Sistem Pendukung Keputusan untuk Menentukan Peringkat Obesitas Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Fuzzy Mamdani
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.
Sistem Pendukung Keputusan
Menurut Turban, sistem pendukung keputusan (Decision Support System) merupakan
suatu pendekatan untuk mendukung pengambilan keputusan. Sistem pendukung
keputusan menggunakan data, memberikan antarmuka pengguna yang mudah dan
dapat menggabungkan pemikiran pengambil keputusan.
Selanjutnya Indrajit menyatakan bahwa sistem pendukung keputusan
merupakan salah satu produk perangkat lunak yang dikembangkan secara khusus
untuk membantu manajemen dalam proses pengambilan keputusan. Keberadaan
sistem pendukung keputusan bukan untuk menggantikan tugas manager melainkan
bertujuan untuk menjadi sarana penunjang bagi perusahaan. (Nasibu, 2009).
2.2.
Obesitas
2.2.1. Pengertian obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolism energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Secara
fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang
tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat menggangu
kesehatan. (Sudoyo, et al, 2009).
2.2.2. Pengukuran antropometri sebagai screening obesitas
Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini
antara lain adalah pengukuran Indek Massa Tubuh (IMT), lingkar pinggang, lingkar
Universitas Sumatera Utara
6
panggul, lingkar leher serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul. (Caballero,
2005). Berikut penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri tubuh:
a. Indek Massa Tubuh (IMT)
Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu
BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan
dalam meter (Caballero, 2005). Keterbatasan IMT adalah tidak dapat digunakan bagi
anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, wanita hamil dan orang yang sangat
berotot, contohnya atlet. Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel 2.2.1 di bawah ini.
Tabel 2.2.1. Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005)
Kategori
Underweight
IMT (kg/m2)
< 18.5 kg/m2
Batas normal
Overweight
Pre-obese
Obese I
Obese II
Obese III
18.5 – 24.9 kg/m2
> 25.0 kg/m2
25.0 – 29.9 kg/m2
30.0 – 34.9 kg/m2
35.0 – 39.9 kg/m2
> 40.0 kg/m2
Resiko Comorbiditas
Rendah (tetapi resiko terhadap masalahmasalah klinis lain meningkat)
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berbahaya
Sangat berbahaya
Contoh perhitungan IMT:
Diketahui: Berat Badan (BB) seseorang = 60 kg dan Tinggi Badan (TB) =162 cm
menjadi 1.62 meter.
Ditanya: IMT?
Penyelesaian: IMT = BB kg / TB m2 = 60 / 1.622 = 60 / 2.6244 = 22.86 (normal)
b. Lingkar Pinggang
Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan
cara mengukur lingkar pinggang. Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang
paling sulit dilakukan karena perbedaan cut of point setiap etnis terhadap IMT maupun
lingkar pinggang. Sehingga International Diabetes Federation mengeluarkan kriteria
ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis. (Tjokroprawiro, 2006). Dapat dilihat pada
tabel 2.2.2. berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
7
Tabel 2.2.2. Kriteria Ukuran Pinggang Berdasarkan Etnis
Lingkar pinggang pada obesitas
Pria
Wanita
> 94 cm
> 80 cm
> 94 cm
> 80 cm
> 102 cm
> 88 cm
> 102 cm
> 88 cm
> 90 cm
> 80 cm
> 90 cm
> 80 cm
> 85 cm
> 90 cm
> 85 cm
> 80 cm
> 94 cm
> 80 cm
> 94 cm
> 80 cm
> 90 cm
> 80 cm
Negara/Grup Etnis
Eropid
Caucasian
United States
Canada
Asian (including Japanese)
Asian
Japanese
China
Middle East, Mediterranean
Sub-Sahara Africa
Ethnic Central and South American
c. Lingkar leher
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untuk
skreening individu dengan obesitas. Lingkar leher > 37 cm untuk laki-laki dan > 34
cm untuk wanita merupakan cut of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi
individu dengan IMT > 25 kg/m2, lingkar leher > 39.5 cm untuk laki-laki dan > 36.5
cm untuk wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu
dengan obesitas (IMT > 30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada
kelompok yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher
memiliki sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk
perempuan. Dapat dilihat pada tabel 2.2.3. berikut ini: (Liubov et al., 2001).
Tabel 2.2.3. Nilai Perbandingan Lingkar Leher dan Lingkar Pinggang
Pengukuran
Pria
Normal
Lingkar leher
38-40 cm
Lingkar pinggang
94-102 cm
Perbandingan lingkar leher dan 0.39
lingkar pinggang
Wanita
Besar
Normal
Besar
> 40 cm 34-37 cm
> 37 cm
> 102 cm 80-88cm
> 88 cm
> 0.39
0.44
> 0.44
d. Lingkar Pinggang dan Perbandingan antara Lingkar Pinggang dengan
Lingkar Panggul
Salah satu metode pengukuran peringkat obesitas dan overweight adalah dengan
menggunakan antropometri yaitu perbandingan Rasio Lingkar Pinggang Panggul
(RLPP). Rasio lingkar pinggang terhadap panggul adalah indikator untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
8
obesitas abdominal yang diperoleh dengan cara menghitung perbandingan antara
lingkar pinggang (cm) dan lingkar panggul (cm). World Health Organization (2000)
secara garis besar menentukan kriteria obesitas berdasarkan rasio lingkar pinggang
panggul jika rasio lingkar pinggang panggul pria > 0,90 dan pada wanita > 0,80. Nilai
perbandingan antara lingkar pinggang dengan lingkar panggul dapat dilihat pada tabel
2.2.4 berikut:
Tabel 2.2.4. Tabel Perbandingan antara Lingkar Pinggang - Panggul
Pria
Pengukuran
Resiko
meningkat
Lingkar pinggang
Perbandingan lingkar
pinggang/lingkar
panggul
> 94 cm
Wanita
Resiko
Resiko
Resiko sangat
meningka
sangat
meningkat
t
meningkat
> 102 cm
> 80 cm
> 88 cm
0.9
1.0
0.8
0.9
Data yang diambil adalah data primer dengan melakukan wawancara langsung
kepada responden. Data primer yang diambil identitas responden, berat badan, tinggi
badan, lingkar pinggang, lingkar panggul dan lingkar leher. Jumlah responden diambil
sebanyak 10 orang, wanita dengan usia 18-50 tahun kecuali ibu hamil dan atlet.
2.3.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pada dasarnya, proses pengambilan keputusan adalah memilih suatu alternatif.
Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya
persepsi manusia. Keberadaan hirarki memungkinkan dipecahkannya masalah
kompleks atau terstruktur dalam sub-sub masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu
bentuk hirarki.
2.3.1. Prinsip dasar analytical hierarchy process
Dalam menyelesaikan permasalahan dengan AHP ada beberapa prinsip yang
perlu dipahami, diantaranya sebagai berikut:
1. Decomposition (membuat hirarki)
Sistem yang kompleks bisa dipahami dengan memecahkannya menjadi elemenelemen yang lebih kecil dan mudah dipahami.
Universitas Sumatera Utara
9
2. Comparative judgement (penilaian kriteria dan alternatif)
Kriteria dan alternatif dilakukan dengan perbandingan berpasangan. Menurut Saaty
(1988) untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik untuk
mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala
perbandingan Saaty dapat diukur menggunakan tabel analisis seperti pada tabel 2.3.1.
berikut ini:
Tabel 2.3.1. Tabel Analisis
Intensitas
Kepentingan
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Keterangan
Kedua elemen sama pentingnya
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang
lainnya
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen launnya
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Jika aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan
aktivitsa j, maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan
dengan i
3. Synthesis of priority (menentukan prioritas)
Menentukan prioritas dari elemen-elemen kriteria dapat dipandang sebagai
bobot/kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. AHP
melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar
dua elemen sehingga semua elemen yang ada tercakup. Prioritas ini ditentukan
berdasarkan pandangan para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
pengambilan keputusan, baik secara langsung (diskusi) maupun secara tidak langsung
(kuisioner).
4. Logical consistency (konsistensi logis)
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama, objek-objek yang serupa bisa
dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut tingkat
hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
2.3.2. Prosedur Analytical Hierarchy Process (AHP)
Menurut Kusrini, secara umum langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
menggunakan AHP untuk pemecahan suatu masalah adalah sebagai berikut:
1.
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, lalu menyusun
hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
10
2.
Menentukan prioritas elemen
a. Langkah pertama dalam menentukan prioritas elemen adalah membuat
perbandingan pasangan, yaitu membandingkan elemen secara berpasangan
sesuai kriteria yang diberikan.
b. Matriks perbandingan berpasangan diisi menggunakan bilangan untuk
mempresentasikan kepentingan relatif dari suatu elemen terhadap elemen yang
lainnya.
3.
Sintesis
Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk
memperoleh keseluruhan prioritas. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini
adalah:
a. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks.
b. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk
memperoleh normalisasi matriks.
c. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah
elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.
4.
Mengukur konsistensi
Dalam pembuatan keputusan, penting untuk mengetahui seberapa baik
konsistensi yang ada karena kita tidak menginginkan keputusan berdasarkan
pertimbangan dengan konsistensi yang rendah. Hal-hal yang dilakukan dalam
langkah ini adalah:
a. Kalikan setiap nilai pada kolom pertama dengan prioritas relatif elemen
pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif elemen kedua dan
seterusnya.
b. Jumlahkan setiap baris.
c. Hasil dari penjumlahan baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang
bersangkutan.
d. Jumlahkan hasil bagi di atas dengan banyaknya elemen yang ada. Hasilnya di
sebut maks.
5.
Hitung Consistency Index (CI).
6.
Hitung Rasio Konsistensi / Consistency Ratio (CR).
7.
Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10%, maka penilaian data
judgement harus diperbaiki, berarti langkah kedua harus diulang kembali. Namun,
Universitas Sumatera Utara
11
jika rasio konsistensi (CI/IR) kurang atau sama dengan 0,1 maka hasil
perhitungan bisa dinyatakan benar. (Kosasi & Sandy, 2002). Daftar indeks
random konsisten (IR) dapat dilihat pada tabel 2.3.2. berikut ini: (Saaty, 1988).
Tabel 2.3.2. Daftar Ratio Index (RI)
N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0
0
0.58
0.90
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
1.51
1.48
1.56
1.57
1.59
2.4.
Metode Mamdani
Sistem inferensi fuzzy metode Mamdani dikenal juga dengan nama metode Max-Min.
Metode Mamdani bekerja berdasarkan aturan-aturan linguistik. Metode ini
diperkenalkan oleh Mamdani (1975). Untuk mendapatkan output (hasil), diperlukan 4
tahapan:
1.
Pembentukan himpunan fuzzy
Menentukan semua variabel yang terkait dalam proses yang akan ditentukan.
Untuk masing-masing variabel input, tentukan suatu fungsi fuzzifikasi yang sesuai.
Pada metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output dibagi menjadi
satu atau lebih himpunan fuzzy.
2.
Aplikasi fungsi implikasi
Menyusun basis aturan, yaitu aturan-aturan berupa implikasi-implikasi fuzzy
yang menyatakan relasi antara variabel input dengan variabel output. Pada metode
Mamdani, fungsi implikasi yang digunakan adalah Min.
3.
Komposisi aturan
Apabila sistem terdiri dari beberapa aturan, maka inferensi diperoleh dari
kumpulan dan kolerasi antar aturan. Ada 3 metode yang digunakan dalam melakukan
inferensi sistem fuzzy, yaitu:
a. Metode max (maximum)
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara mengambil nilai
maksimum aturan, kemudian menggunakan nilai tersebut untuk modifikasi daerah
fuzzy dan mengaplikasikannya ke output dengan menggunakan operator OR
(gabungan). Jika semua proporsi telah dievalusi, maka output akan berisi suatu
himpunan fuzzy yang merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap proposisi.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Metode additive (sum)
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan
penjumlahan terhadap semua output daerah fuzzy.
c. Metode probabilistik OR (probor)
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan
perkalian terhadap semua output daerah fuzzy. (Wulandari, 2011).
4.
Defuzzyfikasi (penegasan)
Penegasan (defuzzyfikasi) adalah proses mengolah suatu himpunan fuzzy yang
diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy untuk menghasilkan output berupa suatu
bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. (Kusumadewi et al., 2010). Menurut
Kusumadewi, ada beberapa metode defuzzyfikasi pada komposisi aturan Mamdani,
antara lain:
a) Metode Centroid (Composite Moment)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah
fuzzy. Secara umum dirumuskan:
…………………………. (2.1)
Keterangan:
Z
= nilai domain ke-i,
µ (z)
= derajat keanggotaan titik tersebut,
Z0
= nilai hasil penegasan (defuzzyfikasi)
…………….…………… (2.2)
Keterangan:
Z
= nilai hasil penegasan (defuzzyfikasi),
di
= nilai keluaran pada aturan ke-i,
UAi (di) = derajat keanggotaan nilai keluaran pada aturan ke-i,
n
= banyaknya aturan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
13
b) Metode Bisektor
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain
fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan setengah dari jumlah total nilai keanggotaan
pada daerah fuzzy.
c) Metode Mean of Maximum (MOM)
Pada metode ini, solusi crips diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata domain
yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
d) Metode Largest of Maximum (LOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar dari
domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
e) Metode Smallest of Maximum (SOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil dari
domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1.
Sistem Pendukung Keputusan
Menurut Turban, sistem pendukung keputusan (Decision Support System) merupakan
suatu pendekatan untuk mendukung pengambilan keputusan. Sistem pendukung
keputusan menggunakan data, memberikan antarmuka pengguna yang mudah dan
dapat menggabungkan pemikiran pengambil keputusan.
Selanjutnya Indrajit menyatakan bahwa sistem pendukung keputusan
merupakan salah satu produk perangkat lunak yang dikembangkan secara khusus
untuk membantu manajemen dalam proses pengambilan keputusan. Keberadaan
sistem pendukung keputusan bukan untuk menggantikan tugas manager melainkan
bertujuan untuk menjadi sarana penunjang bagi perusahaan. (Nasibu, 2009).
2.2.
Obesitas
2.2.1. Pengertian obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolism energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Secara
fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang
tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat menggangu
kesehatan. (Sudoyo, et al, 2009).
2.2.2. Pengukuran antropometri sebagai screening obesitas
Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini
antara lain adalah pengukuran Indek Massa Tubuh (IMT), lingkar pinggang, lingkar
Universitas Sumatera Utara
6
panggul, lingkar leher serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul. (Caballero,
2005). Berikut penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri tubuh:
a. Indek Massa Tubuh (IMT)
Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu
BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan
dalam meter (Caballero, 2005). Keterbatasan IMT adalah tidak dapat digunakan bagi
anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, wanita hamil dan orang yang sangat
berotot, contohnya atlet. Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel 2.2.1 di bawah ini.
Tabel 2.2.1. Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005)
Kategori
Underweight
IMT (kg/m2)
< 18.5 kg/m2
Batas normal
Overweight
Pre-obese
Obese I
Obese II
Obese III
18.5 – 24.9 kg/m2
> 25.0 kg/m2
25.0 – 29.9 kg/m2
30.0 – 34.9 kg/m2
35.0 – 39.9 kg/m2
> 40.0 kg/m2
Resiko Comorbiditas
Rendah (tetapi resiko terhadap masalahmasalah klinis lain meningkat)
Rata-rata
Meningkat
Sedang
Berbahaya
Sangat berbahaya
Contoh perhitungan IMT:
Diketahui: Berat Badan (BB) seseorang = 60 kg dan Tinggi Badan (TB) =162 cm
menjadi 1.62 meter.
Ditanya: IMT?
Penyelesaian: IMT = BB kg / TB m2 = 60 / 1.622 = 60 / 2.6244 = 22.86 (normal)
b. Lingkar Pinggang
Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan
cara mengukur lingkar pinggang. Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang
paling sulit dilakukan karena perbedaan cut of point setiap etnis terhadap IMT maupun
lingkar pinggang. Sehingga International Diabetes Federation mengeluarkan kriteria
ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis. (Tjokroprawiro, 2006). Dapat dilihat pada
tabel 2.2.2. berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
7
Tabel 2.2.2. Kriteria Ukuran Pinggang Berdasarkan Etnis
Lingkar pinggang pada obesitas
Pria
Wanita
> 94 cm
> 80 cm
> 94 cm
> 80 cm
> 102 cm
> 88 cm
> 102 cm
> 88 cm
> 90 cm
> 80 cm
> 90 cm
> 80 cm
> 85 cm
> 90 cm
> 85 cm
> 80 cm
> 94 cm
> 80 cm
> 94 cm
> 80 cm
> 90 cm
> 80 cm
Negara/Grup Etnis
Eropid
Caucasian
United States
Canada
Asian (including Japanese)
Asian
Japanese
China
Middle East, Mediterranean
Sub-Sahara Africa
Ethnic Central and South American
c. Lingkar leher
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untuk
skreening individu dengan obesitas. Lingkar leher > 37 cm untuk laki-laki dan > 34
cm untuk wanita merupakan cut of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi
individu dengan IMT > 25 kg/m2, lingkar leher > 39.5 cm untuk laki-laki dan > 36.5
cm untuk wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu
dengan obesitas (IMT > 30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada
kelompok yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher
memiliki sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk
perempuan. Dapat dilihat pada tabel 2.2.3. berikut ini: (Liubov et al., 2001).
Tabel 2.2.3. Nilai Perbandingan Lingkar Leher dan Lingkar Pinggang
Pengukuran
Pria
Normal
Lingkar leher
38-40 cm
Lingkar pinggang
94-102 cm
Perbandingan lingkar leher dan 0.39
lingkar pinggang
Wanita
Besar
Normal
Besar
> 40 cm 34-37 cm
> 37 cm
> 102 cm 80-88cm
> 88 cm
> 0.39
0.44
> 0.44
d. Lingkar Pinggang dan Perbandingan antara Lingkar Pinggang dengan
Lingkar Panggul
Salah satu metode pengukuran peringkat obesitas dan overweight adalah dengan
menggunakan antropometri yaitu perbandingan Rasio Lingkar Pinggang Panggul
(RLPP). Rasio lingkar pinggang terhadap panggul adalah indikator untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
8
obesitas abdominal yang diperoleh dengan cara menghitung perbandingan antara
lingkar pinggang (cm) dan lingkar panggul (cm). World Health Organization (2000)
secara garis besar menentukan kriteria obesitas berdasarkan rasio lingkar pinggang
panggul jika rasio lingkar pinggang panggul pria > 0,90 dan pada wanita > 0,80. Nilai
perbandingan antara lingkar pinggang dengan lingkar panggul dapat dilihat pada tabel
2.2.4 berikut:
Tabel 2.2.4. Tabel Perbandingan antara Lingkar Pinggang - Panggul
Pria
Pengukuran
Resiko
meningkat
Lingkar pinggang
Perbandingan lingkar
pinggang/lingkar
panggul
> 94 cm
Wanita
Resiko
Resiko
Resiko sangat
meningka
sangat
meningkat
t
meningkat
> 102 cm
> 80 cm
> 88 cm
0.9
1.0
0.8
0.9
Data yang diambil adalah data primer dengan melakukan wawancara langsung
kepada responden. Data primer yang diambil identitas responden, berat badan, tinggi
badan, lingkar pinggang, lingkar panggul dan lingkar leher. Jumlah responden diambil
sebanyak 10 orang, wanita dengan usia 18-50 tahun kecuali ibu hamil dan atlet.
2.3.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pada dasarnya, proses pengambilan keputusan adalah memilih suatu alternatif.
Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya
persepsi manusia. Keberadaan hirarki memungkinkan dipecahkannya masalah
kompleks atau terstruktur dalam sub-sub masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu
bentuk hirarki.
2.3.1. Prinsip dasar analytical hierarchy process
Dalam menyelesaikan permasalahan dengan AHP ada beberapa prinsip yang
perlu dipahami, diantaranya sebagai berikut:
1. Decomposition (membuat hirarki)
Sistem yang kompleks bisa dipahami dengan memecahkannya menjadi elemenelemen yang lebih kecil dan mudah dipahami.
Universitas Sumatera Utara
9
2. Comparative judgement (penilaian kriteria dan alternatif)
Kriteria dan alternatif dilakukan dengan perbandingan berpasangan. Menurut Saaty
(1988) untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik untuk
mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala
perbandingan Saaty dapat diukur menggunakan tabel analisis seperti pada tabel 2.3.1.
berikut ini:
Tabel 2.3.1. Tabel Analisis
Intensitas
Kepentingan
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Keterangan
Kedua elemen sama pentingnya
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang
lainnya
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen launnya
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Jika aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan
aktivitsa j, maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan
dengan i
3. Synthesis of priority (menentukan prioritas)
Menentukan prioritas dari elemen-elemen kriteria dapat dipandang sebagai
bobot/kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. AHP
melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar
dua elemen sehingga semua elemen yang ada tercakup. Prioritas ini ditentukan
berdasarkan pandangan para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
pengambilan keputusan, baik secara langsung (diskusi) maupun secara tidak langsung
(kuisioner).
4. Logical consistency (konsistensi logis)
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama, objek-objek yang serupa bisa
dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut tingkat
hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
2.3.2. Prosedur Analytical Hierarchy Process (AHP)
Menurut Kusrini, secara umum langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
menggunakan AHP untuk pemecahan suatu masalah adalah sebagai berikut:
1.
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, lalu menyusun
hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
10
2.
Menentukan prioritas elemen
a. Langkah pertama dalam menentukan prioritas elemen adalah membuat
perbandingan pasangan, yaitu membandingkan elemen secara berpasangan
sesuai kriteria yang diberikan.
b. Matriks perbandingan berpasangan diisi menggunakan bilangan untuk
mempresentasikan kepentingan relatif dari suatu elemen terhadap elemen yang
lainnya.
3.
Sintesis
Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk
memperoleh keseluruhan prioritas. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini
adalah:
a. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks.
b. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk
memperoleh normalisasi matriks.
c. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah
elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.
4.
Mengukur konsistensi
Dalam pembuatan keputusan, penting untuk mengetahui seberapa baik
konsistensi yang ada karena kita tidak menginginkan keputusan berdasarkan
pertimbangan dengan konsistensi yang rendah. Hal-hal yang dilakukan dalam
langkah ini adalah:
a. Kalikan setiap nilai pada kolom pertama dengan prioritas relatif elemen
pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif elemen kedua dan
seterusnya.
b. Jumlahkan setiap baris.
c. Hasil dari penjumlahan baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang
bersangkutan.
d. Jumlahkan hasil bagi di atas dengan banyaknya elemen yang ada. Hasilnya di
sebut maks.
5.
Hitung Consistency Index (CI).
6.
Hitung Rasio Konsistensi / Consistency Ratio (CR).
7.
Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10%, maka penilaian data
judgement harus diperbaiki, berarti langkah kedua harus diulang kembali. Namun,
Universitas Sumatera Utara
11
jika rasio konsistensi (CI/IR) kurang atau sama dengan 0,1 maka hasil
perhitungan bisa dinyatakan benar. (Kosasi & Sandy, 2002). Daftar indeks
random konsisten (IR) dapat dilihat pada tabel 2.3.2. berikut ini: (Saaty, 1988).
Tabel 2.3.2. Daftar Ratio Index (RI)
N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0
0
0.58
0.90
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
1.51
1.48
1.56
1.57
1.59
2.4.
Metode Mamdani
Sistem inferensi fuzzy metode Mamdani dikenal juga dengan nama metode Max-Min.
Metode Mamdani bekerja berdasarkan aturan-aturan linguistik. Metode ini
diperkenalkan oleh Mamdani (1975). Untuk mendapatkan output (hasil), diperlukan 4
tahapan:
1.
Pembentukan himpunan fuzzy
Menentukan semua variabel yang terkait dalam proses yang akan ditentukan.
Untuk masing-masing variabel input, tentukan suatu fungsi fuzzifikasi yang sesuai.
Pada metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output dibagi menjadi
satu atau lebih himpunan fuzzy.
2.
Aplikasi fungsi implikasi
Menyusun basis aturan, yaitu aturan-aturan berupa implikasi-implikasi fuzzy
yang menyatakan relasi antara variabel input dengan variabel output. Pada metode
Mamdani, fungsi implikasi yang digunakan adalah Min.
3.
Komposisi aturan
Apabila sistem terdiri dari beberapa aturan, maka inferensi diperoleh dari
kumpulan dan kolerasi antar aturan. Ada 3 metode yang digunakan dalam melakukan
inferensi sistem fuzzy, yaitu:
a. Metode max (maximum)
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara mengambil nilai
maksimum aturan, kemudian menggunakan nilai tersebut untuk modifikasi daerah
fuzzy dan mengaplikasikannya ke output dengan menggunakan operator OR
(gabungan). Jika semua proporsi telah dievalusi, maka output akan berisi suatu
himpunan fuzzy yang merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap proposisi.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Metode additive (sum)
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan
penjumlahan terhadap semua output daerah fuzzy.
c. Metode probabilistik OR (probor)
Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan
perkalian terhadap semua output daerah fuzzy. (Wulandari, 2011).
4.
Defuzzyfikasi (penegasan)
Penegasan (defuzzyfikasi) adalah proses mengolah suatu himpunan fuzzy yang
diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy untuk menghasilkan output berupa suatu
bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. (Kusumadewi et al., 2010). Menurut
Kusumadewi, ada beberapa metode defuzzyfikasi pada komposisi aturan Mamdani,
antara lain:
a) Metode Centroid (Composite Moment)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah
fuzzy. Secara umum dirumuskan:
…………………………. (2.1)
Keterangan:
Z
= nilai domain ke-i,
µ (z)
= derajat keanggotaan titik tersebut,
Z0
= nilai hasil penegasan (defuzzyfikasi)
…………….…………… (2.2)
Keterangan:
Z
= nilai hasil penegasan (defuzzyfikasi),
di
= nilai keluaran pada aturan ke-i,
UAi (di) = derajat keanggotaan nilai keluaran pada aturan ke-i,
n
= banyaknya aturan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
13
b) Metode Bisektor
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain
fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan setengah dari jumlah total nilai keanggotaan
pada daerah fuzzy.
c) Metode Mean of Maximum (MOM)
Pada metode ini, solusi crips diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata domain
yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
d) Metode Largest of Maximum (LOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar dari
domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
e) Metode Smallest of Maximum (SOM)
Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil dari
domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
Universitas Sumatera Utara