Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp) Chapter III V

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1

LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian, Fakultas Teknik,

Departemen Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Kimia Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Departemen Kimia, Universitas
Sumatera Utara dan Laboratorium Penelitian, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera
Utara. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 6 bulan.

3.2

ALAT DAN BAHAN
3.2.1 Alat
A. Alat Pembuatan Selulosa Nanokristal
Adapun alat yang digunakan untuk pembuatan selulosa nanokristal
adalah sebagai berikut:
1. Hot plate
2. Sentrifugator

3. Ultrasonic bath
4. Membran dialisis

B. Alat Pembuatan Biokomposit
Adapun alat yang digunakan untuk pembuatan biokomposit adalah
sebagai berikut:
1. Cetakan biokomposit
2. Hot plate
3. Magnetic stirrer
4. Ayakan 100 mesh

23

Universitas Sumatera Utara

3.2.2 Bahan
A. Bahan yang digunakan dalam Pembuatan Selulosa Nanokristal
Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan selulosa nanokristal
antara lain berasal dari pengrajin kulit Kulit Rotan dan Toko Kimia
Rudang Jaya, Medan:

1. Kulit Rotan.
2. Aquadest (H2O).
3. Asam Nitrat (HNO3).
4. Natrium Hidroksida (NaOH).
5. Natrium Hipoklorit (NaOCl).
6. Hidrogen Peroksida (H2O2).
7. Natrium Nitrit (NaNO2).
8. Natrium Sulfit (Na2SO3).
9. Asam Sulfat (H2SO4).

B. Bahan yang digunakan dalam Pembuatan Biokomposit
Adapun bahan yang digunakan dalam pembuatan biokomposit antara
lain berasal dari Toko Kimia Rudang Jaya, Medan:
1. Pati Sagu.
2. Air.
3. Selulosa nanokristal.
4. Gliserol (C3H8O3).
5. Aquadest (H2O).
6. Asam Asetat (C6H8O7).


3.3

PROSEDUR PENELITIAN
3.3.1 Prosedur Pembuatan Selulosa Nanokristal
Prosedur pembuatan selulosa nanokristal meliputi:
A. Prosedur Preparasi Serat Kulit Rotan
Adapun prosedur preparasi kulit rotan adalah sebagai berikut [32]:
1.

Kulit Rotan dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran.

2.

Dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 jam.

24

Universitas Sumatera Utara

3.


Digunting hingga diperoleh ukuran kulit rotan yang lebih kecil.

4.

Diblender dan diayak hingga ukuran 50 mesh.

B. Prosedur Ekstraksi α-Selulosa dari Kulit Rotan
Adapun prosedur ekstraksi α-selulosa dari kulit rotan adalah sebagai
berikut [32]:
1.

75 gram serat dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian
ditambah 1 L campuran HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2,
dipanaskan diatas hotplate pada suhu 90 oC selama 2 jam.

2.

Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.


3.

750 ml larutan yang megandung NaOH 2% dan Na2SO3 2% pada
dimasak di atas hot plate suhu 50 oC selama 1 jam.

4.

Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

5.

Dilakukan pemutihan dengan 250 ml larutan NaOCl 1,75% dengan
panasan menggunakan hot plate pada temperatur mendidih selama
30 menit.

6.

Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

7.


Dilakukan pemurnian α-selulosa dari sampel dengan 500 ml
larutan NaOH 17,5% dengan pemanasan menggunakan hot plate
pada suhu 80 oC selama 30 menit.

8.

Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.

9.

Dilakukan pemutihan dengan H2O2 10 % dengan pemanasan
menggunakan hot plate pada suhu 60 oC dalam oven selama 1 jam.

10. Disaring dan ampas dicuci hingga filtrat netral.
C. Prosedur Isolasi Selulosa Nanokristal dari α –Selulosa
Adapun prosedur isolasi selulosa nanokristal dari α –selulosa adalah
sebagai berikut [32]:
1.


Sebanyak 1 gram α-Selulosa dilarutkan dalam 25 ml H2SO4 45%
pada suhu 45 oC selama 45 menit.

2.

Kemudian didinginkan dan ditambahkan dengan 25 ml aquadest.

3.

Dibiarkan satu malam hingga terbentuk suspensi.

25

Universitas Sumatera Utara

4.

Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 25
menit hingga pH netral.


5.

Diultrasonifikasi selama 10 menit.

6.

Dimasukkan ke dalam membran dialisis dan rendam dalam 100 ml
aquadest, diamkan selama 4 hari sambil distrirer.

7.

Aquadest diuapkan pada suhu 70

o

C untuk mendapatkan

nanokristal selulosa.

3.4 PROSEDUR PEMBUATAN BIOKOMPOSIT

3.4.1 Prosedur Pembuatan Biokomposit dari Pati Sagu
Adapun prosedur pembuatan biokomposit adalah sebagai berikut
[4,43]:
1. Sejumlah massa pati dan NCC yang diinginkan ditimbang dengan
perbandingan pengisi 1%, 2%, 3% dan 4% sebanyak 10 gram dari
total berat kering pati-NCC.
2. Selulosa nanokristal dimasukkan ke dalam beaker glass dan
ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml.
3. Kemudian laurutan NCC dan aquadest didispersikan dengan
menggunakan stirrer dengan kecepatan 1000 rpm selama 15 menit.
4. Setelah 15 menit ditambahkan pati sebanyak 10 gram kedalam
larutan NCC dan aquadest yang telah terdispersi.
5. Hot plate dipanaskan dan diatur temperatur yang akan digunakan.
6. Ditambahkan gliserol 30% dan asam asetat 10%, 20%, 30%, 40%
pada larutan pati-NCC, lalu diaduk sampai homogen.
7. Setelah homogen, hot plate dan stirrer dimatikan.
8. Beaker glass berisi larutan dikeluarkan dari hot plate, kemudian
didinginkan sebelum dicetak.
9. Larutan dituangkan sebanyak 50 ml ke dalam cetakan, kemudian
dikeringkan dalam oven pada T = 60 oC selama 24 jam.

10. Setelah dikeringkan, diangkat dan dikeringkan ke dalam desikator
selama 24 jam.

26

Universitas Sumatera Utara

11. Kemudian biokomposit dilepas dari cetakannya. Biokomposit siap
untuk dianalisis.

3.5

FLOWCHART PERCOBAAN
3.5.1 Flowchart Pembuatan Selulosa Nanokristal
A. Flowchart Preparasi Serat Kulit Rotan
Adapun Flowchart Preparasi Serat Kulit Rotan dapat dilihat pada
Gambar 3.1 dibawah ini [32]:

Mulai


Kulit rotan dicuci dengan air

Dijemur di bawah sinar matahari hingga kering
Digunting hingga ukuran lebih kecil

Diblender dan diayak hingga ukuran 50 mesh

Selesai
Gambar 3.1 Flowchart Preparasi Serat Kulit Rotan

27

Universitas Sumatera Utara

B. Flowchart Ekstraksi α-Selulosa dari Serat Kulit Rotan
Adapun Flowchart Ekstraksi α-Selulosa dari Serat Kulit Rotan dapat
dilihat pada Gambar 3.2 dibawah ini [32]:
Mulai

75 gram serat dimasukkan kedalam beaker glass, kemudian
ditambah 1 l campuran HNO3 3,5% dan 10 mg NaNO2,
dipanaskan diatas hotplate pada suhu 90 oC selama 2 jam

Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral

Dimasak dengan 750 ml larutan yang megandung NaOH 2%
dan Na2SO3 2% pada suhu 50 oC selama 1 jam

Serat disaring dan dicuci hingga filtrat netral

Dilakukan pemutihan dengan 250 ml larutan NaOCl 1,75%
dan air (1:1) pada temperatur mendidih selama 0,5 jam

Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral

Dilakukan pemurnian alfa selulosa dari sampel dengan 500
ml larutan NaOH 17,5% pada suhu 80 oC selama 0,5 jam

Disaring dan serat dicuci hingga filtrat netral

A

28

Universitas Sumatera Utara

A

Dilakukan pemutihan dengan H2O2 10 % pada suhu
60 oC dalam oven selama 1 jam

Serat dicuci dan disaring sampai filrat netral

Disimpan dalam desikator

Selesai
Gambar 3.2 Flowchart Ekstraksi α-Selulosa dari Kulit Rotan
C. Flowchart Isolasi Selulosa Nanokristal dari α –Selulosa
Adapun Flowchart Isolasi Selulosa nanokristal dari α –Selulosa dapat
dilihat pada Gambar 3.3 dibawah ini [32]:

Mulai

Sebanyak 1 gram alfa selulosa dilarutkan ke dalam 25 ml
H2SO4 45% pada suhu 45 oC selama 45 menit

Didinginkan dan ditambahkan 25 ml aquadest

Dibiarkan satu malam hingga terbentuk suspensi dan disentrifugasi dengan
kecepatan 10000 rpm selama 25 menit hingga pH netral
Diultrasonifikasi selama 10 menit dan dimasukkan ke dalam membran
dialisis
Direndam dalam 100 ml aquabidest, diamkan selama 4 hari sambil distrirer
menit hingga pH netral

A

29

Universitas Sumatera Utara

A

Aquabidest diuapkan pada suhu 70 oC dan didapat nanokristal selulosa

Selesai
Gambar 3.3 Flowchart Isolasi Selulosa nanokristal dari α-Selulosa

3.5.2 Flowchart Pembuatan Biokomposit
Adapun Flowchart Pembuatan Biokomposit dapat dilihat pada Gambar
3.4 dibawah ini [4,43]:
Mulai
Massa pati – NCC ditimbang dengan 1%, 2%, 3% dan 4% sebanyak 10
gram berat kering pati – NCC
Selulosa nanokristal dimasukkan ke dalam beaker glass dan
ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml.
Kemudian laurutan NCC dan aquadest
didispersikan dengan menggunakan
stirrer dengan kecepatan 1000 rpm
selama 15 menit.
Hot plate dipanaskan pada temperatur 75 oC

Ditambahkan gliserol 30% dan asam
asetat 10%, 20%, 30%, 40% pada
larutan pati-NCC, lalu diaduk sampai
homogen.
Hot Plate dan stirrer dimatikan
Dikeluarkan beaker glass dari hot plate kemudian didinginkan

A
30

Universitas Sumatera Utara

A
Dituang kedalam cetakan sebanyak 50 ml
Dikeringkan dalam oven pada T = 60 oC selama 24 jam
Diangkat dan dikeringkan dalam desikator selama 24 jam
Biokomposit dilepas dari cetakannya dan dianalisis
Selesai
Gambar 3.4 Flowchart Pembuatan Biokomposit Dari Pati Sagu

3.6
3.6.1

ANALISIS BIOKOMPOSIT DAN SELULOSA NANOKRISTAL
Analisis TEM (Transmission Electron Microscopy)
Sampel yang akan dianalisis dengan TEM (Transmission Electron

Microscopy) yaitu berupa:
1.

Selulosa nanokristal (NCC)
Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk menentukan ukuran partikel dan

melihat morfologi selulosa nanokristal [38]. Analisis TEM (Transmission Electron
Microscope) dilakukan di Laboratorium Terpadu, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

3.6.2

Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)
Sampel yang akan dianalisis dengan SEM (Scanning Electron Microscopy)

yaitu berupa:
1.

Selulosa nanokristal.

2.

Biokomposit dengan penambahan pengisi NCC.
Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk melihat morfologi selulosa

nanokristal, morfologi penyebaran dengan penambahan pengisi NCC dan plasticizer
gliserol dalam matriks pati sagu [38]. Analisis SEM (Scanning Electron Microscope)

31

Universitas Sumatera Utara

dilakukan di Laboratorium Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Medan.

3.6.3 Analisis XRD (X-Ray Diffraction)
Sampel yang akan dianalisis dengan XRD (X-Ray Diffracion) yaitu pengisi
selulosa nanokristal. Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk mengukur kristalinitas
selulosa nanokristal yang dihasilkan. Analisis XRD (X-Ray Diffraction) dilakukan di
Laboratorium Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Medan. Rumus perhitungan indeks kristalinitas dari sampel adalah sebagai
berikut [51]:

Keterangan:

CrI = [

I002 -IAM
] x 100
I002

(3.1)

Crl = Derajat relatif kristalinitas
I002 = Intensitas maksimum dari difraksi pola 0 0 2
IAM = Intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 12-18o

3.6.4 Analisis FTIR (Fourier Transform Infra-Red)
Sampel yang akan dianalisis dengan FTIR (Fourier Transform Infra-Red) yaitu
berupa:
1.

Selulosa nanokristal.

2.

Biokomposit dengan penambahan pengisi NCC.
Tujuan dilakukan analisis ini adalah untuk melihat apakah ada atau tidak

terbentuknya gugus baru dalam produk biokomposit dengan pengisi NCC dan
plasticizer gliserol [39]. Analisis FTIR (Fourier Transform Infra-Red) dilakukan di
Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.6.5 Uji Densitas Dengan Standar ASTM D792-91, 1991
Adapun prosedur analisis densitas adalah sebagai berikut [40]:
1. Film dipotong dengan ukuran 5 cm x 5 cm dan tebal tertentu, kemudian dihitung
volumenya.
2. Kemudian potongan film tersebut ditimbang.

32

Universitas Sumatera Utara

Rapat massa (densitas) dari film dapat ditentukan dengan rumus [67]:

Keterangan:

densitas (ρ) =

m
v

(3.2)

m = massa (gram)
v = volume (cm3)

Berikut adalah flowchart densitas [40]:
Mulai

Dipotong film dengan ukuran 5 cm x 5 cm dengan tebal tertentu

Dihitung volumenya

Ditimbang film yang sudah dipotong kemudian dihitung dengan
rumus analisa densitas

Selesai

Gambar 3.5 Flowchart Densitas

3.6.6

Uji Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Dengan Standar ASTM D 638
Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan produk biokomposit

yang terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan produk
biokomposit. Kekuatan tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban
maksimum (F maks) yang digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi
dengan luas penampang awal (Ao).
a.

Produk biokomposit dipilih dan dipotong membentuk spesimen untuk pengujian
kekuatan tarik (uji tarik) sesuai dengan standar ASTM D 638. Pengujian kekuatan
tarik dilakukan dengan tensometer terhadap tiap spesimen. Tensometer terlebih
dahulu dikondisikan pada beban 100 kgf dengan kecepatan 500 mm/menit,

33

Universitas Sumatera Utara

kemudian dijepit kuat dengan penjepit yang ada dialat. Mesin dihidupkan dan
spesimen akan tertarik ke atas spesimen diamati sampai putus, dicatat tegangan
maksimum dan regangannya [41]. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :

σ

Fmaks
Ao

(3.3)

Keterangan :

σ

= Engineering Stress (N/m2)

Fmaks = Gaya tarik yang diberikan kepada penampang spesimen (N)
Ao

= Luas penampang mula-mula spesimen sebelum diberikan
pembebanan (m2)

3.6.7 Prosedur Analisis Sifat Pemanjangan pada Saat Putus (Elongation at
Break )
Elongasi adalah peningkatan panjang material saat diuji dengan beban tarik,
dinyatakan dalam satuan panjang, biasanya inci atau millimeter. Persen elongasi
adalah pemanjangan benda uji yang dinyatakan sebagai persen dari panjangnya.
Percent elongation at break adalah persen pemanjangan pada saat putusnya benda uji
Pengukuran dilakukan dengan cara yang sama dengan kekuatan tarik yaitu dilakukan
berdasarkan ASTM D882 dengan ketentuan model Universal Testing Machine (UTM)
[41]. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
Elongasi(%) =
Keterangan :
∆l

= Perubahan panjang (cm)

l0

= Panjang awal (cm)

∆l
l0

× 100%

(3.4)

3.6.8 Uji Penyerapan Air Dengan Standar ASTM D570-98, 2005
Adapun prosedur analisis penyerapan air adalah sebagai berikut [42]:
1. Dipotong biokomposit dengan diameter 50,8 mm dan tebal ± 0,18 mm dan
ditimbang berat sampel.
2. Masukkan sampel biokomposit ke dalam wadah berisi air distilat denngan
temperatur 23±1 oC selama 24 jam.

34

Universitas Sumatera Utara

Setelah 24 jam, sampel diambil dan dibersihkan dengan menggunakan kain
kering. Rumus perhitungan penyerapan air dari sampel adalah sebagai berikut [67]:
Penyerapan Air (%) =

W-Wo
Wo

x 100 %

(3.5)

Keterangan:
Wo

= berat sampel kering

W

= berat sampel setelah direndam air

Berikut adalah flowchart penyerapan air [42]:
Mulai

Timbangan digital digunakan mengukur berat sampel awal dengan
diameter 50,8 mm dan tebal ± 0,18 mm
Sampel plastik dimasukkan ke dalam wadah berisi air distilat
Dengan temperatur 23±1 oC selama 24 jam

Setelah 24 jam, sampel diambil dan dibersihkan dengan air kering

Sampel ditimbang sebagai berat sampel akhir dan dihitung nilai
penyerapan air

Selesai

Gambar 3.6 Flowchart Analisis Penyerapan Air

35

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

ANALISIS SELULOSA NANOKRISTAL (NCC)

4.1.1 Analisis Transmission Electron Microscope (TEM) Selulosa Nanokristal
(NCC)
Transmission Electron Microscopy (TEM) merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk mengetahui morfologi serta ukuran partikel dari suatu molekul. Pada
penelitian ini, analisis TEM digunakan untuk mengamati dan mengukur diameter dari
selulosa nanokristal (NCC) yang diisolasi dari kulit rotan. Hasil karakterisasi
Transmission Electron Microscope (TEM) dari selulosa nanokristal (NCC) kulit rotan
yang diperoleh dengan metode hidrolisis asam sulfat dan proses ultrasonikasi dapat
dilihat pada Gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1 Analisis Karakterisasi Transmission Electron Microscope (TEM) dari
Selulosa Nanokristal (NCC) Kulit Rotan

Gambar di atas menunjukkan selulosa nanokristal (NCC) yang dihasilkan
berbentuk bulat, saling bertumpuk satu sama lain dengan ukuran rata-rata 10 – 100
nanometer.
Umumnya selulosa tersusun atas nanoserat selulosa yang bersatu dengan
hemiselulosa. Serat selulosa dan hemiselulosa dilindungi oleh lignin (lapisan luar)

36

Universitas Sumatera Utara

[44]. Oleh karena itu, beberapa proses diperlukan dalam penghilangan hemiselulosa
dan lignin untuk memperoleh selulosa nanokristal (NCC).
Delignifikasi merupakan tahap pertama yang dilakukan untuk menghilangkan
kandungan lignin dan hemiselulosa yang terdapat pada selulosa dengan menambahkan
bahan alkali seperti natrium hidroksida (NaOH) 2% [58]. Pada penelitian ini dilakukan
proses pemutihan sebanyak dua tahap. Natrium hipoklorit (NaOCl) 1,75% digunakan
pada tahap pemutihan pertama. Selulosa yang dihasilkan pada tahap ini berwarna
kuning pucat. Hal ini mengindikasikan bahwa lignin dan hemiselulosa masih terdapat
di didalam sampel selulosa.
Setelah pemutihan pertama selesai, selulosa dilanjutkan ke proses alkalisasi
menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) 17,5%. Proses ini bertujuan untuk
menghilangkan lignin dan hemiselulosa yang masih terperangkap di dalam selulosa
sehingga dihasilkan produk berupa alfa selulosa. Alfa selulosa merupakan selulosa
yang memiliki kandungan hemiselulosa dan lignin yang rendah [28].
Selanjutnya dilakukan tahap pemutihan yang kedua menggunakan larutan
hidrogen peroksida (H2O2) 10%. Pada tahap ini dihasilkan selulosa berwarna putih
yang mengindikasikan pengurangan kandungan lignin yang terdapat pada sampel alfa
selulosa sudah berkurang dan siap untuk dilanjutkan dengan proses hidrolisis.
Proses selanjutnya adalah proses hidrolisis menggunakan asam sulfat (H2SO4)
45% yang digunakan untuk menghidrolisis bagian amorf pada serat selulosa sehingga
serat terdegradasi menjadi pendek dan menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan
gula lain [45]. Reaksi hidrolisis selulosa dengan metode asam sulfat (H2SO4) dapat
dilihat pada Gambar 4.2 berikut:
Bagian Amorf

Selulosa
H2SO4

Monomer Selulosa

Gambar 4.2 Reaksi Hidrolisis Selulosa dengan Asam Sulfat (H2SO4)

37

Universitas Sumatera Utara

Proses sentrifugasi dilakukan setelah proses hidrolisis selesai. Pada proses
sentrifugasi dilakukan penambahan air untuk mencuci sampel selulosa yang bertujuan
untuk menetralkan dan mengendapkan selulosa setelah perlakuan hidrolisis. Proses ini
berlangsung selama 25 menit dengan kecepatan putaran 10.000 rpm. Setelah proses
sentrifugasi selesai, dilakukan proses ultrasonikasi yang bertujuan untuk memperkecil
ukuran dan penghilangan kotoran yang masih menempel pada serat selulosa [51].
Tahap terakhir yang dilakukan adalah tahap pemisahan menggunakan membran
dialisis yang bertujuan untuk mendapatkan bagian kristal selulosa.
Penghilangan lignin dan hemiselulosa dapat memudahkan proses isolasi
nanoserat selulosa. Penghilangan bahan non-selulosa, seperti lignin, diharapkan dapat
meningkatkan adhesi antara serat selulosa dan matriks film yang bersifat hidrofilik,
seperti pati [46].
Ukuran nanoserat selulosa biasanya dipengaruhi oleh perlakuan isolasi atau
ekstraksi nanoserat selulosa yang dilakukan. Serat yang masih mengandung lignin dan
hemiselulosa menunjukkan ukuran yang lebih besar, dibandingkan nanoserat selulosa
murni. Hemiselulosa juga dapat mencegah terjadinya agregasi nanoserat selulosa [47].
Fragmen kristal nanoserat selulosa dalam kondisi kering cenderung membentuk
agregat. Agregat terjadi akibat pembentukan ikatan hidrogen karena adanya gugus
hidrogen dan energi permukaan nanoserat selulosa yang tinggi [48].
Semakin kecil ukuran selulosa yang digunakan sebagai partikel pengisi, maka
peningkatan kontak permukaan akan semakin besar dan juga daya interaksi/adhesi
antara kedua bahan akan semakin besar pula sehingga sifat-sifat mekanik akan
semakin bagus [49].
Ukuran dan bentuk selulosa nanokristal (NCC) kulit rotan yang berbentuk bulat
dan saling bertumpuk satu sama lain disebabkan karakteristik yang unik dari selulosa
nanokristal (NCC) yang secara umum karena ukurannya sangat kecil dan luas
permukaannya sangat besar. Selain itu selulosa nanokristal (NCC) yang saling
bertumpuk satu sama lain disebabkan oleh gaya van der waals [50].

38

Universitas Sumatera Utara

4.1.2 Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Selulosa Nanokristal (NCC)
Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk menganalisis
kristalinitas dari selulosa nanokristal (NCC) kulit rotan yang diperoleh dengan metode
hidrolisis asam sulfat dan proses ultrasonikasi. Hasil dari pengujian kristalinitas
menggunakan XRD ditunjukan oleh Gambar 4.2 di bawah ini.
4000
3500
3000

Intensitas

2500
2000
1500
1000
500
0

0

10

20

30
40
50
60
70
2θ angel (deg)
Gambar 4.3 Hasil Spektrum XRD Selulosa nanokristal (NCC) dari Kulit Rotan

Dari gambar di atas, dapat diketahui puncak serapan dari spektrum yang
dihasilkan oleh sampel selulosa nanokristal adalah pada 2θ = 12o, 20o dan 22o. Pada
puncak serapan pada 2θ = 12o dan 20o menunjukkan struktur selulosa I, sedangkan
puncak serapan pada 2θ = 22o mengindikasikan bagian kristal dari selulosa. Dari
puncak serapan tersebut dapat ditentukan indeks kristalinitas dari selulosa nanokristal.
Penentuan indeks kristalinitas dari bahan selulosa dapat dihitung melalui metode
Segal, dengan persamaan di bawah ini [51]:

(4.1)

Persamaan 4.1 digunakan untuk menghitung indeks kristalinitas (crystallinity
index), dimana I002 merupakan intensitas maksimum dari difraksi pola 002 yang
merupakan representasi dari kedua zona yaitu zona kristal dan zona amorf sedangkan
IAM merupakan intensitas dari difraksi dalam unit yang sama pada 2θ=18o yang
merupakan representasi dari zona amorf [51, 52].

39

Universitas Sumatera Utara

Dari hasil perhitungan menggunakan Persamaan 4.1 (perhitungan dapat dilihat
pada Lampiran B) diperoleh indeks kristalinitas dari selulosa nanokristal (NCC) kulit
rotan yaitu sebesar 84,46%, diindikasikan oleh puncak serapan yang tajam (sharp
peak) dari spektrum yang dihasilkan pada sampel NCC.
Kristalinitas yang tinggi menunjukkan bahwa susunan rantai polimer dalam
bahan tersusun secara teratur atau bagian kristalinnya lebih sempurna [53].
Peningkatan kristalinitas ini disebabkan oleh penurunan komposisi serat yang bersifat
amorf akibat perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi diarahkan untuk menghilangkan
hemiselulosa, lignin, pektin, yang merupakan komponen serat yang berkontribusi
terhadap bagian amorf serat [54]. Bagian amorf lebih mudah terhidrolisis
dibandingkan dengan bagian kristalin, sehingga perlakuan hidrolisis menyebabkan
serat menjadi lebih kristalin [55]. Hidrolisis asam pada selulosa diharapkan dapat
melarutkan zona amorf pada kondisi yang digunakan dalam penelitian ini. Dimana,
ion hidronium akan menembus ke dalam daerah amorf dari selulosa, mengakibatkan
pemecahan hidrolitik ikatan glikosida dan pelepasan kristal tunggal [56].
Selulosa nanokristal (NCC) dari kulit rotan yang diperoleh memiliki index
kristalinitas yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan selulosa nanokristal (NCC)
maupun selulosa mikrokristal (MCC) dipasaran dengan beragam jenis dan
karakteristik yang berbeda, dimana index kristalinitas dari Selulosa nanokristal (NCC)
maupun selulosa mikrokristal (MCC) biasanya berada dikisaran 55-80% [57].

40

Universitas Sumatera Utara

4.1.3 Analisis Fourier Transform InfraRed (FTIR) Selulosa Nanokristal (NCC)
Karakterisasi Fourier Transform Infra Red (FTIR) selulosa nanokristal (NCC)
kulit rotan yang diperoleh dengan metode hidrolisis asam sulfat dan proses
ultrasonikasi dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada pada pengisi
selulosa nanokristal (NCC) dan dibandingkan dengan kulit rotan sebagai bahan baku
selulosa nanokristal (NCC). Karakterisasi FTIR dan daerah absorbansi gugus fungsi
dari bahan pengisi selulosa nanokristal (NCC) dan kulit rotan dapat dilihat pada
Gambar 4.4 dan Tabel 4.1 di bawah ini:

902

1053

1423

1724

80

70

30

898
1004

3348

40

1639

50

1472

60
2897

Transmisi (%)

90

1608

3402

100

2927

110

20
Selulosa Nanokristal Kulit Rotan

10

Kulit Rotan

0
4000

3500

3000
2500
2000
1500
-1
Bilangan Gelombang (cm )

1000

500

Gambar 4.4 Karakterisasi FT-IR Kulit Rotan dan Selulosa Nanokristal (NCC)
Tabel 4.1 Daerah Absorbansi Gugus Fungsi dari Kulit Rotan dan Selulosa
Nanokristal Kulit Rotan
Jenis Ikatan
Gugus O-H Stretching
Gugus C-H Stretching
Gugus O-H Bending
Gugus C-H Assymetric
Gugus C-O
Gugus C=O
Gugus C-H

Frekuensi
Bilangan
Gelombang
(cm-1)
3300-3500
2900
1600-1640
1400
1000-1300
1665-1760
900

41

Kulit Rotan
(cm-1)
3402
2927
1608
1423
1053
1724
902

Selulosa
Nanokristal
Kulit Rotan
(cm-1)
3348
2897
1639
1472
1004
898

Universitas Sumatera Utara

Gambar di atas menunjukkan karakteristik FTIR yang menunjukkan beberapa
puncak serapan (peak) kunci yang dapat mengindikasikan suatu gugus sebagai ciri
khusus dari sebuah senyawa. Pada hasil uji FTIR dengan sampel kulit rotan puncak
serapan yang diperoleh banyak memiliki kesamaan, dikarenakan selulosa nanokristal
(NCC) yang diperoleh merupakan hasil perlakuan kimia terhadap kulit rotan sehingga
gugus-gugus yang mengindikasikan keberadaan selulosa terdapat pada puncak serapan
dengan bilangan gelombang yang hampir sama.
Pada sampel kulit rotan yang digunakan terdapat beberapa puncak serapan yang
muncul yaitu 3402, 2927, 1724, 1608, 1423, 1053 dan 902 cm-1. Sedangkan pada
sampel selulosa nanokristal (NCC) puncak serapan yang muncul yaitu 3348, 2897,
2133, 1639, 1472, 1004 dan 898 cm-1. Puncak serapan besar pada bilangan gelombang
3402 cm-1 yang terdapat pada sampel kulit rotan dan 3348 cm-1 yang terdapat pada
sampel selulosa nanokristal (NCC) mengindikasikan keberadaan dari gugus O-H
(3300-3500 cm-1 merujuk pada O-H stretching) [58,51]. Semakin tajamnya puncak
serapan gugus O-H ini disebabkan dari gugus asam dan alkohol yang terdapat pada
serat selulosa nanokristal (NCC) [59].
Puncak serapan pada bilangan gelombang 2927 cm-1 dan 2897 cm-1 yang
terdapat pada sampel kulit rotan dan sampel selulosa nanokristal (NCC) dari kulit rotan
mengindikasikan keberadaan dari gugus C-H pada alkana (mendekati 2900 cm-1
merujuk pada C-H stretching). Gugus C-H stretching ini berasal dari gugus metil yang
terdapat pada rantai selulosa. Semakin tajamnya puncak serapan gugus C-H stretching
ini dipengaruhi oleh transformasi yang berkaitan dengan perubahan ikatan inter dan
intramolekul selulosa [60].
Puncak serapan pada bilangan gelombang 1724 cm-1 terdapat pada sampel kulit
rotan yang mengindikasikan keberadaan dari gugus C=O. Gugus C=O ini berasal dari
gugus karbonil pada hemiselulosa yang terdapat pada sampel kulit rotan [59].
Peregangan gugus C=O ini juga berasal dari gugus –OOOH yang terdapat di dalam
komponen ferulic dan p-coumaric yang terdapat pada lignin [61]. Sementara pada
sampel selulosa nanokristal (NCC) puncak serapan ini tidak terlihat, hal ini
mengindikasikan bahwa lignin dan hemiselulosa yang masih terdapat pada sampel
kulit rotan telah hilang akibat adanya proses kimia selama produksi selulosa
nanokristal (NCC) berlangsung.

42

Universitas Sumatera Utara

Puncak serapan pada bilangan gelombang 1608 cm-1 dan 1639 cm-1 yang
terdapat pada sampel kulit rotan dan sampel selulosa nanokristal (NCC) menyatakan
keberadaan gugus fungsi O-H bending (1600-1640 cm-1 merujuk pada O-H bending).
Semakin tajamnya puncak serapan gugus O-H bending yang terdapat pada selulosa
nanokristal (NCC) disebabkan penjerapan (adsorpsi) oleh air, dimana terjadi interaksi
yang kuat antara air yang teradsorpsi dengan gugus hidrofilik O-H yang terdapat pada
selulosa nanokristal (NCC) [51, 62]. Gugus fungsi O-H bending ini merupakan gugus
khas yang hanya dimiliki oleh selulosa dan tidak dimiliki oleh komponen penyusun
selulosa lainnya seperti hemiselulosa dan lignin. Dapat dilihat pada Gambar 4.4
puncak serapan terhadap gugus O-H bending ini lebih menonjol pada sampel selulosa
nanokristal (NCC) dibandingkan dengan kulit rotan.
Puncak serapan pada bilangan gelombang 1423 cm-1 dan 1472 cm-1 yang
terdapat pada sampel kulit rotan dan sampel selulosa nanokristal (NCC) menyatakan
keberadaan gugus fungsi C-H assymetric (mendekati 1400 cm-1 merujuk pada C-H
assymetric) dimana gugus ini mewakili sifat kristal dari selulosa. Semakin tajamnya
puncak serapan gugus C-H assymetric yang terdapat pada selulosa nanokristal (NCC)
dapat disimpulkan bahwa puncak ini lebih disebabkan oleh selulosa dibandingkan oleh
lignin [63] [51].
Puncak serapan pada bilangan gelombang 1053 cm-1 dan 1004 cm-1 yang
terdapat pada sampel kulit rotan dan selulosa nanokristal (NCC) dianggap berasal dari
getaran gugus cincin pyronose pada unit selulosa (1035-1170 cm-1 merujuk pada
cincin pyronose) dimana puncak serapan ini menandakan pengayaan serat selulosa.
Semakin tajamnya puncak serapan gugus C-O yang terdapat pada selulosa nanokristal
(NCC) semakin mengindikasikan terdapatnya cincin pyronese yang merupakan gugus
khas yang hanya dimiliki oleh unit selulosa dan tidak dimiliki oleh komponen lignin
dan hemiselulosa [62].
Puncak serapan pada bilangan gelombang 903 cm-1 dan 898 cm-1 yang terdapat
pada sampel kulit rotan dan sampel selulosa nanokristal (NCC) menandakan
keberadaan gugus C-H (mendekati 900 cm-1 merujuk pada gugus C-H), dimana gugus
ini juga mengindikasikan terdapatnya ikatan β-1,4-glikosida [58,64]. Selain itu,
semakin tajamnya puncak serapan gugus C-H yang terdapat pada selulosa nanokristal
(NCC) juga mengindikasikan gugus S-O-H dari kelompok H2SO4 yang merupakan

43

Universitas Sumatera Utara

kelompok fungsional sulfat yang menstabilkan suspensi selulosa nanokristal (NCC).
Puncak ini terlihat setelah proses hidrolisis asam berlangsung [65].

4.2

ANALISIS BIOKOMPOSIT

4.2.1 Analisis Scanning Electron Microscope (SEM)
Hasil analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) dari pati sagu, bioplastik
dan biokomposit ditunjukkan pada Gambar 4.5.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 4.5 Analisis Morfologi Permukaan (a) Pati Sagu (b) Bioplastik (c)
Biokomposit Dengan Penambahan Pengisi Selulosa Nanokristal (NCC) 1% dan
Asam Asetat 10% dan (d) Biokomposit Dengan Penambahan Pengisi Selulosa
Nanokristal (NCC) 3% dan Asam Asetat 30%

Hasil analisis scanning electron microscopy (SEM) pada Gambar 4.5 (a) yang
diperoleh dari hasil penelitian Fasihuddin, et.al (1999) terlihat morfologi granula dari
pati sagu yaitu berbentuk oval dengan ukuran rata-rata 20-40 μm [89]. Komponen
utama penyusun pati berupa amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi bentuk dan

44

Universitas Sumatera Utara

ukuran granula pati. Pati sagu memiliki kandungan amilosa dan amilopektin sebesar
28% dan 72%. Amilosa merupakan struktur amorf sedangkan amilopektin merupakan
struktur kristal yang dimiliki oleh pati. Kandungan amilopektin yang tinggi
mengindikasikan pati sagu memiliki sifat kristal yang tinggi sehingga menyebabkan
granula pati yang terbentuk saling terpisah satu sama lain [25,90].
Pada Gambar 4.5 (b) dapat dilihat morfologi bioplastik dengan penambahan
gliserol. Penambahan gliserol sebagai plasticizer menyebabkan penurunan daya tarik
inter dan intra molekul pati dan membentuk ikatan hidrogen yang lebih stabil antara
plasticizer dan pati sehingga granula pati saling menyatu satu sama lain [91].
Pada hasil analisa SEM biokomposit pati sagu dengan penambahan 1%
selulosa nanokristal (NCC) dan 10% asam asetat Gambar 4.5 (c) menunjukkan
permukaan matriks yang tidak halus dan rata. Hal ini disebabkan interaksi yang buruk
antara pati dan pengisi, dimana pengisi yang ada masih belum cukup untuk memenuhi
seluruh ruang matriks dari pati sagu. Sedangkan pada Gambar 4.5 (d) yang merupakan
biokomposit dengan penambahan 3% selulosa nanokristal (NCC) dan 30% asam
asetat, terlihat permukaan matriks yang lebih halus dan juga terlihat bahwa selulosa
nanokristal (NCC) telah terdisribusi secara seragam pada matriks pati sagu yang
menunjukkan telah terjadinya interaksi yang baik. Distribusi selulosa nanokristal
(NCC) yang seragam dikarenakan pengisi yang ada telah cukup untuk memenuhi
ruang-ruang matriks, sehingga meningkatkan interaksi ikatan hidrogen antara selulosa
dan pati [63].
Selulosa diketahui memiliki ketahanan terhadap asam lemah [92], sehingga
ketika asam asetat yang merupakan asam lemah ditambahkan kedalam campuran
biokomposit, selulosa tidak akan larut kedalam campuran pati, tetapi selulosa akan
terdistribusi pada matriks pati sagu. Pendistribusian ini dilakukan oleh asam asetat
dengan cara merusak struktur pati. Struktur pati yang rusak nantinya akan diserap oleh
gliserol, sehingga membuka jalan bagi asam asetat untuk meningkatkan interaksi
antara pati dan pengisi [66].

45

Universitas Sumatera Utara

4.2.2 Analisis Fourier Transform InfraRed (FTIR) Bioplastik Dan Biokomposit
Dengan Pengisi Selulosa Nanokristal (NCC) Dan Co-Plasticizer Asam
Asetat
Karakterisasi Fourier Transform Infra Red (FT-IR) pada bioplastik dan
biokomposit dengan penambahan asam asetat dan NCC dilakukan untuk
mengidentifikasi gugus fungsi yang ada pada masing-masing sampel. Dari analisa
gugus fungsi menggunakan FT-IR diperoleh hasil spektrum dalam bentuk grafik yang
dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut ini.

20

Biokomposit
Bioplastik tanpa Asam dan NCC
Biokompositdengan
dengan Asam
Asam Asetat
wt dan
Biokomposit
Asetat 30%
dan NCC
NCC 3% wt
3541

Transmisi (%)

15

1122

10

5
929
3537

0
4000

3500

1122

3000
2500
2000
1500
Bilangan Gelombang (cm-1)

1000

500

Gambar 4.6 Karakterisasi FT-IR Bioplastik dan Biokomposit dengan Asam Asetat
dan NCC

Tabel 4.2 Daerah Absorbansi Gugus Fungsi dari Bioplastik dan Biokomposit dengan
Asam Asetat dan NCC
Jenis Ikatan

Bioplastik
(cm-1)

Gugus O-H Stretching
Gugus C-O-H
Gugus C-O-C

3537
1122
929

46

Biokomposit
dengan Asam
Asetat dan
NCC (cm-1)
3541
1122
-

Universitas Sumatera Utara

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa spektrum bioplastik dan biokomposit
dengan penambahan asam asetat dan selulosa nanokristal (NCC) tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok, hal ini dikarenakan struktur yang hamper mirip antara
struktur pati dengan struktur selulosa.
Puncak serapan pada bilangan gelombang 3537 cm-1 dan 3541 cm-1 yang
terdapat pada bioplastik dan biokomposit dengan penambahan asam asetat dan
selulosa nanokristal (NCC) mengindikasikan keberadaan dari gugus O-H. Peningkatan
panjang gelombang atau puncak serapan yang menjadi sedikit lebih tajam pada ikatan
O-H disebabkan karena interaksi dari hidrogen ketika komponen pati dan selulosa
nanokristal dicampurkan pada proses pembuatan biokomposit, dimana ikatan hidrogen
terdiri dari ikatan antara rantai amilosa dengan amilosa, amilosa dengan amilopektin
dan amilosa dengan selulosa nanokristal dan amilopektin [67]. Selain gliserol,
penggunaan asam asetat sebagai bahan pendamping plasticizer (co-plasticizer) akan
membantu pendistribusian butiran pati dan pengisi. Pendistribusian ini dilakukan oleh
asam asetat dengan cara merusak struktur pati. Struktur pati yang rusak nantinya akan
diserap oleh gliserol, sehingga membuka jalan bagi asam asetat untuk meningkatkan
interaksi antara pati dan pengisi [66].
Puncak serapan pada bilangan gelombang 929 cm-1 dan 1122 cm-1 yang terdapat
pada biokomposit tanpa penambahan asam asetat dan selulosa nanokristal (NCC)
mengindikasikan kehadiran rantai percabangan amilopektin yaitu gugus α-1,6
glikosidik dan rantai linier heliks amilum yang mempunyai gugus α-1,4 glikosidik.
Kehadiran asam asetat menyebabkan putusnya rantai percabangan amilopektin yaitu
gugus α-1,6 glikosidik (929 cm-1) pada biokomposit dengan penambahan asam asetat
dan selulosa nanokristal (NCC) sehingga menyisakan rantai linier heliks amilum yang
mempunyai gugus α-1,4 glikosidik (1122 cm-1) [37].

47

Universitas Sumatera Utara

4.2.3 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam Asetat
Terhadap Densitas Biokomposit

Gambar 4.7 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan selulosa nanokristal
(NCC) dan asam asetat terhadap densitas biokomposit.

Gambar 4.7 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam
Asetat Terhadap Densitas Biokomposit

Dari gambar di atas terlihat bahwa penambahan selulosa nanokristal (NCC) dan
asam asetat terhadap densitas biokomposit diperoleh nilai densitas tertinggi adalah
sebesar 0,26 gram/cm3 yang diperoleh pada penambahan selulosa nanokristal (NCC)
3% dengan penambahan asam asetat 30%. Sedangkan nilai densitas terendah diperoleh
pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 1% dengan penambahan asam asetat
10% dengan nilai densitas sebesar 0,08 gram/cm3.
Dari Gambar 4.7 tersebut juga dapat dilihat dengan meningkatnya penambahan
selulosa nanokristal (NCC) maka nilai densitas yang diperoleh juga akan semakin
meningkat. Pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 3% biokomposit memiliki
nilai densitas tertinggi karena selulosa nanokristal (NCC) terdistribusi secara merata
sehingga meningkatkan keefektifan penguatannya dalam kerapatan struktur
biokomposit [49,70]. Sedangkan pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 4%

48

Universitas Sumatera Utara

nilai densitas biokomposit mengalami penurunan karena sebaran selulosa nanokristal
(NCC) yang tidak merata dan membentuk penggumpalan (agregat) sehingga
mengurangi keefektifan penguatannya dalam kerapatan struktur biokomposit [43,71].
Densitas optimum biokomposit ini juga didukung oleh hasil Scanning Electron
Microscope (SEM) yang sebelumnya disajikan pada gambar 4.5 dimana hasil
Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa biokomposit yang
dihasilkan memiliki kerapatan yang baik, dan komponen-komponen penyusun
biokomposit tersebut terlihat tercampur dengan cukup baik dan merata. Hal ini
mendukung kualitas biokomposit yang dihasilkan memiliki kerapatan atau densitas
yang cukup tinggi.
Dari Gambar 4.7 tersebut juga dapat dilihat semakin bertambahnya penambahan
asam asetat hingga 30% mengakibatkan meningkatnya densitas biokomposit. Pada
penambahan asam asetat 30% biokomposit memiliki nilai densitas yang tinggi karena
asam asetat dapat merusak struktur pati. Struktur pati yang rusak nantinya akan diserap
oleh gliserol, sehingga membuka jalan bagi asam asetat untuk meningkatkan interaksi
antara pati dan pengisi yang kemudian akan meningkatkan kerapatan dari biokomposit
yang dihasilkan [66,68]. Pada penambahan asam asetat 40% nilai densitas
biokomposit mengalami penurunan karena asam asetat akan melonggarkan ikatan
antar molekul dalam biokomposit sehingga mengurangi kekakuan struktur
biokomposit, sekaligus juga diduga dapat mengurangi rapat massa biokomposit [72].
Ilustrasi ikatan hidrogen yang terbentuk antara asam asetat dan selulosa nanokritsal
dapat dilihat pada gambar di bawah ini [69]:

Selulosa

Asam Asetat
Selulosa

Ikatan Hidrogen Antara Asam Asetat dan Selulosa
Gambar 4.8 Iustrasi Pembentukan Ikatan Hidrogen Antara Asam Asetat dan Selulosa
Nanokristal

49

Universitas Sumatera Utara

4.2.4 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam Asetat
Terhadap Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Biokomposit

Gambar 4.9 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan selulosa nanokristal
(NCC) dan asam asetat terhadap sifat kekuatan tarik (tensile strength) biokomposit.

Gambar 4.9 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam
Asetat Terhadap Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Biokomposit

Dari gambar di atas terlihat bahwa penambahan selulosa nanokristal (NCC) dan
asam asetat terhadap sifat kekuatan tarik biokomposit diperoleh nilai kekuatan tarik
tertinggi adalah sebesar 2,84 MPa yang diperoleh pada penambahan selulosa
nanokristal (NCC) 3% dengan penambahan asam asetat 30%. Sedangkan nilai
kekuatan tarik terendah diperoleh pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 1%
dengan penambahan asam asetat 10% dengan nilai kekuatan tarik sebesar 0,19 MPa.
Dari Gambar 4.9 tersebut juga dapat dilihat dengan meningkatnya penambahan
selulosa nanokristal (NCC) maka nilai kekuatan tarik yang diperoleh juga akan
semakin meningkat sampai penambahan selulosa nanokristal (NCC) 3%. Penambahan
pengisi (filler) berupa selulosa nanokristal (NCC) dapat memperbaiki dan
meningkatkan sifat mekanis pada film yang dihasilkan [73]. Selain penambahan
pengisi (filler), peningkatan sifat mekanis juga dipengaruhi pada ikatan adhesi antara
matriks dan serat [77]. Peningkatan sifat kuat tarik pada biokomposit dapat diyakini

50

Universitas Sumatera Utara

bahwa selulosa nanokristal (NCC) yang digunakan bersifat compatible sebagai pengisi
(filler) pada biokomposit berbahan dasar pati. Sifat compatible ini dikarenakan
kemiripan kimia antar selulosa dan juga pati yang mengakibatkan terjadinya interaksi
yang baik [78,79]. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis Scanning Electron
Microscope (SEM) pada Gambar 4.5 yang terdapat pada penambahan selulosa
nanokristal (NCC) 3% dengan penambahan asam asetat 30% yang menunjukkan
bahwa selulosa nanokristal (NCC) telah terdisribusi / terdispersi secara seragam pada
matriks pati sagu sehingga menunjukkan telah terjadinya ikatan antarmuka yang baik.
Nilai kekuatan tarik juga dipengaruhi oleh kerapatan massa suatu bahan, dimana
semakin rapat suatu bahan, maka nilai dari kekuatan tarik akan semakin meningkat.
Hal ini sesuai dengan penelitian Bilbao-Sainz, et.al (2016) yang menyatakan bahwa
kerapatan suatu bahan akan meningkatkan sifat fisik dan mekaniknya. Penelitian ini
menghasilkan sifat fisik berupa densitas yang meningkat dan nilai kekuatan mekanik
berupa kekuatan tarik yang meningkat seiring dengan menigkatnya kerapatan masssa
yang disebabkan penambahan selulosa nanokristal (NCC).
Namun, terdapat penurunan nilai kekuatan tarik pada penambahan selulosa
nanokristal (NCC) 4%. Penurunan nilai kekuatan tarik ini seperti dilaporkan oleh Cho,
et.al (2006) dan Roohani, et.al (2008) disebabkan karena selulosa nanokristal (NCC)
membentuk penggumpalan (agregat) dalam matriks film. Tegangan (stress) yang
disebabkan oleh penggumpalan (agregat) dalam matriks yang tidak dapat terdistribusi
secara seragam, sehingga memunculkan perpindahan tegangan (stress) yang kurang
seragam [74,75]. Siagian (2016) juga melaporkan bahwa massa pengisi selulosa yang
tinggi akan memperlambat interaksi antar molekul bioplastik pati dan menyebabkan
perkembangan struktur bioplastik menjadi heterogen dan hasil yang diskontinuitas.
Ketidakhomogenan selulosa dengan larutan pati memicu pembentukan agregat [76].
Sifat kuat tarik juga akan menurun apabila distribusi pengisi (filler) berupa
selulosa nanokristal (NCC) tidak merata dan pencampuran bahan yang tidak rata
maupun tidak padu antara matriks dan pengisi (filler) [43,71].
Dari Gambar 4.9 tersebut juga dapat dilihat dengan meningkatnya penambahan
asam asetat maka nilai kekuatan tarik yang diperoleh juga akan semakin meningkat.
Asam asetat bertindak sebagai co-plasticizer dengan cara memutus rantai amilopektin
yang terdapat pada pati, sehingga menghasilkan rantai linier amilosa yang akan

51

Universitas Sumatera Utara

memperbaiki sifat mekanik dari film pati. Dari hasil penelitian ini diperoleh
peningkatan nilai kekuatan tarik seiring dengan penambahan asam asetat hingga 30%.
Namun, pada penambahan asam asetat 40%, nilai kekuatan tarik menjadi menurun.
Apabila percabangan amilopektin telah habis, maka asam asetat justru akan memutus
rantai linier pada amilosa sehingga membentuk rantai amilum yang lebih pendek [37].
Hal inilah yang menyebabkan nilai kekuatan tarik menjadi menurun. Struktur amilosa
dan amilopektin yang terdapat pada pati dapat dilihat pada gambar di bawah ini [80]:

Amilopektin

Amilosa

Gambar 4.10 Struktur Amilosa dan Amilopektin yang Terdapat pada Pati

Selain dapat merusak rantai molekul pati yang bercabang menjadi struktur yang
lebih linier, penambahan asam asetat sebagai bahan pendamping plasticizer (coplasticizer) akan membantu pendistribusian butiran pati dan pengisi. Pendistribusian
ini dilakukan oleh asam asetat dengan cara merusak struktur pati. Struktur pati yang
rusak nantinya akan diserap oleh gliserol, sehingga membuka jalan bagi asam asetat
untuk meningkatkan interaksi antara pati dan pengisi sehingga meningkatkan kekuatan
tarik biokomposit yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.8 [66,69].
Peningkatan ikatan hidrogen didalam biokomposit dibuktikan oleh hasil analisis FTIR
dimana tedapat puncak serapan pada bilangan gelombang 3537 cm-1 dan 3541 cm-1
yang terdapat pada bioplastik dan biokomposit dengan penambahan asam asetat dan
selulosa nanokristal (NCC) yang mengindikasikan keberadaan dari gugus O-H.
Interaksi hidrogen menyebabkan peningkatan puncak serapan ketika komponen pati
dan selulosa nanokristal dicampurkan pada proses pembuatan biokomposit, dimana
ikatan hidrogen terdiri dari ikatan antara rantai amilosa dengan amilosa, amilosa
dengan amilopektin dan amilosa dengan selulosa nanokristal dan amilopektin [67].

52

Universitas Sumatera Utara

4.2.5 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam Asetat
Terhadap Pemanjangan Saat Putus (Elongation At Break) Biokomposit

Gambar 4.11 berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan selulosa
nanokristal (NCC) dan asam asetat terhadap pemanjangan saat putus (elongation at
break) biokomposit.

Gambar 4.11 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam
Asetat Terhadap Sifat Pemanjangan Saat Putus (Elongation at Break)
Biokomposit

Dari gambar di atas terlihat bahwa penambahan selulosa nanokristal (NCC) dan
asam asetat terhadap sifat pemanjangan saat putus (elongation at break) biokomposit
diperoleh nilai pemanjangan saat putus (elongation at break) tertinggi adalah sebesar
12,47% yang diperoleh pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 1% dengan
penambahan asam asetat 20%. Sedangkan nilai pemanjangan saat putus (elongation at
break) terendah diperoleh pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 3% dengan
penambahan asam asetat 30% dengan nilai pemanjangan saat putus (elongation at
break) sebesar 2,70%.
Dari Gambar 4.11 tersebut juga dapat dilihat dengan meningkatnya penambahan
selulosa nanokristal (NCC) maka nilai pemanjangan saat putus (elongation at break)
yang diperoleh juga akan semakin menurun. Penambahan pengisi (filler) berupa

53

Universitas Sumatera Utara

selulosa nanokristal (NCC) dapat meningkatkan sifat kuat tarik pada biokomposit yang
dihasilkan, namun disatu sisi dapat menurunkan sifat pemanjangan saat putus
(elongation at break) pada biokomposit yang dihasilkan [81]. Namun, terdapat
peningkatan sifat pemanjangan saat putus (elongation at Break) pada penambahan
selulosa nanokristal (NCC) 4%. Peningkatan sifat pemanjangan saat putus (elongation
at break) ini seperti dilaporkan oleh Melissa, et.al (2014) disebabkan
ketidakhomogenan selulosa dengan larutan pati yang memicu pembentukan
penggumpalan (agregat) yang dapat menurunkan sifat kekuatan tarik (tensile strength)
sehingga meningkatkan sifat pemanjangan saat putus (elongation at break) [63].
Interaksi antara selulosa nanokristal (NCC) dan pati mengakibatkan gerakan
rantai polimer menjadi lebih terbatas yang menyebabkan kemampuan pemanjangan
putus (elongation at break) pada biokomposit yang dihasilkan menjadi berkurang
[78,82]. Hal ini berdasarkan penelitian Kaushik, et. al (2010) yang menunjukkan
bahwa penambahan serat akan menurunkan persentase pemanjangan putus (elongation
at break) pada biokomposit [83]. Pengaruh serat juga dapat menurunkan sifat
pemanjangan saat putus (elongation at break), karena serat dapat mengurangi sifat
higroskopis pada biokomposit. Air dalam matriks film biasanya berperan sebagai
pemplastis. Interaksi antara rantai pati dan serat selulosa dapat mencegah terjadinya
interaksi antara rantai pati dan air, sehingga mengurangi sifat higroskopis film
berbahan dasar pati [81].
Dari Gambar 4.11 tersebut juga dapat dilihat dengan meningkatnya penambahan
asam asetat maka nilai pemanjangan saat putus (elongation at break) yang diperoleh
juga akan semakin meningkat. Asam asetat bertindak sebagai co-plasticizer dengan
cara memutus rantai amilopektin yang terdapat pada pati, sehingga menghasilkan
rantai linier amilosa yang akan memperbaiki sifat mekanik dari film pati. Namun, pada
penambahan asam asetat 30%, pemanjangan saat putus (elongation at break)
biokomposit menjadi menurun. Apabila percabangan amilopektin telah habis, maka
asam asetat justru akan memutus rantai linier pada amilosa sehingga membentuk rantai
heliks amilum yang lebih pendek [37]. Inilah yang mendukung penurunan nilai dari
pemanjangan saat putus (elongation at break).

54

Universitas Sumatera Utara

4.2.6 Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal (NCC) dan Asam Asetat
Terhadap Penyerapan Air (Water Uptake) Biokomposit

Gambar di bawah ini menunjukkan pengaruh penambahan selulosa nanokristal
(NCC) pada penambahan 10% asam asetat terhadap sifat penyerapan air biokomposit.

Penyerapan Air (%)

25

20
NCC 1%
NCC 2%
NCC 3%
NCC 4%

15
10
5
0
0

20

40

60
80
100
Waktu (menit)

120

140

Gambar 4.12 Pengaruh Waktu Terhadap Sifat Penyerapan Air Pada Asam Asetat
10%

Dari Gambar 4.12 dapat dilihat bahwa penambahan selulosa nanokristal (NCC)
pada asam asetat 10% diperoleh waktu konstan sifat penyerapan air yaitu pada menit
ke 140 dengan sifat penyerapan air yang diperoleh berada di antara 15,38% dan 9,37%.
Semakin meningkatnya penambahan selulosa nanokristal (NCC) maka sifat
penyerapan air (water uptake) biokomposit yang diperoleh akan semakin menurun.
Hal ini seperti dilaporkan oleh Zainuddin, et.al (2013) dimana penambahan pengisi
(filler) berupa selulosa nanokristal (NCC) dapat menurunkan penyerapan air, hal ini
dikarenakan selulosa nanokristal (NCC) membentuk suatu ikatan kuat yang dapat
mencegah pembengkakan pati dan juga penyerapan air (water uptake) [84]. Sedangkan
pada penambahan selulosa nanokristal (NCC) 4% sifat penyerapan air (water uptake)
biokomposit mengalami peningkatan karena selulosa nanokristal (NCC) yang semakin
bertumpuk dan masih terdapatnya zona amorf pada selulosa nanokristal (NCC)

55

Universitas Sumatera Utara

sehingga memudahkan air untuk berdifusi ke dalam biokomposit sehingga
meningkatkan sifat penyerapan air (water uptake) [85,86].
Selain pengaruh penambahan selulosa nanokristal, penambahan asam asetat
sebagai co-plasticizer juga mempengaruhi sifat penyerapan air biokomposit. Gambar
berikut ini menunjukkan pengaruh penambahan asam asetat pada penambahan 1%
selulosa nanokristal (NCC) terhadap sifat penyerapan air biokomposit.

Penyerapan Air (%)

Asam Asetat 40%
30

Asam Asetat 30%

25

Asam Asetat 20%
Asam Asetat 10%

20
15
10
5
0
0

20

40

60
80
100
Waktu (menit)

120

140

Gambar 4.13 Pengaruh Waktu Terhadap Sifat Penyerapan Air Pada Selulosa
Nanokristal (NCC) 1%

Dari Gambar 4.13 tersebut juga dapat dilihat bahwa setelah m

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 1 22

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp)

0 0 6

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan Co-Plasticizer Asam Sitrat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon Sp) Chapter III V

0 2 38

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 21

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 6

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 16

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 3 6

Pengaruh Penambahan Selulosa Nanokristal Dari Kulit Rotan Dengan Plasticizer Gliserol dan CO-Plasticizer Asam Asetat Dalam Pembuatan Biokomposit Berbahan Dasar Pati Sagu (Metroxylon sp)

0 0 18