Budaya Bunuh Diri Di Jepang

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mengenai bunuh diri (jisatsu) di Jepang telah ditemukan sejak zaman feodalisme dimana kekuasaan ada pada kelompok militer atau bushido, yaitu antara tahun 1185 – 1867. Dalam kelompok bushi, bunuh diri dikenal dengan istilah seppuku. Istilah seppuku secara harafiah memiliki arti memotong perut. Berikut ini adalah kasus seppuku yang dilakukan oleh para samurai :

Shirai, seorang samurai kelas bawah pengikut Shimizu Munehara (1537 – 1582) memotong perutnya sendiri di depan tuannya. Pada saat itu Tomoyo Hideyoshi (1539-1593) mengalahkan pasukan Mori Motonari yang berada di bawah kekuasaan Shimizu. Sebagai tanda kemenangan Tomoyo meminta Shimizu melakukan tindakan seppuku. Shirai sebagai pengikut setia Shimizu melakukan tindakan seppuku di depan tuannya dan sambil berkata “melakukan seppuku tidaklah sulit “.

Seppuku adalah salah satu bentuk jisatsu (bunuh diri) yang dilakukan para samurai Jepang sebagai kunci disiplin dalam kode etik kesatria Jepang. Ciri khas dalam kehidupan masyarakat Jepang yang paling menonjol adalah kehidupan


(2)

berkelompok. Mereka lebih memberatkan kehidupan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Peranan individu diakui dan dihargai, akan tetapi selalu berada di bawah penanan kelompok. Peranan kelompok yang lebih penting daripada peranan individu tidak hanya berlaku bagi anggota kelompok, tetapi juga kepada pimpinan kelompok. Pimpinan kelompok tidak akan menempatkan posisi dirinya diatas anggota kelompoknya melainkan tetap sebagai bagian dari anggota kelompok tersebut, karena orang Jepang hidup hanya akan lebih berarti apabila berada di dalam suatu kelompok. Hidup sendiri tanpa keberadaan dan pengakuan kelompoknya adalah suatu bentuk penderitaan besar. Oleh karena itu seseorang di Jepang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima dalam kelompoknya dengan cara menjunjung tinggi loyalitas. Pada masa itu, seppuku dipandang sebagai salah satu bentuk sifat loyalitas dan penghormatan kepada tuan dan kelompoknya.

Di luar Jepang lebih dikenal dengan sebutan hara-kiri(腹切)namun memiliki arti yang sama dengan seppuku (切腹)yaitu “memotong perut” hanya saja urutan aksara kanji yang berbeda. Kanji dalam seppuku terdiri dari dua huruf yaitu切 (kiru) berarti potong dan 腹 (hara) berarti perut secara harafia seppuku berarti memotong perut. Seppuku adalah bagian dari kode kehormata dilakukan secara sukarela oleh samurai yang menginginkan mati terhormat daripada tertangkap musuh (da yang telah melakukan pelanggaran serius, atau dilakukan berdasarkan perbuatan lain yaseppuku dilakukan di hadapan para


(3)

saksi mata, samurai menusukkan sebuah pedang pendek, biasanya sebua arah perut, dan menggunakan pedang pendek tersebut untuk melakukan gerakan mengiris perut dari arah kiri ke kanan.. Harakiri juga terdiri dari dua huruf kanji yang sama dengan huruf kanji seppuku akan tetapi susunan huruf yang berbeda dan memiliki arti yang sama pula. Istilah harakiri mulai dikenal luas di dunia Barat sejak orang bangsa Eropa yang tinggal di Jepang menjadi saksi mata peristiwa seppuku

yang menyertaiseppuku tidak

diketahui oleh bangsa Eropa pada umumnya. Pada saat itu istilah “memotong perut” lebih diketahui dengan sebutan hara-kiri. Sehingga sampai sekarang di luar Jepang, bunuh diri disebut dengan istilah hara-kiri. Namun seiring berkembangnya zaman, di Jepang istilah untuk bunuh diri sekarang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (mengakhiri hidupnya sendiri).

Bunuh diri atau biasa disebut dengan jisatsu tetap menjadi fenomena di Jepang hingga sekarang ini. Dibuktikan dengan adanya catatan dari Badan Kepolisian Nasional Jepang yang mengatakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 30.000 orang meninggal akibat kasus bunuh diri.

Berikut tabel angka kematian bunuh diri dan selisih angka kematian bunuh diri di Jepang dari tahun 2011 hingga tahun 2010


(4)

Tahun

(年)

Angka Kematian

(死亡数)

Angka Bunuh Diri

(自殺数)

2011(平成23年) 1.253.463

31.690

2010(平成22年) 1.197.012

33.334

Selisih 56. 451

1.644

(〒100-8916 東京都千代田区霞が関 1-2-2 電話:03-5253-1111(代表) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)

Dari table angka kematian akibat bunuh diri di Jepang ini terlihat dari tahun 2011 sampai tahun 2010 mengalamai penurunan akan tetapi di Jepang angka kematian akibatbunuh diri merupakan angka kematian yang cukup tinggi . Angka ini merupakan angka empat kali lipat jumlah kematian di Jepang yang disebabkan oleh kecelakaan. Dengan angka kematian akibat bunuh diri yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya berbagai macam-macam istilah mengenai bunuh diri itu sendiri, dapat dikatakan bahwa dewasa ini bunuh diri merupakan fenomena sosial yang telah menjadi suatu bentuk budaya di Jepang. Sekarang yang membedakan bunuh diri pada masa feodal dengan masa modern ini adalah ada pada siapa yang


(5)

melakukan, apa motif dibalik bunuh diri tersebut, dan bagaimana bentuk bunuh diri yang dilakukan (http://viva.com).

Pada masyarakat Jepang di masa modern ini, bunuh diripun mengalami perubahan. Berikut beberapa kasus yang dikutip dari buku Edizal (Takayuki Inohana) (2002 : 58)

“Seorang murid yang berusia 13tahun di Osaka setelah menulis pesan kematiannya dengan kapur di papan tulis berbunyi “ Saya mohon maaf sedalam-dalamnya dengan akhir yang begini…….. Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang selama ini mengasuh saya. Maaf……” lalu melompat dari atas gedung tertinggi sekolahnya.

“Satu keluarga di Tokyo melakukan tindakan bunuh diri dengan memutuskan saluran pipa gas rumah lalu menghirup gas tersebut secara bersamaan. Mereka melakukan tindakan ini karena ketidakmampuan menjalankan hidup yang saat berat. Kepala keluarga kehilangan pekerjaan dan anggota lainnya melakukan tindakan yang memalukan. Sang ayah dan ibu meninggalkan uang sebesar 400 yen yang digunakan untuk membakar mayat mereka dengan melampirkan surat yang bertuliskan “Maafkan kami”

Dari kedua contoh kasus di atas, ada dua cara yang dilakukan untuk bunuh diri. Dari kasus pertama dijelaskan bahwa seorang putri remaja melakukan


(6)

tindakan bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi dan pada kasus kedua dijelaskan bahwa satu keluarga tersebut bunuh diri dengan cara menghirup gas beracun. Oleh karena itu, perbedaan bentuk bunuh diri dari zaman dahulu dengan zaman sekarang di masyarakat Jepang tampak dari cara pelaku melakukan tindakan bunuh diri.

Pada masa tradisional, bunuh diri yang dilakukan oleh kaum samurai hanya menggunakan sebilah benda tajam (pisau atau pedang panjang) untuk melakukan seppuku atau potong perut, namun pada saat sekarang ini bunuh diri di Jepang dilakukan dengan cara yang modern, yaitu dengan cara meracuni diri sendiri, memotong urat nadi, loncat dari gedung tinggi, gantung diri, dan yang lainnya.

Perubahan bunuh diri dari masa feodalisme di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas terhadap tuannya bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

Sepanjang tahun 2011, kasus bunuh diri di Jepang dengan motif kesehatan terjadi sebanyak 41 % dari keseluruhan kasus, 29 % dari motif ekonomi, 10 % dari motif keluarga, 7 % dari motif pekerjaan, 3 % dari motif percintaan, 1 % dari motif sekolah dan 9 % dari motif lain-lainnya. Seorang psikolog dari bernama Rooswita, mengatakan bahwa depresi menjadi dasar permasalahan dalam sebagian besar motif pada kasus bunuh diri di Jepang dewasa ini.


(7)

Pada masyarakat Jepang saat sekarang ini cenderung memiliki kehidupan yang bersifat “sendiri”. Seorang psikologi yang bernama Drajat S. Soemitro menambahkan munculnya sebuah gejala hubungan interpersonal yang semakin fungsional mengakibatkan tekanan isolasi (kesendirian) dan keterasingan yang semakin kuat, sehingga seorang akan mudah merasa kesepian dan memikul beban hidup yang semakin berat sendirian ditengah-tengah ketidakpedulian lingkungan. Pendapat psikolog ini sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Jepang saat ini.

Kegagalan dalam menjalankan tanggung jawab terhadap tugas juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri. Bagi masyarakat Jepang mengakhiri hidup sendiri ditunjukkan sebagai ekspresi ketidakmampuan untuk mempertahankan hidup ditengah modernisasi yang telah ada saat ini dan sebagai bentuk dari ketidakmampuan membalas jasa baik orang sebagai perwujudan dari rasa malu tertinggi yang ada.

Berdasarkan penjelasan yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini adalah fenomena bunuh diri di Jepang yang telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat Jepang. Hal inilah yang mendasarkan penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan skripsi ini dengan judul “ Budaya Bunuh Diri di Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

Budaya bunuh diri merupakan salah satu tema yang sangat menarik perhatian dari sekian tema tentang budaya Jepang. Sebagaimana telah diketahui,


(8)

bunuh diri di masyarakat Jepang telah ada pada zaman feodalisme di Jepang. Tindakan bunuh diri yang dilakukukan pada zaman feodalisme di Jepang dilakukan oleh para samurai di Jepang sebagai perwujudan dari rasa ketidakmampuan samurai membalas jasa baik tuannya dan sebagai bentuk loyalitas dan penghormatan terhadap tuannya serta kelompoknya. Namun, seiring berjalannya waktu bunuh diri yang dilakukan masyarakat Jepang berubah menjadi budaya yang melekat dalam diri masyarakat tersebut. Perubahan bunuh diri dari masa feodalisme di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas terhadap tuannya bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

Adapun permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana fenomena bunuh diri di Jepang pada saat ini?

2. Bagaimana pergeseran bunuh diri dari zaman feodalisme sampai pada masa sekarang ini dilihat dari motif-motif dan bentuk buunuh diri pada masyarakat jepang dewasa ini?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk memudahkan dalam menganalisa topik permasalahan, peneliti membatasi ruang lingkup pembahasan. Sehingga masalah yang akan dibahas lebih terarah.


(9)

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada budaya bunuh diri di Jepang. Dimana di dalam skripsi ini ruang lingkup pembahasan tersebut meliputi pengertian bunuh diri, motif dan bentuk-bentuk bunuh diri serta pergeseran bunuh diri yang dilakukan pada masa feodalisme sampai pada masa sekarang ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Semiawan (2010) tinjuan pustaka atau literature review adalah bahan yang tertulis berupa buku, jurnal yang membahas tentang topik yang hendak diteliti.

Sehingga dapat disimpulakn bahwa tinjauan pustaka adalah bahasan atau bahan-bahan bacaan yang terkait dengan suatu topik yang memuat uraian tentang data yang sebenarnya.

Jepang merupakan salah satu negara yang sangat maju di dunia, yang mempunyai berbagai masalah-masalah hidup yang sangat kompleks. Jepang juga merupakan salah satu negara yang mempunyai beranekaragam budaya. Budaya yang telah ada sejak zaman feodal hingga saat ini adalah budaya bunuh diri. Salah satu budaya bunuh diri yang terkenal pada zaman dahulu adalah seppuku. Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan bangsa lain, seppuku pada zaman feodal biasanya dilakukan oleh kelas samurai atau prajurit Jepang dimana mereka rela mati bunuh diri untuk menunjukkan loyalitas, kesetian dan menghargai tuannya. Fenomena bunuh


(10)

diri dalam masyarakat sekarang ini berkaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat pada zaman feodal dahulu, akan tetapi mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor perubahan zaman yang semakin maju dan kompleks.

Pada dasarnya kehidupan masyarakat Jepang merupakan kehidupan yang memiliki sifat individualisme, yang artinya kehidupan pribadi setiap individu tidak akan diketahui oleh individu lain dan masalah yang ada dalam setiap individu tidak ada hubungannya dengan individu lain. Hal ini menyebabkan terciptanya suatu sifat individualistis yang terlalu tinggi, sehingga mereka melakukan tindakan keputus asaannya melalui bunuh diri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bunuh diri merupakan suatu wujud budaya Jepang karena bunuh diri merupakan aktifitas dan tindakan yang dilakukan dengan pola atau bentuk yang sama oleh orang Jepang dalam masyarakatnya.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa ada fenomena masyarakat Jepang yang mempunyai kegilaan untuk mati dan tidak takut untuk mati. Karena kematian dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan baik.

1.4.2 Kerangka Teori

Teori merupakan asas atau hukum-hukum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori adalah aturan (tuntutan kerja) untuk melakukan sesuatu, menurut Moelinio dalam Sangidu (2007:13).


(11)

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berfikir deduktif yang bergerak dari abstrak ke alam konkret.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis ini adalah pendekatan yang menekankan rasionalitas dan realitas budaya serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam penelitian ini juga, penulis melakukan pendekatan teori bunuh diri. Seorang sosiologis klasik Emile Durkheim mengatakan penyebab bunuh diri merupakan pengaruh integrasi sosial. Peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang memiliki latar belakang alasan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Berbicara mengenai budaya bunuh diri di Jepang erat sekali kaitannya dengan sejarah Jepang itu sendiri. Sejarah merupakan deskripsi terpadu yang terdiri dari keadaan-keadaan dan fakta-fakta masa lampau yang berdasarkan studi kasus untuk mencari kebenaran. Selain itu dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan kerangka teori pendekatan historis atau pendekatan sejarah.


(12)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Tujuan dari peenlitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan kehidupan sosial masyarakat Jepang yang melakukan tindakan bunuh diri.

2. Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam konsep bunuh diri di Jepang dari zaman feudal pada masa sekarang ini.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang budaya Jepang khususnya tentang budaya bunuh diri di Jepang.

2. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan pembaca tentang budaya-budaya Jepang yang ada.

1.6 Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah : cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Menurut Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak


(13)

dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang dikehendaki (http://carapedia.com).

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Menurut Koentjaraningrat dalam Citra (2006:12), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Penulis juga mengunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas individu yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian. Data yang diperoleh tersebut diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat ditarik kesimpulan (Nasution, 1996:14).

Disamping itu penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di internet yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang


(14)

didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa dan kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan hasil berupa kesimpulan.


(1)

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada budaya bunuh diri di Jepang. Dimana di dalam skripsi ini ruang lingkup pembahasan tersebut meliputi pengertian bunuh diri, motif dan bentuk-bentuk bunuh diri serta pergeseran bunuh diri yang dilakukan pada masa feodalisme sampai pada masa sekarang ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Semiawan (2010) tinjuan pustaka atau literature review adalah bahan yang tertulis berupa buku, jurnal yang membahas tentang topik yang hendak diteliti.

Sehingga dapat disimpulakn bahwa tinjauan pustaka adalah bahasan atau bahan-bahan bacaan yang terkait dengan suatu topik yang memuat uraian tentang data yang sebenarnya.

Jepang merupakan salah satu negara yang sangat maju di dunia, yang mempunyai berbagai masalah-masalah hidup yang sangat kompleks. Jepang juga merupakan salah satu negara yang mempunyai beranekaragam budaya. Budaya yang telah ada sejak zaman feodal hingga saat ini adalah budaya bunuh diri. Salah satu budaya bunuh diri yang terkenal pada zaman dahulu adalah seppuku. Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan bangsa lain, seppuku pada zaman feodal biasanya dilakukan oleh kelas samurai atau prajurit Jepang dimana mereka rela mati bunuh diri untuk menunjukkan loyalitas, kesetian dan menghargai tuannya. Fenomena bunuh


(2)

diri dalam masyarakat sekarang ini berkaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat pada zaman feodal dahulu, akan tetapi mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor perubahan zaman yang semakin maju dan kompleks.

Pada dasarnya kehidupan masyarakat Jepang merupakan kehidupan yang memiliki sifat individualisme, yang artinya kehidupan pribadi setiap individu tidak akan diketahui oleh individu lain dan masalah yang ada dalam setiap individu tidak ada hubungannya dengan individu lain. Hal ini menyebabkan terciptanya suatu sifat individualistis yang terlalu tinggi, sehingga mereka melakukan tindakan keputus asaannya melalui bunuh diri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bunuh diri merupakan suatu wujud budaya Jepang karena bunuh diri merupakan aktifitas dan tindakan yang dilakukan dengan pola atau bentuk yang sama oleh orang Jepang dalam masyarakatnya.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa ada fenomena masyarakat Jepang yang mempunyai kegilaan untuk mati dan tidak takut untuk mati. Karena kematian dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan baik.

1.4.2 Kerangka Teori

Teori merupakan asas atau hukum-hukum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori adalah aturan (tuntutan kerja) untuk melakukan sesuatu, menurut Moelinio dalam Sangidu (2007:13).


(3)

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berfikir deduktif yang bergerak dari abstrak ke alam konkret.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis ini adalah pendekatan yang menekankan rasionalitas dan realitas budaya serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam penelitian ini juga, penulis melakukan pendekatan teori bunuh diri. Seorang sosiologis klasik Emile Durkheim mengatakan penyebab bunuh diri merupakan pengaruh integrasi sosial. Peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang memiliki latar belakang alasan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Berbicara mengenai budaya bunuh diri di Jepang erat sekali kaitannya dengan sejarah Jepang itu sendiri. Sejarah merupakan deskripsi terpadu yang terdiri dari keadaan-keadaan dan fakta-fakta masa lampau yang berdasarkan studi kasus untuk mencari kebenaran. Selain itu dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan kerangka teori pendekatan historis atau pendekatan sejarah.


(4)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Tujuan dari peenlitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan kehidupan sosial masyarakat Jepang yang melakukan tindakan bunuh diri.

2. Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam konsep bunuh diri di Jepang dari zaman feudal pada masa sekarang ini.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang budaya Jepang khususnya tentang budaya bunuh diri di Jepang.

2. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan pembaca tentang budaya-budaya Jepang yang ada.

1.6 Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah : cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Menurut Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak


(5)

dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang dikehendaki (http://carapedia.com).

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Menurut Koentjaraningrat dalam Citra (2006:12), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Penulis juga mengunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas individu yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian. Data yang diperoleh tersebut diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat ditarik kesimpulan (Nasution, 1996:14).

Disamping itu penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di internet yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang


(6)

didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa dan kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan hasil berupa kesimpulan.