Sepuluh Dua Jabu (Studi Deskriptif Mengenai Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu Dan Kehidupan Penghuninya Di Desa Beganding, Kebupaten Karo)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karo. 2010

Bangun, P. 1989. Situasi Rumah Adat Karo Sekarang Ini. Makalah untuk seminar Pelestarian Rumah Adat Karo, Medan 24 Oktober 1989.

Bangun, T. 1986; Manusia Batak Karo. Inti Idayu Press: Jakarta. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karo. 2010 Ginting, M.Ukur, 2008. Adat Karo Sirulo. Medan:

Ginting, Samaria, A.G. Sitepu. 1994. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Adat Batak Karo. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ginting. Sada Kata. 2010, “Makna Ornamen Tradisional Karo Pada Geriten di Desa Rumah Kaban Jahe Kabupaten Karo” Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.

Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 1979. Sejarah Teori Antropologi I : Jakarta : UI Press.

Koentjaraningrat. 2004. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Kusno, Abidin, 2000. Behind the Postcolonial; Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia. Routledge, London, pp.32

Marpaung, Happy, 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung : Alfabeta Prinst, Darwis. 1996. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo.

Pendit, S. Nyoman, 2003. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Peradana. Jakarta : Pradnya paramita

Moleong, Lexy, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent And Alliance Among The Karo Batak. Berkeley. University California Press.


(2)

Sitanggang, Hilderia. 1991. Arsitektur Tradisional Batak Karo. Jakarta :Pustaka Wisata Budaya.

Spardley, James P, 1977, Metode Etnografi, Yogyakarta PT Tiara Wacana,

Suprayitno, Edi. 2009, “Makna Simbolis” Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.

Tarigan, Henry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo. Medan. Yayasan Merga Silima

Tarigan, Sarjani. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme. Medan : Tanpa penerbit.


(3)

BAB III

DESKRIPSI RUMAH ADAT SEPULUH DUA JABU DI

DESA BEGANDING

3.1. Sejarah Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang terletak di Desa Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo merupakan perwujudan dari sifat kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat Karo pada masa lampau. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu biasa juga disebut Rumah Persada Ari, yang menurut informan peneliti artinya “Rumah Persatuan”. Dari artinya saja sudah dapat dilihat bahwa rumah tersebut penuh dengan nilai-nilai luhur dalam kebersamaan suatu kelompok masyarakat.

Peneliti melakukan penelitian langsung ke lokasi dimana Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu berada yaitu Desa Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Peneliti menjumpai beberapa informan yang sampai saat ini masih tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut. Salah satunya adalah bapak Terang Ukur Sitepu yang saat ini sudah berusia 68 tahun. Beliau merupakan penunggu asli yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu semenjak lahir hingga sekarang. Peneliti memakai istilah penunggu asli karena saat ini sebagian penghuni bukan merupakan keluarga asli dari keturunan keluarga yang mendirikan bangunan. Beliau bekerja sebagai petani palawija dan sudah menikah dan memiliki seorang cucu.


(4)

Foto 1: Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

Dari penuturan bapak Sitepu didapati bahwa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan pada tahun 1958, namun beliau tidak mengetahui pasti tanggal dan bulan berapa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan.namun, dari penuturan orangtuanya dahulu, Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan pada tahun 1958 akhir. Pada awalnya Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu hanya lah rumah kecil milik satu keluarga saja yaitu dari keluarga Merga Ginting. Setelah keluarga tersebut memiliki anak, dan kemudian tumbuh dewasa anak-anak mereka tadi pun menjadi dewasa dan berumah tangga.

Setelah anak-anaknya menikah, keluarga dari Marga Ginting memutuskan untuk mengajak sanak saudara dan keluarganya untuk tinggal bersama dalam satu


(5)

rumah. Gagasan tersebut pun dimusyawarahkan di dalam satu pertemuan, dimana didalam pertemuan tersebut hadir pihak-pihak dari 5 merga yang terdiri dari :

1. Merga Ginting 2. Merga Sitepu 3. Merga Tarigan 4. Merga Sembiring 5. Merga Sinuhaji

Akhirnya pembangunan rumah pun dilakukan dengan bergotong-royong. Pembangunan rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini memakan waktu selama hampir satu tahun. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan dengan bentuk yang cukup besar dan juga tinggi ke atas. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir kegiata-kegiatan adat seperti pesta pernikahan ataupun Kerja Tahun, dimana pada masa itu belum ada Zambur (balai acara) untuk tempat mengadakan pesta. Pada saat ini rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini hak warisnya dimiliki oleh keluarga dari Merga Ginting sebagai merga pertama yang memprakarsai pembangunan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini.

3.2. Tahapan Pembangunan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu semuanya bersumber dari hutan. Menurut bapak Sitepu pada zaman dahulu, pekerjaan membangun Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan pembangunan satu rumah adat seperti Rumah Sepuluh Dua Jabu ini memakan waktu sampai satu tahun. Oleh


(6)

karenanya, dalam tahapan mendirikan rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut dilakukan secara bertahap dan selalu dilakukan secara bergotong-royong.

Unsur penggerak adalah Rakut Adat dan sebagai pembantu ialah golongan masyarakat yang terdapat di suatu desa. Adapun tahapan-tahapan mendirikan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu adalah sebagai berikut:

a. Padi-padiken (Tapak Rumah)

Beberapa keluarga yang bermaksud mendirikan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu haruslah, mencari dan menentukan pertapakan rumah yang bakal dibangun. Apabila pertapakan itu sudah diperoleh dan dianggap baik letaknya, maka akan diadakan suatu acara yang dinamai padi-padiken (Tapak Rumah). Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pertapakan tersebut serasi dan tidak menimbulkan bala yang menempatinya kelak. Biasanya acara Padi-padiken (Tapak Rumah) diatur pengetua adat dan dukun untuk mendapatkan suatu firasat. Bila ternyata setelah upacara itu dilaksanakan hasilnya kurang baik maka dicari pertapakan lain. Dalam hal pembangunan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini yang digunakan sebagai tapak rumah adalah bekas rumah dari keluarga merga Ginting sebagai pihak Puang Kalimbubu.

Adapun cara dukun untuk mengetahui hal tersebut adalah dukun mengambil segenggam tanah pertapakan dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih). Tanah bersama sirih itu diletakkan pada suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih dahulu mengucapkan doa-doa guna meminta firasat kepada roh yang berkuasa melalui mimpinya. Keesokan harinya, dukun memperhatikan mimpinya dan menanyakan mimpi anggota keluarga yang akan mendirikan rumah Sepuluh


(7)

Dua Jabu tersebut. Apabila dukun dalam mimpinya menerima firasat baik begitu juga mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah, maka areal itu dapat digunakan.

b. Ngempak

Setelah proses padi-padiken selesai dan pertapakan telah didapat, maka keluarga-keluarga (jabu) yang hendak mendirikan rumah Sepuluh Dua Jabu itu menetapkan hari Salangsari (baik) dengan perantaraan dukun, untuk dapat pergi ke suatu hutan guna mencari kayu untuk rumah tersebut. Pada suatu hari yang telah ditentukan, mereka berangkat ke sebuah hutan bersama seorang gadis yang masih mempunyai ayah dan ibu, dengan tujuan mencari kayu untuk ditebang. Kayu yang menjadi bahan utama adalah kayu jenis merbau dan meranti, ada pun bahan untuk atap-nya adalah ijuk dari pohon aren.

Pada saat penebangan pertama adalah suatu tahapan yang penting dan krusial, dimana dukun memperhatikan dan mengamati secara teliti bagaimana cara tumbang kayu tersebut. Bila pada penebangan pertama itu ternyata ada tanda-tanda yang kurang baik, seperti misalnya ada keluarga yang terluka, burung-burung beterbangan, maka diulang kembali sampai sang dukun tadi mendapatkan firasat yang baik. Dalam proses penebangan pohon ini, sang dukun juga memiliki tuga untuk memilih pohon mana yang layak ditebang untuk bahan pembuatan rumah. Bagian-bagian yang tidak boleh luput dari instruksi dukun adalah ketika hendak menebang pohon untuk bagian tiang rumah, papan untuk dinding dan juga papan untuk lantai. Hal tersebut dikarenakan apabila sang dukun tidak


(8)

merestuinya, maka ditakutkan hal yang buruk akan terjadi, seperti rumah yang rubuh, atau suasana rumah yang menimbulkan efek buruk kepada penghuninya.

c. Ngerintak Kayu

Setelah tahapan ngempak atau mencari kayu untuk bahan pembuatan dari rumah itu sudah dikumpulkan secukupnya, maka thapan selanjutnya adalah ngerimpak kayu. Hal ini bertujuan untuk mengundang penduduk desa agar bersedia memberikan bantuan tenaga kepada pihak keluarga yang hendak mendirikan bangunan dalam menarik kayu dari hutan.

Demikianlah, kayu itu secara bertahap ditarik bersama oleh penduduk sampai semuanya selesai dan terkumpul pada tempat yang telah ditentukan untuk dibangun rumah. Setelah selesai pekerjaan ngerintak kayu, biasanya diadakan suatu kenduri (syukuran). Semua orang yang turut menarik kayu itu dan pande (tukang) yang akan mengerjakannya diundang dimana diadakan jamuan makan bersama. Biaya kenduri (syukuran) itu menjadi tanggungan keluarga-keluarga yang mendirikan rumah.

d. Pebelit-belitken

Sebelum pande (tukang) mulai bekerja pada suatu hari yang telah ditentukan, terlebih dahulu diadakan suatu acara yang disebut Pebelit-belitken, yang mana pada acara ini dihadiri oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah beserta Anak Beru, Senina, Kalimbubu, Pengetua atau Bangsa Tanah serta Pande (tukang) rumah yang bakal dibangun. Acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara pihak pendiri rumah dengan pande disaksikan oleh pihak Senina


(9)

dan Kalimbubu dan dijamini oleh Anak Berunya masing-masing. Pada acara ini juga diadakan jamuan makan.

e. Mahat

Beberapa hari setelah acara Perbelit-belitken diadakan, Pande (tukang) telah dapat melakukan tugasnya. Kayu yang telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas dengan Beliung (semacam kampak) sesuai dengan yang diperlukan, dan pekerjaan yang berikutnya dikerjakan pekerja mahat (memahat) perkayuan. Pada waktu mahat, masing-masing orang empunya memanggil kawannya lima orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula Pande (tukang) memberikan petunjuk yang dilanjutkan dengan Pemahatan pertama oleh dukun. Selanjutnya baru dapat dilanjutkan pekerjaan oleh orang-orang yang telah ditentukan.

f. Ngampeken Tekang

Setelah Binangun (tiang besar) selesai dikerjakan dan ditegakkan di atas (pondasi), begitu juga peralatan pekerjaan, perkayuan besar di bagian bawah rumah itu selesai dipasang, maka sebagian dari pekerjaan pande (tukang) telah dapat dikatakan selesai. Oleh karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan dengan Ngampaken Tekang yaitu mengangkat dan menaikan belahan balok panjang yang berfungsi sebagai tutup yang letaknya memanjang di dalam rumah itu. Pekerjaan ini juga harus disertai oleh tenaga gotong-royong oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah tersebut.


(10)

g. Ngapeken Ayo

Rumah Adat Karo mempunyai Ayo, yaitu bagian atas rumah yang berbentuk segi tiga. Ayo Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu itu terbuat dari bambu dengan anyaman bercorak khusus diberi ragam warna dengan motif hiasan bidang. Bayu-bayu (anyaman bambu) yang dipergunakan menjadi Ayo rumah itu, dijepit dengan semacam papan yang bagian bawahnya diberi ukiran. Setelah Ayo itu selesai dikerjakan, lalu dipasangkan ke rumah menurut instruksi dari pande (tukang) dengan dibantu beberapa orang.

h. Memasang Tanduk

Walaupun bagian-bagian dari rumah itu telah dikerjakan dan rumah itu dapat dipergunakan, tapi sebelum dipasang tanduknya berarti belum selesai. Oleh karena itu dipasang tanduk Kerbau, hal ini bukan hanya berlaku pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu saja, tetapi berlaku juga pada Rumah Adat Karo lainnya dimana hal ini sudah menjadi keharusan dan tidak boleh diabaikan.

Tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang di puncak atap. Pemasangannya harus pada malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat Karo. Dasar dari tempat melekatkan tanduk itu dibuat dari tali ijuk, dilipat dengan semacam perekat dan diberi warna dengan cat putih. Kemudian selanjutnya pekerjaan adalah mengerjakan bahagian Ture (serambi) dan tangannya.


(11)

i. Memasuki Rumah Baru

Menurut kebiasaan dalam adat Karo, bila suatu rumah adat telah selesai dibangun maka diadakan sebuah upacara untuk memasuki rumah baru (mengket rumah mbaru). Upacara ini sebagai bentuk pernyataan telah selesainya suatu pekerjaan besar dan mulia, karena sewaktu mengerjakannya memakan waktu dan tenaga yang sangat lama, di samping itu upacara ini juga adalah sebagai tanda bahwa rumah itu telah dapat ditempati secara resmi.

Menurut adat walapun rumah itu telah selesai dibangun, tetapi masing-masing penghuni rumah tidak diperkenankan menempati secara sendiri-sendiri apalagi dalam waktu atau hari yang berbeda-beda. Oleh sebab itu cara memasuki rumah baru adalah sebagai berikut:

Beberapa minggu setelah rumah itu selesai dikerjakan, semua penghuni rumah mengadakan musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kata sepakat tentang cara memasuki rumah baru itu termasuk tingkatan pesta yang akan dilaksanakan nantinya. Pembicaraan harus dijaga jangan sampai menyinggung perasaan hati seseorang. Setelah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah, kemudian ditentukan hari atau tanggal memasuki rumah baru itu.

Dalam hal ini dukun (guru) berperan dalam menentukan hari yang baik untuk memasuki rumah baru itu. Semua penghuni harus bekerja keras dalam melaksanakan tugasnya baik untuk pengadaan makanan, terutama lembu atau kerbau yang hendak dipotong, juga persiapan berupa beras, cimpa, gula, kelapa,


(12)

sayur, sirih, tembakau, gambir, pinang, serta daun nipah untuk rokok, harus disediakan secukupnya.

Pada hari yang telah ditentukan, pagi- pagi benar sebelum matahari terbit, semua penghuni rumah baru bersama keluarganya telah bersiap-siap di tempat masing-masing untuk berangkat serentak ke rumah baru tersebut. Setelah ada isyarat atau petunjuk, kemudian masing-masing keluarga bergerak bersama-sama menuju rumah baru itu, didahului oleh penghuni jabu bena kayu dengan perkiraan bersamaan dengan tibanya di rumah baru itu matahari telah terbit di ufuk Timur.

Mula-mula yang naik ke rumah itu ialah penghuni jabu bena kayu (penghulu rumah), seterusnya diikuti oleh penghuni rumah lainnya berturut-turut melalui pintu jabu bena kayu. Sewaktu hendak memasuki rumah baru itu terlebih dahulu dipersiapkan tanah di dalam baka dibawa dengan iringan seorang gadis yang masih lengkap orang tuanya diantaranya ada juga membawa rudang-rudang simelias gelar. Dengan selesainya acara itu, para hadirin telah dapat menikmati makanan yang telah tersedia seperti cimpa dan seterusnya makan bersama (ngukati).

Setelah itu para penghuni rumah dapat beramah tamah dan berbincang-bincang sambil merokok dan makan sirih atau minum. Tibalah saatnya gendang dipalu dan acara menari telah dipersiapkan sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Malam harinya acara dilanjutkan kembali, acara malam hari ini dinamai “muncang” artinya mengusir roh-roh jahat dari rumah itu. Selesai acara muncang maka dilanjutkan dengan acara “ngeraksamai rumah” artinya acara untuk


(13)

mempersatukan bagian peralatan rumah itu antara kayu yang bermacam jenis dan tempatnya maupun yang kering setengah kering dan yang masih basah.

Kedua cara itu menyangkut kepercayaan yang diperankan oleh dukun atau guru yang berpengalaman. Biasanya acara ini memakan waktu yang cukup lama bahkan sampai tengah malam baru selesai. Empat hari lamanya, semua penghuni rumah itu tidak diperkenankan bekerja di ladang atau di sawah yang sifatnya pekerjaan berat. Waktu empat hari itu bagi mereka masih dianggap sebagai hari-hari tenang di dalam permulaan menempati rumah baru itu, juga tidak dibenarkan, bahkan dianggap tercela jika terjadi pertengkaran di antara keluarga-keluarga di rumah baru itu. Seandainya hal itu terjadi, dianggap sebagai suatu permulaan malapetaka yang akan timbul dibelakang hari.

Bagi setiap keluarga yang memiliki anak laki-laki dewasa, mereka tidur ditempat lain yang disebut jambur, bagitu pula tamu laki-laki. Jambur selain sebagai tempat musyawarah dan tempat tidur juga sebagai tempat penyimpanan padi dan jagung. Bagi para anak laki-laki dewasa selain tidur di jambur mereka juga bertugas untuk menjaga padi dan jagung yang ada di jambur tersebut. Bagi orang tua yang hendak melakukan hubungan seks (badan) mereka melakukannya pada saat siang atau malam hari tetapi tidak pada rumah adat tersebut melainkan di pondok (barung) mereka yang ada di ladang. Tetapi ada juga yang mendirikan bilik atau tirai-tirai kain pada rumah adat tersebut. Tetapi pembuatan bilik tersebut harus lebih dari setahun setelah rumah adat tersebut selesai dibangun.


(14)

j. Membagi Ruangan

Tahapan terakhir setelah rumah selesai dibangun adalah membagi ruangan yang akan ditempati oleh masing-masing Jabu (keluarga). Pembagian ruangan ini adalah berdasarkan posisi adat setiap Jabu (keluarga) dalam silsilah kekerabatan mereka. Terdapat 5 marga yang menempati rumah tersebut, dan masing-masing marga memiliki posisinya masing-masing dalam sistem kekerabatan keluarga tersebut. Adapun urutannya adalah sebagai berikut:

Gambar 1: Pembagian Ruangan Dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu


(15)

1. Ginting : Puang Kalimbubu

Puang Kalimbubu ialah semua Kalimbubu dari Kalimbubu itu sendiri dengan berbagai tingkatannya. Dalam rumah adat Sepuluh Dua Jabu di Desa Beganding, pihak dari Merga Ginting sebagai Puang Kalimbubu menempati bagian ruangan yang paling depan. Hal ini dikarenakan posisi Puang Kalimbubu dalam masyarakat Karo adalah yang tertinggi. Sedikit menambahkan, bahwa pada Rumah Adat Karo posisi keluarga yang menmpati setiap ruangan dapat dibedakan kedudukannya dari pembagian ruangan ini. Semakin didepan posisi keluarga yang menempati ruangan, maka semakin tinggi pula derajatnya di rumah tersebut. Sementara apabila semakin kebelakang maka posisinya dalam keluarga adalah semakin rendah/lemah. Penempatan posisi di ruangan yang paling depan juga berguna agar setiap tamu yang hendak masuk, harus meminta izin yang lebih tua dulu. Pihak Puang Kalimbubu menempati dua ruangan di dalam rumah tersebut.

2. Sitepu : Kalimbubu

Pada ruangan yang paling depan sebelah kanan ditempati oleh keluarga Merga Sitepu sebagai Kalimbubu. Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan itu adalah Kalimbubu kita. Disebabkan adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah dan anak-anaknya semua telah masuk jadi golongan Kalimbubu.

Dalam adat Karo kedudukan Kalimbubu sangat dihormati, malah disebutkan dengan istilah “Dibata ni Idah” artinya Tuhan yang dapat dilihat. Kalimbubu punya perbedaan dengan Sukut/Sembuyak, karena Kalimbubu


(16)

dibedakan secara berjenjang mulai dari atas sampai ke bawah. Oleh karena itu Kalimbubu untuk setiap jenjang atau tingkatan diberi namanya untuk dapat membedakannya. Dalam rumah adat Sepuluh Dua Jabu pihak Kalimbubu menempati dua ruangan di dalam rumah tersebut.

3. Tarigan : Anak Beru Mentri

Di urutan ketiga ada pihak dari keluarga Tarigan sebagai Anak Beru Mentri. Anak Beru Menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat. Pihak dari keluarga Anak Beru Menteri juga menempati dua ruangan di dalam rumah untuk masing-masing dua keluarga.

4. Sembiring : Sukut

Kemudian yang keempat di dalam rumah tersebut adalah pihak dari Merga Sembiring yang merupakan Sukut dalam keluarga tersebut. Sukut merupakan salah satu yang sangat penting dalam suatu pesta adat masyrakat Karo, baik itu pesta pernikahan atau pun kematian, yang dimana pengertian dari Sukut adalah suatu kelompok atau orang-orang yang satu kata dengan kita dalam suatu permusyawaratan adat Karo atau Runggun, namun pengertian Sukut juga dapat diartikan dengan orang-orang atau kelompok yang masih satu marga dan satu cabang dengan kita, dan juga masih satu kesain atau kampung dengan kita.


(17)

Di dalam Sukut sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yang dimana di dalam kedua kelompok ini mempunyai Sub-sub dari Sukut sendiri, atau yang dalam pesta adat sering disebut juga dengan Tegun Sukut, dan juga semua sub-sub ini akan duduk pada satu tempat duduk yang sama atau disebut juga dengan sada Amak Kundulen, dimana tempat duduk bersama dalam Sukut ini disebut dengan Amak Sukut. Yang membedakan antara Sukut ini adalah hubungan yang langsung atau ke Sukut, dan hubungan yang berprantara atau erkelang ke Sukut.

5. Sinuhaji : Anak Beru Angkip

Pihak yang kelima yang menempati ruangan tersebut, atau yang paling belakang adalah pihak dari merga Sinuhaji yang posisinya sebagai Anak Beru Angkip di keluarga tersebut. Anak Beru Angkip yaitu menantu atau suami dari anak yang baru untuk pertama sekali keluarganya kawin dengan keluarga kita.

Adapun ruangan terakhir diperuntukan untuk siapa saja yang mau menempati dari pihak saudara lainnya. Demikianlah urutan acara-acara di dalam pelaksanaan yang mendirikan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu, menurut kebiasaan yang berlaku pada suku Karo.

Walau secara umum Rumah Adat Karo memiliki bermacam-macam nama berdasarkan berapa banyak jumlah jabu yang tinggal didalamnya, namun dilihat dari segi bangunan atau bentuknya ada dua macam garis besar yang membedakannya. Satu dinamai “Rumah Adat Biasa” dan satu lagi “Rumah Anjung-ajung”. Rumah Adat Biasa mempunyai dua Ayo, sedangkan Rumah Adat Anjung-ajung mempunyai delapan Ayo. Bila ditinjau dari segi arsitektur


(18)

bangunannya yang indah. Selain dari segi keindahannya, dikenal berfungsi sebagai pembinaan keluarga dan sosial. Dalam hal Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu memiliki 12 ayo, dan masuk dalam kategori Rumah Anjung-Anjung.

Disamping itu Rumah Adat Karo mempunyai keistimewaan dalam hal pembuatannya, rumah itu dapat berdiri dengan megahnya walaupun dengan peralatan yang sederhana dan tidak menggunakan paku untuk perekatnya. Rumah adat orang Karo ini biasanya didiami oleh 8 kepala keluarga (ada juga 16 kepala keluarga), seperti Rumah empat ture (empat sisi pintu muka) di kampung Batukarang, Tanah Tinggi Karo. Tinggi rumah adat ini sekitar 30 meter, beratapkan ijuk dan pada tiap muka dari atapnya dipasang tanduk kerbau.

Rumah dengan panjang kurang lebih 16 meter dan lebar 10 meter di mana dipasang belahan kayu besar dengan tiang-tiang kayu yang berukuran diameter 60 cm, dinding bagian bawah agak miring kurang lebih 30 derajat, disertai ukiran-ukiran disepanjang bagian dinding dan lain sebagainya yang agak rumit disertai pula pemasangan tali-tali ijuk disepanjang dinding itu yang menggambarkan sejenis binatang melata seperti cicak. Pembuatan dari rumah adat ini sendiri memakan waktu lama, sekitar satu sampai empat tahun. Pembuatannya dirancang oleh arsitektur kepala yang disebut pande (tukang).

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabunya (ruangannya) di dalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan di dalam rumah itu berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo.


(19)

Bentuknya sangat megah dan diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat diatur oleh adat Karo.

Berdasarkan bentuk atap, rumah adat Karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Rumah sianjung-anjung, rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu tersek atau dua tersek dan diberi bertanduk.

2. Rumah Mecu, rumah Mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.

Sementara itu, bangunan Rumah adat Tradisional Karo juga terdiri dari 2 jenis yaitu menurut binangun (tiang) :

1. Rumah Sangka Manuk, rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.

2. Rumah Sendi, rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik. Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (Utara) dan kenjulu (Selatan) sesuai aliran air pada suatu kampung.

3.3. Bagian-Bagian Rumah (Simbol Dan Maknanya)

Suku Karo mempunyai bangunan yang tradisional yang Sebuah kesain (kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu


(20)

jambur, lesung, dan geriten. Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga. Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua bagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Barat, dan seluruh ruangan dibagi atas delapan bagian (jabu). Ada pun bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Patung Kepala Kerbau.

Kepala kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu berada dalam posisi tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga sebagai penangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut.

2. Tali Ret-ret.

Pengikat dinding miring, dan ada gambar cicak dengan dua kepala dan jari-jari tiga disebut Beraspati Rumah. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anak Beru, Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama pentingnya. Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan persatuan dan dianggap sebagai penangkal setan.

3. Pinggiran Atap.

Pinggiran atap (cucuran air hujan) di sekeliling rumah pada segala arah yang sama, menyatakan bahwa penduduk rumah juga mempunyai perasaan senasib sepenanggungan.


(21)

4. Tungku

Tungku berjumlah 12 buah (tungku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu (keluarga) mempunyai 1 tungku yang sama tingginya. Masing-masing keluarga memasak makanannya masing-masing.

5. Dapur.

Dalam rumah adat Sepuluh Dua Jabu masing-masaing keluarga memiliki satu dapur yang didalamnya juga terdapat tungku untuk memasak. Jadi total didalam rumah adat Sepuluh Dua Jabu ini terdapat 12 dapur dan 12 tungku untuk masing-masing keluarga.

Foto 2: Suasana Dapur Penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu


(22)

6. Jambur,

Salah satu alasan pembangunan rumah adat Sepuluh Dua Jabu pada masa lampau adalah untuk sekaligus membuat tempat acara pesta yang bisa dipakai oleh keluarga atau masyarakat. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu pada zaman dahulu sempat berfungsi sebagai jambur atau lokasi penyelenggaraan pesta adat. Bagian rumah yang dipakai sebagai jambur dari rumah adat Sepuluh Dua Jabu ini adalah bagian dalam berupa lorong rumah yang cukup luas. Berbeda dengan zambur biasanya pada saat ini yang terdiri dari 3 bagian yaitu : Bagian bawah, merupakan suatu lantai tidak berdinding. Bagian tengah, tempat penyimpanan padi. Bagian atas, suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur pemuda-pemuda kampung. Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang telah berusia 13 tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur. Didalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ternyata bisa dimodifikasi menjadi jambur atau tempat untuk pesta. Hal ini pula lah yang melatarbelakangi pembuatan rumah adat Sepuluh Dua Jabu, yaitu agar tersedianya tempat untuk melaksanakan pesta adat.

7. Lesung.

Beberapa kesain mempunyai sebuah lesung persekutuan, yang digunakan oleh gadis-gadis desa sebagai tempat menumbuk padi di malam hari. Dahulu rumah adat Sepuluh Dua Jabu memiliki 2 buah lesung, namun saat ini hanya tinggal 1 saja.


(23)

8. Geriten

Geriten ini adalah merupakan suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat. Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah jauh berbeda dengan peralatan rumah biasa. Bangunan ini dibuat bertiang, mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat geriten ini dibuat ukiran-ukiran khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna. Biaya bangunan ini sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh karenanya yang memakai geriten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja. Geriten tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang bersangkutan.

9. Ture

Ture terbuat dari bambu yang disusun. Fungsinya sebagai teras rumah adat. Ture merupakan tempat pertemuan kaum muda mudi pada waktu malam hari dan bisa juga sebagai tempat menganyam bagi kaum wanita. Jadi, apabila ingin masuk ke dalam rumah adat, harus menaiki tangga dan melewati ture tersebut.

10. Lantai rumah

Lantai rumah yaitu sebagai tempat mengadakan aktifitas atau tempat kegiatan dari anggota keluarga. Lantai ini dibuat dari kayu yang dipotong menjadi papan dan disusun rapi.


(24)

11. Tiang (binangun)

Tiang atau binungan adalah tiang utama yang berbentuk bulat dan terbuat dari kayu besar yang digunakan sebagai penopang rumah untuk dapat berdiri tegak dan kokoh. Dapat juga dikatakan bahwa tiang tersebut gunanya untuk memungkinkan adanya jarak antara tanah dengan lantai rumah.

Foto 3: Tiang Penyangga Rumah

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

12. Tangga

Tangga ini terbuat dari batu yang disusun. Fungsinya sebagai jalan untuk naik dan turun dari dan ke rumah adat. Biasanya anak tangga berjumlah lima, menggambakan lima marga yang ada pada masyarakat Karo. Dalam rumah adat


(25)

Sepuluh Dua Jabu terdapat dua tangga yang terletak di masing-masing pintu masuk dan keluar rumah adat tersebut.

Foto 4: Tangga Bagian Belakang Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

13. Para

Para terbuat dari kayu yang disusun. Letaknya tepat di atas dapur, digunakan untuk tempat menyimpan alat-alat dapur dan kayu api.


(26)

14. Jendela

Jendela pada rumah adat sepuluh dua jabu memiliki model dua sisi. Masing-masing keluarga dalam satu ruangannya memiliki jendela sebagai sirkulasi udara.

Foto 5: Jendela Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

15. Pintu

Pintu dari rumah ada Sepuluh Dua Jabu memiliki bentuk dua sisi. Pintu ini sama modelnya seperti halnya jendela rumah. Yang unik adalah pintu rumah ini tidak pernah tertutup, menurut bapak Sitepu hal itu sebagai simbol bahwa tua rumah membuka lebar-lebar rumahnya untuk siapa saja yang ingin berkunjung.


(27)

Hal ini juga dilakukan agar rezeki dapat masuk ke keluarga-keluarga yang ada didalamnya.

16. Tiang penyokong

Tiang penyokong terbuat dari kayu. Merupakan tiang besar yang letaknya di tengah-tengah terus sampai ke bubungan rumah. Sesuai dengan namanya, tiang ini berfungsi untuk menyokong serta memperkokoh berdirinya rumah.

Foto 6: Tiang-Tiang Penyokong Pada Adat Rumah Sepuluh Dua Jabu.

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016

17. Dinding

Dinding atau yang disebut juga derpih, Dinding rumah adat adalah papan yang dipotong, disusun berdiri dan pemasangannya agak miring. Menggambarkan


(28)

kerendahan hati dari orang yang mendiami rumah tersebut. Tumpuan derpih sebelah bawah disebut melmelen. Dinding ini berguna untuk melindungi penghuni rumah adat dari angin, hujan dan binatang.

Foto 7. Dinding Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Sumber : Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

18. Atap

Atap terbuat dari ijuk dengan tebal kira-kira tiga inci. Berfungsi melindungi penghuni rumah dari panas, hujan dan juga melindungi bahan bangunan supaya tidak cepat rusak. Bahan untuk dijadikan atap ialah ijuk yang agak lebar dan besar, sedangkan bagian ijuk yang kecil dan halus dijadikan kelempu (atap bagian bawah). Namun, pada saat ini rumah adat Sepuluh Dua Jabu


(29)

sudah tidak menggunakan ijuk lagi sebagai atapnya. Saat ini atap ijuk telah diganti dengan seng karena atap ijuk yang lama telah rusak, dan jika mengganti dengan ijuk lagi maka biayanya akan sangat mahal.

Foto 8: Atap Rumah Sepuluh Dua Jabu Yang Telah Direnovasi.

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

19. Kamar Mandi

Saat ini rumah Adat sepuluh dua jabu telah memiliki kamar mandi agar dapat mempermudah pemiliknya untuk mandi ataupun buang air. Dahulu Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tidak memiliki kamar mandi, sehingga penghuninya harus pergi ke pancuran air yang ada di mata air yang keluar dari tebing-tebing bukit di dekat rumah.


(30)

Foto 9: Kamar Mandi Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

3.4. Bentuk dan Fungsi Ornamen Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Rumah adat Sepuluh Dua Jabu memiliki beberapa ornamen atau ragam hias. Adapun nama, jenis, fungsi dan makna dari beberapa ornamen yang ada pada rumah adat adalah:

a. Tapak Raja Sulaiman

Bentuk: Ornamen ini mengambil nama dari seorang raja yang dikenal sangat sakti dan berilmu tinggi. Konon ornamen digunakan sebagai petunjuk jalan supaya tidak tersesat di perjalanan. Ornamen ini terdapat pada dinding melmelen di pangkal dan ujungnya.


(31)

Fungsi: Ornamen ini mempunyai fungsi mistik sebagai penahan roh-roh jahat, penolak bala, penolak gatal-gatal dan keracunan.

b. Dasa Siwaluh

Bentuk: Bentuknya seperti bintang delapan sebagai gambaran arah mata angin. Hiasan ini terletak di bagian tengah melmelen sesudah Bindu Natogog. Ornamen ini mengandung arti perlambangan mata angin sebagai petunjuk arah dunia.

Fungsi: Fungsinya secara magis adalah menentukan hari dan bulan yang baik untuk manusia. Ornamen ini juga digunakan untuk mencari benda yang hilang.

c. Embun Sikawiten

Bentuk: Ornamen ini berbentuk hiasan ini dibuat berulang-ulang dan saling mengait satu sama lain untuk mengisi bidang melmelen yang mengandung arti kemakmuran.

Fungsi: Hanya berfungsi sebagai hiasan tanpa adanya unsur magis.

d. Bunga Gundur dan Pantil Manggis

Bentuk: Ornamen ini memiliki bentuk seperti bunga labu dan bagian bawah buah manggis. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Ornamen ini dianggap sebagai simbol keindahan dan tidak mengandung unsur mistik.


(32)

e. Tumba Lau dan Tutup Dadu

Bentuk: Kedua ornamen ini berbentuk awan berarak yang dibuat berulang-ulang pada tepi bawah dan atas melmelan sebagai hiasan yang melambangkan kecerahan.

Fungsi: Fungsi ornamen ini adalah sebgai hiasan.

f. Teger Tudung

Bentuk: Ornamen ini berbentuk kubah mesjid dan dibuat di tengah melmelan pada pangkal dan ujungnya sebagai hiasan. Teger Tudung mengartikan ketampanan dengan simbol kewibawaan.

Fungsi: Ornamen ini berfungsi sebagai lambang keagungan.

g. Hiasan Cuping

Bentuk: Pada sudut rumah sebagai batas dinding (derpih) depan dan samping terdapat sebidang papan yang berbentuk telinga. Sedangkan pada bagian bawah cuping ini sering dihiasi dengan hiasan kemping yang melambangkan anting-anting. Cuping mengandung arti pendengaran tajam.

Fungsi: Fungsinya sebagai nasehat bahwa pemilik rumah harus pandai menyaring barita-berita atau ucapan orang yang didengar.

h. Beraspati (Pengeretret)

Bentuk: Ornamen ini berbentuk cecak dengan kepala berada di bagian kiri dan kanan. Bahannya terbuat dari tali ijuk yang ditempelkan pada dinding dan sebagai hiasan yang mengelilingi dinding (derpih) rumah.


(33)

Fungsi: Ornamen ini dianggap sebagai simbol kekuatan penangkal setan dan persatuan masyarakat. Selain itu, ornamen ini berfungsi untuk memperkuat ikatan antar dinding (fungsi konstruksi).

i. Penga lo-ngalo ( bendi-bendi)

Bentuk: Pengalo-ngalo (bendi-bendi) merupakan ukiran sebagai hiasan daun pintu. Apabila masuk ke dalam rumah, pengalo-ngalo ini harus dipegang untuk menjaga keseimbangan karena pintu rumah adat lebih kecil dari pintu rumah biasanya. Hiasan ini sebagai lambang kesopanan antara orang yang datang (tamu) dengan penghuni rumah.

Fungsi: Fungsi ornamen ini sebagai penyambut (pengalo-ngalo) tamu.

3.5. Upaya Penyelamatan dan Makna Rumah Adat Karo Saat Ini

Ketika melihat kondisi Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini ada sangat lah memperihatinkan. Beberapa dari bagian bangunan sudah dirubah, namun sayangnya tidak mempertahankan bentuk aslinya. Padahal bangunan Rumah Adat Sepuluh Dua JAbu merupakan salah satu bangunan warisan budaya Karo yang saat ini sudah sangat jarang dijumpai. Bahkan Rumah Adat Karo merupakan salah satu diantara 10 rumah adat di Indonesia yang hampir punah.

Menurut Donald G. MacLeod (1977), seorang pakar pengelolaan sumberdaya budaya dari Kanada, upaya pelestarian warisan atau pusaka budaya akan dapat dilakukan secara maksimal apabila melibat tiga kubu utama, yaitu Akademia, Pemerintah, dan Masyarakat. Sarjana ini menggambarkan ketiga kubu tersebut berada dalam satu lingkaran bersama sebagai kesatuan yang sinergis


(34)

(lihat diagram di bawah). Apabila sinergi tiga kubu ini tidak berjalan dengan baik, proses pengelolaan dan pelestarian sumberdaya budaya akan menghadapi ancaman kegagalan.

Dalam proses bersinergi, setiap kubu harus mempunyai kesadaran akan peran dan potensinya masing-masing. Akademia mempunyai kekuatan dalam pengajian ilmiah dan kemampuan untuk mengungkapkan pengetahuan berkaitan dengan sumberdaya budaya. Kubu ini berperan dalam pengajian ilmiah dan menemukan pengetahuan tentang warisan atau pusaka budaya dan menyajikan kepada masyarakat luas melalui berbagai media sebagai wujud tanggung- jawabnya. Mereka juga harus memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya budaya, di antaranya dengan menentukan nilai relatif sumberdaya, menaksir potensi sumberdaya, dan mengusulkan prioritas pemanfaatan sumberdaya.

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu saat ini posisinya dalam kebudayaan Karo sudah tidak ada lagi. Hal ini dapat peneliti buktikan dengan realita yang ada di lapangan, dimana Rumah Adat kehilangan fungsinya sebagai lambing dan cirri khas kebudayaan Karo. Bangunan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini tinggal satu-satunya saja di Kabupaten Karo bahkan dunia kini kondisinya sangat memperihatinkan. Apabila dahulu Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu digunakan sebagai simbol kebesaran dari suatu keluarga, kini terbalik menjadi simbol kemiskinan. Hal ini terjadi karena orang-orang yang menempatinya saat ini lekat dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.


(35)

Pemerintah mempunyai kekuasaan yang besar untuk mengatur dan mengoordinasi-kan pengelolaan sumberdaya budaya seperti Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini. Kubu Pemerintah mempunyai kekuatan hukum dan dana untuk melaksanakan pengelolaan. Pemerintah mempunyai mandat untuk menetapkan perangkat hukum atau perundang-undangan sebagai landasan kerja pengelolaan sumberdaya budaya serta upaya penegakan hukum tersebut. Sesuai dengan perannya, pemerintah harus mendukung dan memberikan fasilitas bagi program-program pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan apresiasi terhadap sumberdaya budaya, baik melalui penyelenggaraan museum, pameran, publikasi, maupun cara-cara penyampaian informasi lainnya. Sementara itu, masyarakat pada hakekatnya adalah kubu yang berdaulat dan memegang hak atas pemanfaatan sumberdaya budaya. Masyarakat lah yang akan memberi arti dan memberi nilai suatu sumberdaya budaya.

Bagi masyarakat, sumberdaya itu dapat saja dipandang sebagai sarana hiburan dan rekreasi, pelampiasan kesenangan atau hobby, atau bisa jadi dipandang sebagai bagian industri pariwisata yang dapat mendatangkan banyak uang. Namun, sumberdaya budaya dapat pula diberi makna yang lebih berbobot sebagai wahana pendidikan, bahan kajian ilmu, model inspirasi untuk masa kini, bahkan ada kalanya dianggap sebagai jatidiri suatu komunitas atau kelompok masyarakat (lihat Cleere, 1989).


(36)

BAB IV

KEHIDUPAN PENGHUNI RUMAH ADAT SEPULUH DUA JABU

4.1. Makna Setiap Jabu

Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebut Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu di Desa Beganding :

1. Jabu Bena Kayu

Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah. Di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang berperan sebagai Jabu Bena Kayu adalah dari pihak Puang


(37)

Kalimbubu yaitu keluarga dari merga Ginting, yang posisinya berada paling depan di barisan ruangan dalam rumah. Diposisikan di bagian yang paling depan memiliki arti bahwa dia (merga Ginting) yang berada di depan adalah dia yang menjadi pemimpin dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

2. Jabu Ujung Kayu

Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu Ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat. Di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu maka yang menempati posisi Jabu Ujung Kayu adalah Anak Beru Mentri dari pihak keluarga Merga Tarigan.

3. Jabu Lepar Bena Kayu

Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu. Di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang berperan sebagai Jabu Lepar Bena Kayu adalah


(38)

pihak Kalimbubu dari keluarga Merga Sitepu yang kedudukannya setingkat dibawah pihak Puang Kalimbubu sebagai Jabu Bena Kayu.

4. Jabu Lepar Ujung Kayu

Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum. Walaupun begitu hal tersebut sedikit berbeda dengan yang terjadi di Rumah Sepuluh Dua Jabu dimana pihak Kalimbubu dalam hal ini yang berasal dari Merga Sitepu juga memikul tangung jawab untuk mengawasi keadaan rumah. Hal ini terjadi karena dari jumlah 12 keluarga yang menempati rumah, masing-masing berasal dari 5 merga saja.

5. Jabu Sedapuren Bena Kayu

Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun


(39)

di lingkup Kuta. Posisi ini juga disematkan kepada pihak keluarga Merga Tarigan yang posisinya sebagai anak beru mentri.

6. Jabu Sedapuren Ujung Kayu

Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan. Dahulu posisi ini ditempati oleh pihak dari Sukut yang berasal dari keluarga merga Sembiring. Namun, karena perubahan zaman peran ini sudah tidak lagi dipegang oleh pihak Sukut dari merga Sembiring.

7. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu

Merupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat. Peran ini dipegang oleh Anak Beru Angkip dari pihak keluarga merga Sinuhaji di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.


(40)

8. Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu

Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu. Biasanya dahulu di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu letak tempat tinggalnya berada di bagian paling belakang rumah bersama dengan pihak Anak Beru Angkip. Seorang guru/dukun bisa berasal dari marga mana saja yang dikehendaki oleh pihak Jabu Bena Kayu untuk menempati rumah tersebut.

Demikian nama, posisi dan peran masing-masing kedelapan Jabu dalam Rumah Adat Karo Sepuluh Dua Jabu. Walau peran dan tugas masing-masing Jabu berbeda-beda dan telah dibagi menurut kedudukannya, tetapi keseluruhan Jabu dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu merupakan suatu kesatuan yang utuh dan saling terikat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Karo adalah masyarakat sosial yang memiliki ikatan yang sangat erat satu dengan yang lainnya dan memiliki sifat kekeluargaan saling membantu dan saling melengkapi (gotong-royong) yang tercermin dari Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.


(41)

4.2. Kemiskinan Dalam Kehidupan Penghuni Rumah

Salah satu yang menjadi perhatian penting di dalam penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana kehidupan keluarga yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Pada awalnya peneliti berfikir bahwa seluruh penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini menempatinya adalah dari keturunan asli, namun teernyata hal itu tidak lah benar. Hanya tinggal tersisa dua keluarga saja yang masih merupakan bagian dari keturunan asli pendiri rumah Sepuluh Dua Jabu. Diantaranya adalah keluarga bapak Terang Ukur Sitepu dari merga Sitepu dan keluarga Ginting.

Sementara itu penghuni lainnya berasal dari berbagai desa di Kabupaten Karo. Walaupun mereka tidak memiliki latar belakang saudara dengan penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu, namun mereka diperbolehkan untuk tinggal di Rumah Adat Tersebut. Menurut penjelasan dari bapak Terang Ukur Sitepu, alasan mengapa banyak sekali penghuni asli yang sudah tidak tinggal di rumah tersebut adalah karena rumah tersebut sudah tidak cukup lagi untuk menampung keturunannya. Sebab seperti bapak Terang Sitepu saja memiliki 3 saudara, dan beliau adalah anak tertua dari keluarga tersebut. Keluarga dari merga lainnya juga ada yang memiliki 5 anggota keluarga seperti keluarga merga Ginting, tentu ruangan di dalam rumah tersebut tidak akan mencukupi.

Alasan berikutnya juga karena adanya anggapan bahwa mereka yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu identik dengan kemiskinan. Biasanya anggota keluarga dari penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu akan tinggal di rumah permanen di desa atau kota lainnya. Sebab menurut mereka tinggal di


(42)

Rumah Sepuluh Dua Jabu segala sesuatunya serba terbatas. Setelah para anggota keluarga keturunan keluar dari rumah tersebut, maka timbul ide untuk menyewakan beberapa ruangan untuk dipakai oleh warga lainnya.

Salah satu penghuni yang tinggal dan menyewa di rumah tersebut adalah bapak Gerhana Perangin-angin (35 tahun). Beliau bekerja sebagai petani sayur, dan terkadang juga menjadi buruh tani di ladang-ladang milik tetangganya. Bapak Perangin-angin tinggal di ruangan yang sebelumnya ditempati oleh keluarga Sembiring. Bapak Perangin-angin tinggal di ruangan tersebut bersama seorang isteri dan dua orang anak laki-lakinya.

Bapak Perangin-angin sebelumnya berasal dari Kuta Simacem yang terletak tidak jauh dari Desa Beganding. Sebelumnya bapak Perangin-angin tinggal di rumah orangtuanya selama 3 tahun. Alasan ekonomi menjadi fator utama mengapa bapak Perangin-angin memilih untuk tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Adanya perasaan malu karena menumpang di rumah orangtua terus menerus juga menjadi salah satu alasan kuat bapak Perangin-angin memilih untuk tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Awal cerita bapak Perangin-angin mengetahui bahwa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu bisa ditempati adalah dari salah satu anggota keluarga merga Sembiring yang merupakan kenalan bapak Perangin-angin di pasar. Satu kali bapak Perangin-angin pernah menanyakan kepada bapak Sembiring dimana kira-kira tempat rumah sewa yang murah tetapi tidak terlalu jauh dari desa nya. Bapak Sembiring pun pada saat ini menawarkan langsung untuk tinggal menyewa di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.


(43)

Menuurut bapak Perangin-angin pertimbangan dari keluarga merga Sembiring untuk mau menyewakan salah satu ruangan rumah pada saat itu adalah karena untuk bisa sekaligus menjaga dan merawat rumah tersebut. Apabila kosong maka rumah tersebut tidak akan terawat dan berpotensi untuk rusak. Bapak Perangin-angin menyewa rumah tersebut dengan harga sewa Rp.50.000/bulan dan dibayarkan kepada keluarga merga Sembiring.

Mekanisme pembayaran uang sewa memang diatur secara lisan saja diantara para penghuni asli jika ingin menyewakan ruangannya kepada orang lain di luar keluarga. Namun, sebelumnya tetap harus meminta izin dari pihak Jabu Bena Kayu dalam hal ini keluarga dari merga Ginting. Seperti yang dikatakan bapak Terang Ukur Sitepu sebagai berikut :

“. . . untuk menyewakan ruangannya memang setiap Jabu punya hak masing-masing. Tetapi mereka tetap harus izin dulu sama kepala rumah dalam hal ini keluarga dari merga Ginting . . .”

Satu keluarga lainnya yang menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu adalah bapak Martin Bangun (38 tahun) bersama keluarganya. Bapak Martin Bangun merupakan warga dari Kabanjahe yang sudah 5 tahun tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Bapak Martin Bangun mengaku dirinya tidak memiliki pilihan lain untuk memilih rumah sewa karena kondisi keuangan keluarganya memang sangat kurang. Namun, diantara kondisi keuangan yang lemah tersebut dirinya tetap saja harus menjaga harga dirinya di depan keluarganya. Menurut bapak Martin Bangun awal mula dirinya beserta keluarga tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu adalah pada saat pertemuan dengan salah seorang anggota


(44)

keluarga dari merga Sitepu yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Hampir sama seperti bapak Perangin-angin, bapak Martin Bangun juga ditawari oleh salah seorang anggota keluarga merga Sitepu untuk menempati rumah Sepuluh Dua Jabu dengan status menyewa. Ruangan yang ditempati oleh bapak Martin Bangun adalah nomor dua dari belakang rumah tersebut. Harga sewa yang dikenakan kepadanya adalah sebesar Rp.50.000/bulan, dengan catatan keluarga bapak Martin Bangun harus menjaga dan merawat rumah tersebut.

“ . . . sebelumnya sama keluarga merga Sitepu saya dikasih ijin untuk tinggal di rumah ini. Tetapi dengan syarat, membayar uang sewa sebesar Rp.50.000/bulan dan juga ikut menjaga bangunan rumah ini supaya tetap terawat . . .”

Menurut bapak Martin Bangun dirinya beserta keluarganya sangat bersyukur dapat menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut. Walaupun gerak mereka menjadi sangat terbatas mengingat mereka bukan satu-satunya penghuni di rumah tersebut, namun mereka tetap merasa lebih baik daripada harus menumpangi rumah orangtua mereka di kampung halaman.

Ironis memang ketika melihat kondisi penghuni Rumah Adat Sepuluh dua Jabu ini. Payung Bangun dalam tulisannya mengenai Situasi Rumah Adat Karo Sekarang Ini (1989) pernah menjelaskan bahwa keluarga-keluarga yang bergabung dan mendirikan rumah adat baik Siwaluh Jabu, Sepuluh Jabu maupun Sepuluh Dua Jabu dahulu kala identik dengan keluarga yang makmur dan kaya raya, kini berbanding terbalik dengan kenyataan. Karena pada saat ini stigma yang


(45)

ada saat ini di masyarakat Karo adalah dia yang masih menempati Rumah Adat Karo adalah orang yang tak mampu.

4.3. Kehidupan Sosial Penghuni Rumah

Salah satu hal yang menjadi perhatian untuk menjadi bahan kajian dalam penelitian mengenai Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini adalah aspek kehidupan sosial penghuninya. Banyak sekali tata cara atau aturan-aturan hidup yang mengatur kehidupan penghuni rumah Sepuluh Dua Jabu. Salah satunya adalah apabila anak laki-laki sudah berumur 10 tahun ke atas maka dia tidur di (bagian atas) lumbung padi. Seorang duda juga tidak diperkenankan tidur di dalam rumah adat. Bapak Terang Ukur Sitepu mengatakan alasan aturan tersebut dibuat adalah untuk menjauhkan para penghuni rumah dari prasangka buruk tetangga. Kemudian hal tersebut juga penting dilakukan guna menghindarkan ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Bukan hanya anak laki-laki saja yang diatur tata cara hidupnya di rumah tersebut, tetapi anak perempuan juga tidak luput dari aturan-aturan. Salah satu aturan diantaranya adalah apabila anak perempuan sudah menginjak usia dewasa, maka anak perempuan tersebut harus tidur bersama temannya sesama gadis. Oleh karena tiap unit di dalam rumah adat adalah kecil dan terbuka maka terdapat kesulitan bagi anak sekolah untuk belajar, bahkan penerangan pada malam hari juga tidak terlalu memadai. Sehingga anak-anak sekolah mengakalinya dengan cara belajar pada waktu siang atau sore hari.

Untuk barang-barang seperti meja praktis tidak ada (dan juga tidak ada tempatnya) dalam rumah adat, prabot-prabot ukuran besar seperti sofa juga tidak


(46)

ada. Hal ini terjadi mengingat ruangan di dalam rumah yang serba terbatas sehingga yang boleh dimasukkan hanya barang-barang yang perlu saja. Selain itu tidak adanya sofa di rumah tersebut bukan lah menjadi suatu masalah karena menurut bapak Terang, orang Karo biasa bertamu ke rumah tetangga atau saudara dengan duduk bersila di lantai dengan alas tikar.

Beberapa penghuni lain yang ada di rumah adat Sepuluh Dua Jabu diantaranya adalah bapak Alben Sitepu (44 tahun) beserta isterinya. Beliau bekerja sebagai petani sayur mayur bersama isterinya, dan memiliki 2 orang anak yang masih bersekolah. Penghuni lainnya adalah bapak Ganti Sitepu (35 tahun) beserta isterinya. Beliau bekerja sebagai petani sayur mayur dan buruh padi, dan memiliki 3 orang adak yang masih bersekolah. Penghuni lainnya adalah bapak Filiker Sinuhaji (37 tahun) yang tinggal bersama isterinya dan dua orang anaknya. Beliau bekerja sebagai tukang bangunan di Kabupaten Karo.

Kehidupan sosial dalam rumah adat mempunyai ciri-ciri hubungan yang intensif dari hari ke hari dan hampir tidak adanya kesendirian (privacy). Penghuni rumah mungkin bertemu di dekat tangga, di dekat pintu dan juga melihat dari dalam rumah. Orang dapat berbicara bersahut-sahutan dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya di dalam rumah. Bahkan pada saat memasak para isteri di pagi hari dapat berbiacara satu sama lain lewat tungku perapian yang mereka miliki bersama tetangganya.

Bawang, cabe, sayur-sayuran saling beri-memberi antara ibu-ibu dalam suatu rumah adat. Bahkan bila ada lebih juga dibagi-bagikan kepada tetangga seperti pisang dari pohon sendiri, daging binatang buruan sebagian dibagikan


(47)

juga. Namun bahan atau barang yang dibeli merupakan pengecualian, tidak lazim diberikan kepada tetangga dalam rumah. Barang yang dibagi hanya terbatas pada apa yang dihasilkan sendiri dari ladang atau buruan dan bukan dari hasil member. Hal tersebut juga sama seperti dalam penelitian Singarimbun bahwa anggota Jabu saling memberi dalam satu rumah dan memiliki aturannya tersendiri dalam tata cara memberi (Singarimbun, 1975:69).

Satu hal yang menjadi dampak positif bagi orang yang tinggal di rumah adat Sepuluh Dua Jabu adalah jika penghuninya sakit ataupun sudah tua renta maka dia bisa dibantu untuk mengurusinya. Orang tua juga dapat bercerita dan tidak merasa kesepian. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Singarimbun (1975) beliau meneliti di Kuta Gamber dan Liren (1960-1962) berbagai keuntungan berdiam di dalam rumah adat dinyatakan sebagai berikut. Orang yang sakit yang berbaring di dalam rumah tidak akan pernah merasa kesepian. Dia dikelilingi oleh tetangga yang senantiasa siap untuk memberikan pertolongan Singarimbun, (1975:69).

Bantuan tersebut dapat berupa mencarikan ramuan yang diperlukan, memanggilkan dukun dari desa yang berdekatan dan menyampaikan pesan kepada kerabat dekat. Demikian pula kalau seseorang kemalangan, katakanlah suaminya meninggal, maka yang kemalangan tersebut merasa kesepian dan senantiasa ada yang menemaninya pada waktu berduka cita.

Di masa lampau, ketika orang bisa disamun begitu saja atau terdapat perang antar kampung, jelas terdapat fungsi keamanan dan pertahanan dari rumah adat: desa yang secara spasial kompak dan tertutup, dan penduduk berdiam dalam


(48)

rumah adat yang dihuni oleh 6-12 keluarga. Sejak penjajahan Belanda pada awal abad ini, faktor keuntungan tersebut sudah tidak ada lagi.

Di dalam situasi dimana pendidikan anak adalah sangat penting maka terasa rumah adat tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman, hal itu telah disinggung di atas. Berhubung kamarnya hanya satu (untuk yang menempati satu unit), kemampuan menerima tamu yang menginap juga sangat terbatas.

Kritikan seorang informan yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya, yang sudah membangun rumahnya sendiri, terhadap kehidupan sosial di rumah adat adalah sebagai berikut.

“ . . . E maka senanggel aku rumah adat ah. Kadenta pe teh kalak. Bagi danak danak kuakap. Apai la je ipecati, Ras diberunta pe banci kita ipecah kalak. Rubati kita. Ajak arah enda, ajak arah ah . . .” (Wawancara 8-7-2016)

“ . . . Karena itu saya kurang senang di rumah adat. Apa pun orang ketahui tentang kita. Rasanya seperti kanak-kanak. Siapa tak ada dia dicela. Hubungan kita dengan isteri dapat dipecahkan orang. Lalu kita berkelahi Dikipas di sini, dikipas di sana . . .”

Dapat ditambahkan bahwa pada masyarakat Karo terdapat kiasan yang bunyinya Bagi peri tengah (Bagai penghuni bagian tengah), yang artinya tukang hasut Masalah yang lain adalah kalau ada yang mengidap penyakit tertentu yang dapat mengganggu orang lain dalam rumah adat. Seorang nenek yang mengidap penyakit tertentu tidak dapat mengontrol kencingnya sendiri, sehingga kediaman orang lain juga ada kalanya bau kencing.


(49)

Kehidupan diantara penghuni rumah adat tidak selalu rukun. Penghuni sebuah rumah adat tipe kecil yang dihun i oleh 12 keluarga mempunyai konflik yang terpendam yang merupakan akar ketidak-cocokan dalam berbagai hal Soalnya ketika rumah itu selesai dibangun, dua keluarga menginginkan agar diselenggarakan upacara memasuki rumah yang pantas, sedangkan dua keluarga lainnya ingin tanpa upacara karena alasan ekonomi.

"Saya dianggap keluarga saya tidak tahu adat", begitu komentar orang yang merasa perlu upacara memasuki rumah itu diadakan. Kecurian kecil kecilan juga ada kalanya merupakan masalah. Seorang informan yang peneliti samarkan namanya yakni Pak X kehilangan 3 tumba beras (1,5 liter) dan ikan yang sudah digulai. "Yang mencuri ikan itu sudah jelas si P", katanya. "Kebetulan ketika saya masuk rumah, saya lihat dia berjalan dari jabu saya ke jabu dia”. Soal siapa yang mencuri beras itu belum jelas dan saya tidak mempunyai bukti untuk menuduh orang yang sama (Wawancara 8-8-2016)

Dalam hubungan itu ada yang menyarankan supaya “kaleng beras disimpan dalam lemari, supaya tidak kecurian”. Ditambahkannya pula: "Sayur-sayuran juga bisa hilang, umpamanya tomat atau daun singkong”. Ada pula yang mengeritik suasana yang bisa menjijikkan dalam rumah adat. Ada seorang orang tua yang mengatakan bahwa tetangganya ada kalanya berludah atau mengeluarkan ingus (bersuara) waktu dia makan dan dia merasa itu menjijikkan. Hal-hal yang seperti ini tentu tidak akan disampaikan oleh para Jabu ke Jabu lainnya, terlebih lagi jika yang merasa keberatan adalah yang menyewa. Sebab walaupun seperti apa perilaku penghuni asli pemilik rumah, keluarga yang menyewa tidak dapat berbuat apa-apa karena status mereka hanya menumpang.


(50)

4.4. Aktifitas Seksual Penghuni Rumah

Salah satu yang menarik juga didalam kehidupan penghuni rumah adat Sepuluh Dua Jabu adalah kehidupan seks mereka. Bagaimana cara mereka (para pasutri) untuk berhubungan suami isteri di ruangan yang sangat terbatas dan di kiri kanan mereka adalah saudara mereka yang hanya terpisah oleh sekat dinding. Menurut pak Terang keadaan tersebut diatasinya dengan cara mencuri-curi waktu. Maksud dari mencuri-curi waktu ini adalah dengan melihat keadaan di malam hari jika pada saat lewat tengah malam suasana sudah dirasa sepi maka dirinya dan isteri akan melakukan hubungan seksual.

“ . . . Ketika pertama kali dibangun kamar Cuma satu, artinya masih bisa melakukan hubungan seksual di dalam rumah. Tetapi setelah rumah itu dibangun menjadi besar akhirnya setiap pasangan mencuri-curi kesempatan untuk berhubungan seksual. Namun akhirnya pasutri tidak merasakan kenikmatan seksual. Mereka mencuri-curi ketika waktu sudah tengah malam dan juga menggunakan lampu minyak . . .”

Namun diantara sekian banyak cara, bapak Terang mengatakan cara yang paling aman untuk melakukan hubungan suami isteri adalah dengan melakukannya di ladang. Sebab melakukan hubungan suami isteri di rumah hanya bisa dilakukan bila pasutri belum memiliki anak, atau paling tidak anaknya masih dibawah umur lima tahun. Apabila anak sudah menginjak usia sekolah tentu pertimbangan untuk melakukan hubungan seksual antara suami isteri akan sangat berat.

Hal itu lah yang menjadi alasan mengapa melakukan hubungan seksual di kebun menjadi pilihan yang terbaik. Sebab menurut pak Terak sama sekali tidak


(51)

ada resiko bila melakukannya di ladang atau kebun. Sebab kebun yang mereka garap juga adalah kebun milik mereka sendiri, kemudian mereka dapat melakukannya pada siang hari tanpa takut harus ketahuan oleh orang lain.

Walaupun mereka memiliki anak yang sudah besar, namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena biasanya pak Terang melakukan hubungan seksual pada saat anaknya sedang sekolah. Sehingga dirinya dan isteri dapat melakukan hubungan seksual dengan bebas. Walaupun demikin pak Terang tidak dapat membenarkan bahwa semua pasutri di dalam rumah adat melakukan hal yang sama seperti dirinya. Sebab hal tersebut sebenarnya tidak layak diperbincangkan dan merupakan rahasia masing-masing.

4.5. Menuju Kepunahan

Salah satu peristiwa penting yang menyebabkan menciutnya jumlah rumah adat di tanah tinggi Kabupaten Karo adalah kebijaksanaan bumi hangus pada waktu perang kemerdekaan pada tahun 1947. Lebih dari 70 persen dari rumah adat yang ada mengalami bumi hangus, sesuai dengan strategi peperangan pada waktu itu Pada bulan Mei dan Juni yang lalu dimuat beberapa kali dalam media massa mengenai kerisauan tentang keruntuhan rumah adat Karo seperti di Lingga akibat hujan deras dan juga beberapa surat kiriman yang berhubungan dengan kerisauan itu.

Dirisaukan bahwa rumah adat Karo akan punah karena tidak dibangun lagi rumah adat yang baru, sedangkan yang ada kurang dirawat. Atap yang bocor tidak dihiraukan penghuninya hal mana sangat disayangkan sehingga tiang tiang


(52)

penyangganya cepat lapuk. Menarik perhatian bahwa hati orang Karo sendiri mendua terhadap rumah adat.

Di satu pihak terdapat rasa bangga pada masyarakat Karo (civil pride) terhadap rumah adat sebagai warisan budaya nenek moyang yang mengagumkan dan ini tercermin dari banyaknya rumah adat digunakan sebagai simbol. Dapat dikatakan bahwa mayoritas surat undangan untuk perkawinan di Medan dan Jakarta menggunakan rumah adat sebagai simbolnya pada halaman depan. Arsitektur, ornamen dan simbol-simbolnya tetap dibanggakan tetapi di fihak lain rumah adat itu dibengkalaikan: kecuali tidak ada yang tertarik mendirikan rumah adat yang baru, rumah adat yang ada pun dibengkalaikan tidak terurus. Masalah konservasi rumah adat belum pernah dibicarakan oleh masyarakat Karo sendiri

Menurut pakar kebudayaan R. Lewcock (dikutip dari Sumintardja, 1989:6) dalam prinsip konservasi terdapat empat cara pendekatan.

l. Pendekatan atau sikap kepurbakalaan (arkeologis) yaitu konservasi secara alamiah, yang mengutamakan "pengembalian" segalanya ke bentuk asal atau original. (Contoh, konservasi candi candi.

2. Pendekatan atau sikap "romantik & sentimental", yang tidak "memperdulikan" teknik teknik yang tradisional dan bagaimana bentuk aslinya atau original appearance (Contoh, konservasi Istana Bundo Kandung di Tanah Datar, Sumatera Barat)

3. Pendekatan atau sikap puitis (poetic attitude) yang mempertahankan ketuaan yang tampak, meskipun dari segi teknis lebih sukar dan lebih mahal,


(53)

khususnya apabila bangunan yang akan dilestarikan itu sudah lapuk karena waktu. (Contohnya pelestarian kuilkuil Sinto di Jepang).

4. Pendekatan secara hati-hati dan tanpa ikatan ikatan yang mutlak. Yaitu yang menghargai nilai karya para pencipta masa lalu baik dalam kaitannya kepada masa silam yang bersangkutan maupun untuk kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. (Contoh, pemugaran bangunan yang bersejarah).

Berhubung masih ada beberapa puluh rumah adat yang masih utuh dan masih ada tukang yang masih sanggup membuat rumah adat Karo maka dari sudut teknis konservasi, preservasi dan restorasi masalahnya tidaklah begitu pelik dari segi pendekatan konservasi diatas. Selanjutnya beberapa kampung di Kabupaten Karo yang masih memiliki rumah adat, sudah ditentukan sebagai kampung suaka seperti halnya kampung Lingga yang ditetapkan sebagai desa budaya, tetapi ironisnya keruntuhan rumah baru baru ini terjadi di kampung tersebut

Namun menurut Sumintardja lebih lanjut bahwa "konservasi, preservasi, restorasi dan pembaharuan (renewal) perlu ditunjang dengan peraturan dan perundang-undangan, pembinaan dan pendidikan masyarakat dan tersedianya sumber dana. Tanpa kehadiran ketiga unsur ini secara bersama, sukar kiran untuk mencapai keberhasilan Mengingat kondisi sekarang, nampaknya persyaratan diatas sukar dipenuhi. Sumintardja juga menekankan perlunya di tumbuhkan civil pride atau kebanggaan masyarakat sehingga mereka lebih gairah lagi dalam upaya-upaya konservasi.

Dari tulisan Prof. Payung Bangun (1989) berjudul "Situasi rumah adat Karo sekarang ini” dapat disimpulkan bahwa dia melihat beberapa permasalahan


(54)

dalam civil pride tersebut. Menurut dia tinggal dalam rumah yang "bukan rumah adat" memberikan arti tersendiri dalam gengsi. Dengan kata lain tingga rumah adat mempunyai konotasi keterbelakangan.

Kecuali masalah kurangnya privacy, menurut ukuran sekarang kehidupan di dalam rumah adat kurang nyaman: udara yang kurang segar dan gelap karena sedikitnya dan kecilnya jendela. Kadang-kadang rumah penuh dengan asap walaupun asap tersebut mempunyai nilai positip untuk mengurangi kelembaban udara dan preservasi bangunan dan juga makanan (Sargeant dan Saleh, 1973:9)

Jadi, menurut Bangun. orang sekarang lebih cenderung mendirikan rumah rumah pribadi yang dianggap lebih tenteram, lebih nyaman dan lebih sehat Dari segi sumber daya, renovasi mengalami masalah tersendiri. Kalau dahulu kayu yang cukup besar yang diperlukan untuk rumah adat dan ijuk dapat diperoleh dari desa hutan sekarang hutan itu sudah sangat menciut atau tidak ada lagi. Dewasa ini, mereka yang memerlukan ijuk harus mendatangkannya dari dataran rendah, Deli Serdang.

Jadi seng, kecuali lebih murah lebih mudah memperolehnya dan lebih mudah mendapatkan tukang yang dapat memasangnya. Begitu juga beroti sangat mudah mendapatkannya dibandingkan dengan kayu yang besar-besar itu. Kalau pun ada, kayu yang besar-besar tersebut memerlukan gotong royong penduduk kampung untuk menariknya dan me naikkannya, hal mana tidak diperlukan untuk mendirikan rumah pribadi atau rumah moderen sekarang ini karena bahan bahannya dengan mudah dapat dipikul atau dinaikkan truk.


(55)

Dari apa yang diuraikan diatas kiranya jelas bahwa pelestarian rumah adat Karo menghadapi masalah yang cukup berat. Civil pride dari orang Karo terhadap rumah adat terbatas pada mengaguminya dari kejauhan tetapi secara umu tidak begitu ingin lagi menghuninya, apa lagi mendirikannya. Banyak di antara mereka yang masih menghuninya menganggapnya sebagai tempat sementara, sebelum dia sanggup mendirikan rumah pribadi, jadi tidak tertarik untuk mengadakan perbaikan-perbaikan.

Kalau pada tahun awal enam puluhan, yakni ketika Payung Bangun mengadakan penelitian di Karo, sudah cukup banyak yang menyatakan betapa tidak enaknya hidup di rumah adat karena hubungan hubungan sosial yang kurang selaras, friksi masalah kecurian, anak tidak bisa belajar karena ribut atau tidak mungkin di pasang meja, dan lain-lain, dapatlah dimaklumi bahwa sikap negatif tersebut terhadap kehidupan rumah adat lebih santer lagi sekarang. Pendidikan sudah jauh bertambah maju, aspirasi masyarakat sudah meningkat dan rasa kegotong royongan sudah menipis, sebahagian karena tuntutan zaman sebab orang harus lebih menghargai waktu dari sebelumnya.

Perlu pula dicatat bahwa pendirian rumah adat, penentuan tempatnya, penebangan pohonnya, pemasangan tanduk dan lain-lain sangat berkaitan dengan seremoni dan ritual agama tradisional (Perbegu). Kalau memperbaiki rumah pribadi tidak memerlukan ritual maka tidaklah demikian halnya kalau mau memperbaiki rumah adat. Sementara itu sejak tahun enampuluhan pe meluk agama Perbegu sudah sangat merosot jumlahnya dan sekarang mayoritas dari orang Karo sudah memeluk agama Protestan, Katolik dan lslam. Pada tahun enampuluhan, yakni setelah peristiwa G-30-s, terjadi suatu kepercayaan yang


(56)

penting pada masyarakat Karo dan ini mempunyai implikasi terhadap aspek-aspek ritual dari kehidupan dan renovasi rumah adat.

Segala upaya perlu dilakukan supaya, di dalam situasi perubahan sosial ekonomi yang pesat dewasa ini, warisan budaya ini tidak lenyap. Beberapa desa dewasa ini masih cukup utuh rumah adatnya kampung Lingga, Dokan Peceren dan pemerintah cukup memberikan perhatian leihadap desa tersebut. Namun kalau pada dasarnya, orang desa itu merasa bahwa hidup dalam rumah adat sebagai lambang keterbelakangan dan merela tidak betah.


(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang terletak di Desa Beganding, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo merupakan perwujudan dari sifat kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat Karo pada masa lampau. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu biasa juga disebut Rumah Persada Ari, yang menurut informan peneliti artinya “Rumah Persatuan”. Dari artinya saja sudah dapat dilihat bahwa rumah tersebut penuh dengan nilai-nilai luhur dalam kebersamaan suatu kelompok masyarakat.

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan pada tahun 1958, namun beliau tidak mengetahui pasti tanggal dan bulan berapa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan.namun, dari penuturan orangtuanya dahulu, Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan pada tahun 1958 akhir. Pada awalnya Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu hanya lah rumah kecil milik satu keluarga saja yaitu dari keluarga Merga Ginting. Setelah keluarga tersebut memiliki anak, dan kemudian tumbuh dewasa anak-anak mereka tadi pun menjadi dewasa dan berumah tangga.

Setelah anak-anaknya menikah, keluarga dari Marga Ginting memutuskan untuk mengajak sanak saudara dan keluarganya untuk tinggal bersama dalam satu rumah. Gagasan tersebut pun dimusyawarahkan di dalam satu pertemuan, dimana didalam pertemuan tersebut hadir pihak-pihak dari 5 merga yang terdiri dari :


(58)

6. Merga Ginting 7. Merga Sitepu 8. Merga Tarigan 9. Merga Sembiring 10. Merga Sinuhaji

Akhirnya pembangunan rumah pun dilakukan dengan bergotong-royong. Pembangunan rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini memakan waktu selama hampir satu tahun. Rumah adat Sepuluh Dua Jabu ini didirikan dengan bentuk yang cukup besar dan juga tinggi ke atas. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir kegiata-kegiatan adat seperti pesta pernikahan ataupun Kerja Tahun, dimana pada masa itu belum ada Zambur (balai acara) untuk tempat mengadakan pesta.

Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu semuanya bersumber dari hutan. Menurut bapak Sitepu pada zaman dahulu, pekerjaan membangun Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan pembangunan satu rumah adat seperti Rumah Sepuluh Dua Jabu ini memakan waktu sampai satu tahun. Oleh karenanya, dalam tahapan mendirikan rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut dilakukan secara bertahap dan selalu dilakukan secara bergotong-royong.

Suku Karo mempunyai bangunan yang tradisional yang Sebuah kesain (kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu jambur, lesung, dan geriten. Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga. Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua bagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke


(59)

Barat, dan seluruh ruangan dibagi atas delapan bagian (jabu). Dalam setiap proses pembangunan, pembuatan ornament-ornamen selalu mengandung arti yang berhubungan dengan keselarasan hidup orang Karo.

Banyak sekali tata cara atau aturan-aturan hidup yang mengatur kehidupan penghuni rumah Sepuluh Dua Jabu. Salah satunya adalah apabila anak laki-laki sudah berumur 10 tahun ke atas maka dia tidur di (bagian atas) lumbung padi. Seorang duda juga tidak diperkenankan tidur di dalam rumah adat. Bapak Terang Ukur Sitepu mengatakan alasan aturan tersebut dibuat adalah untuk menjauhkan para penghuni rumah dari prasangka buruk tetangga. Kemudian hal tersebut juga penting dilakukan guna menghindarkan ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Bukan hanya anak laki-laki saja yang diatur tata cara hidupnya di rumah tersebut, tetapi anak perempuan juga tidak luput dari aturan-aturan. Salah satu aturan diantaranya adalah apabila anak perempuan sudah menginjak usia dewasa, maka anak perempuan tersebut harus tidur bersama temannya sesama gadis. Oleh karena tiap unit di dalam rumah adat adalah kecil dan terbuka maka terdapat kesulitan bagi anak sekolah untuk belajar, bahkan penerangan pada malam hari juga tidak terlalu memadai. Sehingga anak-anak sekolah mengakalinya dengan cara belajar pada waktu siang atau sore hari.

Kehidupan sosial dalam rumah adat mempunyai ciri-ciri hubungan yang intensif dari hari ke hari dan hampir tidak adanya kesendirian (privacy). Penghuni rumah mungkin bertemu di dekat tangga, di dekat pintu dan juga melihat dari dalam rumah. Orang dapat berbicara bersahut-sahutan dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya di dalam rumah. Bahkan pada saat memasak para isteri di pagi


(60)

hari dapat berbiacara satu sama lain lewat tungku perapian yang mereka miliki bersama tetangganya. Keseluruhan pola hidup keluarga yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut tidak terlepas dari adat Karo dan bentuk rumah adat tersebut. Hal ini sangat menarik dilihat bagaimana kehidupan keluarga yang hidup di dalamnya menyesuaikan dengan bagaimana bentuk rumah tersebut.

5.2. Saran

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu adalah salah satu asset budaya yang perlu untuk dilestarikan keberadaannya terutama sebagai daya tarik wisata budaya di Kabupaten Karo. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kabupaten Karo dan juga masyarakat Karo sudah selayaknya saling bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu untuk melestarikan keberadaan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu sebagai warisan budaya yang masih ada di Kabupaten Karo umumnya, dan di Desa Beganding khususnya.

Pemerintahan Kabupaten Karo juga diharapkan dapat memberdayakan setiap potensi wisata yang ada di Tanah Karo, terutama Sumber Daya Manusia yang ada, khususnya masyarakat lokal Desa Beganding sehingga masyarakat lokal memiliki pengetahuan kepariwisataan yang memadai untuk mengembangkan Kepariwisataan (Wisata Budaya) di desanya yang pada waktunya nanti diharapkan dapat berkembang dengan baik. Promosi adalah salah satu upaya yang perlu diperhatikan untuk menarik pengunjung datang ke suatu objek wisata, oleh karena itu upaya promosi melalui berbagai media seperti media elektronik, media cetak maupun promosi dari mulut ke mulut perlu dilakukan secara lebih intensif sehingga keberadaan Desa Beganding dapat dimasukan dalam kategori Desa


(61)

Budaya dengan keunikan Rumah Adat Tradisional Karo dan juga dapat lebih diketahui oleh masyarakat umum. Dengan semua upaya-upaya tersebut diharapkan Desa Beganding dapat berkembang menjadi salah satu objek wisata budaya yang ada di Kabupaten Karo.


(62)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1. Wilayah Kabupaten Karo

Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo tidak mau disebut sebagai orang Batak karena mereka merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba.

Dari beberapa literatur yang penulis dapatkan tentang karo asal kata Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Keberadaan Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee.


(63)

Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad" (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar selain kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Gambaran Umum Kabupaten Karo Secara geografis Daerah Kabupaten Karo terletak antara 02 050’ s/d 03 019’ LU dan 97 055’ s/d 98 038’ BT. Daerah Kabupaten Karo terletak di daerah dataran tinggi bukit barisan dengan total luas administrasi 2.127,25 km² atau 212.725 ha. Wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan:

1. Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dibagian Utara; 2. Kabupaten Simalungun dibagian Timur;

3. Kabupaten Dairi dibagian Selatan; dan

4. Propinsi Nangro Aceh Darusalam dibagian Barat.

Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km sebelah selatan kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan dan penyusunan penelitian ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial pada bidang antropologi dari Departemen Antropologi. Skripsi ini berjudul “Sepuluh Dua Jabu (Studi Deskriptif Mengenai Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu Dan Kehidupan Penghuninya Di Desa Beganding, Kebupaten Karo)”

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dalam menulis kepustakaan dan materi penulisan. Namun, berkat pertolongan Allah SWT yang memberikan ketabahan, kesabaran dan kekuatan sehingga kesulitan tersebut dapat dihadapi.

Dalam penulisan skripsi ini dilakukan pembahasan secara holistik mengenai rumah adat Sepuluh Dua Jabu, peneliti disini mengelaborasi beberapa data lapangan yang peneliti peroleh dari anggota keluarga asli pemilik rumah dan juga penghuni rumah yang statusnya menyewa di rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut. Pembahasan tersebut diuraikan dari bab I sampai dengan bab V. Adapun penguraian yang dilakukan oleh penulis pada skripsi ini adalah :

Bab I penelitian yang dilakukan ini merupakan deksripsi mengenai latar belakang sejarang rumah-rumah adat yang ada di Kabupaten Karo serta permasalahan yang dihadapi saat ini terkait keberadaan rumah adat Karo. Peneliti pada bagian ini juga memaparkan bagaimana rumah adat Karo saat ini sudah masuk ke dalam 10 rumah adat yang terancam punah di Negara Indonesia.

Bab II deskripsi mengenai lokasi penelitian berdasarkan beberapa data statistik. Pada bab ini juga peneliti deskripsikan persebaran rumah adat yang ada di Kabupaten Karo beserta jenis-jenisnya.

Bab III deskripsi mengenai sejarah berdirinya rumah adat Sepuluh Dua Jabu beserta proses-proses yang dilalui dalam membangun rumah tersebut. Pada


(2)

bab ini juga dijelaskan makna dari simbol-simbol yang ada di rumah adat Sepuluh Dua Jabu.

Bab IV deskripsi mengenai kehidupan sosial para penghuni rumah adat Sepuluh Dua Jabu. Pada bab ini juga peneliti mendeskripsikan makna dari setiap Jabu (keluarga) yang terdapat pada rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Bab V memuat kesimpulan dan saran penelitian mengenai rumah adat Sepuluh Dua Jabu dan kehidupan penghuninya di Desa Beganding, Kebupaten Karo.

Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaian skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Medan, Oktober 2016 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ...i

ABSTRAK ...ii

UCAPAN TERIMAKASIH ...iii

RIWAYAT HIDUP...v

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR...xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Tinjaun Pustaka ...9

1.3 Rumusan Masalah...14

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...16

1.5 Lokasi Penelitian ...18

1.6 Metode Penelitian ...18

1.7 Penelitian Terdahulu ...21

BAB II GAMBARAN UMUM 2.1 Wilayah Kabupaten Karo ...25

2.1.1. Ditinjau Dari Topografinya...27

2.1.2. Ditinjau Dari Iklimnya ...27

2.1.4. Ditinjau Dari Etnis ...28

2.2 Profil Kecamatan Simpang Empat ...29

2.3 Rumah Adat Tradisional Yang Tersebar Di Kabupaten Karo ...34

2.4 Budaya Karo ...38

BAB III DESKRIPSI RUMAH ADAT SEPULUH DUA JABU 3.1 Sejarah Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...44

3.2 Tahapan Pembangunan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...46

3.3 Bagian-Bagian Rumah (Simbol Dan Maknanya) ...60

3.4 Bentuk dan Fungsi Ornamen Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...71


(4)

BAB IV KEHIDUPAN PENGHUNI RUMAH ADAT SEPULUH DUA JABU

4.1 Makna Setiap Jabu ...77

4.2 Kemiskinan Dalam Kehidupan Penghuni Rumah ...82

4.3 Kehidupan Sosial Penghuni Rumah ...86

4.4 Aktifitas Seksual Penghuni Rumah ...91

4.5 Menuju Kepunahan ...92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...98

5.2 Saran ... 101 DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Statistik Geografi Kecmatan Simpang Empat ...29 Tabel 2 : Luas Desa di Kecamatan Simpang Empat...30 Tabel 3 : Statistik Pemerintahan Kecamatan Simpang Empat Tahun 2012 ...32


(6)

DAFTAR GAMBAR DAN FOTO

Gambar 1 : Pembagian Ruangan Dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...55

Foto 1 : Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...45

Foto 2 : Suasana Dapur Penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...62

Foto 3 : Tiang Penyangga Rumah ...64

Foto 4 : Tangga Bagian Belakang Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ...65

Foto 5 : Jendela Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. ...66

Foto 6 : Tiang-Tiang Penyokong Pada Adat Rumah Sepuluh Dua Jabu. ...67

Foto 7 : Dinding Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu...68

Foto 8 : Atap Rumah Sepuluh Dua Jabu Yang Telah Direnovasi. ...69