Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kandidiasis Vaginalis Pada Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Badan kesehatan dunia World Health Organizationmemperkirakan bahwa
setiap tahun terdapat kurang lebih 350 juta penderita baru Penyakit Menular Seksual
di negara berkembang termasuk Indonesia.Secara global, WHO memperhitungkan
terdapat sekitar 180 juta kasus baru infeksi saluran reproduksi (ISR) tiap tahunnya
dengan angka prevalensinya bervariasi, 5% pada klien KB dan 75% pada pekerja
seks,

sedangkan di Amerika Serikat terdapat sekitar 7,4 juta kasus baru setiap

tahunnya (WHO, 2008).
Salah satu infeksi saluran reproduksi adalah kandidiasis vaginalis. Pada tahun
2005 di USAdilaporkan bahwa 80-90% kandidiasis vaginalis disebabkan oleh
Candida albicans sebagai penyebab kedua terbanyak setelah Bacterial vaginosis
(Daili 2009 ). Gejala klinis kandidiasis vaginalis adalah flour albus, dispareunia,
disuria, vulva dan vagina kemerahan serta edema. Faktor resiko kandidiasis vaginalis
seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol, penggunaan kontrasepsi, cairan
pembersih vagina, hubungan seksual yang beresiko, penggunaan imunosupresan dan

kehamilan, orang yang suka berganti-ganti pasangan seks dan melakukan hubungan
seksual yang tidak aman beresiko tinggi tertular infeksi menular seksual termasuk
infeksi Candida albicans (Siregar. 2012).

Kandidiasis vulvovaginal terbanyak kedua di Amerika Serikat dan yang
terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan pernah mengalami kandidiasis
vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan mengalami
episode rekurensi (Emel 2010). Penelitian Department of Microbiology, Lead City
University, Nigeriapada tahun 2012 yang dilakukan pada 200 orang pengunjung
Association for Reproductive Family and Health (AFRH) menyatakan infeksi
Candida albicans merupakan infeksi tertinggi dengan persentase 27% (Anindita,
2010).
Angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi dari berbagai penelitian di
Indonesia pada kelompok perilaku risiko rendah antara tahun 1999–2000 cukup
tinggi berkisar 57% dari seluruh ISR yang diteliti. Jumlah penderita kandidiasis
vulvovaginal di Indonesia berkisar antara

20-30% (Maryunani, 2010).

Angka


kejadian kandidiasis vulvovaginal pada wanita meningkat secara signifikan pada usia
setelah 20 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 30 sampai 40 tahun, hal ini
terkait dengan aktivitas intercourse seksual (Anindita, 2012).
Indonesia adalah negara tropis yang beriklim panas sepanjang tahun.
Dampaknya tinggal di indonesia membuat tubuh sering berkeringat. Kondisi inilah
yang menambah kadar kelembaban tubuh, terutama di organ reproduksi yang tertutup
dan berlipat. Kondisi ini menyebabkan bakteri mudah berkembang biak dan secara
umum menyebabkan terjadinya gangguan pada vagina, baik berupa bau tidak sedap
maupun infeksi (Sugiman 2000).

Menurut data tahun 2007 di Indonesia prevalensi infeksi saluran reproduksi
sebagai berikut bakterial vaginosis 53% serta vaginal kandidiasis 3%. Sedangkan
tahun 2008 prevalensi infeksi saluran reproduksi pada remaja putri dan wanita
dewasa yang disebabkan oleh bacterial vaginosis sebesar 46%, candidia albicans
29%, dan tricomoniasis 12%. Pada tahun 2007 di Jakarta prevalensi infeksi saluran
reproduksi yang terjadi yaitu candidiasis 6,7%, tricomoniasis 5,4% dan bacterial
vaginosis 5,1% (Elistyawaty, 2009).
Prevalensi kandidiasis vaginalis pada wanita dari hasil penelitian Badan
Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS pada tahun 2010 yang dilakukan di 10

kota di Indonesia, menunjukkan hasil Jayapura (33%), Medan (27%), Palembang
(23%), Bitung (21%), Surabaya (18%), Bandung (12%), Jakarta Barat (9%) dan
untuk Provinsi Kepulauan Riau yaitu Kota Tanjung Pinang sebesar 12% (Fiari,
2012).
Kandida merupakan flora normal yang berada pada epithelium vagina, yang
bersama dengan koloni lactobacilli menjaga derajat keasaman pH pada vagina tetap
pada range 3,8-4,4, satu faktor yang sangat berperan dalam perkembangan kandida
sehingga menyebabkan infeksi (vaginal candidiasis) adalah pH. Ketika pH pada
vagina lebih alkaline, maka mikroba yang sebenarnya merupakan flora normal dapat
tumbuh dengan cepat dan menyebabkan satu masalah (Soedarto, 2010).
Infeksi saluran reproduksi suatu masalah kesehatan masyarakat yang serius
tetapi tersembunyi. ISR pada perempuan biasanya lebih serius dan sulit didiagnosis
karena umumnya tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Dampak dari ISR mulai

dari kemandulan, kehamilan ektopik (di luar kandungan), nyeri kronis pada panggul,
keguguran, meningkatkan risiko tertular HIV, hingga kematian. ISR juga menjadi
beban tersembunyi bagi perempuan karena adanya rasa bersalah atau malu untuk
mencari pengobatan (Fauzi dkk, 2011).
Dampak infeksi kandidiasis pada kesehatan harus menjadi perhatian karena
sangat merugikan perempuan seperti timbulnya rasa gatal yang menimbulkan lecet

dan hubungan seks yang tidak nyaman. Selain itu kandidiasis juga dapat
memfasilitasi infeksi HIV. Upaya preventif dengan pemberian informasi yang tepat
kepada perempuan sangat diperlukan mengingat sampai saat ini perempuan masih
menganggap keputihan sebagai suatu hal yang normal yang sebetulnya bisa jadi
merupakan gejala kandidiasis vaginalis. Pemahaman yang belum benar mengenai hal
tersebut diperburuk dengan mahalnya pengobatan untuk kandidiasis di Indonesia
(Qomariyah, 2011).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Herliyanti (2013), tentang hubungan
antara pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan Kandidiasis
vaginalis mengatakan bahwa keputihan merupakan masalah yang dapat mengganggu
aktifitas dan keharmonisan rumah tangga. Penyebab keputihan yang paling sering
adalah kandidiasis vaginalis. Pada kandidiasis vaginalis terjadi infeksi jamur kandida
pada dinding vagina yang disebabkan oleh genus candida. AKDR merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya kandidiasis vaginalis. Pada pemakaian AKDR
dijumpai adanya keputihan atau duh tubuh vagina yang terjadinya akibat reaksi awal

terhadap adanya benda asing. Dilaporkan bahwa keputihan yang dijumpai pada
akseptor AKDR 13,75% disebabkan oleh jamur kandida.
Penyebab kandidisas vaginalis dapat diketahui beberapa faktor salah satunya
adalah alat kontrasepsi, hal ini dinyatakan oleh Darmani ( 2010 ) bahwa pengguna

Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) merupakan yang dapat memicu jamur candida
yang semula asymtomatis menjadi aktif berkembang biak sehingga timbul
kandidiasis vaginalis. Hanifah (2009) melaporkan di PKBRS RSUD Dr.Pirngadi
dijumpain keputihan Karena infeksi kandida 13,73% pada akseptor AKDR, 18,5%,
pada akseptor PIL dan 14% pada akseptor KB suntik.
Terdapat

faktor

predisposisi

baik

endogen

maupun

eksogen

yang


menyebabkan vaginal alkalinity sehingga munculnya vaginal candidiasis. Faktor
endogen berupa perubahan fisiologik kadar hormonal seperti pada kehamilan,
kegemukan, endokrinopati, dan penyakit kronik, usia dan imunologik. Sedangkan
faktor eksogen adalah iklm, penggunaan antibiotik, kontak dengan pasien, dan
personal hygiene (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).Angka kejadian infeksi tertinggi
sekitar 75% adalah pada pasien yang menggunakan vaginal douches dan kebersihan
dirinya kurang, 71% pada penggunaan antibiotik peroral, 71% pasien yang
mempunyai riwayat diabetes mellitus, dan 63 % pasien yang mempunyai riwayat
vaginal discharge (Mahmood, 2011).
Penelitian Damayanti (2012) di RSUP dr. Kariadi Semarang mendapatkan
hasil bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kejadian kandidiasis vaginalis
adalah pemakaian alat kontrasepsi AKDR/Pil (OR=4,67 dan p=0,005), keketatan

celana (OR=3,48 dan p=0,01) jenis bahan dari celana dalam (OR=4 dan nilai
p=0,005) dan higiene alat genitalia (OR=5,17 dan p=0,006), sedangkan pemakaian
antibiotika (OR=6,88 dan p=0,11) tidak berpengaruh terhadap kejadian penyakit
kandidiasis vaginalis.
Penelitian lainnya oleh Fiari (2012), pada pekerja seks komersial di kawasan
Jondul Pekanbaru didapatkan 11 orang (40,74%) pekerja seks komersial yang positif

kandidiasis. Pekerja seks komersial yang positif kandidiasis, 3 orang (27,27%)
diantaranya mengalami keluhan keputihan, 4 orang (36,36%) mengalami keputihan
yang disertai gatal dan 4 orang (36,36%) tidak mengalami keluhan apa-apa. Pekerja
seks komersial terbanyak ada pada rentang usia 18-25 tahun yaitu sebanyak 16 orang
(59%).
Menurut Hutapea R. (2011) Candidiasis biasanya menimbulkan gejala
peradangan, gatal, dan perih di daerah kemaluan, juga terdapat keluarnya cairan
vagina yang menyerupai bubur. Gejala lebih sering timbul bila perubahan iklim
vagina memungkinkan fungus tumbuh subur. Kehamilan, diabetes, penggunaan pil
anti hamil atau antibiotik¸ kontrasepsi AKDR sering mengubah keseimbangan
kimiawi pada vagina. Penggunaan pakaian dalam nilon dan pakaian yang terlalu ketat
juga merangsang infeksi yeast tersebut. Candidiasis juga dapat ditularkan secara
seksual antar pasangan seks, sehingga kedua pasangan harus diobati secara simultan.
Menurut Hutapea tiga dari empat wanita pernah mengalami kandidiasis, setengahnya
mungkin akan sering mengalami kambuhnya infeksi tersebut.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas
Serdang Bedagai diperoleh data (rekam medik) di ruang klinik IMS/VCT bahwa
wanita usia subur yang sudah memiliki pasangan tercatat di buku kunjungan
pengobatan untuk periode Januari 2013-Desember 2013 yang terdiagnosa IMS

sebanyak 177 orang diantaranya adalah jenis penyakit IMS sifilis 8 orang, gonore 4
orang, suspect GO 4 orang, servivitis non GO 6 orang, ulkus mole 2 orang, herpes
genital 40 orang, kandidiasis vaginalis 80 orang, dan kondilominata 33 orang
sedangkan pada tahun berikutnya periode Januari 2014 – Desember 2014 tercatat
sebanyak 189 orang terdiagnosa IMS diantaranya adalah sifilis 7 orang, gonore 3
orang, suspect GO 2 orang, servivitis non GO 7 orang, trihomoniasis 2 orang, ulkus
mole 1 orang, herpes genital 14 orang, kandidiasis vaginalis 130 orang, dan
kondilominata 23 orang, kemudian peneliti melaksanakan survey awal pada Januari
2015-Mei 2015 tercatat sejumlah IMS sebanyak 107 orang dengan jenis penyakit
sifilis 2 orang, gonore 2 orang, suspect GO 2 orang, servivitis non GO 7 orang,
trihomoniasis 2 orang, ulkus mole 2 orang, herpes genital 10 orang, kandidiasis 70
orang, dan kondiloma 10 orang.
Berdasarkan laporan Rumah Sakit Kota Semarang tahun 2011 terdapat 5 jenis
IMS yang meningkat jumlah kasusnya, yaitu Candidiasis dari 297 menjadi 333
kasus,Condyloma acuminata dari 98 menjadi 126 kasus, Non Gonococcal Urethritis
(NGU) dari 19 menjadi 33 kasus,Herpes genitalis dari 23 menjadi 52 kasus dan
Trichomonas urethralis dari tidak adakasus menjadi 7 kasus.

Sebagian besar


penderita IMS berdasarkan laporan rumah sakit kota semarang adalah perempuan, hal

ini disebabkan karena perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk terkena IMS
dibanding dengan laki-laki. Sedangkan menurut golongan umur kasus terbanyak pada
umur 21 - 30 tahun, hal tersebut dapat dimungkinkan karena aktivitas seksual pada
kelompok umur tersebut cukup tinggi (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2011).
Kasus yang diperoleh peneliti dari 3 tahun berturut – turut diketahui bahwa
jenis penyakit yang paling tertinggi adalah kandidiasis vaginalis, dari tahun 2013
sampai tahun 2014 jumlah penyakit kandidiasis vaginalis mengalami peningkatan
hampir dua kali lipat, namun ditahun 2015 belum diketahui pasti terjadi penurunan
signifikan atau terjadi peningkatan jumlah penyakit kandidiasis vaginalis oleh sebab
itu peneliti melakukan wawancara kepada wanita terdiagnosa positive kandidiasis
vaginalis yang pada saat itu melakukan kunjungan pengobatan ulang sebanyak 10
orang diketahuilah bahwa seluruh pasien belum mengetahui tentang kandidiasis
vaginalis yang masih mereka anggap penyakit yang asing, dan belum sama sekali
tahu penyebab dari munculnya penyakit kandidiasis, yang mereka rasakan hanya
gejala penyakit tersebut dan ketidaknyamanan dalam berhubungan seksual dengan
pasangan.
Dampak infeksi kandidiasis pada kesehatan harus menjadi perhatian karena
sangat merugikan perempuan seperti timbulnya rasa gatal yang menimbulkan lecet

dan hubungan seks yang tidak nyaman. Adanya luka akibat kandidiasis tersebut dapat
menyebabkan risiko terinfeksi HIV. Upaya preventif dengan pemberian informasi
yang tepat kepada perempuan sangat diperlukan mengingat sampai saat ini
perempuan masih menganggap keputihan sebagai suatu hal yang normal yang

sebetulnya bisa jadi merupakan gejala kandidiasis vaginalis. Pemahaman yang belum
benar mengenai hal tersebut diperburuk dengan mahalnya pengobatan untuk
kandidiasis vaginalis di Indonesia (Qomariyah dkk., 2012).
Oleh sebab itu, dilihat dari tingginya angka kejadian penyakit kandidiasis
vaginalis dari tahun 2013 – 2015 pada ibu menjadi alasan utama peneliti untuk
melakukan penelitian tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian
kandidiasis vaginalis di wilayah kerja puskesmas kecamatan sei rampah kabupaten
serdang bedagai.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka akan diteliti
adalah faktor – faktor yang mempengaruhikejadian kandidiasis vaginalis pada ibu di
wilayah keja Puskesmas Sei Rampah Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang
Bedagai.


1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis alat kontrasepsi, antibiotik,
vaginal hygiene, diabetes mellitus, dan kehamilan yang mempengaruhi kejadian
kandidiasis vaginalis ibu PUS di wilayah kerja Puskesmas Sei Rampah Kecamatan
Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai

1.4 Hipotesis
Ada pengaruh alat kontrasepsi, antibiotik, vaginal hygiene, diabetes melitus,
dan kehamilan dengan kejadian kandidiasis vaginalis pada ibu di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai.

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Ibu yang terdiagnosa kandidiasis vaginalis sebagai informasi untuk
meningkatkan kesadaran diri tentang pentingnya kesehatan organ/sistem
reproduksi
2. Bagi Puskesmas Sei Rampah Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai
penelitian ini akan bermanfaat memberikan masukan dan informasi yang berguna
bagi Puskesmas khususnya tenaga kesehatan yang terkait dan kebijakan program
kesehatan reproduksi dalam rangka penyuluhan untuk menurunkan kejadian
infeksi pada alat reproduksi wanita
3. Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dan
data tambahan dalam penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini.

Dokumen yang terkait

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MOJOLABAN Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester Iii Di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo.

3 16 16

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kandidiasis Vaginalis Pada Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2015

0 0 17

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kandidiasis Vaginalis Pada Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2015

0 0 2

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kandidiasis Vaginalis Pada Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2015

0 0 24

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kandidiasis Vaginalis Pada Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2015

2 3 3

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kandidiasis Vaginalis Pada Ibu Di Wilayah Kerja Puskesmas Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2015

0 0 30

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 0 18

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 0 2

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 1 14

Faktor-Faktor yang Memengaruhi terhadap Kejadian Hipertensi pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Silinda Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 1 43