.
3. Kriteria Tanah Terlantar
Kriteria tanah terlantar dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsurunsur yang ada dalam tanah terlantar. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah
terlantar :

Universitas Sumatera Utara

45

1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Adanya tanah hak yang diusahakan atau tidak (obyek).
3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau
kesuburannya tidak terjaga.
4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.
5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
6. Status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada Negara.48
Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka
kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah
terlantar dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran
terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah.
Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara
itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Dengan demikian kriteria
tanah terlantar adalah :
1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).
2. Harus ada tanah hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan
lain-lain) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan
tanahnya menurun.
3. Harus ada jangka waktu tertentu.
4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. 49
48

Suhariningsih, Op cit, hlm.119

Universitas Sumatera Utara

46

Berdasarkan konsep tanah terlantar yang diatur dalam Penjelasan Pasal 27
UUPA yang menyatakan: Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya, maka
kriteria tanah terlantar dalam UUPA kurang jelas atau masih kabur karena hanya
ditentukan subyek hak/pemegang hak atas tanah, obyek hak (Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan), dan ada perbuatan yang mengakibatkan tanah menjadi
terlantar, sedangkan jangka waktunya tidak ditentukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 kriteria tanah
terlantardiatur dalam Bab III, yang dibagi menjadi tiga bagian :Bagian Kesatu
mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunandan Hak Pakai
meliputi :Pasal 3 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”
Pasal 4 yang menyatakan bahwa : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang
tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya
atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah
tersebut

tidak

Tata Ruang

dipergunakan

Wilayah

sesuai

dengan peruntukannya

menurut Rencana

yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau

pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”
49

Ibid.hlm.120

Universitas Sumatera Utara

47

Pasal 5 yang menyatakan bahwa :
(1)Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau
sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila
tanahitu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian
yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2)Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah
tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Pasal 6 menyatakan bahwa :
(1)Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah
menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah
dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang.
(2)Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, makahanya
bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.Bagian Kedua
mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :
Pasal 7 yang menyatakan behwa:
(1)Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila
kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak
dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian
pelimpahan kewenangan tersebut.
(2)Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya
bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi :
Pasal 8 yang menyatakan bahwa :
(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas
tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dapatdinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang
telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara
dengan baik.

Universitas Sumatera Utara

48

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah
terlantar,maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan
terlantar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria tanah
terlantar masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan jangka waktu
tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut
ditentukan subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan ), adanya perbuatan yang
dapat mengakibatkan tanah menjadi terlantar
Dalam Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
ditentukan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan,atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 11Tahun 2010 dinyatakan bahwa identifikasi dan penelitian
dilaksanakan : terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat
dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan kriteria tanah
terlantar meliputi, subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak atas tanah (HakMilik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan), adanya

Universitas Sumatera Utara

49

perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar, jangka waktunya terhitung 3 (tiga)
tahun sejak diterbitkannya sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/ keputusan/ surat dasar penguasaan
tanah dari pejabat yang berwenang.
B. Sistem Penertiban Tanah Terlantar
1.

Organ Yang Berwenang DalamPenertiban Tanah Terlantar
Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi

dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,
menyelenggarakan

dalam

arti

melaksanakan

(execution), menggunakan(use),

menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak
menguasai

negara

atas

bumi,

air

dan

kekayaan

alam

tersebut,

maka

kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, dimana
dibidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah).
Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan, peruntukan tanah
penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan dibidang pertanahan
yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah pusat didasarkan pada
beberapa hal, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan kesatuan tanah
air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Kedua,
seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Ketiga, hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah adalah

Universitas Sumatera Utara

50

bersifat abadi, dengan demikian kewenangan untuk mengurus bidang tanah adalah
negara, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.
Kewenangan yang ada pada pemerintah adalah sebagai dasar dalam
penyelenggaran kenegaraan dan pemerintahan yang artinya setiap penyelenggaraan
kenegaraan harus memiliki legitimasi yaitu adanya kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang. Konsep ini sesuai dengan konsep negara hukum dimata setiap
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus ada aturan yang mengaturnya.
Wewenang ini sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah
adalah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara. Pemerintah untuk dapat
menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancer perlu diberi wewenang. Adanya
pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan
yang dilakukan pemerintah Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya
haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan
pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Ketentuan yang ditafsirkan secara berbedabeda disebut dengan istilah norma kabur sehingga lingkup kewenangan yang
diaturnyapun menjadi tidak jelas. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakanoleh
J.J.H Bruggink, yaitu “ Vage begrippen, Dit zijn begrippen waarvan de inhoud niet
precies te bepalen is, zod at ook de omvang onduidelejk “ 50( pengertian yang kabur

50

Bruggink, J.J.H,op.cit. hal. 438

Universitas Sumatera Utara

51

adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara pasti, sehingga
lingkupannya tidak jelas)
Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi
dari pemerintah ( Presiden ) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa:
“Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar
dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden“.
Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia.
Susunan keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan
instansi terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat
ketentuan tersebut terjadi kekaburan norma karena instansi terkait yang dimaksud
tidak jelas.Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No.11 Tahun 2010
dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No.11
Tahun 2010,dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang
terdiri dari Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan
penelitian tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala BPN
No. 4 Tahun 2010, Susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :
a.

Ketua

:

Kepala Kantor Wilayah

b. Sekretaris

:

Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan
Pemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota

Universitas Sumatera Utara

52

c.

Anggota

:

1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota
2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan
peruntukan tanahnya
3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan
dengan peruntukan tanahnya.
4. Kepala Kantor Pertanahan.

Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah
terlantar

adalah

panitia

C

yang

terdiri

dari

Kanwil

BPN,

Kantor

Pertanahan,Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah
yang bersangkutan

berwenang

dalam melakukan identifikasi

dan penelitian

terhadap tanah yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar
merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
5. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar
Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum
dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk
mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar
tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah

memahami bahwa

setiap hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau
larangan.
Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan tanahnya. Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA

Universitas Sumatera Utara

53

menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri
secara

aktif,

dengan

mencegah

cara-cara pemerasan” Kemudian Pasal 15

menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang
ekonomi lemah.” Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf
eyang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan
negara apabila tanah tersebut ditelantarkan.
Tanah hak milik, tanah hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, hak pakai,
dan hak pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah tidak diusahakan, tidak
dipergunakan atau tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan, dan tujuan pemberian
hak atau dasar penguasaannya atau ditelantarkan maka hak atas tanah tersebut hapus
dan tanah yang bersangkutan akan jatuh kepada negara, yang artinya tanah tersebut
menjadi tanah negara kembali. Secara yuridis tanah tersebut menjadi dihapus jika
dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya
kewajiban terhadap tersebut atau dilanggarnya sesuai larangan yang oleh pemegang
hak yang bersangkutan, lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat
negara tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi

Universitas Sumatera Utara

54

hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak atas
tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.51
Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah diberikan
kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap pemegang hak yang
menelantarkan

tanahnya.

Tindak

pemerintahan

dalam

hukum

administrasi

digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak pemerintahan berdasarkan hukum
(rechtshandeling)

dan

tindak

pemerintahan

yang

berdasarkan

fakta

(feitelijkehandeling).Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi
menjadi dua macam tindakan yaitu tindakan hukum privat dan tindakan hukum
publik. Tindakan hukum publik dibedakan menjadi dua yaitu tindakan hukum public
bersegi satu atau sepihak dan tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai pihak.
Tindakan hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat
individual.Tindakan hukum publik sepihak bersifat umum terdapat dalam bentuk
pengaturan umum atau regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak.
Sedangkan tindakan hukum publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam
bentuk keputusan atau beschikking
Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil
tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata Usaha
Negara maupun pelanggaran pada suatu ketentuan Undang-Undang. Badan atau
pejabar TUN berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya
putusan pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan,
51

Boedi Harsono,op.cit, hal.339

Universitas Sumatera Utara

55

tentunya pihak yang bersangkutan diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa
akan dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan suatu penetapan tertulis yang
dapat digugat keabsahannya.52
Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban harus berisi antara lain :
a. Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturanyang
dilanggar disebutkan.
b. Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apayang
harus dilakukan.
c. Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.
d. Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benarbenar

dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan penertiban,

maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian.
Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Tanah

Terlantar

Pertanahan Nasional

yang

ditindaklanjuti

Nomor 4

dengan

Tahun 2010

Peraturan

tentang Tata

Pendayagun