Sepuluh Dua Jabu (Studi Deskriptif Mengenai Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu Dan Kehidupan Penghuninya Di Desa Beganding, Kebupaten Karo)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kekayaan Indonesia tidak hanya sumber daya alamnya saja, tapi juga
beragam budaya dimiliki Negara Indonesia, termasuk alat musik tradisional,
pakaian adat, dan juga rumah tradisional yang berbeda-beda bentuk dan ciri khas
di setiap suku yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jika dilihat sekilas,
rumah adat memang terlihat sangat sederhana dan alami. Namun, kenyataannya
rumah adat tersebut sangat layak huni dan bahkan ramah lingkungan. Namun,
sangat disesalkan bahwa saat ini sebagian besar rumah adat di seluruh Indonesia
hanya berfungsi sebagai pajangan saja. Arus modernisasi dan juga efisiensi waktu
membuat banyak masyarakat yang lebih memilih untuk membangun rumah yang
bergaya modern. Dampaknya adalah rumah adat tradisional saat ini sudah
diambang kepunahan dan hilang dari bumi pertiwi.
Pokok permasalahan dari terancam punahnya rumah adat yaitu sedikitnya
para ahli di bidang pembuatan rumah adat pada saat ini. Masyarakat saat ini lebih
menyukai rumah bergaya modern yang terlihat lebih menjanjikan dibandingkan
dengan rumah adat yang menjadi identitas suku bangsanya sendiri. Sungguh amat
disayangkan, ketika harta berupa pengetahuan mengenai pembuatan rumah
tradisional yang sangat berharga di negeri ini lenyap begitu saja.


Universitas Sumatera Utara

Salah satu diantara sekian banyaknya rumah adat yang terancam punah
tersebut adalah rumah adat Karo yang ada di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera
Utara. Rumah adat Karo yang biasa dikenal adalah rumah adat Siwalu Jabu.
Siwalu dalam bahasa Indonesia berarti delapan, dan Jabu berarti keluarga,
sehingga arti dari Siwalu Jabu adalah rumah yang ditempai 8 keluarga. Bagi
setiap orang yang penasaran dengan rumah adat Karo Siwalu Jabu, bisa
mengunjungi Desa Lingga di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Rumah
ini masih terjaga keasliannya sejak pertama kali dibuat ratusan tahun yang lalu.
Walaupun terlihat sederhana, namun kekuatannya bahkan dapat mengalahkan
bangunan-bangunan modern.
Dalam perjalanan sejarah penyebutan rumah adat Karo didasarkan pada
seberapa banyak keluarga (jabu) yang menempati rumah tersebut. Salah satu
penyebutan rumah adat Karo selain Siwaluh Jabu adalah Sepuluh Dua Jabu
(rumah yang ditempati 12 keluarga). Pada penelitian ini, peneliti ingin
mendeskripsikan mengenai rumah Karo yang ditinggali oleh 12 keluarga atau
rumah adat Sepuluh Dua Jabu. Secara umum Rumah Adat Karo Sepuluh Dua
Jabu ini diartikan hampir sama bentuknya seperti rumah adat Siwaluh Jabu

dimana merupakan sebuah bangunan rumah besar yang terbuat dari bahan kayu
dengan rancang desain spesifik tanpa paku besi, yang di dalamnya terdiri atas 12
(Sepuluh Dua) bagian dan setiap bagian dihuni masing-masing satu kepala
keluarga (jabu) yang mempunyai kedudukan dan fungsi berbeda dalam kaitan
sistem kekerabatan suku Karo. Dewasa ini Rumah Adat Karo Sepuluh Dua Jabu
yang merupakan warisan budaya generasi sebelumnya, banyak dikunjungi oleh
para wisatawan, apakah itu sekedar melihatnya sebagai obyek wisata di Desa

Universitas Sumatera Utara

Beganding maupun sebagai obyek penelitian bagi para arsitektur karena
keunikannya.
Secara sederhana peneliti dapat menggambarkan sedikit mengenai rumah
adat Sepuluh dua Jabu ini, dimana rumah tersebut berbentuk panggung.
Tingginya sekitar dua meter dari permukaan tanah. Pada dinding bawah rumah
terukir motif-motif tradisional yang merupakan kombinasi dari lima warna khas
daerah itu, yaitu merah, putih, hitam, hijau dan kuning atau biasa disebut oleh
masyarakat yang bermukim di situ sebagai warna emas-emas. Teras rumah itu
dibuat dari susunan-susunan bambu yang disusun rapi. Untuk menaikinya dari
arah depan, di sana terdapat sebuah tangga kayu yang terdiri dari tiga anak tangga,

sementara dari arah belakang ada lima anak tangga. Ruangan masuk ke dalam
rumah tersebut cenderung condong ke arah dalam dan tidak memiliki pintu.
Ketika baru memasukinya, pandangan mata akan tertuju pada lima buah
para atau tungku api tempat penghuninya memasak. Di atas jejeran batu yang
dijadikan tungku itu terdapat tempat untuk menyimpan kayu bakar. Dua belas
pembatas tersedia di dalam rumah itu untuk membatasi tempat masing-masing
kepala keluarga. Di atapnya terdapat dua potong kayu yang memanjang dan dua
potong kayu yang melebar sebagai penyangga rumah. Di ujung kenjahe atau arah
barat dipasang kepala kerbau jantan dan di kenjuru-nya atau arah timur rumah itu
dipasang kepala kerbau betina.
Rumah itu terbuat dari bermacam-macam kayu yang kuat dan kokoh,
namun ada tiga jenis kayu yang menjadi syarat wajib dan harus ada dalam sebuah
rumah. Jika syarat tiga jenis kayu itu sudah terpenuhi, maka kayu-kayu jenis lain

Universitas Sumatera Utara

bisa dipakai dengan leluasa untuk dijadikan material fondasi atau kontruksi
rumah. Tiga jenis kayu tersebut adalah ndarasi, ambertuah dan sibernaek.
Ndarasi merupakan jenis kayu yang berfungsi agar keluarga dalam rumah tersebut
bisa hidup serasi, ambertuah digunakan agar mereka dapat tuah atau keturunan

dan sibernaek agar mereka mendapatkan rezeki yang banyak terutama dalam hal
bercocok tanam sebagai mata pencaharian sehari-hari penduduk di tempat itu.
Sepuluh Dua Jabu, begitulah nama rumah adat yang ada di Desa
Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Sepuluh Dua Jabu bermakna “rumah dua belas keluarga” jika diartikan secara
harfiah. Maksudnya rumah tersebut terdiri dari dua belas keluarga yang
menempatinya. Satu keluarga menempati satu kamar. Namun, kini rumah tersebut
sudah ditinggalkan oleh para penghuninya. Hanya tinggal satu keluarga saja yang
masih bertahan. Itupun karena tugas keluarga itu untuk menjaga kebersihan
rumah. Mereka dibayar Rp. 500 ribu per bulan oleh Dinas Pariwisata Kota Karo.
Rumah Adat Karo akhir-akhir ini masuk dalam kategori 5 rumah adat
yang terancam punah. Rumah-rumah adat tersebut juga tak bisa dipandang
sebelah mata hanya karena tampilannya yang sederhana, kenyataanya rumah
tersebut sangat layak untuk dihuni dan berfungsi dengan baik. Tapi sayang,
gerusan bangunan modern seakan menjadi ancaman bagi keberadaan rumah
tradisional. Beberapa rumah adat bahkan sudah sulit ditemui dan nyaris punah, 5
rumah adat berikut ini contohnya.

Universitas Sumatera Utara


1. Rumah Adat Bumbungan Lima
Permasalahan utama penyebab rumah adat terancam punah adalah
semakin sedikitnya para ahli yang bisa membuat rumah tradisional, karena
memang masyarakat saat ini jauh lebih menyukai rumah bergaya modern,
daripada rumah khas yang menjadi identitas suku bangsanya sendiri. Nasib seperti
ini juga dialami oleh rumah tua bubungan lima yang menjadi identitas Bengkulu,
yang unik dari rumah ini adalah Anda akan menemukan doa-doa adat yang terukir
di tiang rumah ini untuk mendoakan penghuninya. Saat ini jumlah rumah ini bisa
dihitung dengan jari, salah satunya adalah rumah Ibu Fatmawati Sukarno.
2. Rumah Panggung Jambi
Kata siapa Indonesia tidak punya kota istana seperti yang ada di China?
Pada zaman dahulu saat kerajaan melayu Jambi berjaya, Anda akan menemukan
sebuah bangunan kota yang terstruktur dengan baik. Salah satu yang mengisi kota
ini adalah rumah panggung jambi yang sangat khas. Rumah ini berbentuk
panggung persegi panjang 12 meter x 9 meter dengan 30 tiang penyangga. Anda
akan menemukan rumah seperti ini di kampung Lamo, Suku Bathin di Rantau
Panjang. Mereka masih mempertahankan adat istiadat budayanya termasuk juga
rumah tradisional.
3. Rumah Adat Mamasa
Kunjungilah kabupaten Mamasa dan Anda akan menemukan suatu

keunikan, yaitu rumah tradisionalnya yang nyaman. Sama dengan rumah adat
lainnya di negeri ini, keberadaannya kini juga sulit ditemui. Hanya orang-orang
pedalaman yang masih bertahan menggunakan rumah Mamasa. Bentuknya

Universitas Sumatera Utara

hampir mirip dengan rumah adat Toraja. Bangunan ini terdiri dari empat jenis
sesuai dengan status sosial penghuninya, yang paling tinggi adalah Banua layuk
yang dihuni oleh ketua adat hingga yang paling rendah dihuni oleh masyarakat
biasa.
4. Rumah Adat Karo
Sangat disayangkan sekali apabila harta berharga negeri ini yang berupa
rumah-rumah adat dan benda-benda tradisonal malah berakhir di museum, karena
telah punah dan tak ada yang menggunakannya lagi. Rumah adat karo di Sumatra
Utara ini contohnya. Justru keberadaan rumah adat seperti ini malah dijadikan
tujuan

wisata menarik,

Anda akan menemukan rumah karo di desa


Lingga,Kabupaten Karo. Rumah yang ada disini terjaga keaslianya sejak ratusan
tahun yang lalu dan masih berdiri kokoh. Ini adalah bukti bahwa rumah adat yang
terlihat sederhana, juga tak kalah kuat dengan bangunan dari batu bata dan semen
5. Rumah Adat Kudus
Mempertahankan

sebuah

rumah

adat

tradisional

ditengah-tengah

gempuran bangunan modern seperti mall dan ruko seakan-akan hal yang mustahil
dilakukan, apalagi di pulau Jawa ini. Hampir setiap suku di Jawa memiliki rumah
khasnya masing-masing. Mulai dari Banten, hingga Jawa Timur, termasuk juga

Kudus. Bahkan rumah adat dalam jumlah kecil yang sudah dijadikan cagar
budaya oleh pemerintah setempat, malah beralih fungsi dan dipindah tangankan
karena alasan ekonomi. Dari yang semula berjumlah 68 kini berkurang menjadi
64, sungguh miris sekali.

Universitas Sumatera Utara

Kembali lagi membahas mengenai rumah adat Karo. Penghuni lain sudah
banyak yang membangun rumah sendiri. Seperti yang dituturkan Brema Pranata
Tarigan seorang anak laki-laki yang sempat peneliti wawancarai pada saat pra
observasi di lokasi penelitian. Bocah kelas 6 Sekolah Dasar (SD) itu mengatakan
bahwa keluarga-keluarga yang sebelumnya menempati rumah itu satu-persatu
mulai keluar dan memilih untuk tinggal serumah hanya dengan keluarga sendiri.
“Di sini tak ada lagi orang, semuanya sudah pindah,” ujar Brema dengan polos.
Brema merupakan keluarga terakhir yang menjadi penghuni rumah itu. Ia
tinggal bersama seorang adik, ibu dan ayahnya yang bekerja menjaga dan
membersihkan rumah serta pekarangannya. Kadang-kadang ada juga turis yang
berkunjung ke sana dan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan dalam
kotak sumbangan kebersihan yang ada di dalam rumah. “Ada yang kasih (uang)
seratus, dua atau tiga ratus ribu untuk duit kebersihan,” tutur Brema.

Sekitar tahun 1970-an, tercatat ada 28 unit rumah adat di Desa Beganding
dan Desa Lingga. Rumah-rumah itu ada yang sudah berusia empat, tiga dan dua
abad. Namun sudah banyak yang roboh dan hancur karena tidak terawat dan
ditinggal penghuninya. Sekarang hanya tersisa empat rumah. Akibat gempa bumi
yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua di antaranya roboh dan tak bisa
ditempati lagi. Jadi rumah yang masih utuh saat ini hanya tersisa dua. “Kini hanya
tinggal dua (rumah), dua lagi roboh karena gempa,” kata ibu Hanita Ginting (51
tahun), salah seorang tetua di Desa Beganding yang kini memilih hidup mandiri
dengan keluarganya.

Universitas Sumatera Utara

Ibu Hanita baru sekitar lima bulan lalu meninggalkan rumah adat tersebut.
Dulu ia tinggal di Sepuluh Dua Jabu atau rumah dua belas, yaitu rumah tempat
tinggal raja yang terdiri dari dua belas keluarga. Ia merupakan generasi ketujuh
dari seorang raja yang bernama Uroeng. Ia beralasan bahwa keluarganya memilih
untuk meninggalkan rumah Sepuluh Dua Jabu karena zaman sekarang orangorang sudah modern dan mulai mengenal privasi dan kebebasan berekspresi.
“. . . Kalau dulu ‘kan orang masih mau mengikuti aturan adat yang
berlaku, tapi sekarang sudah maju. Sudah modern. Kalau (tinggal)
di rumah itu ‘kan serba tertutup. Kita nggak bisa ngomong

sembarangan. Orang juga butuh privasi . . .”
tuturnya dengan Bahasa Indonesia yang lancar. Kebanyakan masyarakat
Desa Beganding tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.
“. . . Sekarang di kampung (Beganding) ini sudah masuk listrik.
Sudah ada lampu, tivi, radio dan peralatan canggih lainnya. Jadi
kalau mau hidupin tivi di rumah (adat) itu ‘kan nggak mungkin,
bisa mengganggu keluarga lain. Makanya kami pindah dan
membangun rumah baru . . .”
kata Hanita yang kemudian menyeruput segelas tuak panas yang terhidang
di hadapannya.
Kini semakin banyak bekas penghuni rumah adat di Desa Beganding yang
membangun rumah baru. Perlahan-lahan, penghuni rumat adat itu kian berkurang.
Apalagi sekarang hanya tersisa dua rumah adat saja. Maka tak lama lagi eksistensi
rumah ada tersebut akan punah. Hanita memahami realitas tersebut dan
membuatnya khawatir. Namun bagaimanapun nasibnya rumat adat itu nanti, hal
itu kembali berpulang ke kebijakan masyarakat Desa Beganding sendiri. Seperti
sekarang, yang tersisa hanya penjaga dan tukang bersih rumah adatnya saja,

Universitas Sumatera Utara


sementara rumah adat itu sendiri sudah lebih cenderung terlihat sebagai museum
daripada rumah adat yang pernah menjadi bukti sejarah peradaban masyarakat
Desa Beganding.
Berdasarkan kekhawatiran tersebut maka peneliti merasa sangat perlu
untuk mengngkat topik pembahasan ini ke dalam bentuk tulisan yang berdasarkan
penelitian lapangan. Sudah lama metode etnografi digunakan untuk menyimpan
dan menyelamatkan sisa-sisa kebudayaan masyarakat di banyak Negara.
1.2.Tinjauan Pustaka
Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187).
Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua, wujud
kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat.
Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera
penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan
banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak
bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap
gagasan ini disebut sistem.
Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia
adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang
berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan
adat istiadat (Koentjaraningrat 1979: 187).
Wujud

kebudayaan

yang

kedua

disebut

dengan

sistem

sosial

(Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai

Universitas Sumatera Utara

keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang
berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan
membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem
sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat
pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.
Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik
(Koentjaraningrat, 1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena
merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau
perbuatan manusia dalam masyarakat. Pada wujud kebudayaan ini lah manusia
menciptakan hasil karya berbagai macam jenis dan fungsi, salah satunya adalah
pembuatan rumah adat tradisional yang telah diwariskan sejak berabad-abad
seperti rumah adat Sepuluh Dua Jabu di Kabupaten Karo.
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman dan kekayaan
budaya, beraneka ragam bahasa dan suku dari Sabang sampai Marauke sehingga
Indonesia memiliki banyak koleksi rumah adat. Hingga saat ini masih banyak
suku dan daerah- daerah di Indonesia yang masih mempertahakan rumah adat
sebagai usaha untuk memelihara nilai-nilai budaya yang kian tergeser oleh budaya
modernsasi. Bangunan-bangunan bersejarah yang ada di tanah Karo sangat
penting untuk dilestarikan dan diketahui jenis-jenisnya, karena dengan adanya
bangunan-bangunan tersebut dapat kita lihat perkembangan desain arsitektur
modern di Indonesia berdasarkan perjalanan sejarah di Kabupaten Karo.

Universitas Sumatera Utara

Kampung pada masyarakat Karo disebut juga kuta atau huta (dalam
bahasa Toba). Kuta (bahasa Karo) biasanya lebih besar dari huta dan terdiri dari
penduduk yang berasal dari beberapa klen atau marga-marga yang berbeda. Setiap
kuta atau huta itu dahulu dikelilingi oleh satu parit yaitu dinding tanah yang tinggi
dan rumpun-rumpun bambu yang tumbuh rapat. Kegunaan dari hal-hal tersebut
adalah sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan musuh dari kuta klen yang
lain (Koentjaraningrat, 2004 : 98). Kebudayaan suku Karo merupakan salah satu
unsur dalam pembentukan kebudayaan nasional yang harus dirawat dan
dilestarikan keberadaannya, sehingga sedapat mungkin terhrindar dari kepunahan,
sejalan dengan itu ciri khas daerah berupa tradisi dan budaya sangat berperan
dalam pengembangan daerah tersebut.
Arsitektur merupakan penandaan yang memberikan identitas bagi sebuah
tempat. Arsitektur memiliki peran yang signifikan bagi kelanjutan sejarah dalam
memori generasi yang berikutnya, kecuali sebuah Bangsa atau Negara telah
kehilangan penghargaanya terhadap sejarah, arsitektur dari masa lalu semestinya
tetap dapat memberikan perjalanan berharga bagi bangsa dikemudian hari kelak.
Menurut Pont (dikutip dari Kusno 2000 : 40) menyatakan bahwa :
“. . . Arsitektur adalah lingkungan yang diciptakan manusia
untuk dirinya dari alam, untuk menciptakan kondisi yang
memungkinkan sikapnya pada kehidupan, untuk menghasilkan
suasana yang diinginkan dan memenuhi kebutuhan status.
Arsitektur hadir sebagai salah satu unsur pembentuk
sejarah.Meskipun banyak yang bukan merupakan hasil karya
bangsa sendiri, peninggalan bersejarah tersebut memiliki nilai
arsitektur yang tinggi dan menyimpan nilai historis yang luhur . . .”

Universitas Sumatera Utara

Bentuk dan arsitektur rumah adat di Indonesia masing-masing daerah
memiliki bentuk dan arsitektur berbeda sesuai dengan adat setempat misalnya:
Bali, Jawa, Minang, dan Batak. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran
yang indah. Pada zaman dulu rumah adat yang paling indah dimiliki keluarga
kerajaan atau ketua adat setempat, menggunakan kayu pilihan dan pengerjaannya
dilakukan secara tradisional. Banyak rumah adat yang saat ini berdiri kokoh dan
sengaja dipertahanan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.
Pada zaman dahulu rumah di perkampungan Karo pada umumnya
mempunyai pola mengelompok dan pengelompokan tersebut berada pada satu
bidang tanah tertentu, akan tetapi pengelompokan tersebut dibagi juga menjadi
beberapa sektor atau Kesain (halaman kampung yang diketuai oleh seorang
penghulu (Sitanggang, 1991 : 5).
Sebuah Kesain (kepenghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa
bangunan tradisional (Sitanggang, dalam Ginting 2010:2), yakni rumah adat
Sepuluh Dua Jabu sebagai tempat tinggal, rumah adat Karo terkenal dengan nama
rumah Sepuluh Dua Jabu yang berarti “rumah yang didiami oleh dua belas
keluarga” (Tarigan,1990 : 1), dari beberapa buah rumah adat, Jambur, Geriten,
dan Lesung, ada juga Jambur dan Geriten, dimana Jambur berfungsi sebagai
tempat musyawarah adat, sedangkan Geriten berfungsi sebagai tempat tulangtulang manusia yang telah meninggal.
Kehidupan manusia tidak lepas dari kebutuhan pokok atau makanan
sehari-hari, Sapo Page pada masyarakat Karo zaman dahulu digunakan sebagai
tempat atau wadah untuk menyimpan hasil pertanian khususnya padi, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

Lesung untuk mengolah padi menjadi beras (Ginting, 1994 : 12-14). Kelima
bangunan tersebut memiliki hubungan satu sama lain yang saling melengkapi.
Oleh karena itu bangunan-bangunan tersebut merupakan satu kesatuan dalam
sebuah Kesain.
Simbol
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai rasa keindahan,
manusia mempunyai pikiran, perasaan, dan sikap melalui ungkapan-ungkapan
simbolis. Ungkapan simbolis tersebut merupakan ciri khas manusia yang
membedakannya dari mahluk lain. Simbol adalah suatu tanda dimana hubungan
tanda dan denotasinya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum dan di
tentukan oleh suatu kesepakatan bersama. Setiap hal yang dilihat dan didiami
manusia dan diolah menjadi serangkaian simbol yang dimengerti oleh manusia
(Suparlan dalam Edi Suprayitno 2009 : 15).
Simbol pada hakekatnya merupakan perlambang yang disepakati
pemakainya untuk menandai atau mempresentasikan identitas tertentu. Selain itu
simbol juga merujuk pada suatu yang transenden, yakni hal-hal yang berkaitan
dan berhubungan dialog antara manusia dengan Tuhan. Dengan demikian simbol
bukan semata-mata konstruksi kognitif, tetapi juga konstruksi emotif. Simbol
merupakan sebuah obyek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempresentasikan
sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung merpati yang digunakan
sebagai simbol kedamaian. Menurut Charles Sanders Peirce (Teori Trikonomi
Semiotika Arsitektural):

Universitas Sumatera Utara

Simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai hubungan yang
sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian (arbitrary relation)
antara penanda dan petanda. Sedangkan dalam Sign, Symbol and Architecture,
Charles Sanders Peirce menjelaskan Symbol adalah suatu tanda atau gambar yang
mengingatkan kita kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan
sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau
lebih khusus. 1
Manifestasi simbol tidak terbatas pada bentuk fisik saja, melainkan
nonfisik, seperti bahasa, ilmu pengetahuan yang menyatukan pengertian sesama
manusia. Dengan demikian, terdapat hubungan antara simbol dan kebudayaan,
kaduanya membawahi manusia dalam kehidupan yang membuat manusia
bertanggung jawab atas tindakannya. Simbol mengawali manusia dengan
tindakannaya, dalam hal ini simbol memberikan maknanya melalui kabut tekateki yang diperlawankan, yaitu “hal-hal yang bermakna” dan “hal-hal yang tidak
bermakna”.
Disini tanggung jawab manusia dituntut atas simbol yang dibuatnya. Jika
pilihan nilai- nilai tidak dijabarkan dalam berbagai prantara organisasi, akan
muncul berbagai

tindakan

yang berbeda

dengan

makna

simbol atau

kebudayaannaya, perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan
kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagai makna dalam bahasa
menyiaratkan sesuatu bentuk pemahaman bersama diantara warga masyarakat
pendukungnya.

1

http:/wawan ju naidi.blogspot.com/2009/10/ definisi- tanda- lambang-dan simbol.html. diakses
pada 1 April 2016

Universitas Sumatera Utara

Aspek Historis Rumah Sepuluh Dua Jabu
Pada masyarakat Karo dalam melihat rumah adat Sepulu Dua Jabu sangat
memiliki banyak sekali simbol, baik dari segi warna, bentuk, motif ukiran dan tata
letak yang semua itu memiliki nilai-nilai yang terkandun g dalam budaya
masyarakat Karo. Awalnya masyarakat yang tinggal di Tanah Karo biasanya
mendirikan rumah- rumah kecil sebagai tempat tinggal masing- masing rumah
tangga. Bentuk rumah tersebut masih sangat sederhana seperti pondok (gubuk)
yang dalam bahasa Karo disebut barung atau sapo.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan barung ini adalah bahan-bahan
dari kayu dan ijuk dan bahan-bahan lainnya yang masih sangat mudah ditemukan
di hutan. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya penduduk dan mulai hadirnya
para pendatang, secara langsung berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah
barung-barung yang ada. Dari situasi seperti itu kemudian muncul ide dari
masyarakat untuk mendirikan rumah yang lebih besar dan lebih tahan lama untuk
mereka tempati bersama. Mereka berpendapat bahwa dengan mendirikan rumah
yang lebih kokoh dan tahan lama tersebut maka keamanan mereka akan lebih
terjamin. Untuk lebih melihat tentang apa-apa saja hal yang berhubungan seputar
rumah adat Sepuluh Dua Jabu, kita dapat membacanya pada hasil penelitian di
bawah ini.
Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di suatu daerah di wilayah Tanah
Karo mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya (satu keluarga).
Bentuk rumah tersebut masih sangat sederhana seperti pondok (gubuk) dalam
bahasa Karo dinamakan barung atau sapo, bahan-bahan yang digunakan terbuat

Universitas Sumatera Utara

dari bahan yang mudah diambil di hutan sekitar tempat tinggal penduduk. Karena
bertambahnya penduduk dan karena adanya pendatang baru dan bertambahnya
keturunan, barung-barung atau sapo-sapo tersebut juga bertambah semakin
banyak dan kemudian menjadi kelompok perumahan yang besar.
Seiring dengan pertambahan jumlah tersebut, kemudian timbullah ide atau
gagasan dari penduduk untuk mendirikan rumah besar yang lebih kuat dan lebih
tahan lama. Dengan mendirikan rumah tersebut mereka merasa keamanan lebih
terjamin baik itu gangguan dari binatang buas maupun gangguan atau serangan
pendatang yang berniat jahat. Berkat kerja sama, kegigihan, dan keseriusan
mereka, maka akhirnya rumah besar tersebut berhasil dibangun dengan bentuk
dan konstruksi yang spesifik.
Bentuknya dibuat empat persegi panjang, atapnya tinggi dan di dalamnya
terdiri dari beberapa jenis “jabu”. Tiangnya dari kayu bulat yang sangat besar dan
diambil dari hutan, dinding dari balahan kayu diikat dengan tali “ret-ret”, atapnya
dari ijuk dan di atas ujung atap dipasang tanduk. Bagian depan rumah itu dibuat
beranda yang disebut “ture”. Semua bahan untuk membuat rumah besar tersebut
diambil di hutan. Rumah besar yang berhasil didirikan itu disebut rumah adat
Karo (Siwaluh Jabu atau Sepuluh Dua Jabu).
1.3.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka yang telah
diuraikan maka masalah penelitian yang akan saya rumuskan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana tahapan dalam mendirikan rumah adat Sepuluh Dua Jabu ?

Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana makna dari setiap bentuk dan bagian dari bangunan rumah adat
Sepuluh Dua Jabu ?
3. Bagaimana kehidupan sosial budaya keluarga-keluarga yang menempati
rumah adat Sepuluh Dua Jabu ?

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana makna dari setiap bentuk dan bagian dari bangunan rumah adat
Sepuluh Dua Jabu. Mencari penjelasan mengenai arti dari bentuk-bentuk
ornament yang melekat dalam suatu bangunan merupakan hal yang penting guna
menangkap pikiran-pikiran dari penggagas pembangunan rumah tersebut.
Kemudian peneliti juga bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kehidupan
sosial budaya keluarga-keluarga yang menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu.
Hal ini penting guna melihat bagaimana pola kehidupan penghuni rumah adat
Karo tersebut agar dapat mengidentifikasi keterkaitan kehidupan manusia yang
ada di dalam rumah tersebut dengan rumah tempat mereka tinggal. Serta
mendeskripsikan tahapan-tahapan dalam mendirikan rumah adat Sepuluh Dua
Jabu.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bentuk penyelamatan
atas kekayaan benda hasil kebudayaan suku bangsa yang dituliskan dalam bentuk
tulisan etnografi. Untuk masyarakat luas, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai informasi mengenai kekayaan arsitektur yangada di Indonesia, yang mana
keberadaannya sudah mulai punah. Untuk pemerintah, dapat digunakan sebagai

Universitas Sumatera Utara

bahan rujukan dalam upaya tindakan penyelamatan atas bangunan-bangunan
bersejarah yang ada di Kabupaten Karo. Untuk perguruan tinggi dimana peneliti
menimba ilmu dapat digunakan sebagai bahan literature dan kepustakaan dalam
mengkaji kekayaan budaya nusantara.
1.5.Lokasi Penelitian
Untuk

membatasi

wilayah

operasional

penelitian

maka

peneliti

menetapkan Lokasi Penelitian dalam studi ini di Desa Beganding, Kecamatan
Simpang Empat, Kabupaten Karo. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah
karena Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu hanya tersisa satu dan hanya terletak di
Desa Beganding, yang kebetulan kondisi bangunannya juga cukup terawat.
1.6.Metode penelitian
Metode penelitian yang akan saya gunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif yang bertipe deskriptif. Penelitian ini akan
mengoptimalkan bermacam-macam instrumen penelitian guna mencari informasi
yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
Data yang dikumpulkan nantinya akan diklasifikasikan menjadi dua jenis
data yakni data yang bersifat sekunder dan data yang bersifat primer. Data yang
bersifat sekunder merupakan data literatur yang sifatnya tambahan yang berasal
dari buku, jurnal, artikel dan internet. Sementara itu data primer merupakan
prioritas utama dalam penelitian ini berupa hasil yang didapatkan dari lapangan
melalui observasi dan wawancara mendalam.

Universitas Sumatera Utara

Adapun diantara cara yang akan dilakukan peneliti dalam usaha
mendapatkan data untuk menjawab masalah penelitian ini adalah :
a. Observasi
Observasi yang akan saya lakukan dalam penelitian ini adalah teknik
pengamatan lapangan dalam hal ini bangunan rumah adat tradisional Sepuluh Dua
Jabu. Observasi dilakukan di tempat penelitian yang berlokasi di Desa Beganding,
Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Tujuan dari dilaksanakannya observasi ini adalah untuk melihat sendiri
bagaimana bentuk dan makna-makna yang terdapat pada bangunan rumah adat
Sepuluh Dua Jabu. Serta melihat bagaimana perlakuan masyarakat umum
terhadap bangunan rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut sebagai cerminan sikap
masyarakat terhadap warisan budaya tersebut.
Peneliti akan mencari data melalui wawancara dengan informan yang
mengerti betul sejarah pembuatan bangunan rumah tersebut dan bagaimana
kehidupan keluarga yang pernah menempati bangunan tersebut. Peneliti juga akan
mengklarifikasi kepada pihak dinas terkait sebagai pihak yang paling berwenang
dalam proses penyelamatan bangunan rumah adat Sepuluh Dua Jabu yang kini
terancam punah sebagai proses triangulasi data.

Universitas Sumatera Utara

b. Wawancara
Wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam yang mana peneliti berusaha memperoleh data melalui tanya jawab dan
bertemu secara langsung dengan informan yang sudah dipilih berdasarkan
proses. 2
Adapun daftar informan yang akan dimintai informasi oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
-

Pihak keluarga (jabu) yang masih tinggal di rumah adat
sepuluh dua jabu tersebut

-

Pihak keluarga yang sudah tidak tinggal di rumah adat Sepuluh
Dua Jabu tersebut

-

Dinas Pariwisata Kabupaten Karo yang menjadi perpanjangan
tangan Pemerintah dalam hal pengelolaan aset-aset wisata

-

Dinas Tata Ruang Kabupaten Karo sebagai perpanjangan
tangan Pemerintah dalam mengelola dan menata tata ruang di
Kabupaten Karo

-

Badan Warisan Sumatera (BWS) sebagai lembaga yang
mengawasi aset-aset bersejarah di Kota Medan

-

Balai Pelestarian Nilai Budaya

Dalam melakukan penelitian ini tentunya peneliti akan memerlukan tools
atau alat penelitian guna membantu peneliti untuk menjalankan kegiatan mencari
datanya. Adapun alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut :
2

Metode Penelitian Kualitatif, Burhan Bungin : 2011

Universitas Sumatera Utara

-

Pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara ini
sangat

diperlukan

oleh

peneliti

guna

membantu

peneliti

mengarahkan poin-poin utama dalam menyampaikan pertanyaan
kepada informan.
-

Alat perekam. Peneliti juga memerlukan alat perekam guna
menyimpan setiap informasi yang diucapkan oleh narasumber. Hal
ini dilakukan mengingat keterbatasan otak manusia dalam
mengingat setiap kata yang diucapkan.

-

Kamera

Foto.

Kamera

diperlukan

oleh

peneliti

untuk

mengabadikan momen-momen yang kiranya dirasa penting dalam
menggambarkan suasana penelitian.
-

Kamera Video. Kamera video digunakan untuk merekam semua
kegiatan

para

nelayan

untuk memperjelas

setiap

gesture

pengunjung di cagar budaya kawasan berikat tersebut.
-

Peneliti. Dari sekian banyak alat penelitian yang digunakan tentu
yang paling penting adalah si peneliti itu sendiri. Sebab peneliti
mempunyai tugas penting dalam menganalisis data yang telah
didapat serta menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Kemudian untuk tahap analisis nya peneliti akan menggunakan analisis
data secara kualitatif. Data akan dikelompokan pada bagian-bagian yang sesuai
dengan struktur penulisan yang peneliti rasa penting. Data yang diperoleh baik
bersifat primer maupun sekunder akan disaring dan dipilih berdasarkan relevansi
rumusan masalah yang dibuat.

Universitas Sumatera Utara

1.7.Penelitian Terdahulu
1. Potensi Rumah Adat Tradisional Karo Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
Di Desa Dokan Kabupaten Karo (Yesti Gibierta Ginting, 2011)
Salah satu penelitian yang pernah membahas mengenai rumah adat Karo
adalah penelitian Yesti Gibierta Ginting pada tahun 2011 tentang potensi rumah
adat Karo sebagai daerah tarik wisata. Dalam tulisan ini dipaparkan mengenai
berbagai objek wisata menarik yang terdapat di Desa Dokan, Kabupaten Karo
salah satu diantaranya adalah bangunan tradisional yang disebut Rumah Adat
Tradisional Karo. Secara harfiah Rumah Adat Tradisional Karo berarti sebuah
bangunan rumah besar yang terdiri dari atas delapan bagian/hunian/kepala
keluarga. Namun yang menarik adalah menyangkut konstruksi dan ornamen
bangunannya yang unik serta yang lebih penting struktur dan sistem kekerabatan
penghuninya yang spesifik. Kesemuanya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi
para wisatawan.
Rumah adat tradisional Karo merupakan daya tarik wisata yang cukup
potensial dalam meningkatkan kepariwisataan Kabupaten Karo. Keunikan
arsitektur dan ornamen-ornamen rumah adat dapat menambah daya tarik
bangunan tersebut. Desa Dokan adalah salah satu desa di Tanah Karo yang
memiliki rumah adat tradisional yang dijadikan sebagai wisata Budaya. Potensi
yang ada di Desa Dokan, baik potensi sumber daya alam, sumber daya budaya
maupun sumber daya manusia dapat diberdayakan secara lebih optimal sehingga
meningkatkan kualitas kepariwisataan Kabupaten Karo dan memberi manfaat bagi
masyarakat karo umumnya dan masyarakat Desa Dokan khususnya.

Universitas Sumatera Utara

Karena itu Rumah Adat Tradisional Karo yang masih ada di Desa Dokan
yakni bangunan besar dengan delapan kepala keluarga penghuni, harus tetap
dipelihara dan dilestarikan sebagai objek wisata penunjang kepariwisataan di
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Dalam tulisan ini didapati kesimpulan bahwa
Rumah Adat Tradisional Karo di Desa Dokan sebagai objek wisata menarik untuk
diamati, dikembangkan dan dilestarikan guna menunjang kiprah kepariwisataan
Sumatera Utara khususnya Kabupaten Karo.
2. Potensi Rumah Adat Tradisional Karo Desa Melas Sebagai Daya Tarik
Wisata Budaya Di Kabupaten Karo (Serly Mei Rina Sitepu, 2011)
Pada penelitian ini Serly Mei Rina Sitepu mengangkat tema penelitian
mengenai potensi rumah adat Karo dari sisi pariwisata. Seperti yang diketahui
Kabupaten Karo adalah salah satu daerah tujuan wisata yang memiliki beberapa
objek wisata yang cukup potensial dan menarik. Rumah adat tradisional karo
merupakan daya tarik wisata yang cukup potensial dalam meningkatkan
kepariwisataan Kabupaten Karo. Keunikan arsitektur dan ornamen-ornamen
rumah adat dapat menambah daya tarik bangunan tersebut. Desa Melas adalah
salah satu desa di Tanah Karo yang memiliki dua rumah adat tradisional. Potensi
yang ada di Desa Melas, baik potensi sumber daya alam, sumber daya budaya
maupun sumber daya manusia dapat diberdayakan secara lebih optimal, sehingga
meningkatkan kualitas kepariwisataan Kabupaten Karo dan memberi manfaat bagi
masyarakat karo umumnya dan masyarakat Desa Melas khususnya. Pada
penelitian ini dipaparkan mengenai bagian-bagian rumah dan juga proses
pembuatan rumah.

Universitas Sumatera Utara

3. Potensi Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu Desa Lingga Dalam
Meningkatkan Kepariwisataan Kabupaten Karo (Yuni Artika Dewi
Ginting, 2010)
Pada penelitian berikutnya mengenai rumah adat Karo diangkat oleh Yuni
Artika Dewi Ginting pada tahun 2010. Berbagai objek wisata menarik terdapat di
daerah ini, salah satu diantaranya adalah objek wisata Desa Budaya Lingga, yang
didalamnya terdapat bangunan tradisional yang disebut Rumah Adat Karo
Siwaluh Jabu. Secara harfiah Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu berarti sebuah
bangunan rumah besar yang terdiri dari atas delapan bagian/hunian/kepala
keluarga. Namun yang menarik adalah menyangkut konstruksi dan ornamen
bangunannya yang unik serta yang lebih penting struktur dan system kekerabatan
penghuninya yang spesifik.
Kesemuanya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Karena
itu Rumah Adat Siwaluh Jabu yang masih ada di Desa Lingga yakni bangunan
besar dengan delapan kepala keluarga penghuni, singsinganya tetap dipelihara dan
dilestarikan sebagai objek wisata penunjang kepariwisataan di Kabupaten Karo,
Sumatera Utara. Dengan demikian maka Rumah Adat Siwaluh Jabu di Desa
Lingga sebagai objek wisata menarik untuk diamati, dikembangkan dan
dilestarikan guna menunjang kiprah kepariwisataan Sumatera Utara khususnya
Kabupaten Karo.
4. Rumah Adat Siwaluh Jabu: Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo
di Desa Lingga, Kab. Karo (Marta Ulina Perangin‐angin, 2011)

Universitas Sumatera Utara

Penelitian selanjutnya berasal dari mahasiswa Antropologi Sosial FISIP
USU yang bernama Marta Ulina Perangin-angin pada tahun 2011. Satu contoh
dari kebudayaan Karo adalah rumah adat Siwaluh Jabu, karena untuk mendirikan
rumah adat Karo tidak pernah terlepas dari unsur kepercayaan. Salah satu dari 7
unsur kebudayaan adalah unsur kepercayaan atau religi. Cara untuk mendirikan
rumah adat ini juga tidak terlepas dari unsur kepercayaan dan adat istiadat seperti
rakut sitelu dan tutur siwaluh. Susunan yang terdapat dalam jabu pun tidak
sembarangan karena susunan ini diatur atau ditentukan sesuai dengan kedudukan
dan fungsi kekeluargaan yang tinggal di rumah adat tersebut. Begitu juga cara
memasuki rumah adat ini memiliki beberapa tahapan yaitu tahap persiapan dan
kegiatan dalam waktu memasuki rumah adat tersebut. Melihat dari cara
pembuatan atau mendirikan, susunan jabu dan cara memasuki rumah adat ini,
kebudayaan Karo memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang dapat
menambah kekayaan kebudayaan Karo.

Universitas Sumatera Utara