artikel pkn kls XI tentang budaya politik

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
A.PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Secara etimologi kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang berarti
kota atau negara kota. Kata polis memiliki kata-kata turunan seperti “polites” yang berarti
warga negara, dan kata “politikos” yang berarti kewarganegaraan.
Bangsa Romawi mengambil istilah politik dari bangsa Yunani. Di Romawi kata
politik digunakan untuk memberi nama pengetahuan tentang negara (pemerintah) dengan
istilah “ars politica”. Istilah ini mengandung arti kemahiran tentang masalah-masalah
kenegaraan.

Budaya merupakan kata dasar dari kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari

kata Sanskerta, yaitu budhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal.
Jadi, kebudayaan itu akan berkaitan dengan budi dan akal.
Dalam arti sempit, kebudayaan dapat diartikan sebagai pikiran, karya dan hasil karya
manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Oleh karena itu, kebudayaan sering
disamakan dengan kesenian Dalam arti luas, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu. Jadi, kebudayaan itu mencakup semua aktivitas manusia
dalam kehidupannya. Dengan demikian, maka segala hasil cipta, karya, dan rasa manusia itu
disebut dengan kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, antara lain :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,gagasan,nilai-nilai,normanorma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia
dalam masyarakat (wujud kelakuan)
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
Berdasarkan uraian wujud kebudayaan sebagaimana tersebut di atas, maka budaya politik
nampaknya masuk dalam wujud kedua dari kebudayaan. Budaya politik dapat dirumuskan
sebagai pola tingkahlaku dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para
anggota suatu sistem politik. Jadi, budaya politik ini akan berkaitan dengan pola perilaku
individu dalam masyarakat terhadap berbagai masalah politik atau peristiwa politik. Budaya
politik ini akan berhubungan dengan perilaku politik.

Oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa Perilaku politik adalah suatu kajian mengenai
tindakan manusia dalam berbagai situasi politik , misalnya respon emosional berupa
dukungan maupun apati kepada kebijakan pemerintah, respon terhadap perundang-undangan,
dan lain-lain Perilaku politik ini terjadi dalam hal-hal seperti di bawah ini :
1. Ada pihak yang memerintah, ada pula yang menaati pemerintah; yang satu mempengaruhi,
yang lain menentang, dan hasilnya berkompromi
2. Yang satu menjanjikan, dan yang lain kecewa karena janjinya tidak dipenuhi; berunding
dan tawar menawar.

3. Yang satu memaksakan keputusan berhadapan dengan pihak lain yang mewakili
kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan.
4. Yang satu menutupi kenyataan yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat atau yang
akan mempermalukan), pihak lain berupaya memaparkan kenyataan yang sesungguhnya,
dan mengajukan tuntutan, memperjuangkan kepentingan, dan sebagainya.
Semua itu termasuk dalam perilaku politik. Kita sering melihat adanya sekelompok
masyarakat yang berunjuk rasa atau demonstrasi, ini merupakan salah satu bentuk perilaku
politik untuk memperjuangkan kepentingannya.
B. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DALAM MASYARAKAT
INDONESIA
1. Tipe-tipe Budaya Politik
Terdapat beberapa tipe budaya politik, antara lain sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture)
Yang dimaksud dengan tipe budaya politik parokial adalah budaya politik yang terbatas pada
wilayah atau lingkup yang kecil dan sempit, misalnya yang bersifat provinsial. Dalam tipe
budaya politik ini, anggota masyarakatnya cenderung tidak berminat terhadap objek-objek
politik yang lebih luas. Budaya politik parokial ini terbentuk dari sebuah masyarakat yang
sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif.
b. Budaya politik kaula (subject political culture)
Budaya politik kaula yaitu di mana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian,

mungkin pula kesadaran terhadap sistem sebagai keseluruhan namun hanya terbatas pada
sistem yang ada dan tidak berdaya untuk mengubah sistem. Jadi, posisinya bersifat pasif,
yaitu hanya menerima dan menyerah terhadap keputusan politik yang telah diambil oleh
pemegang jabatan dalam masyarakatnya. Segala keputusan yang diambil oleh pemeran
politik (pemangku jabatan politik, seperti Bupati, Gubernur, menteri, presiden, dan
sebagainya) dianggapnya sebagai sesuatu yang tak dapat diubah, dikoreksi apalagi ditentang.
Tiada jalan lain baginya kecuali menerima saja sebagai apa adanya, patuh, setia dan
mengikuti segala instruksi dan anjuran para pemimpin politiknya. Jadi, seseorang hanya

berfungsi sebagai kaula (pengabdi). Budaya politik kaula ini terbentuk dalam sebuah
masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat
afektif.
c. Budaya politik partisipan (participan political culture)
Budaya politik partisipan ditandai oleh adanya sikap seseorang yang menganggap
dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. Seseorang dengan
sendirinya menyadari hak dan kewajibannya dan dapat merealisasikan hak dan kewajibannya
itu. Jadi, dalam tife budaya politik partisipan ini, perilaku masyarakat tidak akan menerima
saja apa adanya sesuatu yang datang dari atas, mereka akan menilai dan akan kritis terhadap
keputusan politik dan ia sendiri akan terlibat dalam proses pengambilan keputusan itu melalui
kritiknya ataupun melalui pikiran dan pendapatnya. Budaya politik partisipan ini terbentuk

dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik
evaluatif.
d. Budaya politik campuran (mixed political cultures)
Di samping ketiga tife itu, ternyata ada tife yang keempat, yaitu tife campuran yaqng disebut
“Civic culture”, yaitu yang merupakan gabungan karakteristik tife-tife kebudayaan politik
sebagaimana diuraikan di atas.

Budaya Politik Indonesia
Berdasarkan pada tife-tife budaya politik sebagaimana telah diuraikan di atas,
nampaknya kita dapat mengatakan bahwa budaya politik Indonesia bersifat parokialkaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak atau dengan kata lain
bahwa budaya politik Indonesia termasuk tife campuran. Di satu segi, massa masih
ketinggalan dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya
yang mungkin hal ini disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh
penjajahan, feodalisme, bapakisme, ikatan primordial, sedang di lain pihak kaum
elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan yang aktif, hal ini mungkin
disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern.
Pengaruh ini kadang-kadang juga bersifat sekuler dalam arti secara relatif
membedakan faktor agama, kesukuan, golongan, dan sebagainya. Sifat ikatan
primordial yang masih kuat berakar dalam kehidupan politik Indonesia yang
tercermin dari adanya sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, dan sebagainya.

Di samping itu, kuatnya ikatan primordialisme ini terlihat juga dalam pola budaya
politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat di mana usaha gerakan

kaum elit (organisasi politik) langsung mengeksploitasi untuk mempeoleh dukungan
dari masyarakat.
Oleh karena itu, tidak heran jika ada partai politik yang berorientasi dan
berbasis Jawa (Jawa sentris) atau berbasis agama atau berbasis petani, dan
sebagainya.
Di samping masih bersifat primordial, budaya politik Indonesia masih memiliki
kecenderungan sikap paternalisme dan sifat patrimonial, yang perwujudannya seperti
bapakisme dan sikap asal bapak senang. Contoh lain adalah ketika elit politik atau
pejabat pemerintah berkunjung ke daerah, maka masyarakat sibuk mempersiapkan
kunjungan itu agar pejabat itu senang melihatnya sekalipun sebenarnya hal itu
merupakan rekayasa saja, namun yang penting bapak senang.
C. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
Sosialisasi budaya politik, yaitu proses penerusan atau pewarisan nilai-nilai dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Sistem nilai, norma, dan keyakinan yang dimiliki oleh
sebuah generasi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui berbagai agen
sosialisasi politik, seperti keluarga, kelompok, sekolah, lingkungan kerja dan sebagainya
yang ditopang oleh media lain seperti koran, majalah, radio, televisi, dan sebagainya.

D. BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Ada suatu asumsi yang mendasar bahwa orang yang paling tahu tentang apa yang
terbaik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Orang yang paling tahu tentang yang terbaik
bagi keluarganya adalah orang anggota keluarga itu sendiri. Begitu juga dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara bahwa sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negaranya adalah
warga negara itu sendiri.
Setiap keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah akan
menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka warga masyarakat
berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara dalam menentukan segala keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.Berikut ini ada beberapa perilaku politik yang
termasuk dalam bentuk partisipasi politik, antara lain :

a. Partisipasi politik yang dimaksud berupa kegiatan atau perilaku warga negara biasa
(bukan pemerintah) yang dapat diamati dan bukan perilaku yang berupa sikap dan
orientasi. Jadi, partisipasi politik di sini adalah yang terwujud dalam perilaku.
b. Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik. Termasuk dalam pengertian ini seperti kegiatan
mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksanaan
keputusan politik, kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang

dibuat pemerintah. Misalnya rakyat datang ke DPR untuk mengajukan usul,
mendukung atau menolak kebijakan pemerintah, demonstrasi, dan sebagainya.
c. Kegiatan yang berhasil atau gagal mempengaruhi pemerintah juga termasuk ke dalam
partisipasi politik, misalnya usul masyarakat tidak digubris atau ditolak
pemerintah.Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Contoh yang langsung adalah warga secara langsung
berhadapan dengan bupati, gubernur, atau dengan presiden dalam dialog terbuka.
Sedangkan secara tidak langsung, misalnya melalui DPRD atau DPR.
d. Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar
seperti ikut serta dalam pemilihan umum, mengajukan petisi, dialog terbuka,
menulis surat atau dengan cara-cara yang tidak wajar seperti demonstrasi atau unjuk
rasa, mogok makan, huru-hara, dan kegiatan lain yang bersifat kekerasan.
Milbrath dan Goel membedakan partisipasi poltik menjadi beberapa katagori, yaitu :
1) Apatis, artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik.
2) Spektator, yaitu orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan
umum.
3) Gladiator, yaitu mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, misalnya
juru kampanye, aktivis partai politik, tim sukses pemilihan Bupati, Gubernur, dan
sebagainya.
4) Pengkritik, yaitu orang yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah.

Olsen memandang partisipasi sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Dia membagi
partisipasi politik menjadi lima lapisan, yaitu :
a) Pemimpin politik, misalnya Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan sebagainya.
b) Aktivis politik, misalnya ketua atau pengurus partai politik di kecamatan, tingkat
kabupaten, provinsi, bahkan pengurus pusat.
c) Komunikator, yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan
informasi politik lainnya kepada orang lain, misalnya juru kampanye, tim sukses, dan
sebagainya.
d) Warga negara marginal, yaitu orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan
sistem politik

e) Warga negara yang terisolasikan, yaitu orang yang jarang melakukan partisipasi
politik.
Partisipasi politik dapat pula dikatagorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni
individual dan kolektif. Partisipasi politik kolektif dibedakan dalam dua bagian,
yaitu :
1.Partisipasi kolektif yang konvensional, seperti kegiatan dalam proses
pemilihanumum.
2) Partisipasi kolektif yang tidak konvensional (agresif), seperti kegiatan mogok
makan, menguasai atau menyegel bangunan/kantor pemerintahan dan huru-hara.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik
seseorang, yaitu :
1). Kesadaran politik
2).Kepercayaan kepada pemerintah