Prevalensi Xerostomia Pada Lansia Di Upt Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 Chapter III VI
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan cross
sectional. Setiap lansia yang menjadi subjek penelitian diobservasi hanya satu kali
saja. Penggunaan obat-obatan dan penyakit sistemik yang diderita diketahui melalui
data rekam medik serta terjadinya xerostomia diukur menurut keadaan atau status saat
diobservasi.36
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai yang
berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan GG. Sasana No.2 Kel. Cengkehturi Binjai.
Pemilihan panti jompo ini dikarenakan pada panti ini terdapat kelompok lansia
sehingga akan memudahkan peneliti menemukan subjek penelitian lansia. Waktu
penelitian adalah bulan Februari 2016 sampai seluruh jumlah sampel terpenuhi.
3.3
Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah para lansia yang menghuni UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah para lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai dengan perhitungan besar sampel menggunakan rumus penaksiran
proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak).37
n = Za2 x P x (1- P)
d2
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
n : ukuran sampel yang diperlukan
d : persisi relative 10% (0,1)
P : proporsi populasi diambil berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Tumengkol dkk (2011) yaitu mengunakan persentase
gambaran xerostomia pada lansia di Desa Kembuan Kecamatan Tondano
Utara yaitu sebesar 45,45% (0,4545).
Z : nilai kepercayaan 0,95% = 1,96
n = Za2 x P x (1- P)
d2
n = (1,96)2 x 0,4545 x (1-0,4545)
(0,1)2
n = 95,24
Besar sampel minimum yang didapati adalah 95,24 atau 96 orang. Maka
jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 100 orang. Metode
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode non probability sampling
jenis purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang memenuhi persyaratan
artinya, memenuhi kriteria yang dapat dijadikan sampel.36
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.3.1 Kriteria Inklusi
1.
Lansia berusia 60 tahun ke atas.
2.
Lansia yang setuju menjadi subjek penelitian.
3.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1.
Tidak kooperatif dalam mengikuti prosedur penelitian.
2.
Lansia yang mempunyai kebiasaan merokok.
Universitas Sumatera Utara
3.4
Identifikasi Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Lansia
3.4.2 Variabel Terikat
Xerostomia
3.5
Definisi Operasional
1.
Lansia adalah kelompok usia lanjut yang mengalami proses menua (60
tahun ke atas).1
a.
Usia adalah perhitungan ulang tahun responden yang dihitung sejak
tahun lahir sampai ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian.38 Cara ukur adalah
melihat identitas lansia dari daftar nama para lansia di UPT dan ditulis dalam lembar
pemeriksaan dalam satuan tahun.
b.
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-
laki dan perempuan sejak seseorang lahir.38 Cara ukur adalah melihat identitas lansia
dari daftar nama para lansia di UPT dan ditulis dalam lembar pemeriksaan.
c.
Penyakit sistemik adalah kondisi yang diderita oleh lansia seperti
penyakit gastrointestinal, penyakit hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes
mellitus, penyakit ginjal, penyakit neurologik, penyakit psikologik dan penyakit
respiratori.9 Cara ukur adalah melalui data rekam medik.
d.
Obat-obatan adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan oleh
lansia dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
peningkatan kesehatan seperti obat antihipertensi (contoh Captopril®), obat
gastrointestinal (contoh Antasida®) dan obat respiratori (contoh Salbutamol®).39 Cara
ukur adalah melalui data rekam medik.
2.
Xerostomia adalah kondisi kekeringan pada rongga mulut lansia.21
Cara ukur adalah melalui pemeriksaan klinis dengan melihat tanda klinis yang
tampak pada ekstraoral dan intraoral seperti bibir retak, kaca mulut akan terasa
lengket apabila disentuhkan ke dasar lidah ataupun mukosa bukal, saliva berbuih,
Universitas Sumatera Utara
genangan saliva pada dasar mulut tidak ada, kehilangan papila lidah, terjadi
perubahan pada permukaan gingiva, mukosa oral berkilat seperti kaca terutama pada
bagian palatal, lobul atau fisur pada lidah dan terdapat debris pada mukosa palatal.32
3.6
Sarana Penelitian
3.6.1 Alat
1.
Alat tulis
2.
Kaca mulut
3.
Nerbeken
4.
Lampu senter
5.
Lembar pemeriksaan
3.6.2 Bahan
1.
Sarung tangan
2.
Masker
3.
Tisu
4.
Alkohol
5.
Air
6.
Povidon iodin
3.6.3 Formulir Pencatatan
Formulir pencatatan terdiri dari blanko lembar pemeriksaan yang mencakup
data demografi (nama, umur, jenis kelamin), penyakit sistemik, obat-obatan dan
pemeriksaan klinis xerostomia (pemeriksaan ekstraoral dan intraoral).
3.7
Metode Pengumpulan Data
Setelah kelompok lansia diberi informasi tentang tujuan penelitian ini dan
menandatangani informed consent, peneliti mengisi data demografi yang diperoleh
dari daftar nama lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
Selain itu, juga diisi data mengenai penggunaan obat-obatan dan penyakit sistemik
Universitas Sumatera Utara
didapatkan dari data rekam medik. Kemudian peneliti melakukan pemeriksaan klinis
xerostomia yang mencakup pemeriksaan ekstraoral dan intraoral untuk membuktikan
ada atau tidaknya xerostomia.
3.8
Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan kelompok lansia
kemudian dianalisis secara manual dan ditabulasikan.
3.9
Analisis Data
Data yang sudah terkumpul ditabulasikan dan analisa data dilakukan dengan
cara perhitungan persentase yang meliputi:
1.
Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan usia.
2.
Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin.
3.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
4.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan usia.
5.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan jenis
kelamin.
6.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan penyebab.
7.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab penyakit sistemik.
8.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab obat-obatan.
Universitas Sumatera Utara
3.10 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut:
1.
Ethical Clearance
Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik
penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun
nasional.
2.
Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam
penelitian yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani
lembar persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
3.
Kerahasiaan (Confidentiality)
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data kelompok bukan bentuk
data pribadi subjek.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1
Data Demografi Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari 100 orang lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Berdasarkan usia, pada penelitian ini lansia dibagi
atas 3 kelompok usia menurut World Health Organization (WHO) yaitu pada
kelompok usia lanjut (60-74 tahun) sebanyak 56 orang (56%), kelompok usia tua (7590 tahun) sebanyak 44 orang (44%) dan kelompok usia sangat tua (>90 tahun)
sebanyak 0 orang (0%) (Tabel 1).
Tabel 1: Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan usia.
Usia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
60 – 74
56
56%
75 – 90
44
44%
>90
0
0%
Jumlah
100
100%
Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini terdapat laki-laki sebanyak 42
orang (42%), sedangkan perempuan sebanyak 58 orang (58%) (Tabel 2).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2: Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Persentase (%)
42
42%
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
4.2
58
58%
100
100%
Frekuensi Xerostomia
Hasil penelitian ini menunjukkan lansia yang mengalami xerostomia ketika
dilakukan penelitian adalah sebanyak 53 orang (53%), sedangkan yang tidak
mengalami xerostomia adalah sebanyak 47 orang (47%) (Tabel 3).
Tabel 3: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
Xerostomia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Xerostomia (+)
53
53%
Xerostomia (-)
47
47%
Jumlah
100
100%
Sebanyak 53 orang lansia yang mengalami xerostomia menunjukkan usia
yang berbeda-beda. Lansia yang menderita xerostomia lebih banyak ditemukan pada
kelompok usia tua 75-90 tahun yaitu 31 orang (58,49%), sedangkan pada kelompok
usia lanjut 60-74 tahun ditemukan 22 orang (41,51%) (Tabel 4).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan usia.
Xerostomia
Usia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
60 – 74
22
41,51%
75 – 90
31
58,49%
>90
0
0%
Jumlah
53
100%
Penelitian menunjukkan dari 53 orang yang mengalami xerostomia,
sebanyak 36 orang (67,92%) adalah perempuan dan 17 orang (32,07%) adalah lakilaki (Tabel 5).
Tabel 5: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan jenis
kelamin.
Xerostomia
Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Laki-laki
17
32,07%
Perempuan
36
67,92%
Jumlah
53
100%
Penelitian menunjukkan 53 orang mengalami xerostomia. Diantara 53 orang,
50 orang (94,34%) lansia tersebut memiliki penyakit sistemik dan mengonsumsi
obat-obatan, sementara 3 orang (5,66%) diduga karena penyebab lain (Tabel 6).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan
penyebab.
Xerostomia
Faktor Penyebab
Frekuensi (n)
Persentase (%)
a. Penyakit sistemik +
50
94,34%
Obat-obatan
b. Penyebab lain
3
5,66%
53
100%
Jumlah
Pada penelitian ini, dari 53 orang lansia yang xerostomia menunjukkan
bahwa sebanyak 13 orang (24,53%) memiliki penyakit hipertensi, diikuti penyakit
hipertensi + Rheumatoid arthritis sebanyak 10 orang (18,87%), penyakit respiratori
sebanyak 7 orang (13,21%), penyakit rheumatoid arthritis sebanyak 6 orang
(11,32%), penyakit gastrointestinal sebanyak 6 orang (11,32%), penyakit hipertensi +
penyakit gastrointestinal sebanyak 3 orang (5,66%), penyakit diabetes mellitus
sebanyak 3 orang (5,66%) dan penyakit diabetes mellitus + Rheumatoid arthritis
sebanyak 2 orang (3,77%). Sementara itu, 3 orang (5,66%) lansia yang xerostomia
ditemukan tidak memiliki penyakit sistemik (Tabel 7).
Tabel 7: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab penyakit sistemik.
Xerostomia
Penyakit Sistemik
Frekuensi (n)
Persentase (%)
a. Penyakit hipertensi
13
24,53%
b. Penyakit hipertensi +
rheumatoid arthritis
10
18,87%
Ada penyakit sistemik:
Universitas Sumatera Utara
Xerostomia
Penyakit Sistemik
Frekuensi (n)
Persentase (%)
c. Penyakit respiratori
7
13,21%
d. Penyakit rheumatoid
arthritis
6
11,32%
e. Penyakit gastrointestinal
6
11,32%
f. Penyakit hipertensi +
Penyakit gastrointestinal
3
5,66%
g. Penyakit diabetes mellitus
3
5,66%
h. Penyakit diabetes mellitus +
rheumatoid arthritis
2
3,77%
3
5,66%
53
100%
Tidak memiliki penyakit sistemik
Jumlah
Pada penelitian ini, dari 53 orang lansia yang xerostomia menunjukkan
bahwa sebanyak 13 orang (24,53%) sedang mengonsumsi obat antihipertensi, diikuti
obat antihipertensi + obat rheumatoid arthritis sebanyak 10 orang (18,87%), obat
respiratori sebanyak 7 orang (13,21%), obat rheumatoid arthritis sebanyak 6 orang
(11,32%), obat gastrointestinal sebanyak 6 orang (11,32%), obat antihipertensi + obat
gastrointestinal sebanyak 3 orang (5,66%), obat antidiabetik sebanyak 3 orang
(5,66%) dan obat antidiabetik + obat rheumatoid arthritis sebanyak 2 orang (3,77%).
Sementara itu, 3 orang (5,66%) lansia yang xerostomia ditemukan tidak
mengonsumsi obat-obatan (Tabel 8).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab obat-obatan.
Xerostomia
Obat-obatan
Frekuensi (n)
Persentase (%)
a. Obat antihipertensi
13
24,53%
b. Obat antihipertensi + Obat
rheumatoid arthritis
10
18,87%
c. Obat respiratori
7
13,21%
d. Obat rheumatoid arthritis
6
11,32%
e. Obat gastrointestinal
6
11,32%
f. Obat antihipertensi + Obat
gastrointestinal
3
5,66%
g. Obat antidiabetik
3
5,66%
h. Obat antidiabetik + Obat
rheumatoid arthritis
2
3,77%
Tidak mengonsumsi obat-obatan
3
5,66%
53
100%
Ada mengonsumsi obat-obatan:
Jumlah
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menetapkan bahwa batasan usia lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. Usia
harapan hidup dapat menunjukkan transisi epidemiologi dalam bidang kesehatan
akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan yang dihubungkan dengan penyakit
degeneratif.40 Dengan demikian, pada penelitian ini lansia usia 75-90 tahun
ditemukan lebih sedikit (44%) dibandingkan usia 60-74 tahun (56%). Sementara usia
> 90 tahun dapat ditemukan pada pengumpulan data namun tidak memenuhi kriteria
penelitian karena masalah kesehatan seperti stroke dan tidak dapat berkomunikasi.
Berdasarkan jenis kelamin, lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Binjai Tahun 2016 paling banyak adalah perempuan (58%). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Badan Pusat Statistik RI, berdasarkan jenis kelamin, lansia yang paling
banyak adalah perempuan.40 Menurut data yang dilaporkan WHO, usia harapan hidup
perempuan di seluruh dunia secara statistik lebih tinggi daripada usia harapan hidup
laki-laki. Laki-laki mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi daripada
perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah faktor
sosial, ekonomi dan perilaku seperti kebiasaan buruk misalnya merokok, aktivitas
selama hidup, dimana secara umum laki-laki memiliki peran lebih banyak dalam
bertanggungjawab mencari nafkah sehingga rentan terhadap penyakit ataupun lebih
beresiko terhadap kecelakaan. Selain itu, faktor biologi menjadi faktor dasar yang
menyebabkan rendahnya angka harapan hidup laki-laki. Secara biologis, laki-laki
memiliki kromosom XY dan perempuan memiliki kromosom XX. Kromosom X
mengandung 1100 gen yang berperan dalam pengaturan hormon serta fungsi vital
tubuh lainnya seperti pembekuan darah, metabolisme dan perkembangan janin.
Sementara, kromosom Y hanya mempunyai kurang dari 100 gen yang berfungsi
hanya untuk pembentukan dan perkembangan testes dan hormonal. Dengan ini,
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang memiliki 2 kromosom X sehingga dapat lebih tahan terhadap gejalagejala penurunan fungsi tubuh daripada laki-laki.41
Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 53% lansia mengalami
xerostomia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Abdullah,
ditemukan sebanyak 33,33% lansia mengalami xerostomia, sedangkan penelitian
Tumengkol dkk ditemukan sebanyak 45,45% lansia mengalami xerostomia.9-10
Penyebab perbedaan hasil ini dikarenakan variabilitas responden yang terlibat seperti
perbedaan proporsi jumlah sampel dan usia. Pada penelitian ini, jumlah sampel
penelitian adalah 100 orang dan hanya melibatkan lansia yang dikelompokkan
menurut WHO yaitu 60 tahun ke atas. Berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh
Abdullah, jumlah sampel penelitian adalah 1132 orang yaitu antara usia 10-79 tahun
sedangkan pada penelitian Tumengkol dkk, jumlah sampel penelitian adalah 83 orang
yaitu antara usia 40-70 tahun.9-10 Pada penelitian ini, diantara 100 orang lansia hanya
53 orang lansia yang ditemukan mengalami xerostomia karena sistem imun yang
baik. Selain itu, nutrisi dan gaya hidup yang sehat misalnya banyak mengonsumsi
makanan yang mengandung serat dan protein, bersosialisasi dengan orang lain,
kurang stres dan lingkungan yang aman dapat mengurangi masalah xerostomia.
Berdasarkan kelompok usia subjek penelitian, lansia yang mengalami
xerostomia paling banyak ditemukan pada usia 75-90 tahun (58,49%) sedangkan
paling sedikit ditemukan pada usia 60-74 tahun (41,51%). Seiring dengan
bertambahnya usia, terjadi proses penuaan. Proses penuaan akan menyebabkan
terjadinya perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar
parenkim hilang dan diganti oleh jaringan lemak dan penyambung serta terjadi atropi
pada lapisan sel duktus intermediate. Keadaan ini menyebabkan pengurangan jumlah
saliva dan perubahan komposisinya.7,30 Pada penelitian ini, peneliti baru melihat
prevalensi xerostomia pada lansia menurut kelompok usia. Penelitian lebih lanjut
sebaiknya dilakukan untuk mempelajari hubungan usia dengan xerostomia.
Hasil penelitian yang dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai
Tahun 2016 menunjukkan bahwa xerostomia paling banyak ditemukan pada
perempuan (67,92%). Tingginya persentase xerostomia pada perempuan dapat
Universitas Sumatera Utara
dihubungkan
dengan
menopause.
Xerostomia
pada
perempuan
menopause
9
dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Estrogen adalah salah satu steroid yang
mempunyai reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut. Reseptor estrogen di
kelenjar saliva sangat berperan terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva. Efek
estrogen dimediasi oleh reseptor estrogen, yang terdiri dari dua subtipe yaitu reseptor
estrogen alfa dan reseptor estrogen beta. Pertumbuhan sel pada epitel mukosa mulut,
kelenjar saliva dan gingiva diatur oleh reseptor estrogen beta. Menurunnya kadar
reseptor estrogen beta pada perempuan menopause mengakibatkan penurunan fungsi
kelenjar saliva. Perempuan menopause akan mengalami mulut kering karena volume
saliva berkurang yang ditandai dengan tidak ditemukannya genangan saliva di dasar
mulut.9,23,43
Berdasarkan dengan faktor penyebab, diantara 53 orang lansia yang
mengalami xerostomia, didapati bahwa sebanyak 50 orang (94,34%) akibat menderita
penyakit sistemik dan mengonsumsi obat-obatan sementara 3 orang (5,66%) karena
penyebab lain. Faktor yang tergolong dalam penyebab lain dari xerostomia diduga
karena faktor fisiologis yang terdiri dari riwayat kebiasaan bernafas melalui mulut,
gangguan emosional dan proses penuaan. Selain itu, terdapat faktor lain seperti
riwayat penyakit sistemik yang tidak diketahui.6,23,30 Dengan bertambahnya usia, pada
lansia terjadi penurunan fungsi fisiologis akibat proses penuaan. Oleh karena itu,
penyakit degeneratif banyak diderita oleh lansia seperti hipertensi, stroke, diabetes
mellitus dan rheumatoid arthritis. Proses penyakit pada lansia berbeda dengan
kelompok usia dewasa, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari
kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses penuaan.40 Penyakit yang
diderita oleh lansia dapat menimbulkan pengaruh pada rongga mulut yaitu terjadi
perubahan, baik pada jaringan keras maupun jaringan lunak serta kelenjar saliva
sehingga timbul masalah kesehatan mulut pada lansia seperti perubahan pada mukosa
oral, edentulous, karies gigi, penyakit periodontal, kanker mulut, serta xerostomia.3-5
Proses penuaan pada lansia diperparah dengan adanya kondisi penyakit
sistemik dan penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi sekresi saliva sehingga
aliran saliva berkurang.7,30,33 Berdasarkan faktor penyebab penyakit sistemik dan
Universitas Sumatera Utara
penggunaan obat-obatan, menurut Abdullah prevalensi xerostomia terlihat paling
tinggi pada penderita dengan penyakit psikologis (57,14%) dan pada pengguna obat
antihistamin (66,66%).9 Sementara itu, menurut Tumengkol dkk, prevalensi
xerostomia terlihat paling tinggi pada penderita dengan penyakit diabetes mellitus
(78,57%) dan pada pengguna obat antihipertensi (38,46%).10 Hasil penelitian di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berbeda dari penelitian yang
dilakukan sebelumnya dimana prevalensi xerostomia yang paling tinggi ditemukan
pada penderita dengan penyakit hipertensi (49,06%) dan penggunaan obat
antihipertensi (49,06%). Menurut literatur, penyakit hipertensi tidak secara langsung
menyebabkan xerostomia. Namun demikian, antihipertensi sebagai perawatan subjek
yang menderita penyakit hipertensi diduga menimbulkan efek xerostomia.44
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan oleh subjek penelitian ini
adalah angiotensin converting enzymes (ACE) inhibitor yaitu captopril®. Pada
penderita hipertensi, angiotensin converting enzyme dapat merubah angiotensin I
menjadi angiotensin II yang bersifat aktif dan dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah serta mensekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan
sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta
mensekresi kalium yang merupakan penyebab hipertensi. Penggunaan ACE inhibitor
dapat menurunkan kadar angiotensin II plasma. Dalam kerjanya, ACE inhibitor akan
menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin II terhambat, timbul
vasodilatasi pembuluh darah dengan mengaktifkan bradikinin, penurunan sekresi
aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan. Obat ini secara tidak
langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan
elektrolit.39,44
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit gastrointestinal merupakan
penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 16,98% lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit
maag adalah antasida®. Antasida adalah golongan obat yang digunakan untuk
menetralkan asam di lambung.45 Antasida yang mengandung magnesium salt bersifat
laxatif yaitu dapat menyebabkan diare.46-47 Dengan demikian, hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya dehidrasi dimana cairan yang disekresi lebih banyak daripada kapasitas
absorpsi. Pada diare, terjadi kehilangan cairan, natrium dan klorida serta penekanan
kalium sehingga akhirnya menimbulkan gejala haus dan lidah serta bibir terasa
kering.30,42,45-46
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit respiratori merupakan
penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 13,21% lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Obat bronkodilator yang digunakan untuk penyakit
respiratori pada penelitian ini kebanyakan adalah salbutamol®. Menurut Haveles,
salbutamol merupakan salah satu obat golongan agonis beta 2 yang dikategorikan
dalam short-acting beta agonist. Penggunaan agonis beta 2 menyebabkan perubahan
komposisi saliva dan berkurangnya sekresi saliva. Obat bronkodilator agonis beta 2
merupakan obat simpatomimetik yaitu obat yang bekerja pada saraf simpatis dan
menyerupai kerja neurotransmitter adrenergik. Dengan adanya rangsangan simpatis,
maka kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual akan terstimulasi menghasilkan
saliva mukus yang lebih kental, sementara itu kelenjar parotid yang tidak dipersarafi
saraf simpatis tidak menghasilkan saliva yang kental. Dengan demikian, volume
saliva yang dihasilkan akan lebih sedikit. Selain itu, obat golongan simpatomimetik
menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran saliva dan akhirnya
mengakibatkan xerostomia.48
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rheumatoid arthritis merupakan
penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 33,96% lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Berbeda dengan penyakit hipertensi, penyakit
gastrointestinal dan penyakit respiratori yang secara tidak langsung menimbulkan
xerostomia, rheumatoid arthritis diduga dapat menimbulkan efek xerostomia secara
langsung. Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit sistemik yang dihubungkan
dengan gangguan pada jaringan ikat yang mengenai 1% dari populasi di dunia.27,49
Menurut Zalewska dkk, penyakit rheumatoid arthritis menyebabkan disfungsi
kelenjar
saliva
yang
melibatkan
katabolisme
glikokonjugat
oleh
enzim
eksoglikosidase yang terdapat pada membrana sel kelenjar saliva. Pada rheumatoid
arthritis, disfungsi kelenjar saliva dapat terjadi dalam dua fase. Pada fase pertama,
Universitas Sumatera Utara
terjadi aktivasi sel epitel yang melapisi sel asinar dan sel duktus pada kelenjar saliva.
Pada fase kedua, terjadi inflamasi yang kronis disertai pelepasan limfosit, produksi
antibodi dan menyebabkan destruksi pada kelenjar saliva. Selain kedua fase tersebut,
disfungsi kelenjar saliva terkait rheumatoid arthritis, terjadi akibat meningkatnya
degradasi matriks ekstraselular yang mengganggu komunikasi antara sel asinar pada
kelenjar saliva dengan terminal saraf, sehingga mengurangi sekresi saliva dan
akhirnya mengakibatkan xerostomia.50
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI, diabetes mellitus merupakan penyakit
yang tertinggi di Indonesia.40 Akan tetapi, di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Binjai Tahun 2016 didapati bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik
yang paling sedikit diderita oleh lansia yaitu 9,43%. Ini karena pola makanan yang
sehat yaitu lebih mengutamakan makanan yang berserat. Diabetes mellitus yang tidak
terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva, sehingga mulut terasa kering.
Menurut literatur xerostomia dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus yang tidak
terkontrol. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekuensi
dari poliuria dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien dengan penyakit diabetes
mellitus.51 Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva
akan tetapi inflitrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial
mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses
autoimun. Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan
menyebabkan terjadinya hipofungsi kelenjar saliva dan gangguan komposisi saliva.
Selain itu, pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 dapat menyebabkan pembesaran
bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang pada kelenjar
submandibularis.26-27,51
Selain itu, pada penelitian ini ditemukan terdapat individu yang menderita
lebih dari satu penyakit dan juga mengonsumsi lebih dari satu macam obat-obatan.
Individu yang menggunakan lebih dari satu macam obat umumnya memiliki resiko
lebih tinggi mengalami xerostomia.30 Menurut Shetty dkk, melakukan penelitian
untuk mengevaluasi efek sinergistik obat terhadap aliran saliva pada lanisa yang
mengonsumsi satu obat dengan lansia yang mengonsumsi lebih dari satu macam obat.
Universitas Sumatera Utara
Hasilnya menunjukkan terjadi penurunan aliran saliva yang lebih parah pada
kelompok lansia yang mengonsumsi lebih dari satu macam obat dibandingkan dengan
kelompok lansia yang mengonsumsi satu obat.8
Universitas Sumatera Utara
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi xerostomia
pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 mencapai lebih
dari separuh dari jumlah subjek penelitian yaitu 53%. Hal ini menunjukkan masalah
kesehatan rongga mulut pada lansia harus diberikan perhatian serius.
Penelitian ini melihat xerostomia pada lansia berdasarkan faktor penyebab
seluruh penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan. Diharapkan adanya penelitian
lanjutan dengan memberikan edukasi pada lansia dengan mengadakan program
penyuluhan untuk menangani masalah xerostomia pada lansia.
Tenaga medis maupun dokter gigi disarankan agar mengedukasi para lansia
untuk menjaga kesehatan rongga mulut agar efek samping yang dapat ditimbulkan
penyakit
sistemik
dan
penggunaan
obat-obatan
seperti
xerostomia
dapat
memperburuk kesehatan lansia, khususnya kesehatan rongga mulut. Dokter gigi juga
disarankan untuk bekerjasama dengan petugas kesehatan panti jompo dalam
melakukan pemeriksaan rongga mulut secara rutin dan merawat para lansia yang
menderita penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan. Jika ditemukan
peningkatan jumlah karies, perubahan pada mukosa mulut, infeksi atau pembesaran
pada kelenjar saliva mengindikasikan disfungsi pada kelenjar saliva. Dokter gigi
perlu mengetahui resiko terjadinya xerostomia akibat penyakit sistemik dan
penggunaan obat-obatan. Dengan demikian, diharapkan dokter gigi dapat menyusun
rencana perawatan yang tepat untuk xerostomia sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup para lansia yang menghuni panti jompo tersebut.
Universitas Sumatera Utara
METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan cross
sectional. Setiap lansia yang menjadi subjek penelitian diobservasi hanya satu kali
saja. Penggunaan obat-obatan dan penyakit sistemik yang diderita diketahui melalui
data rekam medik serta terjadinya xerostomia diukur menurut keadaan atau status saat
diobservasi.36
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai yang
berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan GG. Sasana No.2 Kel. Cengkehturi Binjai.
Pemilihan panti jompo ini dikarenakan pada panti ini terdapat kelompok lansia
sehingga akan memudahkan peneliti menemukan subjek penelitian lansia. Waktu
penelitian adalah bulan Februari 2016 sampai seluruh jumlah sampel terpenuhi.
3.3
Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah para lansia yang menghuni UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah para lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai dengan perhitungan besar sampel menggunakan rumus penaksiran
proporsi populasi dengan ketentuan absolut (simpangan mutlak).37
n = Za2 x P x (1- P)
d2
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
n : ukuran sampel yang diperlukan
d : persisi relative 10% (0,1)
P : proporsi populasi diambil berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Tumengkol dkk (2011) yaitu mengunakan persentase
gambaran xerostomia pada lansia di Desa Kembuan Kecamatan Tondano
Utara yaitu sebesar 45,45% (0,4545).
Z : nilai kepercayaan 0,95% = 1,96
n = Za2 x P x (1- P)
d2
n = (1,96)2 x 0,4545 x (1-0,4545)
(0,1)2
n = 95,24
Besar sampel minimum yang didapati adalah 95,24 atau 96 orang. Maka
jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 100 orang. Metode
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode non probability sampling
jenis purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang memenuhi persyaratan
artinya, memenuhi kriteria yang dapat dijadikan sampel.36
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.3.1 Kriteria Inklusi
1.
Lansia berusia 60 tahun ke atas.
2.
Lansia yang setuju menjadi subjek penelitian.
3.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1.
Tidak kooperatif dalam mengikuti prosedur penelitian.
2.
Lansia yang mempunyai kebiasaan merokok.
Universitas Sumatera Utara
3.4
Identifikasi Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Lansia
3.4.2 Variabel Terikat
Xerostomia
3.5
Definisi Operasional
1.
Lansia adalah kelompok usia lanjut yang mengalami proses menua (60
tahun ke atas).1
a.
Usia adalah perhitungan ulang tahun responden yang dihitung sejak
tahun lahir sampai ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian.38 Cara ukur adalah
melihat identitas lansia dari daftar nama para lansia di UPT dan ditulis dalam lembar
pemeriksaan dalam satuan tahun.
b.
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-
laki dan perempuan sejak seseorang lahir.38 Cara ukur adalah melihat identitas lansia
dari daftar nama para lansia di UPT dan ditulis dalam lembar pemeriksaan.
c.
Penyakit sistemik adalah kondisi yang diderita oleh lansia seperti
penyakit gastrointestinal, penyakit hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes
mellitus, penyakit ginjal, penyakit neurologik, penyakit psikologik dan penyakit
respiratori.9 Cara ukur adalah melalui data rekam medik.
d.
Obat-obatan adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan oleh
lansia dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan
peningkatan kesehatan seperti obat antihipertensi (contoh Captopril®), obat
gastrointestinal (contoh Antasida®) dan obat respiratori (contoh Salbutamol®).39 Cara
ukur adalah melalui data rekam medik.
2.
Xerostomia adalah kondisi kekeringan pada rongga mulut lansia.21
Cara ukur adalah melalui pemeriksaan klinis dengan melihat tanda klinis yang
tampak pada ekstraoral dan intraoral seperti bibir retak, kaca mulut akan terasa
lengket apabila disentuhkan ke dasar lidah ataupun mukosa bukal, saliva berbuih,
Universitas Sumatera Utara
genangan saliva pada dasar mulut tidak ada, kehilangan papila lidah, terjadi
perubahan pada permukaan gingiva, mukosa oral berkilat seperti kaca terutama pada
bagian palatal, lobul atau fisur pada lidah dan terdapat debris pada mukosa palatal.32
3.6
Sarana Penelitian
3.6.1 Alat
1.
Alat tulis
2.
Kaca mulut
3.
Nerbeken
4.
Lampu senter
5.
Lembar pemeriksaan
3.6.2 Bahan
1.
Sarung tangan
2.
Masker
3.
Tisu
4.
Alkohol
5.
Air
6.
Povidon iodin
3.6.3 Formulir Pencatatan
Formulir pencatatan terdiri dari blanko lembar pemeriksaan yang mencakup
data demografi (nama, umur, jenis kelamin), penyakit sistemik, obat-obatan dan
pemeriksaan klinis xerostomia (pemeriksaan ekstraoral dan intraoral).
3.7
Metode Pengumpulan Data
Setelah kelompok lansia diberi informasi tentang tujuan penelitian ini dan
menandatangani informed consent, peneliti mengisi data demografi yang diperoleh
dari daftar nama lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
Selain itu, juga diisi data mengenai penggunaan obat-obatan dan penyakit sistemik
Universitas Sumatera Utara
didapatkan dari data rekam medik. Kemudian peneliti melakukan pemeriksaan klinis
xerostomia yang mencakup pemeriksaan ekstraoral dan intraoral untuk membuktikan
ada atau tidaknya xerostomia.
3.8
Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan kelompok lansia
kemudian dianalisis secara manual dan ditabulasikan.
3.9
Analisis Data
Data yang sudah terkumpul ditabulasikan dan analisa data dilakukan dengan
cara perhitungan persentase yang meliputi:
1.
Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan usia.
2.
Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin.
3.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
4.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan usia.
5.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan jenis
kelamin.
6.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan penyebab.
7.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab penyakit sistemik.
8.
Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab obat-obatan.
Universitas Sumatera Utara
3.10 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut:
1.
Ethical Clearance
Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik
penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun
nasional.
2.
Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam
penelitian yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani
lembar persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
3.
Kerahasiaan (Confidentiality)
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data kelompok bukan bentuk
data pribadi subjek.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1
Data Demografi Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari 100 orang lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Berdasarkan usia, pada penelitian ini lansia dibagi
atas 3 kelompok usia menurut World Health Organization (WHO) yaitu pada
kelompok usia lanjut (60-74 tahun) sebanyak 56 orang (56%), kelompok usia tua (7590 tahun) sebanyak 44 orang (44%) dan kelompok usia sangat tua (>90 tahun)
sebanyak 0 orang (0%) (Tabel 1).
Tabel 1: Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan usia.
Usia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
60 – 74
56
56%
75 – 90
44
44%
>90
0
0%
Jumlah
100
100%
Berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini terdapat laki-laki sebanyak 42
orang (42%), sedangkan perempuan sebanyak 58 orang (58%) (Tabel 2).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2: Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Persentase (%)
42
42%
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
4.2
58
58%
100
100%
Frekuensi Xerostomia
Hasil penelitian ini menunjukkan lansia yang mengalami xerostomia ketika
dilakukan penelitian adalah sebanyak 53 orang (53%), sedangkan yang tidak
mengalami xerostomia adalah sebanyak 47 orang (47%) (Tabel 3).
Tabel 3: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
Xerostomia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Xerostomia (+)
53
53%
Xerostomia (-)
47
47%
Jumlah
100
100%
Sebanyak 53 orang lansia yang mengalami xerostomia menunjukkan usia
yang berbeda-beda. Lansia yang menderita xerostomia lebih banyak ditemukan pada
kelompok usia tua 75-90 tahun yaitu 31 orang (58,49%), sedangkan pada kelompok
usia lanjut 60-74 tahun ditemukan 22 orang (41,51%) (Tabel 4).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan usia.
Xerostomia
Usia
Frekuensi (n)
Persentase (%)
60 – 74
22
41,51%
75 – 90
31
58,49%
>90
0
0%
Jumlah
53
100%
Penelitian menunjukkan dari 53 orang yang mengalami xerostomia,
sebanyak 36 orang (67,92%) adalah perempuan dan 17 orang (32,07%) adalah lakilaki (Tabel 5).
Tabel 5: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan jenis
kelamin.
Xerostomia
Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Laki-laki
17
32,07%
Perempuan
36
67,92%
Jumlah
53
100%
Penelitian menunjukkan 53 orang mengalami xerostomia. Diantara 53 orang,
50 orang (94,34%) lansia tersebut memiliki penyakit sistemik dan mengonsumsi
obat-obatan, sementara 3 orang (5,66%) diduga karena penyebab lain (Tabel 6).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan
penyebab.
Xerostomia
Faktor Penyebab
Frekuensi (n)
Persentase (%)
a. Penyakit sistemik +
50
94,34%
Obat-obatan
b. Penyebab lain
3
5,66%
53
100%
Jumlah
Pada penelitian ini, dari 53 orang lansia yang xerostomia menunjukkan
bahwa sebanyak 13 orang (24,53%) memiliki penyakit hipertensi, diikuti penyakit
hipertensi + Rheumatoid arthritis sebanyak 10 orang (18,87%), penyakit respiratori
sebanyak 7 orang (13,21%), penyakit rheumatoid arthritis sebanyak 6 orang
(11,32%), penyakit gastrointestinal sebanyak 6 orang (11,32%), penyakit hipertensi +
penyakit gastrointestinal sebanyak 3 orang (5,66%), penyakit diabetes mellitus
sebanyak 3 orang (5,66%) dan penyakit diabetes mellitus + Rheumatoid arthritis
sebanyak 2 orang (3,77%). Sementara itu, 3 orang (5,66%) lansia yang xerostomia
ditemukan tidak memiliki penyakit sistemik (Tabel 7).
Tabel 7: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab penyakit sistemik.
Xerostomia
Penyakit Sistemik
Frekuensi (n)
Persentase (%)
a. Penyakit hipertensi
13
24,53%
b. Penyakit hipertensi +
rheumatoid arthritis
10
18,87%
Ada penyakit sistemik:
Universitas Sumatera Utara
Xerostomia
Penyakit Sistemik
Frekuensi (n)
Persentase (%)
c. Penyakit respiratori
7
13,21%
d. Penyakit rheumatoid
arthritis
6
11,32%
e. Penyakit gastrointestinal
6
11,32%
f. Penyakit hipertensi +
Penyakit gastrointestinal
3
5,66%
g. Penyakit diabetes mellitus
3
5,66%
h. Penyakit diabetes mellitus +
rheumatoid arthritis
2
3,77%
3
5,66%
53
100%
Tidak memiliki penyakit sistemik
Jumlah
Pada penelitian ini, dari 53 orang lansia yang xerostomia menunjukkan
bahwa sebanyak 13 orang (24,53%) sedang mengonsumsi obat antihipertensi, diikuti
obat antihipertensi + obat rheumatoid arthritis sebanyak 10 orang (18,87%), obat
respiratori sebanyak 7 orang (13,21%), obat rheumatoid arthritis sebanyak 6 orang
(11,32%), obat gastrointestinal sebanyak 6 orang (11,32%), obat antihipertensi + obat
gastrointestinal sebanyak 3 orang (5,66%), obat antidiabetik sebanyak 3 orang
(5,66%) dan obat antidiabetik + obat rheumatoid arthritis sebanyak 2 orang (3,77%).
Sementara itu, 3 orang (5,66%) lansia yang xerostomia ditemukan tidak
mengonsumsi obat-obatan (Tabel 8).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 8: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab obat-obatan.
Xerostomia
Obat-obatan
Frekuensi (n)
Persentase (%)
a. Obat antihipertensi
13
24,53%
b. Obat antihipertensi + Obat
rheumatoid arthritis
10
18,87%
c. Obat respiratori
7
13,21%
d. Obat rheumatoid arthritis
6
11,32%
e. Obat gastrointestinal
6
11,32%
f. Obat antihipertensi + Obat
gastrointestinal
3
5,66%
g. Obat antidiabetik
3
5,66%
h. Obat antidiabetik + Obat
rheumatoid arthritis
2
3,77%
Tidak mengonsumsi obat-obatan
3
5,66%
53
100%
Ada mengonsumsi obat-obatan:
Jumlah
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menetapkan bahwa batasan usia lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. Usia
harapan hidup dapat menunjukkan transisi epidemiologi dalam bidang kesehatan
akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan yang dihubungkan dengan penyakit
degeneratif.40 Dengan demikian, pada penelitian ini lansia usia 75-90 tahun
ditemukan lebih sedikit (44%) dibandingkan usia 60-74 tahun (56%). Sementara usia
> 90 tahun dapat ditemukan pada pengumpulan data namun tidak memenuhi kriteria
penelitian karena masalah kesehatan seperti stroke dan tidak dapat berkomunikasi.
Berdasarkan jenis kelamin, lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Binjai Tahun 2016 paling banyak adalah perempuan (58%). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Badan Pusat Statistik RI, berdasarkan jenis kelamin, lansia yang paling
banyak adalah perempuan.40 Menurut data yang dilaporkan WHO, usia harapan hidup
perempuan di seluruh dunia secara statistik lebih tinggi daripada usia harapan hidup
laki-laki. Laki-laki mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi daripada
perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah faktor
sosial, ekonomi dan perilaku seperti kebiasaan buruk misalnya merokok, aktivitas
selama hidup, dimana secara umum laki-laki memiliki peran lebih banyak dalam
bertanggungjawab mencari nafkah sehingga rentan terhadap penyakit ataupun lebih
beresiko terhadap kecelakaan. Selain itu, faktor biologi menjadi faktor dasar yang
menyebabkan rendahnya angka harapan hidup laki-laki. Secara biologis, laki-laki
memiliki kromosom XY dan perempuan memiliki kromosom XX. Kromosom X
mengandung 1100 gen yang berperan dalam pengaturan hormon serta fungsi vital
tubuh lainnya seperti pembekuan darah, metabolisme dan perkembangan janin.
Sementara, kromosom Y hanya mempunyai kurang dari 100 gen yang berfungsi
hanya untuk pembentukan dan perkembangan testes dan hormonal. Dengan ini,
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang memiliki 2 kromosom X sehingga dapat lebih tahan terhadap gejalagejala penurunan fungsi tubuh daripada laki-laki.41
Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 53% lansia mengalami
xerostomia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Abdullah,
ditemukan sebanyak 33,33% lansia mengalami xerostomia, sedangkan penelitian
Tumengkol dkk ditemukan sebanyak 45,45% lansia mengalami xerostomia.9-10
Penyebab perbedaan hasil ini dikarenakan variabilitas responden yang terlibat seperti
perbedaan proporsi jumlah sampel dan usia. Pada penelitian ini, jumlah sampel
penelitian adalah 100 orang dan hanya melibatkan lansia yang dikelompokkan
menurut WHO yaitu 60 tahun ke atas. Berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh
Abdullah, jumlah sampel penelitian adalah 1132 orang yaitu antara usia 10-79 tahun
sedangkan pada penelitian Tumengkol dkk, jumlah sampel penelitian adalah 83 orang
yaitu antara usia 40-70 tahun.9-10 Pada penelitian ini, diantara 100 orang lansia hanya
53 orang lansia yang ditemukan mengalami xerostomia karena sistem imun yang
baik. Selain itu, nutrisi dan gaya hidup yang sehat misalnya banyak mengonsumsi
makanan yang mengandung serat dan protein, bersosialisasi dengan orang lain,
kurang stres dan lingkungan yang aman dapat mengurangi masalah xerostomia.
Berdasarkan kelompok usia subjek penelitian, lansia yang mengalami
xerostomia paling banyak ditemukan pada usia 75-90 tahun (58,49%) sedangkan
paling sedikit ditemukan pada usia 60-74 tahun (41,51%). Seiring dengan
bertambahnya usia, terjadi proses penuaan. Proses penuaan akan menyebabkan
terjadinya perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar
parenkim hilang dan diganti oleh jaringan lemak dan penyambung serta terjadi atropi
pada lapisan sel duktus intermediate. Keadaan ini menyebabkan pengurangan jumlah
saliva dan perubahan komposisinya.7,30 Pada penelitian ini, peneliti baru melihat
prevalensi xerostomia pada lansia menurut kelompok usia. Penelitian lebih lanjut
sebaiknya dilakukan untuk mempelajari hubungan usia dengan xerostomia.
Hasil penelitian yang dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai
Tahun 2016 menunjukkan bahwa xerostomia paling banyak ditemukan pada
perempuan (67,92%). Tingginya persentase xerostomia pada perempuan dapat
Universitas Sumatera Utara
dihubungkan
dengan
menopause.
Xerostomia
pada
perempuan
menopause
9
dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Estrogen adalah salah satu steroid yang
mempunyai reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut. Reseptor estrogen di
kelenjar saliva sangat berperan terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva. Efek
estrogen dimediasi oleh reseptor estrogen, yang terdiri dari dua subtipe yaitu reseptor
estrogen alfa dan reseptor estrogen beta. Pertumbuhan sel pada epitel mukosa mulut,
kelenjar saliva dan gingiva diatur oleh reseptor estrogen beta. Menurunnya kadar
reseptor estrogen beta pada perempuan menopause mengakibatkan penurunan fungsi
kelenjar saliva. Perempuan menopause akan mengalami mulut kering karena volume
saliva berkurang yang ditandai dengan tidak ditemukannya genangan saliva di dasar
mulut.9,23,43
Berdasarkan dengan faktor penyebab, diantara 53 orang lansia yang
mengalami xerostomia, didapati bahwa sebanyak 50 orang (94,34%) akibat menderita
penyakit sistemik dan mengonsumsi obat-obatan sementara 3 orang (5,66%) karena
penyebab lain. Faktor yang tergolong dalam penyebab lain dari xerostomia diduga
karena faktor fisiologis yang terdiri dari riwayat kebiasaan bernafas melalui mulut,
gangguan emosional dan proses penuaan. Selain itu, terdapat faktor lain seperti
riwayat penyakit sistemik yang tidak diketahui.6,23,30 Dengan bertambahnya usia, pada
lansia terjadi penurunan fungsi fisiologis akibat proses penuaan. Oleh karena itu,
penyakit degeneratif banyak diderita oleh lansia seperti hipertensi, stroke, diabetes
mellitus dan rheumatoid arthritis. Proses penyakit pada lansia berbeda dengan
kelompok usia dewasa, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari
kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses penuaan.40 Penyakit yang
diderita oleh lansia dapat menimbulkan pengaruh pada rongga mulut yaitu terjadi
perubahan, baik pada jaringan keras maupun jaringan lunak serta kelenjar saliva
sehingga timbul masalah kesehatan mulut pada lansia seperti perubahan pada mukosa
oral, edentulous, karies gigi, penyakit periodontal, kanker mulut, serta xerostomia.3-5
Proses penuaan pada lansia diperparah dengan adanya kondisi penyakit
sistemik dan penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi sekresi saliva sehingga
aliran saliva berkurang.7,30,33 Berdasarkan faktor penyebab penyakit sistemik dan
Universitas Sumatera Utara
penggunaan obat-obatan, menurut Abdullah prevalensi xerostomia terlihat paling
tinggi pada penderita dengan penyakit psikologis (57,14%) dan pada pengguna obat
antihistamin (66,66%).9 Sementara itu, menurut Tumengkol dkk, prevalensi
xerostomia terlihat paling tinggi pada penderita dengan penyakit diabetes mellitus
(78,57%) dan pada pengguna obat antihipertensi (38,46%).10 Hasil penelitian di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berbeda dari penelitian yang
dilakukan sebelumnya dimana prevalensi xerostomia yang paling tinggi ditemukan
pada penderita dengan penyakit hipertensi (49,06%) dan penggunaan obat
antihipertensi (49,06%). Menurut literatur, penyakit hipertensi tidak secara langsung
menyebabkan xerostomia. Namun demikian, antihipertensi sebagai perawatan subjek
yang menderita penyakit hipertensi diduga menimbulkan efek xerostomia.44
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan oleh subjek penelitian ini
adalah angiotensin converting enzymes (ACE) inhibitor yaitu captopril®. Pada
penderita hipertensi, angiotensin converting enzyme dapat merubah angiotensin I
menjadi angiotensin II yang bersifat aktif dan dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah serta mensekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan
sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta
mensekresi kalium yang merupakan penyebab hipertensi. Penggunaan ACE inhibitor
dapat menurunkan kadar angiotensin II plasma. Dalam kerjanya, ACE inhibitor akan
menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin II terhambat, timbul
vasodilatasi pembuluh darah dengan mengaktifkan bradikinin, penurunan sekresi
aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan. Obat ini secara tidak
langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan
elektrolit.39,44
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit gastrointestinal merupakan
penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 16,98% lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit
maag adalah antasida®. Antasida adalah golongan obat yang digunakan untuk
menetralkan asam di lambung.45 Antasida yang mengandung magnesium salt bersifat
laxatif yaitu dapat menyebabkan diare.46-47 Dengan demikian, hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya dehidrasi dimana cairan yang disekresi lebih banyak daripada kapasitas
absorpsi. Pada diare, terjadi kehilangan cairan, natrium dan klorida serta penekanan
kalium sehingga akhirnya menimbulkan gejala haus dan lidah serta bibir terasa
kering.30,42,45-46
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit respiratori merupakan
penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 13,21% lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Obat bronkodilator yang digunakan untuk penyakit
respiratori pada penelitian ini kebanyakan adalah salbutamol®. Menurut Haveles,
salbutamol merupakan salah satu obat golongan agonis beta 2 yang dikategorikan
dalam short-acting beta agonist. Penggunaan agonis beta 2 menyebabkan perubahan
komposisi saliva dan berkurangnya sekresi saliva. Obat bronkodilator agonis beta 2
merupakan obat simpatomimetik yaitu obat yang bekerja pada saraf simpatis dan
menyerupai kerja neurotransmitter adrenergik. Dengan adanya rangsangan simpatis,
maka kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual akan terstimulasi menghasilkan
saliva mukus yang lebih kental, sementara itu kelenjar parotid yang tidak dipersarafi
saraf simpatis tidak menghasilkan saliva yang kental. Dengan demikian, volume
saliva yang dihasilkan akan lebih sedikit. Selain itu, obat golongan simpatomimetik
menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran saliva dan akhirnya
mengakibatkan xerostomia.48
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rheumatoid arthritis merupakan
penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 33,96% lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Berbeda dengan penyakit hipertensi, penyakit
gastrointestinal dan penyakit respiratori yang secara tidak langsung menimbulkan
xerostomia, rheumatoid arthritis diduga dapat menimbulkan efek xerostomia secara
langsung. Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit sistemik yang dihubungkan
dengan gangguan pada jaringan ikat yang mengenai 1% dari populasi di dunia.27,49
Menurut Zalewska dkk, penyakit rheumatoid arthritis menyebabkan disfungsi
kelenjar
saliva
yang
melibatkan
katabolisme
glikokonjugat
oleh
enzim
eksoglikosidase yang terdapat pada membrana sel kelenjar saliva. Pada rheumatoid
arthritis, disfungsi kelenjar saliva dapat terjadi dalam dua fase. Pada fase pertama,
Universitas Sumatera Utara
terjadi aktivasi sel epitel yang melapisi sel asinar dan sel duktus pada kelenjar saliva.
Pada fase kedua, terjadi inflamasi yang kronis disertai pelepasan limfosit, produksi
antibodi dan menyebabkan destruksi pada kelenjar saliva. Selain kedua fase tersebut,
disfungsi kelenjar saliva terkait rheumatoid arthritis, terjadi akibat meningkatnya
degradasi matriks ekstraselular yang mengganggu komunikasi antara sel asinar pada
kelenjar saliva dengan terminal saraf, sehingga mengurangi sekresi saliva dan
akhirnya mengakibatkan xerostomia.50
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI, diabetes mellitus merupakan penyakit
yang tertinggi di Indonesia.40 Akan tetapi, di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Binjai Tahun 2016 didapati bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik
yang paling sedikit diderita oleh lansia yaitu 9,43%. Ini karena pola makanan yang
sehat yaitu lebih mengutamakan makanan yang berserat. Diabetes mellitus yang tidak
terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva, sehingga mulut terasa kering.
Menurut literatur xerostomia dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus yang tidak
terkontrol. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekuensi
dari poliuria dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien dengan penyakit diabetes
mellitus.51 Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva
akan tetapi inflitrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial
mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses
autoimun. Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan
menyebabkan terjadinya hipofungsi kelenjar saliva dan gangguan komposisi saliva.
Selain itu, pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 dapat menyebabkan pembesaran
bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang pada kelenjar
submandibularis.26-27,51
Selain itu, pada penelitian ini ditemukan terdapat individu yang menderita
lebih dari satu penyakit dan juga mengonsumsi lebih dari satu macam obat-obatan.
Individu yang menggunakan lebih dari satu macam obat umumnya memiliki resiko
lebih tinggi mengalami xerostomia.30 Menurut Shetty dkk, melakukan penelitian
untuk mengevaluasi efek sinergistik obat terhadap aliran saliva pada lanisa yang
mengonsumsi satu obat dengan lansia yang mengonsumsi lebih dari satu macam obat.
Universitas Sumatera Utara
Hasilnya menunjukkan terjadi penurunan aliran saliva yang lebih parah pada
kelompok lansia yang mengonsumsi lebih dari satu macam obat dibandingkan dengan
kelompok lansia yang mengonsumsi satu obat.8
Universitas Sumatera Utara
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi xerostomia
pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 mencapai lebih
dari separuh dari jumlah subjek penelitian yaitu 53%. Hal ini menunjukkan masalah
kesehatan rongga mulut pada lansia harus diberikan perhatian serius.
Penelitian ini melihat xerostomia pada lansia berdasarkan faktor penyebab
seluruh penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan. Diharapkan adanya penelitian
lanjutan dengan memberikan edukasi pada lansia dengan mengadakan program
penyuluhan untuk menangani masalah xerostomia pada lansia.
Tenaga medis maupun dokter gigi disarankan agar mengedukasi para lansia
untuk menjaga kesehatan rongga mulut agar efek samping yang dapat ditimbulkan
penyakit
sistemik
dan
penggunaan
obat-obatan
seperti
xerostomia
dapat
memperburuk kesehatan lansia, khususnya kesehatan rongga mulut. Dokter gigi juga
disarankan untuk bekerjasama dengan petugas kesehatan panti jompo dalam
melakukan pemeriksaan rongga mulut secara rutin dan merawat para lansia yang
menderita penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan. Jika ditemukan
peningkatan jumlah karies, perubahan pada mukosa mulut, infeksi atau pembesaran
pada kelenjar saliva mengindikasikan disfungsi pada kelenjar saliva. Dokter gigi
perlu mengetahui resiko terjadinya xerostomia akibat penyakit sistemik dan
penggunaan obat-obatan. Dengan demikian, diharapkan dokter gigi dapat menyusun
rencana perawatan yang tepat untuk xerostomia sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup para lansia yang menghuni panti jompo tersebut.
Universitas Sumatera Utara