Seppuku : Telaah Religiositas Dalam Upacara Bunuh Diri Ala Jepang

(1)

Seppuku

:

Telaah Religiositas Dalam Upacara Bunuh Diri

ala

Jepang

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh :

Yasser Atmanegara Batubara

NIM : 103032127707

PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Seppuku

:

Telaah Religiositas Dalam Upacara Bunuh Diri

ala

Jepang

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddi & Filasafat untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh :

Yasser Atmanegara Batubara NIM : 103032127707

Pembimbing

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA NIP : 150273476

PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul Seppuku : Telaah Religiositas Dalam Upacara Bunuh Diri ala Jepang telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th.I.) pada Program Studi Perbandingan Agama

Jakarta, 18 Juni 2008

Sidang Munaqasyah Ketua merangkap anggota,

Dr. Masri Mansoer, MA NIP. 150244493

Sekretaris merangkap anggota,

Maulana, MA NIP. 150293221 Anggota

Dra. Hermawati, MA. NIP. 150227408

Media Zainul Bahri, MA. NIP. 150326894 Dibawah bimbingan,

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA. NIP . 150273478


(4)

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta yang telah menciptakan dunia dengan segala isinya, merawatnya, dan menetapkan hukum-hukum yang tetap bagi mahluknya. Segala upaya dan kerendahan hati, kusandarkan kepada-Nya.

Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Muhammad saw. Pria yang belum pernah kutemui namun darinya kudapatkan pelajaran kesabaran dan kebenaran. Semoga Allah menempatkan ia disisi-Nya. Amma ba‟du.

Sebuah kebahagiaan menulis kata pengantar ini di sudut subuh sunyi. Merasakan ketenangan alam seraya mendengarkan sayup adzan. Mungkinkah para pelaku seppuku juga mengalami ketenangan semacam ini?. Tak ada yang tahu

pasti. Dari pernyataan yang ditinggalkan mereka, nampak jelas pelaku seppuku

dengan segala tanggung jawab dan penuh kesadaran menyerahkan nyawanya pada satu nilai, kesetiaan.

Seperti yang dapat kita temukan dalam penjelasan lebih lanjut, seppuku

memang dilakukan oleh golongan samurai untuk menunjukkan keberanian dan kesetiaannya. Budaya dan tradisi Jepang yang mendukung perilaku bunuh diri menempatkan pelaku seppuku sebagai seorang pahlawan yang agung dan gagah

berani. Sebuah anomali dalam kebudayaan kita di Indonesia.

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian saya yang disusun sebagai sebuah tugas akhir dari perkuliahan. Dalam pelaksanaan penelitian ini saya berhutang budi kepada banyak orang. Sejak masih dalam tahap perencanaan hingga tahap perampungan, tak terhitung banyaknya pihak-pihak yang membantu saya baik langsung maupun tidak langsung, untuk itu saya ucapkan terima kasih.


(5)

Di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, kepada para Pudek, Kajur, Sekjur serta segenap dosen jurusan Perbandingan Agama, tempat dimana saya menuntut ilmu.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih yang dalam kepada Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok yang dengan sabar dan ketulusannya membimbing saya dalam penyusunan karya tulis ini.

Kepada segenap petugas dan karyawan Perpustakaan The Japan Foundation, The Jappanese Culture Centre Universitas Indonesia, Perpustakaan Universitas Dharma Persada, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saya juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dan sambutannya selama ini.

Kepada Ibunda Ummi Salamah Lubis dan Ayahanda Ischaq Batubara (alm.) salam penuh takzim penulis haturkan untuk segala keikhlasannya. Kepada saudara serahim-ku Wirdhati Annamiroh, Purnama Ari Sandi dan Rima Pratiwi, terima kasih untuk kebersamaan ini.

Yang tidak kulewati adalah terima kasih kepada keluarga H. Agusli dan Hj. Hariyanti Sunarsih di Semarang yang banyak memberikan dukungannya kepadaku dalam penyelesaian studi ini. Kepada Hasanul Arifien, tempatku berdiskusi. Kepada kawan-kawan Perbandingan Agama 2003 khususnya ”the platonikers”, terima kasih telah menghadirkan episode indah dalam hidupku.

Sujud syukur kubaktikan kepada Allah SWT yang telah menciptakan alam-Nya yang ramah kepadaku, menciptakan bintang yang menunjukkan kepadaku arah, yang menghadirkan malam yang memberikan kepadaku


(6)

ketenangan, yang menerbitkan mentari untuk menyampaikan kepadaku kehangatan dan melengkapinya dengan embun pagi yang menghadiahkan kepadaku kesejukan. Terima kasih.

Terakhir, kepada mereka, orang-orang yang menjadi penyemangat dan pengingat bahwa tugas ini tetap harus diselesaikan. Kepada merekalah, karya kecil ini kupersembahkan.

Jakarta, 30 Mei 2008


(7)

Daftar Isi

Kata pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 3

C. Tujuan penulisan ... 4

D. Kajian konsep dan teori ... 4

E. Metodologi penelitian ... 9

F. Sistematika penulisan ... 11

Bab II Sejarah singkat Jepang ... 13

Bab III Temuan-temuan penelitian A. Pengertian seppuku ... 22

B. Catatan sejarah seppuku ... 24

C. Jenis dan makna seppuku ... 31

D. Pola dan teknik seppuku ... 34

E. Tata cara dan formalitas pelaksanaan seppuku ... 36

Bab IV Nilai-nilai agama pada upacara seppuku A. Agama di Jepang dan bunuh diri ... 44

B. Makna konsep, aktivitas serta instrumen yang mendukung seppuku .. 53

Bab V Kesimpulan ... 74 Daftar Pustaka


(8)

BAB I

Seppuku :

Telaah Religiositas Dalam Upacara Bunuh Diri ala Jepang

A. Latar belakang

Semakin hari semakin banyak saja pemberitaan mengenai bunuh diri di tengah masyarakat. Tingginya tingkat stress dan depresi yang dialami individu dianggap sebagai pemicu utama perilaku ini. Faktornya bisa apa saja mulai dari asmara, kesulitan ekonomi, tekanan sosial sampai kegagalan seseorang dalam interaksi sosial.1

Tingginya angka bunuh diri ini juga terlihat dari data yang dikeluarkan WHO tahun 2000. Menurut laporan ini bunuh diri menjadi penyebab nomor tiga kematian orang-orang dengan usia antara 15-44. Angka bunuh diri dunia juga meningkat tajam, 60 persen dalam 45 tahun terakhir atau 16 : 100.000 orang. Dalam satu tahun kira-kira satu juta orang yang melakukan bunuh diri, ini artinya satu kematian dalam 40 detik!.2

Bunuh diri selama ini memang terkesan cenderung bersifat keduniawian dan tak ada kaitannya dengan agama. Anggapan ini tidak lepas dari motivasi yang

1 Misalnya kasus bunuh diri yang dilakukan Junania Mercy (35), seorang ibu dari Malang

yang bunuh diri setelah terlebih dulu membunuh keempat anak kandungnya. Dari surat wasiat yang ditulisnya dan dari saksi-saksi yang diperiksa polisi diketahui Junania melakukan tindakannya akibat masalah ekonomi yang dialami keluarganya. Lihat “Kasus Bunuh Diri Massal di Malang Dianggap Selesai” ANTARA NEWSedisi 13/03/07. Berita diakses tanggal 1 Mei 2008 dari http://www.antara.co.id/arc/2007/3/13/kasus-bunuhdiri-massal-di-malang-dianggap-selesai/; Heryanto (12) seorang murid SD di Garut, Jawa Barat, mencoba untuk menggantung dirinya sendiri karena malu belum melunasi iuran kegiatan ekstrakurikuler sebesar Rp. 2500 di sekolahnya. Meskipun selamat, jaringan otaknya dinyatakan rusak. Lihat Tempo edisi 20-26 Oktober 2003.

2 Dikutip dari “suicide statistics” www.befriendsterindia.com akses tanggal 17 April


(9)

melatarbelakangi tindakan bunuh diri. Kebanyakan dari masyarakat bahkan menganggapnya sebagai tindakan yang menentang agama. Namun sebenarnya pada beberapa kasus bunuh diri, pandangan keberagamaan seseorang juga ditemukan dalam motivasi dilakukannya hal ini.

Keterkaitan antara bunuh diri dengan agama sebenarnya adalah suatu hal yang mungkin. Sebagai seorang individu dalam sebuah kebudayaan, yang salah satunya adalah agama, seseorang tentu mewarisi kebudayaan tempat dimana ia tinggal dan tumbuh. Kebudayaannya itulah yang sering kali tercermin dalam setiap pikiran, perasaan dan tindakan orang tersebut, termasuk bunuh diri.

Beberapa praktek bunuh diri diberbagai belahan dunia diketahui menempatkan alasan keberagamaan sebagai motivasi dilakukannya bunuh diri. Fenomena satte3 di India dan bom syahid di Palestina adalah salah satu contoh

bunuh diri yang dimotivasi oleh agama dan pandangan keberagamaan. Begitu juga praktek seppuku, bunuh diri khas Jepang yang dilakukan dengan cara

merobek perut sendiri.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang komprehensif terhadap fenomena bunuh diri guna mendapatkan pengetahuan mengenai hal ini secara lebih utuh, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya.

Disinilah penelitian ini menempatkan dirinya diantara penelitian lain. Penelitian ini memfokuskan diri pada keterkaitan antara bunuh diri yang dilakukan dengan cara seppuku dengan agama dan pandangan keberagamaan

3 Bunuh diri yang dilakukan seorang istri dengan cara melompat kedalam kobaran api yang

membakar jenazah suaminya. Praktek satte kemudian di larang oleh pemerintah kolonial Inggris


(10)

seseorang. Untuk itulah penelitian ini mengangkat tema Seppuku ; Telaah Religiusitas Dalam Upacara Bunuh Diri alaJepang”.

B. Rumusan masalah

Secara konseptual bunuh diri adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap diri sendiri. Beberapa agama bahkan secara tegas melarang tindakan bunuh diri dan mengancam pelakunya dengan siksaan dan hukuman yang setimpal di akhirat.4

Pada agama, tradisi dan kebudayaan lain, bunuh diri juga kerap dianggap sebagai perbuatan yang rendah dan hina. Pelakunya tidak mendapatkan penghormatan dari masyarakat karena dianggap lari dari masalah, lemah, melanggar hukum dan bahkan membawa sial. Namun di Jepang, seseorang yang melakukan seppuku justru dianggap sebagai pahlawan sejati.

Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian ini mengangkat masalah fenomena bunuh diri di Jepang. Biasanya bunuh diri disebabkan adanya masalah pribadi seperti asmara, himpitan ekonomi, tekanan sosial maupun politik. Namun pada kenyataannya, di Jepang, faktor ajaran agama dan pandangan keberagamaan masyarakat juga ikut mendorong perilaku bunuh diri.

Dari rumusan masalah diatas maka penelitian ini membahas tentang keterkaitan antara agama dan pandangan keberagamaan dengan praktek seppuku

di Jepang. Guna memfokuskan pembahasan masalah, penelitian ini membatasi diri

4 Agama-agama seperti Yahudi, Kristen dan Islam adalah sebagian agama yang

mengecam tindakan bunuh diri. Namun ada pengecualian pada beberapa kasus seperti kasus bom bunuh diri para pejuang Islam Palestina terhadap Israel. Para pejuang meyakini tindakan itu adalah bagian dari usaha untuk bertemu dengan Tuhan yaitu menjadi syuhada. Oleh sebab itu mereka lebih senang menggunakan istilah „bom syahid‟. Meskipun begitu tindakan ini memiliki syarat yang ketat dan berat. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kekerasan atas nama agama lihat Mark Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan ; Kebangkitan Global Kekerasan Agama, (Jakarta ;


(11)

dengan hanya membahas bunuh diri dengan cara seppuku dan tidak membahas

bunuh diri secara luas. Meskipun begitu penelitian ini tidak membatasi pembahasannya pada masa tertentu. Semua aksi seppuku yang tercatat dijadikan

sebagai objek studi. Hal ini dilakukan karena fokus studi ini adalah seppuku yang

terjadi dalam masyarakat Jepang.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan faktor ajaran agama dan pandangan keberagamaan adalah nilai, konsep dan pandangan yang sifatnya berbentuk ide serta aktivitas yang mendukung pelaksanaan seppuku, termasuk makna dari

instrumen-instrumen upacara yang digunakan. Adapun pertanyaan yang mendasari studi ini adalah adalah :

1. Nilai-nilai apa dari ajaran agama yang tercermin pada bushido, kode

etik samurai dimana tradisi seppuku diwariskan?

2. Apa nilai-nilai dari ajaran agama yang tercermin pada saat seppuku

berlangsung?

3. Apa makna keagamaan dari berbagai instrumen yang digunakan pada saat upacara seppuku ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :

1. Menggambarkan hubungan antara seppuku dengan agama.

2. Menjelaskan ajaran-ajaran agama yang tercermin dalam pelaksanaan

seppuku, dan

3. Memahami makna-makna keagamaan dari upacara seppuku.


(12)

Salah satu teori yang sering digunakan untuk menjelaskan fenomena bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial adalah teori Emile Durkheim. Menurutnya, bunuh diri adalah tindakan melukai diri sendiri yang berujung pada kematian dan dilakukan dengan sadar.5

Studi ini juga menggunakan teori Durkheim ini sebagai pijakan awal dalam memahami seppuku. Dalam bukunya Suicide : A Study In Sociology,

Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga jenis yaitu :

1. Egoistic, yaitu praktek bunuh diri yang dilakukan karena tidak

memiliki ikatan kuat dengan kelompok sosialnya (dikucilkan, tidak menikah atau perceraian). Faktor agama menurut Durkheim juga menjadi indikator penting dalam tipe ini. Selain itu, indikator lain yang menjadi latar belakang tindakan bunuh diri tipe egoistic adalah faktor

keluarga dan sistem politik. Orang yang melakukan bunuh diri tipe ini biasanya memiliki karakter yang apatis, skeptis dan malas mengejar kepuasan pribadi.

2. Altruistic, yaitu praktek bunuh diri yang dilakukan untuk menunjukkan

loyalitas, pengabdian pada kelompoknya. Jika pada tipe egoistic ego

seseorang memainkan peranan yang sangat penting dalam hidup seseorang maka tipe altruistic adalah kebalikannya. Tindakan altruism

(mendahulukan kepentingan orang lain daripada urusan pribadi) menempatkan ego bukan sebagai milik individu tapi ditempatkan dalam sebuah kepentingan kelompok yang lebih besar dimana individu tersebut tinggal. Dorongan untuk berbuat kesetiaan itu dapat saja

5 Emile Durkheim,

Suicide : A Study in Sociology, (London : Routledge & Kegan Paul,


(13)

berasal dari agama, pendidikan, norma yang berlaku atau bahkan kesamaan nasib.

3. Anomic, bunuh diri yang dilakukan seseorang karena tidak mampu

menghadapi perubahan di masyarakat mengenai nilai dan standar hidup (misalnya kehilangan pekerjaan, krisis ekonomi).

Penelitian yang dilakukan Durkheim sebenarnya dilakukan di daratan Eropa sehingga dirasa perlu untuk mendudukkannya dalam konteks ke-Jepangan. Untuk tujuan itulah penelitian ini juga bersandar pada penjelasan yang ditawarkan Robert N. Bellah dalam bukunya Religi Tokugawa : Akar-Akar budaya Jepang.

Penjelasan Bellah sangat berguna untuk memaparkan posisi agama pada kebudayaan masyarakat Jepang. Menurut Bellah agama di Jepang berfungsi sebagai salah satu sumber nilai dasar moral dalam masyarakat yang salah satu ajarannya mendorong individu dalam masyarakat untuk setia dan mendahulukan kepentingan masyarakatnya. 6

Secara psikologis, bunuh diri sebenarnya merupakan ekspresi dari sebuah ketertekanan (stress) yang sangat. Orang yang melakukan bunuh diri biasanya mengalami masalah sehingga menimbulkan depresi yang sangat dan merasa bahwa tidak ada harapan baginya untuk keluar dari masalah itu. Mereka belum tentu ingin bunuh diri namun menganggap bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar agar terlepas dari masalahnya.7 Masalah itu muncul biasanya karena mengalami empat macam kehilangan dalam hidupnya. Pertama, kehilangan sesuatu

atau seseorang yang signifikan dan sangat bernilai. Kedua, kehilangan masa lalu. Masa

6 Lihat Robert N. Bellah,

Religi Tokugawa : Akar-Akar Budaya Jepang, (Jakarta :

Gramedia, 1992), hal. 79.

7 “Why do people kill themselves”, www.befriendersindia.com akses tanggal 17 April


(14)

lalu gelap gulita. Hidup ini tanpa arti. Kondisi demikian disebut sebagai depresi. Ketiga,

kehilangan masa depan. Masa depan gelap gulita atau tanpa harapan (hopeless).

Kemudian, keempat yang tidak kalah pentingnya adalah kehilangan pertolongan atau

ketiadaan pertolongan (helpless).8

Penelitian yang dilakukan Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago semakin memperkuat pendapat diatas. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaku bunuh diri mengalami perubahan aktivitas protein kinase C yang signifikan di otaknya. Protein ini merupakan komponen yang berperan dalam komunikasi sel, terhubung erat dengan gangguan mood seperti depresi di masa lalu.9

Guna memahami makna keagamaan dari instrumen-instrumen upacara

seppuku studi ini juga menggunakan teori yang dikembangkan Koentjaraningrat

dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi. Upacara itu sendiri menurut

Koentjaraningrat merupakan salah satu aspek penting dalam suatu religi bersama emosi keagamaan, sistem keyakinan dan umat yang menganut religi tersebut. Upacara memiliki empat aspek yang penting untuk diperhatikan oleh peneliti antropologi yaitu tempat upacara, waktu upacara, alat-alat upacara dan orang yang memimpin upacara.

Upacara, menurut Koentjraningrat, adalah rangkaian kegiatan yang terdiri dari sejumlah unsur yang disebut dengan unsur-unsur upacara. Unsur-unsur itu antara lain bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama makanan yang telah didoakan, menari, menyanyi, prosesi, memainkan seni drama, berpuasa, intoksikasi dengan tujuan mencapai trance, bertapa dan bersemadi. Meskipun

8 Totok S. Wiryasaputra, “Bunuh Diri, Hopeless atau Helpless?”, artikel internet diakses

18 April 2008.


(15)

begitu sering dijumpai unsur-unsur itu tidak ditemui sekaligus. Ada unsur-unsur yang tidak ditemui di sebuah upacara namun ditemui pada upacara lainnya.10

Didalam upacaralah tercermin ajaran-ajaran agama. Hal itu biasanya disimbolkan melalui aspek-aspek dan unsur-unsur upacara tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Clifford Gertz yang mendefinisikan agama sebagai : “suatu simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan

motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order)

yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti

konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara sendiri (unik) adalah nyata ada.11 Ini tidak terlepas dari pandangannya bahwa

beberapa simbol bersumber dua hal penting dalam eksistensi manusia yaitu etos dan pandangan hidup seorang manusia.

Leslie A. White menyebutkan simbol sebagai sesuatu yang memiliki arti atau nilai bagi mereka yang menggunakannya. Disebut sesuatu karena simbol bisa berbentuk apa saja. Simbol mungkin berbentuk objek material, warna, suara, wewangian, gerak atau rasa.12

Nilai dan makna yang terkandung dalam simbol inilah yang dimaksud dengan wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat. Menurutnya kebudayaan itu

10 Penjelasan tentang unsur-unsur khusus dalam rangka sistem religi yang lebih lengkap

lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 376-380. 11 Clifford Geertz,

Religion as A Cultural System, on The Interpretation of Cultures : Selected Essays, (New York : Anchor, 1973), p. 87-125. Dikutip dari Parsudi Suparlan, Kata Pengantar : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka Jaya,1983),

h.xi.

12 Leslie A. White,

The Symbol, dalam Lewis A. Coser & Bernard Rosenberg (ed.), Sociological Theory : A Book of Readings, Third Edition, (London : The Macmillan Company,


(16)

memiliki tiga wujud yaitu : Pertama, sebagai suatu kompleks dari ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Wujud pertama ini sifatnya abstrak. Kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola

dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini disebut sebagai sistem sosial yang berupa pola-pola interaksi dan aktivitas manusia. Ketiga, sebagai benda-benda

hasil karya manusia. Wujud yang terakhir ini tentunya sangat dipengaruhi oleh wujud yang pertama dan yang kedua. Meskipun begitu benda-benda hasil karya manusia tersebut juga akan mempengaruhi wujud kebudayaan yang pertama dan kedua dikemudian hari, begitu seterusnya.13

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi-simbolik.14 Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan teknik analisis isi.15

Data untuk penulisan skripsi ini didapat melalui library research atau studi

kepustakaan dengan menelusuri data yang dibutuhkan ke berbagai perpustakaan di Jakarta seperti Perpustakaan The Japan Foundation, Perpustakaan Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

13 Koentjaraningrat,

Pengantar Antropologi, h. 186-189.

14 Fenomenologi-simbolik adalah metode pengungkapan makna yang terdapat dibalik

simbol. Ernst Cassirer menyebutkan bahwa “the symbolic is definition by an activity of creative form giving. The symbolic forms are manifested in the areas of phonetic language, myth, art, technology and pure knowledge. This plurality of types of symbolic forms functions as a kind of medium between the objects and the human being”. Lihat Wolfgang Wildgen, The Phenomenology of Symbolic Forms (Cassirer) and Geometrical Reductionism (Klein, Leyton),

paper on Winter-Symposium : Cognition and Phenomenology, Philosopical Implications of –and Preconditions for- the Study of Meaning, 2004. p. 4.

15 Unit analisis isi

(content analysisi unit) adalah teknik analisis data pada metode

kualitatif yang memulai analisanya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu dan kemudian mengklasifikasikan data dengan kriteria-kriteria tertentu sebelum akhirnya melakukan prediksi terhadap data tersebut. Lihat Burhan Bungin, Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : Rajawali Press,

2006), h. 68. ; Harold Laswell menyebutkan bahwa pertanyaan dasar dalam melakukan content analysisadalah “siapa mengatakan apa?, kepada siapa?, mengapa? dan untuk apa serta dengan apa


(17)

Indonesia dan Perpustakaan Universitas Dharma Persada selain perpustakaan di lingkungan UIN Jakarta sendiri. Data tersebut diperoleh dari buku, ensklopedi, majalah, diktat, artikel dan karya ilmiah lainnya yang menunjang kajian ini. Penelusuran data juga dilakukan melalui internet dengan mengunjungi situs-situs terkait yang menyediakan data yang dikehendaki.

Data mengenai seppuku yang berhasil didapat kemudian dipaparkan secara

detil lalu dianalisa. Analisa dilakukan dengan mengklasifikasikan data dan membedakannya dengan kriteria tertentu. Pada penelitian ini kriteria yang digunakan adalah abstrak dan konkrit. Yang dimaksud dengan data yang bersifat abstrak adalah ide, nilai, gagasan dan aktivitas sementara data yang bersifat konkrit adalah data yang berbentuk materi bendawi seperti instrumen-instrumen upacara. Data tersebut kemudian dicari sumber dan makna religinya.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang apa nilai-nilai dari ajaran agama yang mendasari seppuku, peneliti melakukan penelusuran sejarah awal

mula dan perkembangan seppuku. Selain itu, karena seppuku berada pada sebuah

institusi kelas samurai, studi ini juga meliputi penelitian terhadap sejarah institusi samurai. Studi ini meliputi sejarah kemunculan kelas samurai, kode etik samurai dan nilai-nilai yang dianutnya.

Bagian terpenting dari studi ini yaitu motivasi, dilakukan dengan cara melakukan penelusuran sejarah pada hal-hal yang dilakukan atau disampaikan oleh pelaku sebelum melaksanakan seppuku. Hal ini dilakukan karena wawancara

dan observasi parsipatoris, dua tahapan penting dalam penelitian fenomenologis pada umumnya, tidak memungkinkan untuk dilakukan.


(18)

Untuk memahami makna yang terkandung dari instrumen-instrumen

seppuku, saya menggunakan pendekatan fenomenologi-simbolik yang dianggap

baik untuk mengungkap keterkaitan agama pada seppuku yang banyak diwakili

dan diperlihatkan oleh simbol-simbol tertentu. Simbol-simbol yang muncul dalam pelaksanaan seppuku dicari pemaknaannya pada agama dan kepercayaan yang

berkembang di Jepang. Untuk itu dilakukanlah penelusuran literatur yang menjelaskan makna dari simbol yang muncul tersebut. Oleh sebab itu, studi ini juga menggunakan semiotika16 dalam prakteknya.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini dibagi menjadi beberapa bab yaitu :

Bab I. Pendahuluan, meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, kajian konsep dan teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II. Sejarah singkat Jepang.

Bab III. Seppuku dalam masyarakat Jepang, meliputi pengertian

seppuku, sejarah seppuku, jenis dan makna seppuku, pola dan teknik seppuku, tata

cara dan formalitas pelaksanaan seppuku.

Bab IV. Nilai-nilai agama pada upacara seppuku, meliputi pandangan

agama terhadap perilaku bunuh diri serta nilai Shinto, Buddhisme Zen dan Konfusianisme serta Tao yang terdapat disekitar seppuku dan makna dari

instrumen upacaranya.

16 Semiotika, berasal dari kata

semeion (yun) yang berarti tanda, adalah cabang ilmu yang

mengkaji tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sitem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Lihat Aart Van Zoes, Semiotika:TentangTanda, Cara Kerjanya Dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya, (Jakarta : Yayasan Sumber Agung, 1993), hal. 1.


(19)

Bab V. Penutup, berupa kesimpulan dari rangkaian penelitian. Kemudian sebagai akhir dari keseluruhan penelitian ini dicantumkan daftar kepustakaan yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini.


(20)

Bab II

Sejarah singkat Jepang

Jepang, negara kepulauan yang terletak disebelah timur jazirah Asia dan sebelah barat samudera Pasifik. Terletak diantara 24o LU – 46o LU dan 128o BT – 146o BT. Terdiri dari empat pulau besar yaitu : Hokkaido, Honshu, Shikoku dan

Kyushu, dan sekitar 3000 pulau kecil lainnya. Nama aslinya adalah Nippon-koku yang secara harfiah berarti negeri matahari, sementara itu nama Nihon-koku sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. 17

Jepang memiliki catatan sejarah yang panjang. Penggalian arkeologi mengantarkan kita ke abad 1300 SM - 300 SM. Kurun waktu ini biasa disebut era Jomon. Pada masa ini penduduk Jepang dikenal sebagai pemburu, penangkap ikan, pengumpul makanan (food gatherer) dan bersifat nomaden.

Kurun waktu selanjutnya adalah sejak 300 SM 300 M yang disebut juga era Yayoi. Pada masa ini mulai dikenal teknologi logam yang diimpor dari Korea. Pada masa ini jugalah kebudayaan menanam padi mulai diketahui. Kebudayaan agraris seperti ini mendorong pembentukan kelas di masyarakat dan penyatuan masyarakat pertama kali dibawah kekuasaan seorang tuan tanah. Pengembara Cina pada masa dinasti Han dan Wei menyebutkan keberadan seorang ratu Himiko yang berkuasa di Jepang saat itu.18

17 Nipon-koku adalah cara pengucapan kanji dari cina, disebut

on dan digunakan dalam

kesempatan resmi seperti pidato kenegaraan dan dokumen-dokumen resmi. Sedangkan Nihon-koku adalah cara pengucapan kun yang biasa dipergunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari.

18 Laporan dari Cina ini sebenarnya menyebutkan bahwa pada pertengahan abad ketiga,

di Jepang tidak ada sebuah negara tunggal namun ada banyak komunitas-komunitas kecil. Salah satunya diperintah oleh seorang ratu Himiko (Pimiko). Ratu digambarkan sebagai dukun wanita. Jadi kekuasaannya bersifat penggabungan antara kekuasaan religi dan politik. Lihat R. H. P. Mason & J. G. Caiger, A History of Japan, (Tokya : Charles E. Tuttle Company, 1972), p. 10.


(21)

Masa selanjutnya era Kofun (300 M 538 M). Penamaan ini diambil dari komplek pemakaman (kofun) pemimpin politik saat itu. Pada masa ini pusat kekuasaan mulai terbentuk di daerah dataran Kinai. Pada 400 M terbentuklah persatuan di Jepang dibawah Yamato (kini masuk prefektur Nara). Persatuan ini terbentang dari Kyushu hingga dataran Kinai, namun tidak termasuk Kanto, Tohoku dan Hokaido.19

Pada periode Yamato, Kaisar menempati perannya sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin spiritual.20 Tahun 552 sebuah kerajaan kecil di Korea memperkenalkan Buddha kepada Kaisar secara diplomatis. Penasihat Kaisar, yang terdiri dari beberapa bangsawan, berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian dari mereka menolak kedatangan agama baru tersebut namun yang lain, seperti klan Soga, justru menerimanya. Kaisar akhirnya melakukan kompromi dengan mengizinkan klan Soga memeluk Buddha namun ia tetap pada keyakinan awalnya. Tidak lama setelah itu terjadilah wabah penyakit yang menyebabkan kematian orang banyak. Kejadian ini dipercaya sebagai akibat dari kedatangan agama baru tersebut. Hal ini menyebabkan konflik diantara masyarakat yang berakhir dengan kemenangan klan Soga dan para pengikut Buddha. Sejak itu kepemimpinan politik dikuasai oleh klan Soga meskipun Kaisar tetap berperan sebagai simbol pemersatu dan pemimpin spiritual. Peristiwa ini menandai dimulainya penyebaran Buddhisme di Jepang.21

19 Lihat ”History of Japan” http://www.japan-guide.com/e/e2124.html, artikel diakses

pada tanggal 9 Februari 2008.

20 Lama sebelum itu telah berkembang kepercayaan terhadap roh-roh atau kekuatan yang

menempati sebuah benda atau apa saja kenampakan di alam. Kekuatan ini disebut kami.

Kepercayaan inilah yang kemudian dikenal sebagai Shinto.

21 R. H. P. Mason & J. G. Caiger,


(22)

Pada era ini dimulailah impor kebudayaan dari Cina daratan dan Korea ke Jepang. Hal ini dikarenakan kebijakan penguasa saat itu yang memerintahkan untuk mencontoh kebudayaan China demi kemajuan Jepang sendiri. Mulai dari sistem pemerintahan, bangunan, hingga Budhisme, etika Konfusian dan Taoisme mulai masuk ke Jepang, termasuk sistem penulisan.

Setelah klan Soga jatuh, kepemimpinan politik kemudian dipegang oleh kalangan bangsawan dari klan Fujiwara hingga masa pemerintahan Nara dan berhasil bertahan hingga abad 11. Salah satu kebijakan dari pemerintah Fujiwara adalah pengadopsian sistem kepemilikan tanah dari China yaitu sistem Taika.

Seluruh tanah saat itu dibeli oleh negara dan kemudian dibagikan secara rata kepada rakyat. Rakyat kemudian diwajibkan untuk membayar pajak dari kepemilikan tanahnya tersebut.

Periode berikutnya adalah periode Nara (710-794). Berbeda dengan masa-masa sebelumnya dimana pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah, pada 710 M dibangunlah ibu kota permanen dan pusat pemerintahan di Nara. Kuil kuil Buddha juga banyak dibangun didalamnya. Pembangunan Nara sebagai sebuah kota meniru dari ibu kota dinasti Tang yang memerintah Cina daratan. Masa ini ditandai dengan semakin gencarnya impor kebudayaan dari Cina ke Jepang.

Pada masa kaisar Kammu ibukota dipindahkan ke Heian (794 1185) -nama kuno dari Kyoto yang berarti kota damai dan tentram- hal ini dilakukan karena kuil-kuil Buddha yang banyak dibangun di Nara semakin lama memiliki pengaruh yang luas di masyarakat. Maka untuk tetap menjaga posisi kaisar dan pemerintah, ibu kota dipindahkan. Pada masa inilah Jepang memasuki masa keemasannya. Kebudayaan nasional Jepang juga terbentuk pada masa ini.


(23)

Segala hal yang telah diimpor dari China kemudian di Jepang-kan dan inilah yang menjadi ciri dari periode ini. Aksara China di Jepang-kan sehingga menjadi Kanji Jepang yang kita kenal sekarang. Bangunan kuil yang meniru kuil dari China dibuat dengan tetap menampilkan ciri Jepang yang kuat. Buddhisme dan Konfusianisme juga tidak luput dari proses adaptasi ini. Maka tidak heran jika Buddhisme, Konfusianisme dan kepercayaan lokal terhadap kami, yang kemudian disebut Shinto, berjalin kelindan sehingga sulit untuk dipilah lagi. D. T. Suzuki ketika mengomentari keterkaitan ini mengatakan bahwa seorang pendeta Zen dapat menjadi seorang pengembang Konfusian tanpa harus kehilangan status ke-Buddhis-annya. Lebih jauh ia bahkan menyebutkan bahwa seorang pengikut Buddhisme Zen itu sewaktu-waktu dapat menjadi seorang Konfusian dan sewaktu-waktu dapat menjadi Taois dan disaat yang sama ia juga menjadi seorang pengikut Shinto.22

Sistem Taika yang diterapkan sejak awal pemerintahan Fujiwara mulai

membawa masalah. Pemerintah menerapkan pajak tanah yang tinggi dari rakyat sementara kalangan bangsawan dan kuil tidak dikenai pajak sama sekali. Hal ini membuat petani-petani kecil memilih untuk menjual tanahnya dan memilih untuk bekerja menjadi petani bayaran pada tuan tanah. Kebijakan ini berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan tumbuhnya feodalisme karena menggeser struktur sosial dan politik Jepang saat itu dari pemerintahan terpusat menjadi sistem tuan tanah yang independen.

Secara sosial timbul hubungan yang kuat antara tuan tanah dengan para pekerja dan pengikutnya. Para pengikut menggantungkan kelangsungan hidupnya

22 D. T. Suzuki,

Zen and the Culture of Japan, (New York : Pantheon Books, 1959), p.


(24)

kepada tuan tanah tempatnya mengabdi. Sementara tuan tanah membutuhkan pengikut untuk mempertahankan posisi dan kekayaannya. Hubungan yang kuat ini lah yang melahirkan kesetiaan yang dijunjung tinggi dalam sebuah keluarga atau klan. Hubungan ini juga yang melahirkan kelas samurai, militer pengikut tuan tanah.

Kepemimpinan klan Fujiwara berakhir 1068 ketika kaisar yang baru saat itu Go-Sanjo tak dapat dikontrol oleh klan Fujiwara dan memilih untuk menggunakan aturannya sendiri. Ketika ia turun takhta, Go-Sanjo tetap mempengaruhi pemerintahan dan politik dari belakang layar. Pemerintahan itu disebut dengan pemerintahan Insei dan bertahan hingga 1156 ketika Taira Kiyomori dari klan Taira memimpin Jepang.

Abad ke-12 Jepang ditandai dengan pertentangan dua klan besar Minamoto (Genji) dan Taira (Heike). Keduanya terlibat pertempuran Hogen (1156) dan Heiji (1160) yang berhasil dimenangkan klan Taira. Ketika menjadi penguasa Jepang, Taira Kiyomori tetap memberikan kehormatan bagi bangsawan Fujiwara untuk menduduki pos-pos penting. Namun setelah Taira Kiyomori wafat kembali terjadi perebutan kekuasaan dan klan Minamoto berhasil memenangkan pertempuran tersebut. Pertempuran tersebut dikenal dengan Perang Gempei. Cerita Heike Monogatari (Cerita rumah Taira)23 disusun untuk mengenang

kebangkitan dan kejatuhan klan ini.

Kemenangan klan Minamoto Yoritomo menandakan era baru dalam sejarah Jepang yaitu periode Kamakura. Setelah berhasil memenangkan perang

23 Ditulis pada tahun 1371 M. Heike Monogatari berisi kisah tentang pertarungan antara

klan Minamoto dan Taira dalam menguasai Jepang di akhir abad ke 12. Gambaran tentang samurai dalam karya ini menjadi rujukan bagi para samurai dikemudian hari bagaimana menjadi samurai yang sesungguhnya.


(25)

Gempei, Minamoto Yoritomo menghabisi segala sesuatu yang berpotensi untuk menjadi musuhnya dikemudian hari termasuk keluarga-keluarga terdekatnya sendiri dan memindahkan kontrol pemerintahan ke kota basis pertahanannya, Kamakura. 1192 Minamoto mengangkat dirinya menjadi shogun, perwira militer tertinggi. Oleh karena itulah pemerintahannya disebut pemerintahan bakufu

(militer).

Sepeninggal Yoritomo tahun 1199, jabatan shogun dipegang oleh putranya. Pada tahun 1221 kembali terjadi perebutan kekuasaan antara klan Minamoto dan kekaisaran. Peristiwa yang dikenal perang Shokyu tersebut berhasil dimenangkan oleh tentara kekaisaran. Kekaisaran kemudian menunjuk klan Hojo sebagai pengawas di Kamakura. Sebagai pihak yang memenangkan perang, klan Hojo mendapatkan hak untuk menguasai tanah-tanah yang berhasil direbut pada saat perang Shokyu tersebut.

Namun tanah yang didapat dari perang Shokyu tersebut dibagikan kembali oleh klan Hojo kepada masyarakat sehingga mereka mendapatkan kesetiaan dari berbagai kekuatan diseluruh penjuru negeri. Oleh sebab itu kekaisaran dan pemerintahan di Kyoto kembali kehilangan efektivitas kekuasaannya.

Pada periode Kamakura ini muncul sekte Zen (1191) di Jepang yang banyak diikuti kelas samurai. Tahun 1253 muncul sekte Buddha Nichiren yang ajarannya dilandasi Lotus Sutra.24 Tahun 1232 dikeluarkan Joei Shikimoku,

undang-undang yang menekankan nilai-nilai Konfusian seperti pentingnya kesetian untuk menekan tingkat degradasi moral dan disiplin.

24 Dikenal di Indonesia dengan nama

Saddharma Pundarika Sutra (Sanskrit: सध्मपु्डरीकसूर ). Di Jepang disebut dengan Myōhō Renge Kyō, salah satu kitab Buddha Mahayana yang popular dan berpengaruh.


(26)

Tahun 1333 pemerintahan klan Hojo berakhir setelah pemerintah gagal memberikan penghargaan bagi para tentara yang ikut dalam perang melawan invasi Mongol tahun 1274. Perekonomian yang terpuruk karena perang membuat kaisar saat itu, Go-Daigo, menurunkan pemerintahan klan Hojo dan menunjuk Ashikaga Takauji pada tahun 1338 sebagai shogun.

Sejak saat itu usaha penyatuan Jepang dilakukan oleh banyak tuan tanah

(daimyo). Beberapa yang terkenal misalnya Oda Nobunaga, daimyo wilayah

Owari (kini masuk prefektur Nagoya). Usahanya dilakukan dengan mengalahkan daimyo-daimyo lain yang memiliki keingingan serupa. Keinginannya tercapai ketika ia berhasil menguasai Kyoto pada 1568.

Setelah berhasil menguasai Kyoto ia juga menyingkirkan musuh-musuhnya yang lain termasuk sekte Buddha Ikko (sekte tanah suci) yang militan. Nobunaga juga menghancurkan kuil Enryakuji dekat Kyoto dan terus memerangi sekte ini hingga 1580. Setelah Nobunaga wafat, usaha penyatuan Jepang juga dilakukan oleh Toyotomi Hideyoshi, panglima perang Nobunaga yang bahkan sampai menyerang Korea dan China meski gagal. Namun penyatuan seluruh wilayah Jepang baru berhasil dilakukan oleh klan Tokugawa yang dipimpin Ieyasu Tokugawa pada tahun 1603 yang menandai dimulainya periode Edo atau Tokugawa.25 Pada periode ini keadaan Jepang cenderung stabil dibandingkan periode sebelumnya yang dikenal sebagai masa perang saudara. Pemerintahan Tokugawa berhasil bertahan hingga 1867 dan berakhir karena adanya Restorasi Meiji.


(27)

Pemerintah menciptakan kelas-kelas dalam masyarakat berdasarkan pekerjaan dan posisi seseorang dalam masyarakat. Pada masa ini pemerintah melakukan pengawasan yang ketat kepada masyarakat bawah maupun masyarakat kelas atas. Masyarakat kelas bawah adalah mereka yang berprofesi sebagai petani, tukang dan pedagang kecil, sedangkan para tuan tanah atau daimyo beserta para samurai kelas atas termasuk golongan masyarakat kelas atas.26

Untuk mencegah pemberontakan, pemerintah mewajibkan setiap daimyo untuk tinggal di Edo beberapa bulan pada setiap tahunnya. Hal ini dilakukan guna mencegah konsolidasi kekuatan jika daimyo dibiarkan berada dekat pengikutnya di daerahnya masing-masing. Kebijakan ini disebut dengan sankin kotai.

Selain memberikan hak kirisute gomen27 bagi samurai pemerintah juga

mengeluarkan Buke Shohatto28 bagi para daimyo. Pada masa ini, selain

mempelajari bela diri, para samurai semakin dalam mempelajari Zen, Konfusian, bahkan seni.

Tahun 1867 menandakan dimulainya Restorasi Meiji. Kaisar memindahkan ibu kota dari Kyoto ke Tokyo dan memindahkan kekuasaan dari klan Tokugawa kepada sekelompok kecil samurai terkemuka dan bangsawan. Tujuan dari Restorasi Meiji sendiri adalah untuk mengangkat derajat Jepang agar setara dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Oleh sebab itu kelompok kecil

26 Pada masa ini pemerintah membagi masyarakat Jepang menjadi empat golongan yaitu Bushi, militer ; Nomin, petani ; Kosakunin, tukang ; dan Shonin, pedagang. Pada masa itu kelas

Bushi memegang peranan penting dalam negara karena pemerintahan dipimpin oleh seorang Shogun sementara Tenno atau kaisar hanya mengurusi masalah keagamaan dan budaya.

27 Kirisute gomen adalah hak memenggal kepala yang diberikan bagi seorang samurai

untuk menggunakan pedangnya jika seseorang dinilai tidak sopan terhadap kelas samurai maupun pemerintah dan dilakukan spontan tanpa pengadilan terlebih dahulu

28 Buke Shohatto adalah 13 aturan yang dikeluarkan oleh tim bentukan Ieyasu Tokugawa

bagi para daimyo. Tim ini diketuai oleh seorang pendeta Buddhisme Zen, Suden, dan seorang sarjana Konfusian, Hayashi Razan, pada tahun 1615. Lihat lampiran. Kodansha Encyclopedia,


(28)

ini membawa Jepang menjadi negara demokrasi mengakui kesamaan hak setiap warga negaranya. Pembagian kelas masyarakat yang ada sejak periode Tokugawa dihapus dan tentu saja kelas samurai kehilangan hak-hak istimewanya. Pemerintah juga memberikan kebebasan beragama pada tahun 1873 dengan Shinto sebagai agama resmi dan pergantian sistem pendidikan mengikuti sistem Prancis dan Jerman

Periode ini membawa awal baru bagi Jepang. Kemajuan diberbagai bidang khususnya industri membawa Jepang memiliki keinginan untuk menjadi negara berpengaruh dan berkuasa di Asia. Ajaran Shinto Hakko Ichi-u29 mendorong

Jepang untuk mulai melebarkan kekuasaannya dengan menyerang negara lain seperti Korea dan China (1894-1895). Jepang juga terlibat perang dengan Russia pada tahun 1904-1905 dan berhasil dimenangkan Jepang. Kekuatan militer Jepang yang dibangun pada masa itu diakui kekuatannya dan berhasil menguasai Asia Pasifik hingga tahun 1945. Kaisar Meiji sendiri wafat pada tahun 1912.

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke II membawa dampak besar bagi Jepang. Melalui perjanjian San Fransisco Jepang dipaksa untuk tunduk pada pemerintah sekutu pimpinan AS. Konstitusi Jepang dirubah dengan memisahkan agama dengan negara karena ajaran Hakko Ichi-u dianggap memicu Perang Asia

Timur Raya. Pemerintahannya pun berada dibawah pengawasan sekutu.

Perang Asia Timur Raya ditutup dengan keluarnya Jepang sebagai pihak yang kalah dan menjadikan bangsa Jepang menjadi sangat malu terutama kalangan keturunan samurai yang banyak terlibat aktif di kemiliteran Jepang.

29 Berarti menyatukan delapan penjuru dunia dibawah satu atap. Merupakan ajaran yang

dibawa kaisar pertama yang berarti membawa kedamaian dan mendirikan negara yang ideal. Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, (Tokyo : Charles E. Tuttle Comp, 1999), p. 81.


(29)

Bab III

Temuan-Temuan Penelitian

A. Pengertian Seppuku

Ada dua istilah yang berbeda untuk menunjukkan satu hal yang sama pada tradisi bunuh diri di Jepang yaitu hara-kiri dan seppuku. Secara etimologis seppuku berasal dari dua buah kanji Jepang yaitu 切 dan 腹 . Dalam gaya

pengucapan resmi, kanji yang pertama dibaca setsu dan yang kedua dibaca fuku.30

Namun dalam gaya pengucapan Jepang sehari-hari kanji pertama juga dapat dibaca hara dan yang kedua dibaca kiru.

Setsu atau hara berarti perut sedangkan fuku atau kiru berarti memotong

atau menyobek. Sehingga secara kebahasaan seppuku dapat diartikan memotong

perut. Pengertian dalam bahasa Inggris dapat ditemukan dalam The Oxford English Dictionary. Disebutkan :

”Hara-kiri (hā:ră ki`ri). Also corruptly hari-kari, hurry-curry. [Jappanese (colloquial and vulgar), f. hara belly + kiri cut. (the more elegant expression is said to be seppuku)] suicide by disembowelment, as formarly practised by the higher classes in Japan, when in circumstances of disgrace or under sentence

of death.” 31

”Hara-kiri (hā:ră ki`ri). Sering disebut secara salah dengan hari-kari, hurry-curry. [Bangsa Jepang (ungkapan sehari-hari dan vulgar), f. hara perut+ kiri potong. (ungkapan lebih elegan disebut seppuku)] bunuh diri yang dilakukan dengan merobek perut, biasa dipraktekkan oleh kelas elit Jepang, disebabkan

aib atau hukuman mati.”

30 Pengucapan resmi atau

on adalah cara pengucapan asli kanji dari Cina. Biasa

digunakan dalam dokumen-dokumen kenegaraan dan resmi. Selain seppuku dapat juga dibaca kappuku. Seppuku popular dalam bahasa Inggris dan bahasa lainnya sebagai Hara-kiri yang

termuat dalam kun atau gaya pengucapan sehari-hari yang meskipun benar namun sesungguhnya

kurang tepat.

31“Hara-kiri”, The Oxford Dictionary, vol. V (London : Oxford University Press, 1970),


(30)

Meskipun sama dalam bentuk kanji dan memiliki arti harfiah yang sama, pemakaian kata ini memiliki aturannya sendiri. Seppuku biasa digunakan untuk

menyebut tindakan bunuh diri dengan memotong perut sendiri yang berlaku dikalangan samurai. Penggunaannya juga dapat ditemukakan dalam dokumen-dokumen resmi. Sedangkan hara-kiri memiliki pengertian memotong perut yang lebih luas yang belum tentu bunuh diri dan tidak harus selalu menunjukkan perut manusia. Penggunaannya pun lebih sering dalam bahasa sehari-hari.

Pengertian terminologis dalam bahasa Inggris tentang seppuku dapat kita

jumpai juga dalam Webster‟s Encyclopedic. Disana disebutkan seppuku adalah :

”Ceremonial suicide by ripping open the abdomen with a

dagger or knife : formerly practiced in Japan by members of

the warrior class when disgraced or senteced to death.”32 ”Upacara bunuh diri dengan cara merobek perut dengan belati atau pisau : lazim dipraktekkan oleh anggota dari kelas

samurai saat merasa aib atau sebagai hukuman mati.”

Pengertian terminologis lainnya juga dapat dijumpai dalam The Encyclopedia of Britannica yang menyebutkan :

”Hara-kiri (literally ”bell-cutting”) was the honourable method

of taking one‟s own life practised by men of the samurai (military) class in feudal Japan.”33

”Hara-kiri (literal ”memotong perut”) adalah cara yang terhormat untuk mencabut nyawa sendiri yang dipraktekkan oleh seseorang dari kelas samurai (militer) dalam masyarakat

feudal di Jepang.”

Tokuji Chiba menjelaskan bahwa seppuku adalah kegiatan memotong

perutnya sendiri dengan maksud menyampaikan pesan simbolik yang spiritual.

32“Seppuku”, Webster‟s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language,

(New York : Dilithium Press, 1989), p. 644.

33 “Hara-kiri”, Encylopedia Britanica vol. 11, (London : William Benton Publisher,


(31)

Sementara Inazo Nitobe menyebutkan bahwa seppuku adalah sebuah institusi

bunuh diri yang legal yang dilakukan ksatria Jepang untuk menebus dosanya, meminta maaf atas kesalahannya, menghindarkan aib, menyelamatkan klan-nya dari aib juga untuk membuktikan keikhlasan dan ketulusannya. Jack Seward bahkan menyebutkan seppuku sebagai kunci dari bushido, kode etik samurai

Jepang.34

Dari beberapa pengertian diatas dapat disebutkan bahwa seppuku adalah

suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan kaum samurai Jepang dengan cara merobek perut dengan tujuan untuk menunjukkan kesetiaan dan keberaniannya. B. Catatan Sejarah Seppuku

Sebelum menguraikan sejarah seppuku lebih lanjut, perlu dilakukan

pembabakan sejarah guna memperjelas evolusi seppuku. Adapun pembabakan

sejarah disini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, jaman kuno atau

Fudoki. Kedua, Era Pertengahan. Ketiga, Era Perang Saudara. Keempat, Era Edo

atau Era Tokugawa. Kelima, Era Pasca Edo atau Restorasi Meiji-sekarang.

1. Seppuku di Jaman Kuno

Dalam sejarah Jepang, catatan seppuku awal dapat kita jumpai pada Harima no Kuni Fudoki.35 Diceritakan bahwa pada masa ini seppuku tidak

seperti seppuku yang dikenal sekarang. Seppuku dilakukan pada perut rusa

34 Lihat Inazo Nitobe,

Bushido : The Soul of Japan, (Boston : Tuttle Publishing, 2001), p.

116.; Jack Seward, Hara-Kiri : Jappanese Ritual Suicide, (Tokyo : The Charles E. Tuttle

Company, 1968), p. 5.; Tokuji Chiba, Seppuku no Hanashi, (Tokyo : Kodansha, 1972), p. 62. 35 Fudoki adalah catatan kuno mengenai budaya dan situasi geografi sebuah daerah di

Jepang. Biasanya berisi informasi tentang nama, agrikultur, keadaan geografi, sejarah dan mitologi dalam cerita-cerita rakyat. Kodifikasi fudoki dilakukan tahun  713-733. Nama-nama daerah yang tercatat kini sudah banyak yang mengalami perubahan. Dari 48 daerah yang dicatat hanya catatan daerah Izumo yang paling lengkap. Daerah lain seperti Hizen, Bungo, Harima dan Hitachi juga cukup lengkap. Lihat ”Fudoki”, http://en.wikipedia.org/wiki/Fudoki akses tanggal 9 Maret 2008.


(32)

dengan tujuan sebagai bentuk pengorbanan untuk mendatangkan kesuburan.

Dalam hal ini kita perlu mengingat kebudayaan masyarakat Jepang yang agraris. Para petani menggantungkan hidupnya dari kegiatan bercocok tanam sehingga kesuburan tanah merupakan sesuatu yang penting dalam kebudayaannya. Petani Jepang saat itu meyakini jika darah yang mengalir dari perut rusa dan membasahi tanah mereka akan berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah pertanian yang pada akhirnya juga berpengaruh pada penghasilan mereka sebagai petani. Hingga saat ini kebiasaan ini masih dilakukan dibeberapa wilayah Jepang dengan mengganti rusa dengan boneka rusa.

Kisah lain yang terdapat di Harima no Kuni Fudoki adalah kisah mengenai Dewi Omi, istri dari Dewa Hanagami. Dikisahkan Dewi Omi membelah perutnya di rawa Harasaki karena sakit hati kepada suaminya yang meninggalkan dirinya. Kepergian suaminya menyebabkan sang dewi tidak dapat mengandung yang artinya juga tidak subur dan tidak dapat menghasilkan. Masyarakat agraris saat itu menghubungkan peristiwa kehamilan seorang wanita dengan kesuburan. Kelahiran berarti munculnya tunas baru dan peristiwa ini dikaitkan dengan kesuburan dan hasil panen dikemudian hari.

Dari kisah diatas dapat diketahui bahwa motivasi dilakukannya

seppuku, atau lebih tepatnya hara-kiri karena dilakukan pada binatang,

adalah suatu bentuk pengharapan agar panen yang akan datang lebih baik. Pada masa ini hara-kiri dilakukan sebatas pengorbanan kepada dewa.


(33)

2. Seppuku di Era Pertengahan

Perkembangan selanjutnya terjadi pada periode Heian yang merupakan era penting dalam sejarah Jepang. Pada masa inilah kebudayaan nasional Jepang terbentuk. Pada masa ini pula seppuku mulai

berubah ke bentuk yang kita kenal sekarang. Suatu bentuk bunuh diri dengan merobek perut manusia.

Pada masa ini Jepang ada dibawah kekuasaan kaum bangsawan, namun kekuasaan yang dipegang oleh kaum bangsawan sering tidak berpihak kepada rakyat. Kebijakan-kebijakannya pun menambah penderitaan rakyat. Pada masa itulah mulai terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan beberapa kalangan. Kalangan inilah yang dikemudian hari disebut sebagai kaum samurai.

Pada masa ini seppuku mulai dilakukan dengan cara merobek perut

sendiri namun pelaku seppuku biasanya tidak langsung menemui ajalnya

sehingga mereka mengalami kepedihan dan kesakitan yang luar biasa. Untuk mempercepat kematian, setelah merobek perut, biasanya para pelaku seppuku memotong urat nadi mereka sendiri baik itu yang

dipergelangan tangan, punggung, atau leher.

Kisah Minamoto no Tametomo dalam Hogen Monogatari (kisah tentang Perang Sipil Hogen pada tahun 1156) merupakan salah satu seppuku yang terjadi pada periode ini. Minamoto no Tametomo melakukan seppuku setelah ia merasa sudah dekat dengan kekalahan dalam sebuah


(34)

menemui ajal maka ia segera memotong pusat saraf yang ada dibagian atas punggungnya dan menemui ajal.

Ditangkap dan ditawan musuh merupakan suatu hal yang sangat buruk sekali dalam pandangan kaum samurai oleh sebab itu mempercepat kematian dianggap lebih baik. Pada pertempuran Awazu tahun 1184 Imai Kanehira yang terlanjur tertangkap musuh bahkan rela menjatuhkan diri, dengan posisi kepala lebih dulu, dari kuda dengan pedang berada dalam mulutnya.36

Meskipun belum sempurna, namun praktek seppuku pada masa ini

sudah mulai membentuk pola yang dikenal hingga sekarang. Bentuk

seppuku pada masa inilah yang kemudian disebut dengan pola seppuku Genkei atau pola seppuku asli.

3. Seppuku Era Perang Saudara

Jaman perang saudara adalah kelanjutan dari Era Heian. Kaum samurai yang muncul pada akhir Era Heian semakin lama semakin kuat kedudukannya. Kaum bangsawan semakin lama semakin dibatasi kekuasaannya. Kaisar dibatasi hanya mengurusi masalah kebudayaan.

Samurai-samurai yang memiliki tanah luas kemudian menjadi

myoshu (tuan tanah) dan memiliki pengikut. Pada zaman perang saudara

inilah para myoshu berperang untuk menjadi penguasa Jepang.

Dalam konteks perang ini, myoshu kemudian menjalin hubungan

yang erat dengan setiap pengikutnya dengan cara memberikan kesejahteraan hidup bagi pengikut beserta semua keluarganya. Dari sinilah

36 Stephen Turnbull,

Samurai : The World of the Warior, (Great Britain : Osprey


(35)

muncul benih-benih loyalitas di kalangan samurai. Majikan menjadi segalanya, karena tanpa majikan seorang samurai dan keluarganya akan kehilangan seseorang yang memberikan kesejahteraan. Pada masa ini lahir semangat keksatriaan Jepang, bushido.

Kondisi sosial semacam ini ikut melatarbelakangi dilakukannya

seppuku. Kesetiaan yang besar dari seorang pengikut kepada tuannya

mendorong seseorang untuk melakukan seppuku. Seppuku yang dilakukan

Shirai, seorang pengikut Shimizu Munehara, misalnya. Saat itu pasukan yang berada dibawah pimpinan Shimizu Munehara berhasil ditundukkan oleh pasukan Toyotomi Hideyoshi. Hideyoshi menawarkan pembebasan bagi pasukan Shimizu dengan syarat ia melakukan seppuku sebagai tanda

dari kemenangannya. Mendengar tuntutan itu Shirai secara diam-diam meminta tuannya untuk datang kekamarnya. Ketika didatangi, Shirai ternyata sedang melakukan seppuku sambil mengatakan bahwa ini

bukanlah hal yang sulit.

Pada masa ini seppuku yang dilakukan kaum samurai memiliki

beberapa motivasi, namun umumnya motivasi-motivasi itu menunjukkan kesetian seorang samurai kepada tuan atau klannya. Sehingga sering kali jika seorang tuan mengalami kekalahan dimedan perang atau tewas, maka pengikutnya akan melakukan seppuku sebagai tanda kesetiaan terhadap

tuannya yang tewas. 37

4. Seppuku di Era Tokugawa

37 mengenai motivasi-motivasi


(36)

Pada masa ini seluruh Jepang berhasil dipersatukan oleh Ieyasu Tokugawa. Hal ini menandakan berdirinya dinasti klan Tokugawa yang memerintah Jepang selama lebih dari 260 tahun. Pada masa ini sistem kepemilikan tanah mengalami penyempurnaan. Hanya mereka yang memiliki tanah seluas 10.000 haku yang dapat disebut daimyo.

Dengan adanya sistem seperti itu secara tidak langsung menumbuhkan kesadaran kelompok di berbagai klan daimyo tentang

hubungan antara kerai (bawahan/samurai pengikut) dengan shukun

(atasan/daimyo) bahwa seorang bawahan haruslah menunjukkan

kesetiaannya. Kesetiaan inilah yang ditunjukkan salah satunya melalui

seppuku. Pada masa ini bushido menjadi semangat yang begitu dipegang

erat oleh kaum samurai sehingga dengan kesadaran sendiri, seorang samurai akan melakukan seppuku untuk menghindari aib pada dirinya

maupun klannya.

Pada masa Tokugawa, seppuku sebenarnya sempat dilarang secara

institusional. Melakukan seppuku karena ingin mengikuti majikannya yang

mati, menurut Ieyasu Tokugawa adalah perbuatan bodoh. Pemerintah juga menyebarkan aturan mengenai hal ini dan mengancam mereka yang tetap melakukannya untuk dihukum dengan cara menghukum keluarga pelaku

seppuku. Namun karena adat kesetiaan dikalangan samurai sudah

mengakar maka praktek seppuku tetaplah dilakukan dikalangan samurai,

bahkan jika seorang anggota keluarga melakukan seppuku dan keluarga

lainnya mendapatkan hukuman dari pemerintah, maka anggota keluarga itu pun memilih hukuman seppuku bagi diri mereka.


(37)

Meskipun dilarang secara institusi pemerintahan, seppuku

sebenarnya tidak hilang dari Jepang. Pemerintahan bakufu menjadikan seppuku sebagai salah satu hukuman bagi kaum samurai. Hukum ini

berbeda dengan yang diperuntukkan kepada rakyat biasa yang biasanya berupa hukum gantung atau pancung. Jadi yang dilarang adalah seppuku

yang dilakukan seseorang karena keinginan pribadi untuk mengikuti kematian tuannya, sementara seppuku sebagai bentuk hukuman justru

dijadikan sebagai hukuman resmi negara. Ini berbeda dengan era-era sebelumnya dimana seppuku hanya merupakan kesadaran pribadi untuk

menjaga nama baik diri dan klannya.

Pada masa ini jugalah seppuku mengalami penyempurnaan bentuk.

Pelaku seppuku didampingi seorang kaishakunin yang bertugas untuk

memenggal kepalanya dan mempercepat kematian pelaku seppuku. Begitu

juga dengan pelaksanaan seppuku. Pada era ini, pelaksanaan seppuku

dilakukan melalui sebuah upacara yang baku yang harus dilalui oleh terhukum.

5. Seppuku Era Restorasi Meiji-Sekarang

Era bakufu Tokugawa mengalami keruntuhan pada 1867. Sejak saat itu Jepang memasuki era Restorasi Meiji dimana pemerintahan dipegang oleh pemerintahan sipil dan militer yang mendukung itu. Pada masa ini hak-hak kelas samurai mulai dibatasi. Hak kirisute gomen dicabut

dan samurai dilarang membawa pedang. Seppuku pun dihapus dari

hukuman resmi negara dan diganti dengan hukuman penjara atau hukuman lainnya. Namun penghapusan tersebut tidak berdampak pada keberadaan


(38)

seppuku. Seppuku tetap muncul dan dilakukan oleh mereka yang mewarisi

keagungan warisan budaya lama yang sulit untuk ditemui pada Jepang modern.

Unsur kesetiaan pun masih dapat ditemukan pada praktek seppuku

pada era ini. Perbedaan dengan era sebelumnya hanyalah pada ke-ilegalannya sebagai suatu bentuk hukuman, lebih bersifat spontan dan tidak melalui upacara resmi, sama seperti seppuku pada era sebelum era

Tokugawa.

C. Jenis dan Makna Seppuku

Jenis seppuku biasanya bergantung pada motivasi yang melatarbelakangi

dilakukannya seppuku. Ada beberapa jenis seppuku yang dilakukan samurai

dalam hal ini, yaitu :

a. Junshi : kadang-kadang disebut juga sebagai chugi-bara atau oibara.

Dilakukan sebagai bentuk kesetiaan terhadap tuannya. Seorang samurai atau anggota klan yang ditinggal mati oleh tuannya akan melakukan pembinasaan diri melalui seppuku sebagai bentuk dari kesetiaan.

Terkadang pembinasaan diri juga dilakukan tanpa melakukan seppuku

melainkan dengan mencukur rambut, masuk kuil dan menjadi seorang biksu agar dapat mendoakan tuannya yang telah mati.

Contoh dari pelaksanaan junshi adalah seppuku yang dikisahkan pada Hogen Monogatari (kisah perang saudara Hogen pada 1156). Naiki

no Heita pengasuh dari anak-anak Minamoto no Tameyoshi melakukan

seppuku karena ditinggal mati oleh tuannya. Juga kisah Minamoto no


(39)

berjumlah sekitar seratus orang meninggalkan kehidupan dunia dan menjadi biksu.

b. Kanshi : yaitu seppuku yang dilakukan sebagai bentuk dari protes atau

nasihat dan peringatan terhadap kesalahan yang dilakukan tuannya. Contoh dari seppuku kanshi adalah seppuku yang dilakukan oleh

Masaharu Nonaka pada tahun 1999 yang merobek perutnya dengan pisau untuk memprotes kebijakan manajemen yang melakukan restrukturisasi di perusahaan tempatnya bekerja.38

Meskipun disebut protes, namun seppuku kanshi sebenarnya tetap

bertujuan untuk menunjukkan kesetiaan yaitu dengan cara memperingatkan kepada tuannya bahwa apa yang dilakukannya adalah tidak benar dan diharapkan jangan terulang lagi dikemudian hari.

Seppuku yang dilakukan Yukio Mishima juga dapat masuk pada

kategori ini. Hal ini terlihat dari Mishima‟s Gekibun (manifesto Mishima) yang diucapkannya sebelum melakukan seppuku. Mishima

mengakhiri manifestonya dengan mengatakan : 39

”let us restore Nippon to its true state and let us die.

Will you value only life and let the spirit die?... we will show you a value wich is greater than respect

38 Masaharu Nonaka (58) dipensiunkan dari posisinya sebagai salah satu manajer di

perusahaan pembuat ban Brigedstone. Media menyebutnya dengan risutora seppuku yang

menggambarkan dampak dari kelesuan ekonomi Jepang. Sheryl Wudunn ”Manager Commits Hara-Kiri to Fight Corporate Restructuring”, New York Times edt. 24 Maret 1999. Dikutip dari http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?sec=health&res=9A04E3DD1F31F937A15750C0A96 F958260 tanggal akses 13 April 2008.

39 Yukio Mishima, seorang novelis terkenal Jepang bersama anak buahnya, Masakatsu

Morita, melakukan seppuku setelah sebelumnya menawan Jenderal Kanetoshi Mashita di Markas

Besar Militer Jepang. Momen ini digunakan Mishima untuk mendorong militer Jepang untuk bangkit kembali setelah keterlibatannya dalam pemerintahan dikurangi sejak kekalahan Jepang pada PD II. Kejadian ini terjadi pada tahun 1970 dan diliput oleh media seantero Jepang. Lihat Henry Scott Stokes, The Life and Death of Yukio Mishima, (Tokyo : Charles E. Tuttle Co., 1985),


(40)

for life. Not liberty, not democracy. It is Nippon! Nippon, the land of history and traditions. The

Japan we love”

”Biarkan kami menunjukkan kepada Jepang apa itu

negara yang sebenarnya dan biarkan kami mati. Akankah kalian hanya menghargai hidup dan membiarkan semangat mati?... akan kami tunjukkan kepada kalian seseuatu yang lebih bernilai dan agung dari pada hidup. Bukan kebebasan, bukan demokrasi. Ini Jepang, tanah sejarah dan tradisi.

Jepang yang kami cintai”

Sembari menangis Mishima meneriakkan

“I salute the Emperor!, Tenno Heika Banzai, Tenno

Heika Banzai, Tenno Heika Banzai!”

“Hormat pada kaisar! Panjang umur Kaisar, panjang umur Kaisar, panjang umur Kaisar!”

c. Sukotsu-shi : adalah jenis seppuku yang dilakukan sebagai penebusan

atas kesalahan yang telah dibuat. Seppuku yang dilakukan oleh Taki

Zenzaburo (1868) merupakan jenis ini. Taki Zenzaburo, seorang anak buah dari Putra Mahkota Bizen, mengakui kesalahannya karena telah menyerang pemukiman orang asing di Hiogo. Ia menebus kesalahannya dengan melakukan seppuku. Sesaat sebelum

melaksanakan seppuku Taki Zenzaburo berucap :

”I, and I alone, unwarrantably gave the order to fire

on the foreigners at Kôbé, and again as they tried to escape. For this crime I disembowel myself, and I beg you who are present to do me the honour of witnessing

the act.” 40

40 Peristiwa ini disaksikan oleh para perwakilan negara-negara asing yang ada di Jepang

sebagai saksi bahwa hukuman telah dilakukan. Lord Redesdale nama lain dari Algermon Bertram Freeman-Mitford, adalah seorang pejabat dikedutaan Inggris di Jepang saat peristiwa ini berlangsung. Ia menjadi orang asing pertama yang merekam bagaimana prosesi upacara seppuku

dilakukan. Ia merekam peristiwa ini dalam bukunya A. B. Mitford, Tales of Old Japan, (Tokyo :


(41)

“Saya, dan saya sendirilah, yang memberi perintah

yang tidak bertanggung jawab untuk menyerang orang-orang asing di Kôbé, terus menerus hingga mereka keluar dari sana. Atas kejahatan ini saya akan membelah perut saya sendiri, dan saya mohon kepada semua hadirin untuk menjadi saksi yang terhormat

bagi saya untuk melakukan ini.”

d. Munen-bara Dikenal juga sebagai Funshi, seppuku yang dilakukan

karena kemarahan.

e. Jigai : Seppuku yang dilakukan oleh wanita. Biasa dilakukan

karena tidak mampu menahan aib atau untuk menunjukkan kesetiaan kepada orang yang dicintainya.

D. Pola dan Teknik Seppuku

Dilihat dari cara pelaksanaan, seppuku dapat dibedakan menjadi dua pola, Genkei dan Teikei. Genkei adalah model seppuku yang asli. Seppuku Genkei

dilakukan dengan cara merobek dinding perut kemudian mengeluarkan isi perut yang bertujuan untuk menunjukkan pengorbanan kepada dewa. Cara ini kemudian dianggap kurang efektif karena pelaku seppuku tidak langsung menemui ajal.

Pelaku seppuku akan sekarat terlebih dahulu dan tersiksa terkadang hingga esok

hari sebelum akhirnya menemui ajal. Atas dasar inilah seppuku kemudian

disempurnakan. Cara seppuku yang disempurnakan itulah yang disebut dengan SeppukuTeikei.

Pada Seppuku Teikei diadakanlah seorang kaishakunin41 (baca : kee-sha-kunin) yang bertugas untuk memenggal kepala pelaku seppuku. Tujuannya adalah

41 Secara harfiah berarti menghadiri, menjaga atau melayani. Sesuai dengan namanya, Kaishakunin bertugas untuk memenggal kepala pelaku seppuku. Tujuannya adalah untuk

membantu mengurangi penderitaan yang dialami pelaku seppuku. Lihat Jack Seward, Hara-Kiri,


(42)

untuk membantu mengurangi penderitaan yang dialami pelaku seppuku. Peran ini

resmi diadakan pada era Tokugawa oleh Shogun Tokugawa Ietsuna. Alasan diadakannya kaishakunin adalah untuk tidak membiarkan pelaku seppuku

menderita lebih lama. Selain itu juga untuk mencegah ditangkap musuh dalam keadaan sekarat setelah melakukan seppuku. Dalam perang, para samurai

menganggap mati lebih baik dibandingkan harus ditangkap oleh musuh oleh sebab itu kehadiran kaishakunin sangatlah penting untuk mempercepat kematian.

Kehadiran kaishakunin juga diperlukan dalam upacara seppuku sebagai

hukuman. Hal ini disebabkan upacara seppuku sering hanya dijadikan simbol

sebuah kebesaran dan keagungan sementara si terhukum belum tentu benar-benar merobekkan perutnya. Ini terjadi karena terhuum melakukan perbuatan yang tercela menurut tradisi bushido semisal lari dari tugas sehingga ia seharusnya

tidak mendapat kehormatan untuk melakukan seppuku namun statusnya sebagai

seorang samurai menuntutnya untuk melakukan seppuku. Pada kasus seperti ini

kaishakunin akan langsung memenggal kepala terhukum sesaat si terhukum menusukkan pisau ke perutnya. Dalam beberapa kasus lainnya kaishakunin bahkan langsung memenggal kepala terhukum ketika ia baru saja mengambil

tanto dan bersiap melakukan seppuku.

Pelaksanaan seppuku Genkei memiliki pola potongan yang lebih panjang

karena pelaku seppuku biasanya mengeluarkan isi perutnya sebagai persembahan.

Namun dalam seppukuTeikei potongan perut menjadi lebih pendek karena pelaku seppuku dibantu kaishakunin untuk menemui ajalnya.

Sementara itu ada beberapa teknik perobekan perut yang dikenal untuk melakukan seppuku. Pertama teknik Ichimonji atau teknik memotong perut


(43)

dengan satu kali potong. Teknik ini juga memiliki beberapa variasi yaitu vertikal, horizontal atau diagonal. Dalam melakukan teknik ini, pisau ditusukkan diperut sebelah kiri (bisa dibawah atau diatas pusar) lalu secara perlahan pisau ditarik ke kanan hingga merobek perut. Untuk model vertikal pisau ditusukkan dari bawah tulang dada dan kemudian ditarik kebawah hingga pusar atau melewatinya. Sedangkan untuk model diagonal, pisau ditusukkan dari bawah tulang rusuk sebelah kiri atau kanan dan ditarik secara diagonal kebawah pusar.

Kedua adalah teknik Ichimonji Rigi-Rigi. Teknik ini memiliki model

vertikal dan horizontal. Tekniknya pun hampir sama dengan teknik Ichimonji namun proses pemotongannya membentuk gerigi seperti mata gergaji. Ketiga

teknik Jumonji yaitu teknik seppuku yang dilakukan dengan dua kali pemotongan

membentuk salib. Teknik ini merupakan penggabungan antara teknik Ichimonji vertikal dan horizontal.

E. Tata Cara dan Formalitas Pelaksanaan Seppuku

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab kajian pustaka penelitian ini, upacara seppuku akan dilihat melalui rumusan antropologis yang ditawarkan oleh

Koentjaraningrat (1990) yaitu aspek waktu upacara, tempat upacara, alat-alat upacara dan pemimpin upacara.

Dari sejarah perkembangan seppuku dapat diketahui bahwa waktu

pelaksanaan seppuku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Pelaksanaan seppuku yang resmi : pelaksanaan seppuku dilakukan

melalui rangkaian kegiatan baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan

seppuku. Istilah ‟resmi‟ disini merujuk pada upacara pelaksanaan seppuku pada era-Tokugawa yang menjadikan seppuku sebagai


(44)

hukuman resmi negara bagi para samurai yang dianggap melanggar aturan. Dalam hal ini, pelaksanaan seppuku menyerupai pelaksanaan

eksekusi sebuah putusan pengadilan pada masa sekarang.

b. Pelaksanaan seppuku yang spontan : biasanya terjadi di tengah-tengah

medan pertempuran guna menghindari ditawan oleh musuh karena bagi seorang samurai lebih baik mati dari pada harus ditawan oleh musuh. Istilah seppuku spontan yang dimaksud bukan berarti bahwa seppuku

dilakukan secara tiba-tiba tanpa ada persiapan sebelumnya, namun yang dimaksud sebagai seppuku spontan adalah seppuku yang dilakukan tanpa protokoler

kegiatan yang dilakukan pada upacara seppuku resmi.42

Dalam kasus pertempuran, seorang samurai yang merasa sudah dekat dengan kekalahan akan mencari sudut yang sunyi dari medan pertempuran untuk melakukan seppuku sementara seorang samurai lainnya menghadang musuh.

Kasus-kasus seppuku diluar Era Tokugawa biasanya termasuk dari seppuku jenis

ini, meskipun tidak semua.

Pelaksanaan seppuku pada Era Tokugawa memiliki aturan-aturan

protokoler yang teratur. Hal ini disebabkan karena pada saat itu seppuku dijadikan

sebagai salah satu hukuman resmi. Ini terlihat dari tingkatan hukuman yang diberikan pada kelas samurai oleh pemerintah yaitu : 43

1. Hissoku : Pengasingan untuk bertobat. Hukuman ini terdiri dari tiga

bagian yaitu menahan diri, bertindak kaku dan merendahkan diri.

42 Pengetahuan tentang

seppuku sendiri sebenarnya sudah diajarkan kepada keturunan

dari keluarga samurai ketika mereka mulai beranjak dewasa. Seorang anak yang berumur sembilan tahun akan diberikan pedang kayu dan mempelajari teknik menggunakannya dalam pertarungan termasuk untuk melakukan seppuku jika sewaktu-waktu keadaan mendesak mereka untuk

melakukan itu.

43 Peraturan tersebut disusun dari model hukuman yang terdapat dibeberapa han


(45)

2. Heimon : Tahanan rumah. Ini dapat dibagi menjadi dalam dua

golongan, tahanan rumah selama 50 hari dan 100 hari.

3. Chikkyo : Tahanan yang diasingkan. Ini dapat dibagi menjadi tiga

jenis ; pengasingan dalam kamar, pengasingan sementara dan pengasingan sampai mati.

4. Kai-eki : Pencabutan. Pencabutan status secara permanen dari

klannya.

5. Seppuku

Waktu yang digunakan untuk melakukan upacara bisa kapan saja sesuai dengan perintah dari pemerintah. Sebelumnya orang yang harus melakukan

seppuku harus dipastikan bahwa dia memang bersalah dan pantas untuk

melakukan seppuku. Mengenai pelaksanaannya tidak ada waktu khusus bagi

pelaksanaan seppuku namun pada umumnya pelaksanaan hukuman seppuku

dilakukan pada malam hari

Tidak ada aturan khusus yang mengatur tempat pelaksanaan seppuku,

khususnya seppuku yang dilakukan secara spontan namun pada era Tokugawa

pada umumnya pelaksanaan upacara seppuku dilakukan disebuah kuil atau taman

disebuah rumah yang terjaga privasinya dan yang sudah ditunjuk oleh pengadilan.

Jack Seward mencatat bahwa pada tahun 1647, Pengadilan Osaka telah memerintahkan seorang terdakwa melakukan seppuku di Kuil Kanzanji, pada

tahun 1644 seorang samurai juga diperintahkan untuk melakukan seppuku di kuil


(46)

Edo. Kuil Shinryuji di Edo pun beberapa kali digunakan sebagai tempat pelaksanaan seppuku pada era Tokugawa.

Dari beberapa nama kuil diatas nampak bahwa kesemuanya itu adalah kuil Buddha. Kuil Seifukuji yang digunakan untuk pelaksanaan seppuku Taki

Zenzaburo pada tahun 1868 di Kôbé pun adalah kuil Buddha.

Untuk pelaksanaan seppuku yang dilakukan di kuil, kuil Shinto memang

tidak pernah digunakan. Pelaku seppuku biasanya melakukan seppuku di kuil

Buddha. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan Shinto yang menganggap bahwa mayat adalah sesuatu yang buruk bagi pendeta yang suci. Hal ini berbeda dengan kepercayaan Buddha yang memang menggunakan segala struktur yang berkaitan dengan kesucian untuk persiapan kematian. Dari sini, kuil-kuil Buddha menjadi tempat yang ideal bagi pelaksanaan seppuku.44

Tempat melakukan upacara seppuku pada umumnya disesuaikan dengan

status sosial pelaku seppuku itu sendiri. Untuk kalangan yang memiliki kedudukan

tinggi biasanya memakai tatami (matras jepang) yang disusun membentuk huruf

“T”. Luasnya sekitar 36 shaku persegi (1 shaku =  14 inchi) dan diletakkan futon (bantal kecil untuk duduk) diatasnya. Namun pada permulaan abad ke-19

tempatnya diperkecil menjadi 18 shaku persegi dan berlaku untuk segala kasus.

Disebelah utara tempat eksekusi terdapat gerbang utara yang disebut shugyo-mon

(gerbang petapa) dan disebelah selatan terdapat gerbang selatan yang disebut

nehan-mon (gerbang nirvana). Gerbang-gerbang tersebut biasanya berbentuk

seperti torii yang memiliki tinggi sembilan kaki dan lebar tujuh kaki. Pelaku

44


(47)

seppuku akan masuk melalui gerbang utara, sementara kaishakunin akan masuk

melalui gerbang selatan

Disetiap sudutnya terdapat tiang-tiang yang digunakan untuk memasang tirai. Digantungkan juga pita putih panjang yang disebut mojiki (panji ketidak

belas kasihan). Jika upacara dilakukan diluar ruangan maka biasanya ditaburi pasir putih disekitar tatami. Jenis pasir yang sama juga biasa digunakan pendeta

Zen untuk melatih diri dengan membuat pola-pola tertentu di sebuah taman pasir. Didepan tatami diletakkan sambo (baki yang biasanya digunakan untuk

menghidangkan makanan) diatasnya diletakkan wakizashi (pedang pendek) atau tanto (pisau). Panjang sebuah tanto biasanya 0,95 shaku atau  11,5 inchi.

Untuk mencegah pelaku seppuku menjadikannya senjata untuk melawan, biasanya

gagang dari senjata tajam tersebut sudah dicabut.

Dalam upacara, pelaku seppuku mengenakan kimono berwarna putih serta

mengenakan hakama (celana lebar yang biasa digunakan utnuk menunggang

kuda). Untuk orang yang memiliki kedudukan tinggi diperkenankan untuk memakai kamishimo (semacam jas bagi kalangan samurai).

Upacara dimulai ketika terhukum memasuki area upacara melalui shugyo-mon yang diletakkan disebelah utara dan akan langsung duduk menghadap shogyo-mon. Pada saat yang sama seorang kaishakunin akan masuk melalui nehan-mon yang ada disebelah selatan dan langsung duduk di samping kiri

belakang terhukum, kira-kira empat kaki. Menurut salah satu pendapat, adalah tabu bagi terhukum untuk melakukan seppuku dengan menghadap utara atau

timur. Hal ini dilandasi kepercayaan bahwa timur adalah arah kelahiran dan menghadap utara berarti menunjukkan ketidakhormatan kepada kaisar. Jika


(1)

Leslie A. White, The Symbol, on Lewis A. Coser & Bernard Rosenberg (ed.), Sociological Theory : A Book of Readings, Third Edition, (London : The

Macmillan Company, 1972).

Lily Abegg, The Mind of East Asia, (London : Thames and Hudson, 1952).

Marilyn J. Harran, “Suicide (Buddhism and Confucianism)” in The Encyclopedia of Religion, ed. in chief Mircea Eliade, vol. 14, (New York: Macmillan, ).

Mark Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan ; Kebangkitan Global Kekerasan Agama, (Jakarta ; Nizam Press & Anima Publishing, 2002).

Minoru Kiyota, Kendo ; Its Philosopy, history and Means to Personal Growth,

(London : Kegan Paul Int, 1994).

Oscar Ratti and Adele Westbrook, The Secrets of the Samurai : A Survey of the Martial Arts of Japan, (Rutland : Tuttle, 1973).

R. H. P. Mason & J. G. Caiger, A History of Japan, (Tokyo : Charles E. Tuttle

Company, 1972).

Robert N. Bellah, Religi Tokugawa : Akar-Akar Budaya Jepang, (Jakarta :

Gramedia, 1992).

Sadao Hibi, The Colours of Japan, (Tokyo : Kodansha Pub., 2000).

Sokyo Ono, Shinto The Kami Way, (Tokyo : Charles E. Tuttle Comp, 1999).

Stephen Turnbull, Samurai : The World of the Warior, (Great Britain : Osprey

Publishing, 2003).

Taisen Deshimaru, The Zen Way To The Marial Arts, (USA : E. P Duthon, 1982).

Tashiro Naotsugu, Sogi Ohaka no Shintoku Zensho, (Tokyo : Ikeda Shoten, 1997).

Tokuji Chiba, Seppuku no Hanashi, (Tokyo : Kodansha, 1972).

Totok S. Wiryasaputra, “Bunuh Diri, Hopeless Atau Helpless?”, 2008.

Winston L. King, Zen and the Way of the Sword, (New York : Oxford Univ.

Press, 1993).

Wolfgang Wildgen, The Phenomenology of Symbolic Forms (Cassirer) and Geometrical Reductionism (Klein, Leyton), paper on Winter-Symposium :

Cognition and Phenomenology, Philosopical Implications of –and Preconditions for- the Study of Meaning, 2004.


(2)

“Hara-kiri”, Encylopedia Britanica vol. 11, (London : William Benton Publisher,

1965).

“Hara-kiri”, The Oxford Dictionary, vol. V (London : Oxford University Press,

1970).

“Seppuku”, Webster‟s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English

Language, (New York : Dilithium Press, 1989).

Majalah

Sheryl Wudunn ”Manager Commits Hara-Kiri to Fight Corporate

Restructuring”, New York Times edt. 24 Maret 1999. Tempo edisi 20-26 Oktober 2003.

Sinar Harapan “Suasana Hati Pengaruhi Keinginan Bunuh Diri”, Rabu, 29

Januari 2003

Internet

“Content Analysis”, http://en.wikipedia.org/wiki/Content_analysis.

“Hojo Ujimasa”, http://en.wikipedia.org/wiki/H%C5%8Dj%C5%8D_Ujimasa. “Kasus Bunuh Diri Massal di Malang Dianggap Selesai” ANTARA NEWS edisi

13/03/07. http://www.antara.co.id/arc/2007/3/13/kasus-bunuhdiri-massal-di-malang-dianggap-selesai/

“Korechika Anami”, http://en.wikipedia.org/wiki/Korechika_Anami. “Nogi Meresuke”, http://en.wikipedia.org/wiki/Nogi_Maresuke

“suicide statistics”, www.befriendsterindia.com

“The poetry of death ; Posts Tagged „Yukio Mishima‟”, www.

sensitivitytothings.com

“Thingking About Suicide ?”, www.thedailyenlightenment.com.

“Why do people kill themselves”, www.befriendersindia.com


(3)

”Dantian”, http://en.wikipedia.org/wiki/Dantian. ”Fudoki”, http://en.wikipedia.org/wiki/Fudoki.

”History of Japan” http://www.japan-guide.com/e/e2124.html ”Sen no Rikyu”, http://en.wikipedia.org/wiki/Sen_no_RikyÅ«,. ”Shibata Katsuie”, http://en.wikipedia.org/wiki/Shibata_Katsuie.

Lun Yu, www.confucius.org.

Majjhima Nikaya, Channovada Sutta, www.tipitaka.com. Sutta Pitaka, Samyutta Nikaya, www.tipitaka.com.


(4)

Lampiran I

Buke Shohatto

1. Mempererat hubungan antara sipil dan militer

2. Harus mengontrol perilaku yang berfoya-foya dan tidak bermoral

3. Orang yang melanggar peraturan tidak boleh dilindungi oleh daerah manapun

4. Para daimyo dan samurai kelas atas harus mengeluarkan setiap prajurit yang dituduh terlibat dalam pengkhianatan dan pembunuhan

5. Selanjutnya pada penguasa daerah tidak diperkenankan bersahabat dengan penguasadaerah lain

6. Perbaiakn istana harus dilaporkan dan pembangunan baru tidak diperkenankan

7. Jika ada daerah-daerah yang bertetangga dan berkomplot merencanakan sesuatu, mereka harus dilaporkan saat itu juga

8. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa ada alasan yang tepat 9. Daimyo harus patuh kepada peraturan yang berhubungan dengna shogun 10.Pakaian tidak beres menuju kepada satu status

11.Masyarakat yang bukan dari kelas atas, diperbolehkan naik tandu hanya dengan alasan yang tepat

12.Samurai diseluruh daerah harus hidup sederhana

13.Daerah harus memilih anggota yang berbakat dalam pelayanan kepada negara.


(5)

Lampiran II

Gambar 1. Ilustrasi tempat upacara seppuku.

Tampak seorang terhukum duduk diatas tatami putih. Didepannya terdapat tanto yang diletakkan diatas sambo. Terhukum duduk menghadap shugyo-mon di sebelah utara. Dibelakangnya berdiri seorang kaishakunin yang masuk dari nehan-mon di sebelah selatan. Kedua gerbang tersebut

berbentuk torii.

Sumber : "Sketches of Japanese Manners and Customs", by J. M. W. Silver, Illustrated by Native Drawings, London, 1867. Dikutip dari “http://en.wikipedia.org/wiki/Seppuku”

Gambar 2. Tanto diatas sambo Sumber : "http://en.wikipedia.org/wiki/Seppuku"


(6)

Gambar 3. Torii, gerbang khas kuil Shinto di Jepang Sumber : www.britannica.com

Gambar 4. Gohei dan Shimenawa

Keduanya lazim diletakkan di sebuah ruangan sebagai tanda bahwa ruangan tersebut telah disucikan dan dipenuhi kekuatan kami.

Sumber : www.britannica.com

Gambar 5. Taman pasir Zen

Lazim digunakan sebagai sarana latihan pendeta Zen untuk melatih ketenangan pikiran. Bentuknya diyakini menggambarkan keadaan

pikiran pembuatnya. Sumber : www.britannica.com