Implementasi Proses Kebijakan Alokasi Dana Desa Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok , sub variabel , atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto , 2002: 92 ). Sebagai landasan berfikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti.

II.1.1 Kebijakan Publik

Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku Negara pada umumnya, atau seringkali diberikan makna sebagai tindakan politik. Hal ini semakin jelas dengan adanya konsep kebijakan dari Carl Freidrich ( Irfan Islami, 2001: 3 ) yang mendefinisikan kebijakan sebagai berikut : “ …a proposed course of action of a person, group, or government within a given environment providing abstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in and effort to reach a goal or realize an objective or a purpose “ (….serangkaian tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap pelaksanaan usulam kebijakan untuk mencapai tujuan).


(2)

James E. Anderson mendefinisikan kebijaksanaan itu adalah “a purposive course of action followed by an actor or set actors in dealing with a problem or metter of concern “ (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Sedangkan Amara Raksasataya menyebutkan bahwa kebijaksanaan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Sedangkan pemahaman mengenai kebijakan publik sendiri masih terjadi adanya silang pendapat dari para ahli. Namun dari beberapa pendapat mengenai kebijakan publik terdapat beberapa persamaan, diantaranya yang disampaikan oleh Thomas R. Dye (Irfan Islamy, 2001:18) yang mendifinisikan kebijakan publik sebagai “is what ever government chose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannnya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua “tindakan” pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu, “sesuatu yang tidak dilaksanakan” oleh pemerintah pun termasuk kebijaksanaan negara. Hal ini disebabkan karena “


(3)

sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.

George C. Edward III dan Ira Sharkansky memiliki pendapat yang hampir sama dengan Thomas R. Dye mengenai kebijakan publik, yaitu “...is what government say to do or not to do, it is goals or purpuses of government program …” (…adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, kebijakan public itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah…). Namun dikatakan bahwa kebijakan publik itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan perundangundangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah (Irfan Islamy, 2001: 19)

Oleh karenanya dalam terminology ini, kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan riil yang muncul ditengah-tengah masyarakat untuk dicarikan jalan keluar baik melalui peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan pejabat birokrasi dan keputusan lainnya termasuk peraturan daerah, keputusan pejabat politik dan sebagainya.

Dalam perannya untuk pemecahan masalah, Dunn (1994: 30) berpendapat bahwa tahap penting dalam pemecahan masalah publik melalui kebijakan adalah : a. Penetapan agenda kebijakan (Agenda setting)

b. Formulasi kebijakan (Policy formulation) c. Adopsi kebijakan (Policy adoption)

d. Implementasi kebijakan (Policy Implementation) e. Penilaian Kebijakan (Policy assesment)


(4)

Setiap tahap dalam pengambilan kebijakan harus dilaksanakan dan dengan memperhatikan sisi ketergantungan masalah satu dengan yang lainnya.

Proses penetapan kebijakan atau yang sering dikenal dengan policy making process, menurut Shafrits dan Russel dalam Keban (2004: 63) yang pertama merupakan agenda setting dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, (2) keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) tahap implementasi kebijakan, (4) evaluasi program dan analisa dampak, (5) feedback yaitu memutuskan untuk merevisi atau menghentikan. Proses kebijakan diatas bila diterapkan akan menyerupai sebuah siklus tahapan penetapan kebijakan.

Dengan demikian kebijakan publik adalah produk dari pemerintah maupun aparatur pemerintah yang hakekatnya berupa pilihan-pilihan yang dianggap paling baik, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi publik dengan tujuan untuk dicarikan solusi pemecahannya secara tepat, cepat dan akurat, sehingga benar adanya apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan pemerintah dapat saja dipandang sebagai sebuah pilihan kebijakan.

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga biasanya belum dijelaskan secara rinci dan birokrasi yang harus menerjemahkannya sebagai program aksi dan proyek. Komponen cara berkaitan siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja


(5)

kebijakan diukur. Komponen inilah yang disebut dengan implementasi (Wibawa, dkk., 1994: 15).

Implementasi kebijakan, sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari pada itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980). Mengenai hal ini Wahab (2002: 59) menegaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji (dalam Wahab, 2002: 59) mengatakan bahwa “the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplemantasikan).

Menurut Michael Howlett dan Ramesh (1995: 153) mengenai implementasi kebijakan, menerangkan bahwa : ” after a public problem has made its way to the policy agenda, various options have been proposed to resolved it, and goverment has made some choice among those options, what remains is putting the decision into practice”...the policy implementation is defined as the process whereby programs or policies are carried out; its denotes the translation of plans into practice” (setelah masalah publik ditentukan, maka itu merupakan jalan menuju agenda kebijakan, bermacam pilihan telah ditentukan untuk


(6)

memecahkannya, dan pemerintah telah membuat beberapa pilihan dari alternatif tersebut, yang menempatkan keputusan menjadi pelaksanaan, ...implementasi kebijakan merupakan proses dari sebuah program atau kebijakan dilaksanakan ; yang ditandai dengan terjemahan dari rencana menuju pelaksanaan”.

Senada dengan apa yang dikemukakan para ahli diatas, Winarno (2002: 29) mengemukakan bahwa ”suatu program kebijakan akan hanya menjadi catatan-catatan elit saja jika program tersebut tidak dimplementasikan”. Artinya, implementasi kebijakan merupakan tindak lanjut dari sebuah program atau kebijakan, oleh karena itu suatu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.

Metter dan Horn (1975: 6) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Definisi ini menyiratkan adanya upaya mentransformasikan keputusan kedalam kegiatan operasional, serta mencapai perubahan seperti yang dirumuskan oleh keputusan kebijakan.

Pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dikemukakan oleh William dan Elmore sebagaimana dikutip Sunggono (1994: 139), didefinisikan sebagai “keseluruhan dari kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan”. Sementara Mazmanian dan Sabatier (Wibawa dkk, 1986: 21) menjelaskan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyata-nyata terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan


(7)

yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara, baik itu usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa. Sedangkan Wibawa (1994: 5), menyatakan bahwa “implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dari suatu kebijakan atau program”.

Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri target group, melainkan menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa konsekuensi logis terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun dampak yang tidak diharapkan (spillover/negatif effects).

II.1.2.1 Model Implementasi Kebijakan A. Model Meter dan Horn

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan. 2. Sumber daya.

3. Karakteristik organisasi pelaksana. 4. Sikap para pelaksana.


(8)

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik.

Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar Dan Sasaran Kebijakan / Ukuran Dan Tujuan Kebijakan

Standar dan ketepatan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. Mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut (Subarsono, 2005:99).

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.


(9)

3. Karakteristik Organisasi Pelaksana

Karakteristik organisasi pelaksana maksudnya adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

4. Hubungan antar organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

5. Disposisi atau Sikap Para Pelaksana

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

6. Kondisi Sosial, Politik dan Ekonomi

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungna bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakan elit politik mendukung implementasi kebijakan.


(10)

Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1: Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Sumber: Subarsono, 2005:100

B. Model Merilee S Grindle (1980)

Merilee memberi pemahaman bahwa studi implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Merilee juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana

Sumber Daya

Karakteristik badan pelaksana

Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Disposisi Pelaksana

Lingkungan

ekonomi, sosial dan politik

Kinerja kebijakan


(11)

kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan yang cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi: 1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan 5. Para pelaksana program

6. Sumber daya yang dikerahkan

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud adalah: 1. Kekuasaan

2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat 3. Karakteristik lembaga dan penguasa 4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana


(12)

Gambar 2: Implementasi sebagai proses politik dan administrasi menurut Merilee dan Grindle

Sumber: Subarsono, 2005:94

C. Model Mazmanian dan Sabatier (1983) Kerangka Analisis Implementasi

Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan publik adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangkan analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel, yaitu:

I. Karakteristik dari masalah, indikatornya adalah:

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan

Implementasi dipengaruhi oleh A. Isi Kebijakan

1. Kepentingan kelompok sasaran 2. Tipe manfaat

3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Pelaksanaan program

5. Sumber daya yang dilibatkan B. Lingkungan Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

Hasil kebijakan a. Dampak pada

masyarakat dan, individu dan kelompok b. Perubahan dan

penerimaan masyarakat mengukur keberhasilan Program yang dilaksanakan sesuai rencana Program aksi dan

proyek individu yang di desain dan didanai

Tujuan kebijakan

Tujuan yang dicapai?


(13)

D. Model George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy. Implemetasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pemebentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhuinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekali pun kebijakan itu diimplemetasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut Edwards, terdapat empat faktor atau variable krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor atau variable tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2002:174-202). a. Komunikasi

Menurut Edwards, persyaratan utama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana.


(14)

II. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah: a. Kejelasan isi kebijakan

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis

c. Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institut

pelaksana

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan

III. Variabel Lingkungan, indikatornya adalah:

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi b. Dukungan publik terhadap suatu kebijakan

c. Sikap dari kelompok pemilih


(15)

Gambar 3: Variabel-Variabel yang Memengaruhi Proses Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier

Sumber: Subasono, 2005:95 Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses impelementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Digukannya teori klausal yang

memadai

3. Ketepatan alokasi sumber daya 4. Keterpaduan hirearki dalam dan

antara lembaga pelaksana

5. Aturan-aturan keputusan dan badan pelaksana

6. Rekruitmen pejabat pelaksana 7. Akses formal pihak luar

Tahap-tahap dalam proses implementasi (Variabel Tergantung)

Output kebijakan Kepatuhan dampak nyata dampak output perbaikan Dari badan-badan kelompok sasaran output kebijakan mendasar Pelaksana terhadap output kebijakan sebagaimana dalam

kebijakan dipersepsi undang- undang Variabel diluar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi 1. Kodisi sosi- ekonomi dan

teknologi

2. Dukungan publik

3. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok pemilih 4. Dukungan dari kelompok atasan 5. Komitmen dan ketrampilan

kepemimppinan pejabat-pejabat pelaksana

Mudah/tidaknya masalah dikendalikan

1. Kesulian teknis 2. Keragaman perilaku

kelompok sasaran 3. Presentase kelompok

sasaran dibanding jumlah populasi

4. Ruang llingkup perubahan perilaku yang diinginkan


(16)

Akan tetapi banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan hambtan-hambatan ini mungkin menghalangi pelaksanaan kebijakan.

b. Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemhkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan pelayanan publik.

c. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit. d. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak


(17)

sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.

Gambar 4: Faktor Penentu Implementasi menurut Edward III

Sumber: Subarsono, 2005:91 komunikasi

implementasi sumber daya

struktur organisasi


(18)

II.1.3 Variabel yang Relevan dengan Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan (ADD/K) di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Solichin (2004:70) mengemukakan semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin maendalam analisis yang dilakukan semakin diperlukan teori atau model yang relative operasional, model yang mampu menghubungkan kausalias antar variabel yang menjadi fokus masalah. Oleh karena itu, model yang dipakai dalam penelitian Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa/Kelurahan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013 adalah dengan melihat variabel:

1. Komunikasi

George C. Edward (Winarno, 2002:126) menyatakan bahwa ada tiga tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, kkonsistensii dan kejelasan. Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapa mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Faktor kedua yang mempengaruhi komunikasi adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi tersebut harus jelas. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah, bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.


(19)

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsun efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah-perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.

2. Sumber Daya

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian sumber-sumber dapat merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik (Winarno, 2002:132). Unsur manusia di dalam organisasi mempunyai kedudukan yan sangat strategis karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa yang perlu diambil dari lingkungan, dan bagaimana caranya untuk mendapatkan atau menangkap input tersebut, teknologi dan cara apa yang dianggap tepat untuk mengolah atau mentransformasikan input-input tersebut menjadi output-output yang memenuhi keinginan lingkungan. Winarno (2002:138) juga menyebutkan bahwa sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri dari jumlah staf yang mempunyai ketrampilan yang memadai serta jumlah yang cukup, kewenangan,informasi dan fasilitas. unsur

3. Struktur Organisasi

Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak


(20)

sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatakn kolektif, dalam rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama, berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.

4. Sikap

Sikap adalah reaksi atas rangsangan suatu obyek tertentu yang diikuti dengan kecenderungan untuk bertindak atau bertingkah laku, baik berua sikap mendukung

atau menolak. Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor

ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan semakin sulit. 5. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Menurut Van Metter dan Van Horn ( Winarno, 2002 : 110 ) identikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana


(21)

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Namun demikian, dalam banyak kasus ditemukan beberapa kesulitan untuk mengidentifikasi dan mengukur pencapaian. Van Meter dan Van Horn mengemukakan bahwa ada dua penyebab untuk menjawab hal ini, yaitu pertama, disebabkan oleh bidang program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks. Kedua, akibat dari kekaburan-kekaburan dan kontradiksikontradiksi dalam pernyataan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.

Sejalan dengan pendapat di atas, Mazmanian dan Sabatier (Subarsono 2001:102), menyatakan bahwa standar dan tujuan kebijaksanaan yang dirumuskan dengan cermat dan disusun dengan jelas dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman yang konkrit bagi pejabat pelaksana dan sebagai sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri.

II.1.4 Desa

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, “deca” yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau “village” diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa “Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.


(22)

Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (Widjaja, 2003: 3). Menurut Nurcholis dalam bukunya yang berjudul “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa” menyebutkan bahwa desa adalah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan menggatur urusan masyarakat setempat berdasarkan asal usulnya.

Menurut P.J. Bournen dalam Nurcholis desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial. Menurut R.H. Unang Soenardjo masih dalam Nurcholis menyebutkan desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hokum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karna sama-sama memiliki kepentingan ekonomi, politik, social, dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

Berdasarkan beberapa penjelasan defenisi-defenisi diatas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa desa adalah suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk yang saling mengenal atas dasar hubungan kekerabatan atau kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan yang dalam pertumbuhannya


(23)

menjadi kesatuan masyarakat hokum berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan lahir batin antara masing-masing warganya, mempunyai hak mengatur rumah tangga sendiri, dan secara administratif berada di bawah pemerintahan kabupaten/kota.

Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan otonomi daerah.

Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yakni:

a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota;

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang- undangan diserahkan kepada desa


(24)

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa, yakni: Pertama, faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga. Kedua, faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat. Ketiga, faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun. Keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa. Kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat. Keenam, faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.

II.1.4.1 Konsep Otonomi Desa

Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya, pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa


(25)

dalam mewujudkan “Development Community”, dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community”, yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengaturnya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.

Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskan sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang;

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.


(26)

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan kabupaten/ kota diserahkan pengaturannya kepada desa.

Menurut Soetardjo dalam Nurcholis (2011:21) bentuk dan isi otonomi dapat dilihat dari ciri-cirinya, antara lain:

1. Otonomi di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat. Desa secara otonom mengatur sistem keamanan menyeluruh yang mencakup, membuat, dan memelihara gardu desa, penjagaan di gardu, penjagaan keliling desa, penjagaan atas keselamatan pengairan dan pembagian air, dan penjagaan lumbung desa.

2. Otonomi di lapangan pertanian/peternakan/perikanan. Desa memikul tanggung jawab atas tersedianya pangan bagi warganya untuk itu, desa mangatur system pengairan dan mengelola lumbung desa.

3. Otonomi di bidang keagamaan. Bagi warga desa pranata keagamaan mempunyai fungsi khusus, yaitu menciptakan harmoni antar warga desa. 4. Otonomi di bidang kesehatan rakyat. Desa mempunyai kewajiban menjaga

kebersihan rumah dan lingkungan warganya, kandang hewan, selokan-selokan dalam desa, dan kuburan desa. Secara berkala desa bekerjasama dengan petugas kesehatan mengadakan suntik cacar, disentri, dan malaria.


(27)

5. Otonomi di bidang pengajaran. Pemerintah berkewajiban mendata anak usia sekolah. Pemerintah desa bertanggung jawab terhadap pemeliharaan gedung sekolah dan keamanan sekolah.

6. Otonomi di bidang perkreditan/lumbung desa. Desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan usaha perkreditan bagi warga desanya. Lembaga ini dikenal dengan lumbung desa. Lumbung desa adalah usaha perkreditan yang diusahakan sendiri dari dan oleh warga desa sendiri yang berbentuk simpan pinjam padi. Pada saat panen, petani menyimpan sebagian hasil panennya di lumbung desa. Kemudian menjelang musim tanam, padi diambil kembali.

7. Otonomi di bidang pasar desa. Desa mempunyai hak untuk

menyelenggarakan pasar desa. Pasar desa dikelolah oleh sendiri. Penghasilan dari pasar desa masuk ke kas desa yang selanjutnya dipakai untuk kesejahteraan dan pembangunan desa.

8. Otonomi atas tanah. Desa mempunyai dua hak atas tanah: 1) Hak Yasan dan 2) Hak Komunal. Hak Yasan adalah hak yang diberikan kepada seorang warganya untuk dimiliki secara perorangan atas hak ini, yang bersangkutan bisa menjual atau memberikannya kepada orang lain. Jadi, hak Yasan ini sama dengan hak milik. Sedangkan Hak Komunal adalah hak untuk memiliki tanah desa secara tetap. Warga yang menerima hak ini hanya mempunyai hak menggarap. Warga tidak boleh menjualnya. Pemilikannya sepenuhnya tetap ada pada desa.


(28)

9. Otonomi di bidang Gotong Royong/ Kerja bakti. Pemerintah desa mempunyai hak untuk mengerahkan warganya bekerja bakti untuk kepentingan desanya, misalnya pemeliharaan jalan dan panggung, pemerliharaan parit dan selokan, banjir, rumah roboh, dan lain-lain.

10. Otonomi di bidang Arisan. Arisan adalah suatu perkumpulan warga desa yang bertujuan menyelesaikan pekerjaan salah satu anggotanya secara bersama contoh kegiatan-kegiatan yang dilakukan degan cara arisan adalah mencangkul sawah, menanam padi, perayaan desa, dan sebagainya.

11. Otonomi di bidang pengadilan . Pengadilan adalah lembaga hukum asli yang dimiliki oleh hampir semua desa di Indonesia. Dalam asasnya pengadilan hanyalah menjalankan hukum pendidikan berdasarkan prinsip bahwa hukum itu ada bukan untuk dilanggar melainkan untuk dihormati dan ditaati. Orang yang melanggar hukum akan merasakan suatu keberatan batin.

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (Widjaja, 2003:166).


(29)

II.1.4.2 Pemerintahan Desa

Pemerintahan desa merupakan bagian dari pemerintahan nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23).

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan pemerintah desa dengan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu

wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.

Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul nya. Undang - Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan


(30)

provinsi terhadap daerah hilang. Dikhawatirkan undang - undang ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain:

a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.

b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana, dan sarana serta sumber daya manusia.


(31)

c. Dalam pengaturan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relatif pasti telah ditentukan dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.

A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa yang dimaksud terdiri dari Kepala desa dan Perangkat desa. Sesuai dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa adalah “lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah”. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

Pemerintahan desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya “Otonomi Desa ” Pemerintahan Desa diartikan sebagai: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari system penyelenggaraan Pemerintah, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala desa bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati” (Widjaja, 2003: 3).


(32)

Berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 pasal 30 tentang Desa dijelaskan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari ketua rukun warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Sedangkan masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan adalah enam tahun dan dapat diangkat atau diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit lima orang dan paling banyak sebelas orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.

B. Kewenangan Pemerintah Desa I. Kepala Desa

Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, kepala desa memiliki wewenang sebagai berikut:

1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD.

2. Mengajukan rancangan peraturan desa.

3. Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD. 4. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB untuk

dibahas dan ditetapkan bersama BPD. 5. Membina kehidupan masyarakat desa. 6. Membina perekonomian desa.


(33)

8. Mewakili nya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan. 9. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, kepala desa mempunyai kewajiban berdasar ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yaitu:

1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; 4. Melaksanakan kehidupan demokrasi;

5. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme;

6. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa; 7. Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; 8. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;

9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa; 10. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;

11. Mendamaikan perselisihan masyarakat desa; 12. Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;

13. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;


(34)

15. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Di atas telah disebutkan bahwa tugas dari kepala desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dimaksud dari urusan pemerintahan yaitu antara lain pengaturan kehidupan masyararakat sesuai kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa dan pembentukan lembaga kemasyarakatan. Kemudian tugas kepala desa dalam hal pembangunan yaitu antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan sarana prasarana fasilitas umum, sedangkan tugas kemasyarakatan kepala desa yaitu meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Atas pelaksanaan tugas tersebut, kepala desa berkewajiban memberikan pertanggungjawaban berupa pembuatan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa yang ditujukan kepada bupati/walikota, dan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemberdayaan serta menginformasikan seluruh laporan penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Di dalam laporan tersebut berisi laporan dari semua kegiatan desa berdasarkan kewenangan desa yang ada, serta tugas-tugas dan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala desa ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan suatu akuntabiitas dalam suatu pemerintahan desa serta sebagai upaya dalam perwujudan transparansi pemerintah terhadap masyarakat.


(35)

II. Badan Permusyawaratan Desa

Dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa mempunyai hak sebagai berikut:

1. Mengajukan rancangan peraturan desa ;

2. Mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat; 3. Memilih dan dipilih;

4. Memperoleh tunjangan.

Sedangkan kewajiban Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut:

1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;

3. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, memproses pemilihan kepala desa, mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan;

5. Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dalam lembaga kemasyarakatan.


(36)

Wewenang Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut: 1. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

2. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa;

3. Mengusulkan pengankatan dan pemberhentian kepala desa;

4. Membentuk panitia pemilihan kepala desa, menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat;

5. Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggung jawab utama dalam bidang pembangunan kepala desa dapat dibantu lembaga kemasyarakatan yang terdapat di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di bawah serta bertanggung jawab kepada kepala desa, sedang kepala urusan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada sekretaris desa.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 209 meyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa adalah sebagai berikut:

1. Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

2. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten atau kota;


(37)

4. Urusan pemerintahan lainnya oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dititik-beratkan pada proses penyelenggaraan pemerintah desa yang reponsif. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, pembuatan Perdes bersama dengan pemerintah desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam pelaksanaan otonomi desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.

II.2 Defenisi Konsep

Menurut Masri Singarimbun (1995) menyebutkan konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variable yang diteliti.


(38)

Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut merupakan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, defenisi konsep tersebut antara lain:

1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah sesuatu yang dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara dengan cara pemanfaatkan sumber daya yang tersedia. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Bupati Tapanuli Utara Nomor 3 Tahun 2013 Tetang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa /Kelurahan (ADD /K) Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

2. Implementasi kebijakan

Implementasi kebijakan adalah serangkaian usaha dalam bentuk analisis untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan hubungan kebijakan tersebut secara vertical maupun secara horizontal dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan , baik jangka panjang maupun saat ini. Implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini yaitu proses pelaksanaan kebijakan tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Tapanuli Utara.

Dalam peneliian ini, peneliti menggunakan beberapa variabel yaitu komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi, sikap, serta ukuran dan tujuan kebijakan


(39)

3. Kebijakan Alokasi Dana Desa

Alokasi Dana Desa/Kelurahan adalah bantuan keuangan yang diterima oleh pemerintah desa/kelurahan dari pemerintah kabupaten, dalam hal ini Kabupaten Tapanuli Utara, yang dimaksudkan untuk membiayai program pemerintahan desa/kelurahan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.

II.3 Operasionalisasi Konsep

Adapun operasionalisasi konsep yang digunakan peneliti dalam rangka mempermudah dalam mengumpulkan data yang akan dibutuhkan penelitii lewat penyusunan daftar wawancara adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Intensitas sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa

b. Kejelasan sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa dari para pelaksana 2. Sumber Daya

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Kemampuan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa

b. Penyediaan fasilitas-fasilitas yang mendukung kebijakan Alokasi Dana Desa


(40)

3. Struktur Birokrasi

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Pembentukan struktur organisasi, yaitu berkaitan dengan pengelompokan kerja dari masing-masing pelaksana Alokasi Dana Desa

b. Pembagian tugas

c. Koordinasi dari para pelaksana 4. Sikap

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Persepsi pelaksana terhadap kebijakan Alokasi Dana Desa b. Respon pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa

c. Tindakan pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa 5. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Kesesuaian program dengan kebijakan yang telah ditetapkan b. Ketepatan sasaran sesuai dengan kebijakan yang ditentukan


(1)

II. Badan Permusyawaratan Desa

Dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa mempunyai hak sebagai berikut:

1. Mengajukan rancangan peraturan desa ;

2. Mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat; 3. Memilih dan dipilih;

4. Memperoleh tunjangan.

Sedangkan kewajiban Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah sebagaiberikut:

1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;

2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;

3. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, memproses pemilihan kepala desa, mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dangolongan;

5. Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dalam lembaga kemasyarakatan.


(2)

Wewenang Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut: 1. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;

2. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa danperaturan kepala desa;

3. Mengusulkan pengankatan dan pemberhentian kepala desa;

4. Membentuk panitia pemilihan kepala desa, menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat;

5. Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggung jawab utama dalam bidang pembangunan kepala desa dapat dibantu lembaga kemasyarakatan yang terdapat di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di bawah serta bertanggung jawab kepada kepala desa, sedang kepala urusan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada sekretaris desa.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 209 meyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa adalah sebagai berikut:

1. Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

2. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan ataupemerintah kabupaten atau kota;


(3)

4. Urusan pemerintahan lainnya oleh peraturan perundang-undangandiserahkan kepada desa.

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dititik-beratkan pada proses penyelenggaraan pemerintah desa yang reponsif. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintahyang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, pembuatan Perdes bersama dengan pemerintah desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa dalam pelaksanaan otonomi desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.

II.2 Defenisi Konsep

Menurut Masri Singarimbun (1995) menyebutkan konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variable yang diteliti.


(4)

Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut merupakan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, defenisi konsep tersebut antara lain:

1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah sesuatu yang dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara dengan cara pemanfaatkan sumber daya yang tersedia. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Bupati Tapanuli Utara Nomor 3 Tahun 2013 Tetang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa /Kelurahan (ADD /K) Kabupaten Tapanuli Utara Tahun Anggaran 2013.

2. Implementasi kebijakan

Implementasi kebijakan adalah serangkaian usaha dalam bentuk analisis untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan hubungan kebijakan tersebut secara vertical maupun secara horizontal dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan , baik jangka panjang maupun saat ini. Implementasi kebijakan publik dalam penelitian ini yaitu proses pelaksanaan kebijakan tentang Alokasi Dana Desa di Kabupaten Tapanuli Utara.

Dalam peneliian ini, peneliti menggunakan beberapa variabel yaitu komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi, sikap, serta ukuran dan tujuan kebijakan


(5)

3. Kebijakan Alokasi Dana Desa

Alokasi Dana Desa/Kelurahan adalah bantuan keuangan yang diterima oleh pemerintah desa/kelurahan dari pemerintah kabupaten, dalam hal ini Kabupaten Tapanuli Utara, yang dimaksudkan untuk membiayai program pemerintahan desa/kelurahan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.

II.3 Operasionalisasi Konsep

Adapun operasionalisasi konsep yang digunakan peneliti dalam rangka mempermudah dalam mengumpulkan data yang akan dibutuhkan penelitii lewat penyusunan daftar wawancara adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Intensitas sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa

b. Kejelasan sosialisasi kebijakan Alokasi Dana Desa dari para pelaksana 2. Sumber Daya

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Kemampuan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan Alokasi Dana Desa

b. Penyediaan fasilitas-fasilitas yang mendukung kebijakan Alokasi Dana Desa


(6)

3. Struktur Birokrasi

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Pembentukan struktur organisasi, yaitu berkaitan dengan pengelompokan kerja dari masing-masing pelaksana Alokasi Dana Desa

b. Pembagian tugas

c. Koordinasi dari para pelaksana 4. Sikap

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Persepsi pelaksana terhadap kebijakan Alokasi Dana Desa b. Respon pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa

c. Tindakan pelaksana kebijakan Alokasi Dana Desa 5. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Adapun fenomena yang diamati adalah:

a. Kesesuaian program dengan kebijakan yang telah ditetapkan b. Ketepatan sasaran sesuai dengan kebijakan yang ditentukan