Partisipasi Politik, Budaya Politik Pemilih Dalam Sistem Politik Di Indonesia

  Maret 2012

Partisipasi Politik, Budaya Politik Pemilih Dalam Sistem Politik

Di Indonesia

  

Oleh:

  Yusri Munaf

Abstrak Partisipasi publik pada dasarnya merupakan bagian dari partisipasi pada umumnya

  Merujuk pada the 1995-1997 World Value Survey, Charles Andrain dan James Smith (2006: 67) mengelompokkan tiga bentuk partisipasi. Pertama adalah partisipasi yang lebih pasif. Di dalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauhmana orang itu melihat politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan sering berdiskusi mengenai isu-isu politik dengan teman. Kedua adalah partisipasi yang lebih aktif. Yang menjadi perhatian adalah sejauh mana orang itu terlibat dalam organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary associations) seperti kelompok-kelmpok keagamaan, olahraga, pencinta lingkungan, organisasi profesi, dan organisasi buruh. Ketiga adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan protes seperti ikut menandatangani petisi, melakukan boikot, dan demonstarsi.

  Key Word : Pengaruh, Kualitas Diklat, Iklim Organisasi, Kinerja & IPDN

Pendahuluan

  Dalam kategori semacam itu partisipasi publik memang tidak secara khusus bisa masuk ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu. seperti disinggung di depan, partisipasi publik acap kali lebih ditekankan pada proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik, seperti terlibat dalam pertemuan-pertemuan publik, melakukan inisiatif, dan referendum. Dalam konteks demikian, kalaupun ditempatkan di dalam tiga kategori itu, partisipasi publik lebih dekat menjadi bagian dari partisipasi dalam kategori kedua. Kebijakan publik sendiri memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap kehidupan warga negara, baik secara individual maupun kelompok. Kebijakan publik, sebagaimana secara individual maupun kelompok. Kebijakan publik, sebagaimana dikatakan oleh Theodore Lowi (1964), paling tidak mencakup tiga keputusan penting. Pertama adalah yang berkaitan dengan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber. Kedua adalah berkaitan dengan regulasi terhadap pelaku dan kekuatan-kekuatan ekonomi. Termasuk di dalamnya adalah regulasi mengenai persaingan usaha dan regulasi tentang proteksi. Terakhir adalah kebijakan tentang realokasi dan redistribusi sumber-sumber terhadap kelompok-kelompok yang tidak diuntungkan. (Kacung Marijan, 2000; 112).

  Apabila dikaitkan dengan sejauh mana aktivitas itu berpengaruh terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik, cakupan partisipasi publik itu menjadi lebih luas lagi. Termasuk di dalamnya adalah diskusi di dalam ruang-ruang publik yang membahas isu-isu yang sedang berkembang seperti di radio, televisi, forum konsultasi, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Diskusi di dalam ruang-ruang publik seperti itu memang tidak semuanya secara langsung berkaitan dengan proses-proses pembuatan keputusan politik, kecuali forum konsultasi yang diadakan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik baik di tingkat nasional maupun lokal. Tetapi, manakala isu- isu itu berkembang secara akumulatif, menjadi perhatian publik, dan terpublikasi secara luas, apa yang diperbincangkan di dalam ruang-ruang publik semacam itu bisa berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan publik yang akan dibuat dan dilaksanakan. (Kacung Marijan, 2000; 112).

  Meskipun partisipasi merupakan salah satu elemen dasar di dalam polyarchy, nama lain dari demokrasi menurut Robert Dahl, di dalam demokrasi perwakilan partisipasi itu lebih dimaksudkan sebagai keterlibatan warga negara dalam pemilu. Hal ini, contohnya, terlihat dari penjelasan Joseph Schumpeter, salah satu ilmuwan politik penganut demokrasi elitis (perwakilan). Dalam pandangan dia, peran politik warga negara adalah pada pemilu, sementara para pemimpin yang terpilih merupakan orang- orang kunci di dalam proses pembuatan keputusan-keputusan. Lebih jauh Schumpeter mengatakan:

  The role of the people is to produce a government... The voters outside of parliament must respect the division of labour between themselves and the politicians they elect. They must not withdraw confidence too easily between election and they must understand that, one they have elected an individual, political action is his (her) business and not their. This means that they must refrain from instructing him (her) about what he (she) about what he (she) is to do (Schumpetetr, 1950: 269).

  Dalam pandangan seperti itu, keterlibatan warga negara di dalam politik memang lebih banyak berhenti pada proses pemilihan. Proses perumusan kebijakan- kebijakan publik lebih banyak menjadi arena tugas para wakil, bukan terwakil.

Pembahasan

  1. Konsepsi Tentang Budaya Politik

  Budaya politik merupakan bagian terpenting bagi bekerjanya pilar-pilar demokrasi. Bagi berjalannnya kehidupan demokrasi perlu dikembangkan nilai-nilai dan orientasi tertentu yang menopangnya seperti nilai-nilai ‘moderration, tolerance, civility,

  efficacy, knowledge, and participation

  (Diamond, 19994: 1). Secara lebih operasional, Gabriel Almond dan Sydney Verba memahami budaya politik berdasarkan tiga orientasi politik individu, yaitu:

  (1) “cognitive orientation” that is, knowledge of and belief about the political system, its roles and the incumbents of these roles, its inputs, and is outputus; (2) “affective orientation” or feeling about the political system, its roles, personnel, and performance, and (3) “evaluational orientation, “ the judgements and opinion about poltical objects that typically involve the combination of value standards and criteria with information and feelings. ( Almond and

  Verba, 1963: 14) Manakala budaya politik itu dipandang secara fungsional atau secara instrumental (Pammett dan Whittington, 1976: 31), sebagaimana dilakukan oleh sejumlah ilmuwan politik pada era tahun 1950-an dan 1960-an, budaya politik itu memiliki posisi penting karena mampu mempengaruhi perilaku politik seseorang, termasuk di dalamnya membangun demokrasi. Melalui studinya di lima negara, Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963) melihat bahwa budaya politik kewarganegaraan itu sangat cocok bagi bangunan negara demokrasi. Di dalam budaya demikian terdapat kombinasi yang relatif bagus antara tiga budaya politik: parokial, subjek, dan partisipasi. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik- karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan kepada pemerintah, keterkaitan pada keluarga, suku, dan agama (Surbakti, 1984: 69).

  Ketika studi tentang budaya politik bangkit kembali (resurgence) pada pertengahan 1980-an, budaya politik memang tidak lagi dipandang sebagai variabel yang paling menentukan dalam membentuk demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Inglehart (1988), kebangkitan pendekatan budaya politik itu tidak lepasdari ketidakmampuan pendekatan pilihan rasional (rational choice) untuk menjelaskan secara memuaskan sejumlah fenomena politik di dunia, seperti keterlibatan geraja di Amerika Latin dan keterlibatan sejumlah agama (Islam, Kristen, dan Yahudi) di dalam ketegangan politik di Timur Tengah. Dalam realitasnya, sebagaimana dikemukakan oleh Aaron Wildavsky, budaya itu ‘ shared values legitimating social practices’ yang bisa menjadi rujukan perilaku politik individu- individu (Wildavsky, 1987: 5-6). Hanya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Larry Diamond, budaya politik tidak lagi dilihat sebagai satu-atunya yang menentukan demokrasi. Budaya politik lebih dilihat sebagai “ intervening variabel

  Dalam pandangan Almond dan Verba, budaya politik negara dapat menopang terjadinya “governmental power” dan “government responsiveness” di dalam sistem perwakilan (Almond dan Verba, 1963: 18). Government power berarti adanya elite di dalam sistem politik yang memiliki otoritas dari rakyat sehingga memungkinkan mereka bisa membuat dan melaksanakan kebijakan- kebijakan secara absah. Sementara itu,

  government responsiveness berarti bahwa

  para elit itu harus accountable sehingga memungkinkan rakyat melakukan evaluasi terhadap apa yang telah mereka lakukan. Hal serupa dikemukakan oleh Robert Dahl yang mengatakan, ‘a key characteristic of a

  democracy is the continued responsiveness ofgovernment to the preferences of its coitizens’ (Dahl 1971: 1). Adanya

  responsibilitas dan akuntabilitas di dalam sistem perwakilan, dengan demikian, merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Untuk memahaminya, Bernard Mann, Adam Przeworski, dan Susan Stokes mengatakan,

  ‘representation is a relation between interests and outcomes’ . (Kacung Marijan, 2010: 116).

  Dalam pandangan Mann et al., suatu pemerintahan itu dikatakan reponsif manakala mereka mengadopsi “policies thatare

  signaled as preferences by citizens’. Adapun

  tanda-tanda pilihan kebijakan yang dikendaki oleh warga itu terlihat dari jajak pendapat, berbagai bentuk tindakan politik langsung seperti demonstrasi, surat terbuka, dan sejenisnya, dan pada saat pemilu terlihat dari pilihan-pilihan warga. Sementara itu, suatu pemerintahan dikatakan accountable manakala ‘citizens can discern representative

  from unrepresentative government and can sanction them appropriately, retaining in office those incumbent who are perform well and outsing from office those who do not’

  (Kacung Marijan, 2010: 117).

  Kalau mengikuti teori principal-agent alur relasi seperti itu harus berjalan. Sebagai pemberi mandat, rakyat yang bertindak sebagai principal tidak hanya berhenti memberikan suara atau dukungan pada saat pemilu. Para pemilih juga memiliki hak untuk menerima pertanggungjawaban dari para anngota DPR/D yang bertindak sebagai agent itu. meskipun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh David Sapparington (1991), terdapatnya kontrol dari principal itu tergantung tiga kondisi. Pertama, tindakan- tindakan dari para agents itu, berikut kondisi- kondisi yang memungkinkan bekerjanya tindakan-tindakan itu dapat diketahui secara luas (publicly known). Kedua, baik agent maupun principal sama-sama bisa melakukan ancang-ancang manakala tedapat sesuatu hal yang di luar dugaan yang dapat mempengaruhi relasi keduanya. Terakhir, para agents itu dipaksa oleh principal tanpa harus mengeluarkan biaya mahal untuk selalu berpegang teguh pada preferensi kepentingannya. (Kacung Marijan; 2010: 117)

  Di dalam situasi seperti adanya kontrol dari para warga itu menghadapi masalah yang berkaitan dengan informasi, pemantauan dan penekanan. Ketiga hal ini merupakan bagian penting di dalam partisipasi publik. dengan demikian, demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris atau demokrasi langsung bisa saling mengisi satu sama lain. Keduanya akan memungkinkan terdapatnya pemerintahan yang responsif dan accountable, baik secara vertikal maupun secara horizontal.

  Negara-negara yang berproses menuju demokrasi, termasuk di dalamnya Indonesia, berusaha membangun prosedur demokrasi yang memungkinkan terdapatnya pemerintahan yang accountable dan

  responsible itu. Tetapi, untuk melaksanakan

  desain kelembagaan demikian tidaklah mudah.

  2. Fenomena Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2004 di Indonesia.

  Sebelum menemukan bagaimana fenomena perilaku pemilih dalam pemlihan umum tahun 2004 di kota Pekanbaru, yang juga perlu untuk diuraikan yakni fenomena secara umum pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 di Indonesia.

  Menarik mengikuti pelaksanaan pemilu tahun 2004 di beberapa di daerah di Indonesia. fenomena konstituen dalam menentukan pilihannya memiliki latar belakang yang bervariasi bukan saja interest nya terhadap kesamaan ideologi, program, atau figur, namun juga banyak faktor yang muncul akibat “keterpaksaan”. Seperti halnya, potret pelaksanaan pemilu yang terjadi di beberapa daerah konflik seperti Aceh dan Papua. Partisipasi masyarakat Aceh dalam menentuakan pilihannya seperti hanya sekadar mencoblos, atau datang kebilik suara karena khawatir akan berhadapan dengan sejumlah pertanyaan dari orang-orang yang akan mempertanyakan ketidakhadirannya. Bahkan ada yang memiliki alasan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai penghormatan kepada pihak yang melaksanakan pemilu meskipun sebelumnya mereka merasa tidak dihormati. Fenomena yang terjadi di Papua lebih menarik lagi ketika masyarakat yang terlihat begitu antusias datang ke TPS lebih dikarenakan ketakutannya, jika dianggap Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga banyak penduduk yang ditolak melakukan hak pilihnya ketika datang ke TPS hanya karena tidak memiliki kartu pemilih. Banyak lagi yang beranggapan jika memilih semakin banyak partai (dalam satu surat suara), maka hasilnya akan sinergis dengan banyaknya perhatian pemerintah yang akan diberikan kepada masyarakat Papua, alhasil, banyak surat suara yang tidak sah. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 111).

  Gambaran itulah yang merupakan sisi lain dari masyarakat untuk memberikan pilihannya dalam pemilu tahun 2004. Fenomena di atas sangatlah wajar mengingat kondisi mereka yang berada kantong-kantong separatis. Namun di luar keterpaksaan tersebut, bagaimana masyarakat yang secara sadar memberikan pilihannya baik atas pertimbangan hati nurani maupun rasionalitasnya? Motif kuat apa yang mendasari pilihannya, dari sekian banyak alternatif calon politisi maupun partai itu snediri? Apakah sebenarnya yang ditawarkan oleh parpol untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.

  Penilaian dan pilihan masyarakat terhadap suatu partai atau politisi tertentu yang didasarkan atas intuisi maupun rasionalitasnya pastilah didasarkan dari pengalaman historis dan wacana yang berkembang atas perilaku partai atau politisi tersebut. Padahal, segala tingkah laku partai politik dengan segala konflik kepentingan yang mereka jalani dipengaruhi secara langsung oleh sistem kepartaian dan pemilu. (Anthony H. Brich, 2002; 112).

  Pemilihan umum di Indonesia Tahun 2004 merupakan sistem multi partai keempat setelah pemilu tahun 1955, 1971, dan 1999 yang lebih menganut pluralism party system dibandingkan dengan pemilu lainnya yang lebih mengarah pada hegemonic party system. Meskipun sebenarnya pluralism yang dimaksud masih dalam koridor pembatasan “administratif”. Keterbukaan ini menyebabkan munculnya banyak nama partai politik baru di smaping partai politik lama yang lolos electoral treshold. Hal ini jelas berimplikasi pada besarnya jumlah parpol dalam pemilu tahun 2004 yang tidak seimbang dengan diferensiasi ideologi atau

  platform , karena ideologi dan platform

  bahkan program partai politik di Indonesia cendrung bernilai relatif konstan. Sedangkan ideologi, platform /program yang nilainya konstan tersebut, praktis tidak akan mampu dibagi lagi menjadi banyak kepengurusan kuat dengan banyak label partai politik baru. Inilah sebabnya mengapa banyak partai politik yang tidak lolos dalam verifikasi (penentuan) sebagai peserta pemilu 2004 ketika ada pembatasan syarat minimal jumlah kepengurusan. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 112).

  Peserta pemilu tahun 2004 lebih sedikit dibandingkan dengan peserta pemilu 1999. Hal ini mungkin disebabkan oleh peraturan yuridis formal yang lebih memberikan batasan tentang syarat keikutsertaan parpol dalam pemilu tahun 2004. Verifikasi yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM serta KPU menghasilkan 24 parpol yang berhak ikut dalam pemilu tahun 2004, sedangkan partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi KPU sebanyak 26 parpol, partai politik yang dibatalkan sebagai badan hukum berjumlah 153, dan partai politik yang tidak memenuhi persyaratan UU No 31 Tahun 2004 sebanyak

  58. Jumlah ini cukup fantastis untuk dijadikan sebagai indikator keterwakilan kepentingan masyarakat. Asumsi yang bisa ditarik dari realitas di atas adalah banyak “pejuang baru” di negara Indonesia yang ingin menunjukkan eksistensinya dalam memresentasikan kepentingan masyarakat meskipun terkadang hanya dengan modal janji-janji “reformis”. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 112).

  Setidaknya, banyak alasan yang menjadi dasar pembentukan beberapa partai politik baru. Pertama, kemunculan partai baru sebagai pecahan partai lama lebih dimunculkan akibat kekecewaan politisi lama terhadap gaya politik “peguasa” partai yang bersangkutan. Kedua , keyakinan politisi partai yang memiliki peluang untuk menunjukkan kemampuannya yang lebih

  marketable dibanding jika dia masih berada

  dalam posisi lama. Ketiga, bagi politisi di dalam partai yang benar-benar baru, ia akan mencoba menjual ketokohannya dengan jalan mengembangkan jaringan dan dukungan dari jabatan yang dipegangnya saat itu. Bagaimanapun, yang sedang atau masih trend di Indonesia saat ini adalah mengentalnya politik ketokohan. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 112).

  Kemunculan partai baru juga lebih disebabkan karena fenomena neo konsertvatisme yang melekat di dalam kepengurusan partai politik. Fenomena ini akan selalu mengkultuskan sosok populer yang relatif laku jual, dan tentu saja akan menyingkirkan rasio rivalitasnya. Kemenangan itulah yang menyingkirkan dan mengakibatkan tokoh penting lain akan segera membentuk sistem oligarki baru. Teori

  Trickle down effect pembentukan partai baru

  akan sangat menjelaskan bagaimana ideologi yang sama akan muncul akibat perpecahanb tersebut. Beberapa tokoh partai lama mengalami kekecewaan akibat kedudukannya, secara otomatis membentuk partai baru yang memiliki kesamaan ideologi. Bagaimanapun juga politik aliran yang dikemukakan oleh Cliford Gerts tampaknya masih berlaku dan menjadi strategi bagi beberapa partai baru. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 113).

  Memperjelas uraian di atas, sebenarnya kita bisa mencermati dengan jelas apa sebenarnya yang ditawarkan oleh partai politik peserta pemilu tahun 2004. Dari

  database yang dikeluarkan oleh Litbang

  Kompas sebagaimana dikutip Mardyanto Wahyu Tryatmoko, berupa buku mengenai profil partai politik peserta pemilu tahun 2004 dengan judul Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, kita bisa membaca platform atau program partai dengan lengkap. Terlebih lagi, dari buku ini sebenarnya kita bisa lebih memetakan atau memperkuat analisis tentang sistem kepartaian atau partai politik itu sendiri.

  Di dalam bab pertama dari buku ini, terdapat bagan geneologi ketiga partai besar (Golkar, PDI, dan PPP) yang mungkin sengaja dibuat oleh Dhaniel Dhakidae untuk memberikan gambaran ringkas tentang pembentukan partai politik tahun 2004-2009. Namun jika telah membaca geneologi ini secara , dan kemudian mencermati perolehan suara dari partai yang merupakan pecahan dari partai besar, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa partai yang masih memiliki strategi politik aliran akan tergilas oleh partai besar yang memiliki kesamaan ideologi. Hal ini tercermin bahwa partai baru sebagai bentukan dari pecahan partai lama hanya akan memperoleh suara rata-rata maksimal 2 %. Namun begitu, perolehan suara induknya akan mengalami pengurangan. Lihat saja PDI-P yang melahirkan dua pecahan partai baru yang masih berideologikan sama. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (Partai PDI) yang diketuai oleh Dimmyati Hartono dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) yang diketuai oleh Eros Djarot tidak bisa menembus perolehan suara 2 % karena masih rtelatif memiliki kesamaan ideologi. Hanya saja PNBK yang lebih mengentalkan paham Maherneisme-nya bisa meraup lebih banyak suara dibandingkan dengan Partai PDI. Jika Partai PDI dan PNBK mengharapkan limpahan swing voter dari PDI-P karena citranya yang melemah, tentu saja masih jauh dari harapan. Massa mengambang yang tidak lagi percaya pada Megawati, juga akan mengalihkan ideologi nasionalisnya kepada ideologi dan platform lain. Kecuali para kader yang telah terbina baik namun kecewa dengan Mega, mereka tentu akan mencari figur lain dengan basis ideologi maupun ketokohan yang hampir sama.

  Berbeda halnya dengan Golkar, partai ini menghasilkan dua partai sempalan yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indonesia) yang diketuai oleh Edi Sudrajat dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang diketuai oleh R. Hartono. Kedua partai ini sebenarnya bisa dikategorikan ke dalam “Partai Militer” sosok pengurus dan jaringan yang coba dibangun berkisar pada elemen militer. Para mantan jenderal yang duduk dalam kepengurusan kedua partai ini mencoba mengakomodasi suara militer melalui jaringan purnawirawan maupun keluarga militer meski TNI dan Polri memiliki kebijakan untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Meskipun begitu, keluarga besar TNI melalui istridan anak- anaknya adalah “satu suara” tetapi logika kemudian adalah suara militer tidak akan kuta jika terbagi dalam dua kubu (partai) atau lebih, apalagi mantan Jenderal lain yang dicalonkan sebagai Presiden oleh beberapa Partai. maka, dari itu, untuk terlihat lebih moderat dan relatif bisa diterima oleh sipil, program yang ditawarkan oleh PKP Indonesia adalah reposisi TNI dan Polri. Berbeda halnya dengan PKPB. Partai ini tidak memiliki program konkrit atau hanya menyebut program di bidang agama, ekonomi, dan pendidikan tanpa menyebutkan lebih lanjut apa yang diinginkan dalam bidang itu.

  Friksi yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah pemilu tahun 1999 lebih dikarenakan keputusan penundaan Muktamar II yang menimbulkan kecurigaan adanya keengganan “penguasa” partai saat itu untuk melakukan regenerasi dan restrukturisasi jabatan dalam PPP.

  Alhasil, Zainuddin MZ, Djafar Badjeber, dan beberapa kader yang pro Muktammar 2003 menyatakan keluar dari PPP dan kemudian mendirikan PPP reformasi, Partai Bintang Reformasi (PBR) yang dipakai untuk menggantikan nama PPP reformasi menggunakan ketua umumnya Zainuddin MZ yang dijuluki “Dai sejuta ummat” tidak bisa secara serta merta meningkatkan popularitas politisnya, karena massa lebih rasional dengan membedakan antara dakwah untuk ketaqwaan dengan kampanye untuk kekuasaan. Fenomena inilah yang memaksa PBR harus puas mendapat suara sekitar 2%. Meskipun begitu, suara ini cukup signifikan mengurangi “hak suara PPP”.

  Jika kita mencermati karakteristik strategi pemenangan pemilu yang dimiliki oleh beberapa partai politik 2004-2009 tampaknya mulai ada perubahan metode.

  Politik aliran yang dahulu sering dipakai untuk penjaringan massa, kini sudah mulai ditinggalkan. Pemilahan parpol kedalam nasionalis, Islam (NU atau Muhammadiyah), sosialis, dan lain sebagainya, dalam pemilu tahun 2004 tidak jelas lagi. Banyak partai yang mengusung nilai-nilai demokratis dan reforemis. Malahan kemudian beberapa partai tertentu bangga dengan nilai-nilai lama seperti “Soekarnois” dan “Soehartois”, sehingga program yang disusun dan asas yang dijadikan landasan partai semakin bias dengan strategi baru pengumpulan massa. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 115).

  Sebenarnya, kita bisa melihat apa yang menjadi preferensi perjuangan suatu partai politik dari dua elemen politik sekaligus. Yang pertama adalah dari sisi masyarakat, dan yang kedua adalah dari sisi partai itu sendiri. Dari sisi masyarakat, mau tidak mau kita harus menyatakan bahwa yang masih terjadi adalah fenomena pragmatisme. Wacana yang telah berkembang lama di masyarakat dijadikan pelajaran bagi preferensi politik mereka. Terlebih lagi semakin bertambahnya middle class menjadikan pilihan-pilihan politikmereka lebih realistis. Memang, sejak awal masyarakat tidak pernah membaca program partai. realitas politik-lah yang menjadi preferensi pilihan mereka, karena di sisi yang kedua, partai politik hanya beretorika dengan program semu dan mengedepankan platform

  atau ideologi lama peninggalan nenek

  moyang. Program-program partai yang disusun sedemikian rupa hanyalah bersifat administratif atau sebagai pelengkap kepengurusan. Sedangkan ideologi seperti nasionalis, militeris-birokratis, sosialis, dan religius yang lebih dijadikan jargon kampanye hanya dipakai untuk mengelabui masyarakat. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 115).

  Sistem proporsional terbuka memberikan peluang bagi partai menggunakan caleg nomor jadi sebagai vote

  getter- nya. Sistem inilah kemudian juga turut dalam melunturkan politik aliran tersebut.

  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepertinya lebih menerapkan strategi berlapis. Di satu sisi, PKB tetap mengusung Gus Dur (almarhum) sebagai calon presiden tunggalnya, dan di sisi lain menggunakan mekanisme pencalonan anggota legislatif dengan menampilkan sosok populis.

  Mekanisme yang dilakukan oleh PKB dengan

  political appointee memberikan nuansa

  penjaringan massa dengan tetap memperhatikan jasa pengurus partai. sedangkan mekanisme professional appointee lebih memberikan nuansa kualifikasi profesi caleg partai meskipun harus mengambil dari luar struktur kepengurusan. Keterbukaan aliran inilah membuat PKB mengumpulkan suara yang cukup signifikan. Sebagai contoh yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), dari 19 orang Caleg PKB Ende, 9 orang (47,4 peratus) adalah caleg beragama katolik. Di daerah pemilihan Ende 4, empat orang dari lima calegnya beragama katolik, kendati berada di nomor urut 2,3,4, dan 5, sementara caleg beragama islam di nomor urut 1 daerah pemilihan yang sama. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 115-116)

  Hampir sama halnya degan PDI-P, partai ini mengusung nama-nama beken termasuk artis di beberapa daerah pemilihan strategis, sehingga Taufik Kiemas harus menerima kenyataan dikalahkan oleh Marisa Haque di daerah pemilihan Jawa Barat II. Meski banyak opini mengenai keterpurukan PDI-P akibat kegagalan pemerintahan Megawati, namun dalam kenyataannya perolehan suara partai ini tetap tinggi meski mengalami penurunan sekitar 4 peratus dibandingkan dengan hasil pemilu tahun 1999. Kepintaran Megawati dalam menjual “moncong putih”nya patut diacungi jempol, sehingga sempat memunculkan kecurigaan beberapa pihak terhadap PDI-P (partai pemerintah) dalam melakukan rekayasa. Mereka menilai perhitungan suara dipelbagai daerah. alahasil, kemudian aliansi 19 partai muncul untuk menolak hasilpemilihan umum tahun 2004. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 116).

  Sebagai partai yang berkuasa di masa Orde Baru. Golkar masih tetap menancapkan pengaruh kuatnya dalam pemilu tahun 2004.

  Kasus yang menimpa Akbar Tandjung ternyata tidak menyurutkan perolehan suara partai yang berlambang pohon beringin ini. Memang tampaknya Golkar sekarang lebih hebat dengan komposisi kadernya yang lebih beragam dan modern. Beberapa pengusaha, purnawirawan, dan politisi beken mewarnai partai ini untuk menjaring massa di daerah urban. Namun sayang sekali, tampaknya perolehan suara terbanyak Partai Golkar lebih berasal daridaerah rural. Banyak warga pedalaman yang maish susah melepaskan kepercayaan atau memorinya akan jasa-jasa yang diberikan Golkar. Banyak orang lama yang percaya bahwa keberhasilan anak- anaknya dalam bekerja akibat jasa Golkar yang hingga kini menggajinya. Ditambah lagi fasilitas dan kemakmuran yang sekarang berkembang adalah akibat kinerja Golkar. Sebagai contoh di daerah pedaaman Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan dan beberapa di daerah Sumatera yang masih kuat memori sosialnya terhadap nama Golkar, meski reformasi menyudutkannya, namun nama ini tidak gampang tergantikan oleh nama lain yang juga mengusung janji lain. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 116).

  Perlu dicermati juga bahwa ideologi dan program yang ditawarkan bukanlah suatu alat bagi perjuangan beberapa partai politik di Indonesia. hanya sedikit parpol yang menggunakan programnya untuk menarik simpati massa. Misalnya saja, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil menaikkan melalui program anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Perolehan suara PKS yang naik secara signifikan dari 1,35 peratus (1999) menjadi sekitar 6 peratus secara nasional pada pemilu tahun 2004, memang dibangun atas realitas kesuksesan beberapa kadernya yang duduk dalam lembaga legislatif. Memang sebenarya, basis massa PKS sebagian besar berada di wilayah perkotaam. Karena bagaimanapun rasionalitas yang dibangun oleh PKS sangat mudah dipahami oleh middle

  class dan elite. Tampaknya untuk wilayah rural , masih terlalu paternalistik untuk bisa

  menerima PKS. Patronase dan politik aliran yang masih melekat kuat akan menyebabkan terfokusnya suara ke partai-partai besar yang berideologikan nasionalis, islam (Nu dan Muhammadiyah), dan bahkan kekuatan lama Orde Baru melalui Golkarnya. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko; 2004, 117).

Dokumen yang terkait

Invansi Konten Media Massa Terhadap Budaya Melayu (Dalam Perspektif Prilaku Seks Bebas Remaja) Eko Hero Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau ABSTRAK - Invansi Konten Media Massa Terhadap Budaya Melayu (Dalam Perspektif Prilaku Seks Bebas R

0 0 8

Pelaksanaan Tugas Humas Oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Pekanbaru Melalui Event Job Expo 2012 Dalam Mengurangi Pengangguran Di Pekanbaru Bunga Febrina Dyah Pithaloka Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau ABSTRAK - Pelaksanaan Tugas Humas Oleh

0 1 14

Peranan Humas Dalam Mensosialisasikan Surat Edaran Gubernur Nomor 800UM01.20 Tahun 2014 Tentang Seragam PNS Pada Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Provinsi Riau Syarifah Aini Eka Putri Dyah Pithaloka, M.Si Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas

0 0 13

Strategi Komunikasi Sales PT. Asuransi Jiwa Generali Indonesia Dalam Mempromosikan Produk Penjualan Asuransi Perusahaan DiKota Pekanbaru Novria Sari Dyah Pithaloka Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau ABSTRAK - Strategi Komunikasi Sales PT

0 0 13

Kepastian Hukum Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Tunggal dalam Pendirian Bank Syariah di Indonesia

0 0 24

Sistem Pengarsipan Jurusan Berbasis Web pada Politeknik Negeri Sriwijaya (Tinjauan pada SAP Jurusan)

0 0 14

Loporon Sumbar don Penggunoon Kos Suloimon Pengcruh Budaya Orgonisosi terhcdop Motivasi

0 1 13

Kompetensi Mahasiswa Dalam Merekonstruksi Pembe-Lajaran Terpadu/Tematis (Studi Inkuiri Naturalistik Pada Mahasiswa Semester Enam Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau)

0 0 12

Sistem Pendeteksian Cahaya Ruang Kelas Dengan Sistem Pakar

0 0 8

Peranan Komisi Penanggulangan Aids Kota Pekanbaru Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Hiv Dan Aids Di Kota Pekanbaru

0 0 19