Budaya Bunuh Diri Di Jepang

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ari Ginanjar. 2010. Spiritual Samurai. Jakarta: ArgaTilanta.

Benedict, Ruth. 1989. Pedang Samurai danBungaSeruni (The Chrysantheum and The Sword), AlihBahasa, Pramudji.Jakarta :SinarHarapan

Edizal, Takayuki Inohana. 2002.MengertiBahasa Dan BudayaJepang. Padang :Kayupasak.

Fukutake, Tadashi. 1988. “MasyarakatJepangdewasaIni( Japanese Society Today)”, AlihBahasa, Haryono. Jakarta : PT. Gramedia.

Ginting.Paham.2006.FilsafatIlmudanMetodePenelitian.Medan : USU Press Meleong. 2005. MetodologiPenelitianKualitatifEdisiRevisi. Bandung : PT.

RemajaRosdaKarya.

Nazir, Moh. 1988. MetodePenelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Surajaya, I Ketut. 1984. PergerakanDemokrasiJepang. Jakarta: PT. KaryaUnipress. Situmorang, Hamzon. 2006. IlmuKejepangan. Medan: USU Press.

---. 2013. MinzokuGaku (Ethnologi) Jepang. Medan: USU Press http://www.antaranews.com/berita/1268567708/memahami.budaya.malu.jepang


(2)

http://carapedia.com/pengertian_defenisi_metode_menurut_para_ahli-_info497.html

http://www.ianfuindonesia.webs.com

http://wilson-therik.blogspot.cmp/2008/03/m3ng3nal-sosiologi-emille.durkheim.html

100-8916 東京都千代田区霞が関1-2-2 電話:03-5253-1111(代表) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.


(3)

BAB III

PERGESERAN MOTIF DAN BENTUK BUNUH DIRI DARI ZAMAN FEODAL HINGGA DEWASA INI

3.1 MOTIF BUNUH DIRI

Ada beberapa pendapat mengenai mengapa orang memilih untuk melakukan bunuh diri/jisatsu ( 自 殺 ). Seorang psikolog Sartono Mukadis, mengatakan ada beberapa motif seseorang melakukan bunuh diri/jisatsu (自 殺). Sartono Mukadis mengelompokkan 4 pandangan tentang motif seseorang melakukan tindakan bunuh diri/jisatsu ( 自 殺 ) yaitu berdasarkan romantisme atau heroitisme,eksistensial, dan patologis serta absurditas. Motif jisatsu ( 自殺) eksistensial adalah seseorang melakukan bunuh diri agar eksistensinya dihargai dengan cara bunuh diri. Motif bunuh diri/jisatsu (自殺) romantisme dilakukan karena dianggap bunh diri merupakan sesuatu yang romantic sedangkan bunuh diri/ jisatsu (自 殺) heroitisme ini banyak dilakukan dikalangan anak-anak karena mengaitkan tindakan bunuh diri dengan tindakan pahlawan yang sering dilihatnya di film-film atau berpikir dengan melakukan tindakan pengorbanan diri maka dianggap bahwa itu adalah tindakan seorang pahlawan. Motif jisatsu (自殺) patologis merupakan bunuh diri/jisatsu (自 殺) yang dilakukan seseorang sedang dalam keadaan yang tidak normal baik secara fisik maupun mental sedangkan bunuh diri/ jisatsu (自 殺) absurditas adalah bunuh diri yang tidak diketahui alasannya.


(4)

Pada fenomena jisatsu (自殺) yang muncul di Jepang pada masa feodal dapat dikatakan sebagai jisatsu (自殺) alturistik (hal. 22). Jisatsu (自殺) alturistik merupakan –bentuk bunuh diri yang dilakukan sabagai pengorbanan diri yang dianggap sebagai makna penyatuan diri terhadap kelompok sosialnya, sedangkan jisatsu (自 殺) pada saat sekarang ini cenderung dikatakan sebagai jisatsu (自 殺) egoistic.

Selain dari motif dan tipe jisatsu (自 殺) di atas, pandangan orang terhadap jisatsu (自殺) juga dapat menjadi alasan orang untuk melakukan bunuh diri. Di Jepang banyak motif yang mendasari seseorang dapat melakukan jisatsu (自殺), diantaranya :

3.1.1 Penyakit yang Tak Kunjung Sembuh di Kalangan Lansia

Jepang merupakan salah satu Negara yang menganut pola hidup sehat. Salah satu buktinya adalah masyarakat Jepang membudidayakan sendiri sayuran dan buah-buahan tanpa bahan pengawet. Dengan pola hidup sehat ini angka kehidupan masyarakat Jepangpun tinggi. Adapun dari antara masyarakat Jepang yang mengalami gangguan kesehatan yaitu kalangan lansia. Penyakit dikalangan lansia di Jepang biasanya disebabkan oleh faktor usia,seperti ; daya tahan tubuh yang kurang, daya ingatanpun menurun hingga penyakit yang tak kunjung sembuh. Tingginya persentase penduduk lansia di Jepang, menyebabkan munculnya masalah-masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat. Salah satu masalah yang muncul adalah beban


(5)

yang berat akan menimpa keluarga yang merawat sendiri anggota keluarga lainnya yang berusia lanjut sampai-sampai mungkin harus melepaskan pekerjaannya sendiri. Dengan usia yang tidak produktif lagi serta adanya penyakit yang tak kunjung sembuh lebih cenderung membuat kaum lansia di Jepang stress dan cenderung lebih sensitif, hal ini merupakan salah satu hal yang menjadi penyebab kaum lansia banyak melakukan bunuh diri/ jisatsu (自殺). Bunuh diri/jisatsu (自殺) yang dilakukan oleh kaum lansia ini didasari oleh rasa malu karena telah menjadi beban buat keluarga intinya dan rasa bersalah karena sudah menjadi beban buat keluarga dan masyarakat.

Motif bunuh diri karena penyakit tak kunjung sembuh ini pada zaman feodal juga telah ada akan tetapi jumlah persentase bunuh diri karena hal ini tidak sebanyak jumlah persentase zaman sekarang ini. Pada tahun 2014 jumlah bunuh diri di kalangan lansia karena motif ini sebesar 23,6 % dari jumlah 30,6% kalangan lansia yang melakukan bunuh diri.

3.1.2 Depresi

Pengertian depresi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan tertekan dan perasaan semangat menurun dengan ditandai muram, sedih, loyo, karena tekanan jiwa; keadaan merosotnya hal-hal yang berkenaan dengan semangat hidup. Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan. Salah satu penyebab depresi adalah stress. Stress


(6)

terjadi karena peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti trauma, kehilangan seseorang yang berarti, hubungan yang buruk, tanggung jawab pekerjaan, mengasuh anak dan lansia, penyalahgunaan, kemiskinan mungkin memicu gangguan depresi pada beberapa orang.

Jepang merupakan salah satu Negara termahal di dunia. Jepang juga memiliki tingkat mobilitas kehidupan yang tinggi. Tak jarang masyarakat Jepang harus berusaha dengan giat untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya yang semakin lama semakin banyak sementara kehidupan ekonomi seseorang tidak berubah. Sehingga tingkat depresi di Jepang juga cukup tinggi. Di Jepang kaum pria cenderung lebih mudah terserang depresi, hal ini dikarenakan masalah-masalah di lingkungan pekerjaan dan tuntutan kehidupan ekonomi yang semakin tinggi. Semenjak krisis ekonomi di Jepang banyak perusahan di Jepang yang terlilit hutang sehingga perusahaan Jepang menuntut para karyawan untuk lebih giat bekerja agar memberi keuntungan yang besar kepada perusahaan. Tuntutan pekerjaan serta persaingan di tempat pekerjaan tak jarang menyebabkan depresi yang berkepanjangan bagi para karyawan perusahaan. Himpitan ekonomi dan tekanan pekerjaan yang menumpuk membuat tingkat depresi semakin tinggi. Tidak jarang apabila seseorang merasakan tekanan jiwa yang secara terus menerus datang tidak hanya dari masalah pribadi, namun juga muncul dari organisasi dan lingkungan di sekitarnya melakukan tindakan yang bertentangan dengan akal sehat yaitu melakukan tindakan bunuh diri/jisatsu (自殺). Bunuh diri karena faktor stress di Jepang menjadi fenomena yang ada pada saat ini.


(7)

3.1.3 Krisis Dalam Hubungan Personal

Krisis dalam hubungan personal adalah adanya konflik-konflik antar hubungan masyarakat, seperti konflik-konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang yang terkasih akibat kematian. Faktor ini menyebabkan hubungan emosianal antara sesama menjadi tidak ada. Sikap kepedulian terhadap sesama, lingkungan, dan keluarga mengakibatkan seseorang di Jepang merasa sendiri. Hal ini terjadi disemua kalangan tidak hanya dikalangan dewasa tapi juga dikalangan remaja. Krisis hubungan personal ini sering dialami oleh remaja di Jepang saat ini. Remaja di Jepang saat ini sering mengalami masalah dengan orang tua dan lingkungan dalam masyrakatnya misalnya adanya bullying/ijime yang dilakukan di sekolah oleh orang-orang terdekat seperti kakak kelas, guru dan teman-teman sekelas, hal inilah yang menjadi dasar yang mengakibatkan remaja di Jepang saat ini melakukan tindakan bunuh diri/ jisatsu (自殺).

3.1.4 Kegagalan dan Devaluasi Diri

Bunuh diri/ jisatsu (自 殺) karena motif kegagalan sudah terjadi sejak zaman feodal dulu dimana pada zaman itu banyak kaum samurai melakukan seppuku (切 腹) karena kegagalan dalam menjalankan tugas dari tuannya dan gagal dalam perang. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan gagal dalam perang tersebut mengakibatkan hilangnya harga diri. sehingga untuk menebus rasa malu dan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap tugas yang telah gagal dilaksanakan maka pada masa itu para kaum samurai melakukan seppuku(切腹).


(8)

3.1.5 Konflik Batin

Stress timbul akibat adanya pertentangan dalam diri yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Adanya konflik batin yang ditimbulkan oleh perasaan yang tidak sesuai dengan keadaan yang diluar kendali seseorang tersebut. Konflik batin ini mengakibatkan kecemasan, bingung, ragu-ragu. Dewasa ini banyak keluarga di Jepang mengalami kecemasan, bbingung dan ragu-ragu antara hidup dan mati. Banyak orang tua di Jepang mengalami depresi karena kehidupan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi dan kebutuhan hidup yang semakin banyak memberikan beban yang berat kepada orang tua. Tidak dapat memenuhi kehidupan dan cemas dengan kebahagian anak inilah yang menjadi pertentangan yang terjadi di dalam batin orang tua di Jepang. Dengan keragu-raguan yang seperti hal di atas sehingga mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri bahkan bunuh diri bersama dengan anak-anak mereka.

3.1.6 Kehilangan Makna dan Harapan Hidup

Harapan merupakan keinginan yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap manusia yang berada di Dunia ini. Harapan merupakan semangat untuk mencapai apa yang diinginkan. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan harapan tersebut tidak terwujud dan menyebabkan kehilangan makna dalam hidup. Kehilangan makna hidup ini berarti bahwa seseorang sudah tidak memiliki alasan untuk hidup, seseorang merasa bahwa hidup ini adalah sia-sia.


(9)

Kehilangan makna dan harapan hidup banyak dirasakan oleh para kaum samurai pada zaman feodal dulu. Ketika gagal dalam perang dan tidak dapat membalaskan budi baik tuannya, saat itu juga para kaum samurai telah kehilangan makna untuk hidup dan pada saat tuannya meninggal dalam peperangan maka kaum samurai melakukan tindakan bunuh diri mengikut tuannya karena kehilangan harapan untuk hidup.

3.2 Bentuk Bunuh Diri

Dalam teori psikologi, perilaku bunuh diri/ jisatsu (自 殺) merupakan suatu tindakan yang merupakan hasil dari suatu kepanikan atau letupan sesaat, dorongan yang tiba-tiba antara terpicu dan bertindak dan berlangsung antara sekejap dalam hitungan waktu. Maka dariitu banyak bentuk bunuh diri/ jisatsu (自殺) yang dilakukan oleh orang yang bunuh diri dengan berbagai cara untuk membunuh dirinya sendir tergantung pada kesempatan yang ada dalam waktu yang singkat.contohnya jika seseorang berada di dalam suatu tempat yang tinggi dan dalam keadaan emosi yang memuncak maka jalan yang dipilih untuk mengakhiri hidupnya yaitu melompat dari tempat yang tinggi tersebut. Selain itu ada beberapa bentuk bunuh diri/ jisatsu (自殺) yang akan dijabarkan sebagai berikut :

3.2.1 Harakiri (腹切) dan Seppuku (切腹)

Secara harafiahnya hara-kiri dan seppuku mempunyai arti memotong perut meskipun susunan letak huruf kanji berbeda. Walaupun hara-kiri dan seppuku secara harafiah sama, tetapi memiliki perbedaan pemakaiannya, yaitu orang Jepang


(10)

menggunakan istilah seppuku untuk kalangan samurai yang melakukan bunuh diri dengan jalan memotong perutnya, sedangkan hara-kiri memiliki pengertian potong perut dalam arti umum yang tidak digunakan dikalangan kaum samurai. Namun pada dasarnya hara-kiri dan seppuku merupakan bentuk bunuh diri yang sangat perih, orang-orang yang mempunyai nilai keagungan tertentu dan mau mengalami siksaan seperti itu. Cara bunuh diri yang unik dari bangsa Jepang ini dikenal sejak zaman feodal. Sejak itulah seppuku menjadi berkembang dan menjadi bagian dalam kehidupan para samurai. Seppuku merupakan cara bunuh diri yang dilakukan oleh para kaum samurai. Seppuku telah menjadi kode etik bagi kaum samurai, apabila melakukan kesalahan, gagal dalam perang, tidak dapat membalas budi baik tuannya, dan ingin mengikuti kematian tuannya maka bunuh diri dengan cara seppuku inilah yang dipakai oleh para kaum samurai.

Pada bagian awal dari periode Tokugawa, upacara seppuku dilakukan di kuil. Pada tahun 1644, dimasa Shuso, seoranbg samurai yang diperintahkan untuk melakukan seppuku atas tindak kejahatan. Tempat yang dipakai adalah kuil Shimpukuji, di daerah Kojimachi daerah Edo. Seppuku biasanya dilakukan di dalam kuil, akan tetapi kuil Shinto tidak pernah dipergunakan. Hal ini berasal dari kepercayaan agama Shinto bahwa mayat adalah terkutuk buat hal suci dan buat pendeta.

Tata cara pelaksanaan seppuku ini dilakukan pada malam hari sehingga harus diberikan penerangan lilin. Penerangan lilin tersebut harus remang-remang, karena jika terang dianggap melanggar kesopan santunan. Di dekat tempat duduk si


(11)

pelaku seppuku dipasang dua layar pemisah, terbuat dari kertas putih untuk menutupi pedang katana yang akan dipergunakan untuk merobek perut, yang ditempatkan disebuah nampan; dan sebuah ember tempat menaruh kepala terhukum setelah dipancung. Selain itu disediakan sebuah anglo pembakar dupa, seember air dan sebuah baskom.

Bagi pelaku yang melaksanakan seppuku yang rata-rata berkedudukan tinggi, ukuran tempat untuk upacara pengeluaran isi perut adalah 36 shaku persegi (satu shaku pada masa itu kira-kira 14inci), terdapat dua buah tatami yang bergaris putih (tikar buluh), disusun dengan huruf “T”. Sebuah futon (bantal) berwarna putih yang berukuran sekitar empat kaki persegi diletakkan di atas tatami. Pada keempat sudutnya terdapat kutub-kutub ditegakkan serta mengelilingi tirai yang digantung dari sana. Ketika upacara seppuku dipertunjukkan dalam suatu ruangan, lima lembar kain putih ditumpuk di atas dua buah tatami yang sangat diperlukan dalam upacara itu. Dalam kejadian ini, seluruh ruangan ditutupi dengan tikar, permukaannya dilindungi oleh sebuah beludru berwarna merah padam, yang diletakkan untuk mencegahagar darah tidak mengotori tatami. Biasa pelaku seppuku mengenakan pakaian putih yang berlambang kesucian dan kebersihan. Pedang katana ditusukkan ke perut sipelaku seppuku 6cm di bawah pusar yang disebut tenden. Tidak hanya menusuk saja melainkan juga pedang tersebut harus ditarik dari kiri ke kanan membelah perut. Lalu setelah itu pengawal yang berada di sekeliling pelaku seppuku memenggal kepalanya.


(12)

3.2.2 Melompat dari Ketinggi

Cara ini juga banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang untuk bunuh diri. Bunuh diri ini menjadi salah satu cara yang disukai yang banyak dilakukan dikalangan remaja saat ini di Jepang. Di Jepang ada suatu kuil yang dijadikan tempat “favorit” untuk melakukan tindakan bunuh diri yaitu kuil Kiyomizu dera. Kuil ini merupakan kuil Budha kuno yang dibangun pada tahun 798. Kuil Kiyomizu dera di Kyoto, Jepang ini terkenal dengan 4 hal yaitu ; kuil yang cantik, dapat melihat sunset, air mancur jodoh dan sejarah tempat yang sering digunakan sebagai tempat bunuh diri. Zaman dahulu banayak tentara Jepang yang melakukan bunuh diri di kuil ini karena gagal dalam peperangan. Selain lokasi yang cukup menawan, striktur bangunan yang tinggi menjadi salah satu hal yang mengakibatkan banyak para tentara Jepang melompat dri kuil ini.

Pada saat sekarang ini banyak alasan yang mendorong cara bunuh diri ini bagi kalangan remaja yaitu seperti kegagalan dalam study. Kegagalan dalam study akan berpengaruh buruk dalam kehidupan remaja, baik di lingkungan sekolah, di lingkungan masyarakat dan di lingkungan keluarga. Adanya pandangan rendah dari orang sekitarnya yang menganggap “bodoh” yang mempengaruhi pikiran remaja yang cenderung masih labil. Sehingga tanpa berpikir rasional dan cenderung berpikiran dangkal dengan seketika mereka memperturutkan kata hati untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari atap gedung yang tinggi. Biasanya dilakukan pada saat keadaan disekitar sepi, mereka menaiki gedung yang tertinggi lalu menjatuhkan diri dari gedung tersebut.


(13)

“Seorang murid yang berusia 13 tahun di Osaka setelah menulis pesan kematiannya di papan tulis yang berbunyi “saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya dengan akhir yang begini….. Terima kasih kepada kedua orangtuaku selama ini yang telah mengasuh. Maaf ..” lalu remaja tersebut melompat dari atap gedung sekolahnya”. (Takayuki Inohara dalam mengerti bahasa dan budaya Jepang, 2002:58)

Diketahui penyebab murid tersebut melakukan bunuh diri karena tindakan ijime/bullying yang terjadi di sekolahnya.

3.2.3 Gantung Diri

Awalnya gantung diri adalah bentuk hukuman yang sudah ada sejak zaman romawi. Seutas tali diikatkan pada suatu tiang gantungan, dan ujung tali yang satunya disimpulkan dan diikatkan pada pelaku yang melakukan bunuh diri dengan cara ini. Kematian pelaku bunuh diri ini terjadi dua sebab; pertama pelaku yang lehernya terikat tali akan melepaskan pijakan sehingga akan mematahkan leher karena berat badan tubuh yang tertarik oleh gravitasi. Kedua meskipun leher sipelaku tidak patah akan tetapi tercekiknya leher akan menyebabkan sesak nafas dan pada akhirnya menyebabkan kematian.

Gantung diri merupakan salah satu cara bunuh diri yang dilakukan masyarakat Jepang pada dewasa ini. Bahkan ada hutan yang bernama hutan Aokigahara yang terkenal dengan dua kelebihan yaitu hutan yang terletak di sebelah barat ibu kota Tokyo yang menyajikan pemandangan gunung Fuji dan hutan ini juga terkenal sebagai salah satu tempat favorit masyarakat Jepang untuk bunuh diri karena


(14)

suasana yang tenang. Sekurang-kurangnya 100 peristiwa bunuh diri yang terjadi di hutan ini karena bunuh diri. Hutan ini banyak dikunjungi orang dewasa Jepang sekarang ini yang putus asa karena tidak dapat mengatasi masalah-masalah hidup yang ada.

3.2.4 Meracuni Diri Sendiri

Bentuk bunuh diri ini beranekaragam media, racun dapat dicampurkan dengan makanan, minuman, atau melalui udara. Racun yang biasanya digunakan dalam meracuni diri sendiri melalui udara adalah karbondioksida. Karbondioksida merupakan gas hasil pembakaran, misalnya pada pembakaran arang, pemanas ruangan atau pada mobil. Karbondioksida tidak berbau dan tidak berwarna sehingga tidak dapat dideteksi dengan indra penciuman dan penglihatan. Gas karbodioksida dapat menyebabkan kematian karena karbondioksida mengikat diri pada hemoglobin darah dan mengganti oksigen. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya oksigen di dalam tubuh dan mengakibatkan kematian.

Bentuk bunuh diri ini banyak dilakukan dikalangan anak muda di Jepang saat ini. Dimana bentuk diri ini dilakukan berkelompok. Biasanya mereka melakukan dengan cara menghirup gas karbon yang berasal dari mobil, mobil yang digunakan ditutup rapat tanpa celah sehingga gas karbon memenuhi isi ruangan mobil tanpa ada ruangan yang beratmosfer. Tidak hanya dilakukan oleh kalangan anak muda di Jepang dewasa ini tetapi dikalangan keluarga Jepang yang kehilangan makna hidup karena beban hidup yang semakin berat.


(15)

“Satu keluarga di Tokyo melakukan tindakan bunuh diri dengan memutuskan saluran gas pipa rumah lalu menghirup gas tersebut secara bersamaan. Mereka melakukan tindakan ini karena ketidakmampuan menjalankan hidup yang sangat berat. Kepala keluarga kehilangan pekerjaan sehingga tidak mampu membahagiakan keluarga dan anggota keluarga lain melakukan tindakan yang memalukan keluarga”. (Takayuki Inohara dalam mengerti bahasa dan budaya Jepang, 2002:70)

3.2.5 Memotong Urat Nadi

Bunuh diri dengann cara memotong urat nadi adalah bentuk bunuh diri yang paling umum dilakukan. Pemotongan nadi yang menyebabkan kematian adalah pemotongan nadi yang berada di pergelangan tangan dan di leher. Pemotongan nadi yang ada dipergelangan tangan bertujuan untuk memutuskan pembuluh darah radial yang dapat merusak saraf tendon,ulnar dan median. Pemotongan nadi dipergelangan tangan sebenarnya tidaklah terlalu fatal, namun kematian akibat bunuh diri dengan cara seperti ini adlah kehabisan dara.

Pada zaman feodal di Jepang dahulu banyak masyarakat Jepang melakukan bunuh diri dengan cara ini, meskipun lebih menyiksa tetapi cara ini merupakan pilihan yang kedua selain melakukan seppuku.

3.3 Upaya Mengatasi Bunuh Diri Di Jepang

Kasus bunuh diri yang dihadapi oleh masyarakat Jepang mengakibatkan kondisi ekonomi Jepang tahun 2007 menurun hampir 2,7 triliun yen atau sekitar Rp288,4 triliun. Penurunan ini merujuk pada hilangnya pendapatan masyarakat dan


(16)

meningkatnya biaya perawatan atas depresi yang dialami. Menurut studi pemerintah, masyarakat yang bunuh diri umumnya berusia antara 15 tahun hingga 69 tahun. Mereka sebenarnya masih dalam kelompok usia produktif dan bisa mendatangkan pendapatan sekitar 1,9 triliun yen hingga mereka mencapai usia pensiun. Selain itu, Pemerintah Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi membuat negara Jepang menghabiskan hampir US$32 miliar atau sekitar Rp28,8 triliun sepanjang tahun 2007 hingga saat ini untuk membuat solusi-solusi guna menekan angka bunuh diri di Jepang.

Pemerintah Jepang juga melihat beberapa motif yang dilakukan masyarakat Jepang dalam melakukan tindakan bunuh diri. Melalui motif tersebut, pemerintah membuat tindakan-tindakan preventif. Modus bunuh diri di Jepang juga bermacam-macam. Bunuh diri dengan menusukkan sejenis pedang ke perut atau sering disebut seppuku sering dilakukan oleh orang Jepang pada zaman dulu, namun pada saat ini seppuku sudah jarang dilakukan di Jepang. Pada saat ini, di Jepang motif bunuh diri yang sering dilakukan adalah terjun dari gedung tinggi, menabrakkan diri ke kereta yang berjalan, memotong urat nadi, dan meminum sejenis racun. Melihat motif tersebut, pemerintah Jepang melakukan tindakan nyata dengan memasang di detektor pencegah bunuh diri di tempat-tempat yang sering digunakan untuk bunuh diri seperti stasiun kereta dan gedung-gedung tinggi. Detektor pencegah bunuh diri ini akan berbunyi apabila ada orang yang mencurigakan dan langsung terhubung ke petugas penyelamat khusus.


(17)

Pemerintah Jepang juga melakukan tindakan pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh para pekerja. Pemerintah melakukan tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para pekerja, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena bunuh diri akibat stress dipekerjaan. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.

Pemerintah Jepang meluncurkan kampanye Anti Bunuh Diri, sebagai upaya untuk menekan tingginya jumlah kasus bunuh diri di Jepang. Kampanye yang dilakukan pemerintah mencakup penggunaaan media internet dan papan reklame untuk menghimbau masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda perilaku yang tidak normal yang dilakukan oleh orang di sekitarnya. Selain itu, pemerintah juga menanyangkan video klip dari seorang pemain sepakbola Liga Jepang untuk mengangkat kesadaran akan masalah bunuh diri dan depresi dalam situs internet.

Segara upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang guna menengani masalah bunuh diri ini merupakan bentuk pengelolaan stres secara organisasional. Pemerintah selaku pengambil keputusan melakukan wewenangnya dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan masalah ini. Saluran telpon yang disediakan


(18)

pemerintah guna menangani keluh kesah pekerja merupakan suatu bentuk pengelolaan organisasional dengan cara membangun komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, bantuan pemerintah Jepang bentuk asuransi dan dana yang disediakan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan dan terlilit utang merupakan bentuk dari program kesejahteraan yang dapat diketegorikan sebagai tindakan pengelolaan stress organisasional.


(19)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, terdapat tiga hal yang dapat penulis simpulkan pada bab ini yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi yang berjudul “Budaya Bunuh Diri Di Jepang”.

Pertama, bangsa Jepang memiliki suatu kebudayaan yang menjadi ciri khasnya yang berbeda dengan bangsa yang lain, yaitu seppuku atau hara-kiri. Walaupun istilah hara-kiri yang lebih terpopuler di luar Negara Jepang namun istilah seppuku yang lebih digunakan di Negara Jepang. Seppuku merupakan kode etik bagi kaum samurai. Kaum samurai melakukan seppuku sebagai bentuk rasa hormat, rasa malu gagal perang dan sebagai bentuk loyalitas pengabdian terhadap tuannya. Dalam pelaksanaan bunuh diri dengan cara seppuku ini dilakukan dengan cara memotong perut dalam upacara yang dilakukan di kuil. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan mereka bahwa perut adalah pusat dari hidup, sehingga paling cocok untuk tujuan bunuh diri, yaitu menebus kesalahan-kesalahan yang dibuat, sebagai bentuk rasa terima kasih kaum samurai kepada temannya dan sebgai bentuk penyucian diri dari maut. Menurut sejarah Jepang, seppuku awalnya berasal dari pengorbanan. Dari sejarah tersebutlah kaum samurai mengorbankan diri pada kelompok dan kepada


(20)

tuannya. Hal yang mendasari seppuku ini adalah karena adanya “semangat kesatria” yakni bushido dalam masyrakat Jepang. Bushido bermakna sebagai Jalan Hidup Samurai, yang artinya jalan yang harus dipatuhi oleh kaum samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuannya. Demi tuannya samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka.

Kedua, bunuh diri telah berkembang di dalam masyarakat Jepang pada saat ini yang telah menjadi fenomena yang menarik di Jepang. Bunuh diri di Jepang telah ada pada masa feodal yakni seppuku atau labih sering dikenal dengan sebutan hara-kiri yang dilakukan oleh kaum samurai. Bunuh diri pada zaman feodal tersebut yang dilakukan para kaum samurai merupakan bentuk semangat dan kesetiaan mutlak kepada tuannya, akan tetapi pada saat ini bunuh diri yang telah menjadi fenomena dan budaya di Jeapang ini dilakukan untuk lepas dari beban hidup yang berat ditengah kehidupan yang semakin kompleks di Jepang. Banyak motif dan bentuk bunuh diri yang ada pada masyarakat Jepang dewasa ini. Catatan kepolisian di Jepang, angka kematian di Jepang yang paling banyak disebabkan oleh masyarakat yang melakukan bunuh diri. pada umumnya masyarakat Jepang yang melakukan bunuh diri berusia 15 tahun hingga 69 tahun, golongan usia yang masih produktif untuk bekerja. Persentase bunuh diri dikalangan remaja banyak disebabkan oleh bully/ijime, sementara persentase bunuh diri dikalangan orang dewasa disebabkan oleh beban pekerjaan yang semakin berat yang menyebabkan stress atau depresi.


(21)

Ketiga, pemerintah Jepang juga melakukan tindakan pencegahan bunuh diri yang dilakukan oleh para pekerja. Pemerintah melakukan tindakan seperti menyediakan nomor telepon darurat untuk dapat menerima keluh-kesah para pekerja, buku petunjuk untuk mengurangi stress yang dibagikan kepada masyarakat Jepang terutama yang bekerja dalam suatu organisasi, hingga membuat undang-undang yang memberikan sejumlah uang atau asuransi ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena bunuh diri akibat stress dipekerjaan. Selain itu, pemerintah juga akan menugaskan sejumlah penasehat di pusat informasi tenaga kerja di seluruh Jepang, agar dapat memberi bantuan kepada masyarakat Jepang yang dilanda masalah hutang berkepanjangan atau untuk masyarakat yang telah kehilangan pekerjaan sehingga tidak memiliki pendapatan tetap.

Pemerintah Jepang meluncurkan kampanye Anti Bunuh Diri, sebagai upaya untuk menekan tingginya jumlah kasus bunuh diri di Jepang. Kampanye yang dilakukan pemerintah mencakup penggunaaan media internet dan papan reklame untuk menghimbau masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda perilaku yang tidak normal yang dilakukan oleh orang di sekitarnya.


(22)

4.2 Saran

Melalui analisa yang telah ada tentang budaya bunuh diri di Jepang, maka ada bebrapa sisi positif yang dapat kita ambil manfaatnya, yaitu ;

1. Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca paham akan budaya bunuh diri yang ada di Jepang yang menjadi tolak ukur mereka dalam bertindak. Hal ini disebabkan karena adanya budaya malu yang sedari dulu telah ditanam kepada masyarakat Jepang. 2. Melalui tulisan ini pembaca diajak untuk berpikir lebih luas dan lebih

terbuka dalam menyikapi perkembangan globalisasi yang sangat cepat agar tidak berpikir untuk melakukan tindakan bunuh diri apabila mengalami masalah kehidupan.

3. Melalui tulisan ini pembaca diajak untuk lebih peka terahadap lingkungan sekitar agar semakin bijak dalam menghindari hal-hal negatif seperti bunuh diri yang mengakibatkan kerugian kepada Negara dan keluarga.


(23)

BAB II

FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG 2.1 Pandangan Hidup dan Mati Bagi Masyarakat Jepang

A. Pandangan Hidup Bagi Masyarakat Jepang

Menurut Ruth Benedict (1989 : 232), di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kehidupan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang nyata dan mengembangkannya dalam nurani oleh para pengikutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Budaya rasa bersalah inilah yang menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jepang. Di dalam masyarakat Jepang dimana rasa malu merupakan sanksi utama. Budaya rasa malu yang merupakan pandangan hidup orang Jepang adalah budaya yang ditanamkan sedari kecil. Rasa malu bagi masyarakat Jepang adalah mengutamakan penilaian dari masyarakat. Budaya malu ini sangat berperan besar dalam mengontrol dan mengendalikan pola hidup masyarakat Jepang. Budaya malu yang khas ini telah membentuk suatu pola tingkah laku yang memiliki karakteristik tersendiri dan berbeda dengan pola dalam masyarakat lainnya. Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu ia akan menghukum dirinya sendiri melalui melakukan meditasi dan kemudian melakukan perbaikan diri atau mengundurkan diri dari jabatan bahkan ada yang sampai melakukan bunuh diri karena rasa malu.


(24)

Ruth Benedict (1989:223) juga menambahkan bahwa rasa malu adalah suatu reaksi terhadap kritk orang lain. Dalam kasus manapun, malu merupakan sanksi yang berat. Namun malu mengharuskan adanya kehadiran orang lain dan penilaian dari orang lain. Bagi masyarakat Jepang rasa malu tertinggi adalah ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain yang telah diterima. Bagi seorang Jepang jasa baik orang lain merupakan hutang yang harus wajib dibayar. Ketidakmampuan seseorang membalas jasa baik orang lain merupakan pandangan negative yang akan diterima dari lingkungan masyarakatnya. Banyak ekspresi yang dilakukan seorang Jepang dalam mengungkapkan rasa ketidakmampuan tersebut salah satunya adalah melakukan tindakan bunuh diri. Ruth Benedict juga menambahkan bahwa konsep dosa tidak dikenal di dalam masyarakat Jepang. Berbeda dengan masyarakat Amerika, bahwa melanggar akan 10 firman Tuhan merupakan dosa akan mendapat hukuman suatu hari nanti.

Dalam Nagano (2009:87) menguraikan bahwa budi yang harus dibalas tersebut adalah On. On merupakan kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan secara pasif artinya adalah kewajiban yang harus dipenuhi sipenerima yang pasif. On diuraikan sebagai berikut :

Kou on(厚恩 ) : on yang diterima dari Tenno atau dari Negara Oya on(親恩) : on yang diterima dari orang tua.


(25)

Shi no on(市の恩 ) : on yang diterima dari guru.

Kemudian kewajiban membalaskan budi baik yang diterima (on) disebut gimu. Gimu diuraikan sebagai berikut :

Chu(忠) : kewajiban balas budi terhadap kaisar dan Negara Ko(考) :kewajiban balas budi terhadap orang tua dan leluhur. Ninmu(任務) : kewajiban bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Dari pemikiran budaya tersebut orang Jepang memiliki dua sifat yang kontradiksi atau yang berlainan. Menurut Ruth Benendict, orang Jepang adalah orang yang sangat sopan sekaligus orang yang sangat kasar, orang yang sangat pemberani tetapi sekalian orang yang sangat penakut. Bagi masyarakat Jepang juga sangat penting untuk menjaga nama baik. Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin perlu seseorang menjaga nama baik dan akan berusaha untuk membersihkan nama baik yang tercela.

Masyarakat Jepang juga menganut pandangan hidup yaitu ajaran konfusianisme. Ajaran konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam keseharian bersosialisasi dengan masyarakat. Ajaran ini dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan berperilaku bermasyrakat dalam memahami konsep respect dan rasa malu. Respect berarti tahu


(26)

diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dan rasa malu merupakan tolak ukur dalam menentukan kualitas seseorang. Mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal atau kualitas yang tidak layak di dalam masyarakat.

Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal dalam menjalankan peranannya sebagaimana yang dituntut oleh masyarakatnya (Situmorang, 2013:80).

Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat disekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya kedalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang menjdi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan


(27)

sesuai perannnya dalam menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

B. Pandangan Mati Bagi Masyarakat Jepang

Makna mati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sudah hilang nyawa; tidak hidup lagi. Mati berarti berpisahnya roh dengan raga. Di Jepang dimana budaya bunuh diri / jisatsu (自 殺) sudah menjadi fenomena sosial di dalam masyarakat. Orang Jepang tidak takut mati sehingga berani untuk melakukan tindakan bunuh diri / jisatsu (自殺) hal ini dapat dimengerti dengan melihat makna kematian bagi orang Jepang itu sendiri.makna kematian pada umumnya tentu saja dikaitkan dengan sudut pandang agama. Meskipun Jepang tidak mengenal berbagai macam agama tidak seperti di Indonesia, akan tetapi di Jepang, jumlah penduduk beragama lebih besar daripada jumlah penduduk Jepangnya sendiri. Departemen Pendidikan Jepang pada tahun 2007 menyebutkan dari sekitar 127 juta penduduk Jepang yang ada, pengikut agama Shinto adalah 50,3% atau sekitar 63,8 juta orang, agama Buddha 44% atau sekitar 5,5 juta, agama Kristen 1% atau sekitar 1,2 juta, dan agama-agama yang tersebar lainnya 4,7% atau sekitar 5,9juta (http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/jpn/agama.html). Data tersebut menggambarkan keadaan kehidupan beragama di Jepang yang sekuler (tidak bersifat religious). Dilihat dari persentase di atas agama Shinto dan agama Budha merupakan agama yang besar di Jepang. Agama di Jepang tidak dipandang sebagai landasan hidup, Negara juga memisahkan urusan agama dengan urusan kenegaraan.


(28)

Maksudnya adalah Negara tidak mencantumkan agama dalam tanda pengenal penduduk atau surat resmi lainnya bahkan dalam dunia pendidikanpun agama tidak dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Agama bagi orang Jepang adalah sebagai kebudayan orang Jepang.

Orang Jepang tidak mempercayai adanya Tuhan, melainkan kepada dewa-dewa. Orang Jepang juga memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa yang menghuni alam ini dan leluhur akan menjadi kamisama serta mengunjungi kuil-kuil untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu fungsi agama bagi orang Jepang berbeda maka makna kematian bagi orang Jepangpun berbeda. Makna kematian bagi orang Jepang dilihat berdasarkan 2 agama terbesar di Jepang yaitu Shinto (神道) dan Buddha .

a. Makna Mati Menurut Agama Shinto (神道)

Shintou (神 道) memiliki arti “jalan dewa” dan merupakan hasil perkembangan dari kepercayaan kuno masyarakat Jepang yang memuja alam semesta, karena itu Shinto (神道) disebut sebagai agama asli di Jepang. Kami(紙) adalah jiwa atau roh yang disucikan, dihormati, dan dimuliakan. Bahkan orang yang sudah meninggal juga disebut Kami (紙). Mereka dihormati karena menurut kepercayaan orang Jepang bahwa orang yang sudah meninggal akan menjadi roh dan pada saat-saat tertentu akan kembali ke dunia bersama dengan Kami (紙) untuk menerima pemujaan dari orang yang masih hidup dan sebagai balasannya mereka


(29)

akan memberkati orang hidup. Dengan adanya keyakinan bahwa Kami (紙) dan roh orang yang telah meninggal akan melindungi dan memberkati kehidupan orang yang masih hidup atau keturunan dari roh orang meninggal tersebut selama keturunan mereka tersebut secara terus menerus melakukan ritual penyembahan terhadap roh orang meninggal tersebut.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa agama Shintou (神道) semua hal yang ada di dunia ini memiliki Kami (紙)-nya dan leluhur serta keluarga yang telah meninggal, bagaimanapun cara ia meninggal akan menjadi roh dan bersama-sama dengan Kami (紙) akan melanjutkan kehidupannya dan akan kembali ke dunia untuk menerima pemujaan dan memberikan perlindungan dan pemberkatan kepada keturunan dari roh orang yang telah meninggal. Karena kematian bukanlah sekedar hal berhenti hidup dan terpisahnya jiwa dari raga, tetapi kematian merupakan perubahan wujud dan hubungan antar orang yang hidup dan mati terus berlanjut. Dengan adanya pemahaman yang demikian maka orang Jepang tidak takut mati dan tidak takut melakukan jisatsu (自殺)karena roh mereka yang telah mati akan tetap bersama keluarga yang masih hidup dan memberikan pemberkatan agar keluarga yang masih hidup sejahtera.

b. Makna Mati Menurut Agama Buddha

Buddha merupakan agama yang beraasal dari India dan masuk ke Jepang pada abad ke 6 masehi. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama asli India tersebut


(30)

diinterpretasikan dengan cara pola piker masyarakat Jepang. Tidak berbeda dengan agama Shintou (神道), agama Buddha juga memiliki keyakinan bahwa yang telah mati akan tetap dapat berhubungan dengan yang masih hidup. Dalam ajaran agama Buddha, orang yang telah mati tidak berarti hilang. Kematian tidak diartikan sebagai putusnya hubungan antara yang hidup dengan yang mati. Kematian dalam ajaran agama ini hanya dianggap sebagai perpindahan tempat saja. Arwah orang mati tidak akan jauh pergi dari dunianya dan akan dapat melakukan komunikasi dengan orang-orang yang masih hidup. Komunikasi antara roh yang telah meninggal dengan orang-orang yang masih hidup tersebut dimaksudkan ialah komunikasi yang dilakukan pada saat tertentu seperti dalam upacara pemujaan arwah orang meninggal. Dalam agama Buddha juga mempercayai adanya reinkarnasi atau kembalinya roh orang mati.

Dengan adanya penjelasan akan makna kematian dari agama Shintou (神 道) dan agama Buddha dapat disimpulkan bahwa orang Jepang tidak takut akan kematian. Kematian bagi orang Jepang bukanlah menghilangnya seseorang dari kehidupan ini melainkan suatu fase hidup merubah wujud dan memindahkan tempat lalu kemudian melanjutkan hidup dengan tetap dapat berhubungan dengan orang yang masi hidup. Oleh karena itu, kegiatan atau tindakan jisatsu (自 殺) bagi masyarakat Jepang yang melakukannya bukanlah dianggap sebagai sebuah dosa yang menakutkan akan tetapi jisatsu (自殺) dapat mudah dilakukan karena masyarakat Jepang tidak takut akan kematian.


(31)

2.2 Sejarah Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri merupakan salah satu cara mengakhiri hidup yang dilakukan manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapinya. Menurut Hidayat dalam Kiblat (1996:43-45), “Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti kehilangan jiwa dan pikiran.” Hal ini berarti individu yang melakukan tindakan bunuh diri tersebut tidak dapat berfikir secara wajar dan dengan akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar lepas dari permasalahan yang dihadapinya.

Seorang sosiologi Perancis yang mula-mula melakukan studi sosial mengenai bunuh diri, Emile Durkheim dalam buku “Realitas Sosial” karangan K.J. Veeger (1985 : 150 – 157) , berpendapat bahwa bunuh diri merupakan salah satu gejala sosial. Perbuatan bunuh diri ada kaitannya dengan 3 faktor, yaitu : posisi psikologi tertentu, factor keturunan, dan kecenderungan manusia meniru orang lain. Dalam buku ini dijelaskan juga ada 3 tipe bunuh diri yaitu : bunuh diri egoistic, bunuh diri altruistis, dan bunuh diri anomis. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai bunuh diri tersebut :

1. Bunuh Diri Egoistik

Bunuh diri ini bersifat egois. Egoism berarti sikap seseorang tidak berintegrasi dengan kelompoknya, seperti kepada keluarga, kelompok rekan-rekan, kumpulan agama dan sebagainya. Hidupnya tidak terbuka kepada orang lain. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan orang lain.


(32)

Bunuh diri bersifat alturistis merupakan kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistis ini lebih kepada seseorang sangat menyatu kepada suatu golongan. Sangat berpegang teguh kepada kelompoknya, dengan mengikuti segenap nilai-nilai kelompoknya, berintegrasi kepada kelompoknya, hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas diri sendiri. Tanpa kelompok seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri alturistik ini tidak dapat melanjutkan kehidupan.

Seseorang mengintegritaskan seluruh hidupnya demi kelompoknya, memandang bahwa hidup di luar grup atau ada pertentangan dengan grup merupakan suatu hal yang tidak berharga. Maka jikalau etika grup menuntut agar merelakan nyawa demi keyakinan dan kepentingan kelompok, seseorang tersebut cenderung melakukan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.

3. Bunuh Diri Anomis

Anomi adalah tanpa norma. Bunuh diri anomis ini menyangkut dengan keadaan moral seseorang. Dimana keadaannya adalah orang tersebut kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma-norma dalam hidupnya.

Nilai-nilai moral yang semula member motivasi dan arahan kepada sipelaku bunuh diri ini tidak berpengaruh lagi. Berbagai kejadian dapat menyebabkan keadaan itu. Seperti musibah yang menimpa seseorang hingga kehilangan kesadaran dan semua yang menyemangati dan menghibur dia, musnah dan dapat mengakibatkan suatu perubahan yang radikal yang menjurus pada tindakan mengakhiri hidup.


(33)

Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan di Jepang. Di Jepang bunuh diri lebih dikenal dengan jisatsu (自殺). Kata jisatsu (自殺) terdiri dari dua kata yaitu ”ji” berasal dari kata jibun (自分) yang berarti diri sendiri, dan “satsu (殺) yang merupakan on-yomi dari kata korosu (殺 す) yang berarti membunuh. Maka dapat diartikan secara sederhana jisatsu (自 殺) adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh dirinya sendiri.

Fenomena jisatsu (自殺) di Jepang sudah ada pada masa Perang Dunia Kedua. Pada masa sebelum Perang Dunia Kedua jisatsu (自殺) dilakukan oleh kaum samurai (侍) dan para kaum bangsawan, pada masa dimana tampuk kekuasaan dipegang oleh kaum militer atau kaum bushi ( 武士 ), sistem pemerintahan pemerintahan pada masa itu disebut dengan bakufu (幕府). Pada zaman ini jisatsu (自 殺) dilakukan dengan satu cara yaitu seppuku (切 腹). Seppuku(切 腹) ini sudah menjadi salah satu kebudayaan Jepang yang terkenal hingga sampai saat ini. Seppuku (切 腹) berarti memiliki arti memotong perut. Alasan mengapa sebutannya diberi tekanan “memotong perut”, hal ini ada kaitan kepercayaan lama bahwa di dalam perut itulah bersemayam “jiwa”, memotong perut itu dimaksudkan untuk “menenangkan jiwa yang telah melayang”. Menurut Schwan (2003), seppuku (切腹) merupakan bentuk upacara bunuh diri dalam masyarakat Jepang, dan sebagai konsep berpikir orang Jepang yang menunjukkan kebiadaban dan merupakan suatu hal yang


(34)

mengerikan, bahwa lebih baik mati dengan terhormat daripada hidup dengan menanggung malu.

Istilah seppuku (切腹) biasanya diperuntukkan untuk kalangan samurai. Pada dasarnya tindakan seppuku ialah karena adanya semangat kesatriaan yakni bushido dalam masyarakat Jepang. Bushido bermakna sebagai jalan hidup Samurai, artinya jalan yang harus dipatuhi oleh para samurai dalam kesehariannya maupun dalam pelaksanaan tugasnya. Bushido sangat menekankan kesetiaan mutlak kepada tuan. Demi tuannya, samurai memang dituntut untuk mati jika perlu, untuk menunjukkan kesetiaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Negara Jepang merupakan masyarakat yang menganut budaya malu, dengan kata lain nilai yang paling tinggi bagi masyarakat Jepang. Rasa malu yang paling tinggi adalah tidak dapat membalas budi baik orang lain atau tuannya, oleh karena itu seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha untuk menjaga rasa malu tersebut. Apabila melakukan kesalahan atau tidak dapat membalas budi baik orang lain, mereka akan merasa malu. Rasa malu tersebut akan dapat tertebus apabila melakukan bunuh diri atau seppuku (切腹).

Berikut ini adalah kisah bunuh diri samurai di Jepang, yaitu Akouroshi Chushingura. Kisah cerita Akouroshi Chushingura menceritakan tentang kepatuhan daimyo terhadap perintah shogun untuk melakukan seppuku, adanya kepatuhan anak buah pengikut daimyo tersebut terhadap shogun sehingga tidak melanggar aturan-aturan keshogunan, dan adanya keinginan untuk membalaskan dendam tuannya


(35)

dengan membunuh musuh tuannya demi pengabdian diri terhadap tuannya. Para anak buah tersebut harus melaksanakan giri kepada tuannya. Setelah membalaskan dendam tuannya terhadap musuh mereka melakukan junshi (mati mengikuti kematian tuannya).

Akouroshi Chushingura terjadi di Nabeshima Hiroshima. Akouroshi merupakan bushi yang tidak bertuan di daerah Akou (Hiroshima). Kisah ini adalah kisah bunuh diri yang dilakukan oleh 47 orang bushi yang tidak bertuan di wilayah Akou tersebut. Ke-47 orang bushi tersebut melakukan bunuh diri setelah berhasil membunuh pangeran Kira dan mempersembahkan kepala Pangeran Kira ke makam tuannya, setelah tuannya melakukan bunuh diri (seppuku) karena perintah dari shogun sebagai hukuman karena tuan mereka dianggap telah membuat keonaran di dalam istana keshogunan Tokugawa.

Masalah ini erat kaitannya dengan masalah moral pengabdian diri samurai Jepang, yaitu maslah kesetiaan yang bertingkat. Anak buah setia kepada Tuannya dan Tuannya setia kepada shogun dan shogun setia kepada Kaisar. Oleh karena itu pusat loyalitas kesetiaan seluruh Jepang adalah ditangan Kaisar. Dalam kisah ini digambarkan kesetiaan shogun memberikan upeti setiap tahunnya kepada Kaisar. Kemudian kesetian tuan dalam hal ini adalah Asano kepada Shogun Tokugawa dan kemudian kesetiaan 47 orang anak buah terhadap Asano.


(36)

Dari kisah bunuh diri para kaum samurai di atas dapat disimpulkan bahwa seppuku yang dilakukan oleh para kaum samurai sebagai bentuk loyalitas, penghormatan dan pengabdian diri kepada tuannya serta bentuk dari membalas budi baik tuannya. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya bunuh diri bergeser menjadi salah satu fenomena yang sangat menarik dari Negara Jepang. Pada masa zaman feodal, bunuh diri di Jepang yang semula sebagai bentuk pengabdian diri, loyalitas, penghormatan dan sebagai bentuk membalas budi baik tuannya kini bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi akibat beban hidup yang semakin kompleks. Dewasa ini kehidupan masyarakat Jepang cenderung bersifat “sendiri” dengan kata lain masyarakat Jepang seakan tidak peduli dengan keadaan lingkungannya (tidak bersosialisasi dengan orang lain), memiliki gejala hubungan sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan maksudnya ialah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pada saat memerlukan bantuan. Hal inilah yang mengakibatkan tekanan isolasi/kesendirian dan keterasingan dari lingkungan.

Semakin kompleksnya kehidupan semakin besar pula masalah dan tingkat depresi yang dihadapi. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab terhadap pekerjaan, tidak dapat memberi kebahagiaan kepada keluarga, dan ketidakmampuan bersosialisasi dengan baik dengan lingkungan merupakan beberapa faktor dari sekian banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri atau jisatsu (自 殺). Dari paparan di atas terlihat adanya pergeseran makna jisatsu (自 殺) dari zaman feodal ke zaman sekarang. Zaman


(37)

feodal jisatsu (自 殺) dilakukan dikalangan samurai sebagai bentuk pengabdian terhadap tuannya, loyaliatas terhadap tuannya dan penghormatan terhadap tuannya namun zaman sekarang jisatsu (自殺) menjadi sebagai bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

2.3 Angka Statistik Bunuh Diri Di Jepang

Bunuh diri atau di Jepang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (自殺) merupakan salah satu cara untuk mengakhiri hidup yang dilakukan oleh manusia untuk lepas dari masalah yang dihadapi. Bunuh diri merupakan kasus kematian terbesar yang terjadi di Jepang.

Angka kematian di Jepang dari tahun ketahun mengalami peningkatan, semakin lama cara-cara dan alasan bunuh diripun semakin beragam. Dari tahun 2010 sampai 2011 angka kematian diakibatkan karena bunuh diri di Jepang sedeikit menurun, rata-rata angka kematiannya di Jepang pada tahun 2010 sampai 2011 mencapai selisih lebih dari 1.000 orang (hal. 4).

Menurut seorang pakar psikologi Supraktiknya, dalam bukunya “Mengenal Perilaku Abnormal” (1995 : 103 – 104), kebanyakan percobaan bunuh diri dikalangan perempuan dan laki-laki dilakukan ditengah tekanan hidup yang berat lainnya seperti tekanan sosial dalam masyarakat dan tekanan usia.


(38)

2.3.1 Menurut Usia

Di Jepang golongan usia dibagi diantaranya ialah orang yang berusia 14 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou, yang berusia 15 – 64 tahun disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou, berusia 65 tahun disebut dengan usia lanjut atau korei jinkou, yang berusia lebih dari 65 tahun disebut lansia atau koureisha, orang yang berusia 65-74 tahun disebut lansia periode awal atau zenki koureisha, yang berusia lebih dari 75 tahun disebut lansia periode tengah dan di atas 85 tahun disebut lansia periode akhir atau makki koureisha.

Persentase penduduk lansia di Jepang semakin meningkat. Tingginya persentase penduduk lansia di Jepang, menyebabkan munculnya masalah-masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat. Salah satu masalah yang muncul adalah beban yang berat akan menimpa keluarga yang merawat sendiri anggota keluarga lainnya yang berusia lanjut sampai-sampai mungkin harus melepaskan pekerjaannya sendiri.

Tahun 2011 tercatat lebih dari 30% jumlah kematian akibat bunuh diri dialami oleh masyarakat Jepang yang berusia lanjut. Hal ini disebabkan karena masyarakat Jepang yang berusia lanjut tergantung kepada keluarganya sehingga menjadi beban bagi keluarganya dan mengalami pengucilan sosial sehingga mengalami ganguan mental dan melakukan tindakan bunuh diri dengan cara yang beragam.


(39)

a. Table Angka Kematian di Jepang Tahun 2010 - 2011

年齢階級

死亡数

平成23年 平成22年 対前年増減

総数 1.253.463 1.197.012 56 .451 04歳 3.624 3.382 242

59 750 480 270

1014 725 553 172

1519 1.738 1.422 316 2024 2.965 2.753 212 2529 3.682 3.437 245 3034 4.921 4.837 84 3539 7.963 7.555 408 4044 11.186 10.162 1.024 4549 14.983 14.532 451 5054 22.443 22.014 429


(40)

年齢階級

死亡数

平成23年 平成22年 対前年増減

5559 37.455 39.326 △ 1.871 6064 72.100 66.096 6.004 6569 82.032 83.087 △ 1.055 7074 113.113 110.248 2.865 7579 167.686 163.088 4.598 8084 220.103 211.257 8.846 8589 222.785 207.287 15.498 9094 162.027 151.959 10.068 9599 79.764 75.386 4.378 100歳以上 19.573 17.513 2.060

USIA Angka Kematian (2011)

Angka Kematian (2010)

Selisih

0 – 4 3.624 3.382 242


(41)

10 – 14 725 553 172

15 – 19 1.738 1.422 316

20 – 24 2.965 2.753 212

25 – 29 3.682 3.437 245

30 – 34 4.921 4.837 84

35 – 39 7.963 7.555 408

40 – 44 11.186 10.162 1.024

45 – 49 14.983 14.532 451

50 – 54 22.443 22.014 429

55 – 59 37.455 39.326 △ 1.871

60 – 64 72.100 66.096 6.004

65 – 69 82.032 83.087 △ 1.055

70 – 74 113.113 110.248 2.865

75 – 79 167.686 163.088 4.598

80 – 84 220.103 211.275 8.846

85 – 89 222.785 207.287 15.498

90 – 94 162.027 151.959 10.068

95 – 99 79.764 75.386 4378

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 ) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)


(42)

Keterangan tabel di atas adalah : • ∆ = menaik

• Dari tabel di atas, sejak dari tahun 2010 hingga 2011, angka kematian di Jepang menurut usia tidak stabil dan cenderung mengalami peningkatan. • Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa di Jepang tingkat kematian

tertinggi terjadi di masyarakat yang berusia lanjut (lansia).

b. Tabel Angka Kematian Bunuh Diri di Lihat dari Golongan Usia dan Gender Tahun 2010

年齢

19

2029

3039

4049

5059

6069

7079

80 歳 〜

詳 合計

合計 543 3,366 4,940 5,713 6,573 6,227 3,651 2,314 7 33,334

男 性

合計

329 2,356 3,377 4,279 5,024 4,377 2,251 1,171 7 23,171

女 性

合計


(43)

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 ) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)

• Di Jepang bunuh diri dilakukan di segala umur tanpa memandang tua muda perempuan dan laki-laki

Pada usia 19 tahun disebut dengan usia muda atau shounen jinkou. Persentase bunuh diri dikalangan anak muda di Jepang cukup tinggi dibandingkan Negara maju di Barat. Kasus bunuh diri dikalangan anak muda banyak ditemui dikarenakan bullying/ijime dan bermaslah dengan orang tua serta alasan-alasan naïf seperti remaja melakukan bunuh diri karena artis idolanya meninggal sehingga remaja tersebut terlalu sedih dan tidak bisa menerima jika artis idolanya meninggal karena alasan tersebut seorang remaja melakukan tindakan bunuh diri. Bullying/Ijime merupakan kasus terbanyak yang terjadi dikalangan anak muda di Jepang. Ijime artinya mengganggu, mengusik, mengolok-olok, serta menganiyaya orang lain. Kecenderungan dilakukan kepada orang yang lebih lemah. Ijime biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat, teman sendiri, kakak kelas, atau bahkan guru pembimbing. Hal ini mengakibatkan adanya tekanan batin dikalangan orang muda di Jepang yang mengalami ijime, tatkala menghadapi tindakkan seperti itu dengan tekanan batin dan emosi yang tidak stabil segera saja menurutkan kata hati untuk melakukan bunuh diri.


(44)

Pada usia 20 – 69 tahun yang disebut usia produktif atau seisan nenrei jinkou melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan tekanan pekerjaan yang semakin berat. Tak jarang persaingan di lingkungan pekerjaan menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang berat di perusahaan tersebut, perusahan tempat bekerja juga menuntut karyawannya untuk bekerja secara giat sehingga memberikan keuntungan yang besar untuk perusahaan tersebut. Beberapa faktor inilah yang mengakinbatkan usia yang masih produktif ini tidak mampu menghadapi beban pekerjaan yang berat. Ketidakmampuan tersebut memberikan padangan yang rendah dari rekan kerja serta lingkungan tempat tinggalnya sehingga memilih jalan untuk mengakhiri hidup sebagai jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah di dunia pekerjaan (www.halojepang.com).

• Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya bunuh diri menurut usia lanjut disebabkan adanya rasa ketergantungan terhadap orang lain dan antar orang Jepang dengan orang Jepang yang lainnya seperti anak-anak tergantung kepada keluarganya, pelajar terkait kepada sekolahnya, pekerja terkait dengan pekerjaannya. Di usia lanjut atau lansia yang sedari muda bekerja, muncullah ketergantungan kepada perusahaan tempat bekerja sehingga pada saat tidak bekerja mengalami depresi dan kesepian serta menjadi beban terhadap keluarga hal ini yang mengakibatkan gangguan mental dan melakukan tindakan bunuh diri di Jepang. Disisi lain alasan bunuh diri diusia lanjut atau lansia ini di pengaruhi oleh penyakit yang sudah lama diderita yang tak


(45)

kunjung sembuh. Ditengah frustasi akibat penyakit yang dialami, masyarakat Jepang yang berusia lanjut memilih jalan keluar untuk mengakhiri hidupnya. • Dari tabel di atas juga dapat disimpulakn bahwa bunuh diri menurut gender

banyak dilakukan di kalangan kaum laki, hal ini disebabkan karena laki-laki cenderung lebih cepat mengalami stres atau depresi dibandingakan kaum permpuan.

2.3.2 Menurut Keadaan Pekerja Di Jepang

Kasus bunuh diri di Jepang dapat dikatakan sebagai masalah yang kompleks karena tindakan bunuh diri ini berhubungan dengan kebudayaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jepang pada zaman dulu hingga sekarang. Seseorang yang bunuh diri tentunya memiliki masalah pribadi namun jika sudah banyak orang yang bunuh diri, tentu saja ini ada kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi dan politik setempat.

Saat ini penyebab lain yang mengakibatkan masyarakat Jepang memilih melakukan bunuh diri yaitu tingginya kegelisahan masyarakat Jepang mengenai kehidupan mereka dimasa yang akan datang. Kegelisahan ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Jepang, terutama yang berjenis kelamin laki-laki, terus bekerja agar mendapatkan uang sebanyak mungkin tanpa mempedulikan kesehatan mereka. Orang-orang seperti ini sering disebut sebagai salary man. Kata salary man sendiri diambil dari bahasa Inggris, yaitu salary (gaji) dan man (orang), jadi salary man


(46)

artinya adalah orang yang hidupnya sangat bergantung dengan gaji. Akibat krisis ekonomi di Jepang, banyak perusahan Jepang terlilit hutang sehingga perusahaan menuntut para pekerjanya untuk bekerja lebih giat tanpa kenal lelah. Karena tuntutan dari perusahaan yang mengharuskan pekerja bekerja lebih giat, banyak para pekerja yang bekerja terlalu keras, pekerja ini sering disebut sebagai karoshi . Secara bahasa, karoshi dapat diartikan sebagai “mati di tempat kerja” atau kematian karena stres akan pekerjaan. Kematian bisa dikarenakan kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah diikuti dengan kesehatan menurun drastis, ataupun karena bunuh diri karena stres di tempat kerja.

Pada dasarnya banyak para pekerja di Jepang melakukan tindakan bunuh diri dikarenakan oleh tekanan pekerjaan yang sangat berat. Himpitan ekonomi dan tekanan pekerjaan yang menumpuk membuat tingkat stres semakin tinggi. Persaingan yang ketat di bidang pekerjaan, akademik dan gaya hidup membuat banyak dari mereka yang tidak kuat dan memilih mengasingkan diri, lalu bunuh diri. Tercatat rata-rata kematian pekerjaa akibat stres bekerja disuatu pekerjaan di sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2011 mencapai 17.352 kasus kematian atau sebesar 17 % sepanjang 1 tahun terakhir, angka ini cenderung menurun dibandingkan pada tahun 2008 hingga tahun 2009 yang mencapai rata-rata 20.000 angka kematian dikarenakan alasan tersebut (www.halojepang.com) . Namun kasus bunuh diri karena stress di dunia pekerjaan merupakan salah satu kasus bunuh diri yang besar di Jepang.


(47)

2.3.3 Menurut Gender

Dari data Kepolisian Jepang sedikitnya rata-rata 76 orang bunuh diri perhari di Jepang disepanjang tahun 2010 hingga 2011. Jepang merupakan salah satu Negara terbesar yang melakukan tindakan bunuh diri. Alasan dan motif yang beragampun telah dilakukan oleh masyarakat Jepang untuk mengakhiri hidup. Usia pun tidak menjadi halangan bagi masyarakat Jepang untuk melakukan tindakan bunuh diri, tidak hanya di golongan masyarakat yang lanjut usia tetapi juga dikalangan remajapun telah mengenal bnuh diri sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah hidup yang dihadapi. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah di tempat kerja, depresi serta masalah kesehatan merupkan beberapa alasan dimana seseorang di Jepang melakukan tindakan bunuh diri. Gantung diri, meracuni diri dengan gas, melompat dari atap gedung, obat-obatan merupakan beberapa cara yang digunakan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Pada umumnya yang melakukan tindakan bunuh diri adalah kaum laki-laki, namun pada dasarnya tidak hanya laki-laki yang dapat melakukan tindakan bunuh diri tetapi juga kaum perempuan. Dari tabel data pada halaman 31, dapat dilihat bahwa tingkat kematian pada kaum laki-laki cenderung lebih tinggi. Berikut rata-rata persentase perbandingan kasus bunuh diri dan cara bunuh diri dikaum laki-laki dan kaum perempuan menurut jumlah angka kematian bunuh diri pada halaman 31 :


(48)

Cara Bunuh diri Gender

Laki-laki Perempuan

Gantung diri 55,3% = 12 813orang 58,9% = 5 986orang Menghirup gas 9,4% = 2 178orang 4,8% = 487orang Melompat dari gedung 7,1% = 1 645orang 12,8% = 1 300orang Obat-obatan 10,2% = 2 363orang 6,7% = 680orang Lain-lain 18% = 4 170orang 16,8% = 1 707orang JUMLAH 100% = 23 171orang 100% = 10 163orang

(〒100-8916 東 京 都 千 代 田 区 霞 が 関 1-2-2 電 話 :03-5253-1111( 代 表 ) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)


(49)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mengenai bunuh diri (jisatsu) di Jepang telah ditemukan sejak zaman feodalisme dimana kekuasaan ada pada kelompok militer atau bushido, yaitu antara tahun 1185 – 1867. Dalam kelompok bushi, bunuh diri dikenal dengan istilah seppuku. Istilah seppuku secara harafiah memiliki arti memotong perut. Berikut ini adalah kasus seppuku yang dilakukan oleh para samurai :

Shirai, seorang samurai kelas bawah pengikut Shimizu Munehara (1537 – 1582) memotong perutnya sendiri di depan tuannya. Pada saat itu Tomoyo Hideyoshi (1539-1593) mengalahkan pasukan Mori Motonari yang berada di bawah kekuasaan Shimizu. Sebagai tanda kemenangan Tomoyo meminta Shimizu melakukan tindakan seppuku. Shirai sebagai pengikut setia Shimizu melakukan tindakan seppuku di depan tuannya dan sambil berkata “melakukan seppuku tidaklah sulit “.

Seppuku adalah salah satu bentuk jisatsu (bunuh diri) yang dilakukan para samurai Jepang sebagai kunci disiplin dalam kode etik kesatria Jepang. Ciri khas dalam kehidupan masyarakat Jepang yang paling menonjol adalah kehidupan


(50)

berkelompok. Mereka lebih memberatkan kehidupan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Peranan individu diakui dan dihargai, akan tetapi selalu berada di bawah penanan kelompok. Peranan kelompok yang lebih penting daripada peranan individu tidak hanya berlaku bagi anggota kelompok, tetapi juga kepada pimpinan kelompok. Pimpinan kelompok tidak akan menempatkan posisi dirinya diatas anggota kelompoknya melainkan tetap sebagai bagian dari anggota kelompok tersebut, karena orang Jepang hidup hanya akan lebih berarti apabila berada di dalam suatu kelompok. Hidup sendiri tanpa keberadaan dan pengakuan kelompoknya adalah suatu bentuk penderitaan besar. Oleh karena itu seseorang di Jepang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima dalam kelompoknya dengan cara menjunjung tinggi loyalitas. Pada masa itu, seppuku dipandang sebagai salah satu bentuk sifat loyalitas dan penghormatan kepada tuan dan kelompoknya.

Di luar Jepang lebih dikenal dengan sebutan hara-kiri(腹 切 )namun memiliki arti yang sama dengan seppuku (切腹)yaitu “memotong perut” hanya saja urutan aksara kanji yang berbeda. Kanji dalam seppuku terdiri dari dua huruf yaitu(kiru) berarti potong dan (hara) berarti perut secara harafia seppuku berarti memotong perut. Seppuku adalah bagian dari kode kehormata dilakukan secara sukarela oleh samurai yang menginginkan mati terhormat daripada tertangkap musuh (da yang telah melakukan pelanggaran serius, atau dilakukan berdasarkan perbuatan lain ya


(51)

saksi mata, samurai menusukkan sebuah pedang pendek, biasanya sebua arah perut, dan menggunakan pedang pendek tersebut untuk melakukan gerakan mengiris perut dari arah kiri ke kanan.. Harakiri juga terdiri dari dua huruf kanji yang sama dengan huruf kanji seppuku akan tetapi susunan huruf yang berbeda dan memiliki arti yang sama pula. Istilah harakiri mulai dikenal luas di dunia Barat sejak orang bangsa Eropa yang tinggal di Jepang menjadi saksi mata peristiwa seppuku yang menyertai diketahui oleh bangsa Eropa pada umumnya. Pada saat itu istilah “memotong perut” lebih diketahui dengan sebutan hara-kiri. Sehingga sampai sekarang di luar Jepang, bunuh diri disebut dengan istilah hara-kiri. Namun seiring berkembangnya zaman, di Jepang istilah untuk bunuh diri sekarang lebih dikenal dengan sebutan jisatsu (mengakhiri hidupnya sendiri).

Bunuh diri atau biasa disebut dengan jisatsu tetap menjadi fenomena di Jepang hingga sekarang ini. Dibuktikan dengan adanya catatan dari Badan Kepolisian Nasional Jepang yang mengatakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 30.000 orang meninggal akibat kasus bunuh diri.

Berikut tabel angka kematian bunuh diri dan selisih angka kematian bunuh diri di Jepang dari tahun 2011 hingga tahun 2010


(52)

Tahun

(年)

Angka Kematian (死亡数)

Angka Bunuh Diri

(自殺数)

2011(平成23年) 1.253.463

31.690 2010(平成22年) 1.197.012

33.334 Selisih 56. 451

1.644

(〒100-8916 東京都千代田区霞が関 1-2-2 電話:03-5253-1111(代表) Copyright © Ministry of Health, Labour and Welfare, All Right reserved.)

Dari table angka kematian akibat bunuh diri di Jepang ini terlihat dari tahun 2011 sampai tahun 2010 mengalamai penurunan akan tetapi di Jepang angka kematian akibatbunuh diri merupakan angka kematian yang cukup tinggi . Angka ini merupakan angka empat kali lipat jumlah kematian di Jepang yang disebabkan oleh kecelakaan. Dengan angka kematian akibat bunuh diri yang sangat tinggi mengakibatkan munculnya berbagai macam-macam istilah mengenai bunuh diri itu sendiri, dapat dikatakan bahwa dewasa ini bunuh diri merupakan fenomena sosial yang telah menjadi suatu bentuk budaya di Jepang. Sekarang yang membedakan bunuh diri pada masa feodal dengan masa modern ini adalah ada pada siapa yang


(53)

melakukan, apa motif dibalik bunuh diri tersebut, dan bagaimana bentuk bunuh diri yang dilakukan (http://viva.com).

Pada masyarakat Jepang di masa modern ini, bunuh diripun mengalami perubahan. Berikut beberapa kasus yang dikutip dari buku Edizal (Takayuki Inohana) (2002 : 58)

“Seorang murid yang berusia 13tahun di Osaka setelah menulis pesan kematiannya dengan kapur di papan tulis berbunyi “ Saya mohon maaf sedalam-dalamnya dengan akhir yang begini…….. Terima kasih kepada kedua orang tua saya yang selama ini mengasuh saya. Maaf……” lalu melompat dari atas gedung tertinggi sekolahnya.

“Satu keluarga di Tokyo melakukan tindakan bunuh diri dengan memutuskan saluran pipa gas rumah lalu menghirup gas tersebut secara bersamaan. Mereka melakukan tindakan ini karena ketidakmampuan menjalankan hidup yang saat berat. Kepala keluarga kehilangan pekerjaan dan anggota lainnya melakukan tindakan yang memalukan. Sang ayah dan ibu meninggalkan uang sebesar 400 yen yang digunakan untuk membakar mayat mereka dengan melampirkan surat yang bertuliskan “Maafkan kami”

Dari kedua contoh kasus di atas, ada dua cara yang dilakukan untuk bunuh diri. Dari kasus pertama dijelaskan bahwa seorang putri remaja melakukan


(54)

tindakan bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi dan pada kasus kedua dijelaskan bahwa satu keluarga tersebut bunuh diri dengan cara menghirup gas beracun. Oleh karena itu, perbedaan bentuk bunuh diri dari zaman dahulu dengan zaman sekarang di masyarakat Jepang tampak dari cara pelaku melakukan tindakan bunuh diri.

Pada masa tradisional, bunuh diri yang dilakukan oleh kaum samurai hanya menggunakan sebilah benda tajam (pisau atau pedang panjang) untuk melakukan seppuku atau potong perut, namun pada saat sekarang ini bunuh diri di Jepang dilakukan dengan cara yang modern, yaitu dengan cara meracuni diri sendiri, memotong urat nadi, loncat dari gedung tinggi, gantung diri, dan yang lainnya.

Perubahan bunuh diri dari masa feodalisme di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas terhadap tuannya bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

Sepanjang tahun 2011, kasus bunuh diri di Jepang dengan motif kesehatan terjadi sebanyak 41 % dari keseluruhan kasus, 29 % dari motif ekonomi, 10 % dari motif keluarga, 7 % dari motif pekerjaan, 3 % dari motif percintaan, 1 % dari motif sekolah dan 9 % dari motif lain-lainnya. Seorang psikolog dari bernama Rooswita, mengatakan bahwa depresi menjadi dasar permasalahan dalam sebagian besar motif pada kasus bunuh diri di Jepang dewasa ini.


(55)

Pada masyarakat Jepang saat sekarang ini cenderung memiliki kehidupan yang bersifat “sendiri”. Seorang psikologi yang bernama Drajat S. Soemitro menambahkan munculnya sebuah gejala hubungan interpersonal yang semakin fungsional mengakibatkan tekanan isolasi (kesendirian) dan keterasingan yang semakin kuat, sehingga seorang akan mudah merasa kesepian dan memikul beban hidup yang semakin berat sendirian ditengah-tengah ketidakpedulian lingkungan. Pendapat psikolog ini sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Jepang saat ini.

Kegagalan dalam menjalankan tanggung jawab terhadap tugas juga dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat Jepang melakukan tindakan bunuh diri. Bagi masyarakat Jepang mengakhiri hidup sendiri ditunjukkan sebagai ekspresi ketidakmampuan untuk mempertahankan hidup ditengah modernisasi yang telah ada saat ini dan sebagai bentuk dari ketidakmampuan membalas jasa baik orang sebagai perwujudan dari rasa malu tertinggi yang ada.

Berdasarkan penjelasan yang menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini adalah fenomena bunuh diri di Jepang yang telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat Jepang. Hal inilah yang mendasarkan penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan skripsi ini dengan judul “ Budaya Bunuh Diri di Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

Budaya bunuh diri merupakan salah satu tema yang sangat menarik perhatian dari sekian tema tentang budaya Jepang. Sebagaimana telah diketahui,


(56)

bunuh diri di masyarakat Jepang telah ada pada zaman feodalisme di Jepang. Tindakan bunuh diri yang dilakukukan pada zaman feodalisme di Jepang dilakukan oleh para samurai di Jepang sebagai perwujudan dari rasa ketidakmampuan samurai membalas jasa baik tuannya dan sebagai bentuk loyalitas dan penghormatan terhadap tuannya serta kelompoknya. Namun, seiring berjalannya waktu bunuh diri yang dilakukan masyarakat Jepang berubah menjadi budaya yang melekat dalam diri masyarakat tersebut. Perubahan bunuh diri dari masa feodalisme di Jepang dari segi alasan dan bentuk bunuh dirinya itu sendiri dengan masa sekarang ini yang semula sebagai bentuk loyalitas terhadap tuannya bergeser menjadi bentuk penyelesaian masalah dan pelarian dari perasaan depresi.

Adapun permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana fenomena bunuh diri di Jepang pada saat ini?

2. Bagaimana pergeseran bunuh diri dari zaman feodalisme sampai pada masa sekarang ini dilihat dari motif-motif dan bentuk buunuh diri pada masyarakat jepang dewasa ini?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk memudahkan dalam menganalisa topik permasalahan, peneliti membatasi ruang lingkup pembahasan. Sehingga masalah yang akan dibahas lebih terarah.


(57)

Di dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada budaya bunuh diri di Jepang. Dimana di dalam skripsi ini ruang lingkup pembahasan tersebut meliputi pengertian bunuh diri, motif dan bentuk-bentuk bunuh diri serta pergeseran bunuh diri yang dilakukan pada masa feodalisme sampai pada masa sekarang ini. 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Semiawan (2010) tinjuan pustaka atau literature review adalah bahan yang tertulis berupa buku, jurnal yang membahas tentang topik yang hendak diteliti.

Sehingga dapat disimpulakn bahwa tinjauan pustaka adalah bahasan atau bahan-bahan bacaan yang terkait dengan suatu topik yang memuat uraian tentang data yang sebenarnya.

Jepang merupakan salah satu negara yang sangat maju di dunia, yang mempunyai berbagai masalah-masalah hidup yang sangat kompleks. Jepang juga merupakan salah satu negara yang mempunyai beranekaragam budaya. Budaya yang telah ada sejak zaman feodal hingga saat ini adalah budaya bunuh diri. Salah satu budaya bunuh diri yang terkenal pada zaman dahulu adalah seppuku. Berbeda dengan bunuh diri yang dilakukan bangsa lain, seppuku pada zaman feodal biasanya dilakukan oleh kelas samurai atau prajurit Jepang dimana mereka rela mati bunuh diri untuk menunjukkan loyalitas, kesetian dan menghargai tuannya. Fenomena bunuh


(58)

diri dalam masyarakat sekarang ini berkaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat pada zaman feodal dahulu, akan tetapi mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor perubahan zaman yang semakin maju dan kompleks.

Pada dasarnya kehidupan masyarakat Jepang merupakan kehidupan yang memiliki sifat individualisme, yang artinya kehidupan pribadi setiap individu tidak akan diketahui oleh individu lain dan masalah yang ada dalam setiap individu tidak ada hubungannya dengan individu lain. Hal ini menyebabkan terciptanya suatu sifat individualistis yang terlalu tinggi, sehingga mereka melakukan tindakan keputus asaannya melalui bunuh diri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bunuh diri merupakan suatu wujud budaya Jepang karena bunuh diri merupakan aktifitas dan tindakan yang dilakukan dengan pola atau bentuk yang sama oleh orang Jepang dalam masyarakatnya.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa ada fenomena masyarakat Jepang yang mempunyai kegilaan untuk mati dan tidak takut untuk mati. Karena kematian dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan baik.

1.4.2 Kerangka Teori

Teori merupakan asas atau hukum-hukum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori adalah aturan (tuntutan kerja) untuk melakukan sesuatu, menurut Moelinio dalam Sangidu (2007:13).


(59)

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong berfikir deduktif yang bergerak dari abstrak ke alam konkret.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis ini adalah pendekatan yang menekankan rasionalitas dan realitas budaya serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut (Moleong, 1994:8). Dalam penelitian ini juga, penulis melakukan pendekatan teori bunuh diri. Seorang sosiologis klasik Emile Durkheim mengatakan penyebab bunuh diri merupakan pengaruh integrasi sosial. Peristiwa bunuh diri merupakan

kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang memiliki latar belakang alasan. Schneidman

mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Berbicara mengenai budaya bunuh diri di Jepang erat sekali kaitannya dengan sejarah Jepang itu sendiri. Sejarah merupakan deskripsi terpadu yang terdiri dari keadaan-keadaan dan fakta-fakta masa lampau yang berdasarkan studi kasus untuk mencari kebenaran. Selain itu dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan kerangka teori pendekatan historis atau pendekatan sejarah.


(60)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Tujuan dari peenlitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan kehidupan sosial masyarakat Jepang yang melakukan tindakan bunuh diri.

2. Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam konsep bunuh diri di Jepang dari zaman feudal pada masa sekarang ini.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Menambah pengetahuan tentang budaya Jepang khususnya tentang budaya bunuh diri di Jepang.

2. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan pembaca tentang budaya-budaya Jepang yang ada.

1.6 Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah metode adalah : cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan. Menurut Drs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak-masak


(61)

dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang dikehendaki (http://carapedia.com).

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data. Menurut Koentjaraningrat dalam Citra (2006:12), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

Penulis juga mengunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktivitas individu yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian. Data yang diperoleh tersebut diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat ditarik kesimpulan (Nasution, 1996:14).

Disamping itu penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di internet yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang


(62)

didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa dan kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan hasil berupa kesimpulan.


(63)

ABSTRAK

BUDAYA BUNUH DIRI DI JEPANG

Jepang merupakan salah satu Negara yang maju di dunia yang mempunyai berbagai masalah-masalah hidup yang kompleks. Jepang juga mempunyai salah satu fenomena yang ada sejak zaman feodal yang telah menjadi budaya di Jepang yakni budaya bunuh diri. Salah satu cara bunuh diri yang ada sejak zaman feodal adalah seppuku. Istilah seppuku ini biasanya diperuntukkan bagi para kaum samurai atau kesatria Jepang dimana mereka melakukan bunuh diri sebagai bentuk loyalitas, kesetiaan, pengabdian diri, penghormatan, kode etik dalam kesatria Jepang serta sebagai bentuk rasa malu karena gagal dalam menjalankan tugas. Rasa malu bagi orang Jepang merupakan nilai moral yang tinggi bagi masyarakat Jepang artinya seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Jepang difokuskan pada usaha menjaga nama baik dan tingkah laku yang baik. Apabila melakukan kesalahan dan menyebabkan pandangan negatif dari masyarakat lain maka mereka akan merasa malu. Pada zaman dahulu dan sekarang rasa malu yang ada akan dapat ditebus dengan melakukan tindakan bunuh diri.

Seiring perkembangan zaman, kehidupan masyarakat Jepang yang sekarang ini cenderung bersifat “sendiri” dengan kata lain masyarakat Jepang tidak peduli dengan lingkungannya, sosialisasi yang dilakukanpun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Kehidupan yang bersifat sendiri ini mengakibatkan


(1)

KATA PENGHANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “BUNUH DIRI DI JEPANG”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu penulis secara rendah hati dan terbuka menerima kritikan dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangka waktu dan pikirannya untuk membimbing serta memberikan arahan dan dorongan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.


(2)

4. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, ,e,eriksa dan memberikan saran-saran serta masukan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberi ilmu dan pendidikan kepada penulis selama duduk dibangku perkulihan.

6. Seluru staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membantu penulis dalam hal-hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini. 7. Orang tua tercinta, Ayahanda AP. Simanjuntak dan Ibunda R. br Siregar yang

telah memberikan dukungan moril dan meteril selama masa pendidikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terima kasih atas segenap cinta, kasih sayang, dan dukungan yang selalu diberikan sampai hari ini.

8. Saudara-saudara penulis, Herbeth Simanjuntak, Albert Simon Simanjuntak, Martha IL Simanjuntak, Wilbert E Simanjuntak, David Simanjuntak dan Kakak ipar Chatrine Sihombing, terima kasih buat dukungan yang tak henti-hentinya yang diberikan bagi penulis. Teristimewa buat abangda Albert S Simanjuntak dan kakanda Martha IL Simanjuntak yang memberikan perhatian lebih buat penulis selama penulisan skripsi ini.

9. Yang tersayang Deddy Degaro Manurung, yang tidak pernah lelah memberikan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.


(3)

10. Rekan-rekan seperjuangan, program Ekstensi 2013 Departemen Sastra Jepang, terima kasih atas motivasi dan saran bagi penulis. Terkhusus buat Ricardo Simanjuntak, terima kasih buat jerih payahnya menemani, membantu, dan meluangkan waktu untuk penulis dalam penulisan skripsi ini.

11. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari isi maupun uraiannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, Agustus 2015 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI….………..iv

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 LatarBelakang………1

1.2 RumusanMasalah………...7

1.3 RuangLingkupMasalah………..8

1.4 TinjauanPustakadanKerangkaTeori………...9

1.4 TinjauanPustaka.………...9

1.4 KerangkaTeori………...10

1.5 TujuandanManfaatPenelitian………...11

1.6 MetodePenelitian……….12

BAB II FENOMENA BUNUH DIRI DI JEPANG……….…14

2.1 PandanganHidupdanMatiBagiMasyarakatJepang………..14

2.2 SejarahBunuhDiri Di Jepang………..21

2.3 AngkaStatistikBunuhDiri Di Jepang………..27


(5)

2.3.2 MenurutKeadaanPekerja Di Jepang………...33

2.3.3 Menurut Gender………...34

BAB III PERGESERAN MOTIF DAN BENTUK BUNUH DIRI DARI ZAMAN FEODAL HINGGA DEWASA INI………..37

3.1 Motif BunuhDiri……….37

3.1.1 Penyakit Yang TakKunjungSembuh Di KalanganLansia………..38

3.1.2 Depresi………39

3.1.3Krisis dalamHubungan Personal………..41

3.1.4 KegagalandanDevaluasiDiri………...41

3.1.5 KonflikBatin………...…42

3.1.6 KehilanganMaknadanHarapanHidup………...42

3.2 BentukBunuhDiri………...43

3.2.1 HarakiridanSeppuku………...43

3.2.2 MelompatdariGedungTinggi………...45

3.2.3 GantungDiri………....47


(6)

3.2.5 MemotongUratNadi………49

3.3 UpayaMengatasiBunuhDiri Di Jepang………...49

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……….52

4.1 Kesimpulan………52

4.2 Saran……….………..53

DAFTAR PUSTAKA