Kajian Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan Bantuan Kepada Masyarakat di Bidang Perdata (Studi di LBH Medan dan LBH Trisila Sumatera Utara)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Abdurrahman, 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit: Cendana Press, Jakarta.

Ginsberg, Morris, 2003. Keadilan dalam Masyarakat, Penerbit: Pondok Edukasi, Bantul.

Hadikusumah, Hilman, 2010. Pengantar Antropologi Hukum, Penerbit: Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, Yahya, 2009. Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

Penuntutan, Edisi Kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Ishaq, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Kadafi, Binziad dkk.,2002. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang

Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Penerbit: Pusat Studi Hukum

& Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2007. Bantuan Hukum: Akses Masyarakat

Marginal Terhadap Keadilan, Penerbit: LBH Jakarta, Jakarta.

Lubis, Mulya T, 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Penerbit: LP3ES, Jakarta.

---, 1981. Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia (Sebuah Studi Awal) Dalam

Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum:Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, Penerbit: Alumni, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit: Liberty, Yogyakarta.


(2)

Miller, Valerie dan Jane Covey, 2005. Pedoman Advokasi: Kerangka Kerja untuk

Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, Penerbit: Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta.

Nasution, Adnan Buyung, 1981. Bantuan Hukum di Indonesia, Penerbit: LP3ES, Jakarta.

Pandu, Yudha, 2001. Klien & Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini, Penerbit: Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 1983. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi

Hukum, Penerbit: Sinar Baru, Bandung.

Rengka, Frans J., 1992. Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan

Pidana Sebuah Studi Kasus Di LBH Jakarta, Tesis Fakultas Pascasarjana ,

Universitas Indonesia, Jakarta.

Sarmadi, Sukris H.A., 2009. Advokat: Litigasi & Non Litigasi Pengadilan, Penerbit: Mandar Maju, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soeroso,R., 2006. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Penerbit: Mandar Maju, Bandung.

Winarta, Frans Hendra, 1995. Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

---, 2000. Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Jakarta.


(3)

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 Tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10

Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran A Perkara Perdata, Pos Bantuan Hukum, dan Zitting Plaats

Website

http://jodisantoso.blogspot.com/2007/06/dasar-konstitusional-bantuan-hukum.html http://apatra.blogspot.com/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html


(4)

BAB III

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN

HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM

A. Sejarah Lembaga Bantuan Hukum

Kegiatan bantuan hukum sebenarnya sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Pada masa Romawi, pemberian bantuan hukum oleh seseorang hanya didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Keadaan tersebut relatif berubah pada abad pertengahan dimana bantuan hukum diberikan karena adanya sikap dermawan (charity) sekelompok elit gereja terhadap para pengikutnya. Pada masa itu, belum ada konsep bantuan hukum yang jelas. Bantuan hukum belum ditafsirkan sebagai hak yang memang harus diterima oleh semua orang . ada kesan bahwa bantuan hukum diinterpretasikan sebagai bantuan dalam segala hal ekonomi, sosial, dan adat.34

Kekaburan tersebut disebabkan karena konsep bantuan hukum itu sendiri memang belum ada. Bantuan (hukum) ini tidak ditafsirkan sebagai hak, tetapi sebagai bantuan. Kemudian pandangan tersebut bergeser, bantuan hukum yang semula konsepnya berdasarkan kedermawanan berubah menjadi hak setiap orang. Sejak terjadi revolusi Prancis dan Amerika, konsep bantuan hukum semakin diperluas dan dipertegas.

Pemberian bantuan hukum tidak semata-mata didasarkan pada charity terhadap masyarakat yang tidak mampu tapi kerap dihubungkan dengan hak-hak politik.Dalam perkembangannya hingga sekarang, konsep bantuan hukum selalu dihubungkan dengan cita-cita negara kesejahteraan (welfare state),

_______________________


(5)

dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial politik dan hukum.

Dari perkembangan pemikiran mengenai konsep bantuan hukum tersebut timbul berbagai variasi bantuan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat. Cappelletti dan Gordley

dalam artikel yang berjudul “Legal Aid: Modern Themes and Variations”, seperti yang dikutip Soerjono Soekanto membagi bantuan hukum kedalam dua model, yaitu bantuan hukum model yuridis-individual dan bantuan hukum model kesejahteraan.35 Menurut Cappelletti dan Gordley, bantuan hukum yuridis-individual merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan individualnya. Pelaksanaan bantuan hukum ini tergantung dari peran aktif masyarakat yang membutuhkan dimana mereka dapat meminta bantuan pengacara dan kemudian jasa pengacara tersebut nantinya akan dibayar oleh negara.

Sedangkan bantuan hukum kesejahteraan diartikan sebagai suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu negara kesejahteraan (welfare state).

Bantuan hukum kesejahteraan sebagai bagian dari haluan sosial diperlukan guna menetralisasi ketidakpastian dan kemiskinan. Karena itu pengembangan sosial atau perbaikan sosial selalu menjadi bagian dari pelaksanaan bantuan hukum kesejahteraan. Peran negara yang intensif diperlukan dalam merealisasikannya karena negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warganya sehingga menimbulkan hak-hak yang dapat

_______________________


(6)

dituntut oleh mereka. Pemenuhan hak-hak tersebut dapat dilakukan oleh negara melalui pemberian bantuan hukum kepada warganya.

Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot. Mereka membedakan bantuan hukum ke dalam lima jenis,yaitu :

1. Bantuan Hukum Preventif ; bantuan hukum yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian

penerangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

2. Bantuan Hukum Daignostik; bantuan hukum yang dilaksanakan dengan pemberian

nasehat-nasehat hukum atau biasa dikenal dengan konsultasi hukum.

3. Bantuan Hukum Pengendalian Konflik; bantuan hukum yang lebih bertujuan mengatasi

secara aktif permasalahan-permasalahan hukum konkret yang terjadi di masyarakat. Biasanya dilakukan dengan cara memberikan asistensi hukum kepada anggota masyarakat yang tidak mampu menyewa/menggunakan jasa advokat untu memperjuangkan kepentingannya.

4. Bantuan Hukum Pembentukan Hukum; bantuan hukum yang dimaksudkan untuk

memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat,jelas dan benar.

5. Bantuan Hukum Pembaruan Hukum; bantuan hukum yang lebih ditujukan bagi

pembaruan hukum, baik itu melalui hakim atau melalui pembentuk undang-undang (dalam arti materil).36

_______________________


(7)

Bantuan hukum di Indonesia- jika bantuan hukum diartikan sebagai charity- sudah ada sejak datangnya agama Nasrani ke Indonesia tahun 1500-an, bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis,Spanyol, Inggris, dan Belanda.

Kalau kata Charity dikaitkan dengan praktek tolong menolong dalam masyarakat hukum adat kita, maka lembaga tolong menolong ini adalah juga salah satu bentuk dari bantuan hukum meski tidak terorganisasi. Andaikata kita bisa menafsirkan gotong royong sebagai bagian dari bantuan hukum, maka sejarah bantuan hukum Indonesia adalah juga sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Paling tidak kita bisa menganggap kehidupan gotong royong ini sebagai janin bantuan hukum itu sendiri.37

Karena Indonesia termasuk salah satu dari Negara berkembang yang kondisinya kurang lebih sama dengan Negara-negara berkembang lainnya di Asia, maka munculnya lembaga-lembaga bantuan hukum di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah bantuan hukum di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia selain memberlakukan hukum adat dari masing-masing daerah yang oleh Van Vollen Hoven dibagi ke dalam 19 lingkungan hukum adat, juga memberlakukan hukum import, yaitu hukum penjajahan Belanda atas negeri jajahannya. Dalam hukum adat tidak

dikenal apa yang disebut “Lembaga Bantuan Hukum”. Hal itu dapat dimengerti karena dalam

hukum adat tidak dikenal lembaga peradilan seperti dalam hukum modern. Penyelesaian perkara dalam hukum adat kebanyakan diselesaikan lewat pemimpin-pemimpin informal yang

mempunyai kharisma khusus. Indonesia baru mengenal “bantuan hukum” sebagai pranata

hukum taktala Indonesia mulai memberlakukan hukum barat yang bermula pada tahun 1848 ketika di Negeri Belanda terdapat perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas _______________________


(8)

konkordansi, maka dengan Firman Raja, tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan ( Reglement op de rechterlijke Organisatie et het beleid

der justitie) yang lazim dikenal dikenal dengan singkatan R.O (Stb, 1847-23 jo 1848-58).38

Pranata Advokat dapat diperkirakan baru dimulai pada tahun-tahun sekitar itu.

Dan pada sekitar tahun 1923, kantor Advokat pertama di buka di Tegal dan Semarang. Tetapi patut diketahui bahwa politik hukum zaman pemerintahan Hindia Belanda sebelum perang dunia II, dimana Indonesia diberlakukan IS (Indische Straatsregeling) terutama dalam pasal 163 ayat (1), membedakan penduduk Indonesia atas 3 golongan, yaitu:

a) Golongan Eropah

Yang termasuk golongan Eropah adalah orang Belanda, dan semua orang bukan Belanda, yang asalnya dari Eropah, orang-orang Jepang, orang-orang yang tidak berasal dari Belanda tetapi di negaranya menganut hukum kekeluargaan yang sifat dan coraknya sama dengan Nederland. b) Golongan Bumi Putera

Yang termasuk golongan Bumi Putera adalah semua orang Indonesia asli dari Indonesia. c) Golongan Timur Asing

Yang termasuk golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah dan/atau bukan orang Bumi Putera (Tionghoa, Arab, India, Pakistan, dan sebagainya).

Pembedaan golongan penduduk seperti yang diatur dalam pasal 163 ayat (1) IS tersebut membawa konsekuensi di bidang hukum, sebab masing-masing golongan ternyata mempunyai

_______________________

38


(9)

hukumnya sendiri. Karena hukum acara yang dipakai adalah HIR, maka kesulitan-kesulitan yang muncul adalah banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum tidak ikut diwarisi dalam ketentuan HIR (lihat pasal 250 HIR) yang justru sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.

Tentu saja ini dirasa tidak adil oleh golongan Bumi Putera. Kesulitan-kesulitan lain yang muncul adalah masih langkanya Advokat atau dengan kata lain jumlah Advokat yang praktek relatif sedikit, sehingga akhirnya yang lebih banyak berperan adalah Pokrol.39

Pada tahun 1927 Pokrol-Pokrol membuat organisasi bernama Persatuan Pengacara Indonesia (PERPI). Yang menggembirakan adalah meskipun jumlah Advokat Indonesia relatif sedikit, namun sebagian besar mereka adalah orang-orang pergerakan. Dilihat dari sudut ini tentu saja sangat menguntungkan karena kualitas pembelaan mereka. Pada saat inilah dapat dikatakan awal lahirnya bantuan hukum bagi golongan yang tidak mampu. Hal ini mudah dipahami oleh karena pada waktu itu bangsa Indonesia tidak mampu membayar Advokat-Advokat Belanda yang mahal. Pada jaman Jepang tidak ada perubahan yang berarti, meskipun peraturan tentang bantuan hukum peninggalan penjajah Belanda masih tetap diberlakukan. Perhatian terhadap bantuan hukum boleh dikatakan kurang sekali. Memang hal ini dapat dipahami, karena seluruh perhatian masih tercurah pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan secara fisik dan politis. Walaupun pluralisme dalam bidang peradilan sudah dihapuskan (hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk dan satu hukum acara bagi seluruh penduduk). Dalam tata cara peradilan yang diambil bukanlah yang berdasarkan pada Raad van Justitie yang sarat _______________________

39 Frans J.Rengka, Tesis Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Sebuah Studi


(10)

dengan pengaturan bantuan hukum tetapi justru yang diambil adalah tata cara peradilan berdasarkan Landraad.

Pemilihan tata cara peradilan yang seperti ini membawa konsekuensi terhadap hukum acara yang dipakai. Peradilan Raad van Justitie menggunakan Rechtsvordering sebagai hukum acara yang banyak mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum, sedangkan Peradilan Landraad yang menggunakan hukum acara HIR justru sangat miskin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Pada era Orde Lama kualitas bantuan hukum dapat dikatakan lebih jelek dibanding dengan jaman penjajahan, akan tetapi dari segi politik terdapat suatu kemajuan besar. Hal ini karena pada waktu itu dukungan politis dalam perkembangan dan pertumbuhan bantuan hukum sangat dirasakan. Hanya saja pada masa ini lembaga peradilan tak bisa mandiri lagi karena sudah dipengaruhi oleh badan eksekutif. Akibatnya adalah keadilan dikorbankan. Sebagai puncaknya, lahirlah Undang-Undang No.19 tahun 1964 yang mencerminkan campur tangan pihak eksekutif dalam bidang peradilan. Prof.Satjipto Rahardjo memberi ilustrasi dengan membuat perbandingan antara Undang-Undang No. 19 tahun 1964 dengan Undang-undang No.14 tahun 1970 (sebuah Undang-undang yang menjamin kemandirian pengadilan dalam menjalankan tugasnya). Ada 2 aspek yang ingin dibandingkan antara kedua Undang-undang tersebut. Pertama, dilihat dari fungsinya, Undang-undang No.19 tahun 1964 berfungsi sebagai pengayom dan alat revolusi , sedangkan Undang-undang No. 14 tahun 1970 berfungsi menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Kedua, dilihat dari tujuan, Undang-Undang No.19 tahun 1964 bertujuan masyarakat sosialis Indonesia, sedangkan tujuan


(11)

dari Undang-undang No.14 tahun 1970 adalah untuk terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.40

Dalam hukum positif Indonesia soal bantuan hukum ini sudah diatur dalam Pasal 250 Herziene Reglemen (HIR). Pasal ini dalam prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia. Daya laku pasal ini terbatas bila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup. Meskipun daya laku HIR terbatas, bisa ditafsirkan sebagai awal mula pelembagaan bantuan hukum kedalam hukum positif kita. Meskipun HIR tidak diperlakukan secara penuh tetapi HIR adalah pedoman yang tampaknya juga diterima sebagai kenyataan praktek. Undang-Undang baru mengenai hukum acara belum lagi dilahirkan dan agaknya HIR ini masih tetap dianggap sebagai pedoman sampai dilahirkannya Undang-Undang No.14/1970 (Undang-Undang

Pokok Kekuasaan Kehakiman), dimana “hak untuk mendapatkan bantuan hukum” itu dijamin

melalui Pasal 35, 36 dan 37.

Pada tahun 1970 ini juga didirikanlah Lembaga Bantuan Hukum sebagai pilot proyek dari PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) yang dibentuk berdasarkan surat keputusan tanggal 26 Oktober 1970 No.001/Kep/DPP/10/1970. Delapan bulan setelah LBH berdiri di Jakarta, maka dikeluarkan dugaan dan rencana terjadi perkembangan di daerah-daerah, yakni lahirnya secara spontan Lembaga-lembaga bantuan hukum di daerah-daerah,yakni lahirnya secara spontan Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Yogyakarta, Solo, dan kemudian menyusul Palembang. Disamping itu beberapa kota lainnya daerah-daerah juga sudah mengirim utusannya ke Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta,dengan maksud juga hendak mendirikan semacam

_______________________

40 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum (Bandung: Sinar Baru,1983), hal.77.


(12)

Lembaga Bantuan Hukum. Selain itu dilingkungan Fakultas-Fakultas Hukum telah pula didirikan beberapa Biro atau Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum.

Semenjak tahun 1978 terjadi perkembangan yang cukup menarik bagi bantuan hukum di Indonesia dengan muculnya berbagai lembaga bantuan hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan Lembaga pendidikan dan lain sebagainya

Di Medan sendiri terdapat diantaranya adalah LBH Medan. Dengan semangat tinggi beberapa Advokat dan Pengacara yang ingin menyumbangkan tenaga , maka pada tanggal 28 Januari 1978 diresmikanlah LBH Medan di bawah pimpinan Mahjoedanil,SH. Pimpinan LBH sejak berdiri hingga sekarang adalah :

1. 1978-1982 : Mahjoedanil, SH

2. 1982-1988 : HM. Kamaluddin Lubis,SH 3. 1988-1990 : Hasanuddin, SH

4. 1990-1991 : Alamsyah Hamdani, SH 5. 1991-1994 : Alamsyah Hamdani, SH 6. 1994-1997 : Alamsyah Hamdani, SH 7. 1997-2000 : Kusbianto,SH

8. 2000-2003 : Irham Buana Nasution,SH 9. 2003-2006 : Irham Buana Nasution,SH

10.2006-2009 : Ikwaluddin Simatupang,SH.,M.Hum 11.2009-2012 : Nuriyono, SH


(13)

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang memiliki 2 (dua) Pos, yaitu LBH Medan Pos Asahan dan LBH Medan Pos Labuhan Batu adalah Lembaga yang Konsern terhadap Penegakan Hukum dan Perlindungan/Pemenuhan Hak Asasi Manusia, telah menerima Pengaduan, Melakukan Pemantauan/monitoring, Penelitian serta Pengkajian terhadap jalannya proses penegakan hukum yang berkeadilan di tengah-tengah Masyarakat Sumatera Utara.

Beberapa tahun setelahnya , berdiri juga LBH Trisila Sumatera Utara atas prakarsa dari beberapa orang yang kemudian hari menjadi pendiri LBH ini, yaitu:

1. Teuku Yamli

2. Lundu Panjaitan,S.H. 3. Parlindungan Purba,S.H. 4. Kusbianto,S.H.

5. Boni F. Sianipar,S.H. 6. Armansyah,S.H.

7. Hasan Lumbanraja,S.H.

Saat ini LBH Trisila dipimpin oleh Hasan Lumbanraja, S.H. dengan posisi sebagai Direktur LBH ini. Lembaga ini juga mempunyai pos di Tarutung yaitu Pos LBH Trisila Tapanuli dan di Tanjung Balai yaitu Pos LBH Trisila Tanjung Balai.

Dari uraian diatas, tergambar sangat jelas bahwa lahirnya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia bukan berasal dari inisiatif Negara melainkan berasal dari inisiatif Negara melainkan berasal dari kesadaran kolektif atas sesuatu yang timpang di masyarakat. Namun demikian pemerintah juga turut mendukung lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah mencapai puluhan bahkan ratusan. Tentu saja hal ini sangat


(14)

menggembirakan karena hal itu berarti ada perkembangan yang meningkat dalam bantuan hukum di Negara kita.

B. Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum

Perkembangan dari bantuan hukum haruslah dikaji secara terus menerus, karena mungkin saja perubahan waktu, struktur sosial politik dan kondisi lokal menuntut perubahan pendekatan, paling tidak dalam tekanan. Sebenarnya kita harus sudah mampu menangkap perbedaan tekanan bantuan hukum di Jakarta dengan di Padang dan Yogyakarta. Juga bila dikaitkan dengan mereka yang dibantu bantuan hukum terhadap buruh tani dan terhadap tahanan politik. Jadi mungkin ada beberapa variasi antara bantuan hukum di satu waktu dan keadaan tertentu, dengan bantuan hukum di waktu dan keadaan tertentu, dengan bantuan hukum di waktu dan keadaan yang lain.

Diatas segalanya, harus diakui bahwa perbedaan yang ada justru merupakan cerminan dari perbedaan kondisi sosial politik, ekonomi dan budaya dari satu tempat ke tempat lain. Tidak di semua daerah bantuan hukum bisa diberikan dengan lancar, dan tidak di semua situasi bantuan hukum merupakan jalan ke luar. Akibatnya wawasan tentang bantuan hukum memang belum lagi merata. Masih banyak yang belum mengerti, baik di lingkungan aktivis bantuan hukum, pejabat maupun rakyat.

Sejak lahirnya Lembaga Bantuan Hukum, telah berhasil tidak saja dalam mendorong dan mempopulerkan gagasan dan konsep bantuan hukum kepada masyarakat, akan tetapi juga melalui aktivitasnya dan keberhasilannya ia telah menjadi terkenal dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum telah berkembang tidak saja dalam jumlah perkara yang ditanganinya, tetapi juga dalam mengusahakan berbagai program aksi yang sesuai


(15)

dengan sifat dan ruang lingkup Lembaga Bantuan Hukum yang luas.41

Selama pertumbuhan dan perkembangannya yang cepat, Lembaga Bantuan Hukum sering harus berhadapan dengan penguasa, yang merasa dipermalukan karena Lembaga Bantuan Hukum bersedia menangani perkara-perkara yang kontroversial. Secara sengaja ataupun tidak, kepentingan pembelaan perkara menempatkan Lembaga Bantuan Hukum kedudukan yang konfrontatif dengan penguasa. Dalam dekade awal pembentukannya, dikarenakan bertambah populernya gagasan dan konsep bantuan hukum serta tanggapan masyarakat terutama di daerah, maka berdirilah lembaga-lembaga yang lain yang memberi pelayanan bantuan hukum yang sama. Lembaga Bantuan Hukum yang bernaung dibawah LBH/YLBHI sendiri setelah awal pertama kalinya didirikan di Jakarta kemudian berkembang hampir di seluruh Indonesia. Sampai saat ini ada 15 kantor Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia mulai dari Aceh,Medan,Padang, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya, Bali, Ujung Pandang, Manado, dan Bali.

Menginjak usia ke-25, Daniel S.Lev, sempat menyatakan, pada saat berdiri tahun 1970, banyak orang menduga bahwa Lembaga Bantuan Hukum hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Menurut Lev, kemampuan Lembaga Bantuan Hukum tetap tegar berdiri selama 25 tahun sungguh di luar dugaan. Kini Lembaga Bantuan Hukum sudah memasuki 41 tahun, per 28 Oktober 2011. Akronim atau singkatan Lembaga Bantuan Hukum dapat dikatakan sudah menjadi singkatan yang diketahui masyarakat luas. Nomor telepon Lembaga Bantuan Hukum di berbagai provinsi, menjadi salah satu nomor telepon penting dalam Yellow Pages, buku petunjuk penggunaan telepon terbitan Telkom. Kantor Lembaga Bntuan Hukum dipersamakan dengan _______________________

41 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Bantuan Hukum:Akses Masyarakat Marginal Terhadap


(16)

kantor polisi atau kantor pemadam kebakaran, penting bagi masyarakat untuk menyimpan atau mengetahui nomor teleponnya,untuk sewaktu-waktu bisa menghubungi.

Demikian juga , akronim Lembaga Bantuan Hukum telah dimuat dalam Kamus Bahasa Indonesia-Bahasa Inggris. Menunjukkan singkatan Lembaga Bantuan Hukum telah menjadi akronim sehari-hari. Bahkan dalam skala regional dan internasional, pelafalan el-be-ha(LBH) telah dikenal luas, selain pelafalan el-bie-eic(LBH), dalam abjad Inggris. Tidak hanya di tingkat domestik, Lembaga Bantuan Hukum juga dirujuk oleh publikasi regional dan internasional, sebagai salah satu lembaga penting yang memberikan pelayanan bantuan hukum, dan kerja hak asasi manusia.

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan Lembaga Bantuan Hukum hingga hari ini terus kokoh berdiri, diantaranya:42

1. Lembaga Bantuan Hukum Memiliki Karakter dan Ciri Khas

Ketika konsep pendirian Lembaga Bantuan Hukum dipresentasikan pada tahun 1970, kehadirannya tidak semata-mata menjalankan profesinya sebagai mata pencaharian belaka atau kemuliaan semata-mata, melainkan berbarengan dengan itu sadar dan berperan dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari penjajahan dan penindasan kekuasaan kolonial. Jika diselami, semangat kepeloporan dan kerja keras tanpa memikirkan upah inilah yang terus menular hingga sekarang ini dan menjadi karakter dan ciri khas Lembaga Bantuan Hukum. Karakter dan ciri khas Lembaga Bantuan Hukum banyak dipengaruhi oleh para pendiri dan tokoh masyarakat yang terpandang pada awal-awal pendiriannya seperti :Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif, Iskak,

_______________________

42

http://apatra.blogspot.com/2008/11/bantuan-hukum-indonesia-mengurai_04.html. diakses pada tanggal 6 Juni 2012


(17)

Suyudi, dan Sastro Mulyono.

2. Dukungan Intelektual organik di masanya

Ada banyak akademisi yang berpengaruh dalam membentuk aktivis Lembaga Bantuan Hukum dalam mengembangkan sekaligus menafsirkan bantuan hokum struktural. Diantaranya adalah Paul Moedigdo, Soetandyo Wignjosoebroto, Satjipto Rahardjo dan juga Daniel S. Lev. Para aktivis dan akademisi itulah yang banyak menopang secara teoritik dan memberikan landasan pengetahuan bagi aktivis Lembaga Bantuan Hukum. Jika diamati, masing-masing Lembaga Bantuan Hukum mempunyai akademisi penopang intelektual dan pengetahuan para Advokat dan aktivisnya. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya dengan Soetandyo Wignjosoebroto dan Suwoto Mulyosudarmo. Lembaga Bantuan Hukum Semarang dengan Satjipto Rahardjo. Lembaga Bantuan Hukum Bandung dengan Goenawan Wiradi. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dengan Ichlasul Amal. Sementara untuk Lembaga Bantuan Hukum Medan tercatat akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Mariam Darus dan M.Solly Lubis yang banyak mendukung kegiatan Lembaga Bantuan Hukum di era 1980-an dan awal 1990-an.

3. Kepercayaan dan legitimasi dari Masyarakat

Kepercayaan dan legitimasi yang datang dari masyarakat memperkokoh keberadaan dan kelembagaan Lembaga Bantuan Hukum sebagai sebuah lembaga. Perhatian dari semua pihak serta dukungannya membuat Lembaga Bantuan Hukum mampu bertahan dan diharapkan terus berkiprah memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada masyarakat miskin, kelompok marginal dan dimarginalkan. Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal-usul, agama, keyakinan poltik adalah


(18)

prinsip yang harus dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi masyarakat terus diperoleh. Di awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum, sejumlah kasus yang dapat mewakili keyakinan pembelaan semacam itu antara lain ditunjukkan oleh para Advokat publik Lembaga Bantuan Hukum: pembelaan para terdakwa yang dituduh terlibat G-30-S/PKI, kasus sengketa tanah Halim Perdana Kusumah antara sekitar 500 kepala keluarga dengan Angkatan Udara Republik Indonesia seluas 1000 ha, pembelaan terhadap Jenderal H.R.Dharsono dan Hariman Siregar dalam kasus Malari 1974. Di era Orde Baru, sejumlah kasus besar yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum antara lain: pembelaan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi, termasuk wartawan/jurnalis yang dituduh subversif di berbagai kota besar di Indonesia, kasus Poniran di Rantau Prapat, kasus Soemarni dan kasus komando Jihad yang ditangani oleh LBH Medan. Di era Milennium kasus yang mengemuka yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum antara

lain: kasus Abu Bakar Ba‟asyir dan para aktivis muslim yang ditangkap sewenang -wenang di sejumlah tempat pada tahun 2004. Pembelaan terhadap kasus kebebasan beragama terhadap Ahmaddiyah dan Lia Eden.

4. Transparansi dan Akuntabilitas

Sejak awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum, tradisi penerbitan laporan keuangan sudah dilakukan. Pada tahun 2003 Lembaga Bantuan Hukum YLBHI menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat pertama yang mempublikasikan laporan keuangannya di 5 surat kabar nasional termasuk harian berbahasa Inggris.

5. Dukungan Pendanaan Bagi Aktivitas dan Operasional Bantuan Hukum

Hingga saat ini, keberadaan dan keberlanjutan Lembaga Bantuan Hukum tidak lain karena dukungan pendanaan yang didapat dari sumber utama: dana dari internal lembaga


(19)

berupa sumbangan dari Dewan Pembina dan badan-badan pengurus Lembaga Bantuan Hukum, dana sumbangan masyarakat, alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pendanaan dari lembaga dana internasional.

C. Data Penanganan dan Penyelesaian Perkara Perdata oleh LBH Medan dan LBH Trisila periode 2008-2011

Berdasarkan hasil penelitian, data penanganan dan penyelesaian perkara oleh LBH Medan adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Jumlah Kasus Per Tahun Yang Ditangani LBH Medan

No. Tahun Jumlah Kasus

1. 2008 257

2. 2009 158

3. 2010 249

4. 2011 266

Sumber : LBH Medan 2012

Dari data tersebut diatas tidak ditemukan secara lengkap rincian kasus-kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Medan mulai periode 2008-2011, pada tahun 2009 dari 158 kasus yang ditangani oleh LBH Medan ada sekitar 85 kasus pidana dan 73 kasus perdata yang ditangani oleh LBH Medan. Tapi rincian ini tidak dapat ditentukan berapa yang terselesaikan pada tingkat Konsultasi, berapa pada Tingkat Kepolisian dan berapa yang sampai ke Pengadilan. Pada tahun 2010 terdapat rincian yang cukup jelas yaitu dari total 249 kasus yang diterima oleh LBH Medan, ada sekitar 163 perkara pidana yang terbagi menjadi 3 tingkatan yakni pada tingkat Konsultasi terdapat 109 kasus dan pada tingkat Kepolisian terdapat 23 kasus serta di tingkat Pengadilan sebanyak 11 kasus. Sedangkan sisanya ada sekitar 86 perkara perdata yang juga dibagi dalam 3 tingkatan yaitu pada Tingkat Konsultasi ada sebanyak 67 kasus, pada tingkat surat-menyurat sebanyak 7 kasus dan pada Tingkat Pengadilan sebanyak 11 kasus. Dan pada tahun 2011 dari total 266 kasus, terdapat sekitar 113 kasus Pidana yang terbagi dalam tingkat


(20)

Konsultasi sebanyak 73 kasus, dan pada tingkat Pengadilan sebanyak 40 kasus. Selebihnya terdapat 153 kasus Perdata yang terbagi dalam tingkat Konsultasi sebanyak 132 kasus, pada tingkat surat–menyurat sebanyak 19 kasus, dan pada Pengadilan sebanyak 2 kasus. Kasus menarik yang menjadi perhatian publik adalah Gugatan 1.219 warga Kota Medan pada Januari 2011, yang diwakili oleh Kuasa hukumnya LBH Medan, melalui mekanisme Gugatan Citizen Law Suite terhadap Pemko Medan terkait Kasus Penerimaan CPNS Pemko Medan, yang sarat dengan dugaan Manipulasi data kelulusan para Peserta, yang berakibat pada diajukannya gugatan Citizen Law Suite ke Pengadilan Negeri Medan. Dalam kasus tersebut Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan memenangkan para Penggugat yang diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, dengan menyatakan Pemko Medan Melawan hukum Dan Diperintahkan Memohon Maaf kepada korban manipulasi penerimaan CPNS.

Adapun data penanganan dan penyelesaian perkara oleh LBH Trisila : Tabel 2

Jumlah Kasus Per Tahun Yang Ditangani LBH Trisila

No. Tahun Jumlah Kasus

1. 2008 115

2. 2009 97

3. 2010 132

4. 2011 111

Sumber : LBH Trisila 2012

Dari data tersebut diatas juga tidak ditemukan rincian yang cukup jelas dan lengkap kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Trisila mulai periode tahun 2008-2011, hanya pada tahun 2010 terdapat rinciannya yaitu dari 132 kasus yang diterima oleh LBH Trisila ada sekitar 57 kasus pidana dan 75 kasus perdata, namun tidak terdapat rincian berapa yang terselesaikan pada Tingkat Konsultasi, berada pada Tingkat Kepolisian maupun Pengadilan. Tapi pada tahun 2011, rincian kasus yang masuk ke LBH Trisila cukup jelas, dimana dari 111 kasus yang masuk, terdapat 50 kasus Pidana yang terbagi dalam 3 tingkatan yaitu pada tingkat Konsultasi sebanyak


(21)

30 kasus, pada tingkat Kepolisian sebanyak 15 kasus serta di Tingkat Pengadilan sebanyak 5 kasus. Sedangkan sisanya pada kasus perdata sebanyak 61 kasus yang juga terbagi dalam 3 tingkatan, pada Tingkat Konsultasi sebanyak 45 kasus, pada tingkat surat-menyurat sebanyak 13 kasus, dan pada Tingkat Pengadilan sebanyak 3 kasus. Minimnya kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Medan maupun LBH Trisila pada tingkat pengadilan memberikan cerminan bahwa masyarakat cenderung menyukai penyelesaian perkaranya diselesaikan lewat jalur perdamaian dan tidak sedikit juga yang tidak mau melanjutkan perkaranya ke tingkat pengadilan karena terkesan pasrah dengan perkaranya yang berpikir tidak ada gunanya untuk dilanjutkan ke tingkat Pengadilan.


(22)

FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM

DALAM MEMBANTU PROSES PENYELESAIAN PERKARA

PERDATA

A. Fungsi LBH Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata

Fungsi merupakan pelaksanaan dari tujuan yang hendak dicapai. Fungsi merealisir tujuan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Untuk mengetahui fungsi dari Lembaga Bantuan Hukum perlu untuk mengetahui tujuan dari pembentukan Lembaga Bantuan Hukum terlebih dahulu. Tujuan dari pembentukan Lembaga Bantuan Hukum adalah:

1. Memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum

2. Menumbuhkan dan membina kesadaran warga masyarakat akan hak-hak sebagai subjek hukum

3. Mengadakan pembaharuan hukum sesuai dengan tuntutan zaman.

Adapun yang menjadi fungsi Lembaga Bantuan Hukum sehubungan dengan tujuan Lembaga Bantuan Hukum adalah sebagai berikut:43

a) Public Services

Hal ini sehubungan dengan kondisi sosial ekonomis dimana karena sebagian besar dari masyarakat kita tergolong tidak mampu atau kurang mampu untuk menggunakan dan membayar jasa Advokat, maka Lembaga Bantuan Hukum memberikan jasa-jasanya dengan Cuma-Cuma.

_______________________


(23)

b) Social education

Ini sehubungan dengan kondisi sosial kultural, dimana Lembaga Bantuan Hukum dengan suatu perencanaan yang matang dan sistematis serta metode kerja yang praktis harus memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-petunjuk untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar dan mengerti hak-hak dan kewajiban-kewajibannya menurut hukum, sehingga dengan demikian sekaligus menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat. Social education di bidang hukum ini adalah tidak mudah karena menyangkut mentalitas sikap dan nilai-nilai yang berlaku sekarang dalam masyarakat. Mentalitas takut, khawatir, segan, perasaan malu bahkan prejudice terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum dan proses peradilan karena takut terbawa-bawa harus diubah, menjadi keberanian dan kemauan untuk menyelesaikan segala sesuatu menurut hukum.

c) Perbaikan tertib hukum

Ini sehubungan dengan kondisi sosial politik, dimana peranan lembaga tidak hanya terbatas pada perbaikan-perbaikan di bidang peradilan pada umumnya dan profesi pembelaan pada khususnya, akan tetapi juga dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan

ombudsman selaku partisipasi masyarakat dalam bentuk kontrol dengan kritik-kritik dan

saran-sarannya untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan ataupun mengoreksi tindakan-tindakan penguasa yang merugikan masyarakat.

d) Pembaharuan hukum

Dari pengalaman-pengalaman praktis dalam melaksanakan fungsinya lembaga menemukan peraturan-peraturan hukum yang sudah usang tidak memenuhi kebutuhan, bahkan kadang-kadang bertentangan atau menghambat perkembangan keadaan.


(24)

Berdasarkan pengalaman ini lembaga dapat mempelopori usul-usul perubahan Undang-undang kearah pembaharuan hukum sesuai dengan atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru dalam masa pembangunan sekarang ini. Usul-usul perubahan Undang-undang ini tidak perlu dan tidak mungkin mencakup keseluruhan tata hukum, namun cukuplah dengan perubahan praktis dan urgen. Dalam hal ini lembaga dapat bekerja sama dengan fakultas-fakultas hukum dalam memikirkan usaha-usaha pembaharuan hukum. e) Practical training

Fungsi terakhir yang tidak kalah pentingnya bahkan diperlukan oleh lembaga dalam mendekatkan dirinya dan menjaga hubungan baik dengan sentrum-sentrum ilmu pengetahuan adalah kerjasama antara lembaga dengan Fakultas-fakultas Hukum setempat. Kerjasama ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Bagi fakultas-fakultas hukum, lembaga dapat dijadikan tempat latihan praktek bagi para mahasiswa-mahasiswa hukum dalam rangka mempersiapkan dirinya menjadi sarjana hukum dimana para mahasiswa dapat menguji teori-teori yang dipelajari dengan kenyataan-kenyataan dan kebutuhan-kebutuhan dalam praktek dan dengan demikian sekaligus mendapatkan pengalaman. Bagi lembaga, kerjasama diharapkan akan membawa efek turut menjaga idealisme lembaga, disamping memperoleh sumbangan-sumbangan pikiran dan saran-saran ilmiah maupun partisipasi tenaga mahasiswa untuk perkembangan dan kemajuan bangsa.

Dalam praktek menangani perkara perdata pada dasarnya LBH yang berfungsi sebagai advokat hanya sebagai kuasa dari seorang klien yang memberikan kuasanya kepada advokat untuk menyelesaikan, membela hak-haknya dalam perkaranya baik didalam pengadilan maupun diluar pengadilan, baik sebagai kuasa penggugat maupun sebagai kuasa tergugat dan pemberian


(25)

kuasa ini sifatnya hanya kepercayaan antara klien dan advokat. dalam menangani perkara-perkara perdata harus diutamakan menempuh jalan perdamaian. Kode etik juga tidak membenarkan seorang advokat dalam hal ini LBH memberikan janji-janji kepada klien bahwa perkaranya akan dimenangkan ataupun janji-janji lain yang bersifat memberikan harapan. LBH sebagai Advokat hanya boleh menjanjikan bahwa perkarannya akan diurus sebaik-baiknya dengan mengarahkan segala daya kemampuannya guna memenangkan perkaranya. Adapun fungsi dari LBH dalam proses penyelesaian perkara perdata didasarkan pada jasa hukum yang diberikannya yang meliputi:

a) Memberikan konsultasi terhadap permasalahan dan kepentingan hukum klien

b) Mewakili dan membela kepentingan hukum klien di dalam maupun di luar pengadilan c) Mendampingi klien yang buta hukum dalam proses peradilan, agar klien tidak

dibingungkan dengan prosedur yang ada

d) Mempersiapkan dokumen yang diperlukan dalam proses peradilan.

Semua jasa yang diberikan oleh LBH ini diberikan secara Cuma Cuma dan dalam peradilan perdata, yang dimana hakim mengejar kebenaran formil, yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan sehingga penting sekali fungsi LBH sebagai pendamping dari kliennya yang buta hukum untuk melewati setiap proses peradilan dengan prosedur yang benar.

B. Peranan LBH Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata

Adakalanya peranan lembaga bantuan hukum merupakan nama lain dari suatu Ombudsman. Dewasa ini Ombudsman berarti semacam lembaga resmi dalam pemerintahan yang

merupakan “tangan” dari badan-badan legislatif yang menerima pengaduan-pengaduan mengenai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh badan atau pejabat-pejabat eksekutif


(26)

pemerintahan. Jika pengaduan yang dimaksud benar, maka Ombudsman membuat rekomendasi untuk menyelesaikan pengaduan tersebut. Lembaga ini berasal dari Swedia, tercipta pada tahun 1809, kemudian berkembang di berbagai negeri dalam berbagai bentuk dan variasi, di bawah sistem hukum yang berbeda-beda.

Di negara baru, keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh ke dalam segala sektor kehidupan, acapkali menimbulkan ekses-ekses yang membawa kecemasan-kecemasan baru, sehingga apabila dihubungkan dengan struktur kekuasaan yang ada, maka pertanyaan “siapa

yang memerintah siapa” atau “siapa yang mengontrol siapa” menjadi amat relevan.

Dalam prakteknya, lembaga bantuan hukum tidak saja berurusan dengan soal-soal di meja hijau pengadilan, tetapi juga tak dapat mengelakkan diri untuk menangani pula masalah masalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dari badan atau pejabat-pejabat pemerintah

sendiri, bahkan juga oleh yang lazim disebut sebagai “oknum” alat negara. Sebagai contoh,

sering terjadi pejabat menggunakan jabatan resmi dari lembaganya, hanya untuk menyelesaikan soal-soal pribadi. Sebagian besar anggota masyarakat merasa takut kalau ia diharuskan datang ke sebuah kantor alat negara polisi atau militer dengan surat panggilan resmi, apalagi tanpa menyebut dalam perkara apa dan untuk apa ia dipanggil. Pernah terjadi panggilan semacam itu hanya untuk memaksakan suatu penyelesaian hutang piutang pribadi, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan badan resmi tersebut. Tidak jarang pula pejabat-pejabat melampaui wewenangnya dalam menjalankan tindakan-tindakan administratif.

Contoh lain adalah pemecatan-pemecatan yang dilakukan sementara pejabat tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan. Ombudsman, jika ia ada, biasanya bertugas menerima pengaduan dan membuat rekomendasi untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas. Hal lain yang menyebabkan berperannya lembaga bantuan hukum sebagai semacam Ombudsman, adalah


(27)

karena belum berperannya Hukum Administrasi. Bilamana Hukum Administrasi sudah efektif dan pengadilan administrasi juga memainkan peranannya, maka kasus-kasus yang menyangkut salah tindak administrasi yang terkadang amat besar pengaruhnya akan bisa diselesaikan. Untuk sementara lembaga bantuan hukum menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan memberikan advis dan nasihat, melakukan teguran kepada yang bersangkutan, mengajukan

“appeal” kepada atasannya, atau membuka masalahnya kepada umum melalui bantuan media

pers, dan jika keempat jalan terdahulu tidak berhasil, LBH mengajukan masalahnya ke depan pengadilan negeri sebagaimana perkara-perkara lainnya.

Di dalam azas-azas serta sifat beracara di muka Pengadilan dalam perkara Perdata tidak diwajibkan menunjuk kuasa hukum atau Penasihat Hukum. Walaupun demikian, para pihak yang berperkara-jika mereka menghendaki-boleh diwakili oleh kuasanya (Pasal 123 HIR/Pasal 147 RBg). Sistem Hukum Acara Perdata ini berbeda dengan sistem hukum Hukum Acaa Perdata dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mewakilkan kepada seorang ahli hukum (procureur) dalam beracara di muka Pengadilan. Perwakilan ini merupakan keharusan yang mutlak dengan akibat batalnya tuntutan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputuskan diluar hadirnya tergugat (Pasal 109 Rv) apabila para pihak ternyata tidak diwakili. Sistem yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hukum dalam Rv ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa di dalam suatu proses yang memerlukan pengetahuan hukum dan kecakapan teknis, maka para pihak yang berperkara perlu dibantu oleh seorang ahli hukum agar segala sesuatunya dapat berjalan lancar dan putusan dijatuhkan dengan seadil-adilnya. Jika ada seseorang yang meminta untuk diwakili oleh seseorang Advokat – Pengacara secara Cuma-Cuma (Prodeo), Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menunjuk LBH atau Advokat-Pengacara setempat, tetapi Penggugat atau Tergugat mencari bantuan hukum


(28)

sendiri ke kantor Advokat-Pengacara setempat kalau Penggugat atau Tergugat mampu membayar uang jasanya dan jika Penggugat atau Tergugat tidak mampu membayar uang jasa Advokat dapat minta bantuan hukum kepada LBH atau Lembaga yang melayani bantuan hukum setempat.

Karena dalam perkara perdata inisiatif mengajukan gugatan datangnya dari pihak yang bersangkutan atau dari pihak yang merasa haknya dilanggar atau dirugikan oleh orang lain. Untuk itu dalam mencari bantuan hukum juga harus mencari sendiri tidak dicarikan oleh Hakim. Hal ini juga menjadi Peranan Lembaga Bantuan Hukum untuk lebih memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkhusus yang miskin ataupun yang buta hukum bahwa mereka juga mempunyai hak mendapatkan bantuan hukum, tidak pasrah karena tidak dapat membayar jasa Advokat

Baik LBH Medan dan LBH Trisila Sumatera Utara sering dalam kegiatannya membantu proses penyelesaian perkara perdata terhadap kliennya, yaitu dalam perkara-perkara perceraian, sengketa tanah, Perselisihan Hubungan Industrial, wanprestasi maupun kasus terkenal seperti kasus Penerimaan CPNS Pemko Medan tahun 2010 yang ditangani oleh LBH Medan . Sebagai contoh peranan LBH dalam menyelesaikan perkara perdata ini terlihat dalam bantuan hukum yang diberikan LBH Trisila Sumatera Utara kepada kliennya dalam perkara perselisihan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap dengan Nomor Putusan: 117/G/2011/PHI.Mdn. sebelum LBH ini masuk dalam proses peradilan perdata yang menyangkut kegiatan-kegiatan dari badan peradilan perdata, LBH ini telah memberikan konsultasi maupun nasihat hukum agar tercapai perdamaian antara kliennya dan pihak yang berpekara dengan kliennya. Namun, hal itu tidak terjadi dan LBH ini masuk lebih dalam membela kepentingan kliennya dengan menjadi kuasa kliennya tersebut dalam proses peradilan


(29)

perdata. Dalam proses peradilan perdata ini terdiri dari tahap-tahap yang dilewati untuk menyelesaikan perkara tersebut. Adapun tahap-tahap ini dimulai dari tahap pengajuan Gugatan, Pemeriksaan di Muka Pengadilan, dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Dalam tahapan inilah Lembaga Bantuan Hukum ini sebagai Advokat menjalankan peranannya. Tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Tahap Pengajuan Gugatan

Setiap proses perkara perdata di muka Pengadilan Negeri dimulai dengan pengajuan surat gugatan oleh Penggugat. Surat gugatan yang diajukan harus jelas, tidak boleh kabur atau samar-samar (tidak jelas) baik subyek hukumnya, obyek sengketanya maupun apa-apa yang yang dituntut oleh Penggugat. Oleh sebab itu Penggugat dalam mengajukan surat gugatan memerlukan kecakapan teknis dari ahli hukum untuk memmbuat surat gugatannya dengan benar. Selain itu, dengan adanya ahli hukum ini juga bermanfaat dalam pemeriksaan perdata di pengadilan. Sebab, bagi kepentingan pemeriksaan perkara perdata, hakim membutuhkan dari pihak-pihak yang berperkara suatu penjelasan dan keterangan tentang beberapa hal yang harus diketahui guna memberikan putusan yang tepat. orang yang tidak mengerti peraturan hukum mungkin sekali memberikan penjelasan dan keterangan yang tidak perlu dan tidak berguna diketahui, bahkan mungkin merugikan kepentingan pihak yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka peranan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat adalah harus dapat memastikan dan memperkuat dasar pengajuan gugatan agar diterima.

2.Tahap Pemeriksaan di Muka Pengadilan

Dalam tahap ini terdapat tata urutan perdangan perkara perdata yang harus diikuti pihak yang berperkara, dimulai dari 1) Sidang Pertama, dimana LBH sebagai Advokat turut sert mendampingi kliennya. pada sidang ini kedua belah pihak yang berperkara diwajibkan hakim


(30)

untuk melakukan usaha perdamaian. 2) Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya; 3) Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YME. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi); 4) Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi dilanjutkan Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi. 5) Pada saat surat menyurat (jawab menjawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst).6) Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi).7) Pembuktian, Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi. 8) kemudian, dilakukan kesimpulan oleh masing-masing pihak 9) pembacaan putusan oleh Majelis Hakim. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari;

Hakim dalam kewenangannya menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara. Kemudian hakim meneliti perkara dan akhirnya mengadili yang berarti memberi kepada yang berkepentingan hak atau hukumnya. Maka dalam hal ini peranan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat adalah membantu kliennya memberikan kebenaran dari bukti-bukti yang diajukan di sidang Pengadilan. Pada tahap ini Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat bersikap aktif.


(31)

3.Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Penggugat yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tentunya bermaksud untuk memulihkan kembali hak perdatanya yang telah dirugikan oleh Tergugat. Oleh karena itu ia tidak saja menharapkan agar segala tuntutannya dalam gugatan dapat dikabulkan, tetapi juga mengharapkan putusan pengadilan yang mengabulkan tuntutannya itu dapat dilaksanakan. Setiap putusan haruslah dapat dieksekusi atau dilaksanakan, karena tidak akan ada artinya jika putusan tidak dapat dieksekusi. Putusan hakim itu sewaktu-waktu akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde). Namun, bisa saja tidak dapat dilaksanakan, misalnya dalam pembayaran sejumlah uang Tergugat tidak mempunyai harta kekayaan lagi yang dapat dilelang. Oleh sebab itu undang-undang menyediakan upaya hukum bagi penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti, yaitu sita jaminan. Sita jaminan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan perdata di kemudian hari. Adapun setiap putusan dalam perkara Perdata mempunyai macam-macam kekuatan, diantaranya kekuatan mengikat dan kekuatan Eksekutorial.

Kekuatan mengikat terjadi saat sudah tidak lagi ada upaya hukum verzet, banding atau kasasi sehingga putusan ini sudah pasti dan mengikat. Namun, kekuatan mengikat saja belum cukup bila tidak direalisir. Oleh karena itu putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap juga dapat dilaksanakan, jika perlu dengan upaya paksa.hal inilah yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial. Maka dalam hal ini peranan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat adalah memastikan putusan yang diberikan dapat terlaksana jika gugatannya dikabulkan dan jika Penggugat tidak puas akan putusan tersebut, maka peranan Lembaga Bantuan Hukum adalah mengajukan upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali sampai akhirnya mendapatkan putusan hakim yang memperoleh hukum tetap.


(32)

Lembaga Bantuan Hukum sebagai lembaga yang memberikan bantuan hokum memiliki peranan yang cukup signifikan dalam proses peradilan perdata. Peranan ini diarahkan pada hal yang bersifat teknis yang tentu sulit dipahami oleh orang-orang awam di bidang hukum.

Dari apa yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa peranan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat adalah :

1. Menjamin penggugat dapat melewati prosedur persidangan dengan benar.

2. Membantu hakim dalam menemukan kebenaran formil dalam suatu perkara yang

ditanganinya.

Perlu juga diperhatikan bahwa penyelesaian perkara perdata dalam bantuan hukum ini tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena kecenderungan penyelesaian perkara perdata masih memerlukan upaya hukum yang lain, salah satunya adalah Hukum Administrasi misalnya pelaksanaan dari putusan dari Pengadilan masih memerlukan proses lagi agar hasil putusan dapat dilakukan dalam artian proses penyelesaian perkara perdata belum dikatakan selesai pada waktu diumumkan hasil putusan tapi pada saat hasil dari putusan itu telah dilaksanakan secara tuntas . disebutkan bahwa kalau hanya berpegang pada penyelesaian perkara perdata dalam bantuan hukum ini cenderung menghilangkan semangat yang diusung LBH itu sendiri.44

Dan lagi penyelesaian perkara perdata juga merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan LBH dalam menangani perkara yang dihadapinya. Dalam artian jika perkara perdata ini menyentuh bidang pidana, bukan tidak mungkin penyelesaian perkara juga diselesaikan secara pidana.

_______________________

44 hasil wawancara dengan Hasan Lumbanraja S.H., dari Lembaga Bantuan Hukum Trisila pada tanggal 12 Juni 2012 .


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Gambaran umum tentang Lembaga Bantuan Hukum dalam Undang-Undang tentang Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum merupakan salah satu Pemberi Bantuan Hukum yang dimaksud pada Undang-Undang ini selain organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum. Lembaga Bantuan Hukum dalam menyelenggarakan bantuan hukum cenderung memakai jasa Advokat dan Paralegal dengan catatan Paralegal tersebut disupervisi oleh Lembaga Bantuan Hukum tersebut. Namun untuk Penerima Bantuan Hukum belum dapat dijelaskan secara spesifik dalam Undang-Undang ini, sehingga Lembaga Bantuan Hukum harus memberikan batasan tertentu siapa saja yang pantas diberi bantuan hukum.Hak dan kewajiban Lembaga Bantuan Hukum dalam menyelenggarakan bantuan hukum dalam undang-undang ini sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum adanya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini. Dan tata cara pelaksanaan bantuan hukum dalam undang-undang ini sudah diakomodir untuk memudahkan para Penerima Bantuan Hukum dengan adanya Bantuan Hukum yang dapat dimintakan ke Pengadilan atau ke Lembaga Bantuan Hukum. 2. Sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bahwa rakyat kecil masih merasa hukum bukan hak mereka sebagai warga negara. Ketidakadilan hukum inilah yang membuat rakyat kecil tidak dapat menikmati haknya dalam mendapatkan bantuan hukum. Fakta inilah yang melahirkan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Lembaga Bantuan Hukum lahir bukan karena inisiatif negara tetapi karena dasar


(34)

pemikiran kolektif akan adanya ketimpangan dalam masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum mengalami perkembangan yang baik dan dapat diterima oleh masyarakat.

3. Fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum adalah menyadarkan masyarakat akan hak-haknya ketika mengalami perkara dalam bidang hukum.Fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum sangat membantu terciptanya keseimbangan dalam masyarakat karena berorientasi pada masyarakat yang miskin dan buta hukum. Dalam pelaksanaannya fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum Medan dan Lembaga Hukum Trisila masih belum maksimal dikerjakan. Walaupun penanganan kasusnya per tahun sudah cukup banyak namun dalam pelaksanaan, namun dalam penyelesaian kasus-kasus ini Lembaga Bantuan Hukum belum dapat memberikan penyadaran hukum kepada kliennya, yang sering pasrah akan perkara yang dihadapinya. Belum lagi dalam pelaksanaan putusan dalam peradilan perdata yang masih memerlukan usaha hukum lainnya untuk memastikan putusan dapat terlaksana, Lembaga Bantuan Hukum masih menemukan kasus dimana hasil putusan tersebut tidak dijalankan. Oleh sebab itu Lembaga Bantuan Hukum masih mempunyai fungsi dan peranan untuk mewakili kliennya sampai perkara yang ditanganinnya benar-benar selesai.

B. Saran

1. Perlu pengaturan yang lebih spesifik dan mendetil lagi untuk Undang-undang tentang Bantuan Hukum ini, salah satu yang bisa menjadi solusi adalah dengan membuat Peraturan Pelaksananya.

2. Perlu tanggung jawab yang lebih besar dari Negara dalam memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma.


(35)

3. Dalam menjalankan fungsi dan peranannya, Lembaga Bantuan Hukum perlu lebih turun ke masyarakat agar dapat lebih menyadarkan masyarakat akan hak-hak mereka dalam bantuan hukum. Dalam lingkup peradilan perdata yang ditangani Lembaga Bantuan Hukum juga dapat fleksibel sehingga upaya hukum yang sering diperlukan dalam pelaksanaan putusan dapat memastikan pelaksanaan dari hasil putusan itu tersebut.


(36)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG LEMBAGA BANTUAN

HUKUM BERDASARKAN UU NO.16 TAHUN 2011

A. PENGERTIAN BANTUAN HUKUM

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dimaksud dengan Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

Sebelum adanya Undang-Undang ini, pengertian dari bantuan hukum belum menemukan defenisi yang jelas. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan yang secara khusus mengatur tentang bantuan hukum itu sendiri walaupun pemberian bantuan hukum sudah lama berkembang di Negara ini. Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat tentang bantuan hukum sebelum lahirnya Undang-undang tentang Bantuan Hukum hanya dapat menjelaskan sedikit dan tidak secara spesifik apa yang dimaksud dengan bantuan hukum. Menurut pasal 22 Undang-Undang Advokat, yaitu Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 yang dimaksud dengan Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. Di dalam Undang-Undang Advokat ini hanya memuat 1 pasal saja mengenai bantuan hukum, yaitu hanya di pasal 22. Penjelasan lebih lanjut dari Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma, Bantuan Hukum Secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Meskipun tidak secara khusus menjelaskan tentang bantuan hukum, namun pengertian mengenai bantuan hukum yang dikemukakan pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma sudah mengarah kepada pengertian bantuan hukum yang dikemukakan dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Tapi, jika kita merunut ke belakang ,sebelum adanya peraturan perundang-undangan diatas dikalangan profesi hukum belum menemukan defenisi yang jelas mengenai bantuan hukum, padahal pemberian bantuan hukum itu sendiri sudah dilakukan lama sekali. Oleh karena itu, kalangan profesi hukum mencoba membuat dasar dari pengertian bantuan hukum tersebut.

Pada tahun 1976, Simposium Badan Kontak Profesi Hukum Lampung merumuskan pengertian dari bantuan hukum sebagai pemberian bantuan hukum


(37)

kepada seorang pencari keadilan yang tidak mampu dan sedang menghadapi kesulitan dibidang hukum diluar maupun di muka pengadilan tanpa imbalan jasa.25

Pengertian bantuan hukum yang lingkup kegiatannya cukup luas ditetapkan dalam Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat Nasional tahun 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik secara perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu secara kolektif. Lingkup kegiatan meliputi pembelaan, perwakilan baik diluar maupun didalam pengadilan, pendidikan, penelitian, dan penyebaran gagasan.26 Berbicara tentang istilah bantuan hukum adalah memberikan nasehat hukum secara cuma-cuma. Termasuk dalam hal pembelaan pada acara persidangan di pengadilan. Maksud pembelaan disini tidak ditafsirkan sebagai pembelaan yang “membabi buta”. Seperti melakukan pembelaan terhadap kesalahan atau pelanggaran hukum yang dilakukan terdakwa atau tersangka, sehingga ia dapat bebas dari tuntutan. Tetapi pembelaan yang diharapkan adalah upaya mendapatkan keadilan yang diperolehnya berupa hukuman yang setimpal berdasarkan berat ringan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan.27

Dalam hal ini pengertian dari bantuan hukum belum dapat didefinisikan dengan jelas namun secara umum dapat dikatakan bahwa bantuan hukum adalah bantuan memberikan jasa untuk :

1. Memberikan nasehat hukum ;

2. Bertindak sebagai pendamping bagi mereka yang tidak mampu maupun yang buta hukum.

B. SUBJEK PEMBERI BANTUAN HUKUM

Pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi demi tertibnya pelaksanaan bantuan hukum diberikan batasan dan persyaratan dalam berbagai peraturan. Persoalan selanjutnya adalah siapa yang seharusnya bertindak untuk menjadi pelaksana pemberi bantuan hukum di negara kita sekarang ini, mengingat banyaknya dan beraneka ragam para pemberi bantuan hukum yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Advokat yang nerupakan anggota suatu organisasi Advokat dan juga menjadi anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

2. Advokat yang merupakan anggota suatu organisasi Advokat dan bukan menjadi anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

3. Advokat yang bertindak sebagai Penasehat Hukum dari suatu perusahaan. _______________________

25

Sunggono dan Harianto,op.cit,hal.8.

26

ibid.

27

Yudha Pandu, Klien & Penasehat Hukum Dalam Perspektif Masa Kini ( Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2001), hal.88.


(38)

4. Advokat yang tidak menjadi anggota perkumpulan manapun. 5. Pengacara Praktek atau Pokrol.

6. Sarjana-sarjana hukum yang bekerja pada biro-biro hukum/instansi pemerintah. 7. Dosen-dosen dan Mahasiswa-mahasiswa Fakultas Hukum.

8.

Konsultan-Konsultan Hukum.28

Klasifikasi yang disebutkan diatas memang dapat bertindak sebagai pemberi bantuan hukum pada umumnya, tetapi apakah mereka juga yang bertindak sebagai pemberi bantuan hukum bagi golongan miskin (public defender)?. Dalam hal ini, penanganan bantuan hukum kepada golongan miskin sudah seharusnya dilakukan oleh tenaga-tenaga professional, yaitu mereka yang bukan hanya berpendidikan sarjana hukum saja tetapi menekuni pemberian bantuan hukum sebagai pekerjaan pokok mereka sehari-hari. Hal demikian adalah idealnya daripada program bantuan hukum bagi golongan miskin. Akan tetapi kenyataan menunjukkan tenaga-tenaga professional sebagaimana digambarkan tersebut diatas tidak banyak jumlahnya dan distribusinya tidak merata dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian maka yang harus memegang posisi utama dalam hubungan ini adalah para Advokat bukan hanya Advokat yang berada di bawah naungan Lembaga Bantuan Hukum(LBH). Dalam perkembangannya Lembaga Bantuan Hukum Medan dan LBH Trisila memanfaatkan tenaga Paralegal untuk membantu dalam penyelesaian perkara.

Belum ditemukan padanan kata paralegal (dalam bahasa Inggris) ke dalam bahasa Indonesia. Karenanya, istilah paralegal langsung diadopsi kedalam bahasa Indonesia.

Istilah yang hampir sama yang juga sering digunakan yakni “pokrol bambu”. Istilah paralegal sendiri merupakan istilah dibidang hukum.

Istilah paralegal, dikenakan bagi orang yang bukan advokat, namun memiliki pengetahuan dibidang hukum (materil) dan hukum acara, dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum, yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal ini bisa bekerja sendiri didalam komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum. Seseorang yang menjadi paralegal, tidak mesti seorang sarjana hukum atau mengenyam pendidikan hukum di perguruan tinggi. Namun ia mesti mengikuti pendidikan khusus keparalegalan.

_______________________


(39)

Karena sifatnya membantu penanganan kasus atau perkara, maka paralegal sering juga disebut dengan asisten hukum (legal assistant). Dalam praktik sehari-hari, peran paralegal sangat penting untuk menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah hukum yang dialami individu maupun kelompok masyarakat.

Dengan demikian, setidaknya terdapat 3 kata kunci berkaitan dengan “paralegal”, sebagai berikut:

- Memiliki pengetahuan dan keterampilan dibidang hukum; - Telah mengikuti pendidikan khusus keparalegalan;

- Disupervisi oleh advokat atau organisasi bantuan hukum.29

Karenanya, pada dasarnya pendidikan paralegal mesti disupervisi atau diselenggarakan bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum atau setidak-tidaknya melibatkan advokat.

Sebagai ilustrasi, jika seseorang sakit parah, maka tentu seorang yang berprofesi dokter mampu memberikan diagnosa dan perawatan terhadap si pasien. Namun demikian, dalam praktik jika seseorang tergores atau luka ringan, maka tidak serta merta orang itu pergi ke rumah sakit atau meminta pertolongan dokter, namun berupaya menyembuhkan luka ringan itu, misalnya dengan memberi “obat merah” atau memberi perban.

Demikian juga kasus hukum, dalam kasus-kasus tertentu seorang paralegal mampu untuk membantu orang yang terkena kasus hukum. Sebagai contoh membuatkan surat kuasa khusus, membuat surat penangguhan penahanan dan lainnya. Namun untuk perkara-perkara yang kompleks maka perlu ditangani seorang advokat.

Bahwa dalam kasus-kasus spesifik pengetahuan dan keterampilan seorang paralegal lebih banyak daripada seorang advokat, hal ini merupakan sebuah pengecualian. Misalnya tidak sedikit paralegal perburuhan dari organisasi-organisasi buruh yang memang mendalami hukum perburuhan dan mempunyai pengalaman lebih banyak berperkara di pengadilan perselisihan perburuhan ketimban seorang advokat yang mendalami bidang hukum pidana. Karenanya, hubungan paralegal dengan advokat tidak bisa dipisahkan. Relasi paralegal dengan advokat, hampir sama dengan relasi perawat dengan seorang dokter. Karena hubungan semacam ini, keliru jika pendidikan paralegal tidak melibatkan organisasi bantuan hukum atau advokat. Karena peran paralegal tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanya dapat berperan optimal pada kasus-kasus tertentu saja dan bukan secara umum.

Untuk menjadi Paralegal, seseorang harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan (training) atau pendidikan. Ada 2 bentuk pendidikan paralegal, yakni pendidikan langsung kepada para paralegal dan pendidikan untuk mendidik seseorang menjadi pendidik (training of trainers). Dalam perkembangannya, pendidikan paralegal mengalami dinamika. Periode 1980-an, pada umumnya LBH melakukan pendidikan paralegal berdasarkan komunitas yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan tengah menghadapi perkara hukum. Maka materi ajar dalam _______________________

29 dikutip dari http://jodisantoso.blogspot.com/2007/06/dasar-konstitusional-bantuan-hukum.html diakses pada tanggal 6 Juni 2012


(40)

pendidikan paralegal spesifik pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat untuk memperjuangkan haknya baik dalam proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Maka ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang spesifik: ilmu “tanah”, ilmu “buruh” atau pengetahuan tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Periode ini seorang paralegal hanya mendalami pengetahuan yang berguna bagi penanganan kasus yang dialami komunitasnya.

Selanjutnya, periode 1990an, pendidikan paralegal mulai berkembang berdasarkan isu dengan mengundang beragam komunitas dimasyarakat. Hal ini

sejalan dengan mulai berdirinya organisasi non-pemerintah yang spesifik menangani isu-isu tertentu, seperti WALHI, ICEL dan LBH Apik. WALHI dan ICEL menyelenggarakan pelatihan paralegal dibidang lingkungan hidup. Sementara LBH Apik menyelenggarakan pendidikan paralegal untuk isu kekerasan dalam rumah tangga dan hak-hak perempuan dan anak.

Beberapa contoh dari pendidikan paralegal yang dilakukan oleh beberapa LBH maupun organisasi tertentu, diantaranya LBH Jakarta bekerja sama Walhi Jakarta juga aktif menyelenggarakan pendidikan paralegal dalam rangka advokasi kasus dibidang lingkungan hidup. Sebagai contoh pendidikan paralegal bagi masyarakat Dadap, korban proyek reklamasi di Jakarta. LBH Jakarta merupakan salah satu organisasi bantuan hukum yang paling awal menyelenggarakan bentuk-bentuk pendidikan paralegal di Indonesia.

LBH Surabaya sejak 1980an sudah menjalankan sebuah program gerakan masyarakat bantuan hukum, termasuk mengorganisir dan bekerjasama membentuk jaringan paralegal komunitas Jawa Timur.

LBH Bandung, misalnya, sejak lama telah melakukan pendidikan paralegal khusus untuk membantu advokasi kasus-kasus perburuhan. Para kader paralegal LBH Bandung, sangat aktif membantu calon buruh migran, yang menjadi korban penipuan.

LBH Yogyakarta sejak lama mendorong gerakan paralegal di seluruh wilayah DI Yogyakarta. Hal ini bertujuan agar masyarakat mampu menyelesaikan sendiri kasus yang bisa diselesaikan sebelum meminta pelayanan bantuan hukum.

LBH Semarang secara regular menyelenggarakan pendidikan paralegal bagi tokoh-tokoh masyarakat, terutama dari komunitas-komunitas penduduk yang tengah dan potensial menghadapi kasus hukum.

LBH Palembang, LBH Medan, dan LBH Manado sejak awal berdiri pada 1980-an memiliki program pendidikan paralegal berbasis komunitas utamanya bagi petani dan buruh. Sama halnya, dengan LBH Lampung secara rutin di era 1990an menyelenggarakan pendidikan paralegal komunitas, utamanya kelompok-kelompok petani yang kemudian membentuk posko-posko di wilayah domisili masing-masing.

Pada periode 2000-an, terdapat sejumlah program pendidikan paralegal. Antara lain program GGIJ, yang dibiayai oleh Mahkamah Agung dan European Union, 5 kantor LBH menjalankan pendidikan paralegal berbasis komunitas dan pendidikan mediasi di 5 wilayah, yakni Padang, Bali, Makassar, Jayapura dan Surabaya. Pendidikan ini bertujuan agar para kader paralegal mampu memberi bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan kelompok perempuan


(41)

ditingkat paling awal, dengan mengelola Pos Pertolongan Pertama pada Kasus Hukum (P2K Hukum). Paralegal berperan menjadi jembatan masyarakat pencari keadilan dan sistem peradilan serta layanan bantuan hukum yang dibutuhkan.

Untuk membantu aktivitas advokasi, Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia sejak 2006 juga memberi kesempatan bagi para mahasiswa fakultas hukum tingkat akhir dan sarjana yang baru menamatkan kuliah untuk beraktivitas menjadi paralegal. Pendidikan paralegal angkatan ke-4 dilakukan pada Oktober 2007, yang menjaring 10 mahasiswa paska pendidikan paralalegal yang dinilai mempunyai komitmen untuk membantu aktivitas advokasi yang dilakukanBadan Pengurus. LBH Apik, juga menjadi salah satu organisasi yang aktif melakukan pelatihan paralegal, terutama bagi organisasi-organisasi perempuan. Berdasarkan data dari lembaga ini, per 2006, lembaga ini telah mendidik 71 orang paralegal dari beragam kelompok, yakni 14 paralegal dari kelompok miskin kota, 26 paralegal dari organisasi mitra, dan 31 paralegal dari pekerja rumah tangga. Dalam melaksanakan pendidikan paralegal, LBH Apik mendapat pendanaan dari sejumlah lembaga donor, antara lain the Asia Foundation, Ausaid dan Asian Development Bank.

Wahid Institute, juga menyelenggarakan pelatihan paralegal dengan muatan “pluralisme”, yang diikuti perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat dari sejumlah daerah di Indonesia. Sementara Puan Amal Hayati melakukan pendidikan paralegal bagi pendamping korban kekerasan berbasis pesantren.

Satu hal yang perlu mendapat penekanan bahwa meskipun Paralegal mempunyai pengetahuan dan keterampilan di bidang hukum, tetapi mereka tidak mendapatkan pendidikan formal setingkat sarjana. Mereka hanya mendapatkan pelatihan dasar pengetahuan dan keterampilan hukum saja. Selain itu Paralegal bukanlah „Advokat‟ dalam pengertian professional yang berlisensi. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya di bidang hukum, Paralegal memiliki keterbatasan-keterbatasan, misalnya Paralegal tidak bisa beracara di pengadilan atau peradilan lainnya.

Kembali ke persoalan tentang siapa subjek Pemberi Bantuan Hukum. Menurut pasal 1 angka 3 UU tentang Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. dalam Undang-Undang-Undang-Undang ini semakin ditegaskan defenisi siapa yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum. Hal ini terlihat pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011, dimana Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah memenuhi syarat . Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum ini adalah :

a. berbadan hukum;

b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum; c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

d. memiliki pengurus; dan

e. memiliki program Bantuan Hukum.

Tidak banyak yang tahu bahwa bantuan hukum juga adalah bagian dari profesi Advokat. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa


(42)

Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kewajiban membela orang miskin bagi profesi Advokat tidak terlepas dari prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi Advokat (Access to legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa terkecuali, termasuk faqir miskin (justice for all). Namun demikian, mungkin tidak seluruh Advokat yang akan bergerak di bidang ini, akan tetapi hanya Advokat tertentu yang diarahkan secara khusus untuk menangani persoalan pemberian bantuan hukum bagi golongan miskin.

C. OBJEK PENERIMA BANTUAN HUKUM

Hak memperoleh bantuan hukum bagi setiap orang yang tersangkut suatu perkara merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Hak dalam memperoleh bantuan hukum itu sendiri perlu mendapat jaminan dalam pelaksanaannya. Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang terkait dengan bantuan hukum, terdapat beberapa sebutan untuk objek Penerima Bantuan Hukum. Dalam Pasal 1 angka 2 UU tentang Bantuan Hukum, objek Pemberi Bantuan Hukum dikatakan sebagai Penerima Bantuan Hukum, yang didefinisikan sebagai orang atau kelompok orang miskin.

Berbeda dengan Undang-Undang Bantuan Hukum , Undang-Undang Advokat menyebutkan objek Penerima Bantuan Hukum dengan sebutan Pencari Keadilan. Menurut pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003, yang dimaksud dengan Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu

Disebutkan lagi, dalam Pasal 5 UU tentang Bantuan Hukum menyebutkan Penerima Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak dasar yang dimaksud meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

Dalam pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma tentunya memiliki batasan yang ditentukan untuk kebutuhan golongan pencari keadilan. Tentang hal ini orang bilang bahwa,perdefenisi, orang miskin itu tidak akan dapat mengetahui apa kebutuhan mereka yang sejati. Apa yang mereka nyatakan sebagai kebutuhan umumnya dan sebenarnya tak lain daripada apa yang mereka inginkan. Maka apa yang harus didefinisikan sebagai kebutuhan orang orang miskin itu tentulah hanya akan dapat dirumuskan oleh mereka yang professional, tidak hanya professional dalam permasalahan hukum tetapi juga dalam permasalahan sosial dan ekonomi. Dikatakan bahwa mereka yang miskin itu tidaklah sekali-kali akan dapat mengartikulasikan kepentingannya sendiri. Banyak juga yang berprasangka bahwa orang-orang miskin itu tak hendak menginginkan apapun kecuali pangan, sesudah itu, sandang, dan baru sesudah itu pula papan. Itu semua adalah kebutuhan pokok untuk bertahan hidup dalam jangka pendek, kalaupun dengan cara menghamba dan bersetia kepada mereka yang telah mapan di strata yang elit dan berada di atas. Prasangka seperti inilah yang menjelaskan fakta mengapa orang-orang miskin sulit diorganisasi untuk suatu perjuangan jangka panjang guna merekonstruksi tatanan sosial yang terlalu senjang. Mereka lebih suka menerima sedekah untuk keperluan jangka pendek


(43)

daripada menerima hak-hak mereka yang asasi yang masih harus diperjuangkan dalam jangka panjang.

Di Australia objek penerima bantuan hukum selain kategori miskin (finansial) termasuk juga masyarakat adat (indigenous people). Di Indonesia sendiri objek penerima bantuan hukum cuma-cuma adalah golongan yang tidak mampu secara ekonomi seperti yang telah disebutkan diatas.

Untuk Lembaga Bantuan Hukum Medan sendiri objek penerima bantuan hukum secara cuma-cuma tidak hanya para pencari keadilan yang tidak mampu tetapi juga untuk orang atau kelompok masyarakat marjinal dan termarjinalkan. Begitu juga dengan LBH Trisila juga menitikberatkan bantuan hukum yang diberikan kepada bantuan hukum struktural, dimana yang mengalami konflik adalah masyarakat dengan Negara yang dianggap telah mengambil hak-hak dari masyarakat tersebut.

D. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PEMBERI DAN PENERIMA BANTUAN

HUKUM

Dalam Pasal 9 UU tentang Bantuan Hukum disebutkan, Pemberi Bantuan Hukum berhak: a) melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas

hukum;

b) melakukan pelayanan Bantuan Hukum;

c) menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;

d) menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;

e) mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f) mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan perkara; dan

g) mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan Hukum.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang baik sebab penulis menyadari hanya karena kemurahan dan kasihNya sehingga penulis diberi kekuatan, kesehatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.

Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang berjudul

Kajian Peranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Memberikan Bantuan Kepada Masyarakat di Bidang Perdata (Studi di LBH Medan dan LBH Trisila Sumatera Utara)” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan yang harus dievaluasi. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan skipsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Terimakasih tak terhingga kepada seluruh keluargaku, kepada Bapakku J.Sinaga, yang

memberikan teladan baik untukku, dan kepada ibuku, M.Purba, yang memberikan kasih sayang dan perhatiannya kepadaku. Kepada kakakku Melinda Sinaga, Oktavia Sinaga dan juga adik-adikku, Panisioan Sinaga serta Sakal Sinaga, yang memberikan semangat, dorongan serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Karya ini kupersembahkan untuk kalian!;


(2)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Dr. T. Keizerina D. A SH. CN. MS., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Muhammad Hayat S.H., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini.

10.Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

11.Seluruh staff dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(3)

13.Kepada kelompok kecilku tempat saya dibina dalam UKM KMK UP FH khusus kepada Kak Henny, Kak Juli dan Lusiana serta Immanuel.

14.Teman-Teman Stambuk 2008, yang menjadi teman terdekat Penulis, baik Togi, Rinaldi, Rolas, Martin, Fernandes Marhara, Suspim, Bona, dan teman sekalian uyang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu ;

15.Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hidup Mahasiswa!;

16.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini baik, dan

17.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Ada saatnya bertemu, ada juga saatnya berpisah. Terima kasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan perlindunganNya kepada kita semua.

Medan, 9 Oktober 2012 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

A.Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ...8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian...9

D.Keaslian Penulisan ...10

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Bantuan Hukum ...10

2. Pengertian Lembaga Bantuan Hukum ...21

3. Dasar Pemberian Bantuan Hukum ...26

F. Metodologi Penelitian ...30

G.Sistematika Penulisan ...32

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LEMBAGA BANTUAN HUKUM BERDASARKAN UU NO. 16 TAHUN 2011 ...35

A. Pengertian Bantuan Hukum ...35

B. Subjek Pemberi Bantuan Hukum ...38

C. Objek Penerima Bantuan Hukum ...47 D. Hak dan Kewajiban Para Pemberi dan Penerima


(5)

E. Tata Cara Pelaksanaan Bantuan Hukum ...54

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM ...58

A. Sejarah Lembaga Bantuan Hukum ...58

B. Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum ...70

C. Data Penanganan dan Penyelesaian Perkara Perdata oleh LBH Medan dan LBH Trisila periode 2008-2011 ...76

BAB IV FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBANTU PROSES PENYELESAIAN PERKARA PERDATA ...79

A. Fungsi LBH Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata ...79

B. Peranan LBH Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata ...83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...93

A. Kesimpulan ...93

B. Saran ...95


(6)

ABSTRAK Muhammad Hayat** Muhammad Husni** Ramses Harry Doan Sinaga***

Keadilan pada dasarnya merupakan harapan setiap orang. Dalam hidup bersosial dan bermasyarakat, keadilan mempengaruhi tata tertib setiap individu.Oleh karena itu, keadilan juga menuntut persamaan kedudukan dan derajat setiap warga negara di depan hukum. Namun, di beberapa aspek hukum dalam prakteknya terdapat hal-hal yang tidak adil yang disebabkan karena antara warga negara yang satu dan warga negara yang lain tidak sama kedudukannya dan derajatnya di depan hukum.Dalam hal ini ketidakadilan terjadi dalam hak setiap warga negara untuk mendapatkan bantuan hukum atas sengketa antara pihak yang merasa dirugikan dan pihak yang dianggap merugikan orang tersebut. Ketidakadilan itu terjadi karena untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut diperlukan biaya yang tidak murah dari seorang ahli hukum yang mau membela kepentingannya sehingga mereka yang tidak bisa membayar biaya tersebut tidak bisa mendapat bantuan hukum. Beranjak dari hal tersebut Lembaga Bantuan Hukum sebagai Advokat memiliki peran strategis dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu atas sengketa Hukum Privat.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah mengenai gambaran umum tentang Undang-Undang nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum, dan fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Normatif, yaitu metode gabungan yang bersifat normatif untuk meneliti asas hukum serta peraturan yang berkaitan dengan bantuan hukum melalui buku, majalah hukum,artikel dan bantuan hukum lainnya, serta metode yang bersifat empiris, dimana penulis berusaha mendapatkan data primer atau data yang didapat langsung dari penelitian lapangan, dalam hal ini pada bagian fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam proses penyelesaian perkara perdata.

Undang-undang tentang Bantuan Hukum belum memberikan ruang lingkup dan batasan yang jelas pada Lembaga Bantuan Hukum, sejarah dan perkembangan Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bagaimana pemberian hukum kepada masyarakat kurang mampu tetap terus diperjuangkan, dan fungsi dan peranan Lembaga Bantuan Hukum masih belum terealisasi dengan baik.

** Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Mahasiswa