Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara doc
Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara
Oleh: Minanthi Danny Pratiwi (D III Khusus Pajak - 4A - 25 )
Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 tidak hanya berimbas pada turunnya Presiden
Soeharto atau runtuhnya orde baru. Reformasi juga mendorong lahirnya paket undangundang keuangan negara yang terdiri dari UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU No 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sebelumnya
pengeloaan keuangan negara di Indonesia masih menggunakan undang-undang warisan
pemerintah kolonial Belanda. Lahirnya paket undang-undang ini merupakan tonggak
reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Keuangan negara berdasarkan UU
No 17 tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
Pengelolaan keuangan negara mencakup dua sisi pengelolaan yakni dari aspek juridico
politis serta aspek administratif. Aspek juridico politis mencakup hubungan hukum antara
eksekutif dan legislatif terkait penyusunan dan penetapan hal-hal terkait keuangan negara
khususnya anggaran pemerintah. Hubungan ini tidak diatur dalam UUD 1945 namun diatur
dalam UU No 17 tahun 2003. Reformasi aspek juridico politis berkaitan dengan
pembahasan RUU APBN, waktu pembahasan, dan penetapan RUU APBN menjadi UU
APBN. Juga terkait pemisahan kewenangan antara pihak yang menyampaikan rencana
dengan pihak yang meminta anggaran sehingga tidak terjadi bias kewenangan. Hal ini
diwujudkan dengan munculnya komisi sektoral dan komisi anggaran di mana pembahasan
UU APBN didahului dengan pembahasan rencana kerja pemerintah oleh masing-masing
menteri bersama komisi sektoral yang membidanginya. Kemudian alokasi anggaran pada
setiap fungsi kegiatan dibahas lebih lanjut oleh komisi anggaran.
Dari aspek administratif pengeloaan keuangan negara mencakup pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Pemerintah dan
DPR. Sisi administrative juga mencakup pemisahan kewenangan Menteri Keuangan dan
Menteri Teknis selaku Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran. Kedua aspek
ini merupakan sebuah proses berkekuatan hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Beberapa kasus yang terhitung sebagai megakorupsi adalah akibat dari abainya pemegang
kekuasaan terhadap kedua aspek ini. Sebagai ilustrasi, proyek e-KTP yang marak
belakangan ini pada dasarnya adalah pelanggaran konstitusional (terahadap aspek juridico
politis). Proyek yang sebelumnya ditetapkan sebagai proyek single year berubah menjadi
multi year di tengah tahun anggaran tanpa melalui persetujuan DPR.
Mengingat ruang lingkup keuangan negara adalah fiscal, moneter, dan kekayaan negara
yang dipisahkan, maka reformasi atas keuangan negara juga mencakup ruang lingkupnya.
Sejak reformasi, target penerimaan pajak setiap tahunnya tidak lagi ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak melainkan DPR. Lantas term “dipisahkan” pada pengelolaan
kekayaan negara disebabkan oleh beberapa hal. Pertama negara tidak diperkenankan
mencari keuntungan dan agar lebih fleksibel dalam pengelolaannya. Kekuasaan atas
pengeloaan negara ini diharapkan mampu mencapai tujuan bernegara sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 4
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa…”
Oleh: Minanthi Danny Pratiwi (D III Khusus Pajak - 4A - 25 )
Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 tidak hanya berimbas pada turunnya Presiden
Soeharto atau runtuhnya orde baru. Reformasi juga mendorong lahirnya paket undangundang keuangan negara yang terdiri dari UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU No 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sebelumnya
pengeloaan keuangan negara di Indonesia masih menggunakan undang-undang warisan
pemerintah kolonial Belanda. Lahirnya paket undang-undang ini merupakan tonggak
reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Keuangan negara berdasarkan UU
No 17 tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
Pengelolaan keuangan negara mencakup dua sisi pengelolaan yakni dari aspek juridico
politis serta aspek administratif. Aspek juridico politis mencakup hubungan hukum antara
eksekutif dan legislatif terkait penyusunan dan penetapan hal-hal terkait keuangan negara
khususnya anggaran pemerintah. Hubungan ini tidak diatur dalam UUD 1945 namun diatur
dalam UU No 17 tahun 2003. Reformasi aspek juridico politis berkaitan dengan
pembahasan RUU APBN, waktu pembahasan, dan penetapan RUU APBN menjadi UU
APBN. Juga terkait pemisahan kewenangan antara pihak yang menyampaikan rencana
dengan pihak yang meminta anggaran sehingga tidak terjadi bias kewenangan. Hal ini
diwujudkan dengan munculnya komisi sektoral dan komisi anggaran di mana pembahasan
UU APBN didahului dengan pembahasan rencana kerja pemerintah oleh masing-masing
menteri bersama komisi sektoral yang membidanginya. Kemudian alokasi anggaran pada
setiap fungsi kegiatan dibahas lebih lanjut oleh komisi anggaran.
Dari aspek administratif pengeloaan keuangan negara mencakup pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Pemerintah dan
DPR. Sisi administrative juga mencakup pemisahan kewenangan Menteri Keuangan dan
Menteri Teknis selaku Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran. Kedua aspek
ini merupakan sebuah proses berkekuatan hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Beberapa kasus yang terhitung sebagai megakorupsi adalah akibat dari abainya pemegang
kekuasaan terhadap kedua aspek ini. Sebagai ilustrasi, proyek e-KTP yang marak
belakangan ini pada dasarnya adalah pelanggaran konstitusional (terahadap aspek juridico
politis). Proyek yang sebelumnya ditetapkan sebagai proyek single year berubah menjadi
multi year di tengah tahun anggaran tanpa melalui persetujuan DPR.
Mengingat ruang lingkup keuangan negara adalah fiscal, moneter, dan kekayaan negara
yang dipisahkan, maka reformasi atas keuangan negara juga mencakup ruang lingkupnya.
Sejak reformasi, target penerimaan pajak setiap tahunnya tidak lagi ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak melainkan DPR. Lantas term “dipisahkan” pada pengelolaan
kekayaan negara disebabkan oleh beberapa hal. Pertama negara tidak diperkenankan
mencari keuntungan dan agar lebih fleksibel dalam pengelolaannya. Kekuasaan atas
pengeloaan negara ini diharapkan mampu mencapai tujuan bernegara sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 4
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa…”