MODEL BUDAYA POLITIK

Kode/Nama Rumpun Ilmu: 601

/ ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LAPORAN TAHUNAN
PENELITIAN DESENTRALISASI
SKEMA PENELITIAN HIBAH BERSAING
TAHUN ANGGARAN 2014

BUDAYA POLITIK SUKU BANGSA GAYO
MODEL BUDAYA POLITIK SUKU BANGSA GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH,
KABUPATEN BENER MERIAH DAN KABUPATEN GAYO LUWES.
Ketua :

Indra Fauzan, S.Hi, M.Soc.Sc : 0018028104
Anggota :
Adil Arifin, S.Sos, MA : 0016028302
Dibiayai oleh DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan surat
Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2014
(Tahap II) Nomor: 4804/UN5.1.R/KEU/2014, Tanggal 23 Juni 2014


LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DESEMBER 2014

1

2

RINGKASAN
Berdasarkan fakta sejarah, Bangsa Gayo bisa dikatakan sebagai ―Bangsa Penakluk‖ dengan
terdiri dari beberapa kerajaan yang tersebar di berbagai daerah Gayo hingga Aceh Tengah.
Akan tetapi setelah kemerdekaan, Bangsa Gayo tergabung dalam Provinsi Aceh, dan dalam
praktek politiknya mereka seakan dianggap kaum minoritas dibandingan dengan Suku Aceh
yang mayoritas, dan mereka juga seperti di nomor duakan dalam kehidupan politik di
daerahnya. Pada masa perjuang GAM (Gerakan Aceh Merdeka), bangsa gayo juga yang
termasuk menolak untuk bergabung. Dan setelah reformasi tahun 1998, ada tuntutan
masyarakat untuk mekar dari provinsi Aceh dan mendirikan provinsi sendiri yang bernama
provinsi ALA (Aceh Leuser Antara).
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk memetakan Budaya Politik Suku
Bangsa Gayo , apakah ia bersifat parokial, subjek, partisipatif atau gabungan diantaranya,.

Secara khusus penelitian ini juga akan mengidentifikasi orientasi budaya politik masyarakat
Gayo, mendalami komponen budaya politik berupa komponen kognitif, afektif dan evaluatif,
serta akan melihat perkembangan dan kesinambungannya pasca reformasi tahun 1998.
Dengan kajian budaya politik kita dapat mengetahui serta memahami sikap-sikap warga
negara terhadap sistem politik yang kemudian akan mempengaruhi tuntutan, tanggapan,
dukungan serta orientasi masyarakat terhadap sistem politik . Sehingga maksud masyarakat
melakukan kegiatan-kegiatannya dalam sistem politik atau faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pergeseran politik juga dapat dimengerti. Kita juga dapat memehami sistem nilai
bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik, serta memahami pola perilaku mereka
dalam kehidupan bernegara, pengelengaraan administrasi negara, politik pemerintahan,
hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat
setiap harinya.
Pada tahun pertama penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan mengebarkan
kusioner kepada beragam lapis masyarakat, dan pada tahun kedua menggunakan metode
kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam kepada berbagai narasumber untuk
mengggali info dan fakta tentang budaya politik mereka. Penelitian akan dilakukan di 3
kabupaten yang menjadi sentral populasi masyarakat Gayo, yakni Kabupaten Aceh Tengah,
Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Dan diharapkan dengan penelitian ini
dapat diperoleh modul/gambaran yang jelas tentang budaya politik lokal, sehingga dengannya

pemerintah-baik pusat maupun daerah-dapat mendasarkan kebijakan mereka dengan
pendekatan budaya politik lokal setempat, yang dengannya pembangunan politik masyarakat
akan akan lebih menyentuh dan berkerakyatan.
Keyword : budaya politik, gayo, parokial, subjek, partisipatif.

3

PRAKATA

Alhamdulillah, syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT atas pemberian-Nya berupa kesempatan
dan kesehatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan Penelitian Hibah Bersaing dengan judul ―
Budaya Politik Suku Bangsa Gayo : Model Budaya Politik Suku Bangsa Gayo Di Kabupaten Aceh
Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Luwes‖. Penelitian ini Mengidentifikasi

dan memetakan pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo di kabupaten Aceh
Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan kabupaten Gayo Lues, serta juga menganalisa
kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca reformasi tahun 1998.
Dengan harapan penelitian ini akan menjadi model pendekatan politik berbasis budaya lokal
bagi pemerintah baik di pusat maupun di tingkat kabupaten/kota.
Peneliti juga berterima kasih kepada Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaaan Indonesia, atas penerimaan judul ini dan
pemberian dana untuk melaksanakannya. Dan tak lupa pula kepada para assesor/reviewer dari
Lembaga Penelitian USU yang juga telah memberikan masukan dan saran dalam rencana dan
penyelesaian penelitian ini.
Penelitian juga tidak akan terlepas dari kekurangan-kekurangan, sehingga masukan dari
berbagai kalangan, terkhusus para reviewer dan LP sangat peneliti harapkan.

Medan, 03 September 2014

Peneliti

4

DAFTAR ISI
Halaman Sampul........................................................................................................................ i
Halaman Pengesahan................................................................................................................. ii
Ringkasan................................................................................................................................... iii
Prakata …................................................................................................................................... iv
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………… v
Daftar Tabel……………………………………………………………………………………vii

Daftar Chart……………………………………………………………………………………viii
Bab 1 : Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah................................................................................................ 2
1.3. Urgensi Penelitian…………………………………………………………….… 3
Bab 2 : Tinjauan Pustaka …………………………………………………………………….. 6
2.1. Kajian Konseptual
2.1.1 Teori Budaya Politik………………..................................................................... 8
2.1.2 Teori Etnis………………………………………................................................ 11
2.1.3. Road Map Penelitian ……………………………….......................................... 13
Bab 3 : Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………. 13
3.2. Manfaat Penelitian ………………………………………………………………13
3.3. Luaran Penelitian ………………………………………………………………. 14
Bab 4 : Metode Penelitian
4.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian...........................................................................14
4.2. Fokus Penelitian..................................................................................................... 14
4.3. Populasi dan Sample……………………………………………………………. 14
4.4. Penentuan Informan…………………………………………………………,,… 15
4.5. Lokasi Penelitian.................................................................................................... 16

4.6. Sumber dan Pengumpulan Data.......................................................................... 16
4.7. Analisis Data.......................................................................................................... 17
4.8. Bagan Alir Penelitian............................................................................................ 17
Bab 5 : Hasil yang Dicapai ………………………………………………………………… 18
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian. ………………………………………………… 19
5.1.1. Kabupaten Aceh Tengah ………………………………………………………19
5.1.2. Kabupaten Bener Meriah …………………………………………………… 29
5.1.3. Kabupaten Gayo Luwes………………………………………………………..39
5.2. Pemetaan Budaya Politik Masyarakat Suku Gayo…………………………. 48
5.2.2. Pola Kesadaran Politik ……………………………………………………. …50
5.2.3. Perasaan Terhadap Pemerintahan dan Politik …………………………….. 57
5.2.4. Bentuk-Bentuk Partisanship………………………………………………….. 63
5.2.5. Wewenang Politik Masyarakat…………………………………….………… 69
5.2.6. Hubungan Sosial dan Kerjasama Masyarakat……………………………… 71
5.2.7. Keanggotaan Organisasi…………………………………………………….. 73
5.2.8. Sosialisasi Politik …………………………………………………………….. 76
5.2.9. Kesadaran Politik Lokal …………………………………………………….... 79
5.2.10. Pengetahuan Tentang Perubahan Politik Lokal…………………………… 82
5.2.11. Harapan Masyarakat Kepada Pemerintah Pusat dan Lokal……………… 84
5


Bab 6 : Rencana Tahapan Berikutnya ………………………………………………………. 85
Bab 7 : Kesimpulan dan Saran ……………………………………………………………… 85
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………………………

6

DAFTAR TABEL.
Tabel 1: Penduduk Aceh Tengah Berdasarkan Kecamatan …………………………....20
Tabel 2: Produksi Tahunan Kabupaten Aceh Tengah……………………………….…..22
Tabel 3 : Populasi Hasi Ternak Kabupaten Aceh Tengah. …………………………...…24
Tabel 4 : Kecamatan Pada Kabupaten Bener Meriah……………………………………30
Tabel 5 : Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bener Meriah…………………32
Tabel 6: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Kabupaten Bener Meriah…………………..33
Tabel 7: Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Kabupaten Bener Meriah……33
Tabel 8: Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Bener Meriah…….34
Tabel 9: Jenis, Kondisi, Kelas dan panjang jalan (KM) berdasarkan Tahun di
Kabupaten Bener Meriah…………………………………………………………………..35
Tabel 10: Rencana Pola Ruang Kabupaten Bener Meriah Tahun 2011-2031…………38

Tabel 11: Rencana Kawasan Budi Daya Kabupaten Bener Meriah………………….…38
Tabel 12: Nama - Nama Ibukota kecamatan dan Kode Pos dalam wilayah Kabupaten
Gayo Lues Tahun 2008…………………………………………………………………..…40
Tabel 13: Jumlah Perangkat Desa/Kelurahan di Kabupaten Gayo Lues………………41
Tabel 14 : Perkiraan Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk dirinci menurut
Kecamatan dalam Kabupaten Gayo Lues, Juni 2008……………………………………42
Tabel 15: Jumlah Sekolah Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Gayo Lues…….…44
Tabel 16: Jumlah Rumah Ibadah di Kabupaten Gayo Lues………………………….…45

7

DAFTAR CHART.
CHART 1. Responden Berdasarkan Usia………………………………………………...48
CHART 2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin……………………………………..49
CHART 3. Responden Berdasarkan Pendidikan………………………………………...49
CHART 4. Responden Berdasarkan Pekerjaan………………………………………….50
CHART 5. Derajat Perkiraan Tentang Pengaruh Pemerintahan Nasional Terhadap
Kehidupan Sehari-hari………………………………………………………………….....51
CHART 6. Derajat Estimasi Pengaruh Pemerintahan Lokal Terhadap Kehidupan
Sehari-hari………………………………………………………………………………….51

CHART 7: Sifat Pengaruh Pemerintah Nasional dan pemerintah Lokal……………..52
CHART 8: Mengikuti Segala Kegiatan Pemerintahan………………………………….53
CHART 9: Mengikuti Laporan-laporan Mengenai Aktivitas Pemerintahan Melalui
Berbagai Media…………………………………………………………………………….54
CHART 10: Derajat Frekuensi Mengikuti Laporan-laporan Mengenai Aktivitas
Pemerintahan Melalui Berbagai Media………………………………………………….54
CHART 11: Kemampuan Menyebutkan Nama Pemimpin Pemerintah Pusat.(Nama
Presiden dan Wakil Presiden)…………………………………………………………….55
CHART 12: Kemampuan Menyebutkan Nama Pemimpin Partai Nasional. (Nama 4
Ketua Partai-partai Nasional)…………………………………………………………...56
CHART 13: Kemampuan Menyebutkan Nama Pemimpin Pemerintah
Daerah/Lokal.(Nama Gubernur dan Bupati )………………………………………….56
CHART 14: Ringkasan Pola Kesadaran Politik…………………………………….….57
CHART 15: Aspek-aspek yang menjadi Kebanggaan para responden……………...58
CHART 16: Harapan Terhadap Perlakuan Birokrasi Pemerintah dan Polisi……...58
CHART 17: Sejumlah Pertimbangan yang diharapkan dari pihak Birokrasi dan
Polisi……………………………………………………………………………………....59
CHART 18: Frekuensi Pembicaraan Politik dengan orang lain……………………..60
CHART 19: Perasaan Dibatasi dalam Mendiskusikan Politik dan masalah-masalah
Pemerintahan…………………………………………………………………………….61

CHART 20: Penggunaan Hak Pilih pada Pemilu Nasional dan Lokal Terakhir…...62

8

CHART 21: Partai Pilihan Responden pada Pemilu Nasional dan Lokal terakhir…62
CHART 22: Alasan Tidak menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Nasional dan Lokal
Terakhir…………………………………………………………………………………..63
CHART 23: Perasaan Masyarakat akan Perlu atau Tidaknya Kampanye…………64
CHART 24: Frekuensi Memilih/Memberikan Suara Masyarakat dalam Pemilu/Pilkada
Semenjak Berhak Untuk Memberikan Suaranya……………………………………..64
CHART 25. Perasaan Terhadap Voting (Pemberian Hak Suara)…………………...65
CHART 26. Alasan Masyarakat Memberikan Hak Suaranya……………………….66
CHART 27: Penilaian Terhadap Anggota Partai yang telah berindah Partai……...66
CHART 28: Makna Otonomi Daerah Bagi Masyarakat……………………………...67
CHART 29: Makna Pilkada Bagi Masyarakat………………………………………...68
CHART 30: Kebebasan Pers di Daerah Menurut Masyarakat………………………68
CHART 31: Peranan apa yang harus dilakukan orang awam dalam masyarakat
lokalnya………………………………………………………………………………..….69
CHART 32: Pernah atau Tidak pernahnya masyarakat menyampaikan Pendapat,
Saran atau Kritik Terhadap Kebijakan Pusat, Daerah atau Tempat Domisilinya…70

CHART 33: Jika ada peraturan-peraturan yang tidak berkeadilan, apa yang akan anda
lakukan untuk mencoba mempengaruhi pemerintah lokal maupun pusat…………71
CHART 34: Kegiatan Yang Lebih Disukai di Waktu Luang………………………...72
CHART 35: Kepercayaan dan Kecurigaan Sosial……………………………………..73
CHART 36: Keanggotaan Responden pada Organisasi Sosial atau Keagamaan…..74
CHART 37: Alasan Responden yang Tidak Menjadi Anggota Organisasi Sosial atau
Keagamaan. (dari 72 Responden)……………………………………………………….75
CHART 38: Nama Organisasi Sosial atau Keagamaan Responden. (dari 28
Responden)………………………………………………………………………………..75
CHART 39: Pernahkah Anda menjadi Pengurus pada Organisasi Anda? (dari 28
responden)………………………………………………………………………………...76
CHART 40: Apakah Organisasi Anda Terliat dalam Hal Politik? (dari 28
responden)…………………………………………………………………………………76
CHART 41: Pengaruh dalam Keputusan Keluarga……………………………………77

9

CHART 42: Kebebasa Turut Serta di dalam Pembicaraan dan Debat di Sekolah…78
CHART 43: Frekuensi Responden Apakah Dimintai Nasehat/Pendapat dalam
Pengambilan Keputusan di Tempat Mereka Bekerja/Belajar/Tinggal……………...78
CHART 44: Pengetahuan Masyarakat tentang Sistem Sart Opat……………………79
CHART 45: Apakah Sistem Sarat Opat Masih Diperaktekkan dalam Kehidupan
Masyarakat Gayo………………………………………………………………………...80
CHART 46: Mana yang Lebih Bagus, Sistem Sarat Opat atau Sistem Yang Dibuat
Pemerintah RI (Kelurahan/Desa. (dari 58 responden yang menjawab Iya pada chart
45)………………………………………………………………………………………….81
CHART 47: Kenapa Sarat Opat Tidak Lagi Dipraktekkan. (bagi yang menjawab Tidak
pada Chart:45)…………………………………………………………………………...81
CHART 48: Apakah ada perubahan politik di Daerah Anda setelah Reformasi tahun
1998…………………………………………………………………………………….…82
CHART 49: Bentuk Perubahan seteleh Reformasi tahun 1998. (dari 51 responden yang
menjawab Iya pada chart 48)…………………………………………………………..83
CHART 50: Alasan kenapa Tidak Ada Perubahan Setelah Reformasi Tahun 1998.(dari
13 responden yang menjawab tidak pada chart 48)………………………………….83
CHART 51: Harapan Masyarakat kepada Pemerintah Lokal………………………84
CHART 52: Harapan Masyarakat kepada Pemerintah Pusat……………………….85

10

BAB 1. PENDAHULUAN.
1.1. Latar belakang Masalah.
Gayo adalah nama sebuah suku berpopulasi kecil yang mendiami sebuah wilayah bernama
Tanoh Gayo yang terletak di pedalaman Aceh. Gayo adalah salah satu dari sekian suku
minoritas di provinsi Aceh. Populasi suku bangsa gayo berjumlah 11,46 % dari total 5 juta
penduduk aceh , yang umumnya tersebar di empat kabupaten, yaitu kabupaten Aceh Tengah,
Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan sebagian kecil di Kabupaten Aceh Tamiang. 1
Secara budaya suku bangsa Gayo juga memiliki sistem pemerintahannya tersendiri, yaitu
suatu sistem yang berdasarkan Hukum Adat, dan berlandaskan hukum Islam. Sistem
kepemimpinan/pemerintahan

suku Gayo terangkum dalam pranata Sarak Opat, yang

mempunyai empat unsur kepemimpinan, Reje (raja), Imem (imam), Petue (petua), dan
Rayat.2 Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut gampong. Setiap
gampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman,
yang dipimpin oleh mukim. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan
bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil
gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Sebuah kampong biasanya dihuni oleh
beberapa kelompok belah (klan).3
Pada masa perjuangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masyarakat Gayo banyak yang anti
dan menolak untuk bergabung. Setelah reformasi tahun 1998, 2 pemekaran kabupaten terjadi
di tanah Gayo, dan setelah perjanjian Helsinki, ada pergerakan ingin memisahkan diri dan
membentuk provinsi tersendiri yang bernama provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Tuntutan
pemekaran provinsi tersebut diajukan berlandaskan 6 (enam) faktor, yaitu: faktor historis,
budaya, ekonomi, anggaran, keadilan, dan pendekatan pelayanan kepada masyarakat .
Dan setelah beberapa tahun isu pemekaran ALA teredam, saat ini isu tersebut kembali
menguat, dikarenkan adanya Qanun Aceh No.8 tahun 2012 tentang Kelembagaan Wali
Nanggroe dan Qanun Aceh No.3 tahun 2013 tentang Bendera Aceh yang disahkan oleh
DPRA Aceh. Masyarakat Gayo menolak Qanun tersebut karena menilai kelembagaan
pemersatu kehidupan Adat istiadat Aceh tersebut belum mencerminkan keberagaman adat
1

Lihat Afadlal dkk. 2008. Runtuhnya Gampong di Aceh: Studi Masyarakat Desa yang bergejolak. Yogyakarta:
Pustaka pelajar. Hal.84-93. Isma Tantawi dan Buniyamin. 2011. Pilar-pilar kebudayaan Gayo Lues. Medan: Usu
Press. Hal. 2-3.
2
Ibid. Hal.93-108.
3
Tantawi. Op.Cit. Hal. 29-36.

11

Aceh secara luas dan menyeluruh 4, dan menolak qanun bendera Aceh karena tidak sesuai
dengan undang-undang Republik Indonesia.5
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga
dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan
kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Budaya politik adalah pendekatan yang
cukup akhir di dalam ilmu politik. Pendekatan ini dipelopori oleh dua peneliti Amerika
Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.
Budaya politik di Indonesia bermacam-macam karena masyarakat Indonesia bersifat
heterogen (majemuk). Oleh karena itu, terdapat perbedaan budaya (termasuk budaya politik)
yang kadang-kadang cukup besar di antara suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam literatur
ilmu politik, tidak banyak ditemukan kajian yang membahas budaya politik lokal di
Indonesia secara intensif. Studi budaya lokal yang paling banyak dikenal adalah studi Ben
Anderson tentang budaya politik Jawa. Dalam kajian antropologi, ada studi A. Mattulada
tentang budaya politik bugis. Dan yang terbaru penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti
The Habibie Center (oleh Siti Zuhro dkk), yang meneliti tentang Demokrasi dan Budaya
Politik Lokal (Identifikasi nilai-nilai Demokrasi Lokal di Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali
dan Sulawesi Selatan). Sedangkan penelitian budaya politik untuk daerah Aceh secara umum
dan suku gayo secara khusus belum ada dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah.
Sesuai dengan latar belakang yang telah diutarakan terdahulu, maka pertanyaan penelitian
yang akan dikaji adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo di kabupaten Aceh
Tengah, Kabupaten Benar Meriah dan Kabupaten Gayo Lues?
2. Bagaimana kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca
reformasi tahun 1998 ?

4

http://atjehlink.com/lembaga-wali-nanggroe-atau-gayo-merdeka/. Diakses 22-5-2013, pukul 17:20 wib.
http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=32391&tit=Berita%20Utama%20%20Ratusan%20Warga%20Tolak%20Qanun%20Bendera%20dan%20Lambang. Diakses 22-5-2013 pukul,17:22
wib.
5

12

1.3. Urgensi Penelitian.
Menurut Gabriel A.Almond dan Sydney Verba budaya politik adalah sikap orientasi warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan
warga negara di dalam sistem tersebut. Lucian Pye menjelaskan budaya politik terlebih pada
aspek perkembangan politik di negara berkembang, dengan indikator pokok menyangkut
wawasan politik, bagaimana hubungan antara tujuan, dan cara standar untuk penilain aksiaksi politik serta nilai-nilai yang menonjol bagi aksi politik.6 Penelitian dengan pendekatan
budaya politk berguna untuk mengetahui sikap dan orientasi masyarakat suatu negara
terhadap, sistem politik,

kehidupan pemerintahan dan perpolitikan di negara tersebut.

Sehingga apabila negara lebih mengetahui budaya politik masyarakatnya (baik budaya politik
masing-masing suku, kelompok-kelompok masyarakat, para elit dan lain-lain), maka akan
lebih mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat, tentunya dengan program-program
dengan berbasis budaya yang mereka miliki.
Masa DOM (daerah operasi militer) tahun 1989 hingga tahun 1998 adalah peristiwa kelam
bagi rakyat Aceh. Dari tahun 2003 hingga 2004 pemerintah menerapkan status Daerah
Militer di Aceh. Pada Desember tahun 2004 aceh juga mengalami bencana sunami yang
menewaskan lebih dari 250.000 jiwa. Dan akhirnya GAM dan Pemerintahpun berdamai
dengan perjanjian Helsinki pada Agustus tahun 2005.
Masalah pemekaran daerah juga banyak terjadi di aceh, sejak tahun 1999 hingga tahun 2007
telah 13 pemekaran kabupaten yang terjadi. Dan untuk daerah gayo sendiri ada 2 pemekaran
yaitu, Kabupaten Gayo Lues yang mekar dari Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2002 dan
Kabupaten Bener Meriah yang mekar dari Kabupaten Aceh Tengah tahun 2003.
Pendekatan dan Konsep.
Pendekatan dan konsep dalam penelitian ini adalah pendekatan budaya politik, budaya politik
merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara , penyelenggaraan
administrasi negara, politik pemerintahan hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang
dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat diartikan
sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk

6

Lihat Agarwal. 2002. Political Theory:Principles of Political Sciences. New Delhi: S.Chand & Company
Ltc.Hal.422-425. Hari Hara Das dan B C Choudhury. 1997. Introduction to Political Sociology. New Delhi: Vikas
Publishing House Pvt Ltc. Hal. 92.

13

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentu kebijakan publik untuk
masyarakat seluruh nya.
Gabriel A. Almond dan Sydney Verba menjelaskan bahwa, berdasarkan sikap warga negara
terhadap kehidupan politik dan pemerintahan di negaranya, budaya politik dapat dibedakan
menjadi tiga tipe, yaitu budaya politik apatis (parokial), budaya politik mobilisasi (subjek),
serta budaya politik partisipasif (aktif).7
1. Budaya Politik Apatis (Parokial). Budaya politik jenis ini terdapat pada masyarakat
yang masih tradisional seperti di desa-desa terpencil atau masyarakat suku pedalaman.
Pada budaya masyarakat parokial, perhatian dan minat terhadap objek-objek politik
yang luas sangat kecil sekali bahkan tidak ada, kecuali dalam batas tertentu di tempat
mereka tinggal.
2. Budaya Politik Mobilisasi (Subjek). Masyarakat jenis ini sebenarnya telah memiliki
perhatian dan kesadaran terhadap politik, meskipun dalam frekuensi yang masih
sangat rendah. Posisi mereka dalam politik dapat dikatakan dapat dikatakan berada
dalam posisi yang pasif. Mereka cenderung bersikap patuh dan tidak mau menentang
kebijakan yang diambil oleh pemeran politik.
3. Budaya Politik Partisipasif. Pada budaya politik jenis ini, anggota masyarakat sudah
memiliki kesadaran penuh dan memiliki peran aktif dalam kegiatan politik.
Masyarakat sudah tidak lagi hanya menerima segala keputusan pemerintah, namun
sudah berani menentang dan mengkritik serta sudah mulai menyadari hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
Hipotesa.
Hipotesa yang perlu diuji lewat penelitian ini adalah peneliti melihat bahwa budaya politik
masyarakat Gayo mempunyai akar dari kearifan lokal yang mereka miliki pada lalu, yang
dikenal dengan sistem Sarak Opat.
Salah satu indikator majunya budaya politik suatu masyarakat bisa dilihat dari keaktifan
mereka pada pemilihan umum/ pemilihan kepala daerah. Menurut data KPU partisipasi
masyarakat aceh (termasuk gayo) adalah yang tertinggi secara nasional, pada pemilukada
provinsi aceh pad tanggal 9 April 2012 sebanyak 75,73 % (jumlah ini hampir sama saat
Pemilihan Presiden tahun 2009) pemilih mengggunakan hak pilihnya, dan yang persentase

7

Lihat Gabriel A. Almond & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik : Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima
Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 20-22. Komarudin sahid. 2011. Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hal.154-158.

14

pemilih yang tertinggi adalah kabupaten Gayo lues dengan 88,08 % pemilih 8(sementara itu 3
kabupaten lainnya juga memiliki angka yang cukup tinggi: Bener meriah 82,41%, Aceh
tengah 82,54%, Aceh tenggara 74,54%)9. Akan tetapi dengan angka partisipasi pemilih yang
tinggi juga belum menjamin adanya kesadaran politik masyarakat yang tinggi juga atau
masyarakat yang bersifat partisipatif, oleh itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut akan hal
tersebut.
Dan penelitian ini juga akan lebih menggali dan menggidentifikasi terhadap 3 komponen
budaya politik menurut teori Almond dan Verba. Ketiga komponen tersebut ialah:
a. Komponen Kognitif : Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik,
termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.
b. Komponen Afektif : Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para
aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif).
c. Komponen Evaluatif : Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya
tampak saat pemilu.10
Serta meneliti kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo dilihat dari 5
faktor menurut Ignas Kleden, kelima faktor tersebut ialah:
1. Orientasi terhadap kekuasaan.
2. Politik Mikro vs Politik Makro.
3. Kepentingan Negara vs Kepentingan Masyarakat.
4. Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama.
5. Desentralisasi Politik.11

8

http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=242846:partisipasipemilih-di-pilkada-aceh-lebih-70-persen&catid=17:politik&Itemid=30. Diakses pada 16-5-2013, pukul
11;26 wib.
9

http://kip-acehprov.go.id/hasil/terkinilist.php. Diakses pada 16-5-2013 , pukul 11;48 wib.

10

Almond & Verba. Op.Cit. Hal.16-19. Lihat juga Komarudin sahid. Op.Cit. Hal. 150-151.
Lihat Budi Winarto. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Elly Setiadi
dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Prenada Media Group. Hal. 42-44.
11

15

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.
Budaya politik merupakan pendekatan yang baru dalam kajian ilmu politik, dimana
pendekatan ini dipelopori oleh Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, dalam kajian budaya
lokal di Indonesia yang paling banyak dikenal adalah studi Ben Anderson tentang budaya
politik Jawa. Dalam kajian antropologi, ada studi A. Mattulada tentang budaya politik bugis.
Tim peneliti The Habibie Center (oleh Siti Zuhro dkk), meneliti tentang Demokrasi dan
Budaya Politik Lokal (Identifikasi nilai-nilai Demokrasi Lokal di Sumatera Barat, Jawa
Timur, Bali dan Sulawesi Selatan.
Almond danVerba , dalam penelitian mereka tentang budaya politik: tingkah laku politik dan
demokrasi di lima negara (yaitu, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Italia dan Meksiko),
mengimpulkan bahwa di negara Inggris dan Amerika Serikat terdapat suato pola tinggkah
laku politik dan seperangkat tingkah laku sosial yang merupakan faktor pendukung terhapad
proses demokrasi yang stabil. Sedangkan di tiga negara yang lain seperti Jerman, Italia dan
Meksiko pola tersebut tidak terbukti. 12
Benedict Anderson dalam bukunya The Idea of Power in Javanese Culture. Secara singkat ia
memperkenalkan empat sifat dari apa yang dia percaya menjadi konsepsi kekuatan tradisional
Jawa, yaitu kekonkretan, homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang kontras
secara tajam dengan ide kekuasaaan barat. Konsep ini sebagaimana Anderson memahaminya,
lalu dia mencoba menunjukkan kebaikan pikiran-pikiran Jawa sebagai piranti analisis dengan
mempergunakannya untuk menafsirkan berbagai keputusan-keputusan kebijaksanaan
Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.13 A.Mattulada dalam karyanya Latoa: Satu Lukisan
Analistis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, menjelaskan bagaimana cara orang
Bugis menjalankan pemerintahan dan kekuasaan, salah satunya dengan adanya sistem
Tudang Sipulung yang artinya duduk bersama.14
Tim peneliti The Habibie Center (Siti Zuhro dkk), di 4 lokasi penelitiannya menjelaskan
bahwa, di Sumatera Barat, teridentifikasi dua corak budaya utama yang bertolak belakang:
Bodi Chaniago yang egaliter dan Koto Pilliang yang aristokrat. Keduanya tetap eksis di
tengah proses demokrasi karena kuatnya kepemimpinan tradisional. Selain itu, kedua budaya

12

Almond & Verba. Op.Cit. Hal. X.
R. William Liddle. 1997, Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 4.
14
Lihat Mattulada. 1995. Latoa: Satu lukisan analitis terhadap Antropologi politik orang Bugis. Ujungpandang:
Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

13

16

ini menerapkan prinsip saiyo-sakato yang sesubstansi dengan prinsip konsensus dalam
demokrasi universal. Sedangkan dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga lokal mulai rapuh
dan cenderung mengalami delegitimasi fungsi. Dan aktor-aktor memanfaatkan situasi ini
untuk kepentingan masing-masing.
Meski memegang prinsip keharmonisan dan keseimbangan yang berakar pada nilai agama
Hindu, secara historis Bali tidak pernah sepi dari kekerasan politik dan sosial yang
disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara raja-raja dan konflik yang berbasis kasta, politik,
penguasaan wilayah serta ekonomi. Pengaruhnya, masyarakat Bali trauma dan fobia terhadap
politik sehingga menjadi apolitik. Karena itu, hegemoni elite—umumnya tokoh berkasta
tinggi, adat, sekaligus pemilik modal—atas masyarakat tetap kuat. Proses demokrasi dapat
berjalan secara prosedural, tetapi secara substansial diwarnai berbagai nilai dan perilaku yang
kurang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi universal.
Sulawesi Selatan mirip dengan Bali karena latar belakang tradisi kerajaan yang kuat. Tidak
mengherankan jika terjadi gesekan antara warisan tradisi dan keharusan menerapkan prinsipprinsip demokrasi dalam proses politik dan pemerintahan saat ini. Nilai-nilai kebangsawanan
masih melekat kuat. Misalnya, sebutan andi, puang, dan karaeng, memberikan makna
tersendiri bagi yang menyandangnya. Namun, sejak dulu masyarakat Sulawesi Selatan telah
memiliki filosofi tudung sipulung yang dipergunakan sebagai media/sarana menyerap
aspirasi. Masalahnya, aktor-aktor utama politik lokal menerapkan adat tudung sipulung ini
menjadi forum musyawarah, tetapi pada kenyataannya justru mereduksi substansi karena
kepentingan politik.
Sementara masyarakat Jawa Timur secara sosiokultural dapat dibedakan dalam tiga
kelompok budaya, yakni Mataraman, Mendalungan, dan Arek. Meski demikian, mereka
dikenal egaliter dan terbuka untuk berbagai macam gagasan. Masalahnya, selain mampu
membuka peluang untuk tumbuhnya demokrasi, sering pula masyarakat yang aktif dan berani
itu dikooptasi para elite politik. Kearifan lokal lain yang dimiliki masyarakat Jawa Timur
adalah gotong royong yang dipercaya mampu mengupayakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Sayangnya, nilai gotong royong kini mengalami distorsi dan menyimpang menjadi nilai
untuk bersama-sama mendukung penguasa atau calon tertentu.15

15

Lihat R. Siti Zuhro dkk. 2009. Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan nilai-nilai Budaya Politik Lokal
di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan bali. Yogyakarta: Ombak.

17

2.1. Kajian Konseptual.
2.1.1. Teori Budaya Politik.
Kata budaya berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang berarti akal atau budi.
Budaya yang ada di dalam masyarakat berasal dari pendahulu atau leluhur mereka karena
budaya bersifat turun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah
segala sesuatu yang berasal dari akal manusia termasuk agama, ilmu pengetahuan, taknologi,
bangunan, dan bahasa. Kata politik berasal dari Bahasa Yunani yaitu Polis yang berarti
negara kota atau policy yang dalam Bahasa Inggris berarti kebijakan. Sedangkan dalam
Bahasa Arab, politik disebut juga dengan siyasah yang berarti cerdik atau bijaksana. Dari
beberapa pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa politik selalu berkaitan dengan
pengambilan keputusan, kebijakan, dan kekuasaan.
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga
dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan
kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Ada banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik sehingga terdapat
variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih
jauh, derajat / tingkat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar sehingga tetap dalam
satu pemahaman dan rambu – rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian budaya
politik menurut beberapa ahli ilmu politik. Berikut ini merupakan pengertian budaya politik
menurut beberapa ahli ilmu politik.
a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b. Sidney verba
Budaya politik adalah suatu system kepercayaan empirik, simbol – simbol eksresif, dan nilai
– nilai yang menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai –
nilai masyarakat yang berhubungan denngan system politik dan isu – isu politik.
18

d. Austin ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang
dipegang secara bersama – sama, sebuah pola orientasi terhadap objek – objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh
populasi, juga kecenderungan dan pola – pola khusus yang terdapat pada bagian – bagian
tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli),
dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut:
1. Bahwa konsep budaya politik lebih memberi penekanan pada perilaku – perilaku
nonaktual seperti orientasi, sikap, nilai – nilai dan kepercayaan – kepercayaan.
2. Hal – hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya
pembicaraan tentang budaya politik tidak pernah lepas dari pembicaraan tentang
sistem politik.
Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen –
komponen budaya politik dalam tataran massif, atau mendeskripsikan masyarakat di suatu
negara atau wilayah, bukan per individu.
Konsep budaya politik muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia
II, sebagai dampak perkembangan ilmu politik di

Amerika Serikat. Sebagaimana

diungkapkan oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat
terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang dikenal sebagai Behavioral
Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan Behavioralism.16 Behavioral
revolution terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi
atau madzhab positivisme, sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu
memberikan penjelasan akan gejala sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan
penjelasan tehadap gejala-gejala alam, dalam ilmu sosial, termasuk ilmu politik. Paham ini
sangat kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi, seperti Herbert Spencer, Auguste
Comte, juga Emile Durkheim. Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di
Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago,
yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai
pendekatan baru dalam ilmu politik.
16

Lihat J.C Johari. 2002. Comparative Politics. New Delhi: Sterling Publishers Pvt. Hal.29-36. Afan Gaffar.1999.
Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 97.

19

Salah satu dampak yang sangat menyolok dari behavioral revolution ini adalah munculnya
sejumlah teori, baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah (middle level
theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem
analysis, interest aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture,
conversion, rule making, rule aplication, dan lain sebagainya.17 Menurut Ranney, budaya
politik memiliki dua komponen utama, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations )dan
orientasi afektif (affective orientation). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih
komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe
– tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen objek politik, yakni: a.
Orientasi Kognitif, b. Orientasi Afektif. c. Orientasi Evaluatif.
Tipe – Tipe Budaya Politik dapat dibedakan berdasarkan18 :
1.

Berdasarkan Sikap yang ditunjukkan.

Negara dengan sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks menuntut kerja sama yang luas
untuk mengintegrasikan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap
seseorang terhadap orang lain. Pada kondisi ini, budaya politik cenderung bersifat ―militant‖
atau bersifat ―toleransi‖. Tipe ini terbagi dua, yaitu:
a.

Budaya politik militan

Budaya politik militan tidak memandang perbedaan sebagai usaha mencari alternatif yang
terbaik, tetapi melihatnya sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi krisis, yang dicari
adalah kambing hitamnya, bukan peraturannya yang mungkin salah.
b.

Budaya politik toleransi

Budaya politik toleransi adalah budaya politik yang pemikirannya berpusat pada masalah
atau ide yang harus dinilai.
2.

Berdasarkan orientasi politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik ternyata memiliki beberapa variasi.
Berdasarkan orientasi politik yang ditandai oleh sebagai karakter dalam budaya politik,setiap
sistem politik memiliki budaya politik yang berbeda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di masyarakat, Gabriel Almond
mengklasifikasikan budaya politik kepada 3 bagian (budaya politik parokial, kognitif dan
kaula) seperti yang dijabarkan diatas. Dalam kehidupan masyarakat, tidak tertutup

17

Lihat David Marsh & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung : Nusa Media. Hal.
54-60. H.R Mukhi. 2005. Contemporary Political Analysis. Delhi: Surjeet Book Depot. Hal.74-78.
18
Johari. Op.cit. Hal.231-234.

20

kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan ketiga klasifikasi
tersebut di atas.

2.1.2 Teori Etnis.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan ististilah etnis berarti kelompok sosial dalam
sistem social atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena
keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis
memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunaka maupun
tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat.
Menurut Frederik Barth istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan
ras, agama, asal usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem
nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orant-orang sebagai suatu populasi
yang19:
-

Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

-

Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam
suatu bentuk budaya.

-

Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

-

Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat
dibedakan dari kelompok populasi lain.

Denis Dwyer memberikan pembatasan mengenai etnisitas. Etnisitas adalah hasil dari proses
hubungan, bukan karena proses isolasi. Jika tidak ada pembedaan antara orang dalam dan
orang luar, tidak ada yang namanya etnisitas . Erikson menambahkan syarat kemunculan
etnisitas adalah kelompok tersebut sedikitnya telah menjalin hubungan, kontak dengan
kelompok etnis yang lain, dan masing-masing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan di
antara mereka, baik secara kultural maupun politik . Dalam bahasa lain, etnisistas muncul
dalam kerangka hubungan relasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan komunitas
kelompoknya .

Etnisitas dan Politik.
Kemunculan politik etnis diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke
dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu. Kesadaran ini kemudian memunculkan
solidaritas kekompakkan dan kebangsaan. Politik etnis mengacu pada politik ―kelompok
19

Frederik Barth. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI Press. Hal.11.

21

etnis‖ dan ―minoritas kecil‖, sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa
etnis (ethnic nation). Pada wacana politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam
konteks ini, biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu.
Mereka tidak menghendaki ―determinasi diri kebangsaan‖ dalam suatu wilayah bangsa
(negara). Akan tetapi, lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi kelompok,
khususnya bagi individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu negara yang telah ada .
Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian besar terutama dalam hubungannya dengan
peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan sampai dengan tingkat kebangsaan dan
negara bangsa. Makna yang terkandung dalam kata etnis ternyata mengalami evolusi.
Perubahan makna ini bisa dilihat dari kondisional dan disiplin ilmu : makna asal, kondisi
primitif dari sisi antropologis. Perkembangannya pada era modern seiring dengan perjalanan
politik dan interaksi sosiologis. Akan lain lagi maknanya dalam kacamata posmodernisme
dan globalisme. Agnes Haller menguatkan hal ini, bahwa politik identitas sendiri merupakan
milik dari budaya massa dan erat kaitannya dengan revolusi kebudayaan yang terjadi pada era
posmodern. Dengan demikian, politik identitas dapat pula dikategorikan sebagai politik
kebudayaan . Teoritisi lainnya adalah Anthony D. Smith , yang mengemukakan teori tentang
etnisistas sebagai awal dari bangkitnya nasionalisme. Etnisitas memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap nasionalisme.20
Di Indonesia, isu etnis atau isu kesukuan sering dijadikan alat kampanye untuk mendapatkan
dukungan dan suara dari etnis tertentu dalam pemilihan umum dan juga pemilihan kepada
daerah. Dan bila itu rentan terjadi atau malah menjadi isu utamanya maka hal tersebut
sesungguhnya menandakan kriteria masyarakat/pemilih yang masih bersifat tradisional, yang
juga merupakan ciri dari Negara berkembang. Oleh karena itu bila suatu etnis atau suku
bangsa (dalam penelitian ini suku bangsa Gayo), dapat dapat memahami sistem perpolitikan
–minimal-di daerahnya, kemudian berperan aktif, dengan memberikan kritik dan evaluasi
terhadap kegiatan-kegiatan perpolitikan yang ada, dan bahkan mereka menjadi aktor dalam
politik di daerahnya. Maka hal tersebut akan mempermudah dan mempercepat pembangunan
masyarat suku bangsa tersebut beserta daerahnya, dan itu menjadi penopang dan penguat
terhadap pembangunan Negara/masyarakat secara nasional.

20

Lihat Johari. Op.cit. Hal.228-230.

22

2.1.3. Road Map Penelitian.
Adapun road map penelitian Budaya Politik Suku Bangsa Gayo (Pemetaan Budaya Politik
Suku Bangsa Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten
Gayo Lues) adalah :
Tabel 1.
Road Map Penelitian
Sedang

Sebelum

2014
Tidak ada pemetaan - Pemetaan budaya
budaya politik Suku politik Suku Bangsa
Bangsa Gayo
Gayo dengan metode
penelitian Kuantitatif

Sesudah

2015
-Pemetaan budaya
politik Suku Bangsa
Gayo dengan metode
penelitian Kualitatif.
- Verifikasi Budaya
Politik Suku Bangsa
Gayo dengan metode
Kuantitatif dan
Kualitatif (apakah
bersifat Parolial,
Subjek atau Partisipatif
atau juga gabungan
diantaranya)

- Adanya Peta dan
Identitas budaya
politik Suku Bangsa
Gayo. Sehingga
pemerintah daerah dan
pusat diharapkan
mendasarkan
kebijakannya
berdasarkan budaya
tersebut.

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.
Adapun tujuan dan manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
3.1. Tujuan Penelitian.
1. Mengidentifikasi dan memetakan pola orientasi dan budaya politik masyarakat Gayo
di kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan kabupaten Gayo Lues.
2. Menganalisa kesinambungan dan perubahan budaya politik masyarakat Gayo pasca
reformasi tahun 1998.
3.2. Manfaat Penelitian.
1. Bagi Institusi, Penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan di
Departemen Ilmu Politik, serta di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan juga
di Univeritas Sumatera Utara, khususnya mengenai Budaya Politik Masyarakat.
23

2. Bagi Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah, penelitian ini dapat menjadi
referensi dasar dalam mengambil kebijakan dan keputusan terkhusus untuk
masyarakat Gayo, sehingga kebijakan dan keputuasan tersebut lebih mengena
dapat dapat langsung diterima masyarakat karena telah sesuai dengan budaya
mereka.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menjadi sarana dan referensi pendidikan
budaya politik, terkhususnya bagi masyarakat Gayo.

3.3. Luaran Penelitian.
Penelitian ini juga mempunyai Luaran Penelitian sebagai berikut :
1. Menjadi model pendekatan politik berbasis budaya lokal bagi pemerintah baik di pusat
maupun di tingkat kabupaten/kota.
1. Menjadi model pemetaan budaya politik di berbagai daerah di Indonesia.
2. Hasil publikasi nasional di jurnal masyarakat kebudayaan dan politik-Universitas
Airlangga (mkp.fisip.unair.ac.id).

BAB 4. METODE PENELITIAN.
4.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian.
Penelitian ini akan memadukan metode penelitian kuantitatif

yang di padukan dengan

metode deskriptif kualitatif, hal ini dimaksudkan agar penelitian ini lebih lengkap dan
meningkatkan kesahihan serta dapat membandingkan objek kajian dengan antar metode
penelitian21. Metode kuantitatif (dilakukan pada tahun pertama) digunakan dengan metode
pengebaran kusioner terhadap responden, sedangkan metode kualitatif (dilakukan pada
tahun kedua) digunakan dengan teknik seperti observasi, observasi partisipan, wawancara
individu intensif, dan wawancara kelompok fokus, yan