EVALUASI PEMBIAYAAN SISTEM BAGI HASIL BA (2)

EVALUASI PEMBIAYAAN SISTEM BAGI HASIL BANK SYARIAH
PADA USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM)
DI KABUPATEN JEMBER

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh:
Moh. Dio Awaludin Jauhar
NIM : 110810301005

Dosen Pembimbing I
Kartika, SE., M.Si., Ak.
NIP : 1982020720081220023

Dosen Pembimbing II
Dr.Ahmad Roziq, SE.,MM.,Ak
NIP : 197004281997021001

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER


1

1. Judul: ” EVALUASI PEMBIAYAAN SISTEM BAGI HASIL BANK
SYARIAH PADA USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI
KABUPATEN JEMBER”
2. Latar Belakang
Ada dua metode pembiayaan yang diterapkan di bank syariah, yaitu metode
non-profit loss sharing (non-PLS) berupa pembiayaan dengan sistem jual beli
termasuk sewa beli dan metode profit loss sharing (PLS) berupa pembiayaan dengan
sistem bagi-hasil. Menurut Triyuwono (2004) dalam sistem bagi hasil, tingkat bunga
diganti dengan tingkat laba, oleh karena itu sistem investasi didorong oleh tingkat
laba, ketika tingkat laba lebih tinggi maka total investasi juga lebih tinggi. Sehingga
tingkat laba yang positif dapat mengeliminasi permintaan uang spekulatif, tingkat
inflasi dapat dikurangi, karena hanya ada permintaan aktual untuk investasi riil.
Sistem bagi-hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan
dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip
keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian. Ketika bank menentukan tingkat
pendapatan yang ditentukan secara tetap dari dana yang dipinjamkan kepada
pengusaha tanpa mempertimbangkan


apakah pengusaha dapat atau tidak

memperoleh laba. Ketika pengusaha menderita rugi, pengusaha menderita sendirian,
sementara pihak lainnya yaitu bank tetap memperolah pendapatan tetap dari
pengusaha. Sangat berbeda dengan berdasarkan sistem bagi hasil, kedua pihak akan
memperoleh keuntungan atau menderita kerugian secara bersama-sama. Sistem bagi
hasil menggemakan nilai kebersamaan (kerjasama), keadilan, persaudaraan, yang
mana mungkin menyetir perasaan kepentingan pribadi dan sebaliknya mendorong
dan memperkuat kepentingan masyarakat. Namun menurut Karim (2004:195)
kontrak sistem bagi-hasil tidak memberikan kepastian pendapatan baik dari segi
jumlah maupun waktu. Jadi dalam kontrak ini return dan timing cash flow-nya
tergantung pada kinerja bisnis mudharib (pengelola dana mudharabah).
Antonio (2001:95) menjelaskan bahwa dalam pembiayaan mudharabah,
keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,

2

sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan

atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian.
Meskipun apabila bisnis yang didanai pembiayaan mudharabah mengalami kerugian
dan mudharib/pengelola tidak menanggung kerugian secara finansial, namun
mudharib/pengelola dana pada dasarnya menanggung kerugian berupa hilangnya
waktu dan usaha yang selama ini sudah dikerahkan tanpa mendapatkan imbalan
apapun (Karim, 2004:196).
Menurut Baiq (2006) perbankan syariah seharusnya mengembangkan dan
meningkatkan pembiayaan dengan sistem bagi-hasil seperti mudharabah karena
pembiayaan jenis ini memiliki beberapa dampak positif antara lain: 1. akan
menggairahkan sektor riil, 2. rate of return bank syariah lebih tinggi bila
dibandingkan dengan interest rate yang berlaku pada bank umum, 3. akan mendorong
tumbuhnya pengusaha/investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang
berisiko, 4. dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan
dan, 5. sistem mudharabah dan musyarakah dapat menjadi solusi alternatif atas
problem overlikuiditas yang saat ini terjadi
Yumanita (2005) menjelaskan bahwa secara umum perbankan syariah di
manapun memiliki masalah rendahnya pembiayaan bagi-hasil,

baik yang


menerapkan fully Islamic financial system atau yang menerapkan dual banking
system. Bahkan Saeed (2004) menyimpulkan bahwa bank syariah mengalami
kegagalan implementasi profit-loss sharing (PLS). Ini ditandai dengan tidak
memadainya

besaran

jumlah

pembiayaan

berbasis

PLS

(musyarakah

dan

mudharabah) dibandingkan dengan Non-PLS (murabahah, ijarah, dan lain

sebagainya).

3. Rumusan Masalah

3

Dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
adalah sebagai berikut:
a. Bagaiamana pelaksanaan operasionalisasi pembiayaan sistem bagi hasil
baik pada UMKM maupun mitra kerjanya (Bank Syariah dan Koperasi
Syariah)?
b. Bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan operasionalisasi
pembiayaan sistem bagi hasil baik pada UMKM maupun mitra kerjanya
(Bank Syariah dan Koperasi Syariah)
c. Apa saja faktor-faktor yang menjadi kendala ketidakberhasilan dan faktorfaktor pemacu keberhasilan pembiayaan sistem bagi hasil pada pada
UMKM maupun mitra kerjanya (Bank Syariah dan Koperasi Syariah)

4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka
tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan operasionalisasi pembiayaan sistem bagi
hasil baik pada UMKM maupun mitra kerjanya (Bank Syariah dan Koperasi
Syariah).
b. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan
operasionalisasi pembiayaan sistem bagi hasil baik pada UMKM maupun
mitra kerjanya (Bank Syariah dan Koperasi Syariah)
d. Untuk faktor-faktor yang menjadi kendala ketidakberhasilan dan faktorfaktor pemacu keberhasilan pembiayaan sistem bagi hasil pada pada
UMKM maupun mitra kerjanya (Bank Syariah dan Koperasi Syariah)

5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
a. Bagi akademisi

4

b. Bagi lembaga keuangan syariah
c. Bagi UMKM
d. Bagi peneliti/pembaca

6. Tinjauan Pustaka

6.1 Landasan Teori
6.1.1 Teori Keagenan
Teori keagenan menjelaskan bahwa pada sebuah perusahaan terdapat dua
pihak yang saling berinteraksi. Pihak-pihak tersebut adalah pemilik perusahaan
(pemegang saham) dan manajer perusahaan. Pemegang saham disebut sebagai
prinsipal, sedangkan manajer, orang yang diberi kewenangan oleh pemegang saham
untuk menjalankan perusahaan, disebut agen (Jensen dan Meckling, 1976). Tetapi di
satu sisi, agen memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding
dengan principal di sisi lain, sehingga menimbulkan adanya information asymmetry.
Rahmawati dkk (2006) menjelaskan bahwa teori keagenan (agency theory)
mengimplikasikan adanya informasi asimetri antara manajer sebagai agen dan
pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Hal ini juga
ditegaskan oleh Pratamasari (2003)

bahwa dalam hubungan keagenan, manajer

mempunyai informasi asimetri terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti kreditur
dan investor.
Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu untuk
melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk

memaksimumkan utility-nya. Sedangkan bagi pemilik modal dalam hal ini investor,
akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen
karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Oleh karena itu, terkadang
kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa
sepengetahuan pihak pemilik modal atau investor.
Kelly menjelaskan bahwa masalah yang timbul dari hubungan keagenan ini
sebenarnya bermula dari adanya hasrat pihak manajemen untuk tidak bertindak demi

5

kepentingan terbaik prinsipal (Abdurahman

dan Ludigdo, 2004). Agency theory

biasanya dilihat sebagai konflik kepentingan (conflict of interest) dalam akuntansi dan
perusahaan.

Artinya

dalam


kerangka

umum

model

hubungan

keagenan

memperlihatkan bahwa manajer melakukan maksimasi expected utility agar dapat
mempengaruhi desain kontrak kerja mereka. Principal dan agen dalam interaksi bisnis
tersebut sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth, kekayaan.
Akhirnya, akuntansi menjadi alat yang powerfull untuk memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada pemilik modal di satu sisi, juga dapat memberikan manfaat
injeksi modal dan investasi yang makin besar dan linier kepada agen dari pemilik
modal, yaitu manajemen perusahaan, dalam mengelola perusahaan.
Pihak yang disebut sebagai agen dalam pembiayaan mudharabah ialah para
mudharib, dan pihak yang disebut sebagai prinsipal ialah bank syariah. Hubungan

antara agen (mudharib) dan prinsipal (bank syariah) biasanya dalam situasi informasi
asimetri. Hal ini dapat terjadi disebabkan karena adanya pihak yang mempunyai
informasi lebih (agen/mudharib) dibandingkan dengan pihak lain (prinsipal/bank
syariah). Agen (mudharib) lebih banyak mempunyai informasi karena berhubungan
secara langsung dengan perusahaan. Dengan asumsi bahwa masing-masing individu
bertindak untuk memaksimalkan kepentingan pribadinya, maka dengan adanya
informasi asimetri akan mendorong agen untuk menyembunyikan informasi yang
tidak dimiliki oleh prinsipal. Dalam penyusunan laporan keuangan, agen juga
memiliki informasi asimetri sehingga agen dapat lebih fleksibel mempengaruhi
laporan keuangan guna memaksimalkan kepentingannya.
Adanya kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri ( moral
hazard) dan tingkat asimetri informasi yang tinggi, ditambah motif-motif tertentu,
kemungkinan manajemen memanfaatkan pos-pos akrual guna menyajikan laba yang
sesuai dengan kepentingannya, yang mungkin tidak sesuai dengan kepentingan
principal, seperti pemilik, pemegang saham, atau pemberi pinjaman akan lebih
besar.

6

6.1.2 Teori Akuntansi Positif

Scott (2006:240) mendefinisikan teori akuntansi positif sebagai teori
akuntansi yang berkaitan dengan prediksi beberapa tindakan yang dilakukan manajer
seperti pilihan-pilihan terhadap kebijakan akuntansi dan bagaimana manajer akan
merespon standar akuntansi yang baru diusulkan. Teori akuntansi positif didasarkan
pada tujuan yang ingin dicapai oleh teori ini adalah menjelaskan praktik akuntansi (di
masa sekarang) dan memprediksikan praktek akuntansi (di masa mendatang).
Positive accounting theory memandang perusahaan sebagai a nexus of
contracts, suatu organisasi terdiri dari susunan kontrak-kontrak, misalnya, kontrak
hutang. Dalam kontrak hutang, pemberi kredit menginginkan proteksi dalam bentuk
persyaratan rasio-rasio keuangan tertentu yang harus dipenuhinya seperti; rasio
hutang terhadap modal, rasio pendapatan terhadap biaya bunga, modal kerja minimal
dan sebagainya.
Positive accounting theory melihat bahwa kebijakan akuntansi yang dipilih
adalah dalam rangka meminimalkan biaya kontrak tersebut agar supaya tercapai
efisiensi dalam tata kelola perusahaan. Positive accounting theory mengasumsikan
bahwa para manajer adalah rasional (seperti investor) dan akan memilih kebijakan
akuntansi sesuai dengan kepentingannya sesuai hipotesis yang dikemukakan oleh
Scott (2006:243).
Menurut perspektif oportunistik, positive accounting theory memandang
bahwa para manajer memilih kebijakan akuntansi untuk memaksimalkan ekspektasi
utilitasnya terhadap gaji yang ditetapkan, debt contracts maupun biaya politik apabila
dilihat menurut perspektif efficiency, positive accounting theory memandang bahwa
sistem pengendalian intern termasuk monitoring oleh dewan direksi akan membatasi
praktik oportunisme dan memotivasi para manajer untuk memilih kebijakan akuntansi
yang meminimalkan biaya kontrak (Scott, 2003:249). Akuntansi merupakan bagian
penting dalam proses kontrak perusahaan dan agency cost bervariasi terhadap
kontrak-kontrak yang berbeda, maka prosedur akuntansi mempunyai potensi untuk

7

mempengaruhi nilai perusahaan dan atau kompensasi manajemen (Watts dan
Zimmerman, 1986:196).
Bank Islam akan menghadapi kesulitan akibat adanya keterbatasan informasi
kualitas proyek. Peminjam memiliki informasi dalam tentang aktivitas pengelola dan
kemungkinan kesuksesan proyek tidak dapat ditunjukkan kepada bank secara benar
karena setiap peminjam akan mengatakan kualitas proyek yang lebih tinggi. Risiko
yang dihadapi oleh principal adalah perilaku agent (moral hazard) seperti nasabah
dapat saja menggunakan dana tersebut bukan seperti yang disebutkan di dalam
kontrak, lalai atau kesalahan yang disengaja (mismanagement), penyembunyian
keuntungan oleh nasabah.
Secara teoritis bank Islam menghadapi dua resiko yaitu resiko moral karena
rendahnya kejujuran dan integritas sebagian peminjam dana dalam menyampaikan
kerugian, dan resiko bisnis yang berasal dari perilaku pasar yang tidak diharapkan
(Kazmi, 2004). Pendapat ini didukung oleh Edwardes (1999) bahwa bank Islam lebih
berisiko dibandingakan dengan bank pesaing di negara Barat terutama berkaitan
dengan bisnis pembiayaan perdagangan dan modal.
Kontrak bagi hasil seperti pembiayaan mudharabah memberikan keleluasan
bagi mudharib (pengelola, pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat
optimalisasi usaha yang akan dilakukannya. Dalam kondisi ideal dimana masingmasing pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally
symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first best
solution). Namun tentu tidak akan ada kondisi ideal karena masing-masing pihak
tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna. Ketidaksempurnaan ini akan
meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak yang melakukan kontrak. Sebagai
contoh shahibul maal (kreditor) memberikan pinjaman kepada mudharib (debitor),
namun karena sedikitnya informasi yang berkaitan dengan tingkat pengembalian
(expected return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal kemungkinan sangat
berpotensi akan mengalami risiko kerugian.

8

Kesulitan bank dalam menentukan kualitas peminjam akan menciptakan
masalah adverse selection khususnya pendanaan pinjaman yang tersedia dari sumbersumber pesaing. Peminjam yang mengetahui proyeknya menghasilkan keuntungan
yang rendah akan memilih pembiayaan sistem bagi hasil karena peminjam akan
meniikmati pendapatan yang lebih tinggi karena adanya rendahnya biaya modal.
Dalam kontrak bagi hasil peminjam memiliki dorongan untuk mengurangi laba yang
dilaporkan melalui creative accounting atau dengan cara mempengaruhi angka
akuntansi dalam pelaporan keuangan (earnings management). Keadaan ini akan
menyebabkan risiko pada pembiayaan sistem bagi hasil seperti produk pembiayaan
mudharabah bank syariah.

6.1.3 Teori Enterprise Syariah
Sarker (1999a) dan Yusof dan Amin (2004) menjelaskan bahwa tujuan
perusahaan adalah falah yaitu pencapaian kebahagian di dunia dan akherat, atau
kesejahteraan material and spiritual. Pencapaian falah atau kesejahteraan menurut
hukum Islam (syariah) adalah fokus utama dari aktivitas manusia di dunia. Jadi
produsen Islami

juga seperti konsumen Islami, akan mencoba memaksimalkan

kesejahteraan di dunia sekaligus juga kesejahteraan di akherat.

Selayaknya

perusahaan dengan etika syariah di samping menciptakan kesejahteraan materi juga
menciptakan kesejahteraan mental dan kesejahteraan spiritual (Triyuwono, 2006b).
Teori enterprise syariah mengfungsikan agama (syariah) sebagai suatu hal
yang menyatu dalam agency theory, maka akan memunculkan batasan perilaku
berupa kode etik bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dimensi hubungan kontrak
antara prinsipal dan agen seperti halnya antara bank Islam dengan mudharib dalam
pembiayaan mudharabah. Jika pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi (kontrak)
bisnis seperti kontrak mudharabah memiliki keyakinan akan kehidupan akherat yang
abadi dan sejahtera maka akan mempengaruhi perilaku pihak-pihak yang terlibat
untuk selaku bertindak (beretika) secara Islami dan menghindari tindakan yang
merugikan satu sama lain.

9

Sarker (1999a) mengatakan beberapa peneliti berargumen bahwa ada dua
alasan mengapa masalah prinsipal agen akan menjadi kecil dalam ekonomi Islam.
Pertama, para muslim percaya tentang kehidupan akherat yang kekal, yang mana
orang jujur akan mendapatkan pahala sedangkan orang yang tidak jujur akan
mendapat hukuman. Ini adalah insentif nonmateri bagi orang yang tidak jujur. Kedua,
jika semua kegiatan keuangan berdasarkan pembagian, para pengusaha yang jujur
akan mendorong orang yang tidak jujur keluar dari pasar.

6.1.4 Teori Akuntansi Syariah
Akuntansi syariah didefiniskan sebagai proses akuntansi yang menyediakan
informasi yang tepat/sesuai (yang tidak dibatasi pada data keuangan) kepada
stakeholders dari suatu entitas yang akan memungkinkan mereka untuk menyakinkan
bahwa entitas beroperasi secara kontinyu

dalam ikatan syariah Islam dan

mengantarkan pada tujuan falah, yaitu mencapai kebahagian dunia-akherat,
kesejahteraan materi-spiritual. Menurut Hayashi, dalam akuntansi syariah ada meta
rule yang berasal di luar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum syariah
yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan akuntansi syariah sesuai
dengan kecenderungan manusia yaitu hanief yang menuntut agar perusahaan juga
memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di
akhirat, di mana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di
hadapan Tuhan yang memiliki akuntan sendiri (malaikat Rakib dan Atid) yang
mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga
masalah sosial dan pelaksanaan hukum syariah lainnya (Harahap, 1997; Gamal,
2007). Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi (hisab) yaitu
menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek.

6.1.5 Pembiayaan Sistem Bagi Hasil

10

Bentuk khusus kontrak keuangan yang telah dikembangkan untuk
menggantikan mekanisme bunga dalam transaksi keuangan Islam (syariah) adalah
mekanisme bagi-hasil. Mekanisme bagi-hasil ini merupakan core product bagi
lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah. Sebab bank syariah secara eksplisit
melarang penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangan. Sistem bagi-hasil
diyakini sebagai alat penghapus sistem bunga (Siddiqui, 2005).
Salah satu bentuk pembiayaan dengan sistem bagi hasil adalah pembiayaan
mudharabah. Antonio (2001:95) dan Karim (2004:93) mendefinisikan mudharabah
sebagai akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Apabila karena kesalahan pengelola
maka si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.

6.1.6 Usaha Mikro Kecil Menengah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM) ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk
mendefinisikan Pengertian dan kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pengertian-pengertian UMKM tersebut adalah (Depkop,2011):
a.

Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro yaitu usaha yang
memiliki asset maksimal Rp. 50 juta dan atau memiliki omset penjualan
maksimal Rp. 300 juta.

b.

Usaha Kecil Adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang usaha yang memiliki asset lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan Rp.

11

500 juta dan atau memiliki omset penjualan lebih dari Rp. 300 juta sampai
dengan Rp. 2,5 Milyar.
c.

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha
besar yang usaha yang memiliki asset lebih dari Rp. 500 juta sampai dengan Rp.
10 milyar juta dan atau memiliki omset penjualan lebih dari Rp. 2,5 milyar
sampai dengan Rp. 50 Milyar.

6.2 Penelitian Terdahulu
Yumanita (2005) melakukan riset tentang solusi rendahnya pembiayaan bagi
hasil mudharabah pada perbankan syariah di Jawa Barat dengan pendekatan
triangulation method. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengidentifikasi fakorfaktor yang mempengaruhi rendahnya pembiayaan bagi hasil mudharabah di bank
syariah sekaligus mencari solusi pemecahan dan strategi kebijakan yang tepat untuk
mengatasi masalah tersebut. Untuk sampai kepada tujuan penelitian yang diinginkan,
beberapa tahapan dilakukan yaitu focus group discussion (FGD) dan indepth
interview dilakukan untuk mendapatkan gambaran mendalam mengenai masalah
rendahnya pembiayaan bagi hasil ini. Hasilnya kemudian dipergunakan sebagai dasar
merancang model dalam kerangka metode analytic network process (ANP) beserta
model kuesionernya untuk mendapatkan data yang diperlukan. Setelah itu, survey
menggunakan kuesioner ini dilakukan kepada pakar dan praktisi perbankan yang
dianggap.paling menguasai dan ahli tentang masalah ini. Analytic network process
ANP kemudian digunakan untuk mencari prioritas alternatif solusi dan strategi
kebijakan yang tepat, sehingga dapat memberikan masukan policy recommendations
yang tepat dan optimal.
Hasil penelitian Yumanita (2005) disimpulkan antara lain: ada dua masalah
pokok yang menyebabkan rendahnya pembiayaan mudharabah yaitu masalah

12

kurangnya pemahaman dan kualitas sumber daya insani (SDI) perbankan syariah dan
masalah kurangnya regulasi yang mendukung. Masalah lain yang berikutnya perlu
mendapat perhatian adalah dari aspek pemerintah dan institusi lain, yaitu masalah
kurangnya dukungan pemerintah dan institusi. Sedangkan rekomendasi yang dapat
digunakan yaitu: peningkatan kualitas dan kuantitas SDI dapat dilakukan secara
berjenjang, dimulai dengan jenjang jabatan yang paling atas, khususnya terkait
dengan fit and proper test direktur utama yang berkesinambungan secara berkala.
Samad dan Hassan (2003) melakukan survey terhadap bankir syariah di
Malaysia. Hasil risetnya menunjukkan bahwa pembiayaan berdasarkan sistem profit
sharing (mudharabah) and joint venture profit sharing (musyarakah) tidak populer di
Malaysia disebabkan karena hampir 40 % s/d

70% bankir kurang pengetahuan

dalam (1) menyeleksi proyek bagi hasil yang menguntungkan; (2) mengelola proyek
bagi hasil; dan (3) mengevaluasi tingkat keuntungan dari suatu proyek.
Hasil penelitian Roziq (2011) menemukan bahwa kesulitan (kendala) dalam
menjalankan pembiayaan dengan system bagi hasil (mudharabah) antara lain: kurang
keterbukaan mudharib, kejujuran mudharib yang rendah , pemenuhan komitmen yang
kurang, pemberian laporan yang sering terlambat, kesulitan memperoleh laporan
bulanan, monitoring usaha mudharib, kaporan keuangan, pembayaran proyek
mundur, proyeksi bagi hasil tidak sesuai realita, pembukuan mudharib belum rapi,
lebih membutuhkan waktu dan tenaga, kekurangan sumber daya manusia/insani,
resiko tinggi , nasabah tidak bisa membuat lap keuangan rutin, nasabah tidak
mempunyai laporan keuangn yang diaudit, penggunaan dana diluar ketentuan
kontrak, moral hazard, nasabah tidak menyampaikan laporan bulanan, nasabah
tertutup terhadap kondisi usaha, nasabah kurang paham akad syariah, laporan
keuangan belum terkomputerisasi
Roziq (2011) menyimpulkan bahwa banyaknya kendala yang dihadapi oleh
manajemen bank syariah di Jawa Timur dalam menjalankan operasionalisasi
pembiayaan mudharabah sehingga

menyebabkan pembiayaan mudharabah yang

menggunakan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) tidak bisa dijalankan secara

13

sempurna(kafah). Kendala-kendala yang ada berdampak pada pilihan pembiayaan
yang dilakukan oleh manajemen bank syariah (unit usaha syariah) lebih difokuskan
pada pembiayaan dengan sistem non bagi hasil (non profit and loss sharing). Dengan
dalih menghindari risiko disebabkan kendala dan fokus pada pembiayaan murabahah.
Penghindaran kendala sama saja dengan penghindaran pada pembiayaan yang
menggunakan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) sehingga menyebabkan
pembiayaan seperti mudharabah bukan merupakan core product dari bank syariah
yang dikenal masyarakat dengan istilah bank bagi hasil. Keadaan ini berimplikasi
pada rendahnya jumlah pembiayaan mudharabah. Menghindari risko pembiayaan
mudharabah (risk averse) menyebabkan pada penghindaran kegiatan pembiayaan
mudharabah (risk to efforts).

7. Metodologi Penelitian
7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian exploratory dan survey yang akan
dilaksanakan di wilayah Kabupaten Jember dengan menggunakan triangulation
method. Tahapan penelitian yang dilakukan melakukan studi lapangan/survei
digunakan untuk menemukan mengungkap, mengurai permasalahan pembiayaan
sistem bagi hasil di UMKM dan mitra kerjanya, Bank Syariah Mandiri, Bank
Muamalat, Bank BNI Syariah dan Koperasi Syariah Baitul Maal Wat Tamwil.

3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini data primer dan sekunder.
Data primer berupa persepsi/pendapat responden terhadap pembiayaan dengan
sistem bagi hasil. Sedangkan data sekunder berupa data perkembangan kinerja
UMKM, data/bentuk transaksi pembiayaan sistem bagi hasil laporan. Data primer
yang berupa persepsi/pendapat tentang pembiayaan dengan sistem bagi hasil
diperoleh dari persepsi pelaku usaha UMKM dan persepsi manajer Bank Syariah
Mandiri, Bank Muamalat, Bank BNI Syariah dan Koperasi Syariah Baitul Maal

14

Wat Tamwil.Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber dokumen usaha
UMKM, laporan keuangan usaha UMKM dan dokumen yang dibuat/diterbitkan
oleh mitra kerjanya yaitu bank syariah dan koperasi syariah

7.2 Metode Pengumpulan Data
Cara atau metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Angket (questionnaire)
yaitu cara pengumpulan data secara tertulis berupa sejumlah pertanyaan tertutup
maupun terbuka yang diisi oleh responden yang terdiri dari persepsi/pendapat
tentang pembiayaan dengan sistem bagi hasil diperoleh dari persepsi pelaku usaha
UMKM dan persepsi manajer Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat, Bank BNI
Syariah dan Koperasi Syariah Baitul Maal Wat Tamwil .
b. Wawancara (interview)
Yaitu metode pengumpulan data melalui pertanyaan yang diajukan secara lisan
dan langsung yaitu dilakukan dengan bertatap muka. Wawancara dapat dilakukan
kepada persepsi/pendapat tentang pembiayaan dengan sistem bagi hasil diperoleh
dari persepsi pelaku usaha UMKM dan persepsi manajer Bank Syariah Mandiri,
Bank Muamalat, Bank BNI Syariah dan Koperasi Syariah Baitul Maal Wat
Tamwil. Metode ini dapat memperkaya informasi yang tidak tertuang dalam
dokumentasi/dokumen lembaga, namun memiliki kelemahan diantaranya bias
subyektif karena perspektif orang tertentu dan juga sulit mengklarifikasi
pendapat satu narasumber dengan narasumber lainnya bila terjadi perbedaan
penilaian.
c. Dokumentasi
Yaitu cara pengumpulan data dengan mengkaji dan menganalisis neraca, laporan
penggunaan dana, laporan arus kas, laporan kinerja usaha yang terdokumentasi
dalam laporan keuangan dan dokumen lainnya.

15

7.3 Unit Analisis dan Lokasi Penelitian
Unit yang dianalisis dalam penelitian ini adalah badan usaha mikro kecil
menengah (UMKM) dan mitra usahanya bank syariah dan koperasi syariah yang
telah melakukan kerjasama usaha dan yang berlokasi di wilayah Kabupaten
Jember.

7.4 Teknis Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data kualitatif hasil
wawancara dan catatan lapangan. Setelah data-data ini diperoleh peneliti, maka akan
dilakukan analisis data menggunakan pendekatanfenomenologi, di mana peneliti
mengdeskripsikan arti data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan
merekam sebanyak mungkin sdpek situasi yang diteliti pada saat itu. Adapun
tahapan-tahapan analisis data dalam penelitian ini sesuai dengan analisis data
kualitatif model Miles dan Huberman (1992) dalam Sugiyono (2010:91), yaitu
sebagai berikut:
1) Pengumpulan data, yaitu peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa
adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan.
2) Reduksi data, yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.
Reduksi data merupakan sebuah bentuk analisis yang menggolongkan,
mengarahkan yang tidak perlu dan mengorganisir data-data yang telah direduksi
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan.
3) Penyajian data, yaitu sekumpulan informasi yang tersusun yang memungkinkan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data
merupakan analisis dalam bentuk matrik, network atau grafis sehingga dapat
dikuasai.
4) Pengambilan keputusan atau verifikasi, berarti bahwa setelah data disajikan, maka
dilakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk itu diusahakan mencari

16

pola, model, tema, hubungan, persamaan dan sebagainya. Jadi, dari data tersebut
berusaha diambil kesimpulan. Verifikasi dapat dilakukan dengan keputusan yang
didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas
masalah yang diangka dalam penelitian.

17

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001. Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek.
Jakarta:Gema Insani.
Baiq, Irfan Sauqi, 2006(a). Bank Syari’ah dan Pengembangan Sektor Riil. Pesantren
virtual.com.
Depkop,2011, Kriteria Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)
.infoukm.wordpress.com/
Gamal,

Merza, 2007. Mengenal
kabarindonesia.com/

Prinsip Akuntansi

Syari’ah.

http://www.

Harahap, Sofyan Safri, 1997. Akuntansi Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Indrianto, Nur, dan Supomo, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Karim, Adiwarman, 2004(a). Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Kedua,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Manzilati, Asfi, 2004. Pembiayaan Murabaha Sebagai Prasyarat Pembiayaan
Mudharabah Dalam Kerangka the Generalized Others. Prosiding Simposium
Nasional Sistem Ekonomi Islam II, :107-115. Malang.
Muhammad, 2002. Bank Syari’ah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman. Edisi Kedua, Yogyakarta: Ekonesia Fakultas Ekonomi UII.
Roziq, Ahmad.2011. Etika Bisnis Islami Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank
Syariah Di Jawa Timur. Jurnal Akuntansi Universitas Jember.
Rizki, Mohammad, 2003. Menghapus Fobia Terhadap Pembiayaan Bagi-Hasil.
PSTTI UI Tazkia. http://www.tazkia.co.id.
Shidiq, M. Sofyan Kabu, 2007. Pro dan Kontra Sistem Keuangan Bagi-Hasil. MSIUII Net.
______________, 2006a. Perspektif, Metodologi dan Teori Akuntansi Syari’ah.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Warjiyo, Tarsidin Perry, 2003. Perbankan Syari’ah dan Perbankan Berdasarkan
Bunga: Manakah Yang Lebih Optimal. Info Bank News.com

18