Kedudukan Uang Jemputan Dalam Perkawinan Bajapuik Pada Masyrakat Miangkabau Pariaman Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
25
BAB II
PERKEMBANGAN PEMBERIAN UANG JEMPUTAN DALAM
PERKAWINAN BAJAPUIK PADA MASYARAKAT
HUKUM ADAT PARIAMAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
1.
Tentang Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
Sebelum membahas mengenai pelaksanaan perkawinan bajapuik pada
masyarakat Minangkabau Pariaman
khususnya di Kabupaten Padang Pariaman,
sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu kondisi wilayah Kabupaten Padang
Pariaman. Secara umum Minangkabau terletak pada pantai barat Pulau Sumatera
yang dapat dibagi atas dua daerah, yaitu Luhak dan Rantau, Wilayah Luhak meliputi
tiga bagian, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.
Ketiga Luhak ini yang dinamakan Darek (Darat) yang dikepalai oleh penghulu berada
pada daerah pedalaman disekitar lembah-lembah dan kaki gunung. Sedangkan daerah
di luar Luhak nan Tigo yang dinamakan Rantau yang berada pada daerah pantai yang
dipimpin oleh raja (Luhak Berpenghulu dan Rantau barajo).42
Secara umum daerah rantau dapat dibedakan atas dua, yaitu rantau pesisir dan
rantau pedalaman. Rantau pesisir meliputi sepanjang pantai barat Pulau Sumatera,
mulai dari sebelah utara, yaitu Labuan Haji, Muara Labuh, Tapak Tuan, Singkel,
Barus, Sibolga, Natal, Ujung Gading, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Painan,
Balai Salasa, Terusan, Air Haji dan Bengkulu. Adapun yang termasuk daerah rantau
42
Amir Syarifudin, Op.cit, hal.122-123
25
26
pedalaman meliputi sebelah timur Pulau Sumatera seperti Solok, Sijunjung,
Sawahlunto, Kerinci, Bangkinang, Teluk Kuantan, Jambi, Singapura dan Malaysia.
Sistem pemerintahan baik daerah rantau maupun daerah darat berbentuk daerah
Nagari yang berlandaskan pada “mufakat” atau permusyawaratan adat, yang
tercermin dalam pepatah :43
Kemenakan barajo kamamak
Mamak barajo ka penghulu,
Penghulu barajo ka mufakat,
Nan barimbo rajo-rajo,
Nan bahutan kareh, penghulu,
Nan bahutan lambuik, kemenakan,
Adopun padusi nan rajo pada tampeknyo,
Kemenakan beraja kemamak
Mamak beraja kepenghulu
Penghulu beraja ke mufakat
Yang berimba raja-raja
Yang berhutan keras, penghulu
Yang berhutan lembut, kemanakan
Adapun perempuan yang raja pada tempatnya
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, dimana Kabupaten Padang Pariaman
termasuk daerah rantau. Secara geografis kabupaten Padang Pariaman terletak antara
o
o
o
o
00 11’-00 49’ lintang selatan dan 98 36’- 100 28’ bujur timur. Luas daerah
mencapai 1.402,15 km2, yang berarti hanya 3.32 % dari luas wilayah provinsi
Sumatera Barat yang mencapai 42.229,04 km2. Topografi daerah kabupaten Padang
43
Suardi Mahyudin dan Rustam Rahmad, Hukum Adat Minangkabau Dalam Sejarah
Perkembangan Nagari Rao-Rao Ranah Ketitiran Di Ujuang Tunjuak, (Jakarta : CV Citama
Mandiri,2002,) hlm 14
27
Pariaman bervariasi antara daratan, bergelombang, dan berbukit dengan panjang garis
pantai 60,50 km berbatas langsung dengan:44
a.
Sebelah utara dengan kabupaten Agam.
b.
Sebelah selatan dengan Kotamadya Padang.
c.
Sebelah timur dengan kabupaten Solok/ Tanah Datar.
d.
Sebelah barat dengan kota Pariaman dan Samudera
Indonesia.
Jumlah penduduk Kabupaten Padang Pariaman tahun 2014 tercatat sebanyak
387.452 jiwa, yang terdiri dari 186.058 laki – laki dan 201.394 perempuan,
sedangkan tahun sebelumnya tercatat sebanyak 384.718 jiwa (183.926 laki – laki dan
200.792 perempuan). Tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2007 ini terhitung
sebanyak 292 jiwa / Km2. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Batang
Anai, yakni 43.890 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah berada di Kecamatan
Padang Sago yakni 8.247 jiwa. Sedangkan jumlah orang yang bekerja sebanyak
142.222 orang dengan rincian 83.836 laki-laki dan 58.386 perempuan. Dilihat dari
tingkat pendidikan pekerja di Kabupaten Padang Pariaman terbanyak pada tingkat
pendidikan tidak tamat SD sebanyak 45.173 orang, selanjutnya 36.760 orang pada
tingkat pendidikan SD dan sebanyak 6.749 orang berpendidikan diatas sekolah
menengah atas (Diploma/Universitas). Dilihat dari tingkat kesejahteraan keluarga
berdasarkan data dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana
sebanyak 10.118 keluarga berada pada tingkat pra sejahtera, 21.663 keluarga pada
tingkat Sejahtera I, 28.297 keluarga pada tingkat Sejahtera II, 25.382 pada tingkat
Sejahtera III, dan sebanyak 1.443 keluarga pada tingkat Sejahtera III Plus.45
Menurut data dari Biro Statistik Kabupaten Padang Pariaman data tahun 2003
terdiri dari 1 (satu) kabupaten dan 17 (tujuh belas) kecamatan serta 46 (empat puluh
enam) Nagari, yakni kecamatan46 :
44
Profil Kabupaten Padang Pariaman, Badan Pusat Stastik (BPS). Padang Pariaman Tahun
45
BPS (Badan Pusat Statistik) Pemkab. Padang Pariaman. Pariaman dalam angka tahun 2014
Ibid,
2014
46
28
1.
Batang Anai.
2.
Lubuk Alung.
3.
Sintuak Toboh Gadang.
4.
Ulakan Tapakis.
5.
Nan Sabaris.
6.
2 x 11 Enam Lingkungan.
7.
Enam Lingkungan.
8.
2 x 11 Kayu Tanam.
9.
VII Koto Sei Sarik.
10. Patamuan.
11. Padang Sago.
12. V Koto Timur.
13. V Koto Kampung Dalam.
14. Sungai Limau.
15. Batang Gasan.
16. Sungai Garingging.
17. IV Koto Aur Malintang
Dalam penelitian berdasarkan penarikan random sampling terhadap wilayah
penelitian ini maka yang menjadi dearah sampel peneltian yakni di tiga kecamatan di
Kabupaten Padang Pariaman yakni :
a.
Kecamatan Batang Anai yaitu Nagari Buayan
Buayan merupakan salah satu nagari di sumatera barat. Pada saat ini, Nagari
buayan termasuk daerah otonom Kabupaten Padang Pariaman. Nagari buayan terdiri
29
dari terdiri 4 korong dengan luas 647 Ha dengan jumlah penduduk 3951 orang, 2001
orang laki-laki dan 1950 orang perempuan yang seluruhnya Beragama Islam,
penduduk buayan berpenghasilan dari beberapa perkerjaan yaitu Petani, PNS,
Perternak, TNI, POLRI, Karyawan swasta dan pedagang.47
Nagari Buayan adalah suatu nagari yang termasuk dalam kawasan rantau
pesisir barat pulau sumatera. Kondisi ideal nagari yang ingin direvitalisasi adalah
visi, orientasi, institusi, tradisi dan kepemipinan nagari sebagaimana dulu telah
mengahadirkan genarasi yang kuat. Sebagai wilayah yang masuk dalam lingkupan
Pariaman Nagari Buayan masih menjalankan adat perkawinan bajapuik pada
masyarakatnya.48
b.
Kecamatan V Koto Kampung yaitu Nagari Campago
Kecamatan V Koto Kampung Dalam sebagai fokus wilayah penelitian yaitu
Nagari Campago, yang terdiri dari 12 Korong. Nagari Campago mempunyai luas
daerah yaitu 1400 Ha dengan jumlah penduduk 11.460 jiwa, yang terdiri dari jumlah
penduduk laki-laki 5596 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 5.864 jiwa dengan
2.366 kepala keluarga. penduduk Campago berpenghasilan dari beberapa perkerjaan
yaitu petani, PNS, perternak, TNI, POLRI, karyawan swasta dan pedagang.49
Nagari Campago merupakan bagian daerah rantau yang masih memakai
perkawinan bajapuik pada masyarakatnya sampai saat sekarang. Nagari ini masih
47
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari(RPJM), Nagari Buayan Tahun 2015
Wawanacara dengan Wali Nagari Buayan Deny Setiawan, Pada tanggal 15 Maret 2015
49
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari(RPJM), Nagari Campago Tahun 2015
48
30
tetap menjaga adat perkawinan bajapuik yang setiap tahun pasti terjadi perkawinan
dengan adat bajapuik.50
c.
Kecamatan V Koto Timur Nagari Limau Puruik
Kecamatan V Koto Timur Dalam sebagai fokus wilayah penelitian yaitu
Nagari Limau Puruik, yang terdiri dari 9 (Sembilan) Korong. Nagari Limau Puruik
mempunyai luas daerah yaitu 1002 Ha dengan jumlah penduduk 3.257 jiwa, yang
terdiri dari jumlah penduduk laki-laki 1.551 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
1.706 jiwa dengan 775 kepala keluarga. penduduk Campago berpenghasilan dari
beberapa perkerjaan yaitu petani, perternak, pedagang, tukang kayu, tukang batu,
penjahit, PNS, TNI, POLRI, karyawan swasta dan pengarajin.51
Nagari Limau Puruik
merupakan bagian daerah
yang masih memakai
perkawinan bajapuik pada masyarakatnya sampai saat sekarang. Nagari ini masih
tetap menjaga adat perkawinan bajapuik yang mana dibuktikan setiap tahun pasti
terjadi perkawinan dengan adat bajapuik di dearah ini.52
2.
Identitas
Responden
Yang Melaksanakan
Perkawinan
Bajapuik Di
Kapabuten Padang Pariaman Sumatera Barat
Identitas yang akan diperhatikan meliputi perbedaan kelamin dan asal daerah
responden di lokasi penelitian, identitas responden akan dijadikan standar dalam
50
Wawanacara dengan Abdul Halim ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM) V Koto Kampung Dalam , pada tangga 10 Maret 2015
51
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari(RPJM), Nagari Limau Puruik Tahun 2015
52
Wawanacara dengan Rustam Jalaludin ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) V Koto
Timur, pada tanggal 10 Maret 2015
31
menguji tingkat kebenaran jawaban dan konsistensi responden terhadap angket yang
diberikan kepada responden.
Dalam pelaksanaan peneltian ini dilakukan pembagian wilayah penelitian
meliputi tiga kecamatan yang masing-masing kecamatan diwakili satu kenagarian
yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman yaitu Kenagarian Campago
di
Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kenagarian Buayan Kecamatan Batang Anai,
Kenagaraian Limau Puruik Kecamatan V Koto Timur
Mengingat luasnya dan banyak masyarakat yang melaksanakan perkawinan
bajapuik maka
berdasarkan penarikan
purposive sampling terhadap responden
dalam penelitian ini maka yang akan dijadikan responden sebanyak 8 (delapan)
pasangan suami isteri permasing-masing nagari dengan total responden sebanyak 24
(dua puluh empat) pasangan yang melaksanakan perkawinan bajapuik sebagaimana
ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel I
Jumlah Responden Menurut Masing-Masing Nagari
n=24
Nama Nagari
Proposi Responden
Proposi (%)
Nagari Buayan
8 Pasutri
30,3
Nagari Campago
8 Pasutri
30,3
Nagari Limau Puruik
8 Pasutri
30,3
Jumlah
24 Pasutri
Sumber : Data primer hasil kuisioner yang dilakukan pada tanggal 20 Mei
2015 sampai dengan 4 Juni 2015
32
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa di Nagari Buayan yang dijadikan
responden sebanyak 8 (delapan) pasangan, Nagari Campago sebanyak 8 (delapan)
pasangan dan Nagari Limau Puruik juga sebanyak 8 (delapan) pasangan. Jumlah total
keseluruhan responden yaitu 24 (dua pulah empat) pasangan responden
Berkenaan dengan umur dari para responden yang terdiri dari Nagari Buayan,
Nagari Campago, Nagari Limau Puruik secara terperinci dapat dikemukan dalam tabel
sebagai berikut :
Tabel II
Kelompok Umur Para Responden
n=24
No
Kelompok
Umur
Nagari
Nagari
Buayan Campago
Jumlah
Ket
Nagari
Limau
Puruik
Angka
Persen
1.
15-19
1
-
1
2
8.3%
2.
20-24
2
3
-
5
20.83%
3.
25-29
4
2
3
9
37.5%
4.
30-34
-
2
3
5
20.83%
5.
40-44
-
1
1
2
8.3%
6.
45-49
1
-
-
1
4.16%
7.
50-54
-
-
-
-
-
8.
55-59
-
-
-
-
-
9.
60-64
-
-
-
-
-
10
65-
-
-
-
-
-
11
Tak
Menjawab
-
-
-
-
-
8
8
8
24
100%
Jumlah
Sumber : Data primer hasil koisioner yang dilakukan pada tanggal 20 Mei
2015 sampai dengan 4 Juni 2015
33
Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah responden yang terbanyak adalah
dari kelompok umur 25-29 tahun yaitu 9 pasangan kemudian kelompok umur 20-24
dan 30-34 tahun yaitu masing-masing 5 pasangan, dan disusul oleh kelompok umur
15-19 dan 40-44 tahun yaitu masing-masing 2 pasangan serta kelompok umur 45-49
tahun yaitu 1 pasangan. Jadi yang menjadi mayoritas umur pasangan yang menjadi
responden yaitu umur 25-25 tahun sebanyak 9 pasangan atau sebesar 37,5%
Berdasarkan usia tersebut dapat dikatakan bahwa umur 25-29 tahun adalah
usia produktif pasangan dalam menjalankan mahligai rumah tangga, sehingga nanti
bisa menjadi pedoman terhadap pemahaman responden dalam melaksanakan adat
perkawinan bajapuik berkenaan dengan harta yang didapat berupa uang jemputan.
B. Tinjauan Masyarakat Adat Minangkabau
1.
Hukum Adat Masyarakat Minangkabau Pada Umumnya
Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang kira-kira terletak di Propinsi
Sumatera Barat. Dikatakan kira-kira karena pengertian Minangkabau tidaklah persis
sama dengan pengertian Sumatera Barat, karena kata Minangkabau lebih banyak
mengandung makna sosial kultural, sedangkan kata Sumatera Barat lebih banyak
mengandung makna geografis administratif.53
Sebagaimana dalam tambo alam Minangkabau disebutkan asa mula niniak
(nenek moyang) orang Minangkabau54 :
53
Amir Syarifuddin, Loc. cit, hlm122
B.Nurdin Yakub, Minangkabau Tanah Pusaka (Tambo Mianagakabau) Buku Pertama.
(Bukitinggi:Pustaka Indonesia,1987), hlm13
54
34
Dimano mulonyo titik palito
Dibalik telong nan batali
Dimano mulunyo asa niniak kito
Di ateh puncak guung merapi
Berdasarkan tambo tersebut diketahui bahwa masyarakat Minangkabau bersal
dari gunung merapi, menurut tambo dari benua asia yang dinamakan “tanah basa.55
Terlalu langka sumber pra sejarah yang bersifat otentik yang akan dapat
menuntun kita untuk dapat mengetahui asal-usul suku bangsa Minangkabau,
Sungguhpun demikian, sekedarnya dapat juga diketahui melalui literatur tradisional
yang disebut tambo dan dari petatah petitih yang senantiasa terpelihara secara turun
temurun dari generasi ke generasi secara lisan. Kebenaran isi tambo itu tidaklah
seluruhnya terjamin, mengingat bahwa penyampaiannya yang berlangsung secara
lisan. Cerita dalam tambo ini setidaknya akan dapat menuntun kita untuk mengenal
perkembangan selanjutnya dari nenek moyang suku bangsa Minangkabau. Nenek
moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari pencampuran antara bangsa Melayu
tua yang telah datang pada zaman Neoliticum dengan bangsa Melayu Muda yang
menyusul kemudian pada zaman perunggu, kedua bangsa ini adalah serumpun
dengan bangsa Astronesia.56
Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya Islam,
bahkan sebelum Hindu dan Budha memasuki wilayah Nusantara.57Sebelum datang
pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah mencapai puncaknya yang
terintegrasi dan kepribadian yang kokoh. Oleh karena itu, kebudayaan luar yang
datang tidak mudah memasukkan pengaruhnya. Penerimaan kebudayaan dari luar
berjalan secara selektif, sehingga budaya yang bertentangan dengan falsafah adatnya
tidak dapat bertahan di Minangkabau. Letak Minangkabau yang diapit dua lautan,
yaiu Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan menyebabkannya menjadi sasaran
kunjungan dari luar. Disamping itu sifatnya yang terbuka dan mudah menyesuaikan
55
56
Ibid,
Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, (Padang : Sri Darma, 1971),
hlm 11
57
Nasrun, Dasar Filsafat Minangkabau, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hlm13
35
diri dengan lingkungan menempatkannya pada posisi yang dapat menerima pengaruh
kebudayaan dari luar sejauh tidak bertentangan secara prinsip dengan kebudayaannya
yang telah ada.58
Lembaga pemerintahan yang ada di Minangkabau menyesuaikan diri dengan
ajaran Islam. Hal ini terjadi karena agama Islam di Minangkabau sangat kuat. Islam
masuk di Minangkabau menggantikan pengaruh Budha yang lebih dahulu datang,
dengan arti bahwa pengaruh Budha dapat hilang di Minangkabau dan digantikan oleh
pengaruh Islam.59
Masyarakat Minangkabau mengenal filsafat adat yang berdasarkan kenyataan
yang hidup dan berlaku dalam alam60. Bila diteliti bunyi pepatah adat, baik dari segi
sampiran maupun isinya, terlihat jelas bahwa kata yang lazim dipergunakan adalah
kata benda atau sifat yang terdapat dalam alam sekitar. Yang demikian diibaratkan
untuk kehidupan manusia dan untuk menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia itu.
Masyarakat Minangkabau memiliki empat tingkatan adat, yaitu:61
a.
Adat Istiadat
Adat istiadat dalam pengertian khusus berarti kebiasaan yang sudah berlaku
dalam suatu tempat yang berhubungan dengan tingkah laku dan kesenangan.
Kebiasaan ini merupakan ketentuan yang dibiasakan oleh ninik mamak pemangku
adat sebagai wadah penampung kesukaan orang banyak yang tidak bertentangan
58
Ibid
Ibid
60
Nasrun, Op cit, hlm 13
61
Amir, Ms, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta : Sumber
Jaya, 1999) hlm73
59
36
dengan adat yang diadatkan serta tidak bertentangan pula dengan akhlak yang mulia.
Adat istiadat ini tidak berlaku secara umum dan lebih terbatas lingkungannya. Dalam
pelaksanaannya kadang-kadang menjurus kepada kebiasaaan buruk menurut ukuran
umum.62
b. Adat nan teradat
Adat yang teradat yaitu kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu
tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan.63 Kebiasaan yang menjadi
peraturan ini mulanya dirumuskan oleh ninik mamak pemangku adat dalam suatu
nagari untuk mewujudkan aturan pokok yang disebut adat yang diadatkan, yang
pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu adat
yang teradat ini dapat berbeda antara satu nagari dengan nagari lain menurut keadaan,
waktu dan kebutuhan anggotanya. Bila diperbandingkan antara adat yang teradat
dengan adat yang diadatkan, terlihat bedanya dari segi keumuman berlakunya. Adat
yang diadatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh nagari yang terlingkup
dalam suatu lingkaran adat yang dalam hal ini adalah seluruh lingkungan
Minangkabau. Walaupun kemudian mungkin mengalami perubahan, namun
perubahan itu berlaku merata diseluruh nagari.64
c.
Adat nan diadatkan
Adat yang diadatkan yaitu sesuatu yang dirancang dijalankan, serta diteruskan
oleh nenek moyang yang pertama menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan
62
Amir, Ms. Masyarakat Adat Minangkabau Terancam Punah, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2007) hlm 14
63
Maruhun Batuah, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, (Jakarta : Pusaka Asli, 1990, hlm 12
64
Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau ,(Jakarta : Gunung Agung,1994) hlm 145
37
bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Orang Minangkabau mengetahui
secra turun temurun bahwa perumus dari adat yang diadatkan itu adalah dua orang
tokoh adat yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang,
sebagaimana terdapat dalam tambo dan buku-buku adat. Kedua tokoh tersebut
merumuskan adat atas dasar pengalaman kehidupan dan kemampuannya dalam
belajar dari kenyataan. Yang dijadikan pedoman dasar dari perumusan adat itu adalah
kenyataan
Kedua tokoh tersebut merumuskan adat atas dasar pengalaman kehidupan dan
kemampuannya dalam belajar dari kenyataan. Yang dijadikan pedoman dasar dari
perumusan adat itu adalah kenyataan yang hidup dalam alam yang disebut adat yang
sebenarnya adat. Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama
segi kehidupan sosial, budaya dan hukum.65
d. Adat sabana adat
Adat yang sebenarnya adat itu adalah kenyataan yang berlaku dalam alam
yang merupakan kodrat ilahi atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang
masa, seperti adat api membakar, adat ayam berkokok, adat laut berombak. Kalau
diperhatikan hubungan antara sifat dengan yang diberi sifat dalam setiap contoh yang
disebutkan diatas, terlihat adanya bentuk kelaziman hubungan. Walaupun demikian
masih dipergunakan kata adat yang umumnya berarti kebiasaan dalam setiap
hubungan tersebut. Dengan demikian ajaran Islam dimasukkan ke dalam kelompok
65
hlm 136
Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi Syara’, (Bandung : CV. Rosda, 1978)
38
adat yang sebenarnya adat.66 Kebiasaan yang berlaku atas dasar kodrat lahi yang
dinamakan adat yang sebenarnya adat itu dijadikan pedoman dalam penyusunan tata
cara dan peraturan yang dipakai sebagai pengatur kehidupan manusia di dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di alam ini tidak ada yang pasti
secara mutlak. Walaupun dalam pertimbangan akal terdapat kepastian, namun
tidaklah mustahil bahwa kebiasaan yang pasti itu suatu waktu tidak berlaku menurut
kehendak Allah. Dengan masuknya agama Islam di Minangkabau dan berlakunya
Islam sebagai peraturan bagi kehidupan umat, maka ajaran Islam yang berdasarkan
kepada wahyu Allah itu diakui sebagai suatu yang pasti sebagaimana pastinya
kenyataan yang berlaku dalam alam. Dengan demikian ajaran Islam dimasukkan ke
dalam kelompok adat yang sebenarnya adat.67
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber adat nan sebanar
adat adalah alam takambang jadi guru, Al-Qur’an, dan Hadits Nabi Muhammad
Saw.68
Keempat macam adat yang disebutkan diatas berbeda dalam kekuatannya,
karena berbeda kekuatan sumber dan luas pemakaiannya. Yang paling rendah adalah
adat istiadat. Adat istiadat ini dapat naik ketingkat adat nan teradat bila telah
dibiasakan secara meluas serta tidak menyalahi kaidah pokok yang disepakati.
Begitupula adat yang teradat dapat menjadi adat yang diadatkan, bila kebiasaan itu
66
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta : Bharata, 1977), hlm 214
Yulfian Afrizal, Budaya Alam Minangkabau,(Padang : Angkasa Raya, 2008), hlm 2
68
Ibid,
67
39
sudah merata diseluruh negeri dan telah disepakati kebaikannya oleh orang banyak.69
Bila telah diyakini kebenarannya dan telah diterima oleh masyarakat sebagai suatu
norma yang mengikat, dapat pula naik menjadi adat yang sebenarnya adat.
Keempat tingkatan adat itu dalam penggunaan sehari-hari dikelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu: adat, yang tersimpul di dalamnya adat yang sebenarnya
adat dan adat yang diadatkan. Kedua istiadat, yang tersimpul didalamnya adat yang
teradat dan adat istiadat dalam arti sempit. Keseluruhannya menyimpulkan kata “adat
istiadat Minangkabau”70. Dalam hubungannya dengan pengertian adat dan hukum
adat, walaupun keduanya sangat tipis perbedaannya, dua kelompok pertama yang
disebut adat, mempunyai daya mengikat dan dijalankan oleh badan yang mempunyai
kekuasaan dalam masyarakat, dapat disebut hukum adat. Sedangkan kelompok kedua
yang banyak bersifat tuntunan tingkah laku yang baik, tidak dapat disebut hukum.
Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu perubahan yang
terjadi. Namun ada bagian-bagian adat yang mengalami perubahan dan ada pula yang
sama sekali tidak mengalami perubahan. Adat yang sebenarnya adat, yaitu ketentuan
yang berlaku dalam alam kodrat ilahi dan adat yang diadatkan yang dirumuskan
berdasarkan kepada adat sebenarnya adat itu, termasuk kepada adat yang tidak
mungkin mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya Kodrat Ilahi dan
Wahyu Allah.71
69
Nasrun, Op cit, hlm 45
Idrus Hakimi, Op cit, hlm 106
71
AA. Navis, Adat Kebudayaan Minangkabau,( Kayu Taman : Ruang Pendidikan INS, 1980),
70
hlm. 88
40
Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah adat yang teradat dan
adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh ninik pemuka adat sesuai dengan
tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat seperti ini dapat berbeda
dalam nagari yang satu dengan nagari lainnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis,
adat ini dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Pemeliharaan
terhadap adat itu adalah dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya bagian
adat itu yang tidak mengalami perubahan dan ada pula yang terus mengalami
perkembangan masyarakat, maka sifat adat Minangkabau disebut tetap dan berubah.
Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam Undang-Undang yang
empat, yaitu :
1. Undang-undang luhak dan rantau, Undang-undang luhak dan rantau mengatur
tugas dan wewenang penghulu dan raja di tempat masing-masing.
Keseluruhan daerah Minangkabau secara garis besar terbagi kepada dua
bahagian yaitu luhak dan daerah rantau. Pengertian luhak (secara sempurna
disebut luhak yang tiga) ialah daerah asal Minangkabau yang berada
diselingkungan gunung merapi, yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan
Luhak Lima Puluh Kota. Dalam pengertian geografis adaministratif sekarang
luhak itu disebut juga dengan kabupaten. Luhak merupakan federasi longgar
dari
negeri-negeri.
Setiap
negeri
mempunyai
pemerintahan
sendiri,
mempunyai rakyat sebagai anggotamasyarakat dan kekayaan sendiri dalam
bentuk tanah ulayat negeri serta mempunyai pimpinan sendiri. Sebuah negeri
41
telah merupakan suatu masyarakat hukum yang keluar merupakan suatu
kesatuan dengan tata adat istiadat sendiri. Pengertian rantau menurut asalnya
berlaku bagi pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk daerah
diluar tempat asal. Dalam pengertian Minangkabau, rantau berarti daerah
Minangkabau yang berada diluar luhak yang tiga. Pada hakikatnya rantau
adalah daerah perluasan dari luhak yang tiga dalam usaha menampung
perkembangan anggota yang berada dalam luhak itu.72
2. Undang-undang negeri, Undang-undang nagari, yaitu ketentuan yang
mengatur susunan masyarakat dalam nagari, syarat terjadinya negeri dan
kelengkapan suatu negeri. Setiap nagari mempunyai penduduk yang antara
sesamanya terikat dalam suatu kesatuan genealogis yang disebut suku.
Lingkungan itu baru sah disebut nagari bila terdapat didalamnya empat
kesatuan genealogis yang berbeda.73
3. Undang-undang dalam nagari, Undang-undang dalam nagari atau disebut juga
undang-undang isi nagari yaitu ketetuan yang mengatur anak nagari dan
sesamanya. Undang-undang ini mencakup bidang perdata, bidang pidana dan
bidang ekonomi.74
4. Undang-undang dua puluh, Undang-undang yang dua puluh menyangkut
berbagai bentuk kejahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang dengan
72
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau
(Bukitinggi : Kristal Mutimedia,2010) , hlm 154
73
Ibid, hlm 156
74
Ibid, hlm 168
Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
42
sanksi tertentu, bukti terjadinya kejahatankejahatan serta cara pembuktian.
Undang-undang ini terbagi dua yaitu delapan diantaranya mengenai hukum
materil dan dua belas lainnya menyangkut cara pembuktian.75
Hukum adat Minangkabau memiliki perpaduan yang sangat selaras dengan
hukum Islam, yang dapat digambarkan sebagai berikut :76
a. Adat keseluruhan yang diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya
menjadi Hukum Islam.
b. Hukum Islam merubah hukum adat seluruhnya dengan arti Hukum Islam
menggantikan hukum adat dan hukum adat tidak berlaku lagi untuk
selanjutnya.
c. Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha menyerapnya
kedalam hukum Islam. Hal ini umumnya berlaku pada bidang muamalat
dalam arti yang umum tidak dalam bidang akidah, karena akidah harus
didasarkan dengan dalil yang kuat, tidak pula pada bidang ibadat karena
ibadat harus didasarkan kepada petunjuk yang nyata.
Adat di Minangkabau adalah adat yang tidak lekang dipanas, tidak lapuk
dihujan, yaitu adat ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta.77 Sebagaimana dikatakan
dalam pepatah adat Minangkabau : ikan adatnya beradai, air adanya membasahi,
pisau adatnya melukai, artinya adat yang dimaksud di sini adalah perilaku alamiah
75
Ibid, hlm 172
Amir Syarifuddin, Op cit, halaman 169
77
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia (Meninjau Hukum Adat Minangkabau), (Jakarta :
Rieneka Cipta, 1997), hlm 20
76
43
yang hidup ditengah-tengah masyarakat sehingga menjadi ketetapan yang tidak
berubah.
Jadi hukum adat Minangkabau adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah lama
berlangsung dalam masyarakat yang menjadi ketentuan-ketentuan dasar sebagai
aturan (kaidah) ditentukan oleh nenek moyang (leluhur) yang berada di Minangkabau
dikatakan berasal dari Datuk Katemanggungan dan Datuk Perpatihan Nan Sebatang
di Balairung Padang Panjang.78
2.
Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Pariaman
Pariaman merupakan daerah rantau dari lingkupan adat Minangkabau,
sehingga semua aturan adat Minangakabau meruapakan acuan dalam aturan bagi
masyarakatnya adatnya. Termasuk garis keturunan yaitu garis keturunan matrilineal.
Masyarakat hukum adat yang sistem kekeluarganya didasarkan pada prinsip
garis keturunan matrilenal adalah sekumpulan manusia yang merupakan kesatuan
karena anggotanya menarik garis keturunan melalui garis perempuan, sehingga setiap
orang akan masuk ke dalam batas hubungan kekerabatan dengan ibunya, sedangkan
semua kaum kerabat ayahnya berada di luar batas itu.79
Berdasarkan tata susunan masyarakat Minangkabau yang menganut prinsip
garis keturunan Matrilienal itu, maka dapat diuraikan bahwa dalam sebuah keluarga
ayah bukanlah termasuk anggota dari keluarga tersebut melainkan anggota paruiknya.
Masyarakat Minangkabau hidup bergolong-golong dan berkelompok kelompok dan pengelompokan tersebut berdasarkan faktor geneologis yaitu menurut
keturunan garis ibu atau yang dikenal dengan prinsip sistem kekerabatan matrilineal.
78
Ibrahim Dt Sangguno Dirajo, Curaian Adat Minangkabau,( Bukittinggi : CV Pustaka
Media,2003), hlm 5
79
Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo,1981) hlm 51
44
Pengolongan dan pengelompokan masyarakat di Minangkabau berdasarkan
genelogis sebagai berikut : 80
1. Semande, berarti anak-anak yang lahir dari satu ibu
2. Sajuarai, berarti keturunan yang berasal dari satu perut seoarang
nenek
3. Saparuik berarti keturunan yang berasal dari perut seoarang gaek (ibu
dari nenek) dan masih merupakan bagian dari suku yang sama
4. Sekampung berarti kelompok-kelompok keturunan yang kecil (sub
klan) yang berasal kumpulan paruik-paruik
5. Sasuku, berati sama yang berasal dari seorang niniak yang menempati
jenjang yang tertinggi dari susunan sasuku karena dari niniak
itulah suku itu dianggap berasal.
C. Perkawinan Dalam Menurut Adat
1.
Pengertian Perkawinan Adat
Pada umunya di Indonesia terdiri beragam adat dan istiadat yang berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainya, hal ini mempengaruhi perkawinan di
Indonesia. Melangsungkan perkawinan itu hanyalah subyek hukum yang dinamakan
pribadi kodarti, tetapi tidak setiap kodarati yang dapat melangsungkan perkawinan.81
Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan anatara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga
80
81
Amir Ms , Tonggak Tou Budaya Minang, (Jakarta : CV karya Indah, 1987) hlm 40
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011) hlm 217
45
atau keluarga baru yang nantinya akan menghasilkan keturunan, yang mana
perkawinan ini bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan, dan
masalah pewarisan.82 Perkawinan yang dilkasanakan secara adat dengan melibatkan
keluarga besar kedua belah pihak.83
Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan kerabat, urusan
keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia
menyangkut urusan keagamaan. Sebagaimana dikatakan Van Vollenhoven bahwa
dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang
berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia.84
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera dan juga bahagia, di mana kedua belah pihak suami istri
memikul amanah dan tanggung jawab.85 Menurut Hilman Hadikusuma menyatakan
bahwa perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.86
Sejauhmana ikatan perkawinan adat itu membawa akibat hukum dalam
perikatan adat seperti : kedudukan suami dan kedudukan istri, begitu pula tentang
kedudukan anak dan pengangkatan anak kedudukan anak tertua, anak penerus
keturunan, anak adat, anak asuh, dan sebagainya.
82
Tolib Setiady,2009, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan),
(Bandung: Afabeta, 2009), hlm 222
83
Soerojo Wignjodipoero, Op.cit, hlm 55
84
Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia Cet V, (Jakarta : Raja Garfindo,.2002), hlm 15
85
Djoko Prokoso, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987)
hlm 33
86
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm 23
46
Perkawinan dalam arti perikatan adat walaupun dilangsungkan antar adat yang
berbeda tidak akan seberat penyelesaiannya daripada berlangsungnya. perkawinan
yang bersifat agama oleh karena perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan
masyarakat bukan perbedaan keyakinan.
2.
Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan
bapak atau ibu maupun kedua-keduanya, untuk kebahagian rumah tangga keluarga
atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk
mempertahankan kewarisan.87 Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan suku di
Indonesia berbeda. Maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda pula
mengakibatkan hukum perkawinan dan upacara perkawinannya berbeda juga.
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal perkawinan bertujuan
mempertahankan garis keturunan bapak sehingga anak lelaki (tertua) harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan perkawinan uang jujur), di
mana setelah terjadinya perkawinan istri ikut masuk kekerabatan bapaknya.88
3.
Asas – Asas Perkawinan Adat
Pada umunya dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 terdapat
2 asas perkawinan yaitu asas monogami dan poligami, asas poligami terjadi bila
sepanjang hukum agama yang dianaut mengizikannya untuk melakukan poligami dan
87
88
Ibid hlm 23
Ibid,
47
melalui syarat-syarat yang keta dengan izin pengadilan dan izin itu diperoleh jika
isteri tidak dapat menjalankan kewajiabanya sebagai isteri.89
Asas perkawinan adat yaitu asas monogami terbuka yaitu prinsip calon suami
istri yang masak jiwa raganya, batas umur perkawinan, perceraian yang dipersulit,
kedudukan suami dan istri seimbang.90 Sehubungan dengan asas-asas perkawinan
yang dianut oleh UU No. 1 tahun 1974 di atas maka asas-asas perkawinan menurut
hukum adat sebagai berikut :
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agama atau
kepercayaan tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa
perempuan sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan
menurut adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat,
masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui
masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup
umur atau masih anak-anak begitu pula sudah cukup umur perkawinan harus
berdasarkan izin orang tua atau keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan antara suami
istri mengakibatkan hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak jadi cerai
juga.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah
tangga dan ada yang istri yang bukan ibu rumah tangga.91
4.
Sistem Perkawinan Adat
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (etnologi) dilihat dari keharusan dan
larangan mencari calon isteri bagi setiap laki-laki maka perkawinan itu dapat berlaku
89
Aswin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974, (Jakarata : PT. Dian Rakyat,1986) hlm 19
90
Djoko Prokoso, Op.cit, hlm 33
91
Hillman Hadikusuma, Op. cit hlm 24
48
dengan sistem endogami dan sistem eksogami yang hanya dianut oleh masyarakat
adat bertali darah dan atau dengan sistem eleutherogami. Hal ini berlaku disebagian
besar masyarakat adat yang terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam.92
Sistem perkawinan endogami dalam arti mereka mengadakan perkawinan satu
sama lain di dalam lingkungan kekerabatan (suku, clan, famili, dan sebagainya)
mereka sendiri (antar keluarga) seperti : endogami sekampung di Bukittinggi
(Sumatera Barat), endogami serumpun di suku dayak (Kalimantan) dan kawin tegak
tegi di Lampung.93
Sedangkan sistem perkawinan eksogami dibagi atas 2 (dua) perumusan,
yaitu:94
1. Dalam arti positif ; eksogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana
seseorang harus kawin dengan anggota clan yang lain.
2. Dalam arti negatif ; eksogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana
seseorang dilarang atau tidak boleh kawin dengan anggota clan. Prinsip
eksogami ini berhubungan erat dengan sistem garis keturunan ibu atau
matrilineal seperti : Minangkabau.
Minangkabau merupakan suatu daerah yang masyarakat adatnya menganut
sistem perkawinan eksogami dengan cara mendatangkan laki-laki di luar lingkungan
kesatuan matrilineal untuk tinggal dan menetap di lingkungan keluarga isteri karena
92
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum keluarga, (Bandung : Sitra Adity Bakti, 1992 hlm 131
Ibid,
94
Ibid, hlm 123
93
49
itu sistem perkawinan di Minangkabau dikenal dengan sebutan perkawinan eksogami
menurut matrilineal.
5.
Bentuk Perkawinan Adat
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan dapat berbentuk perkawinan
jujur, dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita setelah
perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami seperti : Batak,
Lampung dan Bali.95
Perkawinan semenda, di mana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada
pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman
isteri seperti : Minangkabau, semendo Sumatera Selatan.
Pada perkawinan bebas dalam pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada
pihak wanita dan setelah perkawinan kedua belah pihak (suami isteri) bebas
menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka menurut kehendak mereka
seperti : Jawa ; mencar atau mentas. Yang terakhir ini banyak berlaku dikalangan
masyarakat keluarga yang telah maju dan modern. Sedangkan perkawinan adat
Minangkabau menurut Hazairin, terdapat (tiga) bentuk perkawinan yang bertahap
satu sama lain, yaitu:96
a.
Kawin bertandang
Bentuk perkawinan bertandang ini adalah suatu pelaksanaan yang integral
cocok dengan prinsip keibuan. Suami adalah semata-mata orang datang bertamu
95
96
Ibid, hlm 23
Bushar Muhamad , Op.cit hlm 14
50
datang malam hilang pagi harinya status tamu pada keadaan dan lingkungan isterinya,
ia tidak berhak terhadap harta benda milik isteri yang bersangkut dan paut dengan
rumah tangga, ia tamu. Walaupun suami bekerja dan menghasilkan maka hasil itu
diperuntukkan bagi dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuan serta anakanaknya.97
b. Kawin Menetap
Kawin menetap merupakan suatu perkembangan dari bentuk perkawinan
pertama. Yang dimaksud perkembangan di sini adalah kalau rumah gadang telah
menjadi sempit untuk famili yang senantiasa menjadi besar dan tumbuh maka suatu
keluarga atas inisiatif isteri membuat rumah yang terpisah, tidak jauh dari situ.
Walaupun demikian tidak hilang sifat eksogami semendo tadi, namun secara fisik di
dalam susunan baru lebih bebas dan lebih intim, apalagi kalau mempunyai pekerjaan
dan sumber penghasilan sendiri dan suami pun lebih banyak berada ditengah-tengah
anak dan isterinya maka lambat laun menetaplah ia menolong istrinya bila sempat
dan mampu.98
c.
Kawin Bebas
Tahap perkawinan ini sebagai suatu kelanjutan pertumbuhan tahap kedua itu
disebut kawin bebas, kelanjutan pertumbuhan itu berarti bahwa perpindahan secara
fisik, meninggalkan rumah gadang, meninggalkan dusun dan pergi ke kota, merantau
biasanya ke pesisir.
97
98
Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia,1989) hlm 60
Ibid, hlm 61
51
Di samping perkawinan di atas orang Minangkabau juga mengenal adanya
perkawinan yang paling ideal, yaitu perkawinan anak dengan kemenakan yang lazim
disebut sebagai perkawinan pulang ka mamak atau perkawinan ka bako.99
Ada 2 (dua) hal pegangan dalam perkawinan adat Minangkabau terdapat dalam
pepatah yang berbunyi : nikah berwali bapak kawin berwali mamak, enau tetap sigai
berjalan artinya suatu perkawinan baru sah kalau telah kawin secara Islam dan
dilaksanakan secara adat. Menurut adat Minangkabau ini pihak laki-laki yang datang
kerumah pihak perempuan dan pihak perempuan tetap berada di rumahnya dan
sukunya sedangkan laki-laki tadi dikatakan sebagai urang sumando di rumah pihak
perempuan tersebut.100
6.
Perkawinan Adat Bajapuik Minangkabau Pariaman
Adat pernikahan di Pariaman pihak wanitalah yang melamar dan menjemput
serta membayar pihak pria ketika akan melangsungkan pernikahan karena itu, adat
perkawinan pariaman lebih dikenal dengan “perkawinan bajapuik atau perkawinan
berjemput“. Adat perkawinan Pariaman yang demikian adalah adat lokal Pariaman
yang tidak berlaku untuk seluruh wilayah adat Minangkabau, Sumatera Barat.
Perkawinan bajapuik didasari dengan praktek yang dilakukan nabi
Muhammad sehingga pelaksanaan tetap dipertahankan sampai saat ini.
Menurut
Welhendi Azwar dalam hasil wawancaranya dengan ulama Pariaman yakni Bagindo
M. Letter, bahwa tradisi bajapuik di pariaman sebenarnya sesuai dengan apa yang
99
Ibid, hlm 62
Chairul, Anwar, Hukum Adat Indonesia (Meninjau Hukum Adat Indonesia), hlm 79
100
52
dipraktekan Nabi Muhammad SAW, dimana Nabi sewaktu menikah dengan Khadijah
dibayar (dijemput) oleh khadijah dengan seratus onta. Legitimasi teologis inilah yang
menjadi pembenaran dalam tradisi bajapuik, disamping itu ada kepentingan lain,
seperti
kaum
bangsawan
(borjuis)
untuk
mempertahankan
eksistensi
kebangsawannya.101
Selain dari legitimasi teologis agama pemberian uang jemputan itu juga
dipengaruhi sifat kekerabatan yang dianut masyarakat Pariaman. Sebagaimana
diketahui dearah Pariaman merupakan bagian dari daerah Minangkabau yang pada
masyarakatnya menurut garis keturunan matrilineal, dimana anak masuk (garis
keturunan ibu untuk itu ia menetap dengan suatu kekayaan alam dalam suku (klen)
ibunya atau dengan kata lain tidak mengikuti suami atau ayah pada klan laki-laki
seperti apa yang terjadi pada masyarakat sistem patrilineal (klan bapak).102
Perkawinan Minangkabau mengenal perkawinan sumando yang juga diikuti
masyarakat Pariaman yang mana pihak laki-lakilah yang datang menetap di rumah
pihak perempuan. Kawin sumando berasal dari kata “mendatang” sedangkan menurut
logat Minang sendiri disebut “Urang Sumando”, pihak laki-laki yang datang sebagai
anggota keluarga atau di dalam klennya sendiri.103
Perkawinan semenda (sumando) Minangkabau Pariaman terjadi karena
peminangan secara formil dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki, maka untuk
101
Welhendri Azwar, Matriolokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik,
(Yogyakarta: Galang Press, 2001) hlm 57
102
103
Ibid,
Chairul Anwar, Op.cit hlm 23
53
mempertegas pernyataan kehendak dari pihak perempuan ini waktu melakukan
perkawinan telah menjadi keharusan bagi pihak perempuan menjemput laki-laki
kerumah orang tuanya yang disebut dengan menjemput marapulai. Persoalaanya
dalam proses manjampuik marapulai di Pariaman ada suatu ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan.104
Pada umunya bajapuik merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau dalam prosesi adat perkawinan karena dalam sistem matrilineal posisi
suami (urang sumando) merupakan orang datang, karena itu orang sumando dalam
ungkapan Minangkabau dikenal dengan pepatah“ datang karano dipanggia-tibo
karano dianta (datang karena dipanggil, tiba karena diantar), di Pariaman diwujudkan
kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam perkawinan yang melibatkan barang-barang
yang bernilai seperti emas dan uang.105
Persyaratan uang dalam perkawinan bajapuik tersebut tersendiri terdiri atas:
uang jemputan, uang hilang, uang tungkatan, uang selo, mas kawin atau mahar dan
uang parigiah jalang. Kebiasaan ini awalnya dirumuskan niniak mamak pemangku
adat Nagari, yang bertujuan untuk mewujudkan adat nan diadatkan. 106
D. Perkembangan Pemberian Uang Jemputan Menurut Hukum Adat
Pariaman
1.
Pengertian Uang Jemputan
Secara konseptual uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak
perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan
104
Ibid,
Amir Sjarifoedin. Minangkabau dari dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam
Bonjol. (Jakarta : Gri Media,2011) , hlm 476-477
106
Ibid,
105
54
dikembalikan lagi pada pihak perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk
pertama kalinya. Uang jemputan ini bewujud benda yang bernilai ekonomis, seperti
emas dan benda lainnya.107
Uang jemputan yang berwujud emas, pada awalnya berupa rupiah dan ringgit
emas, kemudian berkembang menjadi cincin, kalung dan gelang emas. Perubahan ini
terjadi karena bentuknya sudah ketinggalan zaman, sehingga tidak diminati oleh si
pembeli sebagai persyaratan dalam perkawinan bajapuik. Atas dasar itu, pedagang
emas tidak lagi menjual atau memproduksi bentuk emas yang demikian.108
2.
Proses Pelaksanaan dan Pemeberian Uang Jemputan
Proses pelaksanaan perkawinan bajapuik di Pariaman sama dengan proses
perkawinan Minangkabau pada umumya yang mana dimulai dari beberapa tahap
yaitu dimulai dari tahap :
a.
Pinang Meminang
Untuk melaksanakan peminangan sebelumnya dilakukan pemufakatan
perkawinan. Dalam pemufakatan ini diundanglah semua karib kerabat dalam kaum
serta orang sumando yang ada dalam kaum, dalam pertemuan ini dipimpim oleh
niniak mamak pemufakatan untuk mencarikan jodoh anak kemanakanya
yang
dikenal istilah dengan “mencari ayam”.109 Dalam proses mancari ayam seluruh
anggota yang ada hadir di pemufakatan berhak mengusulkan calon-calon”ayam”
yang ia ketahui seimbang dan pantas untuk diterima.110
107
Amir Syrifudin, Op. cit hlm 474
Ibid,
109
Mencari Ayam Maksundya disini yaitu mengusulkan calon-laki-laki kepada mamak rumah
yang mencarikan jodoh kemanakanya
110
Hasil wawancara dengan LKAAM Padang-Pariaman, Pada tanggal 3 Maret 2015
108
55
Meminang mengandung arti permintaan yang menurut hukum adat berlaku
dalam
bentuk pernyataan kehendak untuk maksuda mengadakan perkawinan. 111
Pinang maminang, berasal dari cara dan tata kelakuan masyarakat dalam mengajukan
sesuatu permintaan kepada bakal calon pasangan hidup. Berawal dari kata “ pinang”
yang dibawa beserta sirih dalam cerana pada saat berkunjung ketempat kediaman
bakal calon pasangan. Kebiasaan ini kemudian berkembang secara formal dalam
mencari jodoh sebagaimana yang kita kenal dengan pinang meminang.
Pada daerah Ranah Minang kebiasaan mengajukan pinang meminang,
lazimnya diprakarsai oleh kerabat wanita. Begitu juga di dearah Padang Pariaman
dimana berlakunya perkawinan adat bajapuik peminangan dilakukan juga oleh pihak
wanita. Proses pinang meminang merupakan hasil – manyalangkan mato – maresek,
setelah diperoleh informasi seputar bakal calon pasangan. Proses pinang meminang
antar kedua pihak keluarga, dilakukan pula beberapa kali pertemuan, untuk merekam
keinginan-keinginan pihak keluarga lelaki atas hal-hal yang menjadi persyaratan yang
harus di-isi oleh pihak wanita, agar ketika kesesuaian dalam perjodohan ini tidak
mendapat gangguan atau kekecewaan kelak dikemudian hari. Isi, artinya mengisi
sesuatu yang diminta dan diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki. Misalnya didaerah
rantau atau pesisir Padang Pariaman berlaku ketentuan yang akan diisi adalah uang
jemputan, uang hilang/uang dapur.
b. Melamar
Apabila telah terdapat persetujuan kedua belah pihak maka ditentukanlah
waktu dan hari “mandagogkan” yaitu
111
datangya secara resmi orang tua, niniak
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan, (Bandung : alumni, 1977), hlm 26
56
mamak serta karib kerabat dan penghulu pihak perempuan kerumah orang tua pihak
laki-laki, yang dinanti oleh niniak mamak dan penghulu pihak laki-laki.112
Dalam pertemuan ini nantinya akan dibicarakan masalah-maslah adat yang
akan dipenuhi oleh pihak perempuan selaku peminang kepada pihak laki-laki seperti
uang jemputan, uang hilang dapua dan uang tungkatan.
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan
dijodohkan itu dengan dipimpin oleh niniak mamaknya, datang bersama-sama
kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi
pertama ini, diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang
wanita yang patut-patut dari keluarganya. Pada waktu itu biasanya rombongan yang
datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih
berkata-kata, jika sekiranya Ninik Mamak yang akan melamar itu, bukan orang ahli
untuk itu.113
c.
Batimbang Tando (Pertunangan)
Terjadinya pertunagan dengan hukum adat di pariaman merupakan suatu
hubungan hukum yang dilakukan oleh orang tua dan niniak mamak pihak perempuan
dengan niniak mamak dan keluraga pihak laki-laki, untuk maksud mengikat tali
perkawinan anak kamanakan mereka dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang
harus dipenuhi oleh pihak perempuan.114
112
Hasil wawancara dengan sekretaris LKAAM Padang-Pariaman Dt AGA rang Kayo, Abdul
Arif Gani Pada tanggal 3 Maret 2015
113
Depertemen Pendidikan Dan Kebuadayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
Proyek Iventerisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Upacara Perkawinan Minangkabau Di
Derah Sumatera Barat, (Padang : DEKDIBUD, 1985/986) hlm 43
114
Ibid, hlm 49
57
Pada saat pertunagan ini disebut
juga dengan mandagogkan
karena
sebelumnya telah ada pemufakatan yang bersifat tidak resmi bagi kedua pihak, maka
dalam pertemuan inilah dikuatkan dengan perseujuan kedua belah pihak
yang
merupakan kekuatan hukum bagi mereka masing-masing pihak.
Pada pertemuan ini juga ditentukan adat istiadat yang harus dipenuhi pihak
perempuan waktu akan terjadi pernikahan yaitu mengenai uang jemputan, uang
huliang, dan uang tungkatan “mempelai ”sebagai suatu terjadinya pertunangan antara
anak kamenakan mereka sedangkan pertukaran tando ini juga membawa akibat
hukum kepada kedua belah pihak kaum itu antara lain115 :
1. Kedua belah pihak orang tua dan niniak mamak membatasi pergaulan anak
kamenakanya selama terjadinya pertunangan.
2. Kedua belah pihak bertanggung jawab atas kelangsunganya Perkawinan
3. Apabila terjadi pelanggaran atau pengagalan perkawinan disebabkan salah
atau kesalahan salah satu pihak maka dia harus menembus uang kerugian
yang disebut uang kesalahan.
Saat dilakukan pertukaran tando bahwa kedua belah pihak telah berjanji
menjodohkan anak kemenakan mereka. Benda yang dijadikan pertukaran pada
umumnya adalah cincin emas. bila seorang pertunangan itu putus, pihak yang
memutuskan akan mengembalikan tanda yang diterima dahulu. Pihak lain tidak
berkewajiban mengembalikannya.
115
Hasil Wawancara dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Miangkabau (LKAAM) V
Kampung Dalam. Abdul Halim Dt. Anjah Pahlawan tgl 6 Maret 2015
58
d. Malam Bainai
Acara ini dilaksanakan dirumah anak daro. Diadakan sehari atau beberapa
hari sebelum hari pernikahan. Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan
daun inai yang telah
BAB II
PERKEMBANGAN PEMBERIAN UANG JEMPUTAN DALAM
PERKAWINAN BAJAPUIK PADA MASYARAKAT
HUKUM ADAT PARIAMAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
1.
Tentang Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat
Sebelum membahas mengenai pelaksanaan perkawinan bajapuik pada
masyarakat Minangkabau Pariaman
khususnya di Kabupaten Padang Pariaman,
sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu kondisi wilayah Kabupaten Padang
Pariaman. Secara umum Minangkabau terletak pada pantai barat Pulau Sumatera
yang dapat dibagi atas dua daerah, yaitu Luhak dan Rantau, Wilayah Luhak meliputi
tiga bagian, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.
Ketiga Luhak ini yang dinamakan Darek (Darat) yang dikepalai oleh penghulu berada
pada daerah pedalaman disekitar lembah-lembah dan kaki gunung. Sedangkan daerah
di luar Luhak nan Tigo yang dinamakan Rantau yang berada pada daerah pantai yang
dipimpin oleh raja (Luhak Berpenghulu dan Rantau barajo).42
Secara umum daerah rantau dapat dibedakan atas dua, yaitu rantau pesisir dan
rantau pedalaman. Rantau pesisir meliputi sepanjang pantai barat Pulau Sumatera,
mulai dari sebelah utara, yaitu Labuan Haji, Muara Labuh, Tapak Tuan, Singkel,
Barus, Sibolga, Natal, Ujung Gading, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Painan,
Balai Salasa, Terusan, Air Haji dan Bengkulu. Adapun yang termasuk daerah rantau
42
Amir Syarifudin, Op.cit, hal.122-123
25
26
pedalaman meliputi sebelah timur Pulau Sumatera seperti Solok, Sijunjung,
Sawahlunto, Kerinci, Bangkinang, Teluk Kuantan, Jambi, Singapura dan Malaysia.
Sistem pemerintahan baik daerah rantau maupun daerah darat berbentuk daerah
Nagari yang berlandaskan pada “mufakat” atau permusyawaratan adat, yang
tercermin dalam pepatah :43
Kemenakan barajo kamamak
Mamak barajo ka penghulu,
Penghulu barajo ka mufakat,
Nan barimbo rajo-rajo,
Nan bahutan kareh, penghulu,
Nan bahutan lambuik, kemenakan,
Adopun padusi nan rajo pada tampeknyo,
Kemenakan beraja kemamak
Mamak beraja kepenghulu
Penghulu beraja ke mufakat
Yang berimba raja-raja
Yang berhutan keras, penghulu
Yang berhutan lembut, kemanakan
Adapun perempuan yang raja pada tempatnya
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, dimana Kabupaten Padang Pariaman
termasuk daerah rantau. Secara geografis kabupaten Padang Pariaman terletak antara
o
o
o
o
00 11’-00 49’ lintang selatan dan 98 36’- 100 28’ bujur timur. Luas daerah
mencapai 1.402,15 km2, yang berarti hanya 3.32 % dari luas wilayah provinsi
Sumatera Barat yang mencapai 42.229,04 km2. Topografi daerah kabupaten Padang
43
Suardi Mahyudin dan Rustam Rahmad, Hukum Adat Minangkabau Dalam Sejarah
Perkembangan Nagari Rao-Rao Ranah Ketitiran Di Ujuang Tunjuak, (Jakarta : CV Citama
Mandiri,2002,) hlm 14
27
Pariaman bervariasi antara daratan, bergelombang, dan berbukit dengan panjang garis
pantai 60,50 km berbatas langsung dengan:44
a.
Sebelah utara dengan kabupaten Agam.
b.
Sebelah selatan dengan Kotamadya Padang.
c.
Sebelah timur dengan kabupaten Solok/ Tanah Datar.
d.
Sebelah barat dengan kota Pariaman dan Samudera
Indonesia.
Jumlah penduduk Kabupaten Padang Pariaman tahun 2014 tercatat sebanyak
387.452 jiwa, yang terdiri dari 186.058 laki – laki dan 201.394 perempuan,
sedangkan tahun sebelumnya tercatat sebanyak 384.718 jiwa (183.926 laki – laki dan
200.792 perempuan). Tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2007 ini terhitung
sebanyak 292 jiwa / Km2. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Batang
Anai, yakni 43.890 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah berada di Kecamatan
Padang Sago yakni 8.247 jiwa. Sedangkan jumlah orang yang bekerja sebanyak
142.222 orang dengan rincian 83.836 laki-laki dan 58.386 perempuan. Dilihat dari
tingkat pendidikan pekerja di Kabupaten Padang Pariaman terbanyak pada tingkat
pendidikan tidak tamat SD sebanyak 45.173 orang, selanjutnya 36.760 orang pada
tingkat pendidikan SD dan sebanyak 6.749 orang berpendidikan diatas sekolah
menengah atas (Diploma/Universitas). Dilihat dari tingkat kesejahteraan keluarga
berdasarkan data dari Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana
sebanyak 10.118 keluarga berada pada tingkat pra sejahtera, 21.663 keluarga pada
tingkat Sejahtera I, 28.297 keluarga pada tingkat Sejahtera II, 25.382 pada tingkat
Sejahtera III, dan sebanyak 1.443 keluarga pada tingkat Sejahtera III Plus.45
Menurut data dari Biro Statistik Kabupaten Padang Pariaman data tahun 2003
terdiri dari 1 (satu) kabupaten dan 17 (tujuh belas) kecamatan serta 46 (empat puluh
enam) Nagari, yakni kecamatan46 :
44
Profil Kabupaten Padang Pariaman, Badan Pusat Stastik (BPS). Padang Pariaman Tahun
45
BPS (Badan Pusat Statistik) Pemkab. Padang Pariaman. Pariaman dalam angka tahun 2014
Ibid,
2014
46
28
1.
Batang Anai.
2.
Lubuk Alung.
3.
Sintuak Toboh Gadang.
4.
Ulakan Tapakis.
5.
Nan Sabaris.
6.
2 x 11 Enam Lingkungan.
7.
Enam Lingkungan.
8.
2 x 11 Kayu Tanam.
9.
VII Koto Sei Sarik.
10. Patamuan.
11. Padang Sago.
12. V Koto Timur.
13. V Koto Kampung Dalam.
14. Sungai Limau.
15. Batang Gasan.
16. Sungai Garingging.
17. IV Koto Aur Malintang
Dalam penelitian berdasarkan penarikan random sampling terhadap wilayah
penelitian ini maka yang menjadi dearah sampel peneltian yakni di tiga kecamatan di
Kabupaten Padang Pariaman yakni :
a.
Kecamatan Batang Anai yaitu Nagari Buayan
Buayan merupakan salah satu nagari di sumatera barat. Pada saat ini, Nagari
buayan termasuk daerah otonom Kabupaten Padang Pariaman. Nagari buayan terdiri
29
dari terdiri 4 korong dengan luas 647 Ha dengan jumlah penduduk 3951 orang, 2001
orang laki-laki dan 1950 orang perempuan yang seluruhnya Beragama Islam,
penduduk buayan berpenghasilan dari beberapa perkerjaan yaitu Petani, PNS,
Perternak, TNI, POLRI, Karyawan swasta dan pedagang.47
Nagari Buayan adalah suatu nagari yang termasuk dalam kawasan rantau
pesisir barat pulau sumatera. Kondisi ideal nagari yang ingin direvitalisasi adalah
visi, orientasi, institusi, tradisi dan kepemipinan nagari sebagaimana dulu telah
mengahadirkan genarasi yang kuat. Sebagai wilayah yang masuk dalam lingkupan
Pariaman Nagari Buayan masih menjalankan adat perkawinan bajapuik pada
masyarakatnya.48
b.
Kecamatan V Koto Kampung yaitu Nagari Campago
Kecamatan V Koto Kampung Dalam sebagai fokus wilayah penelitian yaitu
Nagari Campago, yang terdiri dari 12 Korong. Nagari Campago mempunyai luas
daerah yaitu 1400 Ha dengan jumlah penduduk 11.460 jiwa, yang terdiri dari jumlah
penduduk laki-laki 5596 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 5.864 jiwa dengan
2.366 kepala keluarga. penduduk Campago berpenghasilan dari beberapa perkerjaan
yaitu petani, PNS, perternak, TNI, POLRI, karyawan swasta dan pedagang.49
Nagari Campago merupakan bagian daerah rantau yang masih memakai
perkawinan bajapuik pada masyarakatnya sampai saat sekarang. Nagari ini masih
47
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari(RPJM), Nagari Buayan Tahun 2015
Wawanacara dengan Wali Nagari Buayan Deny Setiawan, Pada tanggal 15 Maret 2015
49
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari(RPJM), Nagari Campago Tahun 2015
48
30
tetap menjaga adat perkawinan bajapuik yang setiap tahun pasti terjadi perkawinan
dengan adat bajapuik.50
c.
Kecamatan V Koto Timur Nagari Limau Puruik
Kecamatan V Koto Timur Dalam sebagai fokus wilayah penelitian yaitu
Nagari Limau Puruik, yang terdiri dari 9 (Sembilan) Korong. Nagari Limau Puruik
mempunyai luas daerah yaitu 1002 Ha dengan jumlah penduduk 3.257 jiwa, yang
terdiri dari jumlah penduduk laki-laki 1.551 jiwa dan jumlah penduduk perempuan
1.706 jiwa dengan 775 kepala keluarga. penduduk Campago berpenghasilan dari
beberapa perkerjaan yaitu petani, perternak, pedagang, tukang kayu, tukang batu,
penjahit, PNS, TNI, POLRI, karyawan swasta dan pengarajin.51
Nagari Limau Puruik
merupakan bagian daerah
yang masih memakai
perkawinan bajapuik pada masyarakatnya sampai saat sekarang. Nagari ini masih
tetap menjaga adat perkawinan bajapuik yang mana dibuktikan setiap tahun pasti
terjadi perkawinan dengan adat bajapuik di dearah ini.52
2.
Identitas
Responden
Yang Melaksanakan
Perkawinan
Bajapuik Di
Kapabuten Padang Pariaman Sumatera Barat
Identitas yang akan diperhatikan meliputi perbedaan kelamin dan asal daerah
responden di lokasi penelitian, identitas responden akan dijadikan standar dalam
50
Wawanacara dengan Abdul Halim ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM) V Koto Kampung Dalam , pada tangga 10 Maret 2015
51
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nagari(RPJM), Nagari Limau Puruik Tahun 2015
52
Wawanacara dengan Rustam Jalaludin ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) V Koto
Timur, pada tanggal 10 Maret 2015
31
menguji tingkat kebenaran jawaban dan konsistensi responden terhadap angket yang
diberikan kepada responden.
Dalam pelaksanaan peneltian ini dilakukan pembagian wilayah penelitian
meliputi tiga kecamatan yang masing-masing kecamatan diwakili satu kenagarian
yang terdapat di Kabupaten Padang Pariaman yaitu Kenagarian Campago
di
Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kenagarian Buayan Kecamatan Batang Anai,
Kenagaraian Limau Puruik Kecamatan V Koto Timur
Mengingat luasnya dan banyak masyarakat yang melaksanakan perkawinan
bajapuik maka
berdasarkan penarikan
purposive sampling terhadap responden
dalam penelitian ini maka yang akan dijadikan responden sebanyak 8 (delapan)
pasangan suami isteri permasing-masing nagari dengan total responden sebanyak 24
(dua puluh empat) pasangan yang melaksanakan perkawinan bajapuik sebagaimana
ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel I
Jumlah Responden Menurut Masing-Masing Nagari
n=24
Nama Nagari
Proposi Responden
Proposi (%)
Nagari Buayan
8 Pasutri
30,3
Nagari Campago
8 Pasutri
30,3
Nagari Limau Puruik
8 Pasutri
30,3
Jumlah
24 Pasutri
Sumber : Data primer hasil kuisioner yang dilakukan pada tanggal 20 Mei
2015 sampai dengan 4 Juni 2015
32
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa di Nagari Buayan yang dijadikan
responden sebanyak 8 (delapan) pasangan, Nagari Campago sebanyak 8 (delapan)
pasangan dan Nagari Limau Puruik juga sebanyak 8 (delapan) pasangan. Jumlah total
keseluruhan responden yaitu 24 (dua pulah empat) pasangan responden
Berkenaan dengan umur dari para responden yang terdiri dari Nagari Buayan,
Nagari Campago, Nagari Limau Puruik secara terperinci dapat dikemukan dalam tabel
sebagai berikut :
Tabel II
Kelompok Umur Para Responden
n=24
No
Kelompok
Umur
Nagari
Nagari
Buayan Campago
Jumlah
Ket
Nagari
Limau
Puruik
Angka
Persen
1.
15-19
1
-
1
2
8.3%
2.
20-24
2
3
-
5
20.83%
3.
25-29
4
2
3
9
37.5%
4.
30-34
-
2
3
5
20.83%
5.
40-44
-
1
1
2
8.3%
6.
45-49
1
-
-
1
4.16%
7.
50-54
-
-
-
-
-
8.
55-59
-
-
-
-
-
9.
60-64
-
-
-
-
-
10
65-
-
-
-
-
-
11
Tak
Menjawab
-
-
-
-
-
8
8
8
24
100%
Jumlah
Sumber : Data primer hasil koisioner yang dilakukan pada tanggal 20 Mei
2015 sampai dengan 4 Juni 2015
33
Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah responden yang terbanyak adalah
dari kelompok umur 25-29 tahun yaitu 9 pasangan kemudian kelompok umur 20-24
dan 30-34 tahun yaitu masing-masing 5 pasangan, dan disusul oleh kelompok umur
15-19 dan 40-44 tahun yaitu masing-masing 2 pasangan serta kelompok umur 45-49
tahun yaitu 1 pasangan. Jadi yang menjadi mayoritas umur pasangan yang menjadi
responden yaitu umur 25-25 tahun sebanyak 9 pasangan atau sebesar 37,5%
Berdasarkan usia tersebut dapat dikatakan bahwa umur 25-29 tahun adalah
usia produktif pasangan dalam menjalankan mahligai rumah tangga, sehingga nanti
bisa menjadi pedoman terhadap pemahaman responden dalam melaksanakan adat
perkawinan bajapuik berkenaan dengan harta yang didapat berupa uang jemputan.
B. Tinjauan Masyarakat Adat Minangkabau
1.
Hukum Adat Masyarakat Minangkabau Pada Umumnya
Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang kira-kira terletak di Propinsi
Sumatera Barat. Dikatakan kira-kira karena pengertian Minangkabau tidaklah persis
sama dengan pengertian Sumatera Barat, karena kata Minangkabau lebih banyak
mengandung makna sosial kultural, sedangkan kata Sumatera Barat lebih banyak
mengandung makna geografis administratif.53
Sebagaimana dalam tambo alam Minangkabau disebutkan asa mula niniak
(nenek moyang) orang Minangkabau54 :
53
Amir Syarifuddin, Loc. cit, hlm122
B.Nurdin Yakub, Minangkabau Tanah Pusaka (Tambo Mianagakabau) Buku Pertama.
(Bukitinggi:Pustaka Indonesia,1987), hlm13
54
34
Dimano mulonyo titik palito
Dibalik telong nan batali
Dimano mulunyo asa niniak kito
Di ateh puncak guung merapi
Berdasarkan tambo tersebut diketahui bahwa masyarakat Minangkabau bersal
dari gunung merapi, menurut tambo dari benua asia yang dinamakan “tanah basa.55
Terlalu langka sumber pra sejarah yang bersifat otentik yang akan dapat
menuntun kita untuk dapat mengetahui asal-usul suku bangsa Minangkabau,
Sungguhpun demikian, sekedarnya dapat juga diketahui melalui literatur tradisional
yang disebut tambo dan dari petatah petitih yang senantiasa terpelihara secara turun
temurun dari generasi ke generasi secara lisan. Kebenaran isi tambo itu tidaklah
seluruhnya terjamin, mengingat bahwa penyampaiannya yang berlangsung secara
lisan. Cerita dalam tambo ini setidaknya akan dapat menuntun kita untuk mengenal
perkembangan selanjutnya dari nenek moyang suku bangsa Minangkabau. Nenek
moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari pencampuran antara bangsa Melayu
tua yang telah datang pada zaman Neoliticum dengan bangsa Melayu Muda yang
menyusul kemudian pada zaman perunggu, kedua bangsa ini adalah serumpun
dengan bangsa Astronesia.56
Minangkabau dengan kebudayaannya telah ada sebelum datangnya Islam,
bahkan sebelum Hindu dan Budha memasuki wilayah Nusantara.57Sebelum datang
pengaruh dari luar, kebudayaan Minangkabau telah mencapai puncaknya yang
terintegrasi dan kepribadian yang kokoh. Oleh karena itu, kebudayaan luar yang
datang tidak mudah memasukkan pengaruhnya. Penerimaan kebudayaan dari luar
berjalan secara selektif, sehingga budaya yang bertentangan dengan falsafah adatnya
tidak dapat bertahan di Minangkabau. Letak Minangkabau yang diapit dua lautan,
yaiu Samudera Hindia dengan Laut Cina Selatan menyebabkannya menjadi sasaran
kunjungan dari luar. Disamping itu sifatnya yang terbuka dan mudah menyesuaikan
55
56
Ibid,
Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, (Padang : Sri Darma, 1971),
hlm 11
57
Nasrun, Dasar Filsafat Minangkabau, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), hlm13
35
diri dengan lingkungan menempatkannya pada posisi yang dapat menerima pengaruh
kebudayaan dari luar sejauh tidak bertentangan secara prinsip dengan kebudayaannya
yang telah ada.58
Lembaga pemerintahan yang ada di Minangkabau menyesuaikan diri dengan
ajaran Islam. Hal ini terjadi karena agama Islam di Minangkabau sangat kuat. Islam
masuk di Minangkabau menggantikan pengaruh Budha yang lebih dahulu datang,
dengan arti bahwa pengaruh Budha dapat hilang di Minangkabau dan digantikan oleh
pengaruh Islam.59
Masyarakat Minangkabau mengenal filsafat adat yang berdasarkan kenyataan
yang hidup dan berlaku dalam alam60. Bila diteliti bunyi pepatah adat, baik dari segi
sampiran maupun isinya, terlihat jelas bahwa kata yang lazim dipergunakan adalah
kata benda atau sifat yang terdapat dalam alam sekitar. Yang demikian diibaratkan
untuk kehidupan manusia dan untuk menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia itu.
Masyarakat Minangkabau memiliki empat tingkatan adat, yaitu:61
a.
Adat Istiadat
Adat istiadat dalam pengertian khusus berarti kebiasaan yang sudah berlaku
dalam suatu tempat yang berhubungan dengan tingkah laku dan kesenangan.
Kebiasaan ini merupakan ketentuan yang dibiasakan oleh ninik mamak pemangku
adat sebagai wadah penampung kesukaan orang banyak yang tidak bertentangan
58
Ibid
Ibid
60
Nasrun, Op cit, hlm 13
61
Amir, Ms, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta : Sumber
Jaya, 1999) hlm73
59
36
dengan adat yang diadatkan serta tidak bertentangan pula dengan akhlak yang mulia.
Adat istiadat ini tidak berlaku secara umum dan lebih terbatas lingkungannya. Dalam
pelaksanaannya kadang-kadang menjurus kepada kebiasaaan buruk menurut ukuran
umum.62
b. Adat nan teradat
Adat yang teradat yaitu kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu
tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan.63 Kebiasaan yang menjadi
peraturan ini mulanya dirumuskan oleh ninik mamak pemangku adat dalam suatu
nagari untuk mewujudkan aturan pokok yang disebut adat yang diadatkan, yang
pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu adat
yang teradat ini dapat berbeda antara satu nagari dengan nagari lain menurut keadaan,
waktu dan kebutuhan anggotanya. Bila diperbandingkan antara adat yang teradat
dengan adat yang diadatkan, terlihat bedanya dari segi keumuman berlakunya. Adat
yang diadatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh nagari yang terlingkup
dalam suatu lingkaran adat yang dalam hal ini adalah seluruh lingkungan
Minangkabau. Walaupun kemudian mungkin mengalami perubahan, namun
perubahan itu berlaku merata diseluruh nagari.64
c.
Adat nan diadatkan
Adat yang diadatkan yaitu sesuatu yang dirancang dijalankan, serta diteruskan
oleh nenek moyang yang pertama menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan
62
Amir, Ms. Masyarakat Adat Minangkabau Terancam Punah, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber
Widya, 2007) hlm 14
63
Maruhun Batuah, Hukum Adat dan Adat Minangkabau, (Jakarta : Pusaka Asli, 1990, hlm 12
64
Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau ,(Jakarta : Gunung Agung,1994) hlm 145
37
bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Orang Minangkabau mengetahui
secra turun temurun bahwa perumus dari adat yang diadatkan itu adalah dua orang
tokoh adat yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang,
sebagaimana terdapat dalam tambo dan buku-buku adat. Kedua tokoh tersebut
merumuskan adat atas dasar pengalaman kehidupan dan kemampuannya dalam
belajar dari kenyataan. Yang dijadikan pedoman dasar dari perumusan adat itu adalah
kenyataan
Kedua tokoh tersebut merumuskan adat atas dasar pengalaman kehidupan dan
kemampuannya dalam belajar dari kenyataan. Yang dijadikan pedoman dasar dari
perumusan adat itu adalah kenyataan yang hidup dalam alam yang disebut adat yang
sebenarnya adat. Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama
segi kehidupan sosial, budaya dan hukum.65
d. Adat sabana adat
Adat yang sebenarnya adat itu adalah kenyataan yang berlaku dalam alam
yang merupakan kodrat ilahi atau sesuatu yang telah dan terus berjalan sepanjang
masa, seperti adat api membakar, adat ayam berkokok, adat laut berombak. Kalau
diperhatikan hubungan antara sifat dengan yang diberi sifat dalam setiap contoh yang
disebutkan diatas, terlihat adanya bentuk kelaziman hubungan. Walaupun demikian
masih dipergunakan kata adat yang umumnya berarti kebiasaan dalam setiap
hubungan tersebut. Dengan demikian ajaran Islam dimasukkan ke dalam kelompok
65
hlm 136
Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Mustika Adat Basandi Syara’, (Bandung : CV. Rosda, 1978)
38
adat yang sebenarnya adat.66 Kebiasaan yang berlaku atas dasar kodrat lahi yang
dinamakan adat yang sebenarnya adat itu dijadikan pedoman dalam penyusunan tata
cara dan peraturan yang dipakai sebagai pengatur kehidupan manusia di dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di alam ini tidak ada yang pasti
secara mutlak. Walaupun dalam pertimbangan akal terdapat kepastian, namun
tidaklah mustahil bahwa kebiasaan yang pasti itu suatu waktu tidak berlaku menurut
kehendak Allah. Dengan masuknya agama Islam di Minangkabau dan berlakunya
Islam sebagai peraturan bagi kehidupan umat, maka ajaran Islam yang berdasarkan
kepada wahyu Allah itu diakui sebagai suatu yang pasti sebagaimana pastinya
kenyataan yang berlaku dalam alam. Dengan demikian ajaran Islam dimasukkan ke
dalam kelompok adat yang sebenarnya adat.67
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber adat nan sebanar
adat adalah alam takambang jadi guru, Al-Qur’an, dan Hadits Nabi Muhammad
Saw.68
Keempat macam adat yang disebutkan diatas berbeda dalam kekuatannya,
karena berbeda kekuatan sumber dan luas pemakaiannya. Yang paling rendah adalah
adat istiadat. Adat istiadat ini dapat naik ketingkat adat nan teradat bila telah
dibiasakan secara meluas serta tidak menyalahi kaidah pokok yang disepakati.
Begitupula adat yang teradat dapat menjadi adat yang diadatkan, bila kebiasaan itu
66
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta : Bharata, 1977), hlm 214
Yulfian Afrizal, Budaya Alam Minangkabau,(Padang : Angkasa Raya, 2008), hlm 2
68
Ibid,
67
39
sudah merata diseluruh negeri dan telah disepakati kebaikannya oleh orang banyak.69
Bila telah diyakini kebenarannya dan telah diterima oleh masyarakat sebagai suatu
norma yang mengikat, dapat pula naik menjadi adat yang sebenarnya adat.
Keempat tingkatan adat itu dalam penggunaan sehari-hari dikelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu: adat, yang tersimpul di dalamnya adat yang sebenarnya
adat dan adat yang diadatkan. Kedua istiadat, yang tersimpul didalamnya adat yang
teradat dan adat istiadat dalam arti sempit. Keseluruhannya menyimpulkan kata “adat
istiadat Minangkabau”70. Dalam hubungannya dengan pengertian adat dan hukum
adat, walaupun keduanya sangat tipis perbedaannya, dua kelompok pertama yang
disebut adat, mempunyai daya mengikat dan dijalankan oleh badan yang mempunyai
kekuasaan dalam masyarakat, dapat disebut hukum adat. Sedangkan kelompok kedua
yang banyak bersifat tuntunan tingkah laku yang baik, tidak dapat disebut hukum.
Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu perubahan yang
terjadi. Namun ada bagian-bagian adat yang mengalami perubahan dan ada pula yang
sama sekali tidak mengalami perubahan. Adat yang sebenarnya adat, yaitu ketentuan
yang berlaku dalam alam kodrat ilahi dan adat yang diadatkan yang dirumuskan
berdasarkan kepada adat sebenarnya adat itu, termasuk kepada adat yang tidak
mungkin mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya Kodrat Ilahi dan
Wahyu Allah.71
69
Nasrun, Op cit, hlm 45
Idrus Hakimi, Op cit, hlm 106
71
AA. Navis, Adat Kebudayaan Minangkabau,( Kayu Taman : Ruang Pendidikan INS, 1980),
70
hlm. 88
40
Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah adat yang teradat dan
adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh ninik pemuka adat sesuai dengan
tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat seperti ini dapat berbeda
dalam nagari yang satu dengan nagari lainnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis,
adat ini dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Pemeliharaan
terhadap adat itu adalah dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya bagian
adat itu yang tidak mengalami perubahan dan ada pula yang terus mengalami
perkembangan masyarakat, maka sifat adat Minangkabau disebut tetap dan berubah.
Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam Undang-Undang yang
empat, yaitu :
1. Undang-undang luhak dan rantau, Undang-undang luhak dan rantau mengatur
tugas dan wewenang penghulu dan raja di tempat masing-masing.
Keseluruhan daerah Minangkabau secara garis besar terbagi kepada dua
bahagian yaitu luhak dan daerah rantau. Pengertian luhak (secara sempurna
disebut luhak yang tiga) ialah daerah asal Minangkabau yang berada
diselingkungan gunung merapi, yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan
Luhak Lima Puluh Kota. Dalam pengertian geografis adaministratif sekarang
luhak itu disebut juga dengan kabupaten. Luhak merupakan federasi longgar
dari
negeri-negeri.
Setiap
negeri
mempunyai
pemerintahan
sendiri,
mempunyai rakyat sebagai anggotamasyarakat dan kekayaan sendiri dalam
bentuk tanah ulayat negeri serta mempunyai pimpinan sendiri. Sebuah negeri
41
telah merupakan suatu masyarakat hukum yang keluar merupakan suatu
kesatuan dengan tata adat istiadat sendiri. Pengertian rantau menurut asalnya
berlaku bagi pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk daerah
diluar tempat asal. Dalam pengertian Minangkabau, rantau berarti daerah
Minangkabau yang berada diluar luhak yang tiga. Pada hakikatnya rantau
adalah daerah perluasan dari luhak yang tiga dalam usaha menampung
perkembangan anggota yang berada dalam luhak itu.72
2. Undang-undang negeri, Undang-undang nagari, yaitu ketentuan yang
mengatur susunan masyarakat dalam nagari, syarat terjadinya negeri dan
kelengkapan suatu negeri. Setiap nagari mempunyai penduduk yang antara
sesamanya terikat dalam suatu kesatuan genealogis yang disebut suku.
Lingkungan itu baru sah disebut nagari bila terdapat didalamnya empat
kesatuan genealogis yang berbeda.73
3. Undang-undang dalam nagari, Undang-undang dalam nagari atau disebut juga
undang-undang isi nagari yaitu ketetuan yang mengatur anak nagari dan
sesamanya. Undang-undang ini mencakup bidang perdata, bidang pidana dan
bidang ekonomi.74
4. Undang-undang dua puluh, Undang-undang yang dua puluh menyangkut
berbagai bentuk kejahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang dengan
72
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau
(Bukitinggi : Kristal Mutimedia,2010) , hlm 154
73
Ibid, hlm 156
74
Ibid, hlm 168
Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
42
sanksi tertentu, bukti terjadinya kejahatankejahatan serta cara pembuktian.
Undang-undang ini terbagi dua yaitu delapan diantaranya mengenai hukum
materil dan dua belas lainnya menyangkut cara pembuktian.75
Hukum adat Minangkabau memiliki perpaduan yang sangat selaras dengan
hukum Islam, yang dapat digambarkan sebagai berikut :76
a. Adat keseluruhan yang diterima oleh hukum Islam dan untuk selanjutnya
menjadi Hukum Islam.
b. Hukum Islam merubah hukum adat seluruhnya dengan arti Hukum Islam
menggantikan hukum adat dan hukum adat tidak berlaku lagi untuk
selanjutnya.
c. Hukum Islam membiarkan hukum adat hidup tanpa usaha menyerapnya
kedalam hukum Islam. Hal ini umumnya berlaku pada bidang muamalat
dalam arti yang umum tidak dalam bidang akidah, karena akidah harus
didasarkan dengan dalil yang kuat, tidak pula pada bidang ibadat karena
ibadat harus didasarkan kepada petunjuk yang nyata.
Adat di Minangkabau adalah adat yang tidak lekang dipanas, tidak lapuk
dihujan, yaitu adat ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta.77 Sebagaimana dikatakan
dalam pepatah adat Minangkabau : ikan adatnya beradai, air adanya membasahi,
pisau adatnya melukai, artinya adat yang dimaksud di sini adalah perilaku alamiah
75
Ibid, hlm 172
Amir Syarifuddin, Op cit, halaman 169
77
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia (Meninjau Hukum Adat Minangkabau), (Jakarta :
Rieneka Cipta, 1997), hlm 20
76
43
yang hidup ditengah-tengah masyarakat sehingga menjadi ketetapan yang tidak
berubah.
Jadi hukum adat Minangkabau adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah lama
berlangsung dalam masyarakat yang menjadi ketentuan-ketentuan dasar sebagai
aturan (kaidah) ditentukan oleh nenek moyang (leluhur) yang berada di Minangkabau
dikatakan berasal dari Datuk Katemanggungan dan Datuk Perpatihan Nan Sebatang
di Balairung Padang Panjang.78
2.
Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Pariaman
Pariaman merupakan daerah rantau dari lingkupan adat Minangkabau,
sehingga semua aturan adat Minangakabau meruapakan acuan dalam aturan bagi
masyarakatnya adatnya. Termasuk garis keturunan yaitu garis keturunan matrilineal.
Masyarakat hukum adat yang sistem kekeluarganya didasarkan pada prinsip
garis keturunan matrilenal adalah sekumpulan manusia yang merupakan kesatuan
karena anggotanya menarik garis keturunan melalui garis perempuan, sehingga setiap
orang akan masuk ke dalam batas hubungan kekerabatan dengan ibunya, sedangkan
semua kaum kerabat ayahnya berada di luar batas itu.79
Berdasarkan tata susunan masyarakat Minangkabau yang menganut prinsip
garis keturunan Matrilienal itu, maka dapat diuraikan bahwa dalam sebuah keluarga
ayah bukanlah termasuk anggota dari keluarga tersebut melainkan anggota paruiknya.
Masyarakat Minangkabau hidup bergolong-golong dan berkelompok kelompok dan pengelompokan tersebut berdasarkan faktor geneologis yaitu menurut
keturunan garis ibu atau yang dikenal dengan prinsip sistem kekerabatan matrilineal.
78
Ibrahim Dt Sangguno Dirajo, Curaian Adat Minangkabau,( Bukittinggi : CV Pustaka
Media,2003), hlm 5
79
Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo,1981) hlm 51
44
Pengolongan dan pengelompokan masyarakat di Minangkabau berdasarkan
genelogis sebagai berikut : 80
1. Semande, berarti anak-anak yang lahir dari satu ibu
2. Sajuarai, berarti keturunan yang berasal dari satu perut seoarang
nenek
3. Saparuik berarti keturunan yang berasal dari perut seoarang gaek (ibu
dari nenek) dan masih merupakan bagian dari suku yang sama
4. Sekampung berarti kelompok-kelompok keturunan yang kecil (sub
klan) yang berasal kumpulan paruik-paruik
5. Sasuku, berati sama yang berasal dari seorang niniak yang menempati
jenjang yang tertinggi dari susunan sasuku karena dari niniak
itulah suku itu dianggap berasal.
C. Perkawinan Dalam Menurut Adat
1.
Pengertian Perkawinan Adat
Pada umunya di Indonesia terdiri beragam adat dan istiadat yang berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainya, hal ini mempengaruhi perkawinan di
Indonesia. Melangsungkan perkawinan itu hanyalah subyek hukum yang dinamakan
pribadi kodarti, tetapi tidak setiap kodarati yang dapat melangsungkan perkawinan.81
Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan anatara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga
80
81
Amir Ms , Tonggak Tou Budaya Minang, (Jakarta : CV karya Indah, 1987) hlm 40
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011) hlm 217
45
atau keluarga baru yang nantinya akan menghasilkan keturunan, yang mana
perkawinan ini bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan, dan
masalah pewarisan.82 Perkawinan yang dilkasanakan secara adat dengan melibatkan
keluarga besar kedua belah pihak.83
Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan kerabat, urusan
keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia
menyangkut urusan keagamaan. Sebagaimana dikatakan Van Vollenhoven bahwa
dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang
berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia.84
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera dan juga bahagia, di mana kedua belah pihak suami istri
memikul amanah dan tanggung jawab.85 Menurut Hilman Hadikusuma menyatakan
bahwa perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.86
Sejauhmana ikatan perkawinan adat itu membawa akibat hukum dalam
perikatan adat seperti : kedudukan suami dan kedudukan istri, begitu pula tentang
kedudukan anak dan pengangkatan anak kedudukan anak tertua, anak penerus
keturunan, anak adat, anak asuh, dan sebagainya.
82
Tolib Setiady,2009, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan),
(Bandung: Afabeta, 2009), hlm 222
83
Soerojo Wignjodipoero, Op.cit, hlm 55
84
Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia Cet V, (Jakarta : Raja Garfindo,.2002), hlm 15
85
Djoko Prokoso, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987)
hlm 33
86
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm 23
46
Perkawinan dalam arti perikatan adat walaupun dilangsungkan antar adat yang
berbeda tidak akan seberat penyelesaiannya daripada berlangsungnya. perkawinan
yang bersifat agama oleh karena perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan
masyarakat bukan perbedaan keyakinan.
2.
Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan
bapak atau ibu maupun kedua-keduanya, untuk kebahagian rumah tangga keluarga
atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk
mempertahankan kewarisan.87 Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan suku di
Indonesia berbeda. Maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda pula
mengakibatkan hukum perkawinan dan upacara perkawinannya berbeda juga.
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal perkawinan bertujuan
mempertahankan garis keturunan bapak sehingga anak lelaki (tertua) harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan perkawinan uang jujur), di
mana setelah terjadinya perkawinan istri ikut masuk kekerabatan bapaknya.88
3.
Asas – Asas Perkawinan Adat
Pada umunya dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 terdapat
2 asas perkawinan yaitu asas monogami dan poligami, asas poligami terjadi bila
sepanjang hukum agama yang dianaut mengizikannya untuk melakukan poligami dan
87
88
Ibid hlm 23
Ibid,
47
melalui syarat-syarat yang keta dengan izin pengadilan dan izin itu diperoleh jika
isteri tidak dapat menjalankan kewajiabanya sebagai isteri.89
Asas perkawinan adat yaitu asas monogami terbuka yaitu prinsip calon suami
istri yang masak jiwa raganya, batas umur perkawinan, perceraian yang dipersulit,
kedudukan suami dan istri seimbang.90 Sehubungan dengan asas-asas perkawinan
yang dianut oleh UU No. 1 tahun 1974 di atas maka asas-asas perkawinan menurut
hukum adat sebagai berikut :
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agama atau
kepercayaan tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa
perempuan sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan
menurut adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat,
masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui
masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup
umur atau masih anak-anak begitu pula sudah cukup umur perkawinan harus
berdasarkan izin orang tua atau keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan antara suami
istri mengakibatkan hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak jadi cerai
juga.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah
tangga dan ada yang istri yang bukan ibu rumah tangga.91
4.
Sistem Perkawinan Adat
Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (etnologi) dilihat dari keharusan dan
larangan mencari calon isteri bagi setiap laki-laki maka perkawinan itu dapat berlaku
89
Aswin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974, (Jakarata : PT. Dian Rakyat,1986) hlm 19
90
Djoko Prokoso, Op.cit, hlm 33
91
Hillman Hadikusuma, Op. cit hlm 24
48
dengan sistem endogami dan sistem eksogami yang hanya dianut oleh masyarakat
adat bertali darah dan atau dengan sistem eleutherogami. Hal ini berlaku disebagian
besar masyarakat adat yang terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam.92
Sistem perkawinan endogami dalam arti mereka mengadakan perkawinan satu
sama lain di dalam lingkungan kekerabatan (suku, clan, famili, dan sebagainya)
mereka sendiri (antar keluarga) seperti : endogami sekampung di Bukittinggi
(Sumatera Barat), endogami serumpun di suku dayak (Kalimantan) dan kawin tegak
tegi di Lampung.93
Sedangkan sistem perkawinan eksogami dibagi atas 2 (dua) perumusan,
yaitu:94
1. Dalam arti positif ; eksogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana
seseorang harus kawin dengan anggota clan yang lain.
2. Dalam arti negatif ; eksogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana
seseorang dilarang atau tidak boleh kawin dengan anggota clan. Prinsip
eksogami ini berhubungan erat dengan sistem garis keturunan ibu atau
matrilineal seperti : Minangkabau.
Minangkabau merupakan suatu daerah yang masyarakat adatnya menganut
sistem perkawinan eksogami dengan cara mendatangkan laki-laki di luar lingkungan
kesatuan matrilineal untuk tinggal dan menetap di lingkungan keluarga isteri karena
92
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum keluarga, (Bandung : Sitra Adity Bakti, 1992 hlm 131
Ibid,
94
Ibid, hlm 123
93
49
itu sistem perkawinan di Minangkabau dikenal dengan sebutan perkawinan eksogami
menurut matrilineal.
5.
Bentuk Perkawinan Adat
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan dapat berbentuk perkawinan
jujur, dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita setelah
perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami seperti : Batak,
Lampung dan Bali.95
Perkawinan semenda, di mana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada
pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman
isteri seperti : Minangkabau, semendo Sumatera Selatan.
Pada perkawinan bebas dalam pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada
pihak wanita dan setelah perkawinan kedua belah pihak (suami isteri) bebas
menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka menurut kehendak mereka
seperti : Jawa ; mencar atau mentas. Yang terakhir ini banyak berlaku dikalangan
masyarakat keluarga yang telah maju dan modern. Sedangkan perkawinan adat
Minangkabau menurut Hazairin, terdapat (tiga) bentuk perkawinan yang bertahap
satu sama lain, yaitu:96
a.
Kawin bertandang
Bentuk perkawinan bertandang ini adalah suatu pelaksanaan yang integral
cocok dengan prinsip keibuan. Suami adalah semata-mata orang datang bertamu
95
96
Ibid, hlm 23
Bushar Muhamad , Op.cit hlm 14
50
datang malam hilang pagi harinya status tamu pada keadaan dan lingkungan isterinya,
ia tidak berhak terhadap harta benda milik isteri yang bersangkut dan paut dengan
rumah tangga, ia tamu. Walaupun suami bekerja dan menghasilkan maka hasil itu
diperuntukkan bagi dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuan serta anakanaknya.97
b. Kawin Menetap
Kawin menetap merupakan suatu perkembangan dari bentuk perkawinan
pertama. Yang dimaksud perkembangan di sini adalah kalau rumah gadang telah
menjadi sempit untuk famili yang senantiasa menjadi besar dan tumbuh maka suatu
keluarga atas inisiatif isteri membuat rumah yang terpisah, tidak jauh dari situ.
Walaupun demikian tidak hilang sifat eksogami semendo tadi, namun secara fisik di
dalam susunan baru lebih bebas dan lebih intim, apalagi kalau mempunyai pekerjaan
dan sumber penghasilan sendiri dan suami pun lebih banyak berada ditengah-tengah
anak dan isterinya maka lambat laun menetaplah ia menolong istrinya bila sempat
dan mampu.98
c.
Kawin Bebas
Tahap perkawinan ini sebagai suatu kelanjutan pertumbuhan tahap kedua itu
disebut kawin bebas, kelanjutan pertumbuhan itu berarti bahwa perpindahan secara
fisik, meninggalkan rumah gadang, meninggalkan dusun dan pergi ke kota, merantau
biasanya ke pesisir.
97
98
Ridwan Halim, Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia,1989) hlm 60
Ibid, hlm 61
51
Di samping perkawinan di atas orang Minangkabau juga mengenal adanya
perkawinan yang paling ideal, yaitu perkawinan anak dengan kemenakan yang lazim
disebut sebagai perkawinan pulang ka mamak atau perkawinan ka bako.99
Ada 2 (dua) hal pegangan dalam perkawinan adat Minangkabau terdapat dalam
pepatah yang berbunyi : nikah berwali bapak kawin berwali mamak, enau tetap sigai
berjalan artinya suatu perkawinan baru sah kalau telah kawin secara Islam dan
dilaksanakan secara adat. Menurut adat Minangkabau ini pihak laki-laki yang datang
kerumah pihak perempuan dan pihak perempuan tetap berada di rumahnya dan
sukunya sedangkan laki-laki tadi dikatakan sebagai urang sumando di rumah pihak
perempuan tersebut.100
6.
Perkawinan Adat Bajapuik Minangkabau Pariaman
Adat pernikahan di Pariaman pihak wanitalah yang melamar dan menjemput
serta membayar pihak pria ketika akan melangsungkan pernikahan karena itu, adat
perkawinan pariaman lebih dikenal dengan “perkawinan bajapuik atau perkawinan
berjemput“. Adat perkawinan Pariaman yang demikian adalah adat lokal Pariaman
yang tidak berlaku untuk seluruh wilayah adat Minangkabau, Sumatera Barat.
Perkawinan bajapuik didasari dengan praktek yang dilakukan nabi
Muhammad sehingga pelaksanaan tetap dipertahankan sampai saat ini.
Menurut
Welhendi Azwar dalam hasil wawancaranya dengan ulama Pariaman yakni Bagindo
M. Letter, bahwa tradisi bajapuik di pariaman sebenarnya sesuai dengan apa yang
99
Ibid, hlm 62
Chairul, Anwar, Hukum Adat Indonesia (Meninjau Hukum Adat Indonesia), hlm 79
100
52
dipraktekan Nabi Muhammad SAW, dimana Nabi sewaktu menikah dengan Khadijah
dibayar (dijemput) oleh khadijah dengan seratus onta. Legitimasi teologis inilah yang
menjadi pembenaran dalam tradisi bajapuik, disamping itu ada kepentingan lain,
seperti
kaum
bangsawan
(borjuis)
untuk
mempertahankan
eksistensi
kebangsawannya.101
Selain dari legitimasi teologis agama pemberian uang jemputan itu juga
dipengaruhi sifat kekerabatan yang dianut masyarakat Pariaman. Sebagaimana
diketahui dearah Pariaman merupakan bagian dari daerah Minangkabau yang pada
masyarakatnya menurut garis keturunan matrilineal, dimana anak masuk (garis
keturunan ibu untuk itu ia menetap dengan suatu kekayaan alam dalam suku (klen)
ibunya atau dengan kata lain tidak mengikuti suami atau ayah pada klan laki-laki
seperti apa yang terjadi pada masyarakat sistem patrilineal (klan bapak).102
Perkawinan Minangkabau mengenal perkawinan sumando yang juga diikuti
masyarakat Pariaman yang mana pihak laki-lakilah yang datang menetap di rumah
pihak perempuan. Kawin sumando berasal dari kata “mendatang” sedangkan menurut
logat Minang sendiri disebut “Urang Sumando”, pihak laki-laki yang datang sebagai
anggota keluarga atau di dalam klennya sendiri.103
Perkawinan semenda (sumando) Minangkabau Pariaman terjadi karena
peminangan secara formil dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki, maka untuk
101
Welhendri Azwar, Matriolokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik,
(Yogyakarta: Galang Press, 2001) hlm 57
102
103
Ibid,
Chairul Anwar, Op.cit hlm 23
53
mempertegas pernyataan kehendak dari pihak perempuan ini waktu melakukan
perkawinan telah menjadi keharusan bagi pihak perempuan menjemput laki-laki
kerumah orang tuanya yang disebut dengan menjemput marapulai. Persoalaanya
dalam proses manjampuik marapulai di Pariaman ada suatu ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan.104
Pada umunya bajapuik merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau dalam prosesi adat perkawinan karena dalam sistem matrilineal posisi
suami (urang sumando) merupakan orang datang, karena itu orang sumando dalam
ungkapan Minangkabau dikenal dengan pepatah“ datang karano dipanggia-tibo
karano dianta (datang karena dipanggil, tiba karena diantar), di Pariaman diwujudkan
kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam perkawinan yang melibatkan barang-barang
yang bernilai seperti emas dan uang.105
Persyaratan uang dalam perkawinan bajapuik tersebut tersendiri terdiri atas:
uang jemputan, uang hilang, uang tungkatan, uang selo, mas kawin atau mahar dan
uang parigiah jalang. Kebiasaan ini awalnya dirumuskan niniak mamak pemangku
adat Nagari, yang bertujuan untuk mewujudkan adat nan diadatkan. 106
D. Perkembangan Pemberian Uang Jemputan Menurut Hukum Adat
Pariaman
1.
Pengertian Uang Jemputan
Secara konseptual uang jemputan adalah uang yang diberikan oleh pihak
perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan
104
Ibid,
Amir Sjarifoedin. Minangkabau dari dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam
Bonjol. (Jakarta : Gri Media,2011) , hlm 476-477
106
Ibid,
105
54
dikembalikan lagi pada pihak perempuan pada saat mengunjungi mertua untuk
pertama kalinya. Uang jemputan ini bewujud benda yang bernilai ekonomis, seperti
emas dan benda lainnya.107
Uang jemputan yang berwujud emas, pada awalnya berupa rupiah dan ringgit
emas, kemudian berkembang menjadi cincin, kalung dan gelang emas. Perubahan ini
terjadi karena bentuknya sudah ketinggalan zaman, sehingga tidak diminati oleh si
pembeli sebagai persyaratan dalam perkawinan bajapuik. Atas dasar itu, pedagang
emas tidak lagi menjual atau memproduksi bentuk emas yang demikian.108
2.
Proses Pelaksanaan dan Pemeberian Uang Jemputan
Proses pelaksanaan perkawinan bajapuik di Pariaman sama dengan proses
perkawinan Minangkabau pada umumya yang mana dimulai dari beberapa tahap
yaitu dimulai dari tahap :
a.
Pinang Meminang
Untuk melaksanakan peminangan sebelumnya dilakukan pemufakatan
perkawinan. Dalam pemufakatan ini diundanglah semua karib kerabat dalam kaum
serta orang sumando yang ada dalam kaum, dalam pertemuan ini dipimpim oleh
niniak mamak pemufakatan untuk mencarikan jodoh anak kemanakanya
yang
dikenal istilah dengan “mencari ayam”.109 Dalam proses mancari ayam seluruh
anggota yang ada hadir di pemufakatan berhak mengusulkan calon-calon”ayam”
yang ia ketahui seimbang dan pantas untuk diterima.110
107
Amir Syrifudin, Op. cit hlm 474
Ibid,
109
Mencari Ayam Maksundya disini yaitu mengusulkan calon-laki-laki kepada mamak rumah
yang mencarikan jodoh kemanakanya
110
Hasil wawancara dengan LKAAM Padang-Pariaman, Pada tanggal 3 Maret 2015
108
55
Meminang mengandung arti permintaan yang menurut hukum adat berlaku
dalam
bentuk pernyataan kehendak untuk maksuda mengadakan perkawinan. 111
Pinang maminang, berasal dari cara dan tata kelakuan masyarakat dalam mengajukan
sesuatu permintaan kepada bakal calon pasangan hidup. Berawal dari kata “ pinang”
yang dibawa beserta sirih dalam cerana pada saat berkunjung ketempat kediaman
bakal calon pasangan. Kebiasaan ini kemudian berkembang secara formal dalam
mencari jodoh sebagaimana yang kita kenal dengan pinang meminang.
Pada daerah Ranah Minang kebiasaan mengajukan pinang meminang,
lazimnya diprakarsai oleh kerabat wanita. Begitu juga di dearah Padang Pariaman
dimana berlakunya perkawinan adat bajapuik peminangan dilakukan juga oleh pihak
wanita. Proses pinang meminang merupakan hasil – manyalangkan mato – maresek,
setelah diperoleh informasi seputar bakal calon pasangan. Proses pinang meminang
antar kedua pihak keluarga, dilakukan pula beberapa kali pertemuan, untuk merekam
keinginan-keinginan pihak keluarga lelaki atas hal-hal yang menjadi persyaratan yang
harus di-isi oleh pihak wanita, agar ketika kesesuaian dalam perjodohan ini tidak
mendapat gangguan atau kekecewaan kelak dikemudian hari. Isi, artinya mengisi
sesuatu yang diminta dan diinginkan oleh pihak keluarga laki-laki. Misalnya didaerah
rantau atau pesisir Padang Pariaman berlaku ketentuan yang akan diisi adalah uang
jemputan, uang hilang/uang dapur.
b. Melamar
Apabila telah terdapat persetujuan kedua belah pihak maka ditentukanlah
waktu dan hari “mandagogkan” yaitu
111
datangya secara resmi orang tua, niniak
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan, (Bandung : alumni, 1977), hlm 26
56
mamak serta karib kerabat dan penghulu pihak perempuan kerumah orang tua pihak
laki-laki, yang dinanti oleh niniak mamak dan penghulu pihak laki-laki.112
Dalam pertemuan ini nantinya akan dibicarakan masalah-maslah adat yang
akan dipenuhi oleh pihak perempuan selaku peminang kepada pihak laki-laki seperti
uang jemputan, uang hilang dapua dan uang tungkatan.
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan
dijodohkan itu dengan dipimpin oleh niniak mamaknya, datang bersama-sama
kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi
pertama ini, diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang
wanita yang patut-patut dari keluarganya. Pada waktu itu biasanya rombongan yang
datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih
berkata-kata, jika sekiranya Ninik Mamak yang akan melamar itu, bukan orang ahli
untuk itu.113
c.
Batimbang Tando (Pertunangan)
Terjadinya pertunagan dengan hukum adat di pariaman merupakan suatu
hubungan hukum yang dilakukan oleh orang tua dan niniak mamak pihak perempuan
dengan niniak mamak dan keluraga pihak laki-laki, untuk maksud mengikat tali
perkawinan anak kamanakan mereka dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang
harus dipenuhi oleh pihak perempuan.114
112
Hasil wawancara dengan sekretaris LKAAM Padang-Pariaman Dt AGA rang Kayo, Abdul
Arif Gani Pada tanggal 3 Maret 2015
113
Depertemen Pendidikan Dan Kebuadayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
Proyek Iventerisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Upacara Perkawinan Minangkabau Di
Derah Sumatera Barat, (Padang : DEKDIBUD, 1985/986) hlm 43
114
Ibid, hlm 49
57
Pada saat pertunagan ini disebut
juga dengan mandagogkan
karena
sebelumnya telah ada pemufakatan yang bersifat tidak resmi bagi kedua pihak, maka
dalam pertemuan inilah dikuatkan dengan perseujuan kedua belah pihak
yang
merupakan kekuatan hukum bagi mereka masing-masing pihak.
Pada pertemuan ini juga ditentukan adat istiadat yang harus dipenuhi pihak
perempuan waktu akan terjadi pernikahan yaitu mengenai uang jemputan, uang
huliang, dan uang tungkatan “mempelai ”sebagai suatu terjadinya pertunangan antara
anak kamenakan mereka sedangkan pertukaran tando ini juga membawa akibat
hukum kepada kedua belah pihak kaum itu antara lain115 :
1. Kedua belah pihak orang tua dan niniak mamak membatasi pergaulan anak
kamenakanya selama terjadinya pertunangan.
2. Kedua belah pihak bertanggung jawab atas kelangsunganya Perkawinan
3. Apabila terjadi pelanggaran atau pengagalan perkawinan disebabkan salah
atau kesalahan salah satu pihak maka dia harus menembus uang kerugian
yang disebut uang kesalahan.
Saat dilakukan pertukaran tando bahwa kedua belah pihak telah berjanji
menjodohkan anak kemenakan mereka. Benda yang dijadikan pertukaran pada
umumnya adalah cincin emas. bila seorang pertunangan itu putus, pihak yang
memutuskan akan mengembalikan tanda yang diterima dahulu. Pihak lain tidak
berkewajiban mengembalikannya.
115
Hasil Wawancara dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Miangkabau (LKAAM) V
Kampung Dalam. Abdul Halim Dt. Anjah Pahlawan tgl 6 Maret 2015
58
d. Malam Bainai
Acara ini dilaksanakan dirumah anak daro. Diadakan sehari atau beberapa
hari sebelum hari pernikahan. Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan
daun inai yang telah