Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kota Medan Tahun 2010 Putaran Kedua

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini merefleksikan penelitian-penelitan terdahulu. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan rujukan hasil penelitian sebelumnya sebagai
berikut:
Ada dua studi yang dilakukan dengan skala nasional mengenai prilaku
pemilih dan menghasilkan temuan yang berbeda perihal sejauh mana etnis
berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Studi pertama dilakukan oleh Ananta
(et.al). 1 Studi ini menunjukkan etnis adalah salah satu penjelas dalam perilaku
pemilih di Indonesia. Studi kedua dilakukan oleh Liddle dan Mujani2.
Penelitian Liddle dan Mujani menghasilkan temuan sebaliknya. Aspek
etnis bukanlah variabel penting dalam menjelaskan pilihan seseorang pada partai
atau kandidat. Tidak ada perbedaan yang tegas pilihan seseorang pada partai atau
kandidat berdasarkan pada etnis mereka seperti pada temuan Ananta (et.al ).
Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau non Jawa tidak terlihat punya perbedaan
pilihan partai atau kandidat presiden. Mengapa ada perbedaan temuan? Penulis
berpendapat perbedaan metode dan data yang dipakai oleh kedua studi turut
menentukan perbedaan temuan. Studi Ananta menggunakan data agregat—dalam

hal ini data etnis di masing-masing kabupaten /kota dari BadanPusat Statistik
(BPS) dan data perolehan suara di masingmasing kabupaten / kota dari Komisi

11

Pemilihan Umum (KPU).

Metode dan data yang dipakai Ananta (et.al ) ini

berbeda dengan yang dilakukan oleh 2Liddle dan Mujani menggunakan survei
dengan sampel responden yang diambil secara representatif dan menggambarkan
suara pemilih di Indonesia. Responden ditanya etnis (suku) mereka dan ditanya
preferensi partai dan kandidat. Dari sini, 2Liddle dan Mujani sampai pada
kesimpulan tidak ada perbedaan yang tajam antara preferensi pemilih berdasarkan
etnis. Kedua metode ini punya kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan
sedikit banyak menentukan perbedaan temuan. Temuan Ananta (et.al ) ataupun
Liddle dan Mujani itu perlu diperkaya dengan lebih banyak penelitian lain yang
mengkaji kaitan antara etnisitas dan perilaku pemilih termasuk faktor agama
seperti pendapat Arend Lijphart (1977) menemukan bahwa agama, dibandingkan
dengan factor sosilogis lain, merupakan faktor paling penting dalam

mempengaruhi prilaku pemilih dalam masyarakat demokrasi maju.

2

Lihat William Liddle dan Saiful Mujani, The Power of Leadership: Explaining Voting Behavior in the
NewIndonesian Democracy , Laporan penelitian, 2003. Temuan ini diperkuat dengan studi selanjutnya thn
2007

2.2. Perilaku Pemilih
Perilaku adalah respon individu atau kelompok terhadap lingkungan.
Dalam fisiologi, perilaku manusia merupakan bagian penting dari perubahan
fisik yang menitik beratkan pada sifat dan karakteristik yang khas dari organorgan atau sel-sel yang ada dalam tubuh. Dalam kacamata ilmu sosial, perilaku
atau perbuatan manusia merupakan manifestasi terhadap pola-pola hubungan,
dinamika, perubahan dan interaksi yang menitik beratkan pada masyarakat dan
kelompok sosial sebagai satu kesatuan, serta melihat individu sebagai bagian
dari kelompok masyarakat (keluarga, kelompok sosial, kerabat, klien, suku,
ras, bangsa). Diantara dua kelompok ilmu pengetahuan ini berdiri psikologi,
yang membidangi individu dengan segala bentuk aktivitasnya, perbuatan,
perilaku dan kerja selama hidupnya. Kerangka analisis fisiologi memberikan
penjelasan mengenai macam-macam tingkah laku lahiriah, yang


sifatnya

jasmani. Sedangkan manusia merupakan satu totalitas jasmani-rohani.
Menurut Plano, seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra (2004:200),
perilaku politik adalah pikiran dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintah.
Perilaku politik meliputi tanggapan-tanggapan internal seperti persepsipersepsi, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan, juga meliputi tindakantindakan yang nyata seperti pemberian suara, protes, lobi, dan lain sebagainya.
Ramlan Surbakti, (1997) perilaku pemilih adalah pemberian suara oleh
individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan untuk memilih atau
tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilihan umum (pilkada

secara langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.
Keikutsertaan warga negara dalam pemilu merupakan tindakan atau
keputusan politik seseorang yang ditentukan oleh perilaku, sikap dan persepsi
politik. Perilaku pemilih di Indonesia dalam beberapa pemilihan umum
sebelumnya, tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh isu ataupun kebijakan politik
yang dimiliki partai yang akan dipilihnya, namun lebih mengedepankan isu
agama, kelas sosial bahkan loyalitas turun temurun sebagai acuan dasar dalam
menjatuhkan pilihannya. Pemilih lebih mengedepankan keyakinan dan

kepentingannya dalam menjatuhkan pilihan politik walaupun pada akhirnya
pemilih seringkali mendapatkan nilai ketidakpastian yang tinggi dari janji-janji
politik pilihannya.
Konfigurasi perilaku pemilih di Indonesia bersumber dari berbagai hal
yang saling berkaitan. Perubahan iklim politik merupakan faktor utama dalam
pemetaan dan identifikasi konfigurasi perilaku tersebut. Pada masa sebelum
orde reformasi, pemilihan umum yang dilakukan, menempatkan pemilih
sebagai alat legitimasi hasil yang akan diperoleh sehingga perilaku pemilih
yang timbul bersifat monoton dan konstan. Berbeda dengan pemilihan umum
pada masa reformasi, pemilih diberikan kebebasan penuh tapi terbatas lewat
pembentukan partai maupun pendapat individu untuk melakukan komunikasi
politik yang lebih intens antar pemilih dalam upaya merubah penilaian dan
keyakinan terhadap sebuah pilihan politik. Pada akhirnya akan bermuara pada
keputusan untuk bersikap dalam menentukan pilihannya.

Faktor lain yang membentuk konfigurasi pemilih adalah kemajemukan
Indonesia dari sisi sosio-kultur, ekonomi, pendidikan dan demografi daerah.
Kemajemukan

berakibat


lahirnya

orientasi-orientasi

pemilih

dalam

menentukan sikapnya. Pada dasarnya orientasi yang lahir tidak terlepas dari
keyakinan, dalam hal ini agama dan keberlangsungan isu yang terus
berkembang.
Menurut Ramlan Surbakti (1998), ada beberapa pendekatan perilaku
pemilih untuk menjelaskan mengapa pemilih memilih kontestan tertentu, yaitu:
a) Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari
konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem
pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap
partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat
berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja,

agama, perbedaan kota dan desa, bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai,
basis sosial sistem partai dan program-program yang ditonjolkan mungkin
berbeda dari suatu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial
tersebut.
b) Pendekatan Ekologis
Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah
pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial,
seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kalau di Amerika Serikat
terdapat distrik, precinct, dan ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe
penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu,

sub kultur tertentu, dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial
sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat
dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum.
Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan karena karakteristik data
hasil pemilihan umum untuk tingkat provinsi berbeda dengan karakteristik
data kabupaten, atau karakteristik data kabupaten berbeda dengan
karakteristik data tingkat kecamatan.
c) Pendekatan Pilihan Rasional
Pendekatan rasional


melihat kegiatan memilih sebagai produk

kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos”
memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang
diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan
diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih
pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang
partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah
ikut memilih atau tidak ikut memilih.
Ciri-ciri pemberi suara yang rasional itu meliputi lima hal :
1. Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada hal alternatif.
2. Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja,
atau lebih rendahdibandingkan dengan alternatif lain.
3. Menyusun alternatif dengan cara transitif: jika A lebih suka daripada B,
dan B lebih baik daripada C, maka lebih disukai daripada C.
4. Memilih alternatif yang tingkat prestasinya lebih tinggi.

5. Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif

yang sama.

d) Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih
dalam kaitan dengan konteks sosial. Model ini percaya bahwa masyarakat
adalah sistem stratifikasi, maka dengan memeriksa hirarki individu dan
pekerjaan seseorang dapat diungkap perilaku pemilih. Stratifikasi yang masuk
dalam kategori ini termasuk :
1. gender.
2. usia.
3. kelompok formal seperti serikat buruh, organisasi massa, organisasi
keagamaan.
4. kelompok sub formal seperti keluarga, pertemanan
5. profesi pekerjaan,
6. tempat tinggal (kota-desa)
7. pendidikan
8. agama
e) Pendekatan Psikologis
Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk
menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa

identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partaipartai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.
Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya

merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor
lain.
Sedangkan menurut Adman Nursal (2004), ada beberapa pendekatan untuk
melihat perilaku pemilih, yaitu:
1. Pendekatan sosiologis (Mazhab Columbia)
Menurut Mazhab Colombia (Asfar, 1993) pendekatan sosiologis pada dasrnya
menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan sosial , usia, jenis
kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam
kelompok formal dan informal dan lainnya member pengaruh cukup
signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih.
2. Pendekatan psikologis
Mazhab Michigan menggaris bawahi adanya sikap politik para pemberi suara
yang menetap. Teori ini dilandasi oleh konsep sikap dan sosialisasi.
3. Pendekatan rasional
Dalam konteks pendekatan rasional, pemilih akan memilih jika ia merasa ada
timbal balik yang akan diterimanya. Ketika pemilih merasa tidak
mendapatkan faedah dengan memilih calon yang sedang bertanding, ia tidak

akan mengikuti dan melakukan pilihan pada proses Pemilu. Hal ini juga
sejalan dengan prinsip ekonomi dan hitung ekonomi. Pendekatan ini juga
mengandaikan bahwa calon walikota dan wakil walikota akan melakukan
berbagai promosi dan kampanye yang bertujuan untuk menarik simpati dan
keinginian masyarakat untuk memilih dirinya pada pemilukada.
Keputusan untuk memberikan dukungan suara dan tidak memberika suara
terjadi apabila tidak terdapat kepercayaan tinggi dari pemilih kepada calon

tersebut. sebaliknya pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka
menganggap bahwa partai dan calon tersebut tidak loyal serta tidak konstiten
dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.
Perilaku pemilih juga sarat dengan ideologi antara pemilih dengan calon
ataupun partai politik. Melwit menyebutkan bahwa perilaku politik
merupakan pengambilan yang bersifat instan, tergantung pada situasi sosial
politik tertentu dan tidak berbeda dengan keputusan lainnya. 10 (Ramlan
Surbakti, hal 89) Tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor
tertentu dalam mempengaruhi keputusan pemilih seperti faktor partai yang
mendukung pasangan calon, citra atupun figur kandidat tersebut.
Perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Untuk memahami faktor pemilih dalam menentukan

pilihannya pertama kita haru memahami bagaimana konteks latar belakang
historisnya. Sikap dan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya
11

banyak dipengaruhi oleh proses dan sejarah masa lalu. Ini dikarenakan

budaya politik di indonesia masih kental akan sejarah dan kebudayaan masa
lampau.
Faktor kedua ialah kondisi geografis dan wilayah. Hal ini sangat berpengaruh
kepada masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilu,
secara tidak langsung perilaku pemilih banyak ditentukan oleh faktor
wilayah. Oleh karena itu kondisi dan faktor geografis/wilayah menjadi
pertimbangan penting dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang.

Misalnya saja dalam pengambilan keputusan, peraturan dan kebijakan sampai
dalam pemilihan umum. Hal ini menuntut agar si calon pandai-pandai
membuat strateginya dalam kampanye agar perilaku pemilih cenderung
memilih si kandidat tersebut.
Faktor ketiga ialah agama/keyakinan dan budaya. Dalam hal ini mencakup
hal-hal yang berhubugan dengan agama dan budaya masyarakat baik itu
kesukuan, etnisitas sampai ras. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang majemuk dan pluralitas ataupun beraneka ragam. Agama
telah memberikan nilai moral politik yang memberikan pengaruh bagi
masyarakat

dalam

menentukan

pilihannya.

Dalam

hal

ini

peneliti

memfokuskan kepada etnis tionghoa yang dominan beragama Budha namun
memang tidak semua etnis tionghoa beragama Budha. Keyakinan dan agama
merupakan pedoman acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah
yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan
agama dan keyakinannya dalam proses politik. Hal ini membenarkan bahwa
agama dan keyakinan dapat mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam
aktivitas politik.
Begitu pula halnya dengan Suku ataupun Etnisitas. Konsep etnisitas akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya. Dalam kajian ini kita ketahui bahwa
perilaku politik seseorang bisa saja dipengaruhi oleh ikatan-ikatan tertentu
seperti rasa keterikatan dalam etnisitas. Etnis tionghoa cenderung memilih
dan memberikan pilihan mereka dalam pemilu kepada kandidat yang paling
mengarah kepada faktor ini. Untuk itulah perlu dikaji lebih mendalam

mengapa faktor kesukuan ini sangat mempengaruhi dalam perilaku politik
etnis tionghoa.
Faktor keempat ialah pendidikan dan komunikasi yang sangat berpengaruh
kepada perilaku konstituen. Pendidikan dan komunikasi yang baik dari si
calon maupun kandidat akan memberikan dan mempengaruhi simpatik
konstituen. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi
tingkat kesadaran politiknya, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah
tingkat pendidikan masyarakat maupun seseorang maka semakin rendah
tingkat kesadaran politiknya. Selain itu, komunikasi politik yang intens akan
mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam aktivitas politiknya dan
perilaku politiknya dalam menentukan pilihannya dalam pemilihan umum.
Itulah beberapa teori mengenai konsep perilaku politik dan bagaimana
perilaku politik seseorang dalam menentukan pilihan politiknya dalam
pelaksanaan pemilihan umum. Harapannya ialah perilaku politik seseorang
itu sebaiknya tidak lagi dipengaruhi oleh sifat-sifat yang berbau budaya,
namun kita sebagai konstituen memberikan pilihan kita berdasarkan visi dan
misi dari calon atupun kandidat tersebut.

4. Pendekatan marketing
Newman dan Sheth (1985) mengembangkan model perilaku pemilih
berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing. Menurut model
ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan
terpisah, sebagai berikut:
1. Isu dan Kebijakan Politik

Komponen isu dan kebijakan politik mempersentasikan kebijakan atau
program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat jika
kelak menang pemilu.
2. Citra Sosial
Citra sosial adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai
“berada” di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa
seseorang kandidat politik
3. Perasaan Emosional
Perasaan emosional adalah dimensi yang terpancar dari sebuah kontestan
yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan.
4. Citra Kandidat
Mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai
karakter kandidat
5. Peristiwa Muktahir
Peristiwa Muktahir menagcu pada himpunan peristiwa, isu, dan kebijakan
yang berkembang menjelang dan selama kampanye.
6. Peristiwa Personal
Peristiwa Personal mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang
pernah dialami secara pribadi oleh seorang kandidat
7. Faktor-faktor epistemik
Faktor-faktor epistemic adalah isu-isu pemilihan spesifik yang terdapat
memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru.
Keempat pendekatan perilaku pemilih saling menguatkan atau melengkapi
satu sama lainnya, Untuk memudahkan kepentingan praktis, kiat dapat

menyederhakan keempat pendekatan itu menjadi sebuah rangkuman tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih yaitu;
1. Social imagery atau citra sosial (pengelompokan sosial)
2. Identifikasi partai
3. Kandidat
4. Isu dan Kebijakan politik (issue and policies)
5. Peristiwa-peristiwa tertentu
6. Faktor-faktor epistemik

2.3

Tipe-tipe Pemilih
Dalam memilih sebuah partai politik atau kontestan, pemilih memiliki

perilaku dalam mengambil keputusan dalam menentukan pilihannya. Perilaku ini
berasal dari hasil persepsi pemilih dalam melihat profil maupun trade record dari
partai politik auat kontestan. Terkadang perilaku pemilih ini rasional dan nonrasional dalam menentukan pilihannya.
Menurut Quist dan Crano (2003) dalam Firmanzah (2004) penting untuk
mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa dan bagaiman pemilih
menyuarakan

pendapatnya.

Secara psikologis, Newcomb (1978) dan bryne

(1971) mengungkapkan bahwa untuk menganalisa rasionalitas pemilih dalam
menentukan pilihannya dapat digunakan model kesamaan (similiarity) dan
ketertarikan (attraction). Dasar pengguna model tersebut karena setiap individu
akan tertarik kepada suatu hal atau seseorang bila memiliki system nilai dan
keyakinan yang sama. Maksudnya adalah bila dua pihak memiliki karakteristik

yang sama (similiarity) maka akan semakin meningkatkan ketertarikan (attraction)
satu dengan yang lainnya.
Firmanzah (2004) membagi dua jenis kesamaan dalam menilai kedekatan
dengan partai politik atau seorang kontestan, yaitu (1) kesamaan akan hasil akhir
yang inngin dicapai (policy-problem-solving), dan (2) kesamaan akan faham dan
nilai dasar ideology (ideology) dengan salah satu partai atau seorang kontestan.
Kesamaan pertama berkaiatan dengan kemampuan kontestan dalam menawarkan
solusi masalah. Menurut Pattie dan Johnston (2004), perspektif akan menjadi
penting di saat kampanye pemilu, karena kontestan dapat meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan pemilih akan program kerja partai politik dan
kontestan melalui penyediaan informasi dan komunikasi yang efektif. Selanjutnya
adalah kesamaan ideology. Mengacu kepada kesamaan ideologi Sargent (1987)
memberikan batasan tentang ideologi sebagai sebuah sistem nilai atau
kepercayaan yang diterima sebagai suatu fakta atau kebenaran oleh suatu
kelompok,
Menurut Firmanzah (2007), karakteristik pemilih yang didasarkan kepada
kesamaan ideology, lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti
kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi dan psikografis.
Maksudnya adalah, pemilih ceenderung berkelompok kepada kontestan yang
memiliki kedekatan ideology yang sama dengan pemilihnya. Kedua pendekatan
mosel tersebut diatas dapat memudahkan kontestan dan pemilih dalam memetakan
kategori pemilih dan kontestan berdasarkan karakteristik kesamaan atau
kedekatan. Sehingga bagi kontestan dapat menjadi dasar dan pemberi arah bagi

para pemilihnya. Selain itu di dalam keputusan untuk memilih, pemilih memiliki
“judgement” yang mendasari pemilihan suatu konntestan.
Menurut Firmanzah (2004) pertimbangan pemilih yang mempengaruhi
terbagi tiga faktor secara bersamaan: (1) kondisi awal pemilih, (2) media massa,
dan (3) partai politik atau kontestan. Faktor pertama adalah kondisi awal pemilih,
seperti kondisi sosial budaya dan nilai tradisional, selain itu pula tingkat
pendidikan dan ekonomi (Chapman dan Palda, 1983). Faktor kedua menurut
Hofstetter et al, (1978) adalah media massa memiliki keberpihakan dan bias
dalam memberikan informasi kontestan (Trentetal, 2001). Faktor ketiga yaitu
karakteristik dari partai politik dan kontestan itu sendiri, seperti reputasi partai
politik (Fiorina, 1981), waktu yang dibutuhkan oleh kontestan dalam membangun
reputasi, kepemimpinan (Karp, et al, 2002). Ketiga hal ini akan mempengaruhi
judgement pemilih tentang kedekatan dan ketertarikan mereka tentang partai
politik.

Kondisi Awal

Media massa

1. Sosial budaya
pemilih

1. Data, informasi
dan berita media
massa

2. Nilai tradisional
pemilih
3. Level
pendidikan dan
ekonomi pemilih
4. dll

2. Ulasan ahli
3. Permasalahan
terkini
4. Perkembangan
tren situasi

Partai Politik
/Kontestan
1. Catatan kinerja
dan reputasi
2. Marketing
politik
3. Program kerja
4. Sistem nilai

Pemilih

Ideologi

Partai Politik /
Kontestan

Policy problem

Gambar 2.1 Faktor yang mempertimbangkan pilihan pemilih (Firmanzah, 2007)

Atas dasar model pendekatan kesamaan atau kedekatan ideology dan
policy-problem-solving, Firmanzah (2007) memetakan tipologi ke dalam empat
kolom tipologi pemilih. Empat tipologi tersebut terdiri atas:
1.

Pemilih Rasional
Peemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy problem solving” dan
berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih
mengutamakan kemampuan partai politik atau kontestan dalamprogram
kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki cirri khas yang tidak begitu
mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang

kontestan. Faktor seperti faham, asal-usul, niali tradisional, budaya, agama,
dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang
signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa
(dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan,
daripada paham dan nilai partai atau kontestan. Pemilih jenis ini mulai
banyak terdapat di Indonesia, terutama sejak lengsernya Soeharto dari puncak
pimpinan Negara.
2.

Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada
kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan
permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang
bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih
terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak
semudah “rational voter” untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini
adalah pemilih yang kritis. Artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan
antara system nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang dibuat. Pemilih
jenis ini harus di ‘manage’ sebaik mungkin oleh sebuah partai politik atau
seorang kontestan. Pemilih memiliki keinginan dan kemampuan untuk terus
memperbaiki kinerja partai, sementara kemungkinan kekecewaan yang bisa
berakhir ke frustasi dan pembuatan partai politik tandingan juga besar.

3.

Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan
tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai
sesuatu yang penting dalam pegambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat

mengutamakan kedekatan sosial budaya, niali asal usul, paham, dan agama
sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis
ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai
historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik
mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan
konservatif dalam memegang nilai serta faham yang di anut. Pemilih
tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode
kampanye (Rohrscheneider, 2002). Loyalitas tinggi merupakan salah satu
cirri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini.
4.

Pemilih Skeptis
Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup
tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga sebagai
sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik
pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang
rendah sekali.

Mereka juga kurang memperdulikan program kerja atau

‘platfrom’ dan kebijakan sebuah partai politik.

2.4.

Etnis
Pada awalnya istilah etnis hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang

dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam
masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas
mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas.
Misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India.

Perkembangan belakangan ini menyebutkan bahwa, istilah etnis juga
dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli
Indonesi, misalnya suku batak. Istilah etnis sendiri merujuk pada pengertian
kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam
kelompok.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis berarti kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan
tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota
suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah, bahasa, sistem nilai,
serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnis menunjuk pada suatu
kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun
kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok
etnis adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
a. Dalam

populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan

kelompok dengan berkembang biak.
b. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain
Sekarang ini, etnis sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan
adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnis bukan lantas harus
menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat

umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang
khas etnis tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan
etnis bersangkutan. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama
dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok
etnis atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior
dari kelompok lain.
Definisi etnis diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnis
yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan
menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain.
Sebuah kelompok etnis pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah.
Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnis tertentu ataukah tidak
tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnis itu
atau tidak.
Etnis tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas.
Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnis lain, hal itu tidak
menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnis yang diperkuat, dimana
identitas etnis semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang
terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi.
Justru, perkuatan identitas etnis lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnis
dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam
meraih sumber daya tertentu.
Etnisitas sebagai ikatan primordialisme terkadang digunakan oleh elit
politik lokal di suatu daerah sebagai isu dalam meraup suara pada saat momentum
di sebuah pemilihan. Para elit lokal terkadang mendoktrinasi anggota

kelompoknya serta menyebarkan kepercayaan serta kebencian yang menjadi
sumber ketegangan sosial. Segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan
social yang terikat kedalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub- kebudayaan
yang berbeda satu sama lain mudah sekali menimbulkan konflik-konflik diantara
kesatuan-kesatuan sosial tersebut.
Jadi, berbicara mengenai etnisitas tetap tidak kehilangan momentum.
Hanya saja, pemahaman mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnis
sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi
telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan
karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme,
identitas etnispun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis.
Identitas etnis menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi
tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu.
Terakhir ialah bahwa etnis tertentu memang memiliki suatu keterikatan
tertentu antar mereka yang memiliki kesamaan, baik itu hubungan saudara
maupun keterikatan lainnya. Penelitian ini pun ingin mengungkapkan konsep
etnisitas dan keterkaitannya dengan preferensi perilaku pemilih dalam Pemilu.

2.5. Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada)
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomar 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggaraan Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu,
sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
kepala Daerah. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undangundang ini adalah daerah DKI jakarta 2007.

Pemilih umum kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah: gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, bupati dan wakil bupati
untuk kabupaten, wali kota dan wakil wali kota untuk kota, sebelumnya pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Peserta pilkada berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004,
peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Khususnya di Nanggroe Aceh
Darussalam, peserta pilkada dapat berasal dari calon perseorangan dan partai
politik lokal. Adanya ketentuan peserta pilkada hanya bisa dicalonkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik dianggab bertentangan dengan UUD 1945.
Pada tanggal 23 juni, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagian pasal dalam
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
hanya memberi kesempatan kepada partai politik dan gabungan partai politik dan
menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam pilkada
bertentangan dengan UUD 1945.
Suatu negara dikatakan demokratis apabila memenuhi prasyarat antara
lain memberi kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan prefensi- prefensi
politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. Selain
itu juga harus memberikan ruang untuk berkompetisi yang sehat dan melalui caracara damai, serta tidak melarang siapapun untuk berkompetisi untuk jabatan
politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat yang

penting demokrasi. Oleh karena itu salah satu agenda penting dalam pilkada
langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik.
Dalam hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari
persfektif kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian
inheren agenda reformasi politik, sebagai mana menjadi tuntutan mahasiswa saat
meruntuhkan rezim orde baru. Namun dibalik euforia menyongsong pilkada
langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal
ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Karena itu potensipotensi konflik harus dapat diantisipasi dan yang harus diwaspadai potensipotensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah.

Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki
fungsi- fungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Fungsi pemilihan
langsung kepala daerah ada beberapa diantaranya :
a. Sebagai Sarana Legitimasi Politik
Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem
politik. Melalui pemilihan umum kapala daerah, keabsahan pemerintahan
daerah yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan
yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang
disepakati bersama tak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga
memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun
melanggarnya.

yang

Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis
dari pemilihan umum. Ada tiga alasan pemilihan umum dapat menjadi
legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa :
1) melalui

pemilihan

umum

pemerintah

dapat

meyakinkan

atau

memperbaharui kesepakatan- kesepakatan politik dengan rakyat.
2) melalui pemilihan umum pemerintahan dapat pula mempengaruhi perilaku
rakyat atau warga negara.
3) dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengadakan
kesepakatan

dari

rakyat

ketimbang

pemaksaan

(coercion)

untuk

mempertahankan legitimasinya.
Gramsci (1971) menunjukkan bahwa kesepakatan (conscent) yang diperoleh
melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama
sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dari otoritasnya ketimbang
penggunaan kekerasan dan dominasi.
b. Fungsi Perwakilan Politik
Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik untuk mengevaluasi
maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang
dihasilkan. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme
demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya
yang akan duduk dalam pemerintahan.
c. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sebagai
Mekanisme Bagi Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa Tingkat Daerah.
Keterkaitan pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan
sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas

mewakili masyarakat luas atau rakyat. Secara teoritis, hubungan pemilihan
umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan melihat proses mobilitas
kaum elit atau non elit yang menggunakan jalur institusi politik, dan organisasi
kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat nasional, yakni sebagai
anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu, pemilihan umum
merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa.
Dengan begitu maka melalui pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala
Daerah diharapkan dapat berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa
tingkat daerah secara kompetitif dan domokratis.
d. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Bagi Rakyat
Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat
yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa
mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang demokrasi.

2.6. Kerangka Berpikir
Berbagai faktor dan struktur sosial yang ada dalam tokoh masyarakat
dapat menjadi variabel yang sangat berpengaruh. Dalam konteks Pilkada Kota
Medan Tahun 2010, perilaku memilih sangatlah di pengaruhi oleh faktor-faktor
primordialisme yaitu kuatnya ikatan kekerabatan (darah dan kekeluargaan) dan
kesamaan kesukuan, bahasa, dan adat-istiadat, agama yang merupakan faktorfaktor primordial yang membentuk perilaku memilih masyarakat. Secara
sederhana faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar bagan kerangka
berpikir berikut:

Faktor-faktor yang mempengaruhi
Perilaku Pemilih:
1. Etnisitas
2. Agama
3. Preferensi Politik Keluarga
4. Gender
5. Identifikasi Partai
6. Politik Uang
7. Citra Kandidat

Perilaku
Pemilih

Gambar 2.2 Kerangka berpikir penelitian

1. Ikatan etnisitas diartikan sebagai ikatan sesorang dengan kelompok atau orang
lain yang didasari oleh hal-hal yang bersifat asal, primer atau unsur bawaan.
Ikatan etnisitas merupakan sesuatu ikatan yang mengandung daya paksa atau
kekuatan yang didasarkan pada unsur-unsur asal atau primer yang selalu ada
dalam masyarakat.
2. Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya,
dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah
dari kehidupan.
3. Preferensi politik keluarga adalah factor afeksional seperti kepercayaan (trust),
solidaritas (solidarity) maupun soliditas yang secara keseluruhan turut
menentukan eksistensi dinasti politik, baik antara anggota internal keluarga
maupun krooni-kroni yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

4. Gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin . Tetapi Gender
merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan
biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki
maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang.
5. Identifikasi kepartaian adalah ikatan emosional individu dengan suatu partai.
Ikatan itu merupakan identifikasi psikologis tanpa pengakuan formal atau
dinyatakan dalam bentuk keanggotaan formal dan bahkan tidak harus
konsisten untuk mendukung suatu partai. Identifikasi partai telah diperoleh
dari masa kanak-kanak dan dianggap relatif stabil dalam kehidupan seseorang,
tetapi kadang-kadang bisa menguat atau melemah sewaktu masa dewasa,
(Gaffar, 2007:191).
6. Politik uang menurut Teten Masduki (2004) adalah pemberian uang, atau
barang, atau fasilitas tertentu, dan janji kepada para orang-orang tertentu agar
seseorang dapat dipilih apakah misalnya menjadi Kepala Derah/Wakil Kepala
Daerah.Teten Masduki juga menyebutkan bahwa politik uang (money politics)
berbeda dengan ongkos politik (cost politic).
7. Citra kandidat (candidate personality) dalam penelitian ini sebagaimana
dikemukakan Nursal, yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting
yang dianggap sebagai karakter kandidat.