Hubungan Jam Kerja Lembur Dengan Kelelahan Kerja Pada Operator Di Unit Instalasi Sunggal Pdam Tirtanadi Di Medan Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Waktu Kerja
Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan
pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah
penggunaan tenaga dan penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu
tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka
akan menambah berat beban kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang
digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan
mengurangi beban kerja. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa aspek terpenting
dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik,
hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu
(pagi, sore, dan malam hari).
Menurut Wignjosoebroto (2003), waktu standar secara defenitif dinyatakan
sebagai waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat
kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Waktu standar tersebut
sudah mencakup kelonggaran waktu (allowance time) yang diberikan dengan
memperhatikan situasi dan kondisi yang harus diselesaikan.
Menurut Husen (2009), dalam konteks penjadwalan terdapat perbedaan antara
waktu (time) dan kurun waktu (duration). Bila waktu menyatakan siang/malam,
sedangkan kurun waktu atau durasi menunjukkan lamanya waktu yang dibutuhkan

dalam melakukan suatu kegiatan, seperti lamanya waktu kerja dalam satu hari adalah
8 jam. Menentukan durasi atau kegiatan biasanya dilandasi volume pekerjaan dan
produktivitas kelompok pekerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam,
sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan

Universitas Sumatera Utara

masyarakat,istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari
kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang
optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas. Bekerja dalam waktu yang
berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan,
penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang
umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam (Rizahirfan, 2008).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.13 tentang ketenaga kerjaan
Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja meliputi, 7 jam dalam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8
jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja
melebihi waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur. Selanjutnya pasal

79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Waktu
istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah
jam, setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut
tidak termasuk jam kerja, istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja
dalam seminggu, dan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja
yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

2.2 Jam Kerja Lembur (Overtime )
2.2.1 Pengertian Jam Kerja Lembur (Overtime )
Berdasarkan

Undang-Undang

Republik

Indonesia

No.13

tentang


ketenagakerjaan tentang ketenagakerjaan Tahun 2003 Pasal 77 Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud harus
memenuhi syarat:

Universitas Sumatera Utara

1.

Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan.

2.Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam
dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur dalam
pasal 1, waktu lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan
atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.

2.2.2 Dampak Kerja Lembur
Adapun dampak yang diakibatkan oleh jam kerja lembur adalah sebagai berikut:
1. Pemicu Munculnya Depresi. Ketika seseorang bekerja selama 11 jam atau
lebih per harinya akan memiliki tingkat depresi yang cukup tinggi
dibandingkan dengan mereka yang bekerja normal (7 - 8 Jam) sehari (Caruso
et al., 2004).

2. Mempercepat Berbagai Gangguan Kesehatan. Bagi mereka yang bekerja
diperkantoran, duduk sambil bekerja sudah menjadi kesehariannya. Berbagai
dampak buruk dari terlalu lama duduk dapat menimbulkan diabetes, obesitas,
kanker, serangan jantung (Patel et al., 2010).
3. Berdampak Buruk Pada Kualitas Tidur. Jika seseorang sering bekerja lembur,
maka secara otomatis jam tidur yang dimilikinya berkurang. Berbagai dampak
buruk akan menimpa dari minimnya jam tidur seperti memori yang terus
meuurun, meningkatnya berat badan, sering marah-marah tidak jelas, maupun
kanker yang mengintai anda (Nakashima et al., 2010)

Universitas Sumatera Utara

4. Memperburuk Kesehatan Organ Jantung. Overtime atau kerja lembur

berkontribusi besar terhadap berbagai gangguan kardiovaskuler seperti
penyakit jantung, serangan jantung serta tekanan darah tinggi ). Seseorang
yang bekerja 10 jam atau lebih per harinya beresiko terkena penyakit
kardiovaskuler sebesar 60 persen (McInnes ., 2010).
5. Berbagai Gangguan Pada Penglihatan. Pekerjaan di era digital mengharuskan
seseorang menatap layar komputer ataupun laptop dalam jangka waktu yang
relatif lama. Tentu hal ini akan berefek serius pada organ mata seperti
ketegangan pada mata, gejala sakit kepala, mata yang kering yang disertai
dengan penglihatan yang kabur atau tidak jelas.
Masalah gejala penglihatan yang berhubungan dengan computer
seperti kelelehan mata memiliki beberapa penyebab yang mirip dan tidak bisa
diabaikan. Masalah penglihatan terminal (VDTs) menyebabkan gejala seperti
ketengangan mata, ketidaknyamanan penglihatan, dan kelelahan penglihatan.
Mendeteksi dan mendiagnosis penyebab dapat meningkatkan penglihatan dan
menururnkan masalah penglihatan. Gejala dapat berupa, sakit kepala,
ketengangan mata, mata kering, penglihatan kabur, iritasi mata, kelelahan
mata, sensivitas terhadapa pencahataan, sakiyt punggung dan bahu dan
penglihatan ganda(Tribley et al., 2011).
6. Terganggunya Fungsi Organ Otak. Kerja lembur yang dilakukan secara terusmenerus akan beresiko pada penurunan pada mental serta demensia
(penurunan kemampuan intelektual ) (Virtanen et al., 2008).

2.3 Kelelahan Kerja
2.3.1 Defenisi Kelelahan Kerja
Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh, agar tubuh

Universitas Sumatera Utara

terhindar dari kerusakan lebih lanjut, semuanya berakibat kepada penurunan daya
kerja. Kelelahan diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, performans kerja,
dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan
kegiatan yang harus dilakukan (Suma’mur, 2009).
Menurut Tarwaka dalam Rosanti (2011), kelelahan adalah suatu mekanisme
perlindungan tubuh, agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi
pemulihan setelah istirahat. Selanjutnya menurut Budiono dalam Purnomo (2014)
terdapat dua jenis kelelahan meliputi, kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan
otot ditandai dengan gejala tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan
umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja.
Kelelahan dapat dikurangi bahkan ditiadakan dengan pendekatan berbagai
cara, dengan pengelolaan waktu bekerja dan lingkungan tempat kerja. Banyak hal
dapat dicapai dengan menerapkan jam kerja dan waktu istirahat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, pengaturan cuti yang tepat, penyelenggaraan tempat istirahat

yang memperhatikan kesegaran fisik dan keharmonisan

mental-psikologis.

Pemanfaatan masa libur, rekreasi, kecukupan gizi, penerapan ergonomi yang
bertalian dengan perlengkapan dan peralatan kerja, adalah merupakan upaya yang
sangat membantu mencegah timbulnya kelelahan (Nasution dalam Putra, 2011).
Mengingat kelelahan kerja tidak dapat didefinisikan secara jelas tetapi dapat
dirasakan sebagai perasaan kelelahan kerja disertai adanya perubahan waktu reaksi
yang menonjol maka indikator perasaan kelelahan kerja dan waktu reaksi dapat
dipergunakan untuk mengetahui adanya kelelahan kerja. Perasaan kelelahan kerja
adalah gejala subjektif kelelahan kerja yang dikeluhkan pekerja yang merupakan
semua perasaan yang tidak menyenangkan (Purnomo dalam Setyawati, 2014).
Banyak definisi tentang kelelahan kerja yang telah dikemukakan, namun
secara garis besar dapat dikatakan bahwa kelelahan merupakan suatu pola yang

Universitas Sumatera Utara

timbul pada suatu keadaan, secara umum terjadi pada setiap individu yang telah tidak
sanggup lagi melakukan aktivitasnya (Sutalaksana, 1979).

Menurut Suma’mur (2009) Gejala atau perasaan atau tanda yang ada
hubungannya dengan kelelahan adalah:
a. Perasaan berat di kepala.
b. Menjadi lelah di seluruh badan.
c. Kaki merasa berat.
d. Menguap.
e. Merasa kacau pikiran.
f. Mengantuk.
g. Merasa berat di mata.
h. Kaku dan canggung dalam gerakan.
i. Tidak seimbang dalam berdiri.
j. Mau berbaring.
k. Merasa susah berfikir dan sakit kepala.
l. Lelah bicara
m. Gugup.
n. Tidak dapat berkonsentrasi.
o. Tidak dapat memfokuskan perhatian terhadap sesuatu.
p. Cenderung untuk lupa.
q. Kurang kepercayaan diri.
r. Cemas terhadap sesuatu dan tidak dapat mengontol sikap.

s. Tidak dapat tekun dalam melakukan pekerjaan.
t. Kekakuan dibahu dan merasa nyeri di punggung.
u. Merasa pernafasan tertekan.
v. Suara sesak.

Universitas Sumatera Utara

w. Merasa pening.
x. Spasme pada kelopak mata.
y. Tremor pada anggota badan.
z. Merasa kurang sehat.
2.3.2 Jenis Kelelahan kerja
Kelelahan kerja dapat dibedakan yang berdasarkan :
1. Waktu terjadinya kelelahan kerja, yaitu :
a. Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh
tubuh secara berlebihan.
b. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh sejumlah faktor
yang berlangsung secara terus-menerus dan terakumulasi. Gejalagejala yang tampak jelas akibat lelah kronis ini dapat dicirikan seperti
:
• Meningkatnya emosi dan rasa jengkel sehingga orang menjadi

kurang toleran atau a-sosial terhadap orang lain.
• Munculnya sikap apatis terhadap pekerjaan.

• Depresi yang berat, dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2000).
2. Penyebab terjadinya kelelahan
a. Faktor fisiologis, yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat)
dalam darah, penurunan waktu reaksi.
b. Faktor psikologis, yaitu konflik yang mengakibatkan stress yang
berkepanjangan, ditandai dengan menurunnya prestasi kerja, rasa lelah
dan ada hubungannya dengan faktor psikososial (Khairunnisa, 2001).
3. Proses dalam otot , terdiri dari:
a. Kelelahan otot, adalah suatu penurunan kapasitas otot dalam bekerja
akibat kontraksi yang berulang. Kontraksi otot yang berlangsung lama

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan keadaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Otot yang
lelah akan menunjukkan kurangnya kekuatan, bertambahnya waktu
kontraksi dan relaksasi, berkurangnya koordinasi serta otot menjadi
gemetar (Suma’mur , 2009).

b. Kelelahan umum, adalah perasaan yang menyebar yang disertai adanya
penurunan kesiagaan dan kelambanan pada setiap aktivitas (Grandjean,
1985). Perasaan adanya kelelahan secara umum dapat ditandai dengan
berbagai kondisi.
2.3.3. Faktor Yang Menyebabkan Timbulnya Kelelahan
Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah pekerjaan yang akan dilakukan
seseorang setiap hari dan tingkat kelelahan fisik akibat kerja. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat kelelahan yaitu : jam kerja, periode istirahat, cahaya,
suhu dan ventilasi yang berpengaruh pada kenyamanan fisik, sikap, mental dan
kelelahan tenaga kerja. Kebisingan dan getaran merupakan gangguan yang tidak
diinginkan, sejauh mungkin dikurangi atau dihilangkan. Hal ini sebaiknya dipahami
sehingga tercipta kondisi fisik yang menyenangkan dalam bekerja (Nasution dalam
Putra, 2011).
Secara pasti datangnya kelelahan yang menimpa diri seseorang akan sulit
untuk diidentifikasikan secara jelas. Mengukur tingkat kelelahan kerja seseorang
bukanlah pekerjaan yang mudah. Prestasi ataupun performance kerja yang bisa
ditunjukkan dengan output kerja merupakan tolak ukur yang sering dipakai untuk
mengevaluasi tingkat kelelahan. Selain kuantitas output persatuan waktu, maka
pengukuran terhadap kualitas output ataupun jumlah pokok cacat yang dihasilkan dan
frekuensi kecelakaan yang menimpa pekerja sering kali juga dipakai sebagai cara
untuk mengkorelasikan dengan intensitas kelelahan yang terjadi. Meskipun demikian
yang patut diperhatikan adalah bahwa perubahan performa kerja ataupun kualitas

Universitas Sumatera Utara

output kerja ternyata tidaklah semata-mata disebabkan oleh faktor kelelahan kerja
(Wignjosoebroto, 2000).
Menurut ILO dalam Setyawati yang dikutip dari Purnomo (2014), penyebab
kelelahan kerja umumnya berkaitan dengan:
a. Sifat pekerjaan yang monoton.
b. Intensitas kerja dan ketahanan kerja mental dan fisik yang tinggi.
c. Cuaca ruang kerja, pencahayaan dan kebisingan serta lingkungan kerja
lain yang tidak memadai.
d. Faktor psikologis, rasa tanggung jawab, ketegangan-ketegangan dan
konflik-konflik.
e. Penyakit-penyakit, rasa kesakitan dan gizi.
f. Circadian rhytm (irama sirkadian).
Tanda-tanda kelelahan yang utama adalah hambatan terhadap fungsi-fungsi
kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ diluar kesadaran serta
prose pemulihan. Menurut Naibaho (1997) Orang-orang lelah menunjukkan :
1. Penurunan perhatian.
2. Perlambatan dan hambatan persepsi.
3. Lambat dan sukar berfikir.
4. Penurunan kemauan atau dorongan untuk bekerja.
5. Kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental.
Ada lima (5) kelompok yang penyebab kelelahan yaitu :
1. Keadaan monoton.
2. Beban dan lamanya pekerjaan baik fisik maupun mental.
3. Keadaan lingkungan seperti cuaca kerja, penerangan dan kebisingan.
4. Keadaan kejiwaan seperti tanggung jawab, kekhawatiran atau konflik.

Universitas Sumatera Utara

5. Penyakit, perasaan sakit, keadaan gizi.
Salah satu penyebab kelelahan kerja adalah lamanya kerja mental dan fisik
dan faktor-faktor yang lain yang telah disebutkan sebelumnya. Pengaruh-pengaruh
tersebut berkumpul di dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah. Perasaan ini
dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja seperti halnya kelelahan fisiologis
seperti mengantuk (Suma’mur PK, 2009).
2.3.4 Proses Terjadinya Kelelahan Kerja
Kelelahan terjadi karena berkumpulnya produk-produk sisa dalam otot dan
peredaran darah, di mana produk-produk sisa ini bersifat membatasi kelangsungan
aktivasi otot. Ataupun mungkin bisa dikatakan bahwa produk sisa ini mempengaruhi
serat-serat syaraf dan sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan orang menjadi
lambat bekerja jika sudah lelah.
Makanan yang mengandung glikogen, mengalir dalam tubuh melalui
peredaran darah. Setiap kontraksi dari otot akan selalu diikuti oleh reaksi kimia
(oksida glukosa) yang merubah glikogen menjadi tenaga, panas dan asam laktat
(produk sisa). Dalam tubuh dikenal fase pemulihan, yaitu suatu proses untuk merubah
asam laktat menjadi glikogen kembali dengan adanya oksigen dari pernafasan,
sehingga memungkinkan otot-otot bisa bergerak secara kontiniu. Ini berarti
keseimbangan kerja bisa dicapai dengan baik apabila kerja fisiknya tidak terlalu
berat. Pada dasarnya kelelahan ini timbul karena terakumulasinya produk-produk sisa
dalam otot dan peredaran darah yang disebabkan tidak seimbangnya antara kerja
dengan proses pemulihan (Nasution dalam Putra, 2011).
Secara lebih jelas proses terjadinya kelelahan fisik adalah sebagai berikut :
1. Oksidasi glukosa dalam otot menimbulakan CO2, saerolatic, phospati, dan
sebagainya, dimana zat-zat tersebut terikat dalam darah yang kemudian
dikeluarkan waktu bernafas. Kelelahan terjadi apabila pembentukan zat-zat

Universitas Sumatera Utara

tersebut tidak seimbang dengan proses pengeluarannya sehingga timbul
penimbunan dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot selanjutnya.
2. Karbohidrat yang didapat dari makanan diubah menjadi glukosa dan disimpan
di hati dalam bentuk glikogen. Setiap 1 cm 3darah normal akan membawa 1
mm glukosa, berarti setiap sirkulasi darah hanya membawa 0,1% dari
sejumlah glikogen yang ada dalam hati. Karena bekerja, persediaan glikogen
dalam hati akan menipis dan kelelahan akan timbul apabila konsentrasi
glikogen dalam hati tinggal 0,7%.
3. Dalam keadaan normal jumlah udara yang masuk melalui pernafasan kira-kira
4 liter/menit, sedangkan dalam keadaan kerja keras dibutuhkan udara sekitar
15 liter/menit. Ini berarti pada suatu tingkat kerja tertentu akan dijumpai suatu
keadaan di mana jumlah oksigen yang masuk melalui pernafasan lebih kecil
dari tingkat kebutuhan. Jika ini terjadi maka kelelahan akan timbul, karena
reaksi oksidasi dalam tubuh yaitu untuk mengurangi asam laktat menjadi H
2O

(air) dan CO2(karbondioksida) agar di keluarkan dari tubuh, menjadi tidak

seimbang dengan pembentukan asam laktat itu sendiri (asam laktat
terakumulasi dalam otot atau dalam peredaran darah) (Nasution dalam Putra,
2011).
Untuk kelelahan fisiologis, para ahli meyakini bahwa keadaan dan perasaan
kelelahan yang timbul karena adanya reaksi fungsional dari pusat kesadaran (Cortex
cerebri) atas pengaruh dua sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan

sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat ini terdapat dalam thalamus, dan
bersifat menurunkan kemampuan manusia untuk bereaksi. Sedangkan sistem
penggerak terdapat dalam formatio retikolaris yang bersifat dapat merangsang pusatpusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan-peralatan tubuh ke arah
reaksi. Dengan demikian, keadaan seseorang pada suatu saat tergantung pada hasil

Universitas Sumatera Utara

kerja kedua sistem antagonis tersebut (Sutalaksana, 1979).
Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan
orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya, apabila sistem
penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang akan mengalami kelelahan.
Itulah sebabnya, seseorang yang sedang lelah dapat melakukan aktivitas secara tibatiba apabila mengalami suatu peristiwa yang tidak terduga (ketegangan emosi).
Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban
kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat
daripada sistem penggerak (Sutalaksana, 1979).
2.3.5 Akibat Kelelahan Kerja
Kelelahan dapat kita ketahui dari gejala-gejala atau perasaan-perasaan yang sering
timbul seperti :
1. Perasaan berat di kepala, menjadi lelah seluruh tubuh, kaki terasa berat,
menguap, pikiran kacau, mengantuk, mata berat, kaku dan canggung dalam
gerakan, tidak seimbang dalam berdiri dan merasa ingin berbaring.
2. Merasa susah berfikir, lelah berbicara, menjadi gugup, tidak dapat
berkonsentrasi, tidak mempunyai perhatian terhadap sesuatu, cenderung untuk
lupa, kurang kepercayaan, cemas terhadap sesuatu, tidak dapat mengontrol
sikap dan tidak tekun dalam pekerjaan.
3. Merasa sakit kepala, kekakuan bahu, merasa nyeri di punggung, pernafasan
merasa tertekan, suara serak, merasa pening, spasme dari kelopak mata,
tremor pada anggota badan dan kurang sehat badan (Suma’mur, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gejala-gejala yang termasuk kelompok 1 menunjukkan pelemahan kegiatan,
kelompok 2 menunjukkan pelemahan motivasi dan kelompok 3 menunjukkan
kelelahan fisik akibat psikologis.
Dalam studi efek kelelahan harus dipahami bahwa gejala umum dari
kelelahan kerja merupakan sebagai suatu hasil dari aktivitas yang panjang. Gejala
kelelahan berikut merupakan gejala yang jelas dilihat dan dirasakan, yaitu
menurunnya perhatian, lamban dalam bergerak, gangguan persepsi, pikiran melemah,
motivasi menurun, kinerja menurun, ketelitian menurun dan kesalahan meningkat
(Grandjean,1985).
2.3.6

Pengukuran Kelelahan Kerja
Beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur kelelahan kerja antara

lain: Waktu reaksi Seluruh Tubuh atau Whole Body Reaction Tester (WBRT), uji
ketuk jari (Finger Taping Test), uji Flicker fusion, uji Critical Fusion , uji Bourdon
Wiersma , skala kelelahan IFRC (Industrial Fatique Rating Comite ), skala Fatique
rating (FR skala), Ekskresi Katikolamin , Stroop Test (Suma’mur, 2009).

Menurut Setyawati (2010), suatu instrumen yang dapat dipergunakan untuk
pengukuran kelelahan kerja secara ideal telah sejak lama diharapkan oleh para
pemegang unit-unit kerja maupun oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap
masalah kelelahan kerja. Pada tahun 1957 diutarakan oleh Pearson bahwa belum
terdapat alat ukur yang dapat secara memadai untuk mengukur kelelahan, bahkan
oleh Broadbent tahun 1979 disebutkan bahwa penilaian perasaan kelelahan kerja
hanya sebagian saja yang ada hubungan dengan pengukuran secara fisiologis. Pada
tahun 1995 oleh Grandjean masih dikemukakan bahwa sampai saat itu belum terdapat
suatu cara pengukuran kelelahan fisiologis dan psikologis yang dapat dipakai secara
sempurna dalam setiap macam industri. Hampir semua ahli ergonomi mengakui
kebenaran pendapat Grandjean ini. Kesenjangan ini masih dilontarkan oleh Phoon

Universitas Sumatera Utara

pada tahun 1988 bahwa belum terdapat suatu alat yang khusus untuk mengukur
kelelahan kerja. Parameter-parameter yang pernah diungkapkan beberapa peneliti
untuk mengukur kelelahan kerja ada bermacam-macam antara lain adalah:
a. Pengukuran Waktu Reaksi
Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai
timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi
sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi. Parameter
waktu reaksi dipergunakan untuk pengukuran kelelahan kerja, namun dikemukakan
bahwa waktu reaksi ini dipengaruhhi oleh faktor rangsangnya sendiri baik macam,
intensitas maupun kompleksitas rangsangnya, dan juga dapat dipengaruhi oleh motivasi
kerja, jenis kelamin, usia, kesempatan serta anggota tubuh yang dipergunakan.

b. Uji Finger-tapping (uji ketuk jari).
Uji Finger-tapping adalah mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari
tangan dalam suatu periode waktu tertentu. Uji ini sangat lemah karena banyak faktor
yang sangat berpengaruh dalam proses mengetukkan jari-jari tangan dan uji ini tidak
dapat dipakai untuk menguji kelelahan kerja bermacam-macam pekerjaan.
c. Uji Flicker-Fusion.

Uji Flicker-fushion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya
(lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu sehingga
cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu. Uji ini dipergunakan untuk
menilai kelelahan mata saja.
d. Uji Critical Flicker-Fushion.
Uji Critical Flicker-fushion adalah modifikasi uji Flicker Fushion. Uji ini
digunakan untuk pengujian kelelahan mata yang berat, dan mempergunakan Flicker
Tester .

e. Uji Bourdon Wiersma.

Universitas Sumatera Utara

Uji Bourdon wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan
ketelitian. Uji ini dipakai untuk menguji kelelahan pada pengemudi.
f. Skala kelelahan Industrial Fatigue Research Committee (IFRC).
Skala IFRC yang di disain untuk pekerja dengan budaya Jepang ini
merupakan angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan.
Kelemahan skala ini yaitu bahwa perasaan kelelahan yang dirasakan seorang pekerja
dan tiap butir pertanyaan dalam skala IFRC tidak dapat dievaluasi hubunganya. Uji
kelelahan yang lain yaitu skala kashiwagi, yang terdiri atas 20 butir pertanyaan yang
mengandung dimensi pelemahan aktivitas dan pelemahan motivasi. Kedua skala ini
tidak merupakan pendekatan yang menentukan karena dengan kedua skala ini tidak
diperoleh hasil yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan
kerja maupun kriteria lain yang mendukung. Diutarakan pula bahwa perlu dilakukan
survei psikososial dan ekologi diantara para pekerja untuk mengetahui sebab
kelelahan kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

g. Pemeriksaan Tremor Pada Tangan.
Cara ini tidak dapat dipakai untuk mengukur kelelahan pada tiap orang
maupun pada tiap pekerjaan karena adanya tremor pada tangan dapat terjadi tidak
saja pada kelelahan tetapi juga dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit tertentu.
h. Metode Blink.
Metode Blink adalah pengujian untuk kelelahan tubuh secara keseluruhan
dengan melihat objek yang bergerak dengan mata yang terkejab secara cepat dan
berulang-ulang. Cara ini pun tidak dapat untuk menguji jenis kelelahan kerja pada
tiap pekerjaan.
i. Ekskresi Katekolamin.

Universitas Sumatera Utara

Pada kasus kelelahan ekskresi katekolamin tidak selalu meningkat. Pada
pekerja beberapa macam pekerjaan yang mengalami kelelahan kerja tidak terjadi
peningkatan ekskresi katekolamin.
j. Stroop Test.

Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warna-warna tinta suatu
seri huruf atau kata-kata. Pengujian ini kurang memadai untuk pengujian suatu
keadaan kelelahan kerja.
k. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja.
KUPK2 merupakan suatu alat untuk mengukur indikator perasaan kelelahan
kerja yang di disain oleh Setyawati (1994) khusus bagi pekerja Indonesia. KUPK2
ada tiga macam yaitu KUPK2 I, KUPK2 II, dan KUPK2 III yang masing-masing
terdiri atas 17 butir pertanyaan, yang telah teruji kesahihan dan kehandalanya untuk
mengukur perasaan kelelahan pada pekerja yang mengeluh adanya perasaan
kelelahan.
Pengukuran secara subjektif dilakukan dengan mengukur perasaan lelah
dengan menggunakan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2)
yang disusun oleoleh Setyawati pada tahun 1994 yang terdiri dari 17 pertanyaan
tentang keluhan subjektif yang dapat diderita oleh tenaga kerja, antara lain: sukar
berpikir, lelah berbicara, gugup menghadapi sesuatu, tidak pernah konsentrasi dalam
mengerjakan sesuatu, tidak punya perhatian terhadap sesuatu, cenderung lupa, kurang
percaya diri, tidak tekun dalam melaksanakan pekerjaan, enggan menatap mata orang
lain, enggan bekerja dengan cekatan, tidak tenang bekerja, lelah seluruh tubuh,
lamban, tidak kuat berjalan, lelah sebelum bekerja, daya pikir menurun dan cemas
terhadap sesuatu (Syarifuddin, 2005).
Selain itu KAUPK2 (Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja) juga
merupakan parameter untuk mengukur perasaan kelelahan kerja sebagai gejala

Universitas Sumatera Utara

subjektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Keluhankeluhan yang dialami pekerja sehari-hari membuat mereka mengalami kelelahan
kronis (Syarifuddin, 2005).
2.3.7 Penanggulangan Kelelahan Kerja
Kelelahan dengan menurunnya efisiensi dan ketahanan dalam bekerja
meliputi segenap kelelahan tanpa mamandang apapun penyebabnya seperti, kelelahan
yang sumber utamanya adalah mata (visual), kelelahan fisik umum, kelelahan mental,
kelelahan syaraf, kelelahan oleh karena lingkungan kerja yang monoton ataupun
karena lingkungan kerja yang kronis terus-menerus.
Kelelahan merupakan komponen kelelahan fisik dan psikis. Kerja fisik yang
melibatkan kecepatan tangan dan fungsi mata serta memerlukan konsentrasi yang
terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan fisiologis dan penurunan keinginan
untuk bekerja yang disebabkan oleh faktor psikis yang mengakibatkan kelelahan
(Nasution dalam Putra, 2011).
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kelelahan akibat
bekerja sehingga kelelahan akibat bekerja dapat dikurangi dapat dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya adalah dengan menyediakan kalori secukupnya sebagai
input untuk tubuh, bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik (misalnya
bekerja dengan memakai prinsip ekonomi), memperhatikan kemampuan tubuh
artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi pemasukannya dengan memperhatikan
batasan-batasannya, memperhatikan waktu kerja yang teratur (jam kerja, waktu
istirahat dan sarana-sarananya, masa libur dan rekreasi dan lain-lain), mengatur
lingkungan fisik dengan sebaik-baiknya (temperatur, kelembaban dan pencahayaan),
serta berusaha mengurangi monotoni dan ketegangan-ketegangan akibat bekerja
(warna dan dekorasi kerja, musik, menyediakan waktu untuk berolahraga, dan lainlain) (Suma’mur PK, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Konsep
Variabel independen

Jam Kerja Lembur

Variabel dependen

Kelelahan kerja

2.5 Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara jam kerja lembur terhadap kelehan kerja pada operator unit
instalasi Sunggal PDAM Tirtanadi

Universitas Sumatera Utara