Sepuluh Dua Jabu (Studi Deskriptif Mengenai Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu Dan Kehidupan Penghuninya Di Desa Beganding, Kebupaten Karo)

BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1. Wilayah Kabupaten Karo
Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten
Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan,
dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama
kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu
Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo.
Sebagian besar masyarakat suku Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak
karena mereka merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk
orang Batak yaitu Kalak Teba.
Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo
berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri
sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian
pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal
terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan
Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Keberadaan
Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa desa di sana yang berasal
dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di
Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud,

Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar yang dalam logat
Aceh disebut Karee.

Universitas Sumatera Utara

Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said
dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Beliau menekankan bahwa
penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan
keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M.
Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa
di lembah Aceh Besar selain kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra,
dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku
Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Gambaran Umum Kabupaten Karo Secara geografis Daerah Kabupaten
Karo terletak antara 02 050’ s/d 03 019’ LU dan 97 055’ s/d 98 038’ BT. Daerah
Kabupaten Karo terletak di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan total luas
administrasi 2.127,25 km² atau 212.725 ha. Wilayah Kabupaten Karo berbatasan
dengan:
1. Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dibagian Utara;
2. Kabupaten Simalungun dibagian Timur;

3. Kabupaten Dairi dibagian Selatan; dan
4. Propinsi Nangro Aceh Darusalam dibagian Barat.

Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km
sebelah selatan kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Ditinjau Dari Topografinya
Ditinjau dari kondisi topografinya (hamparan wilayahnya), wilayah
kabupaten karo terletak didataran tinggi bukit barisan dengan elevasi terendah +
140 m diatas permukaan laut (Paya lah-lah Mardingding) dan yang tertinggi ialah
+ 2.451 meter diatas permukaan laut (Gunung Sinabung). Daerah kabupaten karo
yang berada di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan kondisi topografi yang
berbukit dan bergelombang, maka diwilayah ini ditemui banyak lembah-lembah
dan alur-alur sungai yang dalam dan lereng-lereng bukit yang curam/terjal.
Sebagaian

besar


(90%)

wilayah

Kabupaten

Karo

berada

pada

ketinggian/elevasi +140 m s/d 1400 m di atas permukaan air laut. Pada wilayah
Kabupaten Karo terdapat dua hulu daerah aliran sungai (DAS) yang besar yakni
DAS sungai Wampu dan DAS sungai Lawe Alas. Sungai Wampu bermuara ke
Selat Sumatera dan Sungai Renun (Lawe Alas) bermuara ke Lautan Hindia.
2.1.2. Ditinjau Dari Iklimnya
Tipe iklim daerah Kabupaten Karo adalah E2 menurut klasifikasi Oldeman
dengan bulan basah lebih tiga bulan dan bulan kering berkisar 2-3 bulan atau A
menurut Koppen dengan curah hujan rata-rata di atas 1.000 mm/tahun dan merata

sepanjang tahun. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000-4.000mm/tahun,
dimana curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah yaitu Agustus sampai
dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Ditinjau Dari Etnis
Ditinjau dari segi etnis, penduduk Kabupaten Karo mayoritas adalah suku
Karo, sedangkan suku lainnya seperti suku Batak Toba/Tapanuli, Jawa,
Simalungun, dan suku lainnya hanya sedikit jumlahnya (di bawah 5%).
2.2. Profil Kecamatan Simpang Empat
Kecamatan Simpang Empat adalah salah satu dari 17 kecamatan yang ada
di Kabupaten Karo dengan ibukota kecamatan di Desa Ndokum Siroga yang
berjarak 7 km dari Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten dan 84 km dari Kota
Medan yang merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Simpang
Empat memiliki luas wilayah mencapai 93,48 km² berada pada ketinggian ratarata 700-1.420 m diatas permukaan laut dengan temperatur 16ºc-17ºc dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe dan Berastagi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Payung
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Naman Teran dan

Kecamatan Merdeka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe
Kecamatan Simpang Empat sebagai salah satu daerah pemerintahan telah
ada sejak pra-kemerdekaan yang disebut dengan istilah kerajaan yang dipimpin
oleh seorang raja yang disebut Sibayak Lingga yang kekuasaanya meliputi :
1. Urung Sitelu Kuru yang diperintah oleh Raja Urung Merga Karo-Karo

Universitas Sumatera Utara

2. Urung Tigapancur yang diperintah oleh Raja Urung Merga Sembiring
Gurukinayan.
3. Urung Siempat Teran yang diperintah oleh Raja Urung Merga KaroKaro Sitepu.
Tabel 1 : Statistik Geografi Kecmatan Simpang Empat
Uraian

Satuan

2014

Luas


Km²

93,48

Letak di atas permukaan laut

M

700 – 1.420

Suhu

ºc

16 – 17

Sumber : Kecamatan Simpang Empat Dalam Angka 2012

Mengenai nama/sebutan


Kecamatan

Simpang Empat berdasarkan

penuturan orang-orang tua bahwa untuk mengenang masa Kerajaan Sibayak
Lingga yang mempunyai wilayah 3 (tiga) urung yaitu:
- Urung Siempat Kuru
- Urung Tigapancur
- Urung Siempat Teran
Maka pembangunan gedung pemerintahan dibangun di atas tanah dekat
persimpangan yaitu “ Simpang Empat” yang dulunya lokasi tanah tersebut adalah
tempat musyawarah antara raja Urung Sitelu Kuru, Raja Urung Tigapancur dan
raja urung siempat teran di bawah pohon kayu rindang “nderam” sehingga
tempat musyawarah tersebut dinamakan “ndokum siroga” karena pusat

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan kecamatan dekat dengan persimpangan yaitu Simpang Empat maka
nama kecamatan disebut “Kecamatan Simpang Empat”.

Pada tahun 2005 Bupati Karo mengeluarkan Perda 04 tahun 2005 tentang
pembentukan kecamatan baru, dimana Kecamatan Simpang Empat dimekarkan
menjadi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Naman Teran (14 desa), Kecamatan
Merdeka (9 desa) dan Kecamatan Simpang Empat (kecamatan induk 17 desa).
pemekaran tersebut telah resmi sejak 29 desember 2006.
Tabel 2. Luas Desa di Kecamatan Simpang Empat
No.

Nama Desa

Luas Desa (Km²)

1.
Beganding
8,98
2.
Serumbia
3,78
3.
Nang Belawan

3,47
4.
Lingga
16,24
5.
Lingga Julu
7,29
6.
Ndokum Siroga
2.97
7.
Surbakti
9.54
8.
Tiga Pancur
3.50
9.
Berastepu
10.76
10.

Pintu Besi
2,42
11.
Jeraya
2,83
12.
Perteguhen
2,97
13.
Kuta Tengah
3,56
14.
Torong
3,98
15.
Gajah
4,60
16.
Bulan Baru
3,72

17.
Gamber
2,87
Sumber : Kecamatan Simpang Empat Dalam Angka 2012

Rasio Terhadap Luas
Kecamatan (%)
9,61
4,04
3,71
17,37
7,80
3,18
10,20
3,74
11,51
2,59
3,03
3,18
3,81
4,26
4,92
3,98
3,07

Dari 17 desa yang ada di Kecamatan Simpang Empat, Desa Lingga
merupakan desa terluas dengan luas 16,24 Km2 atau 17,37 % dari luas

Universitas Sumatera Utara

kecamatan, kemudian diikuti oleh Desa Berastepu dengan luas 10,76 Km² atau
11,51% dan desa Beganding dengan luas 8,98 Km² atau 9,61%.
Sedangkan desa dengan luas terkecil di Kecamatan Simpang Empat adalah
Desa Pintu Besi dengan luas 2,42 Km² atau 2,59% kemudian diikuti oleh Desa
Jeraya dengan luas 2,83 Km² atau 3,03 dan Desa Gamber dengan luas 2,87 Km²
atau 3,07%. Ditinjau dari jarak kantor desa ke ibukota kecamatan, maka Desa
Serumbia merupakan yang terjauh yaitu 16,3 Km, sedangkan yang terdekat adalah
Desa Pintu Besi yaitu sekitar 0,5 dan Desa Ndokum Siroga yaitu berjarak sekitar
0,5 Km ke ibukota kecamatan.
Pemerintahan Kecamatan Simpang Empat dalam melayani masyarakat
dipimpin oleh seorang camat dibantu seorang Sekretaris Kecamatan (Sekcam) dan
pejabat eselon IV yang bertugas sebagai Kepala Seksi ataupun Kepala Sub Bagian
Keuangan yang dibantu staf masing- masing dan juga dibantu oleh 2 orang tenaga
honor yang keseluruhannya berjumlah 22 orang.
Tabel 3. Statistik Pemerintahan Kecamatan Simpang Empat Tahun 2012
Wilayah Administrasi

Tahun 2013

Tahun 2014

Desa

8

8

Camat

1

1

Sekcam

1

1

Kepala Desa

8

8

Sekretaris Desa

8

8

Lurah

5

5

Sumber : Kecamatan Simpang Empat Dalam Angka 2012

Universitas Sumatera Utara

Pemerintahan Desa yang ada di Kecamatan Simpang Empat masingmasing dikepalai oleh seorang Kepala Desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa
(Sekdes) dan beberapa orang Kepala Urusan (Kaur).
2.3. Rumah Adat Tradisional Yang Ada Di Tanah Karo
Suku Karo mempunyai bangunan tradisional sebagaimana daerah-daerah
lain di Indonesia. Sebuah kesain (kepenghuluan) biasanya memiliki bangunan
tradisional yang terdiri dari beberapa buah rumah adat, jambur, geriten dan
lesung. Rumah adat tradisional karo adalah suatu rumah yang didiami oleh
beberapa keluarga yang telah diatur menurut adat dan kebiasaan suku karo.
Kerangka bangunan rumah adat dipasang sedemikian rupa tanpa menggunakan
paku tetapi menggunakan kayu yang diikat dengan rotan atau ijuk. Penghuni
rumah adat karo ini pada umumnya terdiri dari delapan keluarga, namun ada juga
yang sepuluh, dua belas, dan bahkan ada yang mencapai enam belas keluarga.
Susunan keluarga di dalam rumah adat mempunyai tempat dan hak yang tertentu
menurut adat tertentu pula. Satu bagian dari rumah yang ditempati dalam bahasa
karo disebut jabu. Rumah adat tradisioanl karo biasanya disebut rumah siwaluh
jabu, karena pada umumnya rumah adat tersebut didiami oleh delapan keluarga.
(Sitanggang, 1994: 24-25). Rumah adat tradisional karo juga memiliki bentuk,
susunan jabu serta oranamen-ornamen unik yang membuat rumah adat tersebut
mempunyai ciri khas tersendiri.

Universitas Sumatera Utara

Desa Dokan
Desa Dokan yang

terletak di Kecamatan Merek Kabupaten Karo

Sumatera Utara adalah salah satu lokasi yang sudah dijadikan kawasan
agrowisata. Di tempat ini wisatawan bisa melihat rumah adat tradisional Karo
sambil mencicipi jeruk siam madu segar yang langsung di petik di kebun. Dokan
bisa di tempuh sekitar 15 menit dari Kabanjahe. Wisata budaya dan sejarah ini
bisa ditemui jika mengunjungi rumah-rumah adat Suku Karo Dokan bisa
dikatakan menjadi salah satu desa yang beruntung karena masih memiliki rumah
adat tradisional Karo sejumlah 6 rumah tradisional dan tinggal 5 rumah yang
masih digunakan, namun sebagian rumah tersebut tidak dirawat.
Di Desa Dokan rumah adat yang tersisa tinggal 6 rumah dan hanya satu
yang tidak dipakai lagi. Rumah Adat Karo dikenal dengan sebutan Siwaluh Jabu
berasal dari kata waluh yang artinya delapan dan jabu yang artinya rumah. Jadi
Siwaluh jabu adalah rumah yang dihuni oleh delapan keluarga. Rumah Adat Karo
ini memiliki keunikan tersendiri dan kaya akan seni arsitektur yang tinggi.
Bangunan yang dibangun ini memiliki struktur bangunan yang tahan gempa dan
proses pembuatannya tidak menggunakan paku untuk menyatukannya. Melihat
potensi budaya dan sejarah yang besar ini sayang sekali jika pemerintah daerah
mengabaikannya begitu saja.
Jika dikelola lebih baik dan digarap seperti objek wisata budaya yang
menjual daya tarik wisata berupa rumah adat tradisional seperti Oma Hada di
Tumeri, Nias Utara, Kete' Kesu di Toraja, Desa Lingga, Barus Jahe, Peceren,

Universitas Sumatera Utara

Melas dan desa-desa lainnya di Kabupaten Karo bisa menjadi tujuan wisata yang
diminati oleh wisatawan lokal bahkan mancanegara (Saiful Azhar, 2010).
Desa Melas
Desa Melas adalah sebuah desa kecil yang terletak di kecamatan Dolat
Rakyat, lebih kurang 4 km dari kota Berastagi. Masyarakat desa Melas umumnya
adalah petani yang bercocok tanam tanaman seperti buah-buahan dan sayuran.
Masyarakat desa Melas juga masih memegang teguh serta menjalankan adat dan
budaya Karo dalam setiap kegiatan kehidupannya sehari-hari, misalnya: upacara
adat perkawinan, upacara 7 bulanan bayi dalam kandungan, upacara adat
kematian, dan lain-lain.
Umumnya kegiatan-kegiatan adat dan budaya tersebut sebagian besar
masih dipakai dan dijalankan oleh masyarakat Desa Melas. Semua potensi alam,
budaya dan kehidupan masyarakat Desa Melas merupakan modal utama yang
cukup menarik untuk diberdayakan sebagai daya tarik wisata dalam meningkatkan
kepariwisataan di Kabupaten Karo.
Desa Melas memiliki tinggalan dua buah bangunan rumah adat. Satu
sudah roboh karena gempa akibat letusan gunung Sinabung dan satu lagi masih
utuh namun tidak ditempati lagi sejak 30 tahun yang lalu. Rumah adat inilah yang
akan direnovasi dengan tetap mempertahankan keasliannya sehingga dapat dihuni
kembali. Jumlah penduduk yang hanya kurang lebih 30 kepala keluarga bisa jadi
merupakan faktor pendukung dikembangkannya kepariwisataan di Desa Melas.
Di samping itu, antusias penduduk untuk merevitalisasi rumah adat yang ada di

Universitas Sumatera Utara

Desa Melas sangat tinggi, terbukti dengan keikutsertaan masyarakat dalam
memperbaiki rumah adat dengan cara bergotong royong.
Karena belum mendapat simpati dari pemerintah, karang taruna Desa
Melas mulai memperbaiki rumah adat tahap pertama tanggal 14 Januari 2010
dengan membersihkan debu dan kotoran yang ada di dalam rumah adat tersebut
dengan dana dari hasil pengumpulan koin yang sudah diterima. Perbaikan tahap
kedua dilaksanakan pada tanggal 4, 5 dan 6 Maret 2011 dengan mengganti atap
atau ijuk yang ada di rumah adat tersebut.
Desa Lingga
Pada saat sekarang rumah adat yang tersisa di Desa Lingga tinggal 4
rumah lagi yang masih berpenghuni, sedangkan rumah-rumah adat lainnya sudah
tidak ditempati lagi. Pada awalnya rumah adat yang ada di Desa Lingga berjumlah
18 rumah, akan tetapi seiring perkembangan waktu rumah-rumah tersebut
akhirnya hancur termakan waktu. Bahkan sekarang yang menempati rumah adat
tersebut tidak lagi terdiri dari 8 keluarga, karena masing-masing penghuninya
sudah banyak yang mendirikan rumah sendiri, sehingga rumah adat tersebut
disewakan kepada orang yang mau menempatinya.
Bagi keluarga yang tinggal atau yang mengontrak di rumah adat itu harus
membayar kepada bena kayu atau bangsa tanah sebesar Rp 50.000 per tahun,
biasanya orang yang masih tinggal di rumah adat ini adalah keluarga yang
perekonomiannya lemah atau rendah. Rumah adat Siwaluh Jabu ini dapat
bertahan selama 200 tahun lebih. Beberapa faktor yang menyebabkan rumah adat
karo sudah jarang dihuni antara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Karena sudah mendirikan rumah masing-masing.
2. Karena sudah memiliki perekonomian yang cukup.
3. Karena kemajuan teknologi.
4. Karena kayu-kayu yang mau ditebang di hutan sudah berkurang atau
tidak ada lagi.
5. Karena sering terjadi perselisihan atau pertengkaran.
Sementara itu ada beberapa rumah adat yang masih dapat ditempati
diantaranya ialah:
1. Rumah adat marga Sinulingga/Belang Ayo
2. Rumah adat marga Sinulingga/gerga
3. Rumah adat marga Ginting/Bangun
4. Rumah adat marga Manik/ Manik
2.4. Budaya Karo
Pemangku kebudayaan Karo adalah masyarakat yang tinggal di
pegunungan dataran tinggi Karo, Sumatera Utara. Daerah tempat tinggal
dinamakan sesuai dengan kebudayaan Karo yaitu Tanah Karo dan kini dikenal
dengan Kabupaten Karo. Kebudayaan suku Karo memiliki semboyan Merga
Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu yang diimplementasikan dalam setiap aspek
kehidupan. Merga Silima karena Etnis Karo mengenal 5 (lima) jenis merga/klan
besar yakni Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-Karo, dan Perangin angin.

Universitas Sumatera Utara

Tiap klan ini memiliki sub–sub klan yang jumlahnya bervariasi, secara
keseluruhan terdapat 84 sub merga Karo sebagai berikut 3 :
1. Merga Karo-karo terdiri dari sub merga Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban,
Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, dan lain-lain (Jumlah 18)
2. Merga Tarigan terdiri dari sub merga Bondong, Ganagana, Gerneng,
Purba, Sibero, dan lain-lain (Jumlah 13).
3. Merga Ginting terdiri dari sub merga Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun,
Jadibata, Manik, dan lain-lain (Jumlah 16).
4. Merga Sembiring terdiri dari sub merga Sembiring si banci man
biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren,
Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring si mantangken biang (sembiring
yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dan
lain-lain (Jumlah = 15).
5. Merga Perangin-angin terdiri dari sub merga Bangun, Sukatendel,
Kacinambun, Perbesi, Sebayang, Pinem, Sinurat dan lain-lain (Jumlah =
18).
Tutur Siwaluh merupakan konsep kekerabatan Etnis Karo yang
berhubungan dengan penuturan yang terdiri dari 8 (delapan) golongan yakni: (1)
Puang Kalimbubu, (2) Kalimbubu), (3) Senina, (4) Sembuyak, (5) Senina
Sipemeren, (6) Senina Sipengalon/Sedalanen, (7) anak beru, (8) anak beru
menteri.
Rakut Sitelu merupakan konsep Sangkep Nggeluh Etnis Karo, merupakan
system kekeluargaan masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri dari Senina,

3

Sumber, Wikipedia, di akses 20 Juli 2016.

Universitas Sumatera Utara

Kalimbubu, dan Anak Beru 4. Karenanya bagi masyarakat Karo, merga itu sangat
penting karena berguna untuk mengekspresikan identitas diri ketika sedang
ertutur (mencari hubungan kekerabatan Merga dan beru (sebutan merga untuk
perempuan). Merga adalah nama yang dipakai di belakang diri.
Dalam tradisi ertutur, untuk menentukan jenjang kekerabatan maka selain
menarik garis keturunan marga dari ayah, juga mencari garis keturunan dari
merga ibu, yakni:
1) Bebere adalah nama keluaga yang diwarisi sesorang dari beru ibunya.
Misalnya jika ibunya beru perangin angin, maka ia menjadi bebere
Perangin angin.
2) Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi sesorang berdasarkan bebere
ayahnya atau beru dari ibu ayahnya.
3) Kempu adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang berdasarkan bebere
ibunya atau beru dari ibu dari ibunya.
4) Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang berdasarkan beru
dari ibu kakek pihak ayah.
5) Soler adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang berdasarkan beru
dari ibu kakek pihak ibu.

Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya jika diteliti dari segi ertutur ini
maka Etnis Karo sebenarnya tidak menganut system patriarkhi absolute

4

Rakut Sitelu sama dengan konsepsi Dalihan Na Tolu didalam masyarakat Batak Toba. TO Ihromi
mendefinisikan sebagai sebuah sistem perbesanan, dimana ada keluarga pemberi wanita (wife
giver), penerima wanita (wife taker) dan saudara laki-laki dari kedua keluarga.

Universitas Sumatera Utara

melainkan juga mengandung unsur parental dimana garis keturunan ditarik dari
pihak ayah dan ibu.
Meski pun begitu, jika dilihat dari sisi pembagian hak waris, maka
kedudukan perempuan pada masyarakat Karo sangat dimarjinalkan dan
tersubordinasi. Penelitian Tesis Mberguh Sembiring menyimpulkan bahwa
meskipun asasnya pada susunan masyarakat Karo yang mempertahankan garis
keturunan laki laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta
warisan dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang
saja dan pemberian dimaksud tergantung kemampuan orang tua mereka. Hal ini
menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki laki dan
perempuan.
Meskipun putusan Mahkamah Agung dalam kasus tersebut dengan jelas
menyatakan bahwa anak perempuan dan anak laki laki dari seorang peninggal
warisan bersama sama berhak atas harta warisan dalam arti bagian anak laki laki
sama dengan anak perempuan, namun dalam sistem tata hukum, putusan tersebut
hanya berlaku pada pihak yang menggugat dan tergugat, tidak bisa melawan
sistem adat yang berlaku pada masyarakat Batak Karo 5.
Dalam mencari nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan manusia yang
bersumber dari adat istiadat masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia banyak
mempunyai pilihan. Banyaknya pilihan ini dikarenakan bangsa Indonesia
mempunyai banyak suku bangsa, dan tiap suku bangsa memiliki adatnya masingmasing. Di dalam adat ini banyak terkandung variabel-variabel pendukung adat

5

MberguhSembiringdenganjudulSikapmasyarakatKaroTerhadapPutusanMahkamahAgung RI No
179/K/SIP/1961(Studi di DesaLingga), 2003 : 49.

Universitas Sumatera Utara

yang juga masing-masing mempunyai nilai. Nilai-nilai ini mendukung
kelanggengan adat istiadat.
Salah satu variabel pendukung dan penggerak adat istiadat dalam
masyarakat Karo adalah Rakut si telu. Nilai-nilai yang dominan yang terdapat di
dalam Rakut si telu ini adalah nilai gotong royong dan kekerabatan. Secara
etimologis Rakut si telu berarti "ikatan yang tiga". Rakut = ikatan, si = yang, telu
= tiga. Realita ini menunjuk kepada fungsi ikatan yang mengikat tiga nilai dalam
kehidupan masyarakat Karo. Namun ada pula yang mengartikannya Daliken si
telu (tungku yang tiga).
Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh
(kelengkapan hidup). Konsep ini tidak hanya dimiliki oleh suku Karo saja, tetapi
juga dimiliki oleh suku Batak Toba dengan nama yang berbeda. Dalam Batak
Toba dan Mandailing dikenal istilah dalihan na tolu, dalam masyarakat NTT
dikenal lika telo (Wirateja, 1985).Unsur daliken si telu atau rakut si telu atau
sangkep nggeluh adalah kalimbubu (Karo) hula-hula (Toba) mora (Mandailing
dan Angkola) todong (Simalungun), sembuyak/senina (Karo) dongan sabutuha
(Toba) kahanggi (Mandailing\dan Angkola) Sanina (Simalungun), dan anakberu
(Karo) boru (Toba, Mandailing dan Angkola) anak boru (Simalungun). Daliken si
telu ini merupakan alat pemersatu masyarakat Karo, sekaligus dapat mengikat
atau terikat kepada hubungan perkerabatan yang sekaligus pula sebagai dasar
gotong royong, dan saling hormat menghormati, maka di dalam segenap aspek
kehidupan masyarakat Karo, Rakut si telu ini sangat berperan penting, dia
merupakan dasar bagi sistem kekerabatan dan menjadi landasan untuk semua

Universitas Sumatera Utara

kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat dan juga interaksi dengan
sesama masyarakat Karo.
Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada Rakut si telu. Melalui
Rakut si telu semua masyarakat Karo saling berkerabat, kalau tidak berkerabat
karena hubungan darah, berkerabat karena hubungan klen. Jadi rakut si telu
adalah landasan sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi semua kegiatan,
khususnya kegiatan yang bertalian dengan pelaksanaan adat istiadat dan interaksi
antar sesama masyarakat Karo. Rakut si telu ini didukung oleh tiga aktor yang
dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anakberu). Atau dengan bahasa
lain, rakut si telu adalah suatu jaringan kerja sosial-budaya yang bersifat gotong
royong dan kebersamaan yang terdapat pada masyarakat Karo.
Aspek

sistem

kekerabatan

dalam

rakut

si

telu

dapat

dilihat

berdasarkan unsur pendukung rakut si telu itu yaitu kalimbubu, senina/sembuyak
dan anakberu. Sebagai sistem kekerabatan, sifatnya terbuka. Kedudukan
seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina sembuyak, bergantung
kepada situasi dan kondisi.
Sistem kekerabatan seperti bersifat sangat demokratis. Berdasarkan
fungsinya, kalimbubu dalam struktur rakut si telu adalah sebagai pemegang
keadilan dan kehormatan, ini diumpamakan sebagai badan legislatif, pembuat
undang-undang, atau sebagai dewan pertimbangan agung, yang siap memberikan
saran kalau diminta. Saran yang diberikannya, walaupun dia dekat dengan salah
seorang dari yang meminta saran, sarannya tetap bersifat obyektif konstruktif. Hal
ini maka pihak kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah (Tuhan yang Kelihatan).

Universitas Sumatera Utara

Senina

atau

sembuyak

ini

diumpamakan

sebagai

eksekutif,

kekuasaan pemerintahan. Mereka bertanggungjawab kepada setiap upacara adat
sembuyak sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar, dan bila perlu
mengadopsi anak yatim piatu dari saudara yang sesubklen. Mekanisme ini sesuai
dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung.
Sesubklen sama dengan saudara kandung. Sedangkan anakberu diumpamakan
sebagai badan yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula
hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya,
anakberu menjadi juru pendamai bagi perselisihan yang ada.
Kemudian dalam kehidupannya masyarakat Karo memiliki pegangan
hidup yang disebut “Cikapen SiLima” (Lima Pegangan Hidup). Tentu saja
terdapat berbagai variasi dari kampung ke kampung mengenai “Cikapen SiLima”
ini di Tanah Karo. Namun, tujuannya tetap sama yaitu memberi pegangan hidup
kepada sang anak atau anggota masyarakat. Salah satu variasi terebut adalah Tek
man Dibata (percaya pada Tuhan), Keteken (percaya pada diri sendiri),
Kehamaten (sopan santun), Megenggeng (sabar), dan metenget (cermat/hati-hati).
Variasi yang lainnya adalah bujur, nggit nampati, merawa ibas sibujur,
megenggeng ibas nggeluh, ola relem-elem yang artinya jujur, mau menolong,
berani dalam benar, sabar/tabah, jangan mendendam (Bangun, 1994:hal 139).
Masyarakat Karo percaya bahwa kelima marga/klan tersebut memiliki
karakter yang berbeda-beda berdasarkan marganya. Sitepu (2006) dalam “BiakBiak Si Lima Marga” mendeskripsikan perbedaan karakter kelima marga tersebut
adalah, pertama, Karo-Karo (cerdik Karo-Karo); dikatakan demikian karena Karo-

Universitas Sumatera Utara

Karo pada umumnya adalah orang yang pintar dan sarjana pertama, tidak heran
jika orang-orang berpendidikan tinggi awalnya berasal dari marga ini.
Kedua, Ginting (Jembua Ginting); Jamin Ginting merupakan salah satu
tokoh yang menggambarkan marga ini. Ginting yang terkenal dengan
keberaniannya dan jiwa pemimpinnya. Ketiga, Sembiring (Mejeret Sembiring);
orang dengan marga Sembiring biasanya agak diplomat, tidak banyak bicara
namun memiliki banyak ide yang berguna bagi orang lain. Keempat, Tarigan
(Perbual Tarigan); Tarigan terkenal dengan kemampuannya dalam mengolah
kata-kata, pandai berbicara dan ahli didalam bidang perekonomian. Kelima,
Perangin-angin (Kecek Perangin-angin); marga Perangin-angin terkenal dengan
kemampuannya untuk menghibur hati dengan perkataannya.
Demikian juga seperti yang sering dibicarakan dan dipercaya oleh
masyarakat Karo yaitu sifat dan tabiat orang Karo disimbolkan dengan kelima jari
tangan. Karo-Karo disimbolkan dengan ibu jari dengan sifatnya yang “top”,
Ginting disimbolkan dengan jari telunjuk dengan sifatnya sebagai pemimpin,
Tarigan yang disimbolkan dengan jari tengah dengan sifatnya yang bijaksana
sebagai penengah, Sembiring yang disimbolkan dengan jari manis dengan sifatnya
yang “jegir” ( orang yang sangat mementingkan penampilan) tetapi baik sebagai
bendahara, dan Perangin-angin yang digambarkan dengan jari kelingking dengan
sifatnya yang “metenget” (senang menilik, memperhatikan dengan saksama)
(Tarigan, 1994: 124).

Universitas Sumatera Utara