Pemertahanan Leksikon Kelautan Dalam Bahasa Pesisir Sibolga Desa Pondok Batu Kecamatan Sarudik Kajian Ekolinguistik

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan diuraikan konsep, landasan teori, dan tinjauan pustaka
pada penelitian “Pemertahanan Leksikon Kelautan dalam Bahasa Pesisir Sibolga
Desa Pondok Batu Kecamatan Sarudik : Kajian Ekolinguistik”.
2.1 Konsep
Sebelum mengacu pada uraian teori yang digunakan dalam penelitian ini,
perlu dijelaskan konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk
dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep tersebut
diuraikan berikut ini.
2.1.1 Ekologi
Ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos (rumah atau tempat hidup)
dan logos (ilmu atau pelajaran ). Secara etimologis berarti ilmu tentang makhluk
hidup dan rumah tangganya.Dengan kata lain definisi dan Ekologi ialah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya
(Hannum, 2009:2).
Ekologi merupakan totalitas manusia dengan lingkungan yang berisikan
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Manusia dan
lingkungan adalah komponen yang secara teratur berinteraksi dan saling
tergantung memebentuk keseluruhan untuk menjamin kelangsungan hidup

keduanya.
2.1.2 Kelautan
Sebagai desa maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia,
dengan garis pantai lebih dari 81.000 km dari 67, 493 desa di Indonesia, kurang
lebih 9.261 desa dikategorikan sebagai desa pesisir (Kusnadi,2002,1).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu usaha yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia untuk
mensukseskan pembangunan dengan target pencapaian pertumbuhan ekonomi
yang tinggi adalah medornisasi di berbagai bidang perikanan. Salah satunya yaitu
baik yang menyangkut penggantian alat-alat penangkapan ikan dari yang
tradisional menjadi alat tangkap kan yang lebih modren. Secara khusus, tujuan
modernisasi alat tangkap perikanan juga sebagai upaya untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat nelayan. Jumlah nelayan Sibolga mencapai 8.562 pada
tahun 2001. Dari jumlah tersebut, 90 persen merupakan nelayan tetap dan
selebihnya adalah nelayan sambilan. Jenis ikan yang ditangkap adalah ikan
gembung, tuna, kakap, dan kerapu
2.1.3 Pemertahanan Bahasa
Konsep pemertahanan bahasa berawal dari pemahaman tentang kata

tersebut. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1375). dikemukakan
bahwa makna kata kebertahanan adalah ‘ihwal bertahan. Sedangkan makna kata
bertahan tetap pada tempatnya (kedudukan dan sebagainya). Konsep kebertahanan
diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mempertahankan.
Pemertahanan bahasa terkait dengan faktor-faktor sosial dan psikologis,
seperti kekuatan ikatan etnis, sistem nilai, pola permukiman, agama , sistem
kekeluargaan,jenis kelamin, dan ekonomi.
Pemertahanan bahasa adalah masyarakat tetap menggunakan bahasanya
secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah pemakaian
tradisional (Merti, 2010:9-10).
2.1.5 Bahasa dan Lingkungan
Bahasa dan lingkungan adalah dua hal yang saling berhubungan dan saling
memengaruhi.

Dalam

tulisannya

Language


Ecology

and

Environment,

Muhlhauser (dalam Surbakti, 2013) menyebut, ada empat yang memungkinkan
hubungan antara bahasa dan lingkungan yakini: (1) bahasa berdiri dan terbentuk
sendiri (Chomsky, Linguistik Kognitif) , (2) bahasa dikonstruksi alam (Marr), (3)
alam dikonstruksi bahasa dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alam

Universitas Sumatera Utara

keduanya saling mengontruksi, namun jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik).
Sapir (dalam Al- Gayoni(2012: 29) mengemukakan tiga bentuk dan lingkungan
yaitu :
a. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi
sebuah negara (baik pantai, lembah dan dataran tinggi, maupun
pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan.
b. Lingkungan ekonomis yaitu kebutuhan dasar manusia yang terdiri atas

flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.
c. Lingkungan sosial melingkupi berbagai kekuatan dalam masyarakat yang
membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat suatu sama lain. Namun,
yang paling penting dari keluatan sosial tersebut adalah agama, standar,
etika, bentuk organisasi politik danseni.
2.1.6 Leksikon
Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi
tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa, leksikon juga diartikan sebagai
kosakata, kekayaan yang dimiliki sebuah bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia
2008:805).
Leksikon adalah koleksi leksem pada suatu bahasa. Kajian terhadap
leksikon mencakup apa yang dimaksud dengan kata, strukturisasi kosakata,
penggunaan dan penyimpanan kata, pembelajaran kata, sejarah dan evolusi kata
(etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu
bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, leksikon dianggap sebagai sinonim kamus
atau kosakata. Sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu
”Leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata
dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan
fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan
kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.


Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Kata Benda (Nomina)
Chaer (2008:69) mengatakan nomina adalah kata-kata yang dapat diikuti
dengan frase yang.... atau yang sangat....... Misalnya kata-kata: (1) jalan (yang
bagus); (2) murid (yang rajin); (3) pemuda (yang sangat rajin). Ada tiga macam
kata benda,yaitu:
(a) Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga di depan kata benda
itu dapat diletakkan kata bantu bilangan.
(b) Kata benda yang jumlahnya tak terhitung.
(c) Kata benda yang menyatakan khas.

2.2 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekolinguistik.
Ekolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan
linguistik diawali pada tahun 1970-an menciptakan paradigma ‘ekologi bahasa’.
Dalam pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa
dan lingkungannya. Dalam konteks ini, menggunakan konsep lingkungan bahasa
secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna

bahasa, sebagai salah satu kode bahasa. Bahasa berada hanya dalam pikiran
penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila digunakan untuk
menghubungkan

antarpenutur,

dan

menghubungkan

penutur

dengan

lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun lingkungan alam. Dengan
demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang mempelajari,
menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang lain.
Ekolinguistik adalah studi hubungan timbal balik yang bersifat fungsional.
Dua parameter yang hendak dihubungkan adalah bahasa dan lingkungan. Hal ini
bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa

ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik.
Peneliti bidang ekolinguistik dapat juga membedah makna –makna sosialekologis di balik bahasa, khususnya leksikon, di atas konsep dan landasan teoretis
yaitui (1) bahasa yang hidup dan lingkungan itu menggambarkan, mewakili,
melukis (mereprentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan baik
lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya;

Universitas Sumatera Utara

(2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon. Pada tataran leksikon,
dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan
Bundsgaard; 10-11), antara lain:
1) Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya
ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi sehingga perlu
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul
istilah dan wacana ekspoitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis.
Jadi, ada upaya untuk tetap mempertahankan , mengembangkan, dan
membudidayakan jenis ikan dan tumbuhan produktif tertentu yang bernilai
ekonomi tinggi dan kuat.
2) Dimensi biologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan dikursus
sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa

merupakan wujud praktis sosial yang bermakna.
3) Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversitas (keanekaragaman)
biota danau (atau laut, maupun darat) secara berimbang dalam ekosistem,
serta dengan tingkat vitalis spesies dan adanya hidup yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara
leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu
tertandakan dan dipahami.

2.2.1 Ekolinguistik
Dalam lingkup kajian Ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan
untuk menggambarkan,mewakili,melukiskan (mempresentasikan secara simboliksimbolik) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan
buatan manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan
bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan
sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert dalam Mbete (2009:7) bahwa
perubahan bahasa mempresentasikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada
bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa
disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.
Ekolinguistik adalah ilmu pengetahuan antardisiplin yang merupakan
sebuah payung bagi semua penelitian bahasa dan bahasa-bahasa yang dikaitkan


Universitas Sumatera Utara

sedemikian rupa dengan ekologi. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Fill
(1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa ekolinguistik merupakan
sebuah payung bagi semua penelitian bagi bahasa yang ditautkan dengan ekologi.
Ekolinguistik ini pertama kali dikenalkan oleh Haugen dalam tulisannya
yang bertajuk Ecology Of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah
ekologi bahasa (Ecology Of Language) dari istilah lain yang bertalian dengan
kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya. Yang
mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan berbagai jenis ilmu sosial
lainnya dalam memahamio interaksi antar bahasa (Haugen dalam Al-Gayoni,
2012:2).
Haugen (1972 dalam Mbete 2009 11-12 ), menyatakan bahwa
ekolinguistik memiliki kaitan dengan 10 ruang kaji, yaitu:
(1) Linguistik historis komparatif
(2) Linguistik demografi
(3) Sosiolinguistik
(4) Dialinguistik
(5) Dialektologi
(6) Filologi

(7) Linguistik preskriptif
(8) Glotopolitik
(9) Etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural
linguistics)
(10) Tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan
Leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran
penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan (Mbete dan
Abdurahman 2009). Sehubungan dengan itu, penutur bahasa akan menggunakan
leksikon yang ada dalam konseptual mereka jika didukung dengan lingkungan
ragawi yang ada. Sebaliknya, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini
akan berubah jika adanya perubahan lingkungan ragawi. Perubahan itu terjadi
dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan menghilangnya atau
menyusutnya sejumlah leksikon bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan,
yang hanya terjadi perubahan.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka memuat hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh
peneliti sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

penelitian-penelitian tersebut menajadi sumber acuan dalam penelitian ini.
Surbakti (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Leksikon Ekologi
Kesungaian Lau Bingei : Kajian Ekolinguistik “, mengkaji leksikon terhadap
pemahaman dan nilai budaya ekoleksikon lau bingei bagi guyub tutur bahasa
karo. Teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik.
Untuk menganalisis leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei , nilai budaya, dan
kearifan lingkungan digunakan metode deskriftif kualitatif. Dari hasil analisis
diperoleh 14 kelompok leksikon dengan jumlah 409 leksiokon nomina dan 111
leksikon verba. Total leksikon terdiri atas 520 leksikon. Kemudian leksikon
tersebut diujikan kepada guyub tutur bahasa karo di 16 kelurahan dengan
menyodorkan 4 kategori pilihan kepada tiga generasi usia >46 tahun, 21-45 tahun,
15-20 tahun, maka diperoleh hasil pemahaman guyub tutur bahasa karo terhadap
leksikon nomina kategori A JP 12093 (30,79%) , BJP 14898(37,94 %), C JP
5251(13,39%) dan D JP 7018 (17,87%). Pemahaman guyub tutur terhadap
leksikon verba dengan kategori A JP 5465 (51,28%), B JP 2940(27,59%), C JP
1455 , (13,65%)dan D JP 796 (7,46%). Nilai budaya dan kearifan lingkungan
guyub tutur bhasa karo melalui leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei
mengandung nilai-nilai budaya yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan
keharmonisan, (4) nilai sosial dan budaya, (4) nilai kesejahteraan dan (5) nilai ciri
khas. Sedangkan, nilai kearifan lingkungan yang dapat digali melalui leksikon
ekologi kesungaian Lau Bingei adalah (1) nilai kedamaian, dan (2) nilai
kesejahteraan dan gotong royong. Penlitian oleh Surbakti tersebut menambah
informasi mengenai teori yang digunakan. Penelitian tersebut juga memberikan
kontribusi terhadap penelitian ini yaitu berkaitan dengan metode penelitian. Pada
teknik pengumpulan data, data yang diperoleh berasal dari dokumen tertulis ,
wawancara mendalam dan observasi partsipan. Wawancara yang dilakukan
menggunakan teknik catat dan rekam. Pada teknik analisis data , untuk menjawab
masalah pemahaman guyub tutur bahasa karo menggunakan metode kuantitatif,

Universitas Sumatera Utara

serta menggunakan rumus untuk mendapatkan jumlah persentase pemahaman
leksikn ekologi kesungaian Lau Bingei, sedangkan penelitian ini mengkaji
kosakata kelautan dalam bahasa pesisir sibolga.
Tangkas (2013) dalam tesisnya “ Khazanah Verbal Kepribadian Komunitas Tutur
Bahasa Kodi, Sumbar Baat Daya : Kajian Eklinguistk menggunakan teori
ekolinguistik dengan menerapkan model hierarki dialektikal, model referensial,
model matriks semantik, dan model dimensi logis untuk mengkaji bentuk
kebahasaan khazanah verbal kepribadian serta fungsi dan makna khazanah verbal
kepribadian. Khazanah verbal kepribadian terdiri atas satan-satuan lingual berupa
ekoleksikon dan ekowacana kepadian dengan menerpkan aspek semantik,
sntaksis, dan pragmatik. Ekoleksikon kepadian terdiri atas leksikon kepadian
tahap pratanam , dan leksikon kepadian tahap pascatanam. Aspek sintaksis pada
leksikon untuk mengetahui bentuk atau struktur satuan lingual dari sistem
pemarkah pada leksikon, sedangkan aspek semantik untuk menemukan inpor
sosial leksiokn yang dipengaruhi oleh semantik teks dan konteks, sedangkan
penelitian ini mengkaji kosakata kelautan dalam bahasa pesisir sibolga.
Simanjuntak (2014) dalam tesisnya “Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon
Flora Bahasa Pakpak Dairi” membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon
flora bahasa Pakpak Dairi di Desa Urug Gedag Kabupaten Dairi melalui
perspektif eklnguistik. Fokus penelitian ini adalah untuk mndeskripsikan leksikon
flora, pemahaman masyarakat terhadap leksikon flora, dan relasi semantis yang
terbentuk dari leksikon flora Bahasa Pakpak Dairi. Pengumpulan data leksikon
folra dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi, dan wawancara terhadap
beberapa orang infoman yang lahir dan tinggal di Desa Urug Gedag serta
berprofesi sebagai petani minimal 20 tahun.
Untuk mengetahui gambaran pemahaman masyarakat Urug Gedang
terhadap leksikon flora tersebut, maka data leksikon yang telah terkumpul
diujikan kepada 60 orang responden yang terbagi atas tiga kelompok usia yaitu 20
orang kelompok usia tua, 20 orang kelompok usia dewasa, dan 20 orang kelmpok
usia remaja. Pendekatan dan metode penelitian yang digunakan adalah perpaduan
kualitatif dan kuantitatif. Jumlah data yang dipeoleh dalam penelitian ini adalah

Universitas Sumatera Utara

sebanyak 200 leksikon flora yang terbagi atas lima kelompok yaitu : (1) 63
leksikon, (2) 53 leksikon rambah , (3) 36 leksikon suanen, (4) 23 leksikon buah,
dan (5) 25 leksikon rorohen. Seluruh data leksikon diujikan kepada 60 orang
responden untuk mengetahui bagaimana gambaran pemahaman mereka terhadap
leksikon flora Bahasa Pakpak Dairi, sedangkan penelitian ini mengkaji kosakata
kelautan dalam bahasa pesisir sibolga.
Dari hasil pengujian data ditemukan penyusutan pada semua
kelompok leksikon. Kelompok leksikon paling rendah dalam pemahaman remaja
adalah kelompok leksikon kayu dan rambah. Relasi semantis yang terbentuk dari
data leksikon Bahasa Pakpak Dairi adalah antonim , homonim, homgaf, hiponim,
dan meronim. Penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak tersebut memberikan
kontribusi bagi penelitian ini, yaitu mengeni teori dan metode penelitian yang
digunakan , terutama pada teknik analisis data. Untuk menjawab permasalahan
pemahaman leksikon flora tesebut dengan penelitian ini terletak pada objek yang
dikaji . penelitian tersebut mengkaji perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora
daalam bahasa Pakpak Dairi, sedangkan penelitian ini mengkaji tentang leksikon
kelautan dalam bahasa Pesisir Sibolga.
Kesuma (2015) dalam tesisnya “Keterancaman Leksikon Ekoagraris
dalam Bahasa Angkola/Mandailing : Kajian Ekolinguistik, mendeskipskan
keberadaan leksikon agraris yang masih digunakan oleh masyarakat diAngkola
Mandailing dan nilai budaya dan kearifan lingkungan yang terkandung dalam
leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi. Penelitian ini menggunkan
metode deskriftif kualitatif dan kuantitatif. Data yang digunakan diambil dengan
teknik wawancara, observasi,penyebaran koesioner, dan memanfaatkan literatur
yang sudah ada. Data penelitian ini adalah leksikon verba, nomina, adjectiva yang
berhubungan dengan leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan
Sayurmatinggi.
Hasil penelitian ini adalah 11 kelompok leksikon yaitu (1) lekskon bagian
sawah , (2) leksikon benda –benda persawahan dan perladangan, (3) leksikon
peralatan hasil panen, (4) leksikon alur beras dan palawijaya, (5) leksikon alat
dan mesin pertanian, (6) leksikon tumbuhan sawah dan sekitar sawah, (7) leksikon

Universitas Sumatera Utara

tanaman ladang , (8) leksikon nama tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang,
(9) lekskon fauna dalam persawahan dan perladangan, (10) leksikon alat
penangkap ikan , (11) leksikon alat penangkap burung. Dari sebelas kelompok
leksikon tersebut diperoleh 315 leksikon nomina , leksikon verba terdiri atas 66
leksikon , dan leksikon adjektiva terdiri atas 13 leksikon, total leksikon yang
ditemukan dalam persawahan dan perladangan diperoleh hanya dari dua jenis
leksikon dalam tataran nomina dan verba sedangkan penelitian ini mengkaji
kosakata kelautan dalam bahasa pesisir sibolga.
Rizkyansyah (2015) dalam skripsinya “Leksikon Nomina dan Verba
Bahasa Jawa dalam Lingkungan Persawahan di Tanjung Morawa: Kajian
Ekolinguistik “ mendeskripsikan leksikon nomina dan verba bahasa Jawa dalam
lingkungan persawahan di Tanjung Morawa dan gambaran pemahaman
masyarakat terhadap leksikon nomina dan verba dalam lingkungan persawahan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriftif kualitatif dan kuantitatif. Data yang
digunakan untuk diambil dengan teknik wawancara, observasi, dan penyebaran
kuesioner. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon persawahan dalam
bahasa Jawa di Tanjung Morawa terdiri atas 11 kelompok leksikon yaitu (1)
leksikon bagian sawah, (2) leksikon benda-benda persawahan dan perladangan,
(3) leksikokn peralatan produksi hasil panen, (4) leksikon alur beras dan palawija,
(5) leksikon alat dan mesin pertanian, (6) leksikn tumbuhan, (7) leksikon tanaman
ladang, (8) leksikon nama tumbuhan bat disekitar sawah dan ladang, (9) leksikon
fauna dalam persawahan dan perladangan, (10) leksikon alat penangkap ikan ,
(11) leksikon alat penangkap burung. Dari sebelas kelompok leksikon tersebut
diperoleh 222 leksikon nomina dan leksikon verba terdir atas 36 leksikon dan total
leksikon yang ditemukan dalam persawahan dan perladangan di Tanjung Mrawa
258 leksikon. Penelitian tersebut memliki persamaan dan perbedaan dari
penelitian ini. Persamannya terletak pada teori yang digunakan yaitu sama-sama
menggunkan teori ekolinguistik, serta sama-sama menggunakan metode kualitatif
dan kuantitatif. Perbedaannya terletak pada bahasa dan tempat yang menjadi fokus
dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan Rizkyansyah mengkaji leksikon
dalam bahasa Jawa di Tanjung Morawa, sedangkan penelitian ini mengkaji
kosakata kelautan dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Universitas Sumatera Utara