PELANGGARAN HAM BERAT dan HUKUM ACARANYA

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA LANJUT
PELANGGARAN HAM BERAT

KELAS E
Disusun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Reyno Yabri Renel
Candrika Nanda Sasmita
Ida Hafni
Heni Ristiana
Beta Avisa
Dwi Resti Prabandari

( 11010114140619 )
( 11010114170001 )

( 11010115120006 )
( 11010115120027 )
( 110101151200.... )
( 11010115120040 )

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah pokok atau hak dasar yang di bawa manusia
sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat di
ganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran
terhadap hak asasi manusia banyak terjadi meskipun sudah adanya peraturan
tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia, pelanggaran itu terjadi baik
berupa pelanggaran hak asasi manusia berat maupun ringan.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yakni kejahatan yang meliputi
kejahatn genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak sekali kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia baik kasus tersebut
sudah ditangani maupun belum dan perlu diketahui dari setiap pelanggaran hak
asasi manusia tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia biasa atau
pelanggaran hak asasi manusia berat sebab penanganan dari masing-masing
tersebut berebeda.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat ?
2. Bagaimanakah mekanisme peradilan dalam penanganan kasus pelanggaran hak
asasi manusia berat ?

BAB II
PEMBAHASAN

PELANGGARAN HAM BERAT
Peraturan
Sumber Hukum Nasional Pelanggaran HAM berat yakni berdasar pada Statuta
Roma 1998, UU.No 39 tahun 1999 dan UU. No. 26 tahun 2000.
Pengertian

Untuk mengetahui suatu peristiwa merupakan peristiwa pelanggaran hak asasi
manusia berat, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari pelanggaran hak asasi
manusia berat yang selanjutnya akan disebut pelanggaran HAM berat.
Dalam sumber hukum yang terdapat diatas dapat ditemui pengertian mengenai
Pelanggaran HAM berat yakni dalam Statuta Roma 1998 yang istilahnya The Most
Serious Crime, Rome Statute Art. 5: the most serious crimes of concern to the
international community as a whole: This Statute with respect to the following crimes:
(i) The crime of genocide; (ii) Crimes against humanity; (iii) War crimes; (iv) The crime
of aggression.
Dalam penjelasan pasal 104 UU No.39 tahun 1999 menyatakan bahwa pelanggaran
HAM berat adalah :
“Pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang wenang atau diluar putusan
pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara
paksa, perbudakan, diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
discrimination)
Dalam pasal 1 ayat (2) UU. No.26 tahun 2000
“Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Dalam UU No.26 tahun 2000 tidak menjelaskan mengenai pelanggaran HAM

berat, namun hanya menyebutkan kategori yang masuk dalam pelanggaran HAM berat.
Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 yang mayoritas isinya memuat
pelanggaran HAM berat namun dalam UU. No.26 tahun 2000 isinya Indonesia banyak
mendaopsi dari Statuta Roma 1998 namun tidak semuanya diambil seperti pada jenis

pelanggaran HAM berat, dalam Statuta Roma, pelanggaran HAM berat terdiri dari
Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan
agresi. Sedangkan, dalam UU. No. 26 tahun 2000 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah Kejahatan Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8 UU.No. 26 tahun 2000, Kejahatan genosida yakni setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk mengahancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama, dengan cara :
a. Membunuh anggota kelompok
b. Menagkibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian
d. Memaksakan tindakan tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran
didalam kelompok dan
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
menurut pasal 9 Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia : “ salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas dan sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
a.
b.
c.
d.
e.

Pembunuhan
Pemusnahan
Perbudakan
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
Perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenang-

wenang melanggar asas ketentuan pokok hukum internasinal
f. Penyiksaan
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaann

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik,ras, kebangsaan, etnis,budaya, agama, jenis
kelamin atau alasan lain yang telah diakui secarauniversal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa, atau

j. Kejahatan apartheid .”
Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang
telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2004,

yang substansinya

dirumuskan mulai dari Pasal 392 sampai dengan Pasal 395.1
Oleh karena itu kalau RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili
setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila
setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau
terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili

perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statut Roma.2
Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya
dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan
telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan
agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: thec crimes aggression” adalah the
mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan
lain yang mengikutinya3 oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat
dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari
anggota majelis negara pihak.4
Hal tersebutlah yang menjadikan Indonesia hanya menganut 2 jenis pelanggaran HAM
berat, posisi Indonesia yang hanya sekedar mengadopsi statuta roma bukan meratifikasi
membuat Indonesia tidak terikat pada ICC dalam menangani pelanggaran HAM berat.
Pengertian mengenai kejahatan genosida dankejahatan terhdap kemanusiaan merupakan
pengadopsian dari kejahatan yang merupakan yurisdikasi Internasional Criminal Court
(ICC) yang diatur dalam pasal 6 dan 7 Statuta Roma. Dalam statuta Roma terdapat Rule
of procedure and Evidence yang merupakan hukum acaranya serta terdapat Element of
Crimes yang mnejelaskan unsur unsur kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC
namun, dalam UU. No.26 tahun 200 tidak menngadopsi Element Of Crimes sehingga
sedikit membingungkan dalam menafsirkan suatu delik yang merupakan pelanggaran
HAM berat.

Beberapa contoh Kasus Pelanggarang HAM berat di Indonesia
 Peristiwa Talangsari 1989
1 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, (2004), hal. 95-99.
2 Rina Rusman, Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam Hukum Pidana Nasional, Jurnal Hukum
Humaniter, Juli 2005, vol. 1, No. 1, hal. 100.

3 H. Suwardi Martowinoto, Ulasan Hukum Mengenai International Criminal Court, Varia Peradilan, Jakarta, April,
2000, Edisi XV No. 175, hal. 109.
4 Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi
Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii.

 Tanjung Priok 1984
 Kasus Orang Hilang 1997-1998
 Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
 Peristiwa Trisakti 1998
 Peristiwa Semanggi 1998 (Semanggi I)
 Semanggi 1999 (Semanggi II)
 peristiwa Timor Timur 1999
 peristiwa Abepura 2000
 peristiwa Wasior 2001-2002

 peristiwa Wamena 20035
dalam makalah ini akan dijelaskan hanya beberapa kasus pelanggaran HAM berat yakni :
1. Kasus Tanjung Priok 1984
Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12
September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan
sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar.
Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan
akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka.Sedikitnya, 9
orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan
aparat.
Latar Belakang, Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang
anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok,
Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki, untuk
menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.Biki menolak
permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya,
dia dilaporkan memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah
pelanggaran serius terhadap etiket masjid).
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid
Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang
Hermanu saat dia sedang berbicara dengan petugas lain.Keduanya kemudian

menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang
pria pengangguran bernama Muhamad Noor....6
2. Kasus Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998,
terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari
jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di
Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang
Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976
- 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam
5 Catatatan kuliah hukum acara pidana lanjut, 26 September 2017
6 https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok , diakses tgl 22 Oktober 2017

kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan,
dan dada.
Latar belakang dan kejadian, Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal
1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR,
termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari
kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi
mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa

mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur,
diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai
menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai
berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan
terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS
Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah
Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203,
Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru
Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air
mata, Steyr, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan
satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah
telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan
peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah
peluru tajam untuk tembakan peringatan.7
3. Peristiwa Wamena, 4 April 2003 pukul 01.00 WP. Sekelompok massa tak dikenal
membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini
menewaskankan 2 anggota Kodim yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Parajurit
Ruben Kana (Penjaga gudang senjata) dan 1 orang luka berat. Kelompok
penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi. Dalam
rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri telah melakukan penyisiran,
penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan korban jiwa
dan pengungsian penduduk secara paksa. Tempat-tempat yang menjadi titik
penyisiran yakni: Desa Wamena Kota, Desa Sinakma, Bilume-Assologaima,
Woma, Kampung Honai lama, Napua, Walaik, Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma,
Kwiyawage –Tiom, Hilume desa Okilik, Kikumo, Walesi Kecamatan
Assologaima dan beberapa kampung di sebelah Kwiyawage yaitu: Luarem,
Wupaga, Nenggeyagin, Gegeya, Mume dan Timine.8

Pada beberapa contoh pelanggaran Hak asasi Manusia yang telah diuraikan diatas
yakni kasus Tanjung Priok, Kasus Trisakti, Peristiwa Wamena, masing-masing peristiwa
tersebut menimbulkan korban terhadap penduduk sipil, tidak hanya satu atau dua orang
saja penduduk sipil yang terluka atau menjadi korban namun sampai dengan angka
puluhan yang dilakukan dengan pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan dll. Sehingga
7 https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti , diakses tgl 22 Oktober 2017
8 https://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=1033, diakses tgl 23 Oktober 2017

dapatlah peristiwa tersebut dimauskan kedalam kategori pelanggaran HAM berat yakni
kejahatan terhadap kemanusiaan karena peristiwa tersebut memenuhi unsur kejahatan
kemanusiaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 9 Undan-Undang Nomor 20
tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Kasus tanjung priok, Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah
gedung

dan

akhirnya

bentrok

dengan

aparat

yang

kemudian

menembaki

mereka.Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas
oleh tindakan aparat. Dari hal itu diketahui terdapat unsur pembunuhan, penyiksaan
terhadap beberao penduduk sipil hingga mengakibatkan korban tewas.
Kasus Trisakti, terdapatnya aksi oleh mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto
turun dari jabatannya yang dilandasi dari faktor krisis ekonomi tahun 1998, terjadi
pemberontakan secara besar-besaran hingga aparat keamanan melakukan penembakan
untuk menghentikan aksi itu dan penembakan itupun berhujung pada kematian terhadap
empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Peristiwa Wamena tahun 2003 masuk kedalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
berat sebab terdapatnya unsur penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa
menimbukan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa yang terjadi karena
aparat TNI-Polri yang melakukan pengejaran terhadap pelaku yang membobol gudang
senjata Markas Kodim 1702/Wamena hingga menewaskankan 2 anggota Kodim yaitu
Lettu TNI AD Napitupulu dan Parajurit Ruben Kana (Penjaga gudang senjata) dan 1
orang luka berat.

MEKANISME PENGADILAN PELANGGARAN HAM BERAT.
Pada kasus pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia yang berat dapat dilakukan
oleh Pengadilan Nasional maupun melalui Pengadilan Internasional (Internasional
Criminal Court). Mula-mula terjadi suatu pelanggaran HAM berat kemudian Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan kepada Presiden bahwa terdapat

kasus pelanggaran HAM berat lalu setelah itu Presiden mengeluarkan Kepres yang berisi
penetapan bahwa kasus tersebut merupakan kasus pelangaran HAM berat (Pasal 43 ayat
[2] UU 26/2000), lalu dibentuk pengadilan HAM Ad hoc (Apabila kasus tersebut terjadi
sebelum Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 diundangkan ) atau diadili di Pengadilan
HAM (apabila kasus tersebut terjadi sesudah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
diundangkan), apabila Pengadilan Nasional tersebut unable/unwilling dalam menangani
kasus pelanggaran HAM berat tersebut maka Mahkamah Pidana Internasional akan
mengambil alih kasus tersebut. Namun terhadap pasal 43 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2000 ketentuan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui usul
DPR pernah dimohonkan pengujian materi kepada Mahkamah Konstitusi oleh Eurico
Guterres. Hasilnya, melalui Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 sepanjang mengenai kata
“dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Jadi, dengan adanya putusan MK tersebut dimaksudkan agar DPR
tidak boleh serta merta menduga sendiri bahwa peristiwa tersebut merupakan kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan
penyidikan dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Peangadilan Hak Asasi Manusia Indonesia berwenang untuk mengadili
pelanggaran HAM berat setalah UU No.26 tahun 2000 berlaku, Undang-Undang tersebut
sebagai undang undang yang bersifat Lex sprecialis karena terdapat beberapa
penyimpangan dalam pelaksanaan acaranya, seperti yang paling menonjol adalah asas
retroaktif, dimana tindak pidanna atau pelanggaran HAM berta yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 diundangkan dapat diadili berdasarkan undang
undang tersebut. Selain itu, dalam Undang Undang No.26 tahun 2000 juga tidak
mengenal daluarsa. Dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum Undang undang No.26 tahun 2000 seperti diaturdalam pasal 43, dilaksanakan
oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk dengan keputusan Presiden berdasarkan
usul DPR. Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana namun untuk kasus pelanggaran HAM
berat yang termuat dalam Undang Undang Nomor 26 tahun 2000 yang masuk dalam
extra ordinary crimes tidak menggunakan hukum acara yang ada di KUHAP, jadi artinya
setiap kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang undnag nomor 26 tahun 2000,
hukum acaranya menggunakan KUHAP,

Pasal 10 UU. No.26 tahun 2000
“ Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara
pelanggran hak asasi manusia yang berat dilaksanakan dengan ketentuan hukum acara
pidana”.
Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP, diantaranya:
a. pembentukan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc dan hakim ad
hoc.
b. penyelidik hanya dilakukan oleh komnas HAM sedangkan penyidik tidak
diperkenankan menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam
KUHAP
c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan
d. ketentuan mengenai korban dan saksi9
Disini akan diuraikan mengenai proses hukum dalam hal terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, yang dimulai dari penyelidikan yakni serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan
penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Yang
bertindak sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat adalah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau yang disebut dengan KOMNAS HAM.
Berdasarkan pasal 19 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 KOMNAS HAM berwenang:
1. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
2. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan
dan barang bukti;
3. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya
4. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
5. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya
yang dianggap perlu;
6. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
9 Rhona K.M Smit, Hukum dan Hak Asasi Manusia , Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008 hlm 309-310.

atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
-pemeriksaan surat;
-penggeledahan dan penyitaan;
-pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan;
-bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
-mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
Selama dilakukan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
memberitahukan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik bahwa sedang dilakukan
penyelidikan, lalu apabila KOMNAS HAM telah mempunyai cukup bukti dalam
waktu paling lambat 7 hari setelah kesimpulan, KOMNAS HAM menyerahkan
hasil penyelidikan kepada Penyidik, namun apabila ada hal yang masih kurang
lengkap Penyidik harus segera mengembalikan hasil penyelidikan dengan disertai
petunjuk untuk dilengkapi DAN dalam waktu 30 hari penyelidik harus
melengkapi atau yang disebut dengan proses Pra-Penyidikan,
Setelah proses penyelidikan dilanjutkan dengan proses penyidikan yang
dilakukan oleh Jaksa Agung.
Penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung Penyidikan wajib diselesaikan paling
lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan
lengkap oleh penyidik. Jangka waktu tsb dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90
hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Dalam hal jangka
waktu tsb habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang
paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Apabila dalam total jangka waktu dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang
cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat
dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi
hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. Dalam hal penghentian penyidikan tidak
dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak
mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10
Proses Penuntutan, proses ini merupakan kelanjutan dari proses penyidikan.
Proses penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung mengenai hal-hal yang dituntut terhadap
pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi.
Setelah proses penuntutan dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan perkara atau
pemeriksaan sidang . Pemerikasaan perkara dilakukan oleh Majelis Hakin yang terdiri
dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir yang deketuai oleh Hakim Pengadilan Hak Asasi
Manusia dalam waktu paling lama 180 hari 11.
10 Pasal 21-22 UU No.26 tahun 2000
11 Pasal 27 UU No.26 tahun 2000

Penetapan Hakim karir ini dipilih

berdasarkan

kewenangan dari Mahkamah Agung. Dan penetapan hakim ad hoc

berdasarkan pasal 28 ayat (1) hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
selaku kepala negara atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Mahkamah Pidana Internasional mempunyai kewenangan untuk menangani kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat, namun apabila suatu kasus tersebut belum atau
masih dijalankan dalam ditingkat nasional Mahkamah Pidana Internasional tidak
berwenang menanganinya, jadi apabila dalam proses nasional suatu negara tidak mampu
atau tidak dapat menangani masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi, maka
Mahkamah Pidana Internasional baru akan mengambil alih kasus tersebut dan
mengadilinya berdasarkan aturan yang ada pada Statuta Roma 1998.
Dalam Mukadimah Statuta Roma maupun Pasal 1-nya, disebutkan bahwa ICC
merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana di tingkat nasional. Artinya, ICC tidak akan
memberlakukan jurisdiksinya apabila proses peradilan di tingkat nasional belum atau
sedang dijalankan. Hal ini juga untuk menepis kekhawatiran bahwa kedaulatan suatu
negara atas wilayah dan penduduknya sendiri menjadi terlanggar dengan campur
tangannya ICC.12

12 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2997/kasus-pelanggaran-ham-berat-akan-dibawa-keiinternational-criminal-courti, diakses tgl 23 Oktober 2017

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelanggaran Hak asasi manusia terdapat dua macam yakni pelanggaran
asasi manusia yang ringan dan yang berat. Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang proses
acaranya diatur secara khusus didalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
sebab pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk kedalam extra
ordinary crimes sehingga perlu pengaturan khusus.
Dalam proses beracara kasus pelanggaran hak asasi manusia berat
menyimpang ketentuan ketentuan yang ada di KUHP, sebab Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak asasi manusia bersifat Lex
Specialis. Beberapa bentuk penyimpangannya seperti berlakunya asas retroaktif
yang dapat menjerat kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang tersebut
diundangkan serta tidak dikenal adanya daluarsa.
Proses hukum dalam penanganan kasus pelangggaran hak asasi manusia
berat dimulai dari tahap penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasioanal Hak
Asasi Manusia kemudian tahap penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung,
dilanjutkan dengan proses penuntutan oleh Jaksa Agung dan kemudian
perkaranya diperiksa di Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh oleh majelis hakim
Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim
pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Majelis hakim diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan.
B. Saran
Banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia
namun belum semuanya diproses secara tuntas, dengan adanya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang berlaku retroaktif dan
tidak mengenal daluarsa maka seharusnya aparat penegak hukum harus
menangani kasus tersebut secara tuntas dan jangan berhenti ditengah jalan,
karena pelaanggaran HAM berat merupakan sebuah kejahatan yang jahat baik
dimata nasional maupun dimata dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2004
Fowler,Jerry. 2000 Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana
Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma. Jakarta :Elsam
K.M Smit, Rhona. 2008. Hukum dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat Studi HAM
Universitas Islam Indonesia.
Martowinoto , H. Suwardi, 2000. Ulasan Hukum Mengenai International Criminal
Court Edisi XV. Jakarta: Varia Peradilan.
Rusman, Rina. 2005. Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya Dalam
Hukum Pidana Nasional : Jurnal Hukum Humaniter.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal
21-Pasal 22
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 27
Catatatan kuliah hukum acara pidana lanjut, 26 September 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok , diakses tgl 22 Oktober 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti , diakses tgl 22 Oktober 2017
https://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=1033, diakses tgl 23 Oktober
2017
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2997/kasus-pelanggaran-ham-berat-akandibawa-ke-iinternational-criminal-courti

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2