MAKALAH PTB TENTANG TEKNOLOGI PENGENDALI

MAKALAH PTB
TENTANG
TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA ULAT API PADA TANAMAN KELAPA
SAWIT

OLEH KELOMPOK 3 :
SRI RAHAYU (09-025)
EKA YULIANTARI (09-019)
NUNUNG YULIANTI (09-018)
GUSTIAN ARIFIN HSB (09-009)
M. BIN HAES (09-002)
WAHYUDI (09-003)
JEDRY NASPA PERA (09-017)

DOSEN PEMBIMBING :
Ir. Ardi Sardina Abdullah Msi.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PERKEBUNAN
JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH
2012


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pengendalian hama dan penyakit pada perkebunan kelapa sawit

telah dapat

menggunakan teknologi pengendalian yang ramah lingkungan. Teknologi tersebut antara lain
adalah pengendalian dengan menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, feromon, dan
biofungisida. Hama yang umumnya sering menyerang tanaman kelapa sawit adalah ulat api.
Pengendalian ulat api (Setothosea asigna) dengan menggunakan insektisida kimiawi
merupakan cara yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit. Namun dalam praktek,
penggunaan insektisida tersebut justru menimbulkan kerugian yang besar berupa pencemaran
lingkungan akibat residu insektisida serta munculnya resistensi dan resurgensi hama.
Semakin meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, termasuk perlindungan
terhadap musuh alami hama di dalam ekosistem kelapa sawit, telah mendorong para

pengusaha perkebunan untuk menerapkan pengendalian hayati. Secara teknis, pengendalian
hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan
efisien juga ramah lingkungan. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat
menggunakan mikroorganisme entomopatogenik contohnya jamur Cordyceps militaris.
Serangan ulat api di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan dampak yang sangat
merugikan terutama pada sawit yang telah memasuki masa tanaman menghasilkan. Ulat api
jenis Setora nitens dan Ploneta diducta pada sistem binomial termasuk dalam kelas Insecta,
Ordo Lepidoptera dari famili Limacodidae. Hama ini mempunyai tahapan siklus hidup
dimana fase yang merugikan bagi kelapa sawit adalah fase larva. Siklus hidup ulat pemakan
daun kelapa sawit adalah sebagai berikut :

Telur
Ima
go

Pup
a

Larv
a


Pengendalian ulat api ditujukan untuk menghambat pertumbuhan populasi ulat sampai
pada batas ambang ekonomi dengan prinsip memutuskan rantai siklus pada masing-masing
stadia. Pada umumnya pengendalian dengan bahan kimia sering dipilih karena hasilnya
mudah dilihat dan mudah aplikasinya, tetapi cara ini memerlukan biaya yang cukup besar dan
menimbulkan pengaruh yang merugikan antara lain resistensi, resurgensi, munculnya hama
kedua, terbunuhnya jasad bukan sasaran (parasit, predator, serangga berguna lainnya), residu
insektisida dan pencemaran lingkungan.

Oleh karena itu perlu dicari alternatif cara

pengendalian yang ramah lingkungan namun efektif untuk menekan populasi ulat api.
Di perkebunan Sungai Buaya pengendalian ulat api secara fisik dilakukan dengan
kutib pupa dan light trap. Sedangkan pengendalian secara biologis dilakukan dengan cara
penanaman berbagai jenis tanaman inang agensia pengendali hayati antara lain Casiatora dan
Turnera subulata dan jamur Cordyceps militaris.
1.2.

Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

a. Agar mahasiswa mengetahui tentang pengendalian ulat api dengan menggunakan agen
hayati
b. Agar mahasiswa dapat menerapkan penggunaan agen hayati dalam pengendalian ulat api

BAB II
PEMBAHASAN

Ulat api merupakan jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering
menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak
ditemukan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta dan Darna
bradleyi. Jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea vestusa, Thosea bisura, Susica pallida
dan Birthamula chara (Norman dan Basri, 1992). Jenis ulat api yang paling merusak di
Indonesia akhir-akhir ini adalah S. asigna, S. nitens dan D. trima.
Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai siklus
hidup 106-138 hari (Hartley, 1979). Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat
tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun
sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 6-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44
butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur 300-400 butir. Telur menetes 4-8
hari setelah diletakkan. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di
bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang kokoh. Ulat

instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. Stadia ulat ini
berlangsung selama 49-50,3 hari. Ulat berkepompong pada permukaan tanah yang relatif
gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Kepompong diselubungi oleh
kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap. Kokon
jantan dan betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadia
kepompong berlangsung selama ± 39,7 hari. Serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina
masing-masing lebar rentangan sayapnya 41 mm dan 51 mm. Sayap depan berwarna coklat
tua dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna
coklat muda.
Ulat yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan
bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun. Pada instar 2-3 ulat
memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Untuk S. asigna, selama
perkembangannya, ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas
400 cm².
Ulat menyukai daun kelapa sawit tua, tetapi apabila daun-daun tua sudah habis ulat
juga memakan daun-daun muda. Ngengat aktif pada senja dan malam hari, sedangkan pada

siang hari hinggap di pelepah-pelepah daun tua dengan posisi terbalik (kepala di bawah).
Kokon dapat dijumpai menempel pada helaian daun, di ketiak pelepah daun atau di
permukaan tanah sekitar pangkal batang dan piringan.

Serangan ulat api di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan dampak yang sangat
merugikan terutama pada sawit yang telah memasuki masa tanaman menghasilkan. Serangan
berat akan menyebabkan kehilangan indeks luas daun yang dapat menghambat pertumbuhan
dan perkembangan kelapa sawit sehingga produksi kelapa sawit akan megalami penurunan.
Data SMARTRI menunjukkan bahwa tingkat kerusakan daun 70% penurunan produksi
kelapa sawit dapat mencapai 45 %/ha pada tahun pertama setelah serangan
Upaya pengendalian ditujukan untuk memutuskan rantai siklus ulat api pada salah
satu fase sehingga dengan demikian perkembangan ulat api dapat ditekan sampai pada
ambang batas ekonomi. Pada umumnya pengendalian dengan bahan kimia sering dipilih
karena hasilnya sepintas mudah dilihat hasilnya tetapi cara ini memerlukan biaya yang cukup
besar dan menimbulkan pengaruh yang merugikan antara lain resistensi, resurgensi dan
terbunuhnya jasad bukan sasaran seperti parasit, predator, serta serangga berguna yang
sebenarnya sangat diperlukan di perkebunan kelapa sawit. Jamur Cordyceps militaris sebagai
salah satu agensia pengendali hayati merupakan salah satu parasit pada hama ulat api yang
perlu mendapat perhatian karena jamur tersebut berpotensi tinggi untuk mengendalikan
populasi ulat api. Jamur ini menyerang ulat api dari fase akhir larva dan berkembang pada
larva sampai dengan fase pupa. Ciri yang ditunjukkan akibat serangan jamur ini adalah
terjadinya mumifikasi pada pupa sehingga pupa gagal berkembang menjadi imago. Dengan
demikian siklus hidup ulat api terputus sampai dengan fase pupa.
Perlakuan penyemprotan ekstrak jamur yang telah dilakukan di perkebunan Sungai

Buaya di divisi 3 dan divisi 1 dengan dosis 6 cc per pohon menunjukkan hasil yang
memuaskan dimana tingkat infeksi dapat mencapai 90% dengan rata-rata infeksi mencapai
75%. Dibanding dengan jamur Cordyceps militaris yang menyerang pupa secara alami
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tingkat infeksi rata-rata 7.58 %.
Permasalahan yang dihadapi adalah aplikasi jamur tidak bisa dilakukan setiap saat
karena belum tersedianya stok jamur apabila suatu saat diperlukan. Oleh karena itu perlu
dicari suatu solusi yang mudah dan cepat untuk mengembangkan jamur ini sehingga fungsi
jamur

sebagai

agensia

pengendali

hayati

dapat

dioptimalkan


dengan

cara

mengembangbiakkan jamur tersebut secara masal dalam suatu media buatan sehingga jamur
tersebut dapat dijadikan stok dan tersedia setiap saat diperlukan.
Hasil percobaan pembiakan jamur menunjukkan bahwa jamur Cordyceps militaris
dapat tumbuh pada media padat

jagung dan dedak. Pada pengamatan minggu I telah

menunjukkan pertumbuhan miselia jamur yang berwarna putih di permukaan media. Umur
hasil biakan yang siap dipanen mencapai 30-40 hari. Hasil pembiakan telah diidentifikasi di
laboratorium SMARTRI dan menunjukkan bahwa jamur hasil pembiakan tersebut adalah
Cordyceps militaris. Adanya perbedaan tingkat kerapatan miselium dan kematangan askokarp
pada hasil pembiakan dikarenakan perbedaan nutrisi dengan media biakan standar (media
agar). Pengujian hasil pembiakan terhadap daya infeksi pada pupa menunjukkan terjadinya
penurunan daya infeksi sampai dengan 10% dibanding dengan ekstrak pupa.


Namun

demikian jamur hasil pembiakan tersebut masih cukup efektif untuk dipakai untuk
pengendalian ulat api.
Jamur Cordyceps militaris
Jamur Cordyceps militaris merupakan jamur entomopatogen khususnya terhadap
kelompok Limacodidae. Jamur ini menyerang kepompong yang menyebabkan kepompong
menjadi keras karena proses mummifikasi. Secara umum dilapangan infeksi terjadi pada fase
kepompong sedangkan pada fase pra kepompong sangat rendah (Wibowo dkk, 1994).
Menurut Holliday et al (2005), jamur Cordyceps militaris dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Filum

: Ascomycota

Klass

: Ascomycetes


Ordo

: Hypocreales

Famili

: Clavicipitaceae

Genus

: Cordyceps

Spesies

: Cordyceps militaris

Cordyceps dikenal sebagai jamur entomopatogen yang membentuk badan buah pada
serangga inangnya dan dikenal 750 species dari jamur ini. C. militaris merupakan jamur
entomopatogen khususnya pada larva dan pupa Lepidoptera (Gambar 7) (Schgal & Sagar,
2006). Jamur ini bersifat soil borne karena infeksi mulai terjadi pada saat larva turun ke tanah

untuk berkepompong (Wibowo dkk, 1994).

Pada awal ditemukannya, tampak struktur stromata yang timbul dari badan ulat api.
Stromata merupakan jalinan hifa yang membentuk tangkai, dimana pada bagian fertile
disebut perithecia yang mengandung askus dan askospora (Wibowo dkk, 1994). Ukuran
stromata 8 – 70 × 1.5 – 6 mm, perithecium 500 – 720 × 300 – 480 μm, askus 300 – 510 × 3.5
– 5 μm, askospora 280 – 390 × 1 μm, askospora mempunyai banyak septa (Gambar 8),
ukuran partspore 2 – 4.5 × 1 – 1.5 μm, dan warna koloni kuning keputih-putihan (Sung &
Spatafora, 2004).
Stromata Cordyceps timbul dari endosklerotium dan biasanya muncul dari mulut atau
anus dari serangga dan tumbuh ke arah sumber cahaya. Perithecia terbentuk pada bagian atas
yang menghasilkan askospora. Badan buah berukuran sekitar 30 cm, bercabang dan berwarna
kuning atau orange (Tanada & Kaya, 1993).
Askospora yang berada pada integument dari larva dan pupa melakukan penetrasi
melalui pembuluh, dan mempunyai kemampuan untuk menghidrolisa lapisan kitin dari larva
maupun pupa tersebut. Setelah infeksi, muncul badan hifa berbentuk silindris pada
haemocoel pupa, kemudian badan hifa meningkat dan menyebar pada tubuh serangga (Schgal
& Sagar, 2006).
Kepompong yang terinfeksi menjadi keras (mummifikasi), berwarna krem sampai
coklat muda, miselium berwarna putih membalut tubuh kepompong di dalam kokon.
Miselium berkembang keluar dinding kokon dan terjadi diferensiasi membentuk rizomorf
dengan beberapa cabang, berwarna merah muda. Ujung – ujung rizomorf berdiferensiasi
membentuk badan buah berisi peritesia dengan askus dan askospora. Infeksi pertama terjadi
pada saat larva tua akan berkepompong, tetapi lebih banyak pada fase kepompong. Pada
kondisi lapangan, C. militaris tumbuh baik pada tempat-tempat lembab di sekitar piringan
kelapa sawit dan di gawangan. Menurut hasil penelitian kepompong terinfeksi cukup tinggi
dan bervariasi tergantung pada keadaan lingkungan dan media terutama kelembapan (Purba
dkk, 1986).
Percobaan Tiong (1979) di Serawak menunjukkan bahwa pertumbuhan terbaik C.
militaris pada kepompong S. asigna yaitu pada kandungan air 53.7% dimana pertumbuhan
rhizomorf rata-rata 32.0 mm, dan jamur ini lebih menyukai tanah berpasir dibandingkan
dengan tanah berliat tinggi (Purba dkk, 1986). Pertumbuhan maksimum miselium C. militaris
dalam padatan dan media cair masing-masing pada pH 7.5 dan pH 5.5 (Schgal & Sagar,
2006).
Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat menentukan
laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan

menentukan keefektifan jamur entomopatogen dalam mengendalikan serangga. Jamur
entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein.
Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen.
Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan
persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo
dkk, 2005).
Kelebihan dan kekurangan jamur Cordyceps militaris
Pengendalian hayati ulat api Setothosea asigna dengan menggunakan jamur Cordyceps
militaris memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan :
a. Pengendalian hayati tidak menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan karena tidak
menggunakan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan yang dapat menimbulkan
residu bahan kimia.
b. Tidak mempengaruhi organisme lain, hanya menyerang oragnisme target sehingga
ekosistem tetap terjaga.
c. Apabila pengendalian sudah berhasil maka akan dapat menurunkan biaya pengendalian
hama. Biayanya lebih murah dibanding cara mekanis dan kimiawi.
Kelemahan :
a. Pada tahap awal memerlukan biaya yang besar untuk penelitian, perkembangbiakan,
pengawasan, dll.
b. Memerlukan tenaga ahli dalam usaha pengembangan dan pengawasanya.
c. Untuk merasakan hasilnya butuh waktu yang lebih lama karena butuh adaptasi terhadap
lingkungan.
d. Hasilnya tidak dapat dipastikan karena berhubungan dengan makhluk hidup yang memiliki
sifat dan karakteristik yang beragam.
Cara aplikasi
Pembuatan Ekstraks
1. Pilih 100 butir pupa yang terserang jamur.
2. Siapkan Blender, penyaring, corong dan jirigen plastik.
3. Masukkan pupa kedalam blender dan ditambah air sebanyak 1 liter.
4. Blender pupa hingga halus.
5. Saring hasil blenderan dan masukkan ke dalam jirigen.
6. Simpan ekstrak di tempat sejuk dengan suhu ruang atau di kulkas.

Pembiakan Jamur
Media pembiakan yang digunakan adalah media padat yang terbuat dari tepung
jagung. Langkah kerja pembuatan media sebagai berikut:
Cara Basah
1. Menir jagung dibersihkan dan ditambahkan air secukupnya.
2. Sterilkan bahan dengan cara dikukus selama 15 menit atau sampai setengah matang.
3. Angkat media dan diangin-anginkan.
4. Setelah dingin media ditempatkan pada wadah.
5. Semprotkan ekstrak jamur ke media dan aduk hingga merata.
6. Tutup wadah dengan plastik dan simpan media pembiakan ditempat sejuk.
Cara Kering
1. Menir jagung dicuci bersih dengan air
2. Kukus bahan selama 15 menit atau sampai setengah matang.
3. Angkat media dan dinginkan.
4. Tempatkan bahan di wadah/nampan plastik berpenutup.
5. Inokulasi media dengan spora jamur.
6. Tutup wadah dengan plastik dan ditempatkan di suhu ruang.
Pembuatan ekstraks jamur hasil pembiakan
1.

Ambil jamur dalam media pembiakan

2.

Tambahkan air satu liter dalam blender

3.

Blender jamur sampai halus

4.

Saring ekstraks dan ditempatkan dalam jirigen

Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap media pembiakan mulai satu minggu setelah aplikasi.
Diamati keberhasilan pembiakan jamur yang ada dimedia dengan mengamati :
1. Miselia jamur pada media.
2. Pengamatan mikroskopis di laboratoium.
Pengamatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi jamur hasil pembiakan dengan
mengenali ciri-cirinya dibawah mikroskop.

Aplikasi Ekstraks di Lapangan
Aplikasi ekstraks jamur Cordyceps militaris di lapangan dapat dilakukan dengan
knapsack sprayer dimana saat yang tepat adalah setelah larva memasuki stadia akhir.
Biasanya larva-larva tersbut akan mencari tempat yang sejuk untuk bermetamorfosis
sehingga pupa tersebut dapat memasuki fase imago.
Aplikasi jamur Cordyceps militaris pada piringan tanaman kelapa sawit yang
dilakukan di Perkebunan Sungai Buaya telah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan
dengan tingkat infeksi mencapai 90% dengan rata-rata 75%.

Hasil analisa statistik

menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak jamur Cordyceps militaris memberikan pengaruh yang
berbeda nyata apabila dibandingkan dengan plot yang tidak diaplikasi (Lampiran 3). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiong (1981) di Serawak, Malaysia dimana
aplikasi jamur Cordyceps militaris dapat menginfeksi hingga 100% pupa sejak 1 bulan
sampai dengan 10 bulan setelah aplikasi.

BAB III
PENUTUP
Pengendalian ulat api yang umum dilakukan diperkebunan kelapa sawit yaitu dengan
menggunakan bahan kimia karena hasilnya mudah dilihat dan mudah aplikasinya, tetapi cara
ini memerlukan biaya yang cukup besar dan menimbulkan pengaruh yang merugikan antara
lain resistensi, resurgensi, munculnya hama kedua, terbunuhnya jasad bukan sasaran (parasit,
predator, serangga berguna lainnya), residu insektisida dan pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu perlu dicari alternatif cara pengendalian yang ramah lingkungan namun efektif
untuk menekan populasi ulat api.
Oleh karena itu para pengusaha perkebunan terdorong

untuk menerapkan

pengendalian hayati. Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan
pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan.
Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme
entomopatogenik contohnya jamur Cordyceps militaris.
Aplikasi jamur Cordyceps militaris pada piringan tanaman kelapa sawit yang
dilakukan di Perkebunan Sungai Buaya telah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan
dengan tingkat infeksi mencapai 90% dengan rata-rata 75%.

Hasil analisa statistik

menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak jamur Cordyceps militaris memberikan pengaruh yang
berbeda nyata apabila dibandingkan dengan plot yang tidak diaplikasi (Lampiran 3). Hal ini
aplikasi jamur Cordyceps militaris dapat menginfeksi hingga 100% pupa sejak 1 bulan
sampai dengan 10 bulan setelah aplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Suyono. 2012. http://ngasalnulis.blogspot.com/2012/07/pengendalian-hayati-ulatapi.html
Wahyu,A. 2012. Pengembangan Cordyceps militaris untuk pengendalian UPDKS.
http://www.google.co.id/url?
url=http://dedidoank.files.wordpress.com/2008/07/pembiakan-cordycep-militarisaplikasi.doc&rct=j&sa=U&ei=a7yUJ7aDMfVrQeqo4GwCw&ved=0CBIQFjAA&q=aplikasi+pengendalian+hama+ulat+a
pi+dengan+jamur+cordyceps+militaris+pada+sawit&usg=AFQjCNEj5klcaxXvlPwAKtHxrwBuwyYMg.

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22