Kajian Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan Bantuan Kepada Masyarakat di Bidang Perdata (Studi di LBH Medan dan LBH Trisila Sumatera Utara)

BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LEMBAGA BANTUAN
HUKUM BERDASARKAN UU NO.16 TAHUN 2011
A.

PENGERTIAN BANTUAN HUKUM
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, yang dimaksud dengan Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
Sebelum adanya Undang-Undang ini, pengertian dari bantuan hukum belum menemukan
defenisi yang jelas. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan yang secara khusus
mengatur tentang bantuan hukum itu sendiri walaupun pemberian bantuan hukum sudah lama
berkembang di Negara ini. Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat tentang
bantuan hukum sebelum lahirnya Undang-undang tentang Bantuan Hukum hanya dapat
menjelaskan sedikit dan tidak secara spesifik apa yang dimaksud dengan bantuan hukum.
Menurut pasal 22 Undang-Undang Advokat, yaitu Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 yang
dimaksud dengan Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara
cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. Di dalam Undang-Undang Advokat ini hanya
memuat 1 pasal saja mengenai bantuan hukum, yaitu hanya di pasal 22. Penjelasan lebih lanjut
dari Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata cara
Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma, Bantuan Hukum Secara cuma-cuma adalah jasa
hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian
konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
Meskipun tidak secara khusus menjelaskan tentang bantuan hukum, namun pengertian
mengenai bantuan hukum yang dikemukakan pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum secara cuma-cuma sudah mengarah kepada pengertian bantuan hukum yang dikemukakan
dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Tapi, jika kita merunut ke belakang ,sebelum adanya peraturan perundang-undangan diatas
dikalangan profesi hukum belum menemukan defenisi yang jelas mengenai bantuan hukum,
padahal pemberian bantuan hukum itu sendiri sudah dilakukan lama sekali. Oleh karena itu,
kalangan profesi hukum mencoba membuat dasar dari pengertian bantuan hukum tersebut.
Pada tahun 1976, Simposium Badan Kontak Profesi Hukum Lampung merumuskan
pengertian dari bantuan hukum sebagai pemberian bantuan hukum

Universitas Sumatera Utara

kepada seorang pencari keadilan yang tidak mampu dan sedang menghadapi kesulitan dibidang

hukum diluar maupun di muka pengadilan tanpa imbalan jasa.25
Pengertian bantuan hukum yang lingkup kegiatannya cukup luas ditetapkan dalam
Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat Nasional tahun 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum
merupakan kegiatan pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin)
baik secara perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu secara
kolektif. Lingkup kegiatan meliputi pembelaan, perwakilan baik diluar maupun didalam pengadilan,
pendidikan, penelitian, dan penyebaran gagasan.26 Berbicara tentang istilah bantuan hukum adalah
memberikan nasehat hukum secara cuma-cuma. Termasuk dalam hal pembelaan pada acara
persidangan di pengadilan. Maksud pembelaan disini tidak ditafsirkan sebagai pembelaan yang
“membabi buta”. Seperti melakukan pembelaan terhadap kesalahan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan terdakwa atau tersangka, sehingga ia dapat bebas dari tuntutan. Tetapi pembelaan yang
diharapkan adalah upaya mendapatkan keadilan yang diperolehnya berupa hukuman yang setimpal
berdasarkan berat ringan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan.27
Dalam hal ini pengertian dari bantuan hukum belum dapat didefinisikan dengan jelas namun
secara umum dapat dikatakan bahwa bantuan hukum adalah bantuan memberikan jasa untuk :
1. Memberikan nasehat hukum ;
2. Bertindak sebagai pendamping bagi mereka yang tidak mampu maupun yang buta hukum.
B.

SUBJEK PEMBERI BANTUAN HUKUM

Pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai
keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi demi tertibnya pelaksanaan bantuan hukum diberikan
batasan dan persyaratan dalam berbagai peraturan. Persoalan selanjutnya adalah siapa yang
seharusnya bertindak untuk menjadi pelaksana pemberi bantuan hukum di negara kita sekarang
ini, mengingat banyaknya dan beraneka ragam para pemberi bantuan hukum yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Advokat yang nerupakan anggota suatu organisasi Advokat dan juga menjadi anggota
Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
2. Advokat yang merupakan anggota suatu organisasi Advokat dan bukan menjadi anggota
Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
3. Advokat yang bertindak sebagai Penasehat Hukum dari suatu perusahaan.
_______________________
25

Sunggono dan Harianto,op.cit,hal.8.
ibid.
27
Yudha Pandu, Klien & Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini ( Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2001), hal.88.
26


Universitas Sumatera Utara

4. Advokat yang tidak menjadi anggota perkumpulan manapun.
5. Pengacara Praktek atau Pokrol.
6. Sarjana-sarjana hukum yang bekerja pada biro-biro hukum/instansi pemerintah.
7. Dosen-dosen dan Mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum.
8.

Konsultan-Konsultan Hukum.28

Klasifikasi yang disebutkan diatas memang dapat bertindak sebagai pemberi bantuan
hukum pada umumnya, tetapi apakah mereka juga yang bertindak sebagai pemberi bantuan
hukum bagi golongan miskin (public defender)?. Dalam hal ini, penanganan bantuan hukum
kepada golongan miskin sudah seharusnya dilakukan oleh tenaga-tenaga professional, yaitu
mereka yang bukan hanya berpendidikan sarjana hukum saja tetapi menekuni pemberian bantuan
hukum sebagai pekerjaan pokok mereka sehari-hari. Hal demikian adalah idealnya daripada
program bantuan hukum bagi golongan miskin. Akan tetapi kenyataan menunjukkan tenagatenaga professional sebagaimana digambarkan tersebut diatas tidak banyak jumlahnya dan
distribusinya tidak merata dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian maka yang harus
memegang posisi utama dalam hubungan ini adalah para Advokat bukan hanya Advokat yang

berada di bawah naungan Lembaga Bantuan Hukum(LBH). Dalam perkembangannya Lembaga
Bantuan Hukum Medan dan LBH Trisila memanfaatkan tenaga Paralegal untuk membantu
dalam penyelesaian perkara.
Belum ditemukan padanan kata paralegal (dalam bahasa Inggris) ke dalam bahasa
Indonesia. Karenanya, istilah paralegal langsung diadopsi kedalam bahasa Indonesia.
Istilah yang hampir sama yang juga sering digunakan yakni “pokrol bambu”. Istilah
paralegal sendiri merupakan istilah dibidang hukum.
Istilah paralegal, dikenakan bagi orang yang bukan advokat, namun memiliki
pengetahuan dibidang hukum (materil) dan hukum acara, dengan pengawasan advokat atau
organisasi bantuan hukum, yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal ini
bisa bekerja sendiri didalam komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau
firma hukum. Seseorang yang menjadi paralegal, tidak mesti seorang sarjana hukum atau
mengenyam pendidikan hukum di perguruan tinggi. Namun ia mesti mengikuti pendidikan
khusus keparalegalan.

_______________________
28

Abdurrahman, op.cit., hal.295.


Universitas Sumatera Utara

Karena sifatnya membantu penanganan kasus atau perkara, maka paralegal sering juga
disebut dengan asisten hukum (legal assistant). Dalam praktik sehari-hari, peran paralegal sangat
penting untuk menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat
penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah hukum yang dialami individu maupun
kelompok masyarakat.
Dengan demikian, setidaknya terdapat 3 kata kunci berkaitan dengan “paralegal”, sebagai
berikut:
- Memiliki pengetahuan dan keterampilan dibidang hukum;
- Telah mengikuti pendidikan khusus keparalegalan;
- Disupervisi oleh advokat atau organisasi bantuan hukum.29
Karenanya, pada dasarnya pendidikan paralegal mesti disupervisi atau diselenggarakan
bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum atau setidak-tidaknya melibatkan advokat.
Sebagai ilustrasi, jika seseorang sakit parah, maka tentu seorang yang berprofesi dokter
mampu memberikan diagnosa dan perawatan terhadap si pasien. Namun demikian, dalam praktik
jika seseorang tergores atau luka ringan, maka tidak serta merta orang itu pergi ke rumah sakit
atau meminta pertolongan dokter, namun berupaya menyembuhkan luka ringan itu, misalnya
dengan memberi “obat merah” atau memberi perban.
Demikian juga kasus hukum, dalam kasus-kasus tertentu seorang paralegal mampu untuk

membantu orang yang terkena kasus hukum. Sebagai contoh membuatkan surat kuasa khusus,
membuat surat penangguhan penahanan dan lainnya. Namun untuk perkara-perkara yang
kompleks maka perlu ditangani seorang advokat.
Bahwa dalam kasus-kasus spesifik pengetahuan dan keterampilan seorang paralegal lebih
banyak daripada seorang advokat, hal ini merupakan sebuah pengecualian. Misalnya tidak
sedikit paralegal perburuhan dari organisasi-organisasi buruh yang memang mendalami hukum
perburuhan dan mempunyai pengalaman lebih banyak berperkara di pengadilan perselisihan
perburuhan ketimban seorang advokat yang mendalami bidang hukum pidana.
Karenanya, hubungan paralegal dengan advokat tidak bisa dipisahkan. Relasi paralegal dengan
advokat, hampir sama dengan relasi perawat dengan seorang dokter. Karena hubungan semacam
ini, keliru jika pendidikan paralegal tidak melibatkan organisasi bantuan hukum atau advokat.
Karena peran paralegal tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanya dapat berperan optimal pada kasuskasus tertentu saja dan bukan secara umum.
Untuk menjadi Paralegal, seseorang harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan (training)
atau pendidikan. Ada 2 bentuk pendidikan paralegal, yakni pendidikan langsung kepada para
paralegal dan pendidikan untuk mendidik seseorang menjadi pendidik (training of trainers).
Dalam perkembangannya, pendidikan paralegal mengalami dinamika. Periode 1980-an, pada
umumnya LBH melakukan pendidikan paralegal berdasarkan komunitas yang mengalami
pelanggaran hak asasi manusia dan tengah menghadapi perkara hukum. Maka materi ajar dalam
_______________________
29


dikutip dari http://jodisantoso.blogspot.com/2007/06/dasar-konstitusional-bantuan-hukum.html diakses
pada tanggal 6 Juni 2012

Universitas Sumatera Utara

pendidikan paralegal spesifik pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat untuk
memperjuangkan haknya baik dalam proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Maka
ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang spesifik: ilmu “tanah”, ilmu “buruh” atau pengetahuan
tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Periode ini seorang paralegal
hanya mendalami pengetahuan yang berguna bagi penanganan kasus yang dialami
komunitasnya.
Selanjutnya, periode 1990an, pendidikan paralegal mulai berkembang berdasarkan isu
dengan mengundang beragam komunitas dimasyarakat. Hal ini
sejalan dengan mulai berdirinya organisasi non-pemerintah yang spesifik menangani isu-isu
tertentu, seperti WALHI, ICEL dan LBH Apik. WALHI dan ICEL menyelenggarakan pelatihan
paralegal dibidang lingkungan hidup. Sementara LBH Apik menyelenggarakan pendidikan
paralegal untuk isu kekerasan dalam rumah tangga dan hak-hak perempuan dan anak.
Beberapa contoh dari pendidikan paralegal yang dilakukan oleh beberapa LBH maupun
organisasi tertentu, diantaranya LBH Jakarta bekerja sama Walhi Jakarta juga aktif

menyelenggarakan pendidikan paralegal dalam rangka advokasi kasus dibidang lingkungan
hidup. Sebagai contoh pendidikan paralegal bagi masyarakat Dadap, korban proyek reklamasi di
Jakarta. LBH Jakarta merupakan salah satu organisasi bantuan hukum yang paling awal
menyelenggarakan bentuk-bentuk pendidikan paralegal di Indonesia.
LBH Surabaya sejak 1980an sudah menjalankan sebuah program gerakan masyarakat
bantuan hukum, termasuk mengorganisir dan bekerjasama membentuk jaringan paralegal
komunitas Jawa Timur.
LBH Bandung, misalnya, sejak lama telah melakukan pendidikan paralegal khusus untuk
membantu advokasi kasus-kasus perburuhan. Para kader paralegal LBH Bandung, sangat aktif
membantu calon buruh migran, yang menjadi korban penipuan.
LBH Yogyakarta sejak lama mendorong gerakan paralegal di seluruh wilayah DI
Yogyakarta. Hal ini bertujuan agar masyarakat mampu menyelesaikan sendiri kasus yang bisa
diselesaikan sebelum meminta pelayanan bantuan hukum.
LBH Semarang secara regular menyelenggarakan pendidikan paralegal bagi tokoh-tokoh
masyarakat, terutama dari komunitas-komunitas penduduk yang tengah dan potensial
menghadapi kasus hukum.
LBH Palembang, LBH Medan, dan LBH Manado sejak awal berdiri pada 1980-an
memiliki program pendidikan paralegal berbasis komunitas utamanya bagi petani dan buruh.
Sama halnya, dengan LBH Lampung secara rutin di era 1990an menyelenggarakan pendidikan
paralegal komunitas, utamanya kelompok-kelompok petani yang kemudian membentuk poskoposko di wilayah domisili masing-masing.

Pada periode 2000-an, terdapat sejumlah program pendidikan paralegal. Antara lain
program GGIJ, yang dibiayai oleh Mahkamah Agung dan European Union, 5 kantor LBH
menjalankan pendidikan paralegal berbasis komunitas dan pendidikan mediasi di 5 wilayah,
yakni Padang, Bali, Makassar, Jayapura dan Surabaya. Pendidikan ini bertujuan agar para kader
paralegal mampu memberi bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan kelompok perempuan

Universitas Sumatera Utara

ditingkat paling awal, dengan mengelola Pos Pertolongan Pertama pada Kasus Hukum (P2K
Hukum). Paralegal berperan menjadi jembatan masyarakat pencari keadilan dan sistem peradilan
serta layanan bantuan hukum yang dibutuhkan.
Untuk membantu aktivitas advokasi, Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia sejak
2006 juga memberi kesempatan bagi para mahasiswa fakultas hukum tingkat akhir dan sarjana
yang baru menamatkan kuliah untuk beraktivitas menjadi paralegal. Pendidikan paralegal
angkatan ke-4 dilakukan pada Oktober 2007, yang menjaring 10 mahasiswa paska pendidikan
paralalegal yang dinilai mempunyai komitmen untuk membantu aktivitas advokasi yang
dilakukanBadan Pengurus. LBH Apik, juga menjadi salah satu organisasi yang aktif melakukan
pelatihan paralegal, terutama bagi organisasi-organisasi perempuan. Berdasarkan data dari
lembaga ini, per 2006, lembaga ini telah mendidik 71 orang paralegal dari beragam kelompok,
yakni 14 paralegal dari kelompok miskin kota, 26 paralegal dari organisasi mitra, dan 31

paralegal dari pekerja rumah tangga. Dalam melaksanakan pendidikan paralegal, LBH Apik
mendapat pendanaan dari sejumlah lembaga donor, antara lain the Asia Foundation, Ausaid dan
Asian Development Bank.
Wahid Institute, juga menyelenggarakan pelatihan paralegal dengan muatan “pluralisme”,
yang diikuti perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat dari sejumlah daerah di Indonesia.
Sementara Puan Amal Hayati melakukan pendidikan paralegal bagi pendamping korban
kekerasan berbasis pesantren.
Satu hal yang perlu mendapat penekanan bahwa meskipun Paralegal mempunyai
pengetahuan dan keterampilan di bidang hukum, tetapi mereka tidak mendapatkan pendidikan
formal setingkat sarjana. Mereka hanya mendapatkan pelatihan dasar pengetahuan dan
keterampilan hukum saja. Selain itu Paralegal bukanlah „Advokat‟ dalam pengertian professional
yang berlisensi. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya di bidang hukum, Paralegal
memiliki keterbatasan-keterbatasan, misalnya Paralegal tidak bisa beracara di pengadilan atau
peradilan lainnya.
Kembali ke persoalan tentang siapa subjek Pemberi Bantuan Hukum. Menurut pasal 1
angka 3 UU tentang Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum
atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan UndangUndang ini. dalam Undang-Undang ini semakin ditegaskan defenisi siapa yang dimaksud dengan
Pemberi Bantuan Hukum. Hal ini terlihat pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011,
dimana Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah
memenuhi syarat . Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum ini adalah :
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program Bantuan Hukum.
Tidak banyak yang tahu bahwa bantuan hukum juga adalah bagian dari profesi Advokat.
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa

Universitas Sumatera Utara

Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu. Kewajiban membela orang miskin bagi profesi Advokat tidak terlepas dari prinsip
persamaan di depan hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi Advokat (Access to
legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa terkecuali, termasuk faqir
miskin (justice for all). Namun demikian, mungkin tidak seluruh Advokat yang akan bergerak di
bidang ini, akan tetapi hanya Advokat tertentu yang diarahkan secara khusus untuk menangani
persoalan pemberian bantuan hukum bagi golongan miskin.
C.

OBJEK PENERIMA BANTUAN HUKUM
Hak memperoleh bantuan hukum bagi setiap orang yang tersangkut suatu perkara
merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Hak dalam memperoleh bantuan hukum itu sendiri
perlu mendapat jaminan dalam pelaksanaannya. Dalam peraturan perundangan-undangan di
Indonesia yang terkait dengan bantuan hukum, terdapat beberapa sebutan untuk objek Penerima
Bantuan Hukum. Dalam Pasal 1 angka 2 UU tentang Bantuan Hukum, objek Pemberi Bantuan
Hukum dikatakan sebagai Penerima Bantuan Hukum, yang didefinisikan sebagai orang atau
kelompok orang miskin.
Berbeda dengan Undang-Undang Bantuan Hukum , Undang-Undang Advokat menyebutkan
objek Penerima Bantuan Hukum dengan sebutan Pencari Keadilan. Menurut pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003, yang dimaksud dengan Pencari Keadilan adalah orang
perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu
Disebutkan lagi, dalam Pasal 5 UU tentang Bantuan Hukum menyebutkan Penerima
Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi
hak dasar secara layak dan mandiri. Hak dasar yang dimaksud meliputi hak atas pangan,
sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Dalam pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma tentunya memiliki batasan yang
ditentukan untuk kebutuhan golongan pencari keadilan. Tentang hal ini orang bilang
bahwa,perdefenisi, orang miskin itu tidak akan dapat mengetahui apa kebutuhan mereka yang
sejati. Apa yang mereka nyatakan sebagai kebutuhan umumnya dan sebenarnya tak lain daripada
apa yang mereka inginkan. Maka apa yang harus didefinisikan sebagai kebutuhan orang orang
miskin itu tentulah hanya akan dapat dirumuskan oleh mereka yang professional, tidak hanya
professional dalam permasalahan hukum tetapi juga dalam permasalahan sosial dan ekonomi.
Dikatakan bahwa mereka yang miskin itu tidaklah sekali-kali akan dapat mengartikulasikan
kepentingannya sendiri. Banyak juga yang berprasangka bahwa orang-orang miskin itu tak
hendak menginginkan apapun kecuali pangan, sesudah itu, sandang, dan baru sesudah itu pula
papan. Itu semua adalah kebutuhan pokok untuk bertahan hidup dalam jangka pendek, kalaupun
dengan cara menghamba dan bersetia kepada mereka yang telah mapan di strata yang elit dan
berada di atas. Prasangka seperti inilah yang menjelaskan fakta mengapa orang-orang miskin
sulit diorganisasi untuk suatu perjuangan jangka panjang guna merekonstruksi tatanan sosial
yang terlalu senjang. Mereka lebih suka menerima sedekah untuk keperluan jangka pendek

Universitas Sumatera Utara

daripada menerima hak-hak mereka yang asasi yang masih harus diperjuangkan dalam jangka
panjang.
Di Australia objek penerima bantuan hukum selain kategori miskin (finansial) termasuk
juga masyarakat adat (indigenous people). Di Indonesia sendiri objek penerima bantuan hukum
cuma-cuma adalah golongan yang tidak mampu secara ekonomi seperti yang telah disebutkan
diatas.
Untuk Lembaga Bantuan Hukum Medan sendiri objek penerima bantuan hukum secara
cuma-cuma tidak hanya para pencari keadilan yang tidak mampu tetapi juga untuk orang atau
kelompok masyarakat marjinal dan termarjinalkan. Begitu juga dengan LBH Trisila juga
menitikberatkan bantuan hukum yang diberikan kepada bantuan hukum struktural, dimana yang
mengalami konflik adalah masyarakat dengan Negara yang dianggap telah mengambil hak-hak
dari masyarakat tersebut.
D.

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PEMBERI DAN PENERIMA BANTUAN
HUKUM
Dalam Pasal 9 UU tentang Bantuan Hukum disebutkan, Pemberi Bantuan Hukum berhak:
a) melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas
hukum;
b) melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c) menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain
yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d) menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan

Bantuan Hukum berdasarkan

Undang-Undang ini;
e) mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung
jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
f) mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah

ataupun instansi lain, untuk

kepentingan pembelaan perkara; dan
g) mendapatkan jaminan perlindungan hukum,

keamanan, dan keselamatan selama

menjalankan pemberian Bantuan Hukum.

Universitas Sumatera Utara

Dari beberapa hak yang diberikan kepada Pemberi Bantuan Hukum diatas, terdapat hak-hak
yang sudah dilakukan bahkan jauh-jauh sebelum Undang-Undang Bantuan Hukum ini ada.
Contohnya dalam bidang penyuluhan hukum. LBH Medan di awal tahun 1980-an mempunyai
cara unik dalam penyuluhan hukum kepada masyarakat. Di era kepemimpinan H.M.
Kamaluddin, LBH Medan bekerja sama dengan tim kesehatan dari Rumah Sakit Dr. Pringadi
Medan untuk memberikan pelayanan kesehatan, setelah itu baru diberikan penyuluhan hukum –
dengan menggunakan logika dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang sehat, kemudian baru
diberikan informasi hukum.
LBH Jakarta sejak era 1980-an telah memanfaatkan siaran radio, sebagai media
penyebarluasan informasi tentang bantuan hukum, termasuk usaha penyadaran hukum bagi
masyarakat. Pendidikan-pendidikan hukum juga sudah dimulai, dengan melibatkan kelompokkelompok masyarakat seperti kelompok buruh.
LBH Bandung, diera 1980-an juga mempergunakan siaran radio untuk menyebarluaskan
informasi hukum. Kerjasama dilakukan dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung
dengan mengisi siaran hukum sekali dalam sebulan.
LBH Manado diera yang sama, telah melakukan penyuluhan hukum dengan memanfaatkan
TVRI Manado dalam Siaran Pedesaan dengan bentuk penyajian dengan fragment selama 30
menit, juga acara Topik dalam Lensa, wawancara tentang masalah hukum selama 30 menit.
Diera kepemimpinan HJJ. Mangindaan, LBH Manado juga telah mengisi rubrik klinik hukum di
harian Obor Pancasila Manado dan Warta Manado. Bekerjasama dengan Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman Sulawesi Selatan, LBH Manado membentuk Tim Penyuluhan Hukum
untuk masyarakat di kotamadya Manado dan Kabupaten Minahasa. Aktivitas lainnya, antara lain
memberikan latihan kepada mahasiswa tentang teknik penyuluhan hukum kepada para
mahasiswa yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
LBH Yogyakarta dimasa kepemimpinan Artidjo Alkostar – saat ini Hakim Agung pada
Mahkamah Agung RI – juga menggunakan media TVRI dan RRI Yogyakarta serta stasiun radio
swasta dalam siaran-siaran hukum. Penerbitan juga dilakukan oleh LBH Yogyakarta antara lain
“Dunia Informasi” – berupa kliping, kumpulan berita tentang hukum.
Begitu juga hak Pemberi Bantuan Hukum yang dalam Pasal 9 diatas dikatakan bahwa ada
anggaran yang dialokasikan untuk pelaksanaan bantuan hukum. Hal ini sesuai dengan Prinsip
ketiga dari The Basic Principles on the Role of Lawyers yang mensyaratkan bahwa
Negara/Pemerintah untuk menyediakan dana yang cukup dan infrastruktur lainnya bagi
pemberian bantuan hukum terhadap kaum miskin dan anggota masyarakat lainnya yang tidak
beruntung.30 Dalam hal ini LBH Medan mendapat bantuan dana per tahunnya dari negara
melalui APBD Sumatera Utara. 31

_______________________
30
31

Binziad Kadafi,dkk., op.cit., hal.166
hasil wawancara dengan Bahrain S.H.,M.H., dari Lembaga Bantuan Hukum Medan pada tanggal 14 Mei

2012

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 10 UU tentang Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban
untuk:
a) melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum;
b) melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian
Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
c) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal,
dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a;
d) menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Penerima
Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang; dan
e) memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat dan
tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali
ada alasan yang sah secara hukum.
Sejak awal, tradisi penerbitan laporan keuangan sudah dilakukan LBH. Di era Adnan
Buyung Nasution memimpin LBH Jakarta, secara rutin laporan keuangan dimuat dalam
publikasi LBH. Sumber dana LBH ketika itu, dilaporkan berasal dari subsidi Pemda DKI Jakarta,
sumbangan perusahaan dan individu, serta kotak donasi LBH, yang dipergunakan untuk gaji,
honor dan biaya rutin/administratif. Pada 1973, total penerimaan dana untuk LBH sejumlah Rp
8.697.789. Jumlah ini naik menjadi Rp 9.846.001 pada 1974 dan kembali naik sejumlah Rp
12.008.000 pada 1974.
Hingga saat ini, keberadaan dan keberlanjutan LBH, tidak lain karena dukungan
pendanaan yang didapat dari 4 sumber utama: dana dari internal lembaga – berupa sumbangan
dari dewan pembina dan badan pengurus dan kantor-kantor LBH; dana sumbangan masyarakat;
alokasi anggaran dari pemerintah daerah, dan pendanaan dari lembaga dana internasional.
Diawal-awal berdirinya LBH, lembaga ini banyak mendapat dukungan dana dari pemerintah
daerah. Karenanya, subsidi yang diberikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta kepada LBH Jakarta
dan pengalokasian dana untuk pembangunan gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, bukan sebuah
hal yang baru sama sekali. Selain Pemda DKI, di awal 1980-an, Pemda Sumatera Utara, banyak
memberikan bantuannya kepada LBH Medan. Transparansi maupun akuntabilitas LBH dalam
pengelolaan keuangannya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum adanya Undang-Undang
Bantuan Hukum ini.

Universitas Sumatera Utara

Selain Pemberi Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum juga mempunyai hak dan
kewajiban. Dalam Pasal 12 UU tentang Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum berhak:
a) mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau perkaranya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima

Bantuan Hukum yang

bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b) mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode
Etik Advokat; dan
c) mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian
Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 13 UU tentang Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum juga wajib:
a) menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada
Pemberi Bantuan Hukum;
b) membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.
Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal usul, agama,
keyakinan politik, adalah prinsip yang mesti dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi dari
masyarakat terus diperoleh. Lebih dari itu, posisi dan sikap keberpihakan kepada yang lemah,
marjinal dan dimarjinalkan, mesti terus dipegang teguh para advokat dan aktivis LBH. Dengan
begitu masyarakat sebagai Penerima Bantuan Hukum dapat mengaplikasikan hak dan kewajiban
yang terdapat dalam Undang-Undang Bantuan Hukum ini.
E.
TATA CARA PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya. Biaya perkara ini meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. 32 Bagi
mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara
cuma-cuma (prodeo).

_______________________
32

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Yogyakarta:Liberty, 2006) Hal.17.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 14 UU Bantuan Hukum diatur syarat-syarat agar Penerima Bantuan Hukum dapat
memperoleh bantuan hukum, Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum
harus memenuhi syarat-syarat:
a) mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas
pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan
Hukum;
b) menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c) melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat
di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
Pasal 14 ayat (2) juga menyebutkan, Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu
menyusun permohonan secara tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan. Syarat- syarat
agar Penerima Bantuan Hukum dapat memperoleh bantuan hukum pada UU Bantuan Hukum ini
hampir sama dengan syarat-syarat yang terdapat dalam PP No. 83 Tahun 2008 sebagai peraturan
pelaksanaan dari Pasal 22 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003, yaitu :
1. Pencari keadilan mengajukan permohonan tertulis kepada Advokat atau Organisasi
Advokat atau melalui Lembaga Bantuan Hukum.
2. Permohonan tersebut sekurang-kurangnya memuat :
a) nama, alamat, dan pekerjaan pemohon, dan
b) uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.
c) Melampiran surat keterangan tidak mampu dari Lurah/desa dan Kecamatan
tempat pemohon tinggal.
Kemudian jika Pemohon Bantuan Hukum dalam penyelesaian perkara perdata tidak
dapat diselesaikan lewat jalur mediasi atau perdamaian, menurut Petunjuk Pelaksanaan Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Bantuan Hukum Lampiran A Perkara Perdata, Pos Bantuan Hukum, dan Zitting Plaats
disebutkan mekanisme penyelenggaraan bantuan hukum khusus perkara perdata di pengadilan,
yang meliputi:

Universitas Sumatera Utara

1. Permohonan berperkara secara prodeo yang dibiayai Dana Bantuan Hukum untuk
Perkara Perdata Gugatan maupun Permohonan, diajukan oleh Penggugat atau Pemohon
yang tidak mampu secara ekonomi melalui Meja I, dengan melampirkan
a) Surat Gugatan atau Surat Permohonan.
b) Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala Desa setempat, atau

Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin
(KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Progran
Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Surat
pernyataan tidak mampu yang ditandatangani pemohon bantuan hukum dan
diketahui Ketua Pengadilan Negeri.
2. Meja I setelah meneliti kelengkapan berkas permohonan beracara secara prodeo pada
angka 1 tersebut, dicatat dalam Buku Register Permohonan Prodeo, diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera/Sekretaris untuk penunjukan Hakim dan
Panitera Pengganti yang memeriksa permohonan prodeo tersebut.
3. Majelis Hakim/Hakim yang ditunjuk memerintahkan Jurusita melalui Panitera Pengganti
untuk memanggil para pihak yang ada dalam gugatan tanpa biaya dan kepada pihak
lawan diberi kesempatan di dalam persidangan untuk menanggapi permohonan prodeo
secara tertulis dan dicatat dalam berita acara, yang selanjutnya Hakim memberikan
putusan sela tentang dikabulkan atau ditolak permohonan beracara secara prodeo.
4. Apabila permohonan berperkara secara prodeo ditolak, Penggugat diperintahkan

membayar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkannya Putusan Sela,
apabila tidak dipenuhi maka gugatan tidak didaftar.
Penyediaan dana dari negara untuk perkara prodeo dalam perkara perdata adalah suatu
terobosan baru dalam dunia peradilan. Perkara prodeo sudah dikenal dalam HIR/RBg, namun

Universitas Sumatera Utara

baru kali ini yang dibiayai oleh negara melalui DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran)
Pengadilan . Namun, tampaknya bantuan hukum perkara prodeo ini belum terealisasi secara
maksimal. Menurut Hasan Lumbanraja dari LBH Trisila, ada 2 faktor yang membuat para
Pencari Keadilan tidak memakai bantuan hukum prodeo ini, yaitu pertama karena kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat akan bantuan hukum prodeo ini. Kedua, jikalau para Pencari
Keadilan ini tahu akan adanya Bantuan Hukum ini, mereka biasanya tidak akan mengurusnya.
Hal ini dikarenakan proses untuk mendapatkan bantuan hukum ini terlalu rumit dalam
pengurusannya.33

_______________________
33

hasil wawancara dengan Hasan Lumbanraja S.H., dari Lembaga Bantuan Hukum Trisila pada tanggal 12

Juni 2012

Universitas Sumatera Utara