Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia sp.) pada Tikus Putih yang Diinduksi Parasetamol

(1)

AKT

DA

TIVITAS

AUN AFR

YA

PROG

UN

HEPATO

RIKA (Ve

ANG DIIN

CHR

GRAM ST

FAK

NIVERSIT

OPROTE

ernonia sp

NDUKSI P

SKRIP OLEH RISTEN L. NIM 0915

TUDI SA

KULTAS F

TAS SUM

MEDA

2014

KTIF EK

p.) PADA

PARASET

PSI H: NATALIA 01123

ARJANA F

FARMAS

MATERA

AN

4

KSTRAK

A TIKUS P

TAMOL

A

FARMAS

SI

UTARA

ETANOL

PUTIH

SI

L


(2)

AKT

DA

Dia

TIVITAS

AUN AFR

YA

ajukan untu gelar

PROG

UN

HEPATO

RIKA (Ve

ANG DIIN

uk melengk r Sarjana F Unive CHR

GRAM ST

FAK

NIVERSIT

OPROTE

ernonia sp

NDUKSI P

SKRIP kapi salah s Farmasi pa ersitas Sum OLEH RISTEN L. NIM 0915

TUDI SA

KULTAS F

TAS SUM

MEDA

2014

KTIF EK

p.) PADA

PARASET

PSI satu syarat ada Fakulta matera Utar H: NATALIA 01123

ARJANA F

FARMAS

MATERA

AN

4

KSTRAK

A TIKUS P

TAMOL

t untuk me as Farmasi ra A

FARMAS

SI

UTARA

ETANOL

PUTIH

emperoleh i

SI

L


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

AKTIVITAS HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL

DAUN AFRIKA (Vernonia sp.) PADA TIKUS PUTIH YANG

DIINDUKSI PARASETAMOL

OLEH:

CHRISTEN L. NATALIA NIM 091501123

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 2014 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 198005202005012006 NIP 195311281983031002

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. Pembimbing II, NIP 198005202005012006

Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt. Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195310301980031002 NIP 195112231980032002

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.

NIP 19780215200812001

Medan, Januari 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitan dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Daun Afrika (Vernonia sp.) pada Tikus Putih yang Diinduksi Parasetamol”. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat bagi penulis mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt., yang telah membimbing, memberikan petunjuk, saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan bimbingan dan penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., dan Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ibu Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt,. selaku dosen penasehat akademik penulis serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua, Ayahanda Arnold Simanjuntak, S.E., Ibunda Efi Herawati Tampubolon, S.E., yang tidak pernah berhenti mendoakan dan mencurahkan dukungan baik moril


(5)

maupun materil. Kepada ketiga adik penulis, Abraham Joefiarno Simanjuntak, Gabriella Simanjuntak, dan Brian Batara Simanjuntak yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat. Kepada teman-teman yang telah membantu dan menemani penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi (Bang nanta, Putri, Ririyen, Nulika, Yusna, dan Hetti) dan kepada sahabat penulis (Rebeka, Utok, Jefri, Charles) yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2014

Christen L. Natalia


(6)

AKTIVITAS HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia sp.) PADA TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

ABSTRAK

Daun Afrika (Vernonia sp.) termasuk suku Compositae. Secara tradisional digunakan oleh masyarakat sebagai obat antidiabetes, obat hipertensi dan antikanker. Daun Afrika memiliki senyawa flavonoid, senyawa tersebut bersifat sebagai antioksidan dan mempunyai aktivitas hepatoprotektor. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektif ekstrak etanol daun Afrika

(Vernonia sp.) pada tikus putih yang diinduksi parasetamol.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Simplisia daun Afrika diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 96%. Simplisia dan ekstrak etanol daun Afrika (EEDA) dikarakterisasi dan dilakukan skrining fitokimia golongan senyawa kimia. Uji aktivitas hepatoprotektif ekstrak etanol daun Afrika dengan pemeriksaan histologi pada jaringan hati. Penelitian ini menggunakan 6 kelompok perlakuan. Kelompok normal tidak diberikan ekstrak etanol daun Afrika dan parasetamol dosis toksik, kelompok kontrol negatif diberikan parasetamol dosis toksik dan kelompok uji diberikan EEDA dosis 25 mg/kg BB; 50 mg/kg BB; 125 mg/kg BB; kemudian dilakukan perbandingan kerusakan yang terjadi pada jaringan hati.

Karakteristik simplisia daun Afrika diperoleh kadar air 7,98%; kadar sari larut air 25,88%; kadar sari larut etanol 14,89%; kadar abu total 9,74%; dan kadar abu tidak larut asam 0,70%. Sedangkan karakteristik EEDA, kadar air adalah 4,79%; kadar sari larut air 37,24%; kadar sari larut etanol 48,12%; kadar abu total 5,60%, dan kadar abu tidak larut asam 0,20%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDA mengandung senyawa golongan flavonoida, glikosida, glikosida jantung, steroid/triterpenoid, saponin dan tanin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kontrol normal menunjukan gambar histologi hati yang normal, kelompok kontrol negatif gambaran kerusakan histologi hati yang berat dibandingkan dengan kelompok uji lainnya. Kelompok uji dosis 25 mg/kg BB memiliki gambaran kerusakan histologi hati lebih berat dibanding dengan kelompok uji dosis 50 mg/kg BB dan kelompok uji dosis 125 mg/kg BB. Kelompok uji dosis 50 mg/kg BB memiliki gambaran kerusakan histologi hati lebih berat dibanding kelompok uji dosis 125 mg/kg BB namun lebih ringan dibanding kelompok kontrol negatif dan kelompok uji dosis 25 mg/kg BB. Kelompok uji dosis 125 mg/kg BB memiliki gambaran kerusakan histologi hati yang paling ringan dibanding kelompok uji lain.

Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol daun Afrika dosis 125 mg/kg BB menunjukkan gambaran kerusakan histologi yang paling ringan, sehingga diduga ekstrak etanol daun Afrika dosis 125 mg/kg BB memiliki aktivitas hepatoprotektif terhadap tikus yang diinduksi parasetamol dosis 2000 mg/kg BB.


(7)

ACTIVITIES HEPATOPROTECTIVE ETHANOL EXTRACT OF LEAVES AFRICAN (Vernonia sp.) THE WHITE RAT PARACETAMOL

INDUCED ABSTRACT

African leaves (Vernonia sp.) classified as Compositae. It is traditionally used as antidiabetic, hypertensive, and anticancer drugs. Africa has a compound leaf flavonoids, compounds that act as antioxidants and have hepatoprotective activity. The purpose of the study is to determine the hepatoprotective activity of the ethanol extract of the African leaf (Vernonia sp.) on paracetamol-induced rats.

This research was conducted with qualitative methods African leaves simplex extracted by maceration with ethanol 96%. African leaves simplex and ethanol extract (EEDA) were characterized and screened to determine the chemical compounds. Test hepatoprotective activity of the ethanol extract of leaves of Africa by histological examination of the liver tissue. This study used six treatment groups. Normal group was not given ethanol extract of leaves of Africa and the toxic dose of paracetamol, a negative control group given toxic doses of paracetamol and EEDA test group was given a dose of 25 mg/kg BW; 50 mg/kg BW; 125 mg/kg BW; then do the damage ratio the liver tissue.

African leaves simplex characters were level of water content 7.98%, water-soluble extract 25.89%, ethanol-soluble extract 14.89%, total ash 9.74% and acid-insoluble ash 0.70%. EEDA characters were level of water content 4.79%, water-soluble extract 37.24%, ethanol-soluble extract 48.12%, total ash 5.60% and acid-insoluble ash 0.20%. Phytochemical screening of simplex and EEDA showed flavonoid, glycoside, steroid/triterpenoid, saponin and tannin compounds.

The results showed that the normal control group showed normal liver histology image. Negative control group histological picture of severe liver damage compared to the other test groups. The test group was 25 mg/kg BW in liver histology have a picture of the damage is more severe than the test group dose of 50 mg/kg BW dose of the test group and 125 mg/kg BW. Test group dose of 50 mg/kg BW in liver histology have a picture of the damage is more severe than the test group dose of 125 mg/kg BW but lighter than the negative control group and the test group dose of 25 mg/kg BW. Test group dose of 125 mg/kg BW have an overview of the most damage in liver histology lighter than the other test groups.

The conclusion of this study is the ethanol extract of leaves of African dose 125 mg/kg BW showed a picture of the most mild histological damage, so that the ethanol extract of leaves suspected African dose 125 mg/kg BW have hepatoprotective activity against paracetamol-induced rat dose of 2000 mg/kg BW.

Key words : African leaves, paracetamol, hepatoprotective, liver histology


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.2.1 Sistematika Tumbuhan ... 6

2.1.2 Nama Daerah ... 6

2.1.3 Morfologi Tumbuhan ... 7

2.1.4 Kandungan Kimia Daun Afrika ... 7

2.1.5 Kegunaan Daun Afrika ... 8

2.2 Ekstraksi ... 10

2.3 Parasetamol ... 12

2.3.1 Uraian Parasetamol ... 12


(9)

2.3.3 Sifat Zat Berkhasiat dan Sifat Fisika ... 13

2.3.4 Farmakokinetik ... 13

2.3.5 Dosis Terapi ... 14

2.3.6 Efek Samping ... 14

2.3.7 Hepatotoksisitas ... 14

2.4 Anatomi Hati ... 17

2.4.1 Fisiologi Hati ... 19

2.4.2 Histologi Kerusakan Hati karena Obat ... 20

2.4.3 Gangguan Fungsi Hati Akibat Toksikan ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Alat dan Bahan ... 24

3.1.1 Alat-alat ... 24

3.1.2 Bahan-bahan ... 24

3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 25

3.2.1 Larutan Pereaksi Mayer ... 25

3.2.2 Larutan Pereaksi Dragendorff ... 25

3.2.3 Larutan Pereaksi Bouchardat ... 25

3.2.4 Larutan Pereaksi Molish ... 25

3.2.5 Larutan Pereaksi Liebermann-Burchard ... 25

3.2.6 Larutan Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 26

3.2.7 Larutan Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 26

3.2.8 Larutan Pereaksi natrium hidroksida 2 N ... 26

3.2.9 Larutan Pereaksi asam klorida 2 N ... 26

3.2.10 Larutan Formalin 10% ... 26

3.3 Prosedur Penelitian ... 26

3.3.1 Pengumpulan Tumbuhan ... 26

3.3.2 Identifikasi Tumbuhan ... 27

3.3.3 Pembuatan Simplisia ... 27


(10)

3.3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 27

3.3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik ... 28

3.3.4.3 Penetapan Kadar Air ... 28

3.3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air ... 29

3.3.4.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol ... 29

3.3.4.6 Penetapan Kadar Abu Total ... 29

3.3.4.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam ... 30

3.3.5 Pemeriksaan Skrinning Fitokimia Serbuk Simplisia ... 30

3.3.5.1 Pemeriksaan Flavonoid ... 30

3.3.5.2 Pemeriksaan Alkaloid ... 30

3.3.5.3 Pemeriksaan Saponin ... 31

3.3.5.4 Pemeriksaan Tanin ... 31

3.3.5.5 Pemeriksaan Glikosida ... 31

3.3.5.6 Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid ... 32

3.3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Afrika (EEDA) ... 32

3.3.7 Pemeriksaan Karateristik EEDA ... 32

3.3.8 Pemeriksaan Skrining Fitokimia EEDA ... 33

3.3.9 Uji Aktivitas Hepatoprotektif ... 33

3.3.9.1 Penyiapan Hewan Percobaan ... 33

3.3.9.2 Penyiapan Suspensi CMC 1% ... 33

3.3.9.3 Penyiapan Suspensi EEDA ... 34

3.3.9.4 Penyiapan Suspensi Parasetamol ... 34

3.3.9.5 Percobaan Hewan Uji ... 34

3.3.9.6 Pengambilan Organ Hati Hewan Uji ... 35

3.3.9.7 Pemeriksaan Histopatologi Organ Tikus ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 39

4.2 Hasil Karakteristik Simplisia dan EEDA ... 39


(11)

4.4 Hasil Uji Aktivitas Hepatoprotektor ... 43

4.4.1 Evaluasi Histopatologi ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan kimia daun afrika ... 7

Tabel 2.2 Hasil penelitian kegunaan daun afrika ... 8

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dan EEDA ... 40

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDA ... 42

Tabel 4.3 Hasil histopatologi hati tikus berdasarkan kerusakan hepatosit ... 45


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Diagram kerangka pikir penelitian ... 5 Gambar 2.1 Struktur kimia parasetamol ... 13 Gambar 2.2 Jalur metabolisme parasetamol ... 14 Gambar 2.3 Gambaran histopatologi hati akibat keracunan parasetamol ... 17 Gambar 2.4 Anatomi hati ... 19 Gambar 4.1 Histologi hati tikus putih kelompok kontrol normal ... 46

Gambar 4.2 Histologi hati tikus putih kelompok kontrol negatif ... 47

Gambar 4.3 Histologi hati tikus putih yang diberikan

EEDA 25 mg/kg BB ... 49

Gambar 4.4 Histologi hati tikus putih yang diberikan

EEDA 50 mg/kg BB ... 50

Gambar 4.5 Histologi hati tikus putih yang diberikan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Identifikasi Tumbuhan Daun Afrika ... 61

2. Karateristik Tumbuhan Afrika ... 62

3. Bagan Kerja Penelitian ... 65

4. Bagan Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Afrika ... 66

5. Bagan Pengerjaan Uji Aktivitas Hepatoprotektif ... 67

6. Perhitungan Penetapan Kadar Air Simplisia Daun Afrika ... 68

7. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut Air Simplisia Daun Afrika ... 69

8. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut Etanol Simplisia Daun Afrika ... 70

9. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total Simplisia Daun Afrika ... 71

10. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Daun Afrika ... 72

11. Perhitungan Penetapan Kadar Air Dari EEDA ... 73

12. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut Air EEDA ... 74

13. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut Etanol EEDA ... 75

14. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total EEDA ... 76

15. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam EEDA ... 77

16. Gambar Alat, Bahan, dan Objek yang Digunakan ... 78


(15)

AKTIVITAS HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia sp.) PADA TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI PARASETAMOL

ABSTRAK

Daun Afrika (Vernonia sp.) termasuk suku Compositae. Secara tradisional digunakan oleh masyarakat sebagai obat antidiabetes, obat hipertensi dan antikanker. Daun Afrika memiliki senyawa flavonoid, senyawa tersebut bersifat sebagai antioksidan dan mempunyai aktivitas hepatoprotektor. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektif ekstrak etanol daun Afrika

(Vernonia sp.) pada tikus putih yang diinduksi parasetamol.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Simplisia daun Afrika diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 96%. Simplisia dan ekstrak etanol daun Afrika (EEDA) dikarakterisasi dan dilakukan skrining fitokimia golongan senyawa kimia. Uji aktivitas hepatoprotektif ekstrak etanol daun Afrika dengan pemeriksaan histologi pada jaringan hati. Penelitian ini menggunakan 6 kelompok perlakuan. Kelompok normal tidak diberikan ekstrak etanol daun Afrika dan parasetamol dosis toksik, kelompok kontrol negatif diberikan parasetamol dosis toksik dan kelompok uji diberikan EEDA dosis 25 mg/kg BB; 50 mg/kg BB; 125 mg/kg BB; kemudian dilakukan perbandingan kerusakan yang terjadi pada jaringan hati.

Karakteristik simplisia daun Afrika diperoleh kadar air 7,98%; kadar sari larut air 25,88%; kadar sari larut etanol 14,89%; kadar abu total 9,74%; dan kadar abu tidak larut asam 0,70%. Sedangkan karakteristik EEDA, kadar air adalah 4,79%; kadar sari larut air 37,24%; kadar sari larut etanol 48,12%; kadar abu total 5,60%, dan kadar abu tidak larut asam 0,20%. Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDA mengandung senyawa golongan flavonoida, glikosida, glikosida jantung, steroid/triterpenoid, saponin dan tanin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kontrol normal menunjukan gambar histologi hati yang normal, kelompok kontrol negatif gambaran kerusakan histologi hati yang berat dibandingkan dengan kelompok uji lainnya. Kelompok uji dosis 25 mg/kg BB memiliki gambaran kerusakan histologi hati lebih berat dibanding dengan kelompok uji dosis 50 mg/kg BB dan kelompok uji dosis 125 mg/kg BB. Kelompok uji dosis 50 mg/kg BB memiliki gambaran kerusakan histologi hati lebih berat dibanding kelompok uji dosis 125 mg/kg BB namun lebih ringan dibanding kelompok kontrol negatif dan kelompok uji dosis 25 mg/kg BB. Kelompok uji dosis 125 mg/kg BB memiliki gambaran kerusakan histologi hati yang paling ringan dibanding kelompok uji lain.

Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol daun Afrika dosis 125 mg/kg BB menunjukkan gambaran kerusakan histologi yang paling ringan, sehingga diduga ekstrak etanol daun Afrika dosis 125 mg/kg BB memiliki aktivitas hepatoprotektif terhadap tikus yang diinduksi parasetamol dosis 2000 mg/kg BB.


(16)

ACTIVITIES HEPATOPROTECTIVE ETHANOL EXTRACT OF LEAVES AFRICAN (Vernonia sp.) THE WHITE RAT PARACETAMOL

INDUCED ABSTRACT

African leaves (Vernonia sp.) classified as Compositae. It is traditionally used as antidiabetic, hypertensive, and anticancer drugs. Africa has a compound leaf flavonoids, compounds that act as antioxidants and have hepatoprotective activity. The purpose of the study is to determine the hepatoprotective activity of the ethanol extract of the African leaf (Vernonia sp.) on paracetamol-induced rats.

This research was conducted with qualitative methods African leaves simplex extracted by maceration with ethanol 96%. African leaves simplex and ethanol extract (EEDA) were characterized and screened to determine the chemical compounds. Test hepatoprotective activity of the ethanol extract of leaves of Africa by histological examination of the liver tissue. This study used six treatment groups. Normal group was not given ethanol extract of leaves of Africa and the toxic dose of paracetamol, a negative control group given toxic doses of paracetamol and EEDA test group was given a dose of 25 mg/kg BW; 50 mg/kg BW; 125 mg/kg BW; then do the damage ratio the liver tissue.

African leaves simplex characters were level of water content 7.98%, water-soluble extract 25.89%, ethanol-soluble extract 14.89%, total ash 9.74% and acid-insoluble ash 0.70%. EEDA characters were level of water content 4.79%, water-soluble extract 37.24%, ethanol-soluble extract 48.12%, total ash 5.60% and acid-insoluble ash 0.20%. Phytochemical screening of simplex and EEDA showed flavonoid, glycoside, steroid/triterpenoid, saponin and tannin compounds.

The results showed that the normal control group showed normal liver histology image. Negative control group histological picture of severe liver damage compared to the other test groups. The test group was 25 mg/kg BW in liver histology have a picture of the damage is more severe than the test group dose of 50 mg/kg BW dose of the test group and 125 mg/kg BW. Test group dose of 50 mg/kg BW in liver histology have a picture of the damage is more severe than the test group dose of 125 mg/kg BW but lighter than the negative control group and the test group dose of 25 mg/kg BW. Test group dose of 125 mg/kg BW have an overview of the most damage in liver histology lighter than the other test groups.

The conclusion of this study is the ethanol extract of leaves of African dose 125 mg/kg BW showed a picture of the most mild histological damage, so that the ethanol extract of leaves suspected African dose 125 mg/kg BW have hepatoprotective activity against paracetamol-induced rat dose of 2000 mg/kg BW.

Key words : African leaves, paracetamol, hepatoprotective, liver histology


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hati adalah organ tubuh terbesar yang terdapat dalam tubuh manusia dan organ tubuh yang memiliki peranan untuk metabolisme, termasuk penyimpanan glikogen, dekomposisi sel darah merah, sintesis protein plasma, dan detoksifikasi (Zakaria, et al., 2011).

Penyakit hati masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Sayangnya, obat-obatan konvensional atau sintetis yang digunakan untuk pengobatan penyakit hati belum memadai dan kadang-kadang memiliki efek samping yang serius (Arun dan Balasubramanian, 2011). Beberapa studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan bahwa induksi parasetamol overdosis pada hewan percobaan menyebabkan kerusakan hepatoseluler (Iwakolun, et al., 2006).

Parasetamol termasuk salah satu obat yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Metabolisme parasetamol didetoksifikasi di hati melalui proses oksidasi pada sitokrom p450 yang menghasilkan metabolit sitotoksik yang sangat reaktif yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang mereduksi glutation hati. Sistem pertahanan hati menurun dengan adanya pemberian obat asetaminofen dan menurunnya glutation yang menyebabkan peningkatan NAPQI. Pada akhirnya, merusak membran sel hepatosit dan menghambat proses transkripsi, translasi, dan fragmentasi DNA (Greenstein, 2007).

Keanekaragaman hayati Indonesia sangat berpotensi dalam penemuan senyawa baru yang berkhasiat sebagai hepatoprotektor, salah satunya adalah daun afrika. Tumbuhan yang berasal dari afrika ini adalah salah satu tumbuhan dari


(18)

suku Compositae, yang banyak digunakan sebagai obat tradisional dari genus Vernonia. Khasiatnya antara lain sebagai antibakteri, antijamur, antimalaria, antioksidan, antikanker, antidiabetes, dan sangat berguna sebagai bahan baku obat. Tumbuhan ini tergolong baru di Indonesia tetapi sudah mulai dikenal oleh masyarakat di Indonesia dan sudah digunakan sebagai tanaman obat untuk mengobati berbagai jenis penyakit dan juga telah dibuktikan dalam bidang fitiokimia (Iwakolun, et al., 2006).

Daun afrika mengandung senyawa golongan saponin, flavonoid, seskuiterpen lakton, dan glikosida (Anastasia, 2011). Daun afrika mengandung rasa yang pahit dari sesquiterpen lactone, vernolepin, vernodalin, vernomygdin dan steroid glukosida. Daun afrika memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi, dan menurut beberapa penelitian menyebutkan bahwa senyawa yang bersifat antioksidan juga mempunyai aktivitas hepatoprotektor (Iwakolun, et al., 2006).

Beberapa peneliti sebelumnya telah menggunakan ekstrak air dan ekstrak etanol-air. Dalam penelitian sebelum menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari daun ini memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari ekstrak air (Ijeh dan Ejike, 2011).

Tumbuhan ini termasuk baru di Indonesia sehingga karakterisasi dan skrining perlu dilakukan karena belum terdapat di dalam MMI. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin melakukan karakterisasi simplisia, skrining dan pengujian efek hepatoprotektor dari ekstrak etanol daun afrika pada tikus putih.


(19)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

a. bagaimana hasil karakterisasi dan golongan senyawa metabolir sekunder yang diperoleh dari simplisia daun afrika dan ekstrak etanol daun afrika dengan melakukan karateristik dan skrining fitokimia?

b. apakah pemberian ekstrak etanol daun afrika dan peningkatan dosis ekstrak etanol daun afrika (EEDA) dapat mencegah kerusakan dan meningkatkan efek proteksi terhadap sel hati tikus putih yang diinduksi parasetamol?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. karakteristik simplisia daun afrika dan ekstrak etanol daun afrika memenuhi persyaratan simplisia dan golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak etanol daun afrika (EEDA) adalah flavonoid, glikosida, saponin, steroid/triterpenoid, dan tanin.

b. pemberian ekstrak etanol daun afrika dan adanya peningkatan dosis ekstrak etanol daun afrika dapat mencegah kerusakan dan meningkatkan efek proteksi terhadap sel hati tikus putih yang diinduksi parasetamol.


(20)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. mengetahui karakteristik simplisia daun dan ekstrak etanol daun afrika dan golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia dan ekstrak etanol daun afrika.

b. untuk mengetahui aktivitas hepatoprotektif ekstrak etanol daun afrika dan peningkatan dosis ektrak etanol daun afrika dalam mencegah kerusakan dan meningkatkan efek proteksi terhadap sel hati tikus putih yang diinduksi parasetamol.

1.5 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh ekstrak etanol daun afrika dalam mencegah kerusakan sel hati tikus putih yang diinduksi parasetamol.

b. penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut, misalnya penelitian dengan subjek manusia.

1.6 Kerangka Pikir

Adapun kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 dengan keterangan: variabel bebas yaitu, simplisia daun afrika, ekstrak etanol daun afrika, ekstrak etanol daun afrika dengan dosis 25 mg/kg bb, 50 mg/kg bb, dan 125 mg/kg bb, CMC Na 1%, dan parasetamol 2000 mg/kg bb.


(21)

Variabel terikat yaitu, karateristik simplisia (gambaran makroskopik, gambaran mikroskopik, kadar air, kadar sari larut dalam air, kadar sari larut dalam etanol, kadar abu total, kadar abu tidak larut dalam asam) dan kandungan senyawa kimia (alkaloid, flavonoida, tanin, saponin, triterpen/steroida, glikosida), dan gambaran histopatologi organ hati.

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

1. Gambaran Makroskopik 2. Gambaran

Mikroskopik 3. Kadar air 4. Kadar sari larut

dalam air 5. Kadar sari larut

dalam etanol 6. Kadar abu total 7. Kadar abu tidak

larut dalam asam Simplisia daun Afrika Karakteristik simplisia Ekstrak etanol daun Afrika 1. Alkaloid 2. Flavonoida 3. Tanin 4. Saponin 5. Triterpen/Steroida 6. Glikosida Kandungan senyawa kimia

Ekstrak etanol daun Afrika (EEDA)

Dosis 25 mg/kg bb, 50 mg/kg bb, 125 mg/kg bb

Gambaran histopatologi organ hati Larutan CMC 1%

Parasetamol 2000 mg/kg bb


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Vernonia sp. atau yang biasa disebut Daun afrika, adalah tumbuhan semak

yang tumbuh hingga 7 meter dan berasal dari daerah tropis Afrika dan bagian lain dari Afrika, khususnya Nigeria, Kamerun dan Zimbabwe. Tumbuhan ini dapat ditemukan di halaman rumah, sepanjang sungai dan danau, ditepi hutan, dan di padang rumput. Dapat tumbuh di semua jenis tanah dan menyukai lingkungan yang lembab (Yeap, 2010).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan daun afrika adalah sebagai (Yeap, 2010): Kingdom : Plantae

Divisi :Spematophyta Subdivisi :Angiospermae Kelas :Dicotyledoneae Bangsa :Asterales Suku :Compositae Marga :Vernonia Jenis : Vernonia sp. 2.1.2Nama Daerah

Daun afrika banyak tumbuh di benua Afrika bagian barat terutama di Nigeria dan negara yang beriklim tropis salah satunya adalah Indonesia (Ibrahim, et al., 2004; Anonim, 2012). Daun afrika memiliki nama lain di negara-negara lain seperti bitter leaf (daun pahit) di Nigeria, Shiwaka di Nigeria bagian Utara, Grawa


(23)

di Amharic, Ewuro di Yoruba, Etidot di Ibibio, Onugbu di Igbo, Ityuna di Tiv,

Oriwo di Edo, Chusar-doki di Hausa Shiwaka (Ijeh, 2010), Nan Fei Shu di Cina,

dan daun Kupu-kupu di Malaysia (Anonim, 2012). Daun Afrika juga memiliki nama daerah tersendiri di negara Indonesia seperti daun pahit di pulau Jawa dan daun insulin di kota Padang (Anonim, 2012).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Vernonia sp. adalah tumbuhan semak yang mempunyai batang tegak, tinggi

1-3 m, bulat, berkayu, berwarna coklat kotor; daun majemuk, anak daun berhadapan, panjang 15-25 cm, lebar 5-8 cm, tebal 7-10 mm, berbentuk seperti ujung tombak, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, berwarna hijau tua; akar tunggang, berwarna coklat kotor (Ibrahim, et al., 2004; Ijeh, 2012).

2.1.4Kandungan Kimia Daun Afrika

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia dari daun afrika, hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan kimia daun afrika (Ijeh dan Ejike, 2011)

Kandungan Kimia Penulis

Stigmastane-type saponins

Vernoniosides A1, A2, A3, A4, B1, B2, B3, C, D, E

Ohigashi, et al., (1991); Jisaka, et al., (1992); Kamperdick, et al., (1992); Jisaka, et al., (1993a), Ohigashi (1994); Aregheore, et al., (1997).

Steroidal saponins Rwangabo, et al., (1986); Ohigashi, et al., (1991); Jisaka, et al., (1992); Jisaka, et al., (1993); Igile, et al., (1994); Igile, et al., (1995).


(24)

Kandungan Kimia Penulis Sesquiterpene lactones

Vernolide, vernodalol, vernolepin,

vernodalin, vernomygdin, hydroxyvernolide

Kupchan, et al., (1969); Jisaka, et al., (1992); Jisaka, et al., (1993); Koshmizu, et al., (1994); Erasto, et al., (2006).

Flavonoids

Luteolin, luteolin 7-O- -glucoroniside, luteolin 7-O- -glucoside

Igile, et al., (1994); Udensi, et al., (2002); Tona, et al., (2004).

Terpenes, coumarins, phenolic acids, lignans, xanthones, anthraquinones

Wall, et al., (1998); Tona, et al., (2004).

Edoties (peptides) Izevbigie (2003).

2.1.5Kegunaan Daun Afrika

Penelitian mengenai khasiat daun afrika telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai macam ekstrak dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Hasil penelitian kegunaan daun afrika (Ijeh dan Ejike, 2011)

Khasiat Tipe ekstrak Penulis

Antibakteri Methanol 60%

Getah mentah Etanol

Akinpelu (1999); Ijeh, et al., (1996); Erasto, et al., (2006); Jisaka, et al., (1993b). Antimalaria Air

Air Etanol

Njan, et al., (2008); Iwalokun (2008);

Abosi dan Raseroka (2003); Phillipson, et al. (1993);


(25)

Khasiat Tipe ekstrak Penulis Masaba (2000).

Amoebicidal Moundipa, et al., (2005);

Huffman, et al., (1996). Antijamur Air

Etanol

Alabi, et al., (2005); Erasto, et al., (2006);

Wedge, et al., (2000). Antileishmanial Kloroform dan methanol Tadesse, et al., (1993);

Huffman, et al., (1996). Antischistosomial Ogboli, et al., (2000). Pengobatan luka Getah mentah Giday, et al., (2003). Pengobatan penyakit

kelamin

Kloroform Air

Air Air

Kambizi dan Afolayin (2001).

Kupchan, et al., (1969); Yedjou, et al., (2008). Gresham, et al., (2008). Izevbigie (2003).

Antikanker Air Oyugi, et al., (2009);

Howard, et al., (2006); Izevbigie, et al., (2004); Jisaka, et al., (1993b);


(26)

Khasiat Tipe ekstrak Penulis Air dan etanol

Methanol 30%

Khalafalla, et al., (2009); Owolabi, et al., (2008); Igile, et al., (1994). Antioksidan Air

Methanol

Etanol Air

Nwanjo, (2005); Adaramoye, et al., (2008);

Iwalokun, et al., (2006); Ekpo, et al., (2007); Osinubi, (1996);

Nwanjo dan Nwokoro, (2004).

Antidiabetes Air

Etanol

Getah mentah

Akah dan Okafor, (1992); Uhuegbu dan Ogbechi, (2004);

Atangwho, et al., (2007); Okolie, et al., (2008).

Oxytocic Air Kamatenesi-Mugisha,

(2004);

Kamatenesi-Mugisha, et al., (2005);

Ijeh, et al., (2010).


(27)

Khasiat Tipe ekstrak Penulis Diet incorporation Ijeh dan Obidoa, (2004);

Babalola, et al., (2001); Iwalokun, et al., (2006). Nephroprotection Etanol

Etanol 80%

Atangwho, et al., (2007); Atangwho, et al., (2009). Serum lipid modulation Diet incorporation

Metanol Etanol Air

Egedigwe, (2010); Ugwu, et al., (2010);

Adaramoye, et al., (2008);

Ekpo, et al., (2007); Nwanjo, (2005);

Ezekwe dan Obidoa, (2001).

Analgesik Air Njan, et al., (2008).

Anti-fertility Ekstrak akar Steen-Kamp, (2003); Desta, (1994). Sekresi lambung Air 0wu, et al., (2008).

2.2 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.


(28)

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam dua cara yaitu (Depkes, 2000):

a. Cara dingin, yaitu:

i. Maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

ii. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara Panas

i. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

ii. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(29)

iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

iv. Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

v. Dekoktasi, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air.

2.3 Parasetamol

2.3.1 Uraian Parasetamol

Parasetamol (asetaminofen) merupakan derivat para amino fenol, penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang bermakna. Hal ini disebabkan ketidakmampuan parasetamol menghambat siklooksigenase pada konsentrasi peroksida yang tinggi pada keadaan inflamasi. Efek antipiretik didapat melalui penghambatan terhadap siklooksigenase di dalam hipotalamus.

Parasetamol tidak menghambat aktivasi neutrofil, tidak berpengaruh pada platelet, waktu perdarahan, eksresi asam urat, tidak berefek pada sistem respirasi dan kardiovaskuler.

2.3.2 Struktur Kimia Parasetamol


(30)

2.3.3 Sifat Zat Berkhasiat dan Sifat Fisika

Sifat-sifat parasetamol (sinonim : 4-Hidroksiasetanilida) yaitu, berat molekul (BM: 151,16), rumus empiris (C8H9NO2), pemerian (serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit), kelarutan (larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N, mudah larut dalam etanol), dan jarak lebur (antara 168⁰ dan 172⁰) (Dirjen, POM., 1995).

2.3.4 Farmakokinetik

Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 30-60 menit, waktu paruh antara 1-3 jam relatif tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Parasetamol relatif didistribusikan secara merata ke seluruh jaringan tubuh. Sekitar 25% asetaminofen terikat oleh protein plasma. Metabolisme oleh hati dan diubah menjadi parasetamol sulfat (60%) dan glukuronida (35%) yang secara farmakologik tidak aktif. Suatu metablit minor sebagai produk dari hidroksilasi tetapi sangat aktif (N-asetil-p-benzokuinonimine atau NAPQI) pada dosis besar karena bersifat toksik terhadap hati. Sebagian besar (90-100%) parasetamol dieksresikan lewat ginjal dalam bentuk metabolitnya. Hanya sebagian kecil (3-5%) dieksresikan dalam bentuk utuh.

2.3.5 Dosis Terapi

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 125 mg/5 ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet atau cairan. Dosis parasetamol untuk


(31)

dewasa 300 mg-1 g per kali, dengan maksimum 4 g per hari. Dosis anak-anak 6-12 tahun 150 mg/kali, dengan maksimum 1,2 g/hari. Anak 1-6 tahun 60-6-120 mg/kali, dan bayi dibawah 1 tahun 60 mg/kali (pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Ritter, 1999)

2.3.6 Efek Samping

Umumnya parasetamol yang ditoleransi dengan baik pada dosis terapi, tetapi akan terjadi efek samping yang serius pada kasus keracunan parasetamol, terutama timbul gagal hepar akut. Dosis toksik parasetamol pada dewasa adalah 8-10 g/hari, sedangkan pada anak adalah 200-250 mg/kg bb (Ritter, 1999).

2.3.7 Hepatoksisitas Parasetamol

Metabolisme hepatik parasetamol lewat jalur enzim sitokrom P450 menghasilkan metabolit reaktif yangbersifat elektrofilik yang disebut NAPQI. sitokrom P450 yang paling berperan dalam metabolisme ini adalah CYP2E1, meskipun enzim P450 yang lain (seperti CYP3A4 dan CYP1A2) ikut berperan (Goodman dan Gilman, 2007).

Pada kondisi normal, metabolit ini diinaktivasi oleh glutation dengan atau tanpa melibatkan enzim glutation reduktase. Terjadinya keracunan parasetamol disebabkan karena cadangan glutation dengan cepat menurun, hal ini menyebabkan timbulnya akumulasi NAPQI di dalam hepatosit dan membentuk ikatan kovalen dengan protein sel hepatosit, menghambat metabolisme oksidatif dan penurunan produksi ATP. Penurunan ATP intraseluler menyebabkan gangguan pompa kalsium endoplasma. Penimbunan kalsium endoplasma menyebabkan aliran Ca2+ ke dalam mitokondria, penurunan potensial membran mitokondria, dan menghambat sintesis ATP di mitokondria, selain itu


(32)

hiperkalse Oxygen S Taylor, 19 Gamb RN mitokondr molekul menginakt berikatan ribose pol rantai tung NAD+ ke memperbe

emi intrasel

Species (RO

995).

bar 2.2 Jalu NS juga ria. Superok nitrit (NO tivasi ranta dengan pus imerase (PA ggal. Aktiv protein in erat hambat

luler turut b

OS)/Reactiv

r metabolism terbentuk ksida (O2-) O) untuk m

ai respirasi sat Fe-S sec ARP) yang vasi PARP m nti dan ke

tan dalam s

berperan m ve Nitrogen me paraseta sebagai selain me membentuk komplek cara irrever dapat meny mentransfer PARP itu sintetis ATP memacu pen

n Species (

amol (Good produk re mbentuk H k peroksini I, II, III, d sible. ONO yebabkan pe

r multipel “ sendiri. Ko P, di mana

ingkatan pr (RNS) (Ch

dman dan G eaksi oksi H2O2, juga b

itrit(ONOO dan aconita OO- mengak

emutusan D “ADP ribos onsumsi N resintesis N

roduksi Rea handrasoma

Gilman, 2007 idasi fosfo

bereaksi de O-). Peroks

ase dengan ktivasi poly-DNA rantai

se mioeties” NAD+ akan

NAD+ akan active , dan 7) orilasi engan initrit n cara -ADP DNA ” dari lebih lebih


(33)

banyak menghabiskan ATP. Keseluruhan rangkaian peristiwa di atas tidak berdiri sendiri, namun saling berkaitan membentuk suatu rantai yang semakin memperburuk kondisi sel (Ritter, 1999).

Peningkatan Ca2+ mitokondria, penurunan potensial membran mitokondria, peningkatan ROS dan RNS, penurunan produksi ATP dan konsekuensi kerusakan metabolik yang lain (seperti akumulasi fosfat anorganik, asam lemak bebas, dan lisofosfatida) menyebabkan peningkatan permeabilitas MPT (Mitochondrial

Permeability Transition). Kedua membran mitokondria terbuka, produksi ATP

terhenti dan air masuk kedalam mitokondria yang menyebabkan pembengkakan dan inaktivasi mitokondria, apabila hanya beberapa mitokondria dalam sel yang mengalami kerusakan, maka sel masih akan tetap survive dan mitokondria yang rusak akan di autofagi. Mitokondria yang rusak dalam jumlah yang lebih banyak, akan menyebabkan aktivasi capcase yang berlanjut dengan apoptosis sel, sedangkan apabila jumlah mitokondria yang terinaktivasi mencakup seluruh mitokondria di dalam sel, maka sintesis ATP secara oksidatif tidak akan terjadi. Akibat ketiadaan sintesis ATP secara oksidatif maka untuk mencukupi kebutuhan ATP dilakukan dengan cara glikolisis. Apabila cadangan glikogen telah habis sedangkan mitokondria sudah dalam keadaan inaktivasi, maka proses degradasi sel segera terjadi. Kegagalan mempertahankan struktur dan fungsi sel berakhir dengan nekrosis hepatosit (Lorz, et al., 2005).

Area kerusakan hepatosit terbesar adalah di zona sentral (zona 3) yang mengelilingi vena sentral. Hal ini karena, zona 3 merupakan area lobulus yang mengandung konsentrasi CYP2E1 tertinggi dibanding zona lain sehingga


(34)

metabolit reaktif NAPQI juga lebih banyak terakumulasi di zona sentral (Fawcett, 1997).

Berat ringannya hepatotoksitas parasetamol tergantung pada beberapa faktor. Puasa saat keracunan parasetamol akan memperberat gejala klinik. Hal ini berkaitan dengan rendahnya cadangan glutation dalam hati. Kecepatan pemberian antidotum N-acetylcystein (NAC) akan memperingan gejala hepatotoksitas (Fawcett, 1997).

2.4 Anatomi Hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1,5 kg atau 2,5% dari berat badan pada orang dewasa normal, terleak dirongga perut dibawah diafragma atau di kuadran kanan atas dari rongga abdomen (Fawcett, 1994). Dalam keadaan segar warnanya merah tua atau merah coklat, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).

Secara anatomis hati dibagi menjadi 4 lobus yaitu, lobus kanan, lobus kiri, lobus quadratus, dan lobus kaudatus. Masing-masing lobus dibentuk oleh

lobulus-Gambar 2.3 Gambaran histopatologi hati akibat keracunan parasetamol

menunjukkan adanya gambaran nekrosis di sentrilobuler (10x10) (Junqueira dan Corneiro, 1998).


(35)

lobulus yang merupakan unit funsional dasar dari hepar. Secara keseluruhan, hati dibentuk oleh 100.000 lobulus dengan struktur serupa dan terdiri dari hepatosit, saluran sinusoid yang dikelilingi oleh endotel vakuoler, sel kupfer yang meruppakan bagian dari sistem retikuloendotelial. Struktur ini berbentuk heksagonal dengan diameter 1-2 mm yang mengelilingi vena sentral. Pada tiap sudut struktur heksagonal terdapat traktus portal yang masing masing mengandung cabang-cabang arteri hepatika, vena porta, dan duktus biliaris intra hepatik. Terdapat garis khayal dari tiap-tiap sudut heksagonal sampai ke vena sentral, tiap lobulus akan terbagi menjadi 6 area yang disebut asinus yang berbentuk segitiga dengan vena sentral sebagai puncak (Junqueira dan Corneiro, 1998). Berdasarkan letaknya terhadap suplai darah dari arteri hepatik, maka parenkim asinus dibagi menjadi 3 zona, yaitu: zona 1 (periportal), zona 2 (midzonal), dan zona 3 (zona sentral). Zona 1 adalah daerah yang paling dekat dengan suplai darah dari arteri hepatika, sedangkan zona 3 adalah daerah asinus hepar yang paling dekat dengan vena sentral. Pembagian zona ini sangat berarti secara fungsional karena mempengaruhi gradien komponen di dalam darah dan hepatosit, yang meliputi: kadar oksigen darah dan heterogenitas kadar protein di dalam hepatosit (Fawcett, 1997).

Darah yang masuk ke dalam asinus hati 60-70% mempunyai kandungan oksigen rendah yang berasal dari vena porta, sedangkan sekitar 30-40% darah yang banyak mengandung oksigen berasal dari arteri hepatika. Selama perjalanan darah dari traktus porta ke vena sentra, oksigen secara cepat dilepas untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tinggi dari sel parenkim, sehingga terdapat perbedaan kadar oksigen di zona periportal dan zona sentral. Kadar oksigen di


(36)

zona perip dan Corne Hete mempenga hepatosit y asam lema enzim yan seppanjan tinggi di p (terutama besar di zo 2.4.1 Fisio Kerj 1. pengam melalui pportal seki eiro, 1998). erogenitas aruhi gradie yang kaya m ak, glukone ng terlibat d ng asinus h periportal d isoenzim ona sentral Ga ologi Hati ja terpenting mbilan kom i pembuluh tar 9-13%, kadar prot en fungsi m mitokondria eogenesis, s dalam bioak hati. Glutati dibandingka CYP2E1) t dibandingk

ambar 2.4 A

g hati adala mponen bah porta ke da

sedangkan tein sepanj metabolisme a, sehingga serta detoks ktivitasi dan ion mempu an zona sen

terdapat da kan periporta Anatomi ha ah: han makana alam hepar.

di zona sen

jang peripo hepatosit. Z lebih bany ifikasi amo n detoksifik unyai kadar tral, sedang alam jumlah al (Fawcett,

ati (Lee, et a

an yang dia

ntral hanya 4

ortal samp Zona peripo yak terjadi k

niak menja asi xenobio r dan aktiv gkan protein h dan aktiv , 1997)

al., 1997)

antarkan da

4-5% (Junq

pai zona se ortal mempu kegiatan ok adi urea. Gr otik juga be vitas yang n sitokrom vitas yang ari saluran queira entral unyai sidasi radien rbeda lebih P450 lebih cerna


(37)

2. biosintetis senyawa-senyawa dalam tubuh, penyimpanan, perubahan, dan pemecahan menjadi molekul yang dapat disekresikan.

3. menyediakan secara tetap metabolit dan bahan-bahan pembentuk yang kaya energi bagi organisme.

4. detoksifikasi senyawa-senyawa toksik melalui biotransformasi.

5. eksresi bahan-bahan bersama-sama dengan empedu, pembentukan, serta pemecahan dari banyak komponen plasma darah (Himawan, 1973).

2.4.2 Histologi Kerusakan Hati karena Obat

Sitoplasma berwarna merah jambu agak basofilik dengan pengecatan HE. Warna basofilik berasal dari ribosomal RNA (rRNA). Pada manifestasi awal kerusakan hepar, sejumlah besar rRNA berkurang sehingga warna kebiruan pada sitoplasma menjadi hilang dan sitoplasma nampak pucat. Pembengkakan retikulum endoplasma dan mitokondria membuat gambaran bercak berawan pada sitoplasma (cloudly swelling). Gambaran mikroskopik menunjukkan sel serta organel serta membengkak dan menyebabkan pelebaran kapiler pada sinusoid hati. Hal ini merupakan bentuk degenerasii albuminosa yang bersifat reversible. Penimbunan air dalam sel berlanjut karena jejas terhadap sel semakin berat, akan timbul vakuola-vakuola yang nampak cerah dalam sitoplasma. Bentuk jejas yang lebih parah dibandingkan degenerasi albuminosa ini disebut degenerasi hidropik/degenerasi vakuoler. Apabila jejas berlanjut, maka akan terjadi kerusakan ireversibel pada organel sel yang berakhir dengan kematian sel secara keseluruhan (nekrosis sel). Sel yang nekrotik menunjukkan warna yang lebih eosinofilik karena hilangnya warna basofilik yang dihasilkan oleh rRNA pada sitoplasma serta meningkatnya pengikatan eosin oleh protein sitoplasma yang


(38)

rusak. Sel menjadi lebih mengkilap homogen dibandingkan sel normal, kemungkinan karena hilangnya partikel glikogen. Pada inti sel, kematian sel akan memberikan gambaraninti sebagai berikut (Junquiera dan Corneiro, 1998):

a. kariolisis, berupa hilangnya gambaran basofilik dari gambaran kromatin.

b. kariopiknosis, inti melisut dan terjadi peningkatan warna basofilik. Pada keadaan ini, DNA nampak padat dan menjadi massa basofilik yang solid.

c. kariorheksis, inti yang piknotik atau sebagian piknotik mengalami fragmentasi (Junquiera dan Corneiro, 1998).

2.4.3 Gangguan Fungsi Hati Akibat Toksikan

Kondisi toksisitas hati dipersulit oleh berbagai kerusakan hati dan mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hati sering menjadi organ sasaran zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastroinestinal dan setelah toksikan diserap lalu dibawa ke vena porta kedalam hati. Hati mempunyai kadar enzim yang tinggi untuk memetabolisme

xenobiotic (terutama sitokrom P-450), yang membuat sebagian besar toksikan

menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah dieksresi (Lee, et al., 1994).

Jenis-jenis kerusakan hati yang disebabkan oleh toksikan (Lu, 1994), yaitu: a. Steatosis (Perlemakan hati)

Steatosis atau perlemakan hati yaitu jika hati mengandung berat lipid lebih dari 5% , sehingga terjadi lesi yang bersifat akut maupun kronik. Contoh, tetrasiklin yang menyebabkan banyak butiran lemak kecil dalam suatu sel dan etanol menyebabkan butiran lemak besar sehingga menggantikan inti pada sel.


(39)

Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat lokal (sentral, pertengahan, atau perifer) atau masih, dan biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan sebagai penyebab nekrosis hati. Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena mempunyai kapasitas yang luar biasa untuk pertumbuhan kembali. Contoh penyebab nekrosis yaitu parasetamol, isoniazid, karbon tetraklorida (CCl4), kloroform, dan tetrakloroetan.

c. Sirosis

Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang terbesar disebagian besar hati. Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat. Pada sebagian besar kasus, sirosis disebabkan nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan sehingga terjadi aktivitas fibroblastik dan pembentukan jaringan parut. Penyebab sirosis yang paling penting adalah penggunaan kronis alkohol.

d. Kolestasis

Kolestasis bersifat akut dan lebih jarang ditemukan dibandingkan steatosis dan nekrosis. Kolestasis ditandai dengan berkurangnya aktivitas ekskresi empedu pada membran kanalikulus. Contoh penyebabnya yaitu ANIT (α- naftilisosianat), klorpromazin, dan eritromisin laktobionat.

e. Karsinogenesis

Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum pada hati. Jenis kanker lain yaitu angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati yang tidak


(40)

berdiferensiasi. Contoh penyebab karsinogenesis seperti vinil klorida, aflatoksin, dan dioksin.

f. hepatitis yang mirip hepatitis virus

g. Obat-obat tertentu mengakibatkan suatu sindroma klinis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus. Mekanismenya dapat melalui reaksi hipersensitivitas atau melalui kelainan metabolisme. Contoh halotan, fenitoin, dan iproniazid (Underwood, 1999).


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tahapan penelitian yaitu pengumpulan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia ekstrak, karakterisasi ekstrak, pengujian efek hepatoprotektif ekstrak etanol daun afrika terhadap tikus putih jantan dengan parameter gambaran kerusakan histologi hati dari tikus putih jantan.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, blender (National), lemari pengering, oven listrik, neraca kasar (OHAUS), neraca listrik, seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, desikator, stopwatch, mortir dan stamfer, rotary evaporator (Heidolph VV-300), neraca hewan (Presica), spuit 1 ml (Terumo), vial, water bath, hot plate,

object glass, cover glass, oral sonde, alat bedah (wells spencer), mikroskop

(Boeco), mikropipet, microtube, mikroskop (Boeco, BM-180, Halogen Lamp)

3.1.2 Bahan-bahan

Daun afrika, etanol 96% (destilasi), toluena (p.a), air suling, kalium iodida (p.a), merkuri (II) klorida, bismut nitrat, asam nitrat, iodium, α-naftol, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, etanol (teknis), eter minyak tanah (teknis), etil asetat (teknis), serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, karboksi metil selulosa (CMC) (teknis), parafin histoplast (FisherfinestTM) .


(42)

3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi 3.2.1 Larutan Pereaksi Mayer

Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan larutan 1,36 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.2 Larutan Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.3 Larutan Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu ditambah air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.4 Larutan Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.5 Larutan Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 2 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat (Harborne, 1987).

3.2.6 Larutan Pereaksi Besi (III) Klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring (Ditjen POM, 1995).


(43)

3.2.7 Larutan Pereaksi Timbal (II) Asetat

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.8 Larutan Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1979).

3.2.9 Larutan Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1979).

3.2.10 Larutan Formalin 10%

Sebanyak 4 gram natrium dihidrogen phospat dilarutkan dalam air suling kemusian ditambahkan 6,5 gram dinatrium dihidrogen phospat diaduk hingga larut. Ditambahkan 100 ml formalin 37% dan ditambahkan air suling hingga 1000 ml.Cek pH menggunakan pH meter (pH 6-7).

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pengumpulan Tumbuhan

Pengumpulan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun afrika yang diambil dari Jl. Taut 2 No. 72, Kelurahan Tangkahan, Kecamatan Medan Labuhan, Sumatera Utara. Daun yang diambil adalah daun yang tua.

3.3.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor


(44)

3.3.3 Pembuatan Simplisia

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun Afrika yang masih segar. Daun dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang (diperoleh berat basah sebesar 2,63 kg). Selanjutnya, daun tersebut dikeringkan selama 3 hari dalam lemari pengering dengan temperatur 40oC sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh). Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup dan di simpan pada suhu kamar. Kemudian serbuk ditimbang (diperoleh berat kering sebesar 600 g).

3.3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut asam (WHO, 1992; Ditjen POM, 1995).

3.3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada daun segar dan simplisia meliputi pemeriksaan warna, bau, rasa, ukuran, dan bentuk daun afrika.

3.3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap daun afrika segar dan serbuk simplisia daun afrika. Daun afrika dipotong melintang lalu diletakkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, selanjutnya diamati di bawah mikroskop. Begitu juga halnya pemeriksaan pada serbuk simplisia.


(45)

3.3.4.3 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml; alat penampung dan pemanas listrik. Cara kerja:

Sebanyak 200 ml toluena dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).

3.3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa


(46)

dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.4.5 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.4.6 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.4.7 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu


(47)

yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.5 Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavoinoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.

3.3.5.1 Pemeriksaan Flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.3.5.2 Pemeriksaan Alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).


(48)

3.3.5.3 Pemeriksaan Saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.3.5.4 Pemeriksaan Tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.3.5.5 Pemeriksaan Glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya ditambahkan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes RI, 1995).


(49)

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml proteleum eter selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1984).

3.3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Afrika

Sebanyak 500 g serbuk simplisia daun Afrika dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap lalu dimaserasi dengan etanol 96% selama 5 hari terlindung dari cahaya matahari sambil sering diaduk, setelah 5 hari hasil maserasi disaring dan diperas dengan kertas saring lalu ampas ditambahkan cairan penyari secukupnya sehingga diperoleh seluruh maserat sebanyak 5 liter, kemudian didiamkan selama 2 hari dan dienap tuangkan. Maserat diuapkan dengan bantuan alat penguap rotary evaporator pada temperatur tidak lebih dari 70oC kemudian diuapkan di atas penangas air hingga diperoleh ekstrak kental (Ditjen POM, 1979).

3.3.7 Pemeriksaan Karateristik EEDA

Pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol daun afrika meliputi, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam. Prosedur pemeriksaan ekstrak etanol daun afrika sama seperti prosedur karakterisasi simplisia daun afrika.

3.3.8 Pemeriksaan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Afrika

Prosedur pemeriksaan golongan senyawa kimia ekstrak etanol daun afrika dilakukan sama seperti prosedur untuk pemeriksaan skrining fitokimia


(50)

serbuk simplisia yaitu pemeriksaan flavoinoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.

3.3.9 Uji Aktivitas Hepatoprotektif

Pengujian aktivitas hepatoprotektif peroral meliputi penyiapan hewan percobaan, suspensi CMC 1% (kontrol), suspensi ekstrak daun afrika, parasetamol, dan uji efek hepatoprotektif.

3.3.9.1 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah tikus dengan berat 180 ± 10 g dibagi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus.

Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua tikus dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih satu minggu untuk penyesuaian lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan makanannya.

3.3.9.2 Penyiapan Suspensi CMC 1%

Pembuatan suspensi CMC 1% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.3.9.3 Penyiapan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Afrika (EEDA)

Pembuatan suspensi EEDA dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan sebanyak 1 g ekstrak


(51)

etanol daun afrika ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.3.9.4 Penyiapan Suspensi Parasetamol

Pembuatan suspensi parasetamol dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 250 mg CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 8 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel. Ditambahkan sebanyak 2 g parasetamol ke dalam lumpang, kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambah air suling sampai batas tanda.

3.3.9.5 Percobaan Hewan Uji

Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor hewan percobaan. Kelompok tersebut adalah:

- Kelompok I : Kontrol normal, hewan percobaan diberikan makanan standar selama 8 hari berturut-turut dan tidak diinduksi dengan parasetamol satu kali sehari.

- Kelompok II : Kontrol negatif, hewan percobaan diberikan makanan standar selama 7 hari berturut-turut kemudian pada hari ke-8 diberikan parasetamol dosis tunggal 2000 mg/kgbb (satu kali dioral) satu kali sehari tanpa diberikan ekstrak uji.

- Kelompok III : Kelompok perlakuan, hewan uji diberikan makanan standart dengan EEDA dosis 25 mg/kgbb selama 7 hari berturut-turut kemudian pada hari ke-8 diberikan parasetamol dosis tunggal 2000 mg/kgbb satu kali sehari (satu kali di oral).


(52)

- Kelompok IV : Kelompok perlakuan, hewan uji diberikan makanan standart dengan EEDA dosis 50 mg/kgbb selama 7 hari berturut-turut kemudian pada hari ke-8 diberikan parasetamol dosis tunggal 2000 mg/kgbb satu kali sehar (satu kali di oral).

- Kelompok V : Kelompok perlakuan, hewan uji diberikan makanan standart dengan EEDA dosis 125 mg/kgbb selama 7 hari berturut-turut kemudian pada hari ke-8 diberikan parasetamol dosis tunggal 2000 mg/kgbb satu kali sehari (satu kali di oral).

3.3.9.6 Pengambilan Organ Hati Hewan Uji

Pengambilan organ hati pada tikus dilakukan pada hari ke-9 atau 24 jam setelah pemberian parasetamol. Organ hati yang telah diambil, difiksasi dengan larutan buffer netral formalin 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Kondisi organ dalam larutan buffer netral formalin 10% terendam seluruhnya dan waktu perendamannya tidak kurang dari 48 jam.

3.3.9.7 Pemeriksaan Histopatologi Organ Tikus

Pemeriksaan histopatologi organ tikus dengan pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin. Proses pembuatan preparat histopatologi dan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin:

1. Penyiapan organ hati untuk dipotong

Jaringan yang akan dibuat sediaan histopatologi difiksasi dalam larutan Buffer Netral Formalin (BNF) 10% minimal 48 jam hingga mengeras (matang). Sampel organ yang terfiksasi dengan sempurna ditrimming setebal ± 0,5 cm. Potongan kemudian dimasukkan dalam tissue cassette untuk dimasukkan dalam automatic tissue processor.


(53)

2. Dehidrasi

Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan mencegah terjadinya pengerutan sampel yang akan diuji. Dehidrasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan alkohol absolut). Proses perendaman masing-masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Proses dehidrasi dilakukan dengan menggunakan mesin otomatis yaitu automatic tissue

processor.

3. Clearing

Proses clearing atau penjernihan dilakukan dengan 2 tahap dengan menggunakan xylol I dan xylol II. Penggunaan xylol dimaksudkan untuk melarutkan alkohol dan parafin.

4. Infiltrasi

Infiltrasi dan impregnasi adalah proses pengisian parafin kedalam pori-pori jaringan. Pengisian pori-pori ini dimaksudkan untuk mengeraskan jaringan agar mudah dipotong dengan pisau mikrotom. Parafin yang digunakan adalah parafin histoplast®.

5. Embedding atau Blocking

Embedding atau blocking adalah proses penanaman jaringan dalam blok

parafin. Parafin yang digunakan parafin histoplast. Proses embedding dilakukan dengan menggunakan alat tissue embedding console.

6. Sectioning

Sectioning adalah proses pemotongan jaringan dengan menggunakan


(54)

rotary microtom. Dimasukkan ke dalam waterbath, agar parafin mencair dari dalam organ yang telah dipotong, kemudian organ diambil menggunakan

object glass dan disimpan dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam.

7. Pewarnaan Haematoxyllin-Eosin

Sebelum melakukan pewarnaan, preparat histopatologi dideparafinisasi dengan larutan xylol (I dan II) selama 2 menit. Kemudian dilakukan proses rehidrasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat (alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 90%, alkohol 80%). Perendaman dalam alkohol 95% dan 80% dilakukan selama 1 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan air yang mengalir (air kran) selama 1 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna Mayer’s Haematoxyllin dengan tahapan sebagai berikut:

a. preparat direndam dalam larutan Mayer’s Haematoxyllin selama 8 menit b. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik

c. dicelupkan ke dalam larutan Lithium Carbonat selama 15-30 detik d. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit

e. direndam dalam larutan Eosin selama 2-3 menit

f. dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30-60 detik

g. preparat dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95% dan alkohol absolut sebanyak 10 kali celupan, absolut I selama 2 menit, xylol I selama 1

menit dan xylol II selama 2 menit.

8. Setelah pewarnaan, sediaan ditetesi perekat Canada balsem (Entellan®) dan ditutup dengan cover glass.


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Tumbuhan yang telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(Indonesian Institute of Science) Pusat Penelitian Biologi (Research Center for

Biology), Bogor adalah Vernonia sp. suku Compositae. Hasil identifikasi

tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 61.

4.2 Hasil Karakteristik Simplisia dan EEDA

Pemeriksaan makroskopik bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri fisik simplisia suatu tumbuhan, seperti bentuk, bau dan rasa, sedangkan pemeriksaan mikroskopik bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi suatu simplisia tumbuhan. Hasil pemeriksaan makroskopik daun Afrika segar memiliki bentuk daun oval-elips, ujung dan pangkal daun meruncing, susunan tulang daun menyirip, tepi daun bergerigi dan kasar, permukaan berambut sangat halus, panjang 15 cm - 19 cm, lebar 5 cm - 8 cm, berwarna hijau muda dan rasanya pahit dan diikuti rasa manis.

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun afrika dicirikan dengan daun berwarna hijau kecoklatan, panjang 12 cm - 16 cm, lebar 3,5 cm - 5 cm, rasa pahit, dan berbau khas. Serbuk simplisia berwarna hijau kecoklatan dan berbau khas.

Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu yang tidak larut asam pada serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun afrika dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(56)

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dan EEDA

No Parameter

Hasil (%)

Simplisia Ekstrak 1.

2. 3 4 5

Penetapan kadar air

Penetapan kadar sari larut dalam air Penetapan kadar sari larut dalam etanol Penetapan kadar abu total

Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

7,98 25,89 14,89 9,74 0,70

4,79 37,24 48,12 5,60 0,20

Ekstraksi serbuk daun afrika dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 96%, ekstrak cair (maserat) dari 500 g serbuk simplisia daun Afrika yang dimaserasi, dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 61,096 gram (Rendemen 22,8%).

Hasil karakterisasi simplisia daun Afrika menunjukkan hasil penetapan kadar air diperoleh lebih kecil dari 10% yaitu 7,98%. Persyaratan kadar air simplisia daun afrika tidak ditetapkan Materia Medika Indonesia. Namun, kadar air yang melebihi 10% dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur atau serangga, serta mendorong kerusakan karena terjadi proses hidrolisis (Trease, 1983; WHO, 1992).

Penetapan kadar sari dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non polar.


(57)

Hasil karakterisasi simplisia daun afrika menunjukkan kadar sari yang larut dalam air sebesar 25,89%; sedangkan kadar sari yang larut dalam etanol sebesar 14,89%. Kadar sari yang larut dalam air lebih besar dari kadar sari yang larut dalam etanol karena senyawa bersifat polar lebih banyak larut di dalam pelarut air dari etanol, dan senyawa yang tidak larut di pelarut air akan larut di dalam pelarut etanol. Air dapat melarutkan zat lain yang tidak diperlukan seperti gom, pati, protein, lemak, lendir dan lain-lain, hal ini yang menyebabkan tingginya kadar sari yang larut dalam air dari tanaman yang dilarutkan (Depkes, 1986).

Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral internal (abu fisiologis) yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri, dan eksternal (abu non-fisiologis) yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan tanah yang terdapat di dalam sampel (Ditjen POM 2000; WHO, 1992). Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1992). Penetapan kadar abu pada simplisia daun afrika menunjukkan kadar abu total sebesar 9,74% dan kadar abu tidak larut dalam asam sebesar 0,70%. Kadar abu total pada umumnya untuk masing-masing simplisia tidak sama. Umumnya syarat kadar abu tidak larut dalam asam < 1%, dan memenuhi persyaratan.

Monografi simplisia daun afrika tidak terdaftar di buku Materia Medika Indonesia (MMI), sehingga perlu dilakukan pembakuan secara nasional mengenai parameter karakterisasi simplisia daun afrika.


(58)

Standar karakteristik ekstrak belum tercantum dalam monografi parameter ekstrak tumbuhan Indonesia, sehingga perlu pembakuan secara nasional mengenai parameter karakterisasi ekstrak etanol daun afrika.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan EEDA

Penentuan golongan senyawa kimia simplisia dan ekstrak etanol daun afrika dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun afrika adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, tanin, saponin, glikosida dan glikosida jantung. Hasil pemeriksaan penentuan golongan senyawa kimia daun afrika dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDA

No Skrining

Hasil Pengamatan

Simplisia Ekstrak etanol

1 Alkaloid (-) (-)

2 Flavonoid (+) (+)

3 Saponin (+) (+)

4 Tanin (+) (+)

5 Triterpenoid/Steroid (+) (+)

6 Glikosida (+) (+)

Keterangan : (+) = mengandung golongan senyawa (-) = tidak mengandung golongan senyawa

Pada Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa simplisia dan EEDA memiliki kandungan senyawa kimia yang sama yaitu flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid. Ini disebabkan oleh sifat etanol yang memiliki gugus


(59)

hidroksil polar dan gugus alkil yang bersifat nonpolar (Wilbraham dan Matta, 1992). Selain itu, pelarut etanol sangat efektif untuk mengikat senyawa-senyawa seperti fixed oils, lemak, lilin, alkaloid, flavon, polifenol, tanin, saponin, aglikon dan glikosida (Filho, 2006).

4.4 Hasil Uji Aktivitas Hepatoprotektif

Pada penelitian ini dengan pemberian ekstrak etanol daun Afrika dosis 25 mg/kg BB; 50 mg/kg BB; dan 125 mg/kg BB yang diberikan 7 hari berturut-turut. Setelah itu, diberikan parasetamol dosis 2000 mg/kg BB secara oral pada hari ke-8. Sampel kemudian diambil organ hatinya pada hari ke-9, organ hati difiksasi dengan buffer netral formalin 10%. Selanjutnya, dilakukan proses histopatologi dengan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin hal ini didasari pada penelitian Wiryawan, (2008).

Penggunaan parasetamol secara terus menerus dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati karena terbentuknya ikatan antara makromolekul sel hati dengan metabolit intermediet parasetamol (Clark, 1973). Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim mikrosomal hati. Di hati, parasetamol akan mengalami biotransformasi dan sebagian besar dieksresikan setelah berkonjugasi dengan glukuronat (60%), asam sulfat (3%) dan sistein (3%). Konsumsi parasetamol dosis tinggi, menyebabkan parasetamol mengalami N-hidroksilasi dan secara spontan mengalami dehidrasi membentuk metabolit NAPQI.

Selain itu dilaporkan bahwa kerusakan sel hati akibat parasetamol karena adanya pembentukkan radikal bebas melalui reaksi peroksidasi lipid yang akan menghasilkan lipid peroksida. Radikal bebas didefinisikan sebagai molekul atau senyawa yang mempunyai satu atau lebih elektron bebas yang tidak mempunyai


(60)

pasangan. Elektron dari radikal bebas yang tidak berpasangan sangat reaktif dan mudah menarik elektron dari molekul lainnya. Radikal bebas sangat mudah menyerang sel-sel sehat dalam tubuh karena radikal bebas tersebut sangat reaktif. Radikal bebas tidak hanya menyerang bakteri penyakit, tetapi juga tubuh sendiri bila radikal bebas dalam tubuh berlebihan.

Radikal bebas dapat dinetralisir oleh antioksidan, yang merupakan senyawa penting dalam menjaga kesehatan tubuh, karena berfungsi untuk menangkap radikal bebas yang banyak terbentuk dalam tubuh. Dapat dikatakan, antioksidan menyelamatkan sel-sel tubuh dari kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Antioksidan menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif, membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabi.

Pada penelitian ini ekstrak etanol daun Afrika diharapkan dapat bertindak sebagai hepatoprotektor pada tikus yang diinduksi parasetamol. Adanya kandungan flavonoid (amygdalin) pada ekstrak etanol daun Afrika tersebut menghambat radikal bebas yang yang reaktif untuk menghambat kerusakan hati tikus.


(61)

4.4.1 Evaluasi Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan pada sediaan organ hati tikus di bawah mikroskop dengan menggunakan pembesaran 10 x 10.

Tabel 4.3 Hasil histopatologi hati tikus berdasarkan kerusakan hepatosit

Kelompok

Jenis kerusakan hepatosit

Radang Degenerasi Hidropik Nekrosis

KN - - -

Kneg +++ - +++

Dosis 25 mg/kg BB +++ - ++

Dosis 50 mg/kg BB - ++ -

Dosis 125 mg/kg BB - + -

Keterangan : Kontrol normal (KN); Kontrol negatif (KNeg) Keterangan tingkat keparahan:

(-) : Normal (+) : Ringan (++) : Sedang (+++) : Parah

Berdasarkan Tabel 4.3, dapat dijelaskan bahwa kelompok kontrol normal menunjukkan gambaran histologi yang yang normal yaitu dengan menunjukkan hepatosit tersusun radial dalam lobulus hati. Lempeng-lempeng berjalan dari perifer lobulus menuju ke bagian tengahnya dan membentuk suatu labirin dan struktur yang menyerupai busa. Celah antara lempeng-lempeng ini mengandung sinusoid-sinusoid kapiler, dinamakan sinusoid hati. Sinusoid merupakan pembuluh yang melebar tidak teratur dan hanya terdiri atas satu lapisan endotel yang tidak kontinyu (Junqueira dan Corneiro,1998).


(62)

Gambar 4.1 Histologi hati tikus putih kontrol normal yang menunjukkan hepatosit tersusun radial (10 x 10)

Keterangan Gambar : A (Sinusoid yang membatasi antara lempeng lempeng hepatosit); B (Vena sentral); C (Hepatosit yang tersusun

secara radial)

B C

B

B C

A  B

C

Inti sel (Hepatosit ) normal (10x40)


(63)

Kelompok kontrol negatif (Gambar 4.2) memiliki derajat perubahan gambaran histologi yang terberat dengan kelompok perlakuan lainnya. Kerusakan hati yang terjadi dikarenakan induksi parasetamol dosis toksik yang diberikan. Hasil metabolisme parasetamol membentuk senyawa NAPQI, yang pada dosis toksik menyebabkan kadar GSH dalam sel hati berkurang sehingga terjadi cedera pada sel-sel hati (Mayes, 2008).

Perubahan struktur hepar akibat obat yang dapat tampak pada pemeriksaan mikroskopis antara lain radang, degenerasi, dan nekrosis. Adanya radang menunjukan reaksi pertahanan tubuh melawan berbagai zat-zat asing yang masuk ke dalam tubuh, di mana pada mikroskop tampak kumpulan sel-sel fagosit. Degenerasi terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga cairan masuk ke dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi akumulasi cairan karena sel yang sakit tidak dapat menyingkirkan cairan yang masuk. Sampai akhirnya terjadi nekrosis yaitu kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen (karioeksis) dan kemudian sel menjadi eosinofilik (kariolisis). Sel hati yang mengalami nekrosis dapat meliputi daerah yang luas atau kecil (Underwood, 1994).

Inti sel mengalami nekrosis (10x40)


(1)

  Velocity 18R refrigerated centrifuge

 

Oral Sonde + Spuit  

   


(2)

  Peralatan Bedah

 

   

Mikroskop


(3)

  Tikus sebelum dibedah

   


(4)

Lampiran 17. Contoh Perhitungan Dosis

Contoh perhitungan dosis ekstrak etanol daun Afrika yang akan diberikan

pada tikus secara per oral (p.o.)

- Dosis suspensi ekstrak etanol daun Afrika yang akan dibuat adalah 25 mg/kg bb, 50 mg/kg bb, dan 125 mg/kg bb

a. Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol daun Afrika :

b. Pembuatan ekstrak etanol daun afrika 25 mg/kg bb, 50 mg/kg bb, dan 125 mg/kg bb

misal : berat tikus 180 g

maka : untuk ekstrak etanol daun afrika 25 mg/kg bb adalah : = 25 mg/kg bb x 180 g

= 25 mg/kg bb x 0,180 kg bb = 4,5 mg

Dan volume ekstrak yang diberikan = (4,5 mg : 25 ml) x 1 ml = 0,18 ml

Lampiran 17. (Lanjutan)

Konsentrasi ekstrak  = 

1 gram   


(5)

Contoh perhitungan dosis Parasetamol yang akan diberikan pada tikus

secara per oral (p.o.)

- Dosis toksik Parasetamol untuk manusia dewasa = 2000 mg

- Konversi dosis manusia (70 kg) ke dosis untuk hewan uji ‘Tikus’ dikali 0,018.

- Syarat volume maksimum larutan sediaan uji yang diberikan pada hewan uji tikus (200 g) secara per oral (p.o.) adalah 5,0 ml.

a. Berapa dosis Parasetamol (dalam mg/kg bb) untuk tikus ? - Dosis Parasetamol untuk tikus (200 g) = 2000mg x 0,018

= 36mg

- Dosis Parasetamol untuk tikus (200 g) = 36 mg , maka dosis Parasetamol untuk tikus 200 g.

- Jadi, dosis (mg/kg bb) 36 mg = X 200g 1kg

X = 36 mg x 1kg = 180 mg 0,2 kg

- Maka dosis Parasetamol adalah 0,18 mg/kg bb

b. Berapa jumlah dan volume suspensi Parasetamol yang diberikan untuk tikus ?

- Pembuatan Suspensi Parasetamol :


(6)

-Mis : BB Tikus = 200 g

Jumlah serbuk Parasetamol yang diberikan= 180 mg/kg bb x 0,2 kg bb = 36 mg

Volume larutan yang diberi = 36 mg x 25 ml 2000 mg

= 0,45 ml