Evaluasi Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 Di Kabupaten Bandung.
EVALUASI PERILAKU PEMILIH
DALAM PEMILIHAN UMUM
KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
TAHUN 2010 DI KABUPATEN BANDUNG
Penelitian
Oleh
Dr. Drs. Agustinus Widanarto, M.Si.
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dan merupakan sarana
implementasi kedaulatan rakyat dalam bidang politik, yakni memilih dan menentukan orangorang yang akan menjalankan hak kedaulatan dalam berbagai lembaga politik untuk
mengambil suatu keputusan dengan atas nama rakyat. Kualitas dari Pemilu sangat
menentukan kualitas lembaga eksekutif yang berujung pada kualitas kebijakan publik,
alasannya karena nantinya eksekutif memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk
mempengaruhi proses tatanan pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu dapat juga dijadikan suatu ukuran keberhasilan dalam menciptakan
dan membangun nuansa demokrasi, sebab Pemilu merupakan salah satu indikator dari suatu
negara dapat dikatakan/digolongkan menjadi negara yang demokratis, seperti yang dikatakan
Gaffar (2000: 8-9) sebagai berikut:
Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur, setiap warga
negara, yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas
menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas
menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau
paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas
pemilihan termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan
suara.
Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung dalam konteks daerah disebut Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung merupakan sarana merupakan
partisipasi masyarakat (publik). Dalam hal ini rakyat secara langsung menentukan siapa yang
hendak memimpin jalannya tatanan pemerintahan selama lima tahun mendatang.
Terpilihnya Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkualitas merupakan
suatu harapan utama terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang balk. Pemilukada
merupakan momentum untuk dapat melaksanakan suksesi kepemimpinan lokal sebagai
wujud implementasi demokrasi yang partisipatif. Melalul Pemilukada, rakyat dapat
berpartisipasi langsung dalam menentukan pemimpinnya yang mereka nilai aspiratif,
kapabel, kredibel dan akseptabel. Hal ini merupakan lompatan demokrasi yang cukup penting
dalam lanskap sosio politik Indonesia, dari yang corak sentralistik di masa Orde Baru
menjadi desentralistik di era reformasi.
Melalui konsep desentralisasi diharapkan akan tenvujud kesejahteraan masyarakat dan
keterlibatan publik dalam proses politik yang sehat. Kepala daerah dalam perspektif
organisasi memiliki peran strategic yang menentukan tingkat keberhasilan sebuah organisasi.
Pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan figur dan alat utama untuk dapat menjalankan
roda organisasi ke arah yang lebih balk. Dalam hal ini Pemilukada secara langsung
merupakan sarana serta wahana untuk dapat melahirkan dan menciptakan pemimpin yang
berkualitas dan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya khususnya
masyarakat lokal. Untuk itu sangatlah penting keterlibatan masyarakat yang sudah
mempunyai hak pilih untuk dapat mengapresiasi dan memberikan dukungan serta
menyalurkan aspirasinya dalam pelaksanaan Pemilukada ini, dengan tujuan untuk dapat ikut
menentukan dan menciptakan pemimpin yang berkualitas dan dapat menentukan roda
pemerintahan yang baik.
Pemilukada merupakan proses transformasi politik, maka Pemilukada selain
merupakan bagian dari penataan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin fungsinya
mekanisme check and balances system di antara lembaga-lembaga politik dari tingkat pusat
sampai daerah, masyarakat mengharapkan pula agar pelaksanaan Pemilukada dapat
menghasilkan Kepala Daerah yang lebih akuntabel, berkualitas, legitimit, aspiratif dan peka
terhadap kepentingan masyarakat.
Makna Pemilukada bagi perkembangan tatanan pemerintahan memiliki kapasitas
yang tinggi, sehingga politik merupakan suatu proses yang mampu mewujudkan pembagian
kekuasaan yang berpihak kepada kebaikan, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu
partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan.
Pelaksanaan Pemilukada sangat membutuhkan partisipasi masyarakat yang aktif dan
berkualitas, sebab tanpa adanya keterlibatan aktif dari masyarakat sebagai pemilih dalam
berbagai tahapan Pemilukada dapat dipastikan kurang berkualitas. Hal ini sesuai dengan
bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Rush dan Althop (2000: 124) bahwa bentuk
partisipasi secara bertingkat dari tertinggi bergerak ke yang terendah sebagai berikut:
1. Menduduki jabatan politik atau adminstratif
2. Mencari jabatan politik atau administratif
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
9. Voting (pemberian suara).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, voting (pemberian suara) merupakan bentuk
partisipasi politik yang paling rendah, namun demikian sangat signifikan. Begitu juga dalam
proses penyelenggaraan Pemilukada sangat memerlukan partisipasi politik masyarakat yang
tinggi dari kalangan masyarakat. Dengan kata lain artinya adalah bahwa masyarakat yang
sudah memiliki hak pilih untuk dapat memberikan aspirasinya dalam pelaksanaan
Pemilukada dalam bentuk memberikan suara untuk dapat memilih dan menentukan
pemimpin di masa mendatang untuk dapat menjalankan roda pemerintahan di daerah yang
bersangkutan.
Pelaksanaan Pemilukada memiliki peran strategic untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, termasuk Pemilukada di Kabupaten Bandung yang saat ini merupakan yang ke dua
kalinya pelaksanaan Pemilukada secara langsung. Pertarna dilaksanakan pada tahun 2005
yang lalu. Artinya adalah bahwa Pemilukada saat ini merupakan evaluasi dari pelaksanaan
Pemilukada yang pertama, dimana Pemilukada ini bertujuan agar terbentuk pemerintahan
yang lebih legitimit, lebih bertanggung jawab kepada publik, lebih mampu mengedepankan
kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok dan individu.
Hasil dari pelaksanan Pemilukada secara langsung ini dibutuhkan pemimpin yang
akan dapat melakukan terobosan baru baik dalam meningkatkan kinerja aparatur birokrasi,
merekonstruksi peranan sosial bagi para pelaku gerakan sosial, dapat memperbaiki kontelasi
politik yang selama ini memperlambat proses terciptanya tatanan pemerintahan yang baik,
efektif dan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dengan menyadari betapa pentingnya Pemilukada, maka dalam pelaksanaannya harus
melibatkan semua pihak dengan suatu kesadaran yang utuh. Baik buruk penyelenggaraan
Pemilukada ditentukan oleh kualitas dan kapabilitas KPU Daerah yang bertindak sebagai
pelaksana dari penyelenggaraan pemilu baik penyelenggara teknis, maupun mengatur agar
semua pihak yang memenuhi syarat dapat mengajukan sebagai Calon Bupati dan Wakil
Bupati serta, penentuan daftar pemilih tetap (DPT).
Kualitas partai politik sebagai pengusung calon, partai politik dengan segala
dinamikanya tentu mengambil peran dalam perebutan kekuasaan yang ada, sebab partai
politik memang ada dan hadir untuk memperebutkan kekuasaan secara. teratur.
Mengamati perkembangan partai politik, sampai saat ini masih dapat dikatakan
kurang mampu dalam menghadirkan calon-calon pemimpin yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan, justru calon yang dapat dihadirkan itu lebih banyak didorong oleh
kepentingan-kepentingan tertentu. Proses terakhir penyelenggaraan Pemilukada di tangan
rakyat bukan di tangan elit, oteh karenanya Pemilu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam hal ini rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berhak menentukan siapa yang hendak
menjadi pemimpin, bukanlah uang yang menentukan kekuasaan dan bukan pula popularitas
yang abstrak yang menentukan kekuasaan akan tetapi rasionalitas publik, kehendak publik,
kemandirian publik, kematangan publik dan kesadaran publik yang menentukan dalam
Pemilukada. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul:
“Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung”.
1.2. Perumusan Masalah
Fokus permasalahan dalam penelitian ini perilaku pemilih belum menunjukkan
sebagai pemilih yang cerdas, dewasa, bertanggungjawab dan rasional. Hal ini terihat dari
jumlah daftar pemilih tetap yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 49%,
pilihan yang dijatuhkan masyarakat bukan berdasarkan pertimbangan yang matang, adanya
keterlibatan oknum birokrasi pemerintahan dalam mengarahkan pilihan masyarakat,
rendahnya keaktifan dalam proses Pemilukada terutama dalam masa kampanye pada
pemilukada putaran pertama.
1.3. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini peneliti merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
2) Hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
3) Upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
a. Untuk mendeskripsikan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
b. Untuk mendeskripsikan hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
c. Untuk mendeskripsikan upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
Manfaat Penelitian
a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi stakeholders, penentu kebijakan
dalam rangka mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah
secara langsung di Kabupaten Bandung.
b. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kabupaten Bandung dalam mendukung
suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten
Bandung pada waktu-waktu yang akan datang.
1.5. Kerangka Pemikiran
Menjadikan peran Pemilu sebagai alat demokrasi, berarti memposisikan pemilu dalam
azasinya sebagai wahana pembentukan representatif government. Berlangsungnya Pemilu
sebagai wahana representatif government sebagai metode pemerintahan, telah melibatkan
berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan komponen
bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tatanan infra struktur politik. Masingmasing berproses dalam memilih sebagian dari anggota masyarakat, untuk menduduki
berbagai jabatan pemerintahan dalam suatu pemerintahan demokratis.
Salah satu syarat terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya proses
demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi ruang bagi setiap
anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya, tetapi juga demokrasi yang
substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas
partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi.
Gaffar (2007: 7-9) memberikan beberapa hal pokok yang menggambarkan
terlaksananya proses politik dan pemerintahan yang demokratis:
1. Akuntabilitas; yaitu setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh
termasuk perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan
dijalankannya.
2. Rotasi kekuasaan; yaitu dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi
kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai.
3. Rekruitment politik yang terbuka; orang yang memenuhi syarat untuk mengisi
suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam
melakukan kompetisi jabatan.
4. Pemilihan umum; dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara
teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak
hati nuraninya.
5. Menikmati hak-hak dasar yaitu dalam satu negara yang demokratis, setiap warga
negara dapat menikmati hak-hak dasar secara bebas, termasuk didalamnya adalah
hak-hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk
berkumpul dan bebas (freedom of assembly) dan hak untuk menikmati pers yang
bebas (freedom of press).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa Pemilukada yang langsung,
umum bebas, dan rahasia serta yang jujur dan adil itu dalam hal ini pemilih dapat
menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nurani merupakan salah satu alat utama proses
penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksananya Pemilukada yang berkualitas
merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan menghasilkan pemegang
jabatan publik yang terbaik, bukan sembarang orang. Hasil pemilihan umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan adanya akurasi
partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Berkaitan dengan penelitian ini yang membahas tentang perilaku pemilih dalam
pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada tahun 2010 di Kabupaten Bandung, maka ada
beberapa konsep dasar yang dikemukan dalam kerangka teori, yaitu partisipasi politik
(political participation), dan perilaku memilih (voting behavior).
1.5.1. Partisipasi Politik
Keikutisertaan masyarakat dalam Pemilu khususnya dalam Pemilukada merupakan
serangkaian kegiatan dalam proses pembuatan keputusan. Pemilukada merupakan
kesempatan bagi rakayat untuk memilihi wakil-wakilnya dan memilih pejabat pemerintah
serta menentukan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah. Untuk itu,
Pemilu berkaitan erat dengan partisipasi politik, karena keikutsertaan rakyat dalam Pemilu
termasuk dalam Pemilukada merupakan salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam sebuah
negara demokratis.
Untuk itu anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan politik, misalnya
melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan
ini kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalurkan atau terwakili. Keyakinan akan
kebutuhan dan kepentingan tersebut sangat berpengaruh dalam pemilihan umum, khususnya
dalam memberikan pilihan pada salah satu kontestan atau partai politik.
1.5.2. Voting Behaviour
Perilaku pemilih didasarkan pada dua model atau dua pendekatan, yaitu pertama
pendekatan sosiologis dan kedua pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan sosial
Amerika Serikat, pendekatan pertama disebut sebagai Aliran Columbia (The Columbia
School of Electoral Behavior), sementara pendekatan kedua disebut dengan Aliran Michigan
(The Michigan Survey Research Center), Afan Gaffar (1992) Pendekatan Sosiologis lebih
menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang,
sementara pendekatan psikologis lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam
menentukan perilaku politiknya. Selain itu, ada pula pendekatan lain yaitu pendekatan politik
rasional yang lebih melihat bahwa perilaku politik seseorang berdasarkan pada pertimbangan
untung-rugi yang didapat oleh orang tersebut.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung, menggunakan metode deskriptif
melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif
dan data kualitatif (dominant less dominant) yang merupakan cara untuk menggambarkan
suatu gejala, proses atau suatu kegiatan yang dilakukan serta memusatkan perhatian pada
pemecahan masalah yang ada dan bersifat aktual dengan jalan data-data dan informasi
dikumpulkan, setelah itu dijelaskan dan kemudian dianalisa untuk memperoleh jawaban.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam
pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten
Bandung sebanyak 2.126.683 pemilih. Dan ukuran populasi 2.126.683 orang beberapa orang
pemilih dijadikan sebagai informan atau lebih tepatnya ada 30 informan, yaitu diambil dari
masing-masing seorang tokoh masyarakat di tiap kecamatan. Untuk mendapatkan data yang
akurat yang dapat mewakili populasi maka teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
Purposive sampling.
Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data mengutamakam perspektif emik, artinya mementingkan
pandangan informan yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dari
pendiriannya. Teknik pengumpulan data yang utama dalam pendekatan kualitatif adalah
observasi dan wawancara mendalam.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
1. Wawancara
2. Observasi terhadap objek penelitian
3. Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah serta menganalisis literatur baik
berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah yang ada relevansinya dengan
permasalahan penelitian, dan dilengkapi dengan data sekunder dari hasil poling yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Bandung.
Tahapan Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti petunjuk
Lincoln (1985:235-236) yaitu meliputi tiga tahap sebagai berikut:
1. Tahap Orientasi; pada tahap, ini peneliti sudah memiliki gambaran umum tentang
masalah yang diteliti. Pada fase ini peneliti juga melakukan kunjungan, melakukan
wawancara kepada beberapa informan, observasi. Informasi yang diperoleh selanjutnya
dikaji untuk menemukan hal yang menarik dan bermanfaat yang ada kaitannya dengan
permasalahan, yaitu dalam upaya memahami fokus penelitian maka selanjutnya dijadikan
paradigma penelitian dan kemudian dijadikan pedoman untuk mengumpulkan data.
2. Tahap Eksplorasi; pada tahap ini pengumpulan data lebih memfokuskan yaitu sesuai
dengan paradigma yang telah disusun. Wawancara dan obervasi yang dilakukan sudah
mengarah, terstruktur dan sekaligus terlampir, sehingga diperoleh informasi yang lengkap
dan mendalam tentang aspek-aspek yang diteliti. Sumber data telah disesuaikan dengan
permasalahan.
3. Tahapan Member Check; Semua data yang telah dikumpulkan kemudian dituangkan
dalam catatan (field notes). Untuk memperoleh data yang kredibel selain dilakukan
melalui trianggulasi, maka perlu dilakukan member check artinya suatu proses
penyampaian informasi hasil pengumpulan data kepada sumber data. Jadi data yang
diperoleh itu dicek kembali oleh sumber data sehingga data tersebut kebenarannya diakui
oleh pemberi data.
Teknis Analisis Data
Miles dan Huberman (1984:16) memberi petunjuk secara umum tentang langkahlangkah dalam analisis data kualitatif yaitu melalui:
1. Rekap data; Seperti telah dikemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif teknik
pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi.
2. Reduksi data; Semakin lama pengumpulan data berlangsung, maka semakin banyak data
yang diperoleh. Data dari berbagai sumber tersebut ada yang sama ada yang berbeda, ada
yang penting dan ada yang tidak, ada yang bermakna dan ada yang tidak. Dalam tahap
reduksi ini peneliti melakukan pengklarifikasian data, memilih data yang berguna, yang
penting dan yang bermakna. Data yang tidak penting dibuang. Dengan reduksi data ini
maka basil penelitian menjadi jelas dan tajam.
3. Penyajian Data; Setelah data yang banyak tersebut direduksi, maka supaya data tersebut
mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain, sehingga data tersebut perlu
disajikan. Penyajian data dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, misalnya grafik, tabel,
dan uraian rinci. Data yang disajikan tersebut sudah melalui tahapan analisis seperti di
atas.
4. Verifikasi dan Penyimpulan; setelah data disajikan dalam bentuk uraian rinci maka
analisis selanjutnya adalah memferifikasi terhadap data yang telah disajikan tersebut.
Dalam memferifikasi ini selanjutnya peneliti dapat memberikan tafsiran, makna dan
mencari hubungan antara satu kategori dengan kategori lain.
1.7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung
dan kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 3 (Tiga) bulan dengan pelaksanaan
pada Dulan Juli 2011 s.d. bulan September 2011. Rincian jadual kegiatan sebagai berikut:
Tabel 1.1.
Jadual Kegiatan Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung
No.
Nama Kegiatan
1.
Persiapan
- Penjajagan
- Penyusunan Proposal
- Penyusunan Instrumen
Penelitian
- Pelatihan Surveyor
Pengumpulan data dan
Lapangan
Penyusunan Laporan
Penyelesaian laporan
2.
3.
4.
I
II
Bulan Juli 2011 s.d. September 2011
III IV I
II III IV I
II
X
X
X
X
III
IV
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemilihan Umum Merupakan Proses Demokratisasi
Salah satu syarat untuk terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya
proses demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi uang bagi setiap
anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya tetapi juga demokrasi yang
substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas
partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi.
Gaffar (2000:7-9) beberapa hal pokok yang menggambarkan terlaksananya proses
politik dan pemerintahan yang demokratis yaitu:
1. Akuntabilitas; setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh termasuk
perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya.
2. Rotasi kekuasaan; dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada,
dan dilakukan secara teratur dan damai, jadi tidak hanya satu orang yang selalu
memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.
3. Rekruitmen politik yang terbuka; setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu
jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi jabatan tersebut.
4. Pemilihan umum, yaitu dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara
teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih
dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.
5. Menikmati hak-hak dasar, yaitu dalam suatu negara demokratis, setiap warga negara
dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas termasuk didalamnya hak-hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan kebebasan pers.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami pemilu yang bebas, teratur dan
pemilih dapat menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nuraninya merupakan salah satu
alat ukur utama proses penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksana Pemilu yang
berkualitas merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan
menghasilkan pemegang jabatan publik yang terbaik bukan sembarang orang. Hasil
pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dianggap mencerminkan dengan akurasi
partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Di kebanyakan negara demokrasi, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan
suatu aktivitas politik penting yang sudah berkala, dengan pengalaman penyelenggaraan yang
beragam. Di berbagai negara maju, proses Pemilu sudah berlangsung cukup matang, baik
pada level penyelenggara, sistem Pemilu yang digunakan maupun pada tingkat perilaku
pemilih. Melalui Pemilu, dapat memupuk kekuasaan yang absah dan mencapai tingkat
perwakilan politik (political representativeness) tertentu. Menurut Sanit (1985:173) dalam
jangka pendek pelaksanaan Pemilu dapat bermanfaat untuk mencapai kekuasaan yang absah
dan perwakilan politik, tetapi dalam jangka panjang pemilu bermanfaat bagi pembentukan
budaya politik dan pelembagaan politik. Ralmian (2001:190) menambahkan bahwa pada
hakikatnya Pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan
wakil-wakinya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan
kedaulatan rakyat.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu bukan saja wahana
tenvujudnya proses kompetisi peserta Pemilu memperebutkan kekuasaan yang absah pada
jabatan-jabatan publik, melainkan juga membentuk tingkat kematangan budaya politik
masyarakat dan lembaga-lembaga politik mempertanggungjawabkan kinerjanya selama
menjalankan aktivitas politik selama waktu tertentu, dan rakyat akan memberikan
kepercayaan kepada pemimpin, lembaga-lembaga tersebut yang mendapat kepercayaannya.
2.2. Definisi Makna Dan Penyelenggara Pemilukada
Pemilukada merupakan salah satu kegiatan politik yang merupakan implementasi hak
kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin untuk masa 5 tahun mendatang. Melalui
Pemilukada terjadi pergantian pemegang kekuasaan secara teratur, damai dan berkualitas.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemilihan
kepala daerah adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau
Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Pemilukada juga merupakan terobosan baru dalam sistem politik Indonesia,
khususnya untuk level pemerintahan lokal. Sebelum pemilukada, kepala daerah dipilih
melaui sebuah proses politik yang tidak dapat disebut Pemilu, karena tidak melibatkan rakyat
pemilih. Menurut Zuhro, dkk (2009:48 mengadakan bahwa pemilukada merupakan
momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi
demokrasi yang partisipatif
Pemilukada merupakan pemilihan yang diselenggarakan di daerah otonom yang
merupakan perintah dari perubahan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Menururt Irtanto (2008:159) yang dimaksud pemilukada adalah suatu proses politik untuk
memilih kepala daerah secara langsung. Terselenggaranya Pemilukada merupakan amanat
Pasal 56 ayat (1) UU no. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan landasan
hukum di atas, Pemilukada merupakan kegiatan pemilihan umum yang bertujuan memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah otonom tertentu, yang diharapkan
mampu mewujudkan sistem politik yang lebih stabil dan berkualitas, karena terjadi proses
pendewasaan pemilih, partai politik, penyelenggara dan media massa.
Lebih lanjut Sanit (1985: 157) mengatakan: proses pelaksanaan Pemilu berpengaruh
langsung kepada pembentukan budaya politik, sebab tingkah laku para kontestan dan
penyelenggara Pemilu langsung dihayati oleh anggota masyarakat yang mengetahuinya, baik
pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan, maupun melalui informasi. Selanjutnya
sistem ini mengatur beberapa hal berikut ini yaitu jurus pencalonan kandidat, jurus
pencoblosan suara, besar/bobot daerah pemilihan, lingkup daerah pemilihan dan jurus
pengambilan keputusan.
Ditambahkan Rahman (2001: 170) bahwa sistem pemilihan, walaupun terlihat hanya
suatu mekanise untuk menentukan komposisi pemerintah selama beberapa tahun kemudian,
namun sesungguhnya merupakan sarana utama bagi partisipasi politik para individu dalam
masyarakat yang luas, komplek dan modern, boleh jadi pemilu merupakan kunci untuk
menentukan suatu sistem yang demokratis.
Oleh karena itu Pemilukada sebagai salah satu proses demokrasi yang ada dalam
sistem politik Indonesia, memiliki signifikansi yang tinggi dalam pembangunan politik
Indonesia di masa mendatang serta dalam menciptakan keseimbangan antara politik lokal dan
pusat, dapat memperkuat otonomi daerah dalam prinsip negara kesatuan.
Untuk dapat melaksanakan amanat UU NO.32 Tahun 2004, pasal 57 menyerahkan
pelaksana Pemilukada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai berikut: (1)
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan
laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
Mahkamah Konstitusi
(MK) mengabulkan
pennohonan agar
KPUD tidak
bertanggungjawab kepada DPRD sebab akan menimbulkan ketidak independenan KPUD
dalam penyelenggaraan pemilu. KPUD bertanggungjawab kepada publik dan kepada DPRD
hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugas. Dengan banyak kasus dalam Pemilukada,
dalam hal ini perlu adanya peningkatan kualitas pemilu dengan memperhatikan beberapa hal
berikut menurut Irtanto (2008: 161):
1. Perhatikan iklim demokratisasi harus dimulai dari partai politik (terutama) yang
memenuhi ketentuan Perundang-undangan dalam proses penjaringan, penyaringan
dan penetapan calon kepala daerah. Partai politik harus memiliki sistern dan
mekanisme rekruitment calon kepala daerah yang demokratis.
2. Peraturan
Perundang-undangan
yang
dibuat,
benar-benar
mencenninkan
demokratisasi itu sendiri dan tidak anarkhi.
3. Sistem dan mekanisme kerja masing-masing lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan Pilkada tidak tumpang tindih dan kontaminatif
4. Pemerintah harus benar-benar independen dan tidak melakukan interpensi dalam
bentuk apa pun.
5. Kedewasaan dan kematangan politik masyarakat senantiasa tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan politik.
Dari hal tersebut di atas, terlihat bahwa keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada
tidak hanya bergantung pada profesionalisme KPUD, melainkan juga keterlibatan aktif
masyarakat dan independensi terhadap pemerintah.
Sebagaimana sebuah proses Pemilu, Pemilukada merupakan bagian dari sebuah
kebijakan nasional yang diharapkan mampu memperkuat sistem politik Indonesia. Oleh
karena itu Pemilukada memiliki manfaat yang penting. Mubarok (dalam Irtanto 2008: 161162) menyebutkan ada beberapa manfaat Pemilukada sebagai berikut:
a. Kongkritisasi demokrasi, yaitu proses pilkada akan memenuhi kaidah proses
demokratisasi di dua level struktural dan kultural. Di level struktural lebih beradab
karena melibatkan partisipasi publik yang makin luas. Kaidah 50 plus satu adalah
angka rill dan mutlak merupakan cerminan dan representasi suara rakyat. Di level
kultural proses pilkada ditenggarai akan memberi keleluasaan bagi merembesnya
nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran.
b. Ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan data terkurangi.
c. Terkuranginya mekanisme politik uang.
Menambahkan manfaat positif yang telah disampaikan Mubarok, Afiti (dalam Irtanto
,2008: 163) memberikan manfaat lainnya adalah lahirnya pemimpin yang mengenal konteks
lokal dan bertanggungjawab kepada rakyat, dengan asumsi bahwa rakyat akan memilih orang
yang mereka kenal dengan baik. Sementara itu Huda (dalam Irtanto 2008: 162)
menambahkan dua keuntungan positif yaitu Pilkada langsung memberi kesempatan yang luas
untuk terpilihnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat; stabilitas
pemerintahan lebih terjaga berhubung kepala daerah tidak mudah dijatuhkan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Pemilukada memiliki peranan yang strategic
untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, sehingga akan
lebih bertanggungjawab kepada rakyat dibandingkan kepada partai politiknya.
UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (2) mengatakan bahwa pasangan calon diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politik
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah
dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Adapun syarat yang harus terpenuhi bagi calon kepala daerah adalah:
a. Bertaqwa kepada Tuhan YME
b. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan atau sederajat
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pelaksanaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter
f. Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau lebih
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya.
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perorangan dan atau secara badan
hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
m. Memiliki NPWP atau bagi yang mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran
pajak.
n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan
dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 kali
masa jabatan yang sama.
p. Tidak sedang sebagai penjabat daerah.
2.3. Definisi Strategi Dan Jenis-Jenis Kampanye
Kampanye merupakan sisi lain dari sebuah proses Pemilu, sebab melalui kampanye
kandidat dapat lebih memperkenalkan diri, menyatakan diri sebagai kandidat yang siap
memegang kekuasaan yang diberikan publik. Kampanye merupakan ajang adu kepantasan,
kelayakan, adu strategi, adu kekuatan keuangan dan investasi politik. Melalui kampanyelah
seseorang ingin dipilih, seseorang menyatakan gagasan untuk melaksanakan tanggungjawab
sebagai pemimpin, menyelesaikan masalah yang ada, menawarkan solusi bagi kehidupan
publik yang haws dengan kualitas pemimpin.
Menurut Nimmo (1989: 219); bahwa dalam setiap pemilihan terdapat unsur-unsur
propoganda (terutama dalam komunikasi organisasi melalui parta, politik, tetapi sifat dasar
kampanye politik kontemporer terletak pada paya untuk mempersuasi melalui periklanan
massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal) bukan pada propoganda.
Untuk berhasil menenangkan pilihan memerlukan penggunaan rencana kampanye dan
kampanye total. Inilah yang disebut dengan strategi kampanye.
Membangun strategi kampanye yang terpenting perumusan ide kampanye. Slogan
menjadi penentu keberhasilan ide. Ide merupakan tema organisasi kampanye dan slogan
harus mampu memberikan harapan akan kemajuan. Selain itu ada strategi untuk
meningkatkan popularitas kampanye yaitu melakukan kegiatan yang monumental dan sedikit
aneh sehingga memberikan kekuatan politik bagi publik.
Menurut Nimmo (1989: 220) kandidat tidak hanya cukup dikenal dengan cara yang
unik, tetapi memiliki citra kandidat yang sempurna. Rencana kampanye yang lebih detail
diturunkan dalam strategi kampanye dilakukan melalui empat segi:
1. Ada formasi awal dari organisasi kampanye, terdiri atas para politikus yang
berpengalaman (baik pejabat pemerintah maupwn pernimpin partai), juru
kampanye
profesional
(termasuk
segala
jenis
personal
dari
manajer,
merencanakan pesan iklan, mengumpulkan dana, membuat iklan televisi, menulis
pidato dan melatih kandidat penampilan di depan umum, sukarelawan (sejumlah
orang yang bersedia melakukan hubungan telepon, menjilak perangko, berkunjung
ke rumah-rumah, menaikkan tenda dan sebagainya.
2. Proses dana dikumpulkan dan dipergunakan bagaimana riset untuk mendapat
informasi yang diperlukan mengenai masalah yang dikemukakan, pemilih dan
opisis dan bagaimana menyampaikan pesan kandidat.
3. Sifat kampanye yang menyangkut komunikasi kampanyelah yang menyebabkan
berjalannya konsep kampanye total dengan menggunakan sarana komunikasi
total.
4. Menggunakan strategi terapan yang aplikatif sebagai berikut kampanye tatap
muka, media elektronik (televisi), telepon, kampanye radio, surat langsung, surat
kabar, poster, kampanye, interpersonal, kampanye organisasi.
Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih,
sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Partisipasi masyarakat
dalam Pemilu dapat berbagai bentuk, seperti ikut serta dalam kampanye, membicarakan
persoalan politik menjelang pemilihan suara, menyumbang dan sebagainya. Menurut Rush
dan Althof (2000: 124) bahwa bentuk partisipasi politik secara bertingkat dari tertinggi ke
yang rendah sebagai berikut:
1. Menduduki jabatan politik atau administratif
2. Mencari jabatan politik atau administratif
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (Quasi political)
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstarsi dan sebagainya
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
9. Voting (pemberian suara)
Gabriel Almon (dalam Mc Andrew, 2000: 47) memberikan perbedaan partisipasi
dalam konvensional dan non konvensional sebagai berikut:
Tabel 2.1.
Bentuk Kegiatan Partisipasi Politik
Konvensional
Non – Konvensional
Pemberian Suara
Pengajuan Petisi
Diskusi Politik
Berdemokrasi
Kegiatan Kompanye
Konfronstrasi
Membentuk dan bergabung dalam kelompok
Mogok
kepentingan
Tindak kekerasan politik terhadap harta
Komunikasi individu dengan pejabat politik
benda (perusakan, pengeboman, pembakaran)
dan administrasi
Tindakan kekerasan politik terhadap manusia
(penculikan, pembunuhan)
Perang gerilya dan revolusi
Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut, keterlibatan pemilih dalam Pemilukada
dapat terjadi dalam hal berikut seperti kegiatan kampanye, voting, diskusi politik, mengikuti
rapat umum. Dari tahapan proses pemilukada penentuan pilihan merupakan tahapan yang
paling krusial dalam menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Tahapan inilah yang paling
ditunggu bagi semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemilu, baik pengurus partai,
kandidat pasangan kepala daerah, bahkan penyelenggara pemilukada juga menanti apakah
pemilih mampu menggunakan hak pilihnya secara baik atau sekedar memenuhi hak
konstitusionalnya.
Strategi Kampanye
Kampanye merupakan tahanpan penting dalam setiap Pemilu, karena, melalui
kegiatan inilah para kandidat memperkenalkan dirinya terhadap publik, yaitu para pemilih
dengan harapan pemilih mau menyerahkan kedaulatan politik kepada kandidat, baik dalam
lembaga legislatif maupun eksekutif. Kampanye menurut Nimmo (1989:199) adalah
penciptaan, penciptaan ulang dan pengalihan lambang signifikan secara sinambung melalui
komunikasi. Kampanye menggabungkan partisipasi aktif yang melakukan kampanye dan
pemberia suara. Kampanye merupakan suatu faktor utama dalam membantu para pemberi
suara mencapai pilihan dalam pemilhan umum. Strategi kampanye menurut Nimmo
(1989:202) merupakan metode/cara untuk memenangkan pemilihan umum melalui berbagai
pilihan-pilihan yang ada, berlandaskan pada kemampuan dan dukungan yang dimiliki, serta
harapan untuk meraih simpati publik
Jenis-jenis Kampanye
Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih,
sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Adapun macam kampanye
dapat dilihat dari bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh para politisi yang bersaing
dalam pemilihan umum. Menurut Nimmo (1989) kampanye massa merupakan pilihan yang
banyak dilakukan.
Menurut Nimmo (1989:220) dalam kampanye, pemilih menggunakan berbagai media
untuk mengumpulkan empat jenis informasi yaitu (a) Apa yang akan dicari dalam kampanye;
(b) apa isi yang penting dalam kampanye; (c) posisi kandidat terhadap isu yang penting; (d)
informasi tentang kepribadian dan atribut lain dari kandidat.
Berdasarkan pendapat tersebut, kampanye merupakan upaya pemilih untuk
memahami hal-hal yang mendasar dari sisi kandidat, sebab kualitas kandidat merupakan
prasyarat keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Kampanye menghadirkan citra
kandidat secara lebih baik, belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya ada. Oleh karena
itu kampanye tidak akan dilihat secara gamblang sebab pemilih akan melakukan
pembandingan.
2.4. Marketing Politik dalam Memenangkan Pemilu
Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia saat ini salah satunya ditandai adanya
multi partai yang sangat jelas dapat menuntut persaingan yang ketat diantara partai-partai
politik yang ada. Berbagai cara dilakukan oleh para partai politik untuk dapat meraih massa
yang banyak, bisa dengan memperlihatkan dan menyampaikan visi dan misi dari partai
politik, menampilkan para pengurus partai politiknya, program kerja dari partai politik dan
masih banyak hal lain untuk dapat menumbuh-kembangkan partai politik tersebut. Namun
realita yang ada tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan itu sangat ketat bahkan tanpa,
disadari dapat bersaing dalam merubah posisi partai politik yang satu dengan partai politik
yang lainnya.
Secara umum yang menjadikan partai politik menarik perhatian masyarakat untuk
dipilih atau didukung adalah Kelembagaan partai politik menurut Netherlands Institute for
Multiparty Democracy (dalam Sparinga 2006:12-15), adalah:
1. Ketangguhan Organisasi: Partai politik berkepentingan meraih pemilih dan
kekuasaan politik. Hal ini hanya dapat dicapai secara memuaskan melalui
penyebaran sumber-daya partai secara efektif, pada tingkat lokal, regional dan
nasional. Ini berarti, kita berkepentingan untuk mengetahui dan mampu
menggunakan kemampuan material maupun sumber-daya manusia dan financial
yang dimiliki partai, termasuk keterampilan dan orang-orang yang selanjutnya
akan mengelola itu semua. Untuk mencapai ketangguahan organisasi tersebut
maka diperlukan Perencanaan tahunan kegiatan partai; Desentralisasi sumberdaya, Transparansi dalam menangani sumber-daya, Akuntabilitas, Tata-hubungan
dan prosedur seleksi yang didasarkan pada prestasi dan solidaritas.
2. Demokrasi Internal Partai: bahwa partai yang memiliki aturan dan prosedur yang
bersifat impersonal (tidak tergantung pada orang) untuk menghindari terjadinya
kontrol sewenang-wenang dalam pemilihan internal (misalnya dalam penyusunan
daftar calon legislatif) serta berfungsinya partai di bawah kendali pimpinan partai
atau klik tertentu.
3. Identitas Politik, partai politik yang serius harus memiliki identitas atau jati diri
ideologic, bahkan identitas itu juga dibutuhkan untuk tujuan-tujuan organisasi,
pemilihan umum, dan pemerintah.
4. Keutuhan Internal: perbedaan pendapat itu disampaikan dan diselesaikan dalam
politik intra-partai.
5. Kapasitas Berkampanye. Dukungan suara bagi partai tidaklah datang dengan
sendirinya. Dukungan suara harus dicari melalui serangkaian langkah dan diraih
dengan menjamin terpenuhinya syarat-syarat penting tertentu.
Sementara itu yang seharusnya dilaksanakan oleh partai yang mengalami agar dapat
memenangkan pemilihan umum seperti pada model Nowak dan Warneryd (dalam Venus,
2004:22-24) ini terdapat beberapa elemen kampanye yang harus diperhatikan yakni sebagai
berikut:
1. Intended effect (efek yang diharapkan). Efek yang hendak dicapai harus
dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya
akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu
‘mengagung-agungkan’ potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai
menjadi tidak jelas dan tegas.
2. Competiting communication (Persaingan Komunikasi). Agar suatu kampanye
menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan potensi gangguan dari kampanye yang
bertolak belakang (counter campaign).
3. Communication object (Objek komunikasi). Objek kampanye biasanya dipusatkan
pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda menghendaki metode
komunikasi yang berbeda. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku
kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan atau
ditekankan pada objek tersebut.
4. Target population & receiving group (populasi target dan kelompok penerima).
Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan
lebih mudah dilakukan maka penyebaran pesan lebih baik ditunjukan pada
opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok penerima dan
populasi target dapat diklasifikasikan menurut sulit atau mudahnya mereka
dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka adalah bagian dari kelompok yang sulit
dijangkau.
5. The channel (saluran). Saluran yang digunakan dapat bermacarn-macam
tergantung karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media
dapat menjangkau hampir seluruh kelompok, namun bila tujuannya adalah
mempengaruhi perilaku maka akan lebih efektif bila dilakukan melalui saluran
antar pribadi.
6. The message (pesan). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok
yang menerimanya. Pesan juga dapat dibagi kedalam tiga fungsi yakni:
menumbuhkan kesadaran, mempengaruhi, serta memperteguh dan meyakinkan
penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar.
7. The communicator/sender (komunikator/pengirim pesan). Komunikator dapat
dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seorang
yang dipercaya khalayak, atau malah seseorang yang memiliki kedua sifat
tersebut. Pendeknya komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima
pesannya.
8. The obtained effect (efek yang dicapai). Efek kampanye meliputi efek kognitif
(perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan
perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan).
Unsur-unsur di atas merupakan unsur dasar yang harus dimiliki oleh partai politik,
untuk mematangkan/menguatkan/mengalihkan perhatian pemilih terhadap suatu partai selain
proses marketing politik yang dilakukan oleh partai tersebut. Sedangkan menurut Baines et.
Al, Dalam (Nursal, 2004:49-50) proses dan orientasi political marketing sangat bebeda
dengan Business Marketing yang mana political marketing adalah cara-cara yang dilakukan
organisasi politik dengan enam hal berikut:
1. Mengkomunikasikan pesan-pesannya, ditargetkan atau tidak ditargetkan, langsung atau
tidak langsung, kepada para pendukungnya dan pada para pemilih lainnya.
2. Mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan para pendukung, para pemilih lainnya dan
sumber-sumber eksternal agar mereka memberi dukungan finansial dan untuk
mengembangkan dan menjaga struktur manajemen di tingkat lokal maupun nasional.
3. Berinteraksi dan merespon dengan para pendukung, influencers, para legislator, para
kompetitior, dan masyarakat umum dalam pengembangan dan pengadaptasian kebijakankebijakan dan strategi.
4. Menyampaikan kepada semua pihak berkepentingan atau stake holders, melalui berbagai
media, tentang informasi, saran dan kepemimpinan yang diharapkan atau dibutuhkan
dalam negara demokrasi.
5. Menyediakan pelatihan, sumber daya informasi dan materi-materi kampanye untuk
kandidat, para agen pemasar dan atau para aktivis partai.
6. Berusaha mempengaruhi dan mendorong para pemilih, media-media dan influencers
penting lainnya untuk mendukung partai atau kandidat yang diajukan organisasi dan/atau
supaya jangan mendukung para pesaing.
Sedangkan Menurut Niffenneger dan Butler & Collins (dalam Firmanzah, 2008:199207) menjelaskan karakteristik marketing politik dengan lebih rinci. Karakteristik dan content
marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Meskipun proses marketing politik
masih mengikuti proses yang terdapat dalam marketing komersial, namun hal-hal yang
dibahas di tiap tahapan proses sangat berbeda antara marketing komersial dengan marketing
politik. Proses marketing politik menurut Niffenneger (dalam. Firmanzah 2008:199) terlihat
seperti di bawah ini:
Tabel 2.2.
Proses Marketing Politik
Program Marketing
- Platform Partai
- Masa lalu
- Karakteristik Personal
Promosi (Promotion)
- Advertising
- Publikasi, Evant Debat
Harga (Price)
- Biaya Ekonomi
- Biaya Psikologis
- Efek Image Nasional
Tempat (Place)
- Program Marketing
- Personal
- Program Voluneer
Sumber: Data Olahan dari Peneliti
Produk (Product)
Produk (Product). Niffengger (dalam Firmanzah, 2008:200) membagi produk politik
dalam tiga kategori, (1) Party Platform (Platform Partai), (2) Past Record (Catatan tentang
hal-hal yang dilakukan di masa lampau), dan (3) Personal Characteristic (Ciri Pribadi).
Produk utama dari sebuah institusi politik adalah platform partai yang berisikan konsep,
identitas ideology, dan program kerja sebuah institusi politik.
1. Promosi (Promotion). Promosi juga bisa dilakukan oleh institusi politik melalui debat di
TV Niffenegger dan Schrott, (dalam Firmannzah, 2008:204). Dalam acara macam ini,
publik berkesempatan melihat pertarungan program kerja yang ditawarkan oleh masingmasing institusi politik. Selain itu, promosi juga bisa dilakukan melalui pengerahan masa
dalam jumlah besar untuk menghadiri sebuah ‘Tabligh-Akbar’ atau ‘Temu Kader’. Selain
ingin tetap menjaga hubungan antara institusi politik dengan massanya, kesempatan
semacam ini akan diliput oleh media massa sehingga secara tidak langsung bisa dilihat
sebagai media promosi. Lambang, symbol, dan warna bendera partai yang disebar melalui
pamplet, umbul-umbul dan poster semasa periode kampanye juga merupakan media
promosi institusi politik. Promosi dalam hal ini juga terkait dengan publikasi partai
politik.
2. Harga (Price). Harga dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi,
psikologis sampai ke citra nasional Niffenegger (dalam Firmanzah, 2008:205). Harga
ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan institusi politik selama periode
kamanye. Dari biaya Man, publikasi, biaya 'rapat akbar' sampai ke biaya administrasi
pengorganisasian tim kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi
psikologis, misalnya apakah pemilih merasa nyaman dengan latar belakang, etnis, agama,
pen
DALAM PEMILIHAN UMUM
KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
TAHUN 2010 DI KABUPATEN BANDUNG
Penelitian
Oleh
Dr. Drs. Agustinus Widanarto, M.Si.
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi dan merupakan sarana
implementasi kedaulatan rakyat dalam bidang politik, yakni memilih dan menentukan orangorang yang akan menjalankan hak kedaulatan dalam berbagai lembaga politik untuk
mengambil suatu keputusan dengan atas nama rakyat. Kualitas dari Pemilu sangat
menentukan kualitas lembaga eksekutif yang berujung pada kualitas kebijakan publik,
alasannya karena nantinya eksekutif memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk
mempengaruhi proses tatanan pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Keberhasilan
penyelenggaraan Pemilu dapat juga dijadikan suatu ukuran keberhasilan dalam menciptakan
dan membangun nuansa demokrasi, sebab Pemilu merupakan salah satu indikator dari suatu
negara dapat dikatakan/digolongkan menjadi negara yang demokratis, seperti yang dikatakan
Gaffar (2000: 8-9) sebagai berikut:
Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur, setiap warga
negara, yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas
menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas
menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau
paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas
pemilihan termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan
suara.
Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung dalam konteks daerah disebut Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung merupakan sarana merupakan
partisipasi masyarakat (publik). Dalam hal ini rakyat secara langsung menentukan siapa yang
hendak memimpin jalannya tatanan pemerintahan selama lima tahun mendatang.
Terpilihnya Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkualitas merupakan
suatu harapan utama terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang balk. Pemilukada
merupakan momentum untuk dapat melaksanakan suksesi kepemimpinan lokal sebagai
wujud implementasi demokrasi yang partisipatif. Melalul Pemilukada, rakyat dapat
berpartisipasi langsung dalam menentukan pemimpinnya yang mereka nilai aspiratif,
kapabel, kredibel dan akseptabel. Hal ini merupakan lompatan demokrasi yang cukup penting
dalam lanskap sosio politik Indonesia, dari yang corak sentralistik di masa Orde Baru
menjadi desentralistik di era reformasi.
Melalui konsep desentralisasi diharapkan akan tenvujud kesejahteraan masyarakat dan
keterlibatan publik dalam proses politik yang sehat. Kepala daerah dalam perspektif
organisasi memiliki peran strategic yang menentukan tingkat keberhasilan sebuah organisasi.
Pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan figur dan alat utama untuk dapat menjalankan
roda organisasi ke arah yang lebih balk. Dalam hal ini Pemilukada secara langsung
merupakan sarana serta wahana untuk dapat melahirkan dan menciptakan pemimpin yang
berkualitas dan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya khususnya
masyarakat lokal. Untuk itu sangatlah penting keterlibatan masyarakat yang sudah
mempunyai hak pilih untuk dapat mengapresiasi dan memberikan dukungan serta
menyalurkan aspirasinya dalam pelaksanaan Pemilukada ini, dengan tujuan untuk dapat ikut
menentukan dan menciptakan pemimpin yang berkualitas dan dapat menentukan roda
pemerintahan yang baik.
Pemilukada merupakan proses transformasi politik, maka Pemilukada selain
merupakan bagian dari penataan struktur kekuasaan makro agar lebih menjamin fungsinya
mekanisme check and balances system di antara lembaga-lembaga politik dari tingkat pusat
sampai daerah, masyarakat mengharapkan pula agar pelaksanaan Pemilukada dapat
menghasilkan Kepala Daerah yang lebih akuntabel, berkualitas, legitimit, aspiratif dan peka
terhadap kepentingan masyarakat.
Makna Pemilukada bagi perkembangan tatanan pemerintahan memiliki kapasitas
yang tinggi, sehingga politik merupakan suatu proses yang mampu mewujudkan pembagian
kekuasaan yang berpihak kepada kebaikan, kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu
partisipasi masyarakat sangat mutlak dibutuhkan.
Pelaksanaan Pemilukada sangat membutuhkan partisipasi masyarakat yang aktif dan
berkualitas, sebab tanpa adanya keterlibatan aktif dari masyarakat sebagai pemilih dalam
berbagai tahapan Pemilukada dapat dipastikan kurang berkualitas. Hal ini sesuai dengan
bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Rush dan Althop (2000: 124) bahwa bentuk
partisipasi secara bertingkat dari tertinggi bergerak ke yang terendah sebagai berikut:
1. Menduduki jabatan politik atau adminstratif
2. Mencari jabatan politik atau administratif
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan sebagainya
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
9. Voting (pemberian suara).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, voting (pemberian suara) merupakan bentuk
partisipasi politik yang paling rendah, namun demikian sangat signifikan. Begitu juga dalam
proses penyelenggaraan Pemilukada sangat memerlukan partisipasi politik masyarakat yang
tinggi dari kalangan masyarakat. Dengan kata lain artinya adalah bahwa masyarakat yang
sudah memiliki hak pilih untuk dapat memberikan aspirasinya dalam pelaksanaan
Pemilukada dalam bentuk memberikan suara untuk dapat memilih dan menentukan
pemimpin di masa mendatang untuk dapat menjalankan roda pemerintahan di daerah yang
bersangkutan.
Pelaksanaan Pemilukada memiliki peran strategic untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, termasuk Pemilukada di Kabupaten Bandung yang saat ini merupakan yang ke dua
kalinya pelaksanaan Pemilukada secara langsung. Pertarna dilaksanakan pada tahun 2005
yang lalu. Artinya adalah bahwa Pemilukada saat ini merupakan evaluasi dari pelaksanaan
Pemilukada yang pertama, dimana Pemilukada ini bertujuan agar terbentuk pemerintahan
yang lebih legitimit, lebih bertanggung jawab kepada publik, lebih mampu mengedepankan
kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok dan individu.
Hasil dari pelaksanan Pemilukada secara langsung ini dibutuhkan pemimpin yang
akan dapat melakukan terobosan baru baik dalam meningkatkan kinerja aparatur birokrasi,
merekonstruksi peranan sosial bagi para pelaku gerakan sosial, dapat memperbaiki kontelasi
politik yang selama ini memperlambat proses terciptanya tatanan pemerintahan yang baik,
efektif dan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dengan menyadari betapa pentingnya Pemilukada, maka dalam pelaksanaannya harus
melibatkan semua pihak dengan suatu kesadaran yang utuh. Baik buruk penyelenggaraan
Pemilukada ditentukan oleh kualitas dan kapabilitas KPU Daerah yang bertindak sebagai
pelaksana dari penyelenggaraan pemilu baik penyelenggara teknis, maupun mengatur agar
semua pihak yang memenuhi syarat dapat mengajukan sebagai Calon Bupati dan Wakil
Bupati serta, penentuan daftar pemilih tetap (DPT).
Kualitas partai politik sebagai pengusung calon, partai politik dengan segala
dinamikanya tentu mengambil peran dalam perebutan kekuasaan yang ada, sebab partai
politik memang ada dan hadir untuk memperebutkan kekuasaan secara. teratur.
Mengamati perkembangan partai politik, sampai saat ini masih dapat dikatakan
kurang mampu dalam menghadirkan calon-calon pemimpin yang dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan, justru calon yang dapat dihadirkan itu lebih banyak didorong oleh
kepentingan-kepentingan tertentu. Proses terakhir penyelenggaraan Pemilukada di tangan
rakyat bukan di tangan elit, oteh karenanya Pemilu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam hal ini rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berhak menentukan siapa yang hendak
menjadi pemimpin, bukanlah uang yang menentukan kekuasaan dan bukan pula popularitas
yang abstrak yang menentukan kekuasaan akan tetapi rasionalitas publik, kehendak publik,
kemandirian publik, kematangan publik dan kesadaran publik yang menentukan dalam
Pemilukada. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul:
“Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung”.
1.2. Perumusan Masalah
Fokus permasalahan dalam penelitian ini perilaku pemilih belum menunjukkan
sebagai pemilih yang cerdas, dewasa, bertanggungjawab dan rasional. Hal ini terihat dari
jumlah daftar pemilih tetap yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 49%,
pilihan yang dijatuhkan masyarakat bukan berdasarkan pertimbangan yang matang, adanya
keterlibatan oknum birokrasi pemerintahan dalam mengarahkan pilihan masyarakat,
rendahnya keaktifan dalam proses Pemilukada terutama dalam masa kampanye pada
pemilukada putaran pertama.
1.3. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini peneliti merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
2) Hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
3) Upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
a. Untuk mendeskripsikan perilaku pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
b. Untuk mendeskripsikan hambatan-hambatan pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
c. Untuk mendeskripsikan upaya-upaya pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung.
Manfaat Penelitian
a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi stakeholders, penentu kebijakan
dalam rangka mendukung suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah
secara langsung di Kabupaten Bandung.
b. Sebagai bahan rekomendasi bagi stakeholders Kabupaten Bandung dalam mendukung
suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten
Bandung pada waktu-waktu yang akan datang.
1.5. Kerangka Pemikiran
Menjadikan peran Pemilu sebagai alat demokrasi, berarti memposisikan pemilu dalam
azasinya sebagai wahana pembentukan representatif government. Berlangsungnya Pemilu
sebagai wahana representatif government sebagai metode pemerintahan, telah melibatkan
berbagai mekanisme dan prosedur tertentu serta melibatkan berbagai kekuatan komponen
bangsa baik pada tatanan suprastruktur politik maupun tatanan infra struktur politik. Masingmasing berproses dalam memilih sebagian dari anggota masyarakat, untuk menduduki
berbagai jabatan pemerintahan dalam suatu pemerintahan demokratis.
Salah satu syarat terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya proses
demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi ruang bagi setiap
anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya, tetapi juga demokrasi yang
substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas
partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi.
Gaffar (2007: 7-9) memberikan beberapa hal pokok yang menggambarkan
terlaksananya proses politik dan pemerintahan yang demokratis:
1. Akuntabilitas; yaitu setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh
termasuk perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan
dijalankannya.
2. Rotasi kekuasaan; yaitu dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi
kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai.
3. Rekruitment politik yang terbuka; orang yang memenuhi syarat untuk mengisi
suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam
melakukan kompetisi jabatan.
4. Pemilihan umum; dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara
teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak
hati nuraninya.
5. Menikmati hak-hak dasar yaitu dalam satu negara yang demokratis, setiap warga
negara dapat menikmati hak-hak dasar secara bebas, termasuk didalamnya adalah
hak-hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk
berkumpul dan bebas (freedom of assembly) dan hak untuk menikmati pers yang
bebas (freedom of press).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa Pemilukada yang langsung,
umum bebas, dan rahasia serta yang jujur dan adil itu dalam hal ini pemilih dapat
menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nurani merupakan salah satu alat utama proses
penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksananya Pemilukada yang berkualitas
merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan menghasilkan pemegang
jabatan publik yang terbaik, bukan sembarang orang. Hasil pemilihan umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan adanya akurasi
partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Berkaitan dengan penelitian ini yang membahas tentang perilaku pemilih dalam
pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada tahun 2010 di Kabupaten Bandung, maka ada
beberapa konsep dasar yang dikemukan dalam kerangka teori, yaitu partisipasi politik
(political participation), dan perilaku memilih (voting behavior).
1.5.1. Partisipasi Politik
Keikutisertaan masyarakat dalam Pemilu khususnya dalam Pemilukada merupakan
serangkaian kegiatan dalam proses pembuatan keputusan. Pemilukada merupakan
kesempatan bagi rakayat untuk memilihi wakil-wakilnya dan memilih pejabat pemerintah
serta menentukan apakah yang mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah. Untuk itu,
Pemilu berkaitan erat dengan partisipasi politik, karena keikutsertaan rakyat dalam Pemilu
termasuk dalam Pemilukada merupakan salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam sebuah
negara demokratis.
Untuk itu anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan politik, misalnya
melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan
ini kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalurkan atau terwakili. Keyakinan akan
kebutuhan dan kepentingan tersebut sangat berpengaruh dalam pemilihan umum, khususnya
dalam memberikan pilihan pada salah satu kontestan atau partai politik.
1.5.2. Voting Behaviour
Perilaku pemilih didasarkan pada dua model atau dua pendekatan, yaitu pertama
pendekatan sosiologis dan kedua pendekatan psikologis. Di lingkungan ilmuwan sosial
Amerika Serikat, pendekatan pertama disebut sebagai Aliran Columbia (The Columbia
School of Electoral Behavior), sementara pendekatan kedua disebut dengan Aliran Michigan
(The Michigan Survey Research Center), Afan Gaffar (1992) Pendekatan Sosiologis lebih
menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang,
sementara pendekatan psikologis lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam
menentukan perilaku politiknya. Selain itu, ada pula pendekatan lain yaitu pendekatan politik
rasional yang lebih melihat bahwa perilaku politik seseorang berdasarkan pada pertimbangan
untung-rugi yang didapat oleh orang tersebut.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung, menggunakan metode deskriptif
melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif
dan data kualitatif (dominant less dominant) yang merupakan cara untuk menggambarkan
suatu gejala, proses atau suatu kegiatan yang dilakukan serta memusatkan perhatian pada
pemecahan masalah yang ada dan bersifat aktual dengan jalan data-data dan informasi
dikumpulkan, setelah itu dijelaskan dan kemudian dianalisa untuk memperoleh jawaban.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam
pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten
Bandung sebanyak 2.126.683 pemilih. Dan ukuran populasi 2.126.683 orang beberapa orang
pemilih dijadikan sebagai informan atau lebih tepatnya ada 30 informan, yaitu diambil dari
masing-masing seorang tokoh masyarakat di tiap kecamatan. Untuk mendapatkan data yang
akurat yang dapat mewakili populasi maka teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
Purposive sampling.
Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data mengutamakam perspektif emik, artinya mementingkan
pandangan informan yakni bagaimana mereka memandang dan menafsirkan dari
pendiriannya. Teknik pengumpulan data yang utama dalam pendekatan kualitatif adalah
observasi dan wawancara mendalam.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
1. Wawancara
2. Observasi terhadap objek penelitian
3. Studi kepustakaan, yakni mempelajari dan menelaah serta menganalisis literatur baik
berupa buku-buku, artikel, maupun karya ilmiah yang ada relevansinya dengan
permasalahan penelitian, dan dilengkapi dengan data sekunder dari hasil poling yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten Bandung.
Tahapan Pengumpulan Data
Tahapan pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti petunjuk
Lincoln (1985:235-236) yaitu meliputi tiga tahap sebagai berikut:
1. Tahap Orientasi; pada tahap, ini peneliti sudah memiliki gambaran umum tentang
masalah yang diteliti. Pada fase ini peneliti juga melakukan kunjungan, melakukan
wawancara kepada beberapa informan, observasi. Informasi yang diperoleh selanjutnya
dikaji untuk menemukan hal yang menarik dan bermanfaat yang ada kaitannya dengan
permasalahan, yaitu dalam upaya memahami fokus penelitian maka selanjutnya dijadikan
paradigma penelitian dan kemudian dijadikan pedoman untuk mengumpulkan data.
2. Tahap Eksplorasi; pada tahap ini pengumpulan data lebih memfokuskan yaitu sesuai
dengan paradigma yang telah disusun. Wawancara dan obervasi yang dilakukan sudah
mengarah, terstruktur dan sekaligus terlampir, sehingga diperoleh informasi yang lengkap
dan mendalam tentang aspek-aspek yang diteliti. Sumber data telah disesuaikan dengan
permasalahan.
3. Tahapan Member Check; Semua data yang telah dikumpulkan kemudian dituangkan
dalam catatan (field notes). Untuk memperoleh data yang kredibel selain dilakukan
melalui trianggulasi, maka perlu dilakukan member check artinya suatu proses
penyampaian informasi hasil pengumpulan data kepada sumber data. Jadi data yang
diperoleh itu dicek kembali oleh sumber data sehingga data tersebut kebenarannya diakui
oleh pemberi data.
Teknis Analisis Data
Miles dan Huberman (1984:16) memberi petunjuk secara umum tentang langkahlangkah dalam analisis data kualitatif yaitu melalui:
1. Rekap data; Seperti telah dikemukakan bahwa dalam penelitian kualitatif teknik
pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi.
2. Reduksi data; Semakin lama pengumpulan data berlangsung, maka semakin banyak data
yang diperoleh. Data dari berbagai sumber tersebut ada yang sama ada yang berbeda, ada
yang penting dan ada yang tidak, ada yang bermakna dan ada yang tidak. Dalam tahap
reduksi ini peneliti melakukan pengklarifikasian data, memilih data yang berguna, yang
penting dan yang bermakna. Data yang tidak penting dibuang. Dengan reduksi data ini
maka basil penelitian menjadi jelas dan tajam.
3. Penyajian Data; Setelah data yang banyak tersebut direduksi, maka supaya data tersebut
mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain, sehingga data tersebut perlu
disajikan. Penyajian data dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, misalnya grafik, tabel,
dan uraian rinci. Data yang disajikan tersebut sudah melalui tahapan analisis seperti di
atas.
4. Verifikasi dan Penyimpulan; setelah data disajikan dalam bentuk uraian rinci maka
analisis selanjutnya adalah memferifikasi terhadap data yang telah disajikan tersebut.
Dalam memferifikasi ini selanjutnya peneliti dapat memberikan tafsiran, makna dan
mencari hubungan antara satu kategori dengan kategori lain.
1.7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan yang berada di Kabupaten Bandung
dan kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 3 (Tiga) bulan dengan pelaksanaan
pada Dulan Juli 2011 s.d. bulan September 2011. Rincian jadual kegiatan sebagai berikut:
Tabel 1.1.
Jadual Kegiatan Penelitian Evaluasi Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 di Kabupaten Bandung
No.
Nama Kegiatan
1.
Persiapan
- Penjajagan
- Penyusunan Proposal
- Penyusunan Instrumen
Penelitian
- Pelatihan Surveyor
Pengumpulan data dan
Lapangan
Penyusunan Laporan
Penyelesaian laporan
2.
3.
4.
I
II
Bulan Juli 2011 s.d. September 2011
III IV I
II III IV I
II
X
X
X
X
III
IV
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemilihan Umum Merupakan Proses Demokratisasi
Salah satu syarat untuk terwujudnya pemerintahan yang baik adalah terwujudnya
proses demokrasi yang berkualitas yaitu demokrasi yang tidak saja memberi uang bagi setiap
anggota masyarakat secara prosedural melaksanakan hak-haknya tetapi juga demokrasi yang
substantif, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban warga negara yang memenuhi kualitas
partisipasi dan penyelenggaraan politik yang tinggi.
Gaffar (2000:7-9) beberapa hal pokok yang menggambarkan terlaksananya proses
politik dan pemerintahan yang demokratis yaitu:
1. Akuntabilitas; setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuh termasuk
perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya.
2. Rotasi kekuasaan; dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada,
dan dilakukan secara teratur dan damai, jadi tidak hanya satu orang yang selalu
memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali.
3. Rekruitmen politik yang terbuka; setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu
jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi jabatan tersebut.
4. Pemilihan umum, yaitu dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara
teratur, dimana setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih
dan dipilih dan bebas menggunakan hak tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.
5. Menikmati hak-hak dasar, yaitu dalam suatu negara demokratis, setiap warga negara
dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas termasuk didalamnya hak-hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan kebebasan pers.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami pemilu yang bebas, teratur dan
pemilih dapat menggunakan hak tersebut sesuai dengan hati nuraninya merupakan salah satu
alat ukur utama proses penyelenggaraan politik yang demokratis. Terlaksana Pemilu yang
berkualitas merupakan dasar terwujudnya sistem politik yang kuat, karena akan
menghasilkan pemegang jabatan publik yang terbaik bukan sembarang orang. Hasil
pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dianggap mencerminkan dengan akurasi
partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Di kebanyakan negara demokrasi, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan
suatu aktivitas politik penting yang sudah berkala, dengan pengalaman penyelenggaraan yang
beragam. Di berbagai negara maju, proses Pemilu sudah berlangsung cukup matang, baik
pada level penyelenggara, sistem Pemilu yang digunakan maupun pada tingkat perilaku
pemilih. Melalui Pemilu, dapat memupuk kekuasaan yang absah dan mencapai tingkat
perwakilan politik (political representativeness) tertentu. Menurut Sanit (1985:173) dalam
jangka pendek pelaksanaan Pemilu dapat bermanfaat untuk mencapai kekuasaan yang absah
dan perwakilan politik, tetapi dalam jangka panjang pemilu bermanfaat bagi pembentukan
budaya politik dan pelembagaan politik. Ralmian (2001:190) menambahkan bahwa pada
hakikatnya Pemilu merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan
wakil-wakinya yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan
kedaulatan rakyat.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu bukan saja wahana
tenvujudnya proses kompetisi peserta Pemilu memperebutkan kekuasaan yang absah pada
jabatan-jabatan publik, melainkan juga membentuk tingkat kematangan budaya politik
masyarakat dan lembaga-lembaga politik mempertanggungjawabkan kinerjanya selama
menjalankan aktivitas politik selama waktu tertentu, dan rakyat akan memberikan
kepercayaan kepada pemimpin, lembaga-lembaga tersebut yang mendapat kepercayaannya.
2.2. Definisi Makna Dan Penyelenggara Pemilukada
Pemilukada merupakan salah satu kegiatan politik yang merupakan implementasi hak
kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin untuk masa 5 tahun mendatang. Melalui
Pemilukada terjadi pergantian pemegang kekuasaan secara teratur, damai dan berkualitas.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pemilihan
kepala daerah adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau
Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Pemilukada juga merupakan terobosan baru dalam sistem politik Indonesia,
khususnya untuk level pemerintahan lokal. Sebelum pemilukada, kepala daerah dipilih
melaui sebuah proses politik yang tidak dapat disebut Pemilu, karena tidak melibatkan rakyat
pemilih. Menurut Zuhro, dkk (2009:48 mengadakan bahwa pemilukada merupakan
momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi
demokrasi yang partisipatif
Pemilukada merupakan pemilihan yang diselenggarakan di daerah otonom yang
merupakan perintah dari perubahan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Menururt Irtanto (2008:159) yang dimaksud pemilukada adalah suatu proses politik untuk
memilih kepala daerah secara langsung. Terselenggaranya Pemilukada merupakan amanat
Pasal 56 ayat (1) UU no. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa: Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Berdasarkan landasan
hukum di atas, Pemilukada merupakan kegiatan pemilihan umum yang bertujuan memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah otonom tertentu, yang diharapkan
mampu mewujudkan sistem politik yang lebih stabil dan berkualitas, karena terjadi proses
pendewasaan pemilih, partai politik, penyelenggara dan media massa.
Lebih lanjut Sanit (1985: 157) mengatakan: proses pelaksanaan Pemilu berpengaruh
langsung kepada pembentukan budaya politik, sebab tingkah laku para kontestan dan
penyelenggara Pemilu langsung dihayati oleh anggota masyarakat yang mengetahuinya, baik
pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan, maupun melalui informasi. Selanjutnya
sistem ini mengatur beberapa hal berikut ini yaitu jurus pencalonan kandidat, jurus
pencoblosan suara, besar/bobot daerah pemilihan, lingkup daerah pemilihan dan jurus
pengambilan keputusan.
Ditambahkan Rahman (2001: 170) bahwa sistem pemilihan, walaupun terlihat hanya
suatu mekanise untuk menentukan komposisi pemerintah selama beberapa tahun kemudian,
namun sesungguhnya merupakan sarana utama bagi partisipasi politik para individu dalam
masyarakat yang luas, komplek dan modern, boleh jadi pemilu merupakan kunci untuk
menentukan suatu sistem yang demokratis.
Oleh karena itu Pemilukada sebagai salah satu proses demokrasi yang ada dalam
sistem politik Indonesia, memiliki signifikansi yang tinggi dalam pembangunan politik
Indonesia di masa mendatang serta dalam menciptakan keseimbangan antara politik lokal dan
pusat, dapat memperkuat otonomi daerah dalam prinsip negara kesatuan.
Untuk dapat melaksanakan amanat UU NO.32 Tahun 2004, pasal 57 menyerahkan
pelaksana Pemilukada kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai berikut: (1)
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan
laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
Mahkamah Konstitusi
(MK) mengabulkan
pennohonan agar
KPUD tidak
bertanggungjawab kepada DPRD sebab akan menimbulkan ketidak independenan KPUD
dalam penyelenggaraan pemilu. KPUD bertanggungjawab kepada publik dan kepada DPRD
hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugas. Dengan banyak kasus dalam Pemilukada,
dalam hal ini perlu adanya peningkatan kualitas pemilu dengan memperhatikan beberapa hal
berikut menurut Irtanto (2008: 161):
1. Perhatikan iklim demokratisasi harus dimulai dari partai politik (terutama) yang
memenuhi ketentuan Perundang-undangan dalam proses penjaringan, penyaringan
dan penetapan calon kepala daerah. Partai politik harus memiliki sistern dan
mekanisme rekruitment calon kepala daerah yang demokratis.
2. Peraturan
Perundang-undangan
yang
dibuat,
benar-benar
mencenninkan
demokratisasi itu sendiri dan tidak anarkhi.
3. Sistem dan mekanisme kerja masing-masing lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan Pilkada tidak tumpang tindih dan kontaminatif
4. Pemerintah harus benar-benar independen dan tidak melakukan interpensi dalam
bentuk apa pun.
5. Kedewasaan dan kematangan politik masyarakat senantiasa tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan politik.
Dari hal tersebut di atas, terlihat bahwa keberhasilan penyelenggaraan Pemilukada
tidak hanya bergantung pada profesionalisme KPUD, melainkan juga keterlibatan aktif
masyarakat dan independensi terhadap pemerintah.
Sebagaimana sebuah proses Pemilu, Pemilukada merupakan bagian dari sebuah
kebijakan nasional yang diharapkan mampu memperkuat sistem politik Indonesia. Oleh
karena itu Pemilukada memiliki manfaat yang penting. Mubarok (dalam Irtanto 2008: 161162) menyebutkan ada beberapa manfaat Pemilukada sebagai berikut:
a. Kongkritisasi demokrasi, yaitu proses pilkada akan memenuhi kaidah proses
demokratisasi di dua level struktural dan kultural. Di level struktural lebih beradab
karena melibatkan partisipasi publik yang makin luas. Kaidah 50 plus satu adalah
angka rill dan mutlak merupakan cerminan dan representasi suara rakyat. Di level
kultural proses pilkada ditenggarai akan memberi keleluasaan bagi merembesnya
nilai-nilai transparansi, independensi dan kejujuran.
b. Ada kemungkinan kekerasan terhadap proses dan data terkurangi.
c. Terkuranginya mekanisme politik uang.
Menambahkan manfaat positif yang telah disampaikan Mubarok, Afiti (dalam Irtanto
,2008: 163) memberikan manfaat lainnya adalah lahirnya pemimpin yang mengenal konteks
lokal dan bertanggungjawab kepada rakyat, dengan asumsi bahwa rakyat akan memilih orang
yang mereka kenal dengan baik. Sementara itu Huda (dalam Irtanto 2008: 162)
menambahkan dua keuntungan positif yaitu Pilkada langsung memberi kesempatan yang luas
untuk terpilihnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat; stabilitas
pemerintahan lebih terjaga berhubung kepala daerah tidak mudah dijatuhkan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Pemilukada memiliki peranan yang strategic
untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, sehingga akan
lebih bertanggungjawab kepada rakyat dibandingkan kepada partai politiknya.
UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (2) mengatakan bahwa pasangan calon diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politik
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah
dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Adapun syarat yang harus terpenuhi bagi calon kepala daerah adalah:
a. Bertaqwa kepada Tuhan YME
b. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan atau sederajat
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pelaksanaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter
f. Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau lebih
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya.
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perorangan dan atau secara badan
hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
m. Memiliki NPWP atau bagi yang mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran
pajak.
n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan
dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 kali
masa jabatan yang sama.
p. Tidak sedang sebagai penjabat daerah.
2.3. Definisi Strategi Dan Jenis-Jenis Kampanye
Kampanye merupakan sisi lain dari sebuah proses Pemilu, sebab melalui kampanye
kandidat dapat lebih memperkenalkan diri, menyatakan diri sebagai kandidat yang siap
memegang kekuasaan yang diberikan publik. Kampanye merupakan ajang adu kepantasan,
kelayakan, adu strategi, adu kekuatan keuangan dan investasi politik. Melalui kampanyelah
seseorang ingin dipilih, seseorang menyatakan gagasan untuk melaksanakan tanggungjawab
sebagai pemimpin, menyelesaikan masalah yang ada, menawarkan solusi bagi kehidupan
publik yang haws dengan kualitas pemimpin.
Menurut Nimmo (1989: 219); bahwa dalam setiap pemilihan terdapat unsur-unsur
propoganda (terutama dalam komunikasi organisasi melalui parta, politik, tetapi sifat dasar
kampanye politik kontemporer terletak pada paya untuk mempersuasi melalui periklanan
massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal) bukan pada propoganda.
Untuk berhasil menenangkan pilihan memerlukan penggunaan rencana kampanye dan
kampanye total. Inilah yang disebut dengan strategi kampanye.
Membangun strategi kampanye yang terpenting perumusan ide kampanye. Slogan
menjadi penentu keberhasilan ide. Ide merupakan tema organisasi kampanye dan slogan
harus mampu memberikan harapan akan kemajuan. Selain itu ada strategi untuk
meningkatkan popularitas kampanye yaitu melakukan kegiatan yang monumental dan sedikit
aneh sehingga memberikan kekuatan politik bagi publik.
Menurut Nimmo (1989: 220) kandidat tidak hanya cukup dikenal dengan cara yang
unik, tetapi memiliki citra kandidat yang sempurna. Rencana kampanye yang lebih detail
diturunkan dalam strategi kampanye dilakukan melalui empat segi:
1. Ada formasi awal dari organisasi kampanye, terdiri atas para politikus yang
berpengalaman (baik pejabat pemerintah maupwn pernimpin partai), juru
kampanye
profesional
(termasuk
segala
jenis
personal
dari
manajer,
merencanakan pesan iklan, mengumpulkan dana, membuat iklan televisi, menulis
pidato dan melatih kandidat penampilan di depan umum, sukarelawan (sejumlah
orang yang bersedia melakukan hubungan telepon, menjilak perangko, berkunjung
ke rumah-rumah, menaikkan tenda dan sebagainya.
2. Proses dana dikumpulkan dan dipergunakan bagaimana riset untuk mendapat
informasi yang diperlukan mengenai masalah yang dikemukakan, pemilih dan
opisis dan bagaimana menyampaikan pesan kandidat.
3. Sifat kampanye yang menyangkut komunikasi kampanyelah yang menyebabkan
berjalannya konsep kampanye total dengan menggunakan sarana komunikasi
total.
4. Menggunakan strategi terapan yang aplikatif sebagai berikut kampanye tatap
muka, media elektronik (televisi), telepon, kampanye radio, surat langsung, surat
kabar, poster, kampanye, interpersonal, kampanye organisasi.
Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih,
sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Partisipasi masyarakat
dalam Pemilu dapat berbagai bentuk, seperti ikut serta dalam kampanye, membicarakan
persoalan politik menjelang pemilihan suara, menyumbang dan sebagainya. Menurut Rush
dan Althof (2000: 124) bahwa bentuk partisipasi politik secara bertingkat dari tertinggi ke
yang rendah sebagai berikut:
1. Menduduki jabatan politik atau administratif
2. Mencari jabatan politik atau administratif
3. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
4. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
5. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (Quasi political)
6. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
7. Partisipasi dalam rapat umum, demonstarsi dan sebagainya
8. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
9. Voting (pemberian suara)
Gabriel Almon (dalam Mc Andrew, 2000: 47) memberikan perbedaan partisipasi
dalam konvensional dan non konvensional sebagai berikut:
Tabel 2.1.
Bentuk Kegiatan Partisipasi Politik
Konvensional
Non – Konvensional
Pemberian Suara
Pengajuan Petisi
Diskusi Politik
Berdemokrasi
Kegiatan Kompanye
Konfronstrasi
Membentuk dan bergabung dalam kelompok
Mogok
kepentingan
Tindak kekerasan politik terhadap harta
Komunikasi individu dengan pejabat politik
benda (perusakan, pengeboman, pembakaran)
dan administrasi
Tindakan kekerasan politik terhadap manusia
(penculikan, pembunuhan)
Perang gerilya dan revolusi
Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut, keterlibatan pemilih dalam Pemilukada
dapat terjadi dalam hal berikut seperti kegiatan kampanye, voting, diskusi politik, mengikuti
rapat umum. Dari tahapan proses pemilukada penentuan pilihan merupakan tahapan yang
paling krusial dalam menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Tahapan inilah yang paling
ditunggu bagi semua pihak yang berkepentingan dalam proses pemilu, baik pengurus partai,
kandidat pasangan kepala daerah, bahkan penyelenggara pemilukada juga menanti apakah
pemilih mampu menggunakan hak pilihnya secara baik atau sekedar memenuhi hak
konstitusionalnya.
Strategi Kampanye
Kampanye merupakan tahanpan penting dalam setiap Pemilu, karena, melalui
kegiatan inilah para kandidat memperkenalkan dirinya terhadap publik, yaitu para pemilih
dengan harapan pemilih mau menyerahkan kedaulatan politik kepada kandidat, baik dalam
lembaga legislatif maupun eksekutif. Kampanye menurut Nimmo (1989:199) adalah
penciptaan, penciptaan ulang dan pengalihan lambang signifikan secara sinambung melalui
komunikasi. Kampanye menggabungkan partisipasi aktif yang melakukan kampanye dan
pemberia suara. Kampanye merupakan suatu faktor utama dalam membantu para pemberi
suara mencapai pilihan dalam pemilhan umum. Strategi kampanye menurut Nimmo
(1989:202) merupakan metode/cara untuk memenangkan pemilihan umum melalui berbagai
pilihan-pilihan yang ada, berlandaskan pada kemampuan dan dukungan yang dimiliki, serta
harapan untuk meraih simpati publik
Jenis-jenis Kampanye
Strategi kampanye yang baik akan mampu menggerakan partisipasi politik pemilih,
sebab kampanye juga melakukan ajakan untuk memberikan suara. Adapun macam kampanye
dapat dilihat dari bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan oleh para politisi yang bersaing
dalam pemilihan umum. Menurut Nimmo (1989) kampanye massa merupakan pilihan yang
banyak dilakukan.
Menurut Nimmo (1989:220) dalam kampanye, pemilih menggunakan berbagai media
untuk mengumpulkan empat jenis informasi yaitu (a) Apa yang akan dicari dalam kampanye;
(b) apa isi yang penting dalam kampanye; (c) posisi kandidat terhadap isu yang penting; (d)
informasi tentang kepribadian dan atribut lain dari kandidat.
Berdasarkan pendapat tersebut, kampanye merupakan upaya pemilih untuk
memahami hal-hal yang mendasar dari sisi kandidat, sebab kualitas kandidat merupakan
prasyarat keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Kampanye menghadirkan citra
kandidat secara lebih baik, belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya ada. Oleh karena
itu kampanye tidak akan dilihat secara gamblang sebab pemilih akan melakukan
pembandingan.
2.4. Marketing Politik dalam Memenangkan Pemilu
Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia saat ini salah satunya ditandai adanya
multi partai yang sangat jelas dapat menuntut persaingan yang ketat diantara partai-partai
politik yang ada. Berbagai cara dilakukan oleh para partai politik untuk dapat meraih massa
yang banyak, bisa dengan memperlihatkan dan menyampaikan visi dan misi dari partai
politik, menampilkan para pengurus partai politiknya, program kerja dari partai politik dan
masih banyak hal lain untuk dapat menumbuh-kembangkan partai politik tersebut. Namun
realita yang ada tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan itu sangat ketat bahkan tanpa,
disadari dapat bersaing dalam merubah posisi partai politik yang satu dengan partai politik
yang lainnya.
Secara umum yang menjadikan partai politik menarik perhatian masyarakat untuk
dipilih atau didukung adalah Kelembagaan partai politik menurut Netherlands Institute for
Multiparty Democracy (dalam Sparinga 2006:12-15), adalah:
1. Ketangguhan Organisasi: Partai politik berkepentingan meraih pemilih dan
kekuasaan politik. Hal ini hanya dapat dicapai secara memuaskan melalui
penyebaran sumber-daya partai secara efektif, pada tingkat lokal, regional dan
nasional. Ini berarti, kita berkepentingan untuk mengetahui dan mampu
menggunakan kemampuan material maupun sumber-daya manusia dan financial
yang dimiliki partai, termasuk keterampilan dan orang-orang yang selanjutnya
akan mengelola itu semua. Untuk mencapai ketangguahan organisasi tersebut
maka diperlukan Perencanaan tahunan kegiatan partai; Desentralisasi sumberdaya, Transparansi dalam menangani sumber-daya, Akuntabilitas, Tata-hubungan
dan prosedur seleksi yang didasarkan pada prestasi dan solidaritas.
2. Demokrasi Internal Partai: bahwa partai yang memiliki aturan dan prosedur yang
bersifat impersonal (tidak tergantung pada orang) untuk menghindari terjadinya
kontrol sewenang-wenang dalam pemilihan internal (misalnya dalam penyusunan
daftar calon legislatif) serta berfungsinya partai di bawah kendali pimpinan partai
atau klik tertentu.
3. Identitas Politik, partai politik yang serius harus memiliki identitas atau jati diri
ideologic, bahkan identitas itu juga dibutuhkan untuk tujuan-tujuan organisasi,
pemilihan umum, dan pemerintah.
4. Keutuhan Internal: perbedaan pendapat itu disampaikan dan diselesaikan dalam
politik intra-partai.
5. Kapasitas Berkampanye. Dukungan suara bagi partai tidaklah datang dengan
sendirinya. Dukungan suara harus dicari melalui serangkaian langkah dan diraih
dengan menjamin terpenuhinya syarat-syarat penting tertentu.
Sementara itu yang seharusnya dilaksanakan oleh partai yang mengalami agar dapat
memenangkan pemilihan umum seperti pada model Nowak dan Warneryd (dalam Venus,
2004:22-24) ini terdapat beberapa elemen kampanye yang harus diperhatikan yakni sebagai
berikut:
1. Intended effect (efek yang diharapkan). Efek yang hendak dicapai harus
dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya
akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu
‘mengagung-agungkan’ potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai
menjadi tidak jelas dan tegas.
2. Competiting communication (Persaingan Komunikasi). Agar suatu kampanye
menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan potensi gangguan dari kampanye yang
bertolak belakang (counter campaign).
3. Communication object (Objek komunikasi). Objek kampanye biasanya dipusatkan
pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda menghendaki metode
komunikasi yang berbeda. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku
kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan atau
ditekankan pada objek tersebut.
4. Target population & receiving group (populasi target dan kelompok penerima).
Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan
lebih mudah dilakukan maka penyebaran pesan lebih baik ditunjukan pada
opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok penerima dan
populasi target dapat diklasifikasikan menurut sulit atau mudahnya mereka
dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka adalah bagian dari kelompok yang sulit
dijangkau.
5. The channel (saluran). Saluran yang digunakan dapat bermacarn-macam
tergantung karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media
dapat menjangkau hampir seluruh kelompok, namun bila tujuannya adalah
mempengaruhi perilaku maka akan lebih efektif bila dilakukan melalui saluran
antar pribadi.
6. The message (pesan). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok
yang menerimanya. Pesan juga dapat dibagi kedalam tiga fungsi yakni:
menumbuhkan kesadaran, mempengaruhi, serta memperteguh dan meyakinkan
penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar.
7. The communicator/sender (komunikator/pengirim pesan). Komunikator dapat
dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seorang
yang dipercaya khalayak, atau malah seseorang yang memiliki kedua sifat
tersebut. Pendeknya komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima
pesannya.
8. The obtained effect (efek yang dicapai). Efek kampanye meliputi efek kognitif
(perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan
perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan).
Unsur-unsur di atas merupakan unsur dasar yang harus dimiliki oleh partai politik,
untuk mematangkan/menguatkan/mengalihkan perhatian pemilih terhadap suatu partai selain
proses marketing politik yang dilakukan oleh partai tersebut. Sedangkan menurut Baines et.
Al, Dalam (Nursal, 2004:49-50) proses dan orientasi political marketing sangat bebeda
dengan Business Marketing yang mana political marketing adalah cara-cara yang dilakukan
organisasi politik dengan enam hal berikut:
1. Mengkomunikasikan pesan-pesannya, ditargetkan atau tidak ditargetkan, langsung atau
tidak langsung, kepada para pendukungnya dan pada para pemilih lainnya.
2. Mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan para pendukung, para pemilih lainnya dan
sumber-sumber eksternal agar mereka memberi dukungan finansial dan untuk
mengembangkan dan menjaga struktur manajemen di tingkat lokal maupun nasional.
3. Berinteraksi dan merespon dengan para pendukung, influencers, para legislator, para
kompetitior, dan masyarakat umum dalam pengembangan dan pengadaptasian kebijakankebijakan dan strategi.
4. Menyampaikan kepada semua pihak berkepentingan atau stake holders, melalui berbagai
media, tentang informasi, saran dan kepemimpinan yang diharapkan atau dibutuhkan
dalam negara demokrasi.
5. Menyediakan pelatihan, sumber daya informasi dan materi-materi kampanye untuk
kandidat, para agen pemasar dan atau para aktivis partai.
6. Berusaha mempengaruhi dan mendorong para pemilih, media-media dan influencers
penting lainnya untuk mendukung partai atau kandidat yang diajukan organisasi dan/atau
supaya jangan mendukung para pesaing.
Sedangkan Menurut Niffenneger dan Butler & Collins (dalam Firmanzah, 2008:199207) menjelaskan karakteristik marketing politik dengan lebih rinci. Karakteristik dan content
marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Meskipun proses marketing politik
masih mengikuti proses yang terdapat dalam marketing komersial, namun hal-hal yang
dibahas di tiap tahapan proses sangat berbeda antara marketing komersial dengan marketing
politik. Proses marketing politik menurut Niffenneger (dalam. Firmanzah 2008:199) terlihat
seperti di bawah ini:
Tabel 2.2.
Proses Marketing Politik
Program Marketing
- Platform Partai
- Masa lalu
- Karakteristik Personal
Promosi (Promotion)
- Advertising
- Publikasi, Evant Debat
Harga (Price)
- Biaya Ekonomi
- Biaya Psikologis
- Efek Image Nasional
Tempat (Place)
- Program Marketing
- Personal
- Program Voluneer
Sumber: Data Olahan dari Peneliti
Produk (Product)
Produk (Product). Niffengger (dalam Firmanzah, 2008:200) membagi produk politik
dalam tiga kategori, (1) Party Platform (Platform Partai), (2) Past Record (Catatan tentang
hal-hal yang dilakukan di masa lampau), dan (3) Personal Characteristic (Ciri Pribadi).
Produk utama dari sebuah institusi politik adalah platform partai yang berisikan konsep,
identitas ideology, dan program kerja sebuah institusi politik.
1. Promosi (Promotion). Promosi juga bisa dilakukan oleh institusi politik melalui debat di
TV Niffenegger dan Schrott, (dalam Firmannzah, 2008:204). Dalam acara macam ini,
publik berkesempatan melihat pertarungan program kerja yang ditawarkan oleh masingmasing institusi politik. Selain itu, promosi juga bisa dilakukan melalui pengerahan masa
dalam jumlah besar untuk menghadiri sebuah ‘Tabligh-Akbar’ atau ‘Temu Kader’. Selain
ingin tetap menjaga hubungan antara institusi politik dengan massanya, kesempatan
semacam ini akan diliput oleh media massa sehingga secara tidak langsung bisa dilihat
sebagai media promosi. Lambang, symbol, dan warna bendera partai yang disebar melalui
pamplet, umbul-umbul dan poster semasa periode kampanye juga merupakan media
promosi institusi politik. Promosi dalam hal ini juga terkait dengan publikasi partai
politik.
2. Harga (Price). Harga dalam marketing politik mencakup banyak hal, mulai ekonomi,
psikologis sampai ke citra nasional Niffenegger (dalam Firmanzah, 2008:205). Harga
ekonomi meliputi semua biaya yang dikeluarkan institusi politik selama periode
kamanye. Dari biaya Man, publikasi, biaya 'rapat akbar' sampai ke biaya administrasi
pengorganisasian tim kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi
psikologis, misalnya apakah pemilih merasa nyaman dengan latar belakang, etnis, agama,
pen