Kedudukan Uang Jemputan Dalam Perkawinan Bajapuik Pada Masyrakat Miangkabau Pariaman Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

ABSTRAK
Hukum Adat perkawinan merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dalam
hukum adat Indonesia. Di dalam perkawinan adat Indonesia khusunya di daerah Minagkabau
Paraiaman ada salah satu bentuk perkawinan yang dikenal dengan istilah perkawinan
bajapuik, perkawinan bajapuik yaitu menjemput marapulai (calon suami) untuk mengadakan
pernikahan di rumah pengantin perempuan dengan membawa persyratan-persyaratan tertentu
dalam hal ini uang jemputan. Saat ini perkembangan perkawinan bajapuik telah berubah
kepada untung dan rugi dalam pelaksananya sehingga menimbulkan kasus-kasus penuntutan
dan pengembalian uang jemputan yang terjadi saat ini baik itu melalui Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri. Adanya kasus tersebut maka perlu dikaji tentang uang jemputan
sebagai harta benda perkawinan sebagaimana diektahui bahwa didalam pasal 35 ayat 1 dan
2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ada pengolongan harta benda
perkawinan yakni harta bersama dan harta bawaan.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman yang merupakan bagian dari
wilayah Pariaman yang masih melaksanakan perkawinan bajapuik, berdasarkan random
sampling maka yang dijadikan sampel penelitian yakni 3 (tiga) kecamatan dari beberapa
kecamatan yang ada di Kabupaten Padang Pariaman. Tiap-tiap kecamatan diwakili satu
nagari yaitu kecamatan Batang Anai diwakili Nagari Buayan, Kecamatan V Koto Timur
Nagari Limau Puruik dan Kecamatan V Koto Kampung Dalam diwakii Nagari Campago.
Responden dalam penelitian adalah masyarakat yang melaksanakan perkawinan bajapuik di
masing-masing wilayah penelitian diambil sebanyak 8 pasangan suami-istri dengan jumlah

total sebanyak 24 pasangan suami-istri, terhadap respoden diberikan daftar kouisoner
terbuka yang telah disusun. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dilakukan
wanacara dangan KAN, LKAAM dan Hakim Pengadilan Agama terhadap permasalahan
mengenai perkawinan adat bajapuik saat ini.Data dianalisis secara sistematif dengan
memakai metode induktif-deduktif, untuk menganalisis data ini dilakukan studi
kepustaakaan.
Hasil penelitian berdasarkan pemahaman respoden di wilayah penelitian dan
wawanacara LKAAM Padang Pariaman diketahui bahwa uang jemputan itu hakekatnya
awalnya sebagai modal awal bagi pasangan suami-istri dalam menjalankan mahligai rumah
tangga. Apabila dilihat dari segi prosesnya menurut undang-undang perkawinan nomor 1
tahun 1974 berdasarkan pengertian harta bersama dan harta bawaan di dalam undang
tersebut diketahui bahwa uang jemputan merupakan harta bawaan tapi dari segi fungsi harta
itu sebagai harta bersama untuk kedua belah pasangan. Perkembangan perkawinan bajapuik
saat ini mempengaruhi makna dan hakekat dari pemberian uang jemputan sehingga ada saja
pihak laki-laki yang hanya mengharapkan uang jemputan, karena menilai uang jemputan
merupakan harta bawaannya. Padahal pemberian itu menurut adat dan makna serta hakekat
pemberian uang jemputan sebenarnya jika dikaitkan dengan tujuan undang tersebut
merupakan harta bersama, kedepanaya perlunya peranan pemuka adat dan niniak mamak dan
kedua belah pihak keluarga pengantin untuk merasionalkan pemberian uang jemputan yang
sebenarnya sehingga kasus penutuntan uang jemputan tidak terjadi dan kemurnian dari

sebuah perkawinan adat dapat terlaksana.

Kata kunci :Harta Perkawinan, Perkawinan bajapuik, Uang jemputan

i

ABSTRACT
Adat Marriage Law is an inseparable part of the Indonesian Customary Law. In
Marriage Customary Law, that of Minangkabau Pariaman in particular, is a form of
marriage known as bajapuik marriage, which is taking marapulai (the prospective son in
law) to the wedding held in the bride’s house by bringing certain condition namely
proposal money. Nowadays, the development of bajapuik marriage has changed into
consideration for the advantages and disadvantages in its implementation causing
prosecution and proposal money repayment to either Religious Court or District Court.
By the occurrence of these lawsuits, a study is required on proposal money as the
marriage property as stipulated in Article 35 Section 1 and 2 the Law No. 1/ 1974 on
Marriage that there is a classification of marital property namely joint property and
pre-marriage property.
This research was conducted at District of Padang Pariaman which is included
into the Region of Pariaman that still implements bajapuik marriage. The samples were

taken from 3 (three) sub-districts in District of Padang Pariaman, using random
sampling method. Each sub-district was represented by one Nagari (independent village
that is traditionally managed in Padang), they were Nagari Buayan representing Subdistrict Batang Anai, Nagari Limau Puruik representing Sub-district V Koto Timur,
Nagari Campago representing Sub-district V Koto Kampung Dalam. The respondents
were the communities who implemented the bajapuik marriage in each Nagari. There
were 24 couples as the respondents in total from the three Nagari with 8 couples each. A
list of open-ended questions was distributed to the respondents. In order to gain more
thorough information, some interviews were carried out with KAN (Office of Nagari
Traditional Meeting), LKAAM (Institution of Traditional organization in Minangkabau),
and the Judge of Religious Court upon the problems regarding bajapuik traditional
marriage nowadays. The data were analyzed systematically by inductive-deductive
reasoning method and library study.
The results based on the respondents comprehension and the interviews with
LKAAM Padang Pariaman showed that the proposal money is essentially the initial
capital for the couples in undergoing their marriage. Viewed from the process as
stipulated in the Marriage Law No. 1/ 1974 defining pre-marriage property and joint
property, the proposal money is classified into the pre-marriage property, yet viewed
from the function, the proposal money belongs to joint property that is used for the sake
of the couples. Over the time, bajapuik marriage nowadays influences the meaning and
essence of the proposal money so that some grooms were found to only expect the

proposal money from the marriage, as they thought considered the money their premarriage property. In fact, viewed from the adat (tradition), meaning and essence of the
giving of the proposal money, it was given with aim to be their joint property. It was
recommended that the traditional leaders as well as niniak mamak (relatives) and
families of the couples rationalize the essence of giving the money so that the lawsuits of
claiming the proposal money would not occur in the future and the genuineness of
traditional marriage could be implemented.
Keywords: Marriage property, Bajapuik Marriage, Proposal Money

ii