Formulasi dan Evaluasi Sediaan Obat Kumur Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia amygdalina Delile.) serta Uji Aktivitas Antibakteri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Tumbuhan Daun Afrika

2.1.1 Morfologi tumbuhan
Vernonia amygdalina Delile. atau Daun Afrika termasuk ke dalam suku
Asteraceae dan biasanya disebut sebagai bitter leaf (daun pahit). Daun Afrika
banyak tumbuh di benua Afrika bagian barat terutama di Nigeria dan negara yang
beriklim tropis salah satunya adalah Indonesia (Ibrahim, dkk., 2004).Tumbuhan
ini dapat ditemukan di halaman rumah, sepanjang sungai dan danau, di tepi hutan,
dan di padang rumput (Yeap, dkk., 2010).Daun Afrika mempunyai ciri-ciri
morfologi sebagai berikut: Batang tegak, tinggi 1-3 m, bulat, berkayu, berwarna
coklat, daun majemuk, anak daun berhadapan, panjang 15-25 cm, lebar 5-8 cm,
tebal 7-10 mm, daun berbentuk seperti

ujung tombak, tepi bergerigi, ujung

runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, berwarna hijau tua, rasanya
yang pahit, dan akar tunggang yang berwarna coklat kotor dengan bau yang khas

(Ibrahim, dkk., 2004; Ijeh, 2010).
2.1.2 Nama daerah
Daun Afrika memiliki nama lain di negara-negara lain seperti bitter leaf
(daun pahit) di Nigeria, Shiwaka di Nigeria bagian Utara, Grawa di Amharic,
Etidot di Ibibio, Ewuro di Yoruba, Onugbu di Igbo, Oriwo di Edo, Chusar-doki di
Hausa Shiwaka (Ijeh, 2010), Nan Fei Shu di Cina, dan daun Kupu-kupu di
Malaysia (Anonim, 2010). Daun Afrika juga memiliki nama daerah tersendiri di
negara Indonesia seperti daun pahit di pulau Jawa dan daun insulin di kota Padang
(Anonim, 2010).

7
Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Sistematika tumbuhan
Berikut adalah sistematika tumbuhan (Ibrahim, dkk., 2004):
Kingdom

: Plantae

Divisi


: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Asterales

Suku

: Asteraceae

Marga


: Vernonia

Spesies

: Vernonia amygdalina Delile.

2.1.4 Kandungan Tumbuhan
Hasil penelitian (Ijeh, 2010) menunjukkan bahwa tanaman daun Afrika
banyak mengandung nutrisi dan senyawa kimia, antara lain adalah sebagai
berikut: protein 9,7%, serat 16,8%, karbohidrat 68,4%, lemak 4,7%, asam
askorbat 166,5 mg/100 g, karotenoid 30 mg/100 g, kalsium 0,97 g/ 100 g, besi 7,5
mg/100 g, fosfor, kalium, sulfur, natrium, mangan, tembaga, zink, magnesium,
dan selenium. Senyawa kimia yang terkandung dalam daun Afrika antara lain:
saponin (vernoniosida dan steroid saponin), seskuiterpen lakton (vernolida,
vernodalol, vernolepin, vernodalin, dan vernomygdin), flavonoid, koumarin, asam
fenolat, lignan, xanton, terpen, peptida, dan luteolin.
2.1.5 Khasiat tumbuhan
Ekstrak daun Afrika memiliki aktivitas antibakteri yang mampu
membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif. Penelitian terhadap aktivitas

antibakteri ekstrak daun Afrika yang dilakukan oleh Sharma dan Smita (2010)
menunjukkan hasil yang positif terhadap bakteri Staphylococcus aureus,

8
Universitas Sumatera Utara

Streptococcus mutans, dan Lactobacillus acidophilus. Daun Afrika telah banyak
digunakan untuk obat-obatan dan telah banyak penelitian yang telah dilakukan
untuk tumbuhan tersebut seperti antijamur (Erasto, dkk., 2006) antikanker,
antidiabetes, antioksidan (Setiawan, 2012), antimalaria, analgetik (Njan, dkk.,
2008), dan pengobatan luka (Giday, dkk., 2003).
2.2

Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari

jaringan tumbuhan maupun hewan dengan pelarut yang sesuai. Sebelum ekstraksi
dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada
derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987).
Hasil ekstraksi disebut ekstrak, yaitu sediaan kental atau cair yang

diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dengan pelarut yang sesuai
kemudian menguapkan semua atau hampir semua pelarut yang digunakan pada
ekstraksi (Depkes RI, 1995).
Tujuan utama dari ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan
sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan. Zat aktif yang
terdapat dalam simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak
atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM RI, 2000).
Menurut Ditjen POM RI (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang
sering digunakan antara lain yaitu:
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan
pelarut disertai sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang

9
Universitas Sumatera Utara

dilakukan pengadukan secara terus menerus disebut maserasi kinetik sedangkan
yang dilakukan penambahan ulang pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap
maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator
dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang
umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat.
b. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnya
menggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut
akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.
2. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur
lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur
40-50°C.
3. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan
terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.
4. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.

10
Universitas Sumatera Utara

5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan

menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 30 menit.
2.3

Karies Gigi
Karies gigi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya interaksi

antara bakteri plak, gigi dan lingkungan. Plak gigi merupakan suatu lapisan tipis
dan padat yang menutupi permukaan email gigi yang mengandung bebagai
macam kuman. Plak gigi berperan dalam etiologi kelainan utama di dalam rongga

mulut yaitu karies gigi. Bakteri yang mendominasi pada plak adalah
Streptococcus mutans yang merupakan bakteri yang kariogenik karena mampu
segera membentuk asam dari karbohidrat yang dapat diragikan. Bakteri ini dapat
tumbuh subur dalam suasana asam dan dapat menempel pada permukaan gigi
karena kemampuannya membuat polisakarida ekstra sel. Polisakarida ekstra sel
ini terutama terdiri dari polimer glukosa yang menyebabkan matriks plak
mempunyai konsistensi seperti gelatin, akibatnya bakteri terbantu untuk melekat
satu sama lain. Plak makin lama makin tebal, sehingga terbentuk karies gigi.
Beberapa faktor yang dianggap faktor resiko adalah keturunan, ras, jenis kelamin,
umur, makanan, unsur kimia (Melani, 1988).
2.4

Obat Kumur
Produk pembersih mulut dapat secara luas dibagi menjadi pasta gigi yang

menggunakan sikat gigi sewaktu digunakan dan obat kumur yang tidak
menggunakan sikat gigi sewaktu digunakan. Mouthwash juga disebut sebagai obat
kumur. Meskipun mirip dalam bentuk larutan cair pasta gigi, tetapi mouthwash
tidak digunakan dengan sikat gigi. Sejumlah mouthwash yang tepat diletakkan di


11
Universitas Sumatera Utara

dalam mulut untuk dikumur dan kemudian setelah itu dibuang. Obat kumur
terbagi menjadi 3 jenis yaitu: yang langsung digunakan, jenis terkonsentrasi, dan
jenis bubuk/kering meskipun jenis langsung digunakan adalah yang paling banyak
digunakan saat ini. Fungsi obat kumur dapat membersihkan bagian dalam mulut,
mencegah bau nafas yang tidak sedap, dan menyegarkan mulut. Obat kumur
mengandung zat antibakteri yang mencegah karies gigi dan penyakit periodontal
(Mitsui, 1997).
Menurut

Farmakope

Indonesia

edisi

III


(1979),

obat

kumur

(gargarisma/gargle) adalah sediaan berupa larutan, umumnya pekat yang harus
diencerkan dahulu sebelum digunakan sebagai pencegahan atau pengobatan
infeksi tenggorokan.
Menurut Sagarin dan Gerson (1972), secara garis besar, obat kumur dalam
penggunaanya dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Sebagai

kosmetik,

hanya

membersihkan,

menyegarkan,


dan/atau

menghilangkan bau mulut.
2. Sebagai terapeutik, untuk perawatan penyakit pada mukosa atau ginggiva,
pencegahan karies gigi atau pengobatan infeksi saluran pernafasan.
3. Sebagai kosmetik dan terapeutik
Berdasarkan komposisinya, Saragin dan Gershon (1972) menggolongkan
obat kumur dalam berbagai jenis, yaitu;
1. Obat kumur untuk kosmetik terdiri atas air (dan biasanya alkohol), flavor, dan
zat pewarna, mengandung surfaktan dengan tujuan meningkatkan kelarutan.
2. Obat kumur yang mempunyai tujuan utama untuk menghilangkan bakteri yang
biasanya terdapat dalam jumlah besar di saluran nafas.

12
Universitas Sumatera Utara

3. Obat kumur yang bersifat sebagai astringent, dengan maksud memberi efek
langsung pada mukosa mulut, juga mengurangi flokulasi dan presipitasi protein
ludah sehingga dapat dihilangkan secara mekanis.
4. Obat kumur yang pekat yang penggunaannya perlu diencerkan terlebih dahulu.
5. Obat kumur untuk terapeutik, diformulasikan untuk meringankan infeksi,
mencegah karies gigi dan untuk meringankan kondisi patologis pada mulut,
gigi atau tenggorokan.
Tabel 2.1 Jenis-jenis obat kumur (Mitsui, 1997):

2.5

Jenis

Pemakaian

Penggunaan secara
langsung

Langsung dapat digunakan

Jenis Terkonsentrasi

Dasar larutan diencerkan
dengan sejumlah air saat
digunakan

Bentuk Bubuk/ Kering

Bubuk dapat dilarutkan
dengan sejumlah air saat
digunakan

Kelebihan
Sangat nyaman untuk
digunakan; jenis yang
paling banyak digunakan
Bentuknya kompak dan
ringan: mulut dapat dicuci
berkali-kali dengan isi
satu botol
Mudah dibawa kemanamana

Uraian Bahan

2.5.1 Tween 80
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26
merupakan cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning muda hingga coklat
muda, bau khas lemah, rasa pahit, dan hangat (Rowe, dkk., 2009). Tween
merupakan surfaktan yang luas digunakan dalam farmasi, karena relatif aman,
tidak toksik dan tidak mengiritasi. Dalam formulasi, tween digunakan sebagai zat
pembasah, pelarut, dan pensuspensi dengan konsentrasi 0,01-12% (Agoes, 2006).

13
Universitas Sumatera Utara

2.5.2 Sakarin
Sakarin merupakan serbuk atau hablur putih, tidak berbau atau berbau
aromatik lemah. Dalam bentuk larutan encer rasanya sangat manis (Ditjen POM,
1995). Sakarin merupakan salah satu bahan pemanis yang digunakan dalam
produk makanan dan minuman, produk kesehatan seperti obat kumur dan pasta
gigi. Bahan ini digunakan untuk melapisi berbagai karakteristik rasa yang kurang
menyenangkan atau meningkatkan sistem aroma. Sakarin berbentuk kristal putih
tidak berbau atau bubuk kristal putih Dalam formulasi oral, sakarin digunakan
pada konsentrasi 0,02-0,5%. Daya pemanisnya mencapai 300-600 kali sukrosa
(Rowe, dkk., 2009).
2.5.3 Peppermint oil
Peppermint oil adalah salah satu minyak yang paling popular dan banyak
digunakan karena sebagian besar dari komponen utamanya adalah mentol dan
digunakan untuk pemberi bau yang khas dalam sediaan oral di bidang farmasi
seperti dalam obat batuk, permen karet, permen, dan minuman beralkohol. Dan
juga digunakan dalam pembuatan sediaan pasta gigi dan obat kumur. Rasa dari
peppermint oil menyenangkan sehingga merupakan stimulan lambung yang
sangat baik (Aflatuni, 2005).
2.5.4 Akuades
Akuades digunakan sebagai bahan baku dan pelarut dalam pengolahan,
formulasi dan pembuatan produk farmasi, bahan farmasi aktif dan reagen analitis.
Akuades digunakan sebagai pelarut produk obat dan sediaan farmaseutikal; tidak
cocok untuk digunakan dalam pembuatan produk parenteral (Rowe, dkk., 2009).

14
Universitas Sumatera Utara

2.6

Uraian Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme bersel satu, berbentuk bola, batang atau

spiral berdiameter sekitar 0,5-1,0 µm dan panjangnya 1,5-2,5 µm. Berkembang
biak dengan cara membelah diri, serta demikian kecilnya hanya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop. Walaupun bentuknya sederhana sekali, namun
bakteri terdiri dari ribuan spesies yang berbeda (Pratiwi, 2008).
2.6.1 Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk bola
atau kokus, berkelompok tidak teratur, diameter 0,8-1,0 µm, tidak membentuk
spora dan tidak bergerak (Jawetz, dkk., 2001). Bakteri ini menghasilkan pigmen
berwarna kuning, bersifat anaerob fakultatif, tidak menghasilkan spora, dan
umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, tumbuh dengan baik pada
suhu 37OC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25OC)
(Brooks, dkk., 1996).
Setiap jaringan ataupun alat tubuh dapat diinfeksi oleh bakteri
Staphylococcus aureus dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan
tanda

yang

khas,

yaitu

tanda-

peradangan. Staphylococcus aureus merupakan

bakteri kedua terbesar penyebab peradangan pada rongga mulut setelah
bakteri Streptococcus mutans.Staphylococcus

aureus menyebabkan berbagai

jenis peradangan pada rongga mulut, seperti pembengkakan kelenjar ludah,
peradangan pada sudut mulut, dan peradangan pada gusi (Fathi, 2010).
2.6.2 Streptococcus mutans
Streptococcus mutans merupakan bakteri Gram positif, bersifat nonmotil,
berdiameter 1-2 µm berbentuk bulat atau bulat telur, tersusun dalam bentuk rantai,
tidak membentuk spora, tumbuh optimal pada suhu 18-40OC, biasanya ditemukan

15
Universitas Sumatera Utara

pada rongga mulut manusia dan menjadi yang paling kondusif menyebabkan bau
mulut dan karies untuk email gigi (Pratiwi, 2008).
Streptococcus mutans bersifat asidogenik, yaitu menghasilkan asam dan
mampu tinggal pada lingkungan asam. Bakteri ini mampu menempel pada
permukaan gigi dan menghidrolisis sisa makanan menjadi komponen glukosa dan
fruktosa kemudian oleh enzim glukosiltransferase dan fruktosiltransperase akan
diubah menjadi dekstran dan fruktan. Oleh karena kemampuan ini, Streptococcus
mutans dapat menyebabkan melekatnya bakteri dan sisa-sisa makanan pada email
gigi. Pada akhirnya terjadilah akumulasi bakteri, dekstran dan fruktan pada
permukaan email gigi sehingga membentuk plak sebagai pencetus karies gigi dan
menimbulkan bau yang kurang sedap (Brooks, et al., 1996).
2.7

Penentuan Aktivitas Antibakteri
Penentuan aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu

metode difusi dan metode dilusi. Pada metode difusi termasuk didalamnya metode
disk duffusion (tes Kirby & Baeur), E-test, ditch-plate technique, dan cup-plate
technique. Sedangkan pada metode dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair
dan dilusi padat (Pratiwi, 2008).
a. Metode difusi diantaranya:
1. Metode disk diffusion (tes Kirby & Baeur) menggunakan piringan yang berisi
agen antibakteri, kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya telah
ditanami bakteri sehingga agen antibakteri dapat berdifusi pada media agar
tersebut. Metode ini cukup sederhana dan menggunakan media selektif. Area
jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan bakteri oleh agen
antibakteri pada permukaan media agar.

16
Universitas Sumatera Utara

2. Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antibakteri untuk dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Pada metode ini digunakan strip plastik yang
mengandung agen antibakteri dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan
pada permukaan media agar yang telah ditanami bakteri sebelumnya. Pengamatan
dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen
antibakteri yang menghambat pertumbuhan bakteri pada media agar.
3. Ditch-plate technique. Pada metode ini sampel uji berupa agen antibakteri yang
diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan
petri pada bagian tengah secara membujur dan bakteri uji (maksimum 6 macam)
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antibakteri tersebut.
4. Cup-plate technique. Metode ini serupa dengan disk diffusion dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan bakteri dan pada sumur
tersebut diberi agen antibakteri yang akan diuji.
b. Metode dilusi diantaranya:
1. Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution). Metode ini digunakan
untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran
agen antibakteri pada medium cair yang ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan
uji agen antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya
pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan
sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa
penambahan bakteri uji ataupun agen antibakteri, dan diinkubasi selama 18-24
jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai
KBM.

17
Universitas Sumatera Utara

2. Metode dilusi padat (solid dilution test). Metode ini serupa dengan metode
dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini
adalah salah satu konsentrasi agen antibakteri yang diuji dapat digunakan untuk
menguji beberapa bakteri uji.
2.8

Metode Isolasi Biakan Bakeri
Metode isolasi biakan bakteri dibagi atas 3 cara (Stanier, dkk., 1982),

yaitu:
1. Cara gores
Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang
diencerkan, kemudian dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling
menutupi di atas permukaan agar-agar yang telah padat.
2. Cara sebar
Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata
dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat.
3. Cara tuang
Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan
dicampurkan dengan medium agar-agar cair, kemudian dibiarkan memadat.
Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media.
2.9

Fase Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan bakteri meliputi empat fase, yaitu:

1. Fase lag.
Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada
suatu lingkungan baru. Ciri fase ini adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel,
yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi
dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).

18
Universitas Sumatera Utara

2. Fase eksponensial (fase log).
Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada
kecepatan maksimum, tergantung pada genetika bakteri, sifat media, dan kondisi
pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah
secara eksponensial (Pratiwi, 2008).
3. Fase stasioner.
Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi keseimbangan antara
jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Karena pada fase ini
terjadi akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008).
4. Fase kematian.
Pada fase ini terjadi penurunan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri sehingga
bakteri memasuki fase kematian. Laju kematian melampaui dari laju
pertumbuhan, dan pada akhirnya pertumbuhan bakteri terhenti (Volk dan
Wheeler, 1993).

19
Universitas Sumatera Utara