OPTIMALISASI POTENSI PROTEIN ULAT SAGU R

OPTIMALISASI POTENSI PROTEIN ULAT SAGU (Rhynchoporus bilineatus)
MENJADI BAHAN PANGAN LOKAL MASYARAKAT KAWASAN INDONESIA
TIMUR SEBAGAI SOLUSI PEMANFAATAN LIMBAH HASIL PENEBANGAN
TANAMAN SAGU (Metroxylon sagoo)

National Essay Competition
Festival of Agri-science and Technology (FAST) 2015

Diusulkan oleh:
TEGUH SAPUTRA (201366004 Angkatan 2013)

UNIVERSITAS PAATIMURA
AMBON
2015

Latar Belakang
Tanaman sagu (Metroxylon sagoo) merupakan tanaman yang sangat cocok hidup pada
jumlah curah hujan yang optimal yaitu antara 2.000-4.000 mm/tahun serta dapat tumbuh
sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun biasanya produksi
sagu terbaik ada pada ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu
0


0

berkisar antara 24,5-29 C. Dan suhu minimal 15 C dengan kelembapan nisbi 90 %.
0

Sagu dapat tumbuh dengan baik pada daerah 100 LS- 150 LS dan 90-180 BT , yang
mana kondisi ini memungkinkan tumbuhan sagu dapat menerima energi cahaya
matahari sepanjang tahunnya. Media yang paling baik untuk tumbuh tubuh sagu adalah
pada tanah tanah liat kuning coklat atau hitam dengan bahan kadar organik tinggi, sagu
juga dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning,
alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya.Tumbuhan sagu oleh
masyarakat kawasan Indonesia Timur khususnya Maluku dan Papua
sebagai sumber pangan kaya

karbohidarat karena patinya,

dimanfaatkan

sagu oleh masyarakat


Maluku dan Papua biasanya di jadikan makanan yang dikenal dengan papeda (bubur
sagu), selain itu sagu juga ternyata dijadikan salah satu sumber protein yang tersedia di
darat. Dimana limbah dari hasil panen sagu berupa batang dan bagian pucuk pohon
ternyata merupakan tempat bertelurnya kumbang merah kelapa (Rhynchoporus
ferrugenesis), larva dari jenis kumbang ini yang selanjutnya di kenal dengan ulat sagu
(Rhynchoporus bilineatus).

Sehingga bagi sebagian besar masyarakat Maluku dan papua dengan adanya limbah
sagu berupa batang dan bagian pucuk pohon sagu bukan menjadi sesuatu yang
merugikan dan meresahkan mereka tetapi sangat memberikan manfaat yang besar bagi
kelangsungan hidup mereka dalam hal akan kebutuhan protein. Rasa ulat sagu mentah
cenderung gurih dan beraroma khas sagu, dan apabila digigit maka akan dirasakan

1

cairan manis yang keluar dari perut ulat sagu, walaupun dengan bentuk tubuhnya yang
tidak semua orang dapat berani untuk mencicipinya namun beda halnya dengan
masyarakat Maluku dan Papua yang lebih memilih menikmati rasanya ketimbang harus
memperhatikan bentuk tubuhnya.Salah satu bentuk sumber protein berupa ulat sagu

(Rhynchoporus bilineatus) ini, sampai sekarang masih tetap di konsumsi dan menjadi
primadona makanan khas masyarakat pedesaan khususnya di pulau Maluku dan Papua
karena bagi mereka panganan lokal ini merupakan kekayaan alam dan kebiasaan yang
terus di ajarkan pada generasi-generasi berikutnya sehingga mereka berharap sangat
kepada generasi muda sekarang untuk dapat terus melestarikan kuliner khas daerah ini.
Pembahasan
Menurut Harsanto, 1991 yaitu, pada saat itu kandungan tepung (aci) yang merupakan
sumber makanan ulat sagu mencapai maksimal (Harsanto, 1991). Sehingga tepung sagu
sebagai sumber makanan bagi masing-masing ulat sagu akan tersedia dalam keadaan
yang sama. Kandungan nutrien ulat sagu secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh
jumlah makanan yaitu tepung sagu yang dikonsumsi. Dan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Istalaksana (1994), dalam keadaan basah ulat sagu mengandung air
67,35%, abu 2,45%, protein 11,47%, dan lemak 18,25%. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam kondisi basah maupun kering (pengeringan pada suhu 700C) kandungan nutrien
yang tinggi adalah lemak dan protein. Kandungan lemak yang tinggi pada ulat sagu,
disebabkan karena lemak akan digunakan sebagai energi cadangan pada saat ulat sagu
memasuki fase pupa (kepompong). Kandungan protein kasar pada ulat sagu juga cukup
tinggi, rata-rata 32,54%. Kandungan protein yang tinggi tersebut dapat disebabkan
karena protein dalam ulat sagu pada saatnya nanti akan digunakan untuk membentuk
protein struktural yang diperlukan dalam pembentukan jaringan tubuh larva. Disamping

itu, protein juga dipakai untuk membentuk protein katalitik yakni hormon dan enzim
yang diperlukan dalam proses metamorfosis. Hal ini didukung oleh Wingglesworth
(1972), yang menerangkan bahwa selama proses metamorfosis maka akan
peningkatan produksi protein pada tubuh serangga.

2

terjadi

Tabel 1. Nilai nutrisi ulat sagu.
Kandungan
Proten
kasar
(%)
Rerat
a
Lemak
kasar
(%)
Rerat

Sumbera: Moniaga

Hasil yang didapat
7,0 4,8
3,2
5,0
19,2 15,8 32,0

(1980).

22,
3 ulat
Berat

sagu yang

DM
Basis
20,1
13,6 9,2

14,
3
54,8 45,2
91,2
63,
7
digunakan rata-rata

6,33 gram.

Secara ilmiah ulat sagu telah sampai pada tahap penelitian yang membuktikan bahwa
kandungan protein ulat sagu sudah tidak dapat diragukan lagi fungsi dan kegunaanya
bagi kebutuhan konsumsi protein setiap orang. Masyarakat kawasan Indonesia Timur
terkhusus Maluku dan Papua telah lama menjadikan protein hewani ini sebagai
makanan khas mereka sebelum adanya penelitian mendalam dan detail tentang
kandungan istimewa yang ada pada tubuh ulat sagu, rata-rata penduduk desa yang
berada pada desa-desa di pulau Maluku dan Papua selain menjadikan pati sagu sebagai
sumber makanan karbohidrat mereka, namun mereka juga selalu hampir tidak pernah
meleawati saat dimana batang bagian atau pucuk pohon sagu telah membusuk dan lama
berada d atas tanah setelah kurang lebih 20-40 hari setelah di tebang dan telah diangkat

kandungan isi pati sagu yang terdapat di batang pohon sagu, karena pada saat seperti
itulah ulat sagu telah siap untuk diambil. Sebagai masyarakat desa yang hidup dan
dibesarkan oleh alam maka masyarakat Maluku dan Papua mempunyai cara untuk
mengetahui bahwa ada tidaknya ulat sagu adalah dengan mendengar secara cermat dan
teliti pada batang dan pucuk pohon sagu yang telah dibiarkan selama 20-40 hari
tersebut, jika dari hasil pendengaran terdengar adanya pergerakan kecil dari dalam
pohon maka ini menandakan bahwa dalam batang dan pucuk ulat sagu tersebut terdapat
ulat sagu yang siap untuk dipanen.

Jumlah ulat sagu pada tiap batang pohon yang

diambil memiliki jumlah yang bervariasi dan tidak tetap ini di sebabkan oleh beberapa
faktor yang mempengaruhi diantaranya:
a. Lamanya

waktu

pembusukan

berkembangnya larva


gelondong/

batang

sagu

sebagai

masa

kumbang merah kelapa (Rhynchoporus ferrugenesis)

sebelum diambil

3

b. Volume / isi batang sagu karena ini menggambarkan seberapa besar ketersediaan
pati sagu sebagai sumber karbohidrat yang menjadi makanan ulat sagu.
c. Jumlah kumbang betina yang pada saat bertelur pada batang sagu juga sangat

mempengaruhi banyak sedikitnya ulat sagu yang dapat dipanen setiap batang
sagu dimaksud.
Pada saat panen berlangsung dan hingga selesai tiap batang sagu hanya dapat dilakukan
satu kali pemanenan karena keadaan yang terjadi pada saat pengambilan ulat sagu
dimana batang pohon sagu akan dibelah dan dirusak dengan menggunakan kapak atau
parang untuk membelah batang sagu , hal ini dilakukan karena posisi ulat sagu yang
berada jauh di dalam batang sagu. Umumnya masyarakat pedesaan pulau Maluku dan
Papua melakukan aktivitas pemanenan ulat sagu ini selama 1 hingga 2 jam untuk setiap
batang pohon sagu serta rata-rata hasil yang diperoleh untuk tiap batang pohon sagunya
adalah 90-160 3 ekor. Keunikan sendiri yang dimiliki ulat sagu sehingga orang-orang
senang untuk melihatnya adalah caranya berjalan di atas tanah karena ia seolah-olah
akan menggoyang-goyangkan perutnya selama aktivitas ulat sagu melakukan
perjalannya. Ketersediaan dan keberlangsungan akan ulat sagu pada hakikatnya tidak
perlu diragukan karena selama masih adaanya tumbuhan sagu maka keberadaan dan
ketersediaan ulat sagu akan tetap ada karena kumbang merah kelapa (Rhynchoporus
ferrugenesis) akan semakin banyak berdatangan jika banyak juga batang pohon sagu
yang telah ditebang dan kemudian mengalami pembusukan secara alami di atas
permukaan tanah.
Simpulan
Ulat sagu (Rhynchoporus bilineatus) merupakan protein hewani yang sangat baik dan

terjangkau keberadaanya untuk masyarakat kawasan Indonesia Timur khusunya
masyarakat Maluku dan Papua yang telah menjadikannya sebagai warisan budaya
kuliner sajak dahulu, dan dengan terus mengkonsumsi ulat sagu ini maka keberadaan
pangan lokal dapat terus dipertahankan sebagai aset budaya daerah khusunya dibidang
kuliner sehingga generasi muda juga di ajak untuk dapat terus mengenal potensi daerah
mereka serta warisan budaya khususnya kuliner lokal dapat terus menjadi pegangan
mereka untuk nantinya mereka kembangkan dan bagikan kepada generasi yang akan
datang.

4