PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA DI ACEH:
KEBUTUHAN DAN KONDISI RIIL
oleh
Muhammad Arif Fadhilah
(1309200100001)

A. Kebutuhan Bahan ajar Bahasa Indonesia di Aceh
1. Perspektif nasional pengembangan bahan ajar
Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah
menetapkan standarisasi dalam pendidikan. Penetapan ini bertujuan untuk
menyelenggarakan pendidikan yang memiliki kualitas yang merata pada tiap daerah
di Indonesia. Standarisasi tersebut meliputi standar isi, pelaksanaan, evaluasi, sarana,
tenaga kependidikan, pengelolaan dan pembiayaan. Berkaitan dengan standar-standar
yang ditetapkan oleh pemerintah ini, pengembangan bahan ajar memiliki sebuah
panduan yang diterbitkan oleh BSNP.
Pengembangan bahan ajar harus sesuai dengan kriteria yang tercakup dalam
buku Standar Isi yang diterbitkan oleh BSNP mencakup keempat aspek berbahasa;
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis yang kesemuanya memiliki standar
minimal pengajaran dan pencapaian siswa. Keempat aspek ini secara integratif
dimanfaatkan dalam proses komunikasi menggunakan bahasa yang efektif, efisien
serta santun dan taat etika. Lebih lanjut lagi, pengembangan bahan ajar ini

memerlukan kontribusi pihak daerah dalam penyesuaian dan penyertaan unsur
kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Kemudian seiring dengan penerapan Kurikulum 2013, pengembangan bahan
ajar bahasa Indonesia diarahkan menjadi sebuah bentuk integeratif tekstual. Hal ini
bermakna bahwa bahan ajar disajikan dalam berbagai bentuk teks yang dalam

pelaksanaan proses belajar mengajar digunakan untuk mengembangkan keempat
aspek kebahasaan.
Lebih lanjut lagi jika dikaitkan dengan standar kompetensisi lulusan, peserta
didik harus memiliki kemamampuan kompetensi aplikatif teks. Hal ini bermakna
bahwa selain memahami pelbagai jenis teks dan wacana, peserta didik juga dituntut
untuk

mampu

menguasai,

memproduksi

serta


memanfaatkannya

untuk

menyampaikan gagasan. Dengan demikian, ditinjau dari perspektif nasional, peserta
didik dituntuk untuk mampu menguasai keempat kemampuan berbahasa yang
diintegrasikan dalam berbagai genre teks.
2. Perspektif pembelajaran bahasa Indonesia di Aceh
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar resmi yang digunakan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian seyogianya bahasa Indonesia
digunakan luas dalam berbagai konteks resmi, termasuk dalam proses belajar
mengajar. Namun demikian, pembelajaran bahasa Indonesia di Aceh terlihat belum
maksimal. Hal ni tercermin dari nilai rata-rata Ujian Nasional yang diperoleh peserta
didik, lebih lanjut lagi pada mata pelajaan bahasa Indonesia. Pada tahun 2014, Aceh
menempati peringkat terendah ketidaklulusan peserta didik pada Ujian Nasional.
Berkenaan dengan posisi bahasa Indonesia dan tuntutan Standar Nasional
Pendidikan, dapat dipahami bahwa Aceh masih memiliki kekurangan pada aspek
pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini terutama disebabkan karena posisi bahasa
Indonesia pada sebagaian masyarakaat Aceh masih sebagai bahasa kedua. Ditambah

lagi dengan tuntutan bahan ajar tekstual yang diterapkan, peserta didik yang hanya
menggunakan bahasa Indonesia pada situasi tertentu, pastilah menyebabkan
pemahaman pada teks tersebut tidak sempurna. Pemahaman ini dikarenakan
pembelajaran tekstual integratif memerlukan aplikasi langsung agar berbagai jenis

teks diapahami, dikuasai serta mampu diguankan pada kondisi nyata. Sedangkan di
Aceh, pembelajaran ini hanya berlangsung di sekolah dan peserta didik kembali
berbahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Kondisi ini tentu mempengaruhi
tingkat penguasaan siswa pada kemampuan berbahasa Indonesia.
Dengan demikian, pengembangan bahan ajar yang tepat menjadi kunci
pembelajaran bahasa Indonesia di Aceh. materi yang sesuai dengan posisi bahasa
Indonesia yang masih diposisikan sebagai bahasa kedua serta diiringi dengan berbagai
kegiatan pembelajaran aplikatif adalah fokus utama pengembangan bahan ajar. Lebih
lanjut lagi bahan ajar yang dikembangkan seharusnya mengandung konten
kedaerahan agar membuat bahasa Indonesia lebih familiar serta memiliki nilai
manfaat bagi Aceh dan budaya Aceh sendiri.
B. Kondisi Bahan ajar Bahasa Indonesia di Aceh; Fenomena di Tinjau dari Beberapa Aspek
1. Bahan ajar book-centered; berpaku pada buku teks
Tidak maksimalnya pembelajaran bahasa Indonesia ddi Aceh dapat dikaji dari
berbagai aspek. Salah satu aspek yang menjadi fokus disini adalah pengajaran bahasa

Indonesia yang berpaku pada buku teks. Pengajaran yang berpaku pada buku teks ini
memiliki kelemahan, terutama pada adaptabilitas dan kesesuaian bahan ajar dengan
kondisi lokal.
Sebagaimana yang telah diketahui, buku paket yang digunakan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di Aceh mayoritas diterbitkan oleh penerbit luar Aceh.
buku-buku tersebut disusun oleh tim yang bukan berlatar belakang budaya Aceh.
sehingga konten lokal yang terdapat pada buku tesebut amat sedikit. Lebih lanjut lagi,
penyusunan buku tersebut tidak didasarkan pada analisis kebutuhan pembelajaran
bahasa Indonesia di Aceh. sebagai dampaknya, buku yang dihasilkan tidak sesuai
dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik di Aceh.

Namun demikian, para guru bahasa Indonesia di Aceh cenderung menggunakan
buku-buku tersebut tanda adaptasi. Pegajaran bahasa Indonesia yang hanya
menggunakan buku cetak tersebut tanpa adaptasi menyebabkan hasil pembelajaran
tidak maksimal karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakter peserta didik
sendiri.
2. Kurangnya pemahaman guru terhadap pengembangan bahan ajar
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, para guru di Aceh hanya
berpaku pada buku teks yang telah ada dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Pengembangan bahan ajar seharusnya adalah salah satu prioritas guru pada

pembelajaran. Bahan ajar yang dikembangkan oleh guru sendiri lebih baik
dibandingkan dengan buku teks yang tersedia karena sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan peserta didik yang bersangkutan. Pada guru masih masih kurang
memahami prinsip-prinsip pengembangan bahan ajar; mulai dari analisis kebutuhan,
pemilihan materi,

penyusunan bahan, penyusunan evaluasi

hingga proses

penyuntingan akhir.
Lebih lanjut lagi, hal ini disebabkan oeh kurangnya pengetahuan guru bahasa
Indonesia di Aceh terhadap literasi kebahasaan. Ketidakpekaan guru dalam
pemanfaatan berbagai sumber untuk penyusunan bahan ajar juga menjadi salah satu
penyebab kurangnya pemahaman guru dalam penyusunan bahan ajar.
C. Solusi Pengembangan Bahan ajar
1. MGMP sebagai wadah pengembangan bahan ajar
Salah satu solusi yang dapat ditempuh berkenaan dengan permasalahan yang
dipaparkan sebelumnya adalah pemanfaatan wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) sebagai wadah pengembangan bahan ajar. MGMP sebagai musyawarah

guru-guru mata pelajaran bahasa Indonesia seharusnya dapat menjadi tempat
pengembangan bahan ajar yang sesuai kondisi peserta didik.

Pada pelaksanaan MGMP yang rutin, para guru dapat memusyawarahkan
mengenai penyusunan bahan ajar. Analisis kebutuhan peserta didik dalam
pembelajaran, pengumpulan bahan, penyusunan bahan, penyusunan instrumen
evaluasi hingga proses penyuntingan bahan ajar dapat dilakukan kelompok guru mata
pelajaran bahasa Indonesia pada MGMP. Hal ini tentu saja menjadikan MGMP lebih
bermanfaat dalam proses pembelajaran.
Kemudian pemanfaatan MGMP sebagai wadah pengembangan bahan ajar juga
memiliki sisi positif jika ditnjau dari pendanaan. Pamanfaatan dana Blockgrant yang
disalurkan pada tiap KKG dapat dimanfaatkan sebagai dana pendukung
pengembangan bahan ajar. Dengan adanya dana yang memadai tersebut, penyusunan
bahan ajar tenu saja dapat berjalan lebih optimal.
2. Kerjasama antar stakeholder dalam pengembangan bahan ajar berkarakter lokal dan
memenuhi tuntutan nasional
Kerjasama antar berbagai pihak yang terkait dengan pembelajaran terhadap
pengembangan bahan ajar, terutama bahan ajar bahasa Indonesia juga seharusnya
dapat menjadi unsur pokok pengembangan bahan ajar di Aceh. berbagai pihak yang
semestinya dapat terlibat dalama pengembangan bahan ajar masih kurang

dimanfaatkan dalam proses tersebut.
Orang tua peserta didik, pemuka masyarakat serta pihak industri masih tidak
berperan pada pengembangan bahan ajar di Aceh. Orang tua seharusnya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber data mengenai bahasa pertama yang digunakan peserta
didik di lingkungan. Kemudian, pemuka masyarakat dapat menjadi sumber data
mengenai unsur lokal yang dapat dimasukkan dalan bahan ajar. Pihak industri
setempat dapat menjadi salah satu penyokong dana serta memberikan sara-saran

materi ajar yang berorientasi pada bidang kerja maupun bidang keahlian tertentu,
sehingga bahan ajar yang dihasilkan menjadi lebih bermakna.
Peran aktif guru dan kepala sekolah memanfaatkan pihak-pihak yang berkaitan
tersebut sangat penting dalam pengembangan bahan ajar. Pihak-pihak tersebut dapat
menjadi sumber data analisis kebutuhan pembelajaran. Mereka dapat memberikan
input mengenai materi ajar yang sesuai diajarkan pada pembelajaran bahasa
Indonesia. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan
berlandaskan pada karakter lokal, namun tetap memenuhi Standar Nasional
Pendidikan.
D. Penutup
Pengembangan bahan ajar secara mandiri ternyata masih belum dilakukan oleh para
guru di Aceh. Hal ini memiliki dampak besar terhadap hasil pembelajaran, terutama pada

bahasa Indonesia. Kurangnya kreativitas guru serta pemanfaatan MGMP dan pihak-pihak
yang

terkait

dengan

pembelajaran

menjadi

penyebab

guru

masih

enggan

mengembangkan materi ajar sendiri. Disisi lain, ketersediaan buku paket semakin

menjadikan guru berpaku pada buku teks (book-centered) pada pembelajaran. Pengajaran
demikian tentu saja memiliki daya adaptabilitas yang rendah terhadap kebutuhan riil
siswa.
Disarankan pada guru-guru untuk dapat mengembangkan bahan ajar sendiri. wadah
MGMP dapat dimanfaatkan sebagai tempat musyawarah penyusunan bahan ajar yang
sesuai dengan karakter lokal. Selain itu, peran serta berbagai pohak juga seharusnya
ditingkatkan, khususnya dalam pengembangan bahan ajar. Dengan demikian, akan
dihasilkan bahan ajar yang familiar, mudah digunakan, memenuhi kebutuhan serta tetap
sesuai dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006: Standar Isi.
Brown, James Dean. 1995. The Elements of Language Curriculum. Boston; Heinle and Heinle
Publisher
Graves, Kathleen. 2000. Designing Language Courses: A Guide for Teachers. Boston; Heinle
and Heinle Publisher
Mahsun. 2014. Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan