Perluasan Makna Partikel De untuk menyatakan Bahan Dasar Produksi dalam Majalah Kyou no Ryouri

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KELAS KATA BAHASA JEPANG DAN
STUDI SEMANTIK
2.1

Kelas Kata
Jenis kata dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah hinshi(品詞).

Sementara klasifikasi jenis kata dalam bahasa Jepang disebut hinshibunrui (品詞
分類). Berdasarkan perkembangannya, pengklasifikasian jenis kata bahasa Jepang
mengalami beberapa perubahan. Menurut Yasuo dalam Sudjianto (2004: 25 – 26),
pengklasifikasian jenis kata dalam gramatika bahasa Jepang berdasarkan para
pakarnya diklasifikasikan dalam 5 kelompok gramatika yaitu :
1. Otsuki bunpoo (Otsuki Fumihiko, 1847 – 1928)
2. Yamada Bunpoo (Yamada Yashio, 1873 – 1958)
3. Matsushita Bunpoo (Matsushita Daisaburo, 1887 - 1935)
4. Takieda Bunpoo (Takieda Mitoki, 1900 – 1967)
5. Hashimoto Bunpoo ( Hashimoto Shinkichi, 1982 – 1945)
Pemikiran dari masing-masing pakar yang disebutkan di atas dalam
mengklasifikasi jenis kata sebenarnya tidak terlalu berbeda, tetapi yang menjadi
perbedaannya adalah jumlah jenis kata yang mereka klasifikasikan ke dalam jenis

kata yang lebih detail.
Di bawah ini akan saya paparkan masing- masing klasifikasi jenis kata
berdasarkan 5 kelompok gramatika adalah sebagai berikut:
1. Otsuki bunpoo
Dalam Otsuki bunpoo, jenis kata yang dikelompokkan tidak diketahui secara
jelas jumlahnya.

13

2. Yamada Bunpoo
Yamada Yashio mengklasifikasi jenis kata ke dalam 14 jenis meliputi Meishi,
Daimeishi, Sushi, Dooshi, Keiyooshi, Sonzaishi, Keishiki Dooshi, Keishiki Keiyooshi,
Jotai Fukushi, Teido Fukushi, Chinjutsu Fukutsu, Setsuzoku Fukushi, Kandooshi dan
Joshi. Pengklasifikasian dari Yamada Yoshio lebih menitik beratkan pada fukushi
„kata keterangan‟ secara detail.
3. Matsushita Bunpoo
Matsushita mengklasifikasi jenis kata ke dalam 6 jenis, meliputi meishi, doushi,
rentaishi, kandoushi, fukushi dan fukumeishi.
4. Takieda Bunpoo
Takieda Mitoki mengklasifikasi jenis kata ke dalam 10 jenis, meliputi rentaishi,

fukushi, daimeishi, taigen, doushi, keiyoushi, jodoushi, joushi, setsuzokushi, dan
kandoushi.
5. Hashimoto Bunpoo
Hashimoto Shinkichi mengklasifikasi jenis kata ke dalam 9 jenis, meliputi doushi,
keiyoushi, meishi (di dalamnya termasuk daimeishi dan sushi), fukushi, rentaishi,
setsuzokushi, kandooshi, jodooshi dan joshi.
Dari pengklasifikasian yang diuraikan oleh 5 orang pakar gramatika bahasa
Jepang, hashimoto bunpolah yang digunakan sebagai acuan untuk gramatika bahasa
Jepang yang ditetapkan oleh departemen pendidikan Jepang. Gramatika inilah yang
diperkenalkan dan diajarkan kepada para siswa di sekolah-sekolah Jepang sampai
dengan sekarang.

Namun Tomita (1995 : 2) mengklasifikasikan jenis kata ke dalam 10 jenis,
yang membedakannya adalah pemisahan keiyooshi. Tomita berpendapat bahwa di
dalam bahasa Jepang terdapat 2 jenis kata sifat, karena di dalam konjungasinya

14

mengalami konjungasi yang berbeda sehingga Tomita merasa perlu keiyooshi
dibedakan menjadi 2 yaitu keiyoshi yang berakhiran dengan i disebut dengan i

keiyooshi atau keiyooshi saja sedangkan keiyooshi yang berakhiran dengan da/na,
disebut na keiyooshi atau keiyoodooshi.

2.1.1

Partikel (joshi)
Joshi dalam bahasa Jepang yang dikenal dengan istilah partikel, kata bantu,

atau postposisi, termasuk dalam kelompok fuzokugo. Menurut Sudjianto dan
Dahidi (2007:181), Joshi adalah kelas kata yang termasuk dalam fuzokugo yang
dipakai setelah suatu kata untuk menunjukkan hubungan antara kata satu dengan
kata lainnya untuk menambah arti dari kata tersebut agar lebih jelas lagi.
Joshi tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu kata, satu bunsetsu, apalagi
satu kalimat. Hal ini senada dengan pendapat Sutedi (2007: 167) bahwa kata bantu
(joshi) merupakan kata yang tidak dapat berdiri sendiri dalam satu kalimat.
Sebuah partikel mungkin dapat didefenisikan sebagai bagian yang tak
dapat ditafsirkan dalam sebuah percakapan, namun memiliki kemutlakan arti
tersendiri yang bebas ikatan, melengkapi dirinya sendiri dalam bagian- bagian
pembicaraan, yang dengan demikian, ia menempatkan dirinya dalam sebuah
konteks. Oleh karena itu, suatu kata yang hanya terdiri dari partikel saja mungkin

tidak akan bermakna apa- apa.
Menurut Situmorang (2007: 50) ciri- ciri joshi sebagai berikut :
1. tidak dapat berdiri sendiri
2. tidak berkonjugasi

15

3. tidak menjadi subjek, predikat, objek dan keterangan dalam kalimat
4. selalu mengikuti kata lain
5. ada yang mempunyai arti sendiri, tetapi ada juga yang berfungsi memberi
arti pada kata lain
Dalam bahasa Jepang, joshi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas
maknanya jika digunakan dalam kalimat. Hal ini sesuai dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang menyatakan defenisi partikel sebagai kata yang tidak dapat
diderivasikan dan diinfleksikan yang mengandung makna gramatikal dan tidak
mengandung makna leksikal. Makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut
bunpouteki-imi yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya.
2.1.2

Jenis- jenis Joshi

Secara umum, (dalam www.wikitionary.org), joshi dalam bahasa Jepang

berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Kakujoshi(格助詞)
Kakujoshi yaitu partikel yang tidak mengalami perubahan dan
menunjukkan hubungan makna dalam sebuah kalimat. Contoh: ga, ni, wo,
he, to, yori, kara.
2. Heiritsujoshi ( 並立助詞 )
Heiritsujoshi yaitu partikel yang menggabungkan dua buah benda dalam
sebuah kalimat. Contoh: ni, to, yara.
3. Shuujoshi ( 終助詞 )

16

Shuujoshi yaitu partikel yang ditambahkan di akhir kalimat atau paragrap,
dapat menambahkan makna berupa pertanyaan, larangan, maupun kesan.
Contoh: kashira, no, zo, tomo, yo, ne, wa, sa.
4. Fukujoshi ( 副助詞 )
Fukujoshi yaitu partikel yang secara keseluruhan berfungsi layaknya
seperti kata keterangan atau adverbial yang muncul di belakang kakujoshi,

kata keterangan maupun kata benda. Contoh: mo, sae, demo, dake, nado,
nari, ka, zutsu.
5. Setsuzokujoshi ( 接続助詞 )
Setsuzokujoshi yaitu partikel yang berfungsi sebagai penghubung yang
menunjukkan kaitan antara kalimat dan kalimat berikutnya. Contoh: to,
keredomo, keredo, ga, shi, temo, nagara, tari, noni, node.
Sementara Hirai dalam Sudjianto dan Ahmad Dahidi (2007: 181- 182),
juga membagi joshi menjadi empat macam berdasarkan fungsinya ;
1. Kakujoshi
Joshi yang termasuk kakujoshi pada umumnya dipakai setelah nomina
untuk menunjukkan hubungan antara nomina tersebut dengan kata lainnya.
Joshi yang termasuk kelompok ini misalnya: ga, wo, ni, he, to, yori, kara,
de, ya.
2.

Setsuzokujoshi
Joshi yang termasuk setsuzokujoshi dipakai setelah yoogen (doushi, ikeiyoushi, na-keiyoushi) atau setelah jodoushi untuk melanjutkan katakata yang ada sebelumnya terhadap kata- kata yang ada pada bagian

17


berikutnya. Joshi yang termasuk kelompok ini misalnya: ba, to, keredo,
keredomo, ga, kara, shi, temo, te, nagara, tari, noni, node.
3. Fukujoshi
Joshi yang termasuk fukujoshi dipakai setelah berbagai macam kata.
Seperti kelas kata fukushi, fukujoshi berkaitan erat dengan bagian kata
berikutnya. Joshi yang termasuk kelompok ini misalnya: ha, mo, koso, sae,
demo, shika, made, bakari, dake, hodo, kurai, nado, nari, yara, ka, zutsu.
4. Shuujoshi
Joshi yang termasuk shuujoshi pada umumnya dipakai setelah berbagai
macam kata pada bagian akhir kalimat untuk menyatakan suatu pertanyaan,
larangan, seruan, rasa haru dan sebaginya. Joshi yang termasuk kelompok
ini misalnya: ka, kashira, na, naa, zo, tomo, yo, ne, wa, no, sa.
2.2

Semantik
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang Linguistik (gengogaku)

yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting karena
bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain untuk menyampaikan suatu
makna. Misalnya ketika seseorang menyampaikan ide dan pikiran mereka kepada

lawan bicara, lalu lawan bicaranya bisa memahami apa yang dimaksud, karena ia
bisa menyerap makna yang disampaikannya. Penelitan yang berhubungan dengan
bahasa, apakah struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi- bunyi bahasa, pada
hakikatnya tidak terlepas dari makna.
Istilah semantik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu sema yang
bermaksud menunjukkan sesuatu sign sebagai satu istilah yang khusus bagi salah
satu bidang linguistik yang mengkaji tentang makna.

18

Beberapa pakar juga menguraikan pengertian semantik sebagai berikut:
1. Menurut Katz, semantik adalah studi tentang makna bahasa;
2. Menurut Kridalaksana, semantik adalah bagian struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu wicara;
3. Menurut Chaer, semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti,
yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan
semantik;
4. Menurut Lehrer, semantik adalah studi tentang makna dan merupakan
bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek- aspek
struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi,

filsafat, dan antropologi;
5. Menurut Verhaar, semantik adalah teori makna atau teori arti, yakni
cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
(http://elmaulan.blogspot.com/2014/08/semantik.html)
Sutedi (2008: 103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain
makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei), antar satu
kata dengan kata lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan makna
kalimat (bun no imi).
1. Makna kata satu per satu ( go no imi)
Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena
komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa seperti bahasa Jepang, baru
akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam

19

komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan
oleh lawan bicaranya.
Akan tetapi, baik dalam maupun dalam buku bahasa Jepang, tidak setiap
kata maknanya dimuat secara keseluruhan. bagi pembelajar bahasa Jepang,
jika berkomunikasi dengan penutur asli, terjadinya kesalahan berbahasa

dikarenakan informasi makna yang diperoleh pembelajar tersebut masih
kurang lengkap.
2. Relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei)
Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan
dengan

penyusunan

kelompok

kata

(goi)

berdasarkan

kategori

tertentu.misalnya, pada verba hanasu (berbicara), iu (berkata), shaberu
(ngomong), dan taberu (makan) dapat dikelompokkan ke dalam kotoba o

hassuru (bertutur) untuk tiga verba pertama, sedangkan taberu tidak termasuk
ke dalamnya. Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata hanasu
dan iu, takai (tinggi), dan hikui (rendah), doubutsu (binatang) dan inu (anjing)
akan berlainan, sehingga perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan
sinonim, dan pasangan kedua merupakan antonim (han-gikan kankei),
sedangkan pasangan terakhir merupakan hubungan superordinat (jouge
kankei)
3. Makna frase dalam satu idiom (ku no imi)
Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian
kata- kata yang disebut dengan ungkapan. Dalam bahasa Jepang, ungkapan
hon o yomu (membaca buku), kutsu o kau (membeli sepatu), hara ga tatsu
(perut berdiri = marah) dianggap sebagai suatu frase atau ku. Frase hon o

20

yomu dan kutsu o kau dapat dipahami cukup denagn mengetahui makna katakata hon, kutsu, kau, dan o; ditambah denagn pemahaman tentang struktur
kalimat bahwa nomina + o + verba. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara
leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk frase hara ga tatsu meskipun
seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa
memahami makna frase tersebut, jika makna frase secara idiomatikalnya
(kan-yokuteki imi) belum diketahui dengan benar.
Lain halnya dengan frase ashi o arau, ada dua makna, yaitu secara leksikal
(mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal
(kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada
frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna
secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.
4. Makna kalimat (bun no imi)
Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.
Misalnya pada kalimat watashi ha yamada san ni megane o ageru (saya
memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat watashi ha Yamada san ni
tokei o ageru (saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya,
kalimat tersebut adalah sama, yaitu A ha B ni C o ageru, tetapi maknanya
berbeda. Hal ini disebabkan makna kata megane dan tokei berbeda. Oleh
karena itu, makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat
tersebut.
Lain halnya dengan kalimat 私 は 山田 さん と 田中 さん お 待って い
る(watashi ha Yamada san to Tanaka san o matte iru), terkandung dua
makna, yaitu [watashi ha] [Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] (saya

21

bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam
suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda. Dengan
demikian, selain adanya berbagai macam relasi makna antara suatu kata
dengan kata yang lainnya, dalam kalimatpun terdapat berbagai jenis
hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
2.1.1

Manfaat Mempelajari Semantik
Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari

bidang apa yang kita geluti dalam kegiatan kita sehari- hari. Bagi seorang
wartawan, reporter, atau orang- orang yang berkecimpung dalam dunia
persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat
praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan
memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat
dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, pengetahuan
semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalsis kata atau
bahasa- bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau
calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis,
karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh- sungguh
tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang
diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang lebih
mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau
memiliki kemiripan arti.

22

2.2.2

Jenis- jenis makna dalam semantik
Sutedi (2008: 106) mengemukakan beberapa jenis makna dalam bahasa

Jepang di antaranya:
1. Makna leksikal
Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan jishoteki-imi atau
goiteki- imi. Makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai
dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur
gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata.
2. Makna gramatikal
Makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut bunpouteki- imi yaitu
makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Dalam bahasa Jepang, joshi
(partikel) dan jodoushi (kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi makna
gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat.
3. Makna denotatif
Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut meijiteki- imi atau gaien.
Makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan makna di luar bahasa
seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis
komponen makna
4. Makna konotatif
Makna konotatif dalam bahasa Jepang disebut anjiteki- imi atau naihou,
yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan
lawan bicaranya.
5. Makna dasar

23

Makna dasar disebut dengan kihon- gi yang merupakan makna asli yang
dimiliki oleh suatu kata.makna asli yang dimaksud, yaitu makna bahasa yang
digunakan pada masa sekarang ini.
6. Makna perluasan
Makna perluasan (ten- gi) merupakan makna yang muncul sebagai hasil
perluasan dari makna dasar, di antaranya akibat penggunaan secara kiasan
(majas).
2.3

Perubahan makna dalam semantik
Dalam bahasa Indonesia, terdapat beberapa kata yang mengandung makna

lebih dari satu ketika digunakan dalam konteks kalimat yang berbeda. Tak hanya
berbeda, makna yang terkandung pada sebuah kata juga dapat berkembang dan
mengalami perubahan.
Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara
lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing.
Beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang menurut Sutedi
(2008: 108) sebagai berikut:
1. Dari yang konkret ke abstrak
Kata 頭 atama (kepala), 腕 ude (lengan), serta 道 michi (jalan) yang
merupakan benda konkret, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti
berikut ini:

頭 が いい

Atama ga ii

24

kepandaian

腕 が 上がる

Ude ga agaru

kemampuan

日本語 教師 絵 の道

Nihongo kyoushi e no michi cara/ petunjuk

2. Dari ruang ke waktu
Kata 前 mae (depan), dan 長い nagai (panjang), yang menyatakan arti
ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini:

三年 前

Sannen mae

yang lalu

長い 時間

Nagai jikan

lama

3. Perubahan penggunaan indera
Kata 大きい ookii (besar) semula diamati denga indera penglihatan
(mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada 大きい 声
ookii koe (suara keras). Kemudian pada kata 甘い amai (manis) dari indera
perasa menjadi karakter seperti dalam 甘い 子 amai ko (anak manja).
4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi
Kata 着物 kimono yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,
digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum 服 fuku dan
sebagainya.
5. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi
Kata 花 hana (bunga secara umum) dan 卵 tamago (telur secara umum)
digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam
pnggunaan berikut:

25

花見

卵 を 食べる

Hana-mi

bunga sakura

tamago o taberu

telur ayam

6. Perubahan nilai positif
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya
adalah kata 僕 boku (saya) yang dulu digunakan untuk budak atau playan,
tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini
menunjukkan perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.
7. Perubahan nilai negatif
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah
satunya adalah kata 貴様 kisama (kamu) yang dulu sering digunakan
untuk menunjukkan kata あなた anata (anda), tetapi sekarang digunakan
hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan
adalnya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.
2.3.1

Fungsi dan Makna Partikel De
Berikut fungsi dan makna partikel de menurut beberapa pakar serta

pemakaiannya di dalam kalimat. Chino (2008: 40 – 42) dalam bukunya Partikel
Penting Bahasa Jepang menerangkan fungsi dan makna partikel de sebagai
berikut:
1. Menunjukkan tempat berlaku atau kejadian : pada, di
Contoh:
私 の 友達 わ, 図書館 で 本 お 読んで います
Watashi no tomodachi wa, tosho-kan de hon o yonde imasu

26

(teman saya sedang membaca buku di perpustakaan)
2. Menunjukkan alat atau pemakaian : dengan
Contoh:
私 わ 日本 へ 船 で 来ました
Watashi wa nihon e fune de kimashita
(saya datang ke Jepang dengan kapal)
3. Menunjukkan bahan yang dipakai : dari, tentang, dengan
Contoh:
昔, 日本 人 は 気 と 髪 で 作った 家 に 住んで いました
Mukashi, nihon jin wa ki to kami de tsukutta ie ni sunde imashita
(zaman dulu, orang Jepang tinggal dalam rumah yang terbuat dari kayu
dan papan)
4. Menunjukkan yang paling/ ter dalam kalimat dengan menambahkan kata :
di
Contoh:
世界 で 一番 高い 山 は なん です か
Sekai de ichiban takai yama wa nan desu ka
(gunung apa yag paling tinggi di dunia?)
5. Menunjukkan jumlah dan lingkupan : dalam, -se
Contoh:
この 本 は 一時間 で 読めます よ
Kono hon wa ichi-jikan de yomemasu yo
(kamu dapat membaca buku ini dalam satu jam)
6. Menunjukkan rasa atau keadaan suatu perbuatan : dengan

27

Contoh:
家族樹 で ハワイ へ 旅行した
Kazoku-ju de hawai e ryokou shita
(saya bepergian dengan seluruh keluarga)
7. Menunjukkan waktu atau usia : sejak, pada usia
Contoh:
あの 詩人 は 25 再 で 死んだ
Ano shijin wa 25 sai de shinda
(penyair itu meninggal pada usia 25 tahun)
8. Menunjukkan alasan sesuatu : oleh karena
Contoh:
病気 で 旅行 に 行けなかった
Byouki de ryokou ni ikenakatta
(oleh karena sakit, saya tidak bisa bepergian)
Sudjianto (2007: 34 – 37) dalam bukunya Gramatika Bahasa Jepang
Modern menerangkan fungsi dan makna partikel de sebagai berikut:
1. Menyatakan cara atau alat yang dipakai pada waktu melakukan suatu
kegiatan : dengan
Contoh:
大きい 声 で 読んで ください
Ookii koe de yonde kudasai
(tolong baca dengan suara keras)
2. Menyatakan bahan- bahan yang digunakan untuk membuat sesuatu : dari

28

Contoh :
これ は 革 で 作った かばん です
Kore wa kawa de tsukutta kaban desu
(ini tas yang terbuat dari kulit)
3. Menyatakan sebab- sebab atau alasan : sebab
Contoh:
雨 で どこ へ も 行かなかった
Ame de doko e mo ikanakatta
(tidak dapat pergi oleh karena hujan)
4. Menyatakan tempat melakukan suatu aktifitas : di
Contoh:
すみません, ここ で タバコ を 吸って も いい です か
Sumimasen, koko de tabako o sutte mo ii desu ka
(permisi, bolehkah merokok di sini)
5. Menyatakan batas, ruang lingkup, atau lingkungan tertentu : dalam
Contoh:
あなた は 果物 の 中 で 何 が 一番 好き ですか
Anatawa kudamono no naka de nani ga ichiban suki desuka
(dalam buah- buahan, apa yang paling anda suka?)
6. Menyatakan jumlah benda, orang, waktu, dan sebagainya : dalam
Contoh:
この 仕事 は 一週間 で できました
Kono shigoto wa isshukan de dekimashita
(pekerjaan ini dapat diselesaikan dalam satu minggu)

29

7. Menyatakan individu, kumpulan atau kelompok, organisasi atau lembaga :
dengan, dalam
Contoh:
来年 の 夏休み に クラス で キャンプ に 行く つもり です
Rainen no natsuyasumi ni kurasu de kyanpu ni iku tsumori desu
(liburan musim panas tahun depan, bermaksud pergi berkemah dengan
teman sekelas)
8. Menyatakan keadaan atau kondisi tema/ subjek pada waktu melakukan
suatu aktivitas : dengan
Contoh:
父 は 毎朝 裸足 で ジョッギング お する
Chichi wa maiasa hadashi de joggingu o suru
(ayah setiap pagi jogging dengan kaki telanjang)
9. Menyatakan standar, derajat, ukuran, atau batas- batas tertentu : di, pada
Contoh:
これ で よろしい です か
Kore de yoroshii desu ka
(apakah ini oke?)
2.3.2

Perluasan Makna Partikel De
Baik partikel de dan kara memiliki persamaan makna yaitu dari untuk

menyatakan bahan dasar produksi. Perbedaan partikel de dengan partikel kara
dapat dilihat dari bahan yang dipakai dalam membuat produksi. Partikel de
dipakai untuk menyatakan bahwa bahan yang dipakai untuk membuat barang

30

masih tampak jelas pada barang jadi yang sudah dibuat. Sedangkan partikel kara
dipakai untuk menyatakan bahwa bahan yang dipakai untuk membuat barang
sudah tidak tampak lagi pada barang jadi yang sudah dibuat.
Namun, Tomita dalam Sudjianto (2007: 95 – 96) menerangkan bahwa
pada kenyataannya dalam pemakaiannya sehari- hari dalam kehidupan masyarakat
Jepang, kadang- kadang pemakaian partikel de dan kara tidak sesuai dengan
aturan- aturan tersebut. Pada umumnya pemakaian partikel de lah yang lebih
banyak daripada partikel kara. Kalimat- kalimat seperti ‘wain wa budou de
tsukurimasu’, ‘bataa wa gyuunyuu de tsukurimasu’ tidak termasuk kalimat yyang
tidak alamiah. Tetapi apabila kita memakai partikel kara untuk kalimat yang
seharusnya memakai partikel de seperti ‘tsukue wa ki kara tsukurimasu’ atau
‘koppu wa garasu kara tsukurimasu’ akan terasa tidak alamiah.
Dengan demikian ada kecenderungan partikel kara pada kalimat- kalimat
yang sudah dikemukakan di atas dapat diganti dengan partikel de. Sebaliknya,
partikel de seperti pada contoh- contoh kalimat di atas tidak bisa diganti dengan
partikel kara.
Dari uraian di atas, yang akan dianalisis adalah partikel de untuk
menyatakan bahan produksi, yang jika dilihat dari pemakaiannya, partikel de
mengalami perubahan makna dari makna khusus ke makna umum.
Perluasan makna atau disebut generalisasi adalah gejala yang terjadi pada
sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi
kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain.

31