Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Sukrosa pada Media Air Kelapa Terhadap Produksi dan Karakteristik Fisik Selulosa Mikrobial Acetobacter xylinum

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Selulosa Mikrobial
Selulosa merupakan biopolimer dan makromolekul yang sangat penting di alam
yang diperkirakan lebih dari 1011 ton disintesis tiap tahunnya. Selulosa disintesis
oleh organisme yang sangat beragam (Brown, 2004). Organisme prokariot seperti
bakteri Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium dan beberapa bakteri patogen
juga dapat mensintesis selulosa (Zogaj et al., 2001). Organisme eukariot seperti
jamur, amoeba, dan algae dapat memproduksi selulosa dengan baik. Selulosa juga
disintesis oleh tumbuhan darat diantaranya lumut, tumbuhan paku, Angiosperma,
Gymnosperma, dan juga oleh algae air tawar dan air laut. Selulosa bahkan dapat
dihasilkan oleh beberapa hewan Tunicata (Kimura dan Itoh, 1995).
Selulosa merupakan senyawa kimia yang disusun oleh monomer glukosa
dengan ikatan β-1,4. Jumlah unit monomer glukosa yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produk yang tidak dapat larut sekitar 8 unit, diatas itu rantai glukan
memembentuk ikatan yang lebih kuat terhadap larutan air (Brown, 2004). Berikut
ini adalah gambar struktur dari selulosa:

Gambar 1.1Struktur Selulosa
(Sumber: Brown, 2004)

Selulosa mikrobial atau sering disebut juga selulosa bakterial merupakan
jenis selulosa yang dihasilkan oleh beberapa bakteri. Selulosa mikrobial dibentuk
dari ekstraselular nanofiber yang dihasilkan oleh beberapa jenis bakteri,
diantaranya Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium, dan Sarcina. Bakteri
menghasilkan pelikel selulosa pada permukaan media cair dengan kultur statik
(Torres et al., 2012). Selulosa ini lebih murni dibandingkan selulosa yang

5

dihasilkan oleh tumbuhan, karena tidak mengandung lignin, pektin, dan
hemiselulosa. Selulosa mikrobial merupakan selulosa yang memiliki bobot
mulekul tinggi, derajat polimerisasi tinggi, daya tarik tinggi, dan sangat hidrofilik
(Brown, 2004).

2.2 Acetobacter xylinum
A. xylinum merupakan bakteri non-patogen, gram-negatif, berbentuk
batang, aerob obligat, dan dapat menghasilkan selulosa ekstraseluler (Scionti,
2010). Bakteri ini membentuk biofilm selulosa pada permuakaan buah dan bunga
di alam. Pembentukan selulosa ini menguntungkan bagi bakteri seperti
menyebabkan bakteri dekat dengan nutrisi, melindungi dari musuh dan radiasi

UV, dan untuk mengangkat pada permukaan yang terdapat oksigen (Iguchi et al.,
2000).
A. xylinum menghasilkan selulosa sebagai metabolit sekunder, sedangkan
metabolit primernya adalah asam asetat. Semakin banyak kadar nutrisi maka akan
semakin cepat pertumbuhan sel dan semakin banyak selulosa yang terbentuk.
Faktor – faktor yang mempengaruhi A. xylinum dalam menghasilkan selulosa
yaitu sumber karbon, sumber nitrogen, pH, temperatur, dan metode kultivasi
(Çoban dan Biyik, 2011).
A. xylinum dapat menggunakan beberapa sumber karbon untuk
memhasilkan selulosa. Sumber karbon yang dapat digunakan diantaranya ialah
sorbitol, glukosa, laktosa, mannitol, maltosa, sukrosa, air kelapa, dan sari buahbuahan ( Ramana et al., 2000 ; Melliawati, 2008 ; Kurosumi et al., 2009).
Produksi selulosa mikrobial akan dipengaruhi oleh sumber karbon dan konsentrasi
yang digunakan. Sumber nitrogen yang dapat digunakan oleh A. xylinum dapat
berupa nitrogen organik maupun anorganik. Sumber nitrogen organik yang dapat
dimanfaatkan diantaranya ialah asam amino, monosodium glutamat, hidrolisat
protein, pepton, dan sari kacang kedelai (Son et al., 2003 ; Ramana et al., 2000).
Sedangkan sumber nitrogen anorganik yang sering digunakan ialah amonium
sulfat, diamonium hidrogen fosfat, dan pupuk ZA (Budhiono et al., 1999 ;
Melliawati, 2008). Menurut Ramana et al. (2000) sumber nitrogen organik atau


6

proteinaceous nitrogen juga dapat meningkatkan sintesis selulosa mikrobial oleh
A. xylinum.
A. xylinum merupakan bakteri yang hidup pada kondisi asam, sehingga pH
media pertumbuhan sangat mempengaruhinya. Menurut penelitian Çoban dan
Biyik (2011), A. xylinum pada umumnya tumbuh pada pH 3,5–8,5. Sedangkan pH
optimum untuk sintesis dan produksi selulosa mikrobial adalah pH 4-6 (Masaoka
et al., 1993). Suhu juga berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan
selulosa mikrobial. Suhu untuk pertumbuhan A. xylinum berkisar antara 28-31ºC.
Çoban dan Biyik (2011) menggunakan suhu kultivasi 22-37 ºC dalam
penelitiannya tetapi suhu optimal untuk menghasilkan selulosa mikrobial yaitu
30ºC.

2.3 Konsorsium Mikroba
Konsorsium mikroba telah banyak dipelajari terutama dalam proses fermentasi
makanan. Proses fermentasi makanan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
proses fermentasi yang tidak menggunakan kultur starter dan proses fermentasi
menggunakan kultur starter. Kultur starter yang digunakan dapat berupa isolat
tunggal atau kultur campuran. Proses fermentasi spontan maupun fermentasi yang

menggunakan starter, masih memungkinkan masuknya berbagai mikroba lain
yang akhirnya terlibat dalam proses fermentasi tersebut (Holzapfel, 2002). Proses
tersebut dapat pula melibatkan berbagai jenis bakteri terkultur maupun tidak
terkultur (Ampe et al., 1999).
Tahapan proses fermentasi dapat didominasi oleh mikroba yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena adanya kondisi pertumbuhan yang dibentuk oleh
komunitas mikroba dalam proses fermentasi (Ampe et al.,1999; Randazzo et al.,
2002; Ogier et al., 2004). Variasi jenis dan lokasi mikroba pada proses fermentasi
juga melibatkan perannya yang berbeda-beda. Adanya interaksi mikroba yang
berkorelasi secara negatif maupun positif dengan menekan pertumbuhan
organisme tertentu atau mendukung pertumbuhan organisme lain (Caplice &
Fitzgerald, 1999; Mounier et al., 2008). Perubahan populasi mikroba dalam suatu
proses fermentasi terjadi karena metabolit tertentu dapat dibentuk oleh mikroba
tertentu

untuk

menunjang

suksesinya


dengan

menciptakan

lingkungan

7

yangmemungkinkan pertumbuhannya (Van der Meulen et al., 2007). Jenis
mikroba berbeda dapat mensintesis metabolit berbeda walaupun pada bahan
makanan yangsama. Jenis metabolit yang disintesis pada bahan makanan tertentu
sangat dipengaruhi oleh jenis mikroba dalam proses fermentasinya (de Reu et al.,
1994; Bauman & Bisping, 1995; Denter et al., 1998; Hubert et al., 2008).
Proses fermentasi nata de coco tidak hanya melibatkan Acetobacter saja
tetapi juga melibatkan sejumlah bakteri lain yang secara genetik bervariasi.
Fermentasi nata dalam media yang tidak mengalami perlakuan pemanasan
meberikan hasil pertumbuhan Acetobacter dan nata yang lebih baik dibandingkan
dengan media yang diberikan perlakuan pemanasan. Hal ini dikarenakan adanya
simbiosis yang baik dengan bakteri atau mikroorganisme lain dalam media
fermentasi tanpa pemanasan (Seumahu, 2005).


2.4 Amonium Sulfat
Amonium sulfat atau ZA (Zwavelzuur Ammoniak) merupakan senyawa kimia
dengan rumus (NH4)2SO4 yang berbentuk kristal dan umumnya berwarna putih.
Senyawa ini mengandung nitrogen antara 20,4-21 %, bersifat tidak higroskopis
dan baru akan menyerap air bila kelembapan nisbi sudah mencapai 80 % pada
suhu 3 ºC. Sedangkan SNI 02-1760-2005 mensyaratkan kandungan nitrogen
untuk amonium sulfat minimal 25 %. Pupuk ZA merupakan sumber nitrogen yang
biasanya digunakan untuk tanaman dan dalam proses pembuatan pupuk ini
menggunakan katalis logam. Hasil penelitian Kholifah (2010), penggunaan pupuk
ZA sebagai sumber nitrogen menghasilkan nata de coco mentah yang
mengandung logam Cu, Zn, dan Pb. Setelah dilakukan pengolahan lebih lanjut
seperti pencucian, perebusan, penekanan, dan pengembangan, kandungan logam
pada nata de coco menurun sehingga memenuhi persyaratan dalam SNI 01-43171996.
Amonium

sulfat

merupakan


sumber

nitrogen

yang

merangsang

pertumbuhan bakteri A. xylinum untuk mempruduksi selulosa mikrobial. Selain
amonium sulfat, beberapa sumber nitrogen yang dapat digunakan antara lain
ekstrak khamir, pepton, kalium nitrat, dan amonium fosfat. Senyawa ini pada

8

umumnya lebih sering digunakan karena harganya relatif murah dan mudah
diperoleh (Saragih, 2004).
Sumber nitrogen yang optimum dalam menghasilkan selulosa mikrobial
sangat bervariasi sesuai dengan sumber karbon dari media yang digunakan.
Diantara beberapa sumber nitrogen yang telah dipelajari, pepton, amonium sulfat,
dan hidrolisat kasein lebih baik untuk sintesis selulosa mikrobial dengan satu

sumber karbon seperti sukrosa, glukosa maupun manitol (Ramana et al., 2000).
Hasil penelitian Kholifah (2010) menyatakan bahwa penambahan pupuk ZA
sebagai sumber nitrogen dengan konsentrasi 0,4 %, 0,6 %, 0,8 %, 1 %, dan 1,2 %
tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap rendemen, ketebalan, warna dan
kekerasan selulosa mikrobial.

2.5 Sukrosa
Sukrosa atau gula pasir merupakan senyawa karbohidrat yang digunakan sebagai
pemanis dalam industri pangan yang berasal dari bit atau tebu. Sukrosa adalah
gula utama yang digunakan dalam industri pangan (Buckle et al., 1985). Winarno
(1980) menyatakan industri-industri makanan biasa menggunakan sukrosa dalam
bentuk kristal halus atau kasar dan jika penggunaannya dalam jumlah banyak
maka digunakan dalam bentuk cair. Sukrosa adalah disakarida yang banyak
terdapat pada tebu, bit, siwalan, dan kelapa kopyor.
Sukrosa berfungsi sebagai sumber karbon bagi A. xylinum. Gula ini pada
umumnya digunakan untuk memproduksi selulosa mikrobial karena mudah
diperoleh dan harganya relatif murah. Gula yang digunakan adalah gula yang
berwarna putih dengan tujuan agar menghasilkan selulosa mikrobial yang
berwarna putih bersih (Saragih, 2004).
Sumber karbon yang baik untuk meningkatkan produktivitas selulosa

mikrobial adalah manitol, sukrosa, dan glukosa. Konsentrasi uptimum sukrosa
untuk produksi selulosa berada diantara 60 g/l, hampir sama dengan manitol dan
glukosa yang optimum pada konsentrasi 70 g/l. Sukrosa, manitol, dan glukosa
digunakan sebagai sumber karbon yang optimal untuk produksi selulosa apabila
kasein hidrolisat, pepton, glutamat atau amonium sulfat digunakan sebagai
sumber karbon. Sumber karbon yang lain, seperti sorbitol, galaktosa, maltosa, pati

9

dan asam asetat menghasilkan jumlah selulosa yang rendah. Jumlah selulosa yang
dihasilkan dari sumber karbon tersebut adalah 0,4 - 2 g/l (Ramana et al., 2000).

2.6 Air Kelapa
Air kelapa merupakan bagian dari buah kelapa yang biasanya tidak digunakan lagi
setelah pengolahan kelapa. Kandungan nutrisi yang tinggi pada air kelapa sangat
cocok digunakan sebagai media pertumbuhan A. xylinum. Air kelapa mengandung
karbohidrat seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, sorbitol, 5-inositol, dan galaktosa
(Ketaren, 1978). Nilai kalori yang terdapat di dalam air kelapa sebesar 17,4
kalori/100 gram bahan (Vigliar et al., 2006). Air kelapa juga mengandung mineral
yang cukup tinggi (Kwiatkowski et al., 2008). Menurut penelitian Lestari et al.

(2014), air kelapa merupakan media yang lebih efisien dalam pembentukan
selulosa mikrobial dibandingkan dengan media ekstrak nenas.

Tabel Komposisi Kimia Air Kelapa
Komponen
Air
Kalium
Zat padat total
Gula total
Gula reduksi
Kalium oksida
Mineral (abu)
Magnesium oksida
Asam fosfat
Zat besi
Nitrogen

%
95,50
6,60

4,71
2,78
0,80
0,69
0,62
0,59
0,56
0,50
0,05

Sumber: Sutarminingsih, 2004

Air kelapa yang umum digunakan untuk pembuatan nata de coco adalah
yang berasal dari kelapa tua dan sebaiknya yang baru dipetik dari pohon disimpan
sebelum digunakan (Saragih, 2004). Komposisi air kelapa terutama kandungan
gulanya dipengaruhi oleh umur air kelapa. Semakin tua umur buah kelapa maka
kandungan fruktosa dan glukosanya akan meningkat, sedangkan kandungan
sukrosanya akan menurun (Vigliar et al., 2006). Menurut Zambreet al. (2002) air
kelapa kurang tahan selama penyimpanan dan kompenen gula yang terdapat

10

didalamnya mudah mengalami fermentasi spontan sehingga rasanya cepat
menjadi asam.Lama penyimpanan air kelapa juga mempengaruhi pembentukan
selulosa mikrobial oleh A. xylinum. Produksi selulosa mikrobial akan lebih baik
jika media air kelapa yang digunakan disimpan dahulu selama 3 hari sebelum
dipakai (Melliawati et al., 1998).

2.7 Aplikasi Selulosa Mikrobial
Selulosa mikrobial memiliki banyak kegunaan, salah satunya adalah untuk
makanan. Selulosa mirkobial atau lebih dikenal dengan nata de coco banyak
mengandung serat serta tidak mengandung lemak dan kolesterol. Penghasil nata
de coco sebagian besar berasal dari negara-negara Asia Timur seperti Filipina,
Indonesia, Thailand, China, Vietnam, dan Malaysia. Filipina dan Indonesia adalah
negara pengekspor nata de coco paling tinggi. Produksi nata de coco mengalami
peningkatan setiap tahunnya, tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga untuk
dieksport ke Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan Timur Tengah (Gama et al.,
2013).
Selain untuk makanan, nata de coco juga dapat digunakan untuk aplikasi
lain. Sifat selulosa mikrobial yang unik seperti tingginya kemurnian, daya simpan
air, dan daya tarik sehingga sangat cocok diaplikasikan untuk pembuatan masker
wajah. Masker wajah yang berasal dari selulosa mikrobial lebih fleksibel, tipis
tetapi kuat, dan sangat bagus membawa zat aktif kosmetik. Selulosa mikrobial
juga tidak toksik dan mempercepat pertumbuhan sel kulit (Amnuaikitet al., 2011).
Aplikasi selulosa mikrobial juga banyak dipelajari di bidang biomedis,
seperti pembuatan pembuluh darah buatan dan pengganti maniscus pada sendi
(Scionti, 2010). Selain dibidang biomedis, selulosa mikrobial dapat diaplikasikan
pada bidang industri. Beberapa industri yang menggunakan selulosa mikrobial
adalah industri tekstil, laundry dan deterjen, makanan hewan, kertas, dan bahan
bakar (Sukumaran et al., 2005).